Anda di halaman 1dari 17

EFEKTIVITAS PENAMBAHAN EKSTRAK SIRIH MERAH TERHADAP

EDIBLE FILM ANTIBAKTERI BERBASIS ALGINAT

LATAR BELAKANG
Rumput laut yang banyak tumbuh secara alami di perairan Indonesia antara lain rumput
laut cokelat Sargassum sp. (Eriningsih et al., 2014) dan merupakan penghasil alginat (alginofit)
(Kusuma, Santosa dan Pramesti, 2013). Alginat merupakan metabolit primer senyawa
hidrokoloid penting sehingga banyak dimanfaatkan oleh industri pangan maupun non pangan.
Alginat juga merupakan polisakarida alami yang bersifat kental dan larut dalam air. Alginat
memiliki potensi sebagai bahan dasar pembuatan edible film karena film yang terbentuk akan
bersifat kuat, mudah terurai dan tidak beracun sehingga alginat cocok digunakan sebagai bahan
dasar edible film (Kragović et al., 2016).
Edible film adalah lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk di
atas komponen makanan atau diletakan diantara komponen makanan yang berfungsi sebagai
penghambat terhadap transfer massa seperti kelembaban, oksigen maupun zat terlarut. Edible
film umumnya terbuat dari bahan-bahan organik seperti lemak, protein, dan karbohidrat
(pati/non-pati) (Adiningsih & Priatni, 2018). Bahan-bahan organik yang digunakan dalam
pembuatan edible film dapat berperan sebagai nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangan
mikroba patogen sehingga kemasan edible film akan rusak dan produk yang dikemas akan
terkontaminasi (Putra, Ali & Efendi, 2017). Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu bahan
yang dapat mencegah kerusakan pada edible film.
Senyawa antibakteri dapat ditambahkan ke dalam kemasan edible film. Kemasan
antibakteri adalah kemasan yang mampu mengurangi, menghambat atau memperlambat
pertumbuhan mikroorganisme patogen. Salah satu bahan alami yang dapat digunakan sebagai
antibakteri adalah sirih merah. Sirih merah (Piper crocatum) merupakan tanaman yang
memiliki banyak manfaat sebagai tanaman obat-obatan. Sirih merah mempunyai metabolit
alkaloid, flavonoid, polifenolat, tanin dan minyak atsiri dengan aktivitas sebagai antioksidan
dan antibakteri (Lestari, 2014). Berdasarkan penelitian Puspita, Safithri & Sugiharti (2018)
diperoleh bahwa ekstrak daun sirih merah dapat menghambat pertumbuhan B. substilis dan
P.aeuruginosa.
Berdasarkan lata belakang, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas
penambahan ekstrak sirih merah terhadap edible film antibakteri berbasis alginat. Selain itu
juga menentukan konsentrasi ekstrak sirih merah yang paling efektif.

METODOLOGI
Bahan
Bahan yang digunakan untuk proses pembuatan edible film adalah alginat, pati mocaf,
gliserol, beeswax, aquadest dan ekstrak sirih merah. Pada ekstraksi sirih merah bahan yang
digunakan adalah etanol 96%.
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri adalah timbangan analitik, beaker
glass, spatula, gelas ukur, pipet, thermometer, hot plate, magnetic stirrer, alumunium foil dan
cetakan akrilik. Alat-alat yang digunakan untuk analisis kimia antara lain cawan porselen,
spatula, timbangan analitik, desikator, dan oven (Memmert). Alat yang digunakan pada analisis
fisik antara lain mikrometer digital, WVTR (Water Vapor Transmission Rate) (Labthink),
Colorimeter HunterLab, SEM (Scanning Electron Microscope) (JEOL) dan texture analyzer.
Sedangkan alat untuk uji mikrobiologi anata lain cawan petri, ose, kertas cakram, pinset,
autoklaf, mikropipet, inkubator dan shaker water bath.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dalam skala laboratorium di Balai Besar Riset Pengolahan Produk
dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta Pusat. Metode penelitian mengacu pada
metode yang digunakan oleh Murdinah (2007) dengan dimodifikasi pada penggunaan ekstrak
daun sirih merah sebagai antibakteri. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 2 kali ulangan.
Prosedur Penelitian
Pembuatan Ekstrak Daun Sirih Merah
Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi yaitu daun sirih merah segar dipotong-
potong, kemudian ditimbang, selanjutnya dilakukan maserasi menggunakan etanol 96%
sebanyak 1 : 20 selama 3 x 24 jam sambil dilakukan pengadukan sesekali kemudian disaring
dan ampas yang diperoleh kemudian dibilas dengan etanol sebanyak 13% dari total etanol yang
digunakan untuk maserasi. Hasil maserasi kemudian dilakukan proses penguapan
menggunakan rotatory evaporator dan water bath, dengan suhu 50˚C untuk menguapkan
etanol sehingga sampai diperoleh ekstrak kental daun sirih merah. Dilanjutkan dengan
Pengeringan beku (freeze drying) adalah salah satu metode pengeringan yang mempunyai
keunggulan dalam mempertahankan mutu hasil pengeringan.
Pembuatan Edible Film Antibakteri Berbasis Alginat
Alginat dilarutkan dalam air aquades yang dipanaskan diatas hotplate menggunakan
magnetic stirrer hingga larutan homogen selanjutnya secara bertahap dimasukkan pati mocaf
dengan pemanasan, dilakukan sampai larutan mencapai suhu 70 ˚C yang diukur menggunakan
thermometer kemudian ditambahkan beeswax dan plasticizer gliserol, tunggu sekitar 30 menit
hingga tercampur sempurna, setelah itu masukkan ekstrak antibakteri sirih merah kedalam
larutan dengan suhu 50 ˚C dan homogenisasi selama 15-30 menit. Pencetakan dilakukan di plat
kaca akrilik berukuran 16 x 16 cm (50 ml) menggunakan metode tuang. Setelah film dicetak,
dilakukan pengeringan dengan suhu ruang(27ºC) selama 3 hari.

Analisa Data
Data yang dihasilkan dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisa sidik
ragam (ANOVA) menggunakan program komputer microsoft excel kemudian ditampilkan
dalam bentuk tabel dan grafik.

HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Laju Transmisi Uap Air / WVTR (Water Vapor Transmission Rate)
Beberapa jenis produk pangan sensitif terhadap uap air. Edible film dapat mencegah
penyerapan uap air jika digunakan pada permukaan produk pangan. Laju transmisi uap air
adalah laju uap air merembes masuk ke dalam edible film pada suhu dan kelembaban relatif
tertentu. Hasil rata-rata analisis laju transmisi uap air dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisis laju transmisi uap air edible film
Konsentrasi Water vapoor transmision rate
Ekstrak (%) (g/m2.24h) Rata-rata ± SD
Ulangan 1 Ulangan 2
0 4038,866 4258,172 4148,519 ± 155,07
10 4319,067 3983,757 4151,412 ± 237,10
12,5 4075,224 4176,791 4126,008 ± 71,82
15 3380,381 3435,501 3407,941 ± 38,98
Rata-rata laju transmisi uap air edible film dengan konsentrasi ekstrak sirih merah
yang berbeda berkisar antara 3407,941 ± 38,98 - 4151,412 ± 237,10 g/m2.24jam, dengan
nilai terendah 3407,941 ± 38,98 g/m2.24jam pada konsentrasi ekstrak sirih merah 15%,
dan nilai tertinggi 4151,412 ± 237,10 g/m2.24jam pada konsentrasi ekstrak sirih merah
10%.
5000

Laju Transmisi Uap Air


4000

(g/m2.24h)
3000

2000

1000

0
0 10 12,5 15
Konsentrasi (%)

Gambar 1. Grafik Laju Transmisi Uap Air Edible Film Antibakteri Berbasis Alginat
Berdasarkan Gambar 1, menunjukkan bahwa nilai laju transmisi uap air pada edible
film antibakteri berbasis alginat dengan konsentrasi yang berbeda menghasilkan laju
transmisi uap air yang berfluktuatif. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak sirih merah yang
digunakan, maka nilai laju transmisi uap air yang dihasilkan cenderung menurun.
Penurunan laju transmisi uap air edible film berbanding lurus dengan ketebalannya, makin
tebal makin sulit uap air untuk menembus edible film tersebut (Santoso et al., 2016). Untuk
mengetahui apakah perlakuan tersebut memengaruhi laju transmisi uap air edible film
maka dilakukan analisis lebih lanjut dengan menggunakan Uji ANOVA yang disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisis ANOVA laju transmisi uap air edible fim
Sumber Variasi Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat rata-rata F hitung
Perlakuan 3 808992,46 269664,1543 12,41
Galat 4 86940,99 21735,24845
Total 7 895933,46
Berdasarkan Tabel 2, didapatkan hasil bahwa nilai F hitung konsentrasi ekstrak sirih
merah lebih besar dari F tabel, yaitu 12,41 > 10,13 yang berarti H0 ditolak dan H1 diterima.
Sehingga dapat dikatakan konsentrasi ekstrak sirih merah yang digunakan berpengaruh
nyata terhadap laju transmisi uap air edible film yang dihasilkan. Hal ini disebabkan secara
fisik, kandungan pati dan ekstrak sirih sebagai bahan pengisi pada matrik edible film,
sehingga semakin tinggi konsentrasi maka matrik edible film semakin padat. Matrik edible
film yang padat menyebabkan uap air sulit untuk menembusnya, semakin sulit uap air
menembus suatu edible film maka nilai laju transmisi uap airnya semakin rendah. Selain
itu sifat hidrofilik dari pati dan penambahan plasticizer juga menjadi faktor penting yang
mempengaruhi laju transmisi uap air (Kusumawati & Putri, 2013).

b. Kelarutan
Kelarutan edibl film bertujuan untuk mengetahui kemampuan edible film untuk larut
dalam air dan untuk menahan air. Kelarutan merupakan sifat fisik edible film yang penting
karena berkaitan dengan kemampuan edible film untuk menahan air (Bourbon et al,.
2011). Kelarutan edible film dalam air merupakan persen berat kering edible film yang
telah dilarutkan dalam air selama 24 jam (Warkoyo et al., 2014). Hasil rata-rata analisis
kelarutan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis kelarutan edible film
Konsentrasi Kelarutan (%)
Ekstrak (%) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD

0 20,97 23,20 22,09 ± 1,58


10 26,54 25,12 25,83 ± 1,00
12,5 51,04 56,67 53,86± 3,98
15 86,38 74,45 80,42 ± 8,44
Rata-rata nilai kelarutan edible film antibakteri berbasis alginat dengan konsentrasi
ekstrak sirih merah yang berbeda berkisar antara 22,09 ± 1,58 - 80,42 ± 8,44 %, dengan
nilai terendah 22,09 ± 1,58 % pada konsentrasi ekstrak sirih merah 0%, nilai tertinggi 80,42
± 8,44 % pada konsentrasi ekstrak sirih merah 15%.
100,00
80,00
Kelarutan (%)

60,00
40,00
20,00
0,00
0 10 12,5 15
Konsentrasi (%)

Gambar 2. Grafik Kelarutan Edible Film Antibakteri Berbasis Alginat


Berdasarkan Gambar 2, menunjukkan bahwa nilai kelarutan pada edible film
antibakteri berbasis alginat semakin tinggi konsentrasi ekstrak sirih yang digunakan, maka
kelarutan yang dihasilkan semakin meningkat. Untuk mengetahui apakah perlakuan
tersebut memengaruhi kelarutan edible film maka dilakukan analisis lebih lanjut dengan
menggunakan Uji ANOVA yang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil analisis ANOVA kelarutan edible fim
Sumber Variasi Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat rata-rata F hitung
Perlakuan 3 4768,95 1589,651 70,26
Galat 4 90,51 22,62639
Total 7 4859,46
Berdasarkan Tabel 4, didapatkan hasil bahwa nilai F hitung konsentrasi ekstrak sirih
merah lebih besar dari F tabel, yaitu 70,26 > 10,13 yang berarti H0 ditolak dan H1 diterima.
Sehingga dapat dikatakan konsentrasi ekstrak sirih merah yang digunakan berpengaruh
nyata terhadap kelarutan edible film yang dihasilkan. Menurut Bourtoom (2007), edible
film yang menggunakan pati sebagai bahan baku akan memiliki sifat hidrofilik. Bahan-
bahan pembentuk edible film yang bersifat hidrofilik akan lebih cepat larut dalam air
dibandingkan dengan bahan yang bersifat hidrofobik. Dalam kandungan sirih merah
terdapat saponin, tannin, dan flavonoid. Menurut Pasril & Yuliasanti (2014) Saponin
memiliki molekul ampifatik (mengandung bagian hidrofilik dan hidrofobik) yang dapat
melarutkan protein membrane dan tannin merupakan polifenol yang larut dalam air. Sifat
hidrofilik alami protein dalam formulasi edible film mempermudah terjadinya interaksi
dengan air, sehingga edible film mudah larut dalam air. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
penambahan komponen yang bersifat hidrofilik pada edible film akan menyebabkan
peningkatan persentase kelarutan film. Film dengan kelarutan yang tinggi menunjukkan
ketahanan film terhadap air lebih rendah, serta menunjukkan sifat hidrofilisitas film
tersebut.
c. Kuat Tarik
Kuat tarik merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai edible film tetap
bertahan sebelum putus (Setyaningrum, Sumarni & Hardi, 2017). Edible film dengan kuat
tarik yang tinggi diperlukan pada penggunaan sebagai kemasan produk pangan yang
bertujuan untuk melindungi bahan pangan selama penanganan, transportasi dan
pemasaran (Rusli, Metusalach & Tahir, 2017). Hasil rata-rata kuat tarik dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Hasil analisis kuat tarik edible film
Kuat Tarik (Mpa)
Konsentrasi Rata-rata ± SD
Ulangan 1 Ulangan 2
Ekstrak (%)
0 4,31 5,00 4,66 ± 0,49
10 4,12 4,02 4,07 ± 0,07
12,5 4,02 4,02 4,02 ± 0,00
15 4,51 3,92 4,22 ± 0,42
Rata-rata nilai kuat tarik edible film antibakteri berbasis alginat dengan konsentrasi
ekstrak sirih merah yang berbeda berkisar antara 4,02 ± 0,00- 4,66 ± 0,49 Mpa, dengan nilai
terendah 4,02 ± 0,00 Mpa pada konsentrasi ekstrak sirh merah 12,5% dan tertinggi 4,66 ± 0,49
Mpa pada konsentrasi ekstrak sirih merah 0%.

5,00
Kuat Tarik (Mpa)

4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
0 10 12,5 15
Konsentrasi (%)

Gambar 3. Grafik Kuat Tarik Edible Film Antibakteri Berbasis Alginat


Berdasarkan Gambar 3, menunjukkan bahwa nilai kuat tarik pada edible film
antibakteri berbasis alginat dengan konsentrasi yang berbeda menghasilkan kuat tarik yang
berfluktuatif. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak sirih merah yang digunakan maka nilai
kuat tarik edible film yang dihasilkan cenderung semakin menurun. Untuk mengetahui
apakah perlakuan tersebut memengaruhi kuat tarik edible film maka dilakukan analisis
lebih lanjut dengan menggunakan Uji ANOVA yang disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil analisis ANOVA kuat tarik edible fim
Sumber Variasi Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat rata-rata F hitung

Perlakuan 3 0,50 0,166766667 1,60


Galat 4 0,42 0,104275
Total 7 0,92
Berdasarkan Tabel 6, didapatkan hasil bahwa nilai F hitung konsentrasi ekstrak sirih
merah lebih kecil dari F tabel, yaitu 1,60 < 10,13 yang berarti H0 diterima dan H1 ditolak.
Sehingga dapat dikatakan konsentrasi ekstrak sirih merah yang digunakan tidak
berpengaruh nyata terhadap kuat tarik edible film yang dihasilkan. Menurut Nurfajrin
(2015) peningkatan nilai kuat tarik dapat disebabkan oleh penambahan gliserol yang
menyebabkan molekul-molekul penyusun film terdispersi semakin baik. Hasil uji kuat tarik
ini telah memenuhi standar minimal kuat tarik yang ditetapkan oleh Japanese Industrial Standart
(1975), yaitu memiliki kuat tarik minimal 3,92 MPa (40kgf/cm2).
d. Ketebalan
Ketebalan film merupakan karakteristik yang penting dalam menentukan kelayakan
edible film sebagai kemasan produk pangan karena ketebalan sangat mempengaruhi sifat
fisik dan mekanik edible film lainnya, misalnya kuat tarik, pemanjangan, daya larut dan
permeabilitas uap air. Edible film yang tebal akan memberi perlindungan yang lebih baik
terhadap produk pangan yang dikemas, namun permeabilitas uap airnya akan semakin
besar (Rusli, Metusalach & Tahir, 2017). Hasil rata-rata ketebalan dapat dilihat pada Tabel
7.
Tabel 7. Hasil analisis ketebalan edible film
Ketabalan (mm)
Konsentrasi
Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD
Ekstrak (%)
0 0,068 0,069 0,069 ± 0,001
10 0,071 0,069 0,070 ± 0,001
12,5 0,118 0,125 0,121 ± 0,005
15 0,157 0,149 0,153 ± 0,006

Rata-rata nilai ketebalan edible film antibakteri berbasis alginat dengan konsentrasi
yang berbeda berkisar antara 0,069 ± 0,001 - 0,153 ± 0,006 mm, dengan nilai terendah 0,069 ±
0,001 mm pada konsentrasi ekstrak sirih merah 0% dan tertinggi 0,153 ± 0,006 mm pada
konsentrasi ekstrak sirih merah 15%.
0,200
Ketebalan (mm)

0,150

0,100

0,050

0,000
0 10 12,5 15
Konsentrasi (%)

Gambar 4. Grafik Ketebalan Edible Film Antibakteri Berbasis Alginat


Berdasarkan Gambar 4, menunjukkan bahwa nilai ketebalan pada edible film
antibakteri berbasis alginat semakin tinggi konsentrasi ekstrak sirih yang digunakan, maka
ketebalan yang dihasilkan semakin meningkat. Untuk mengetahui apakah perlakuan
tersebut memengaruhi ketebalan edible film maka dilakukan analisis lebih lanjut dengan
menggunakan Uji ANOVA yang disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil analisis ANOVA ketebalan edible fim
Sumber Variasi Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat rata-rata F hitung
Perlakuan 3 0,00 0,000738 50,06
Galat 4 0,00 0,000015
Total 7 0,00
Berdasarkan Tabel 8, didapatkan hasil bahwa nilai F hitung konsentrasi ekstrak sirih
merah lebih besar dari F tabel, yaitu 50,06 > 10,13 yang berarti H0 ditolak dan H1 diterima.
Sehingga dapat dikatakan konsentrasi ekstrak sirih merah yang digunakan berpengaruh
nyata terhadap ketebalan edible film yang dihasilkan. Menurut Kusumawati & Putri (2013)
perbedaan ketebalan antar berbagai jenis film tersebut disebabkan komposisi formula film
yang berbeda. Total padatan dalam edible film dipengaruhi oleh komposisi mineral yang
terkandung dalam bahan. Semakin tinggi konsentrasi pati maka viskositasnya juga akan
meningkat sehingga edible film yang terbentuk akan semakin tebal. Ketebalan yang
semakin meningkat maka kemampuan penahannya akan semakin baik, sehingga umur
simpan produk semakin panjang. Hasil uji ketebalan ini telah memenuhi standar maksmial
ketebalan yang ditetapkan oleh Japanese Industrial Standart (1975), yaitu memiliki ketebalan
maksimal 0,25 mm.

e. Kecerahan
Derajat kecerahan suatu bahan merupakan kemampuan suatu bahan untuk
memantulkan cahaya yang mengenai permukaannya (Setiani,Sudiarti & Rahmidar, 2013).
Hasil rata-rata ketebalan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil analisis kecerahan edible film
Opacity (%)
Konsentrasi Rata-rata ± SD
Ekstrak (%) Ulangan 1 Ulangan 2
0 11,60 11,40 11,50 ± 0,14
10 9,05 14,60 11,83 ± 3,92
12,5 13,55 11,20 12,38 ± 1,66
15 28,40 24,15 26,28 ± 3,01

Rata-rata nilai kecerahan edible film antibakteri berbasis alginat dengan konsentrasi
yang berbeda berkisar antara 11,50 ± 0,14-26,28 ± 3,01%, dengan nilai terendah 11,50 ± 0,14%
pada konsentrasi ekstrak sirih merah 0% dan tertinggi 26,28 ± 3,01% pada konsentrasi ekstrak
sirih merah 15%.
30,00
25,00
Opacity (%)

20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
0 10 12,5 15
Konsentrasi (%)

Gambar 5. Grafik kecerahan Edible Film Antibakteri Berbasis Alginat


Berdasarkan Gambar 5, menunjukkan bahwa nilai kecerahan pada edible film
antibakteri berbasis alginat semakin tinggi konsentrasi ekstrak sirih yang digunakan, maka
kecerahan yang dihasilkan semakin meningkat. Untuk mengetahui apakah perlakuan
tersebut memengaruhi kecerahan edible film maka dilakukan analisis lebih lanjut dengan
menggunakan Uji ANOVA yang disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil analisis ANOVA kecerahan edible fim
Sumber Variasi Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat rata-rata F hitung
Perlakuan 3 310,74 103,5811 15,22
Galat 4 27,21 6,803438
Total 7 337,96

Berdasarkan Tabel 10, didapatkan hasil bahwa nilai F hitung konsentrasi ekstrak sirih
merah lebih besar dari F tabel, yaitu 15,22 > 10,13 yang berarti H0 ditolak dan H1 diterima.
Sehingga dapat dikatakan konsentrasi ekstrak sirih merah yang digunakan berpengaruh
nyata terhadap kecerahan edible film yang dihasilkan. Lindriant dan Arbiantara (2011)
menyatakan bahwa semakin tipis edible film maka akan semakin transparan. Hal tersebut
mengakibatkan peningkatan nilai pembacaan kecerahan (L) pada colour reader. Selain itu,
Ningsih (2015) menyatakan bahwa jenis bahan dasar yang digunakan akan mempengaruhi
warna edible film. Sehingga dapat disimpulkan bahwa edible film yang menggunakan jenis
anti bakteri yang berbeda dan konsentrasi anti bakteri yang berbeda pula maka akan
memberikan hasil kecerahan yang berbeda. Peningkatan konsentrasi ekstrak sirih merah
memeberikan nilai kecerahan yang semakin menurun sehingga terlihat semakin buram, hal
tersebut dikarenakan penambahan ekstrak sirih merah yang semakin besar menyebabkan
ketebalan edible film semakin meningkat karena jumlah total padatan terlarut dalam film
juga meningkat.

f. Elongasi
Elongasi merupakan persentase perubahan panjang film saat film ditarik hingga putus
(Estiningtyas & Heny, 2012). Elongasi dilakukan untuk mengetahui kemampuan
pemanjangan edible film, semakin tinggi nilai elongasinya maka kemasan edible film
semakin fleksibel dan plastis (Nuansa, Agustini & Susanto, 2018). Hasil rata-rata
ketebalan dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil analisis elongasi edible film
Elongasi (%)
Konsentrasi
Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD
Ekstrak (%)
0 20,60 19,42 20,01 ± 0,83
10 26,10 24,75 25,43 ± 0,95
12,5 26,04 25,33 25,69 ± 0,50
15 35,65 15,62 25,64 ± 14,16

Rata-rata nilai elongasi edible film antibakteri berbasis alginat dengan konsentrasi
yang berbeda berkisar antara 20,01 ± 0,83 - 25,69 ± 0,50%, dengan nilai terendah 20,01 ± 0,83%
pada konsentrasi ekstrak sirih merah 0% dan tertinggi 25,69 ± 0,50% pada konsentrasi ekstrak sirih
merah 12,5%.
30,00
25,00
Elongasi (%)

20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
0 10 12,5 15
Konsentrasi (%)

Gambar 6. Grafik elongasi Edible Film Antibakteri Berbasis Alginat


Berdasarkan Gambar 6, menunjukkan pola yang fluktuatif pada setiap kenaikan
konsentrasi ekstrak sirih merah terhadap nilai elongasi. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak
sirih merah nilai elongasi pada edible film antibakteri berbasis alginat yang dihasilkan
semakin meningkat. Untuk mengetahui apakah perlakuan tersebut memengaruhi elongasi
edible film maka dilakukan analisis lebih lanjut dengan menggunakan Uji ANOVA yang
disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil analisis ANOVA elongasi edible fim
Sumber Variasi Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat rata-rata F hitung
Perlakuan 3 77,07 25,68985 0,51
Galat 4 202,46 50,61499
Total 7 279,53

Berdasarkan Tabel 12, didapatkan hasil bahwa nilai F hitung konsentrasi ekstrak sirih
merah lebih kecil dari F tabel, yaitu 0,51 < 10,13 yang berarti H0 diterima dan H1 ditolak.
Sehingga dapat dikatakan konsentrasi ekstrak sirih merah yang digunakan tidak
berpengaruh nyata terhadap elongasi edible film yang dihasilkan. Handito (2011)
menyatakan bahwa elongasi edible film yang tidak berbeda nyata antar konsentrasi bahan
disebabkan karena secara statistik konsentrasi tersebut belum memberikan pengaruh yang
nyata terhadap elongasi. Menurut Japanesse Industrial Standart (JIS), nilai elongasi
minimal adalah 5%. Maka, edible film yang dihasilkan pada penelitian ini sudah sesuai
dengan standar mutu yang telah ditetapkan oleh Japanesse Industrial Standart. Ningsih
(2015) mengemukakan bahwa persen pemanjangan edible film dipengaruhi oleh sifat dan
kandungan polimer penyusunnya. Edible film dengan nilai elongasi yang rendah
menunjukkan bahwa film tersebut kaku sehingga mudah patah dan tidak elastis (Salimah
& Ma’ruf, 2016).

g. Warna
Warna edible film sangat berpengaruh terhadap kenampakan dan penampilan produk
yang di kemas yang memengaruhi daya terima konsumen terhadap produk. Semakin cerah
edible film maka semakin bagus kualitas edible film (Afifah et al., 2018). Hasil rata-rata
ketebalan dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil analisis warna edible film
Konsentrasi Warna (dE*)
Ekstrak (%) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD

0 6,86 7,23 7,05 ± 0,26


10 43,62 52,63 48,13 ± 6,37
12,5 61,58 62,65 62,12 ± 0,76
15 72,08 70,73 71,41 ± 0,95

Rata-rata nilai warna edible film antibakteri berbasis alginat dengan konsentrasi yang
berbeda berkisar antara 7,05 ± 0,26 - 71,41 ± 0,95 dE*, dengan nilai terendah 7,05 ± 0,26 dE*
pada konsentrasi ekstrak sirih merah 0% dan tertinggi 71,41 ± 0,95 dE* pada konsentrasi ekstrak
sirih merah 15%.
80,00
Warna (dE*)

60,00

40,00

20,00

0,00
0 10 12,5 15
Konsentrasi (%)

Gambar 7. Grafik warna Edible Film Antibakteri Berbasis Alginat


Berdasarkan Gambar 7, menunjukkan bahwa nilai warna pada edible film antibakteri
berbasis alginat semakin tinggi konsentrasi ekstrak sirih yang digunakan, maka warna
yang dihasilkan semakin meningkat. Untuk mengetahui apakah perlakuan tersebut
memengaruhi warna edible film maka dilakukan analisis lebih lanjut dengan menggunakan
Uji ANOVA yang disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Hasil analisis ANOVA warna edible fim
Sumber Variasi Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat rata-rata F hitung

Perlakuan 3 4843,23 1614,411 153,23


Galat 4 42,14 10,53555
Total 7 4885,37

Berdasarkan Tabel 14, didapatkan hasil bahwa nilai F hitung konsentrasi ekstrak sirih
merah lebih besar dari F tabel, yaitu 153,23 > 10,13 yang berarti H0 ditolak dan H1
diterima. Sehingga dapat dikatakan konsentrasi ekstrak sirih merah yang digunakan
berpengaruh nyata terhadap warna edible film yang dihasilkan. Edible film yang dihasilkan
pada penelitian ini memiliki permukaan yang transparan dan berwana merah kecoklatan,
semakin pekat seiring bertambahnya konsentrasi ekstrak sirih merah. Hal ini sesuai dengan
penelitian Nisa, Nugroho & Hendrawan (2014), yang menyatakan bahwa sifat fisik/ warna
ekstrak daun sirih merah berwarna merah kecoklatan. Warna merah kecoklatan yang
dihasilkan ari ekstrak daun sirih merah diakibatkan karena adanya kandungan flavonoid
yang ada dalam daun sirih merah yang memberi warna merah. Hal ini sesuai dengan Waji
(2009), yang menyatakan bahwa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol terbesar
yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, dan
biru, dan sebagian zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan.

h. SEM (Scanning Electron Microscopy )

a b

c d
e f

g h
Gambar 8. Morfologi Permukaan Edible Film Antibakteri Berbasis Alginat
(a) Konsentrasi 0% dengan pembesaran 1000x (b) Konsentrasi
0% dengan pembesaran 2000x (c) Konsentrasi 10% dengan
pembesaran 1000x (d) Konsentrasi 10% dengan pembesaran
2000x (e) Konsentrasi 12,5% dengan pembesaran 1000x (f)
Konsentrasi 12,5% dengan pembesaran 2000x (g) Konsentrasi
15% dengan pembesaran 1000x (h) Konsentrasi 15% dengan
pembesaran 2000x

Scanning Electron Microscope (SEM) merupakan alat yang dapat membentuk


bayangan permukaan secara mikroskopik. Teknik SEM merupakan pemeriksaan dan
analisis permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau
dari lapisan yang tebalnya berkisar 20 μm dari permukaan yang diperoleh merupakan
gambar tofografi dengan segala tonjolan lekukan, dan lubang permukaan (Wirjosentono,
1995). Hasil morfologi permukaan edible film dapat dilihat pada Gambar 8.
Berdasarkan hasil uji SEM pada Gambar 8 a dan b, menunjukkan bahwa permukaan
struktur molekul edible film antibakteri bebasis alginat terlihat cukup halus dan rapat tetapi
masih terdapat sedikit granula pati. Pada Gambar 8 c dan d, terlihat bahwa permukaan
struktur molekul edible film tersebut permukaannya yang kurang halus dan masih terdapat
granula pati dan beeswax. Permukaan yang kurang halus tersebut akibat beeswax yang
tidak bisa larut dalam air. Pada Gambar 8 e dan f, menunjukkan bahwa pemukaan film
kasar dan masih banyak granula-granula utuh yang belum bercampur dengan komponen
penyusun lain seperti air dan gliserol. Sedangkan berdasarkan hasil uji SEM pada edible
film antibakteri bebasis alginat pada Gambar 8 g dan h, menunjukkan bahwa permukaan
film halus namun masih banyak terdapat komponen penyusun edible film sepeti ganula pati,
alginat, beeswax dan ekstrak sirih merah yang belum homogen.
i. Kadar Air
Kadar air edible film memiliki peran penting terhadap stabilitas produk yang
dilapisinya, oleh karena itu edible film diharapkan memiliki kadar air yang rendah
sehingga dalam penerapannya sebagai kemasan primer tidak memberi sumbangan air
kepada produk yang akan berdampak pada kerusakan produk dan penurunan masa simpan
(Rusli, Metusalach & Tahir, 2017). Hasil rata-rata ketebalan dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Hasil analisis kadar air edible film
Kadar Air (%)
Konsentrasi Rata-rata ± SD
Ulangan 1 Ulangan 2
Ekstrak (%)
0 16,88 16,58 16,73 ± 0,21
10 17,57 18,13 17,85 ± 0,40
12,5 18,16 19,27 18,72 ± 0,78
15 18,54 19,08 18,81 ± 0,38
Rata-rata nilai kadar air edible film antibakteri berbasis alginat dengan konsentrasi
yang berbeda berkisar antara 16,73 ± 0,21 - 18,81 ± 0,38%, dengan nilai terendah 16,73 ±
0,21% pada konsentrasi ekstrak sirih merah 0% dan tertinggi 18,81 ± 0,38% pada konsentrasi
ekstrak sirih merah 15%.
19,00

18,00
Kadar Air

17,00

16,00

15,00
0 10 12,5 15
Konsentrasi (%)

Gambar 8. Grafik kadar air Edible Film Antibakteri Berbasis Alginat


Berdasarkan Gambar 8, menunjukkan bahwa nilai kadar air pada edible film
antibakteri berbasis alginat semakin tinggi konsentrasi ekstrak sirih yang digunakan, maka
kadar air yang dihasilkan semakin meningkat. Untuk mengetahui apakah perlakuan
tersebut memengaruhi kadar air edible film maka dilakukan analisis lebih lanjut dengan
menggunakan Uji ANOVA yang disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Hasil analisis ANOVA kadar air edible fim
Sumber Variasi Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat rata-rata F hitung
Perlakuan 3 56,54 18,84748 78,23
Galat 4 0,96 0,240913
Total 7 57,51
Berdasarkan Tabel 16, didapatkan hasil bahwa nilai F hitung konsentrasi ekstrak sirih
merah lebih besar dari F tabel, yaitu 78,23 > 10,13 yang berarti H0 ditolak dan H1 diterima.
Sehingga dapat dikatakan konsentrasi ekstrak sirih merah yang digunakan berpengaruh
nyata terhadap kadar air edible film yang dihasilkan. Konsentrasi ekstrak sirih yang
berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air edible film antibakteri berbasis
alginat. Nilai kadar air terendah menunjukkan bahwa edible film tersebut paling bagus dan
mampu lebih lama dalam melindungi suatu produk yang dikemas. Kadar air yang tinggi
ataupun rendah akan sangat mempengaruhi ketahanan dari suatu edible film yang
dihasilkan (Diova, Darmanto & Rianingsih, 2013).
j. Uji Mikrobiologi (Zona Bening)
Diameter zona bening (clear zone) yang merupakan petunjuk adanya respon
penghambatan pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dalam ekstrak.
Tabel 17. Hasil zona bening edible film antibaktei berbasis alginat
Konsentrasi Zona hambat (mm) Rata-rata ± S.D.
Ekstrak Bakteri Staphylococcus Aureus
Ulangan 1 Ulangan 2
K (-) 0,0 0,0 0,0 ± 0,0
10% 6,5 6,8 6,7 ± 0,2
12,5% 7,0 7,0 7,0 ± 0,0
15% 7,3 7,3 7,3 ± 0,0
K (+) 23,5 23,4 23,5 ± 0,1

25
Staphylococcus Aureus

20
Zona bening

15
(mm)

10

0
K(-) 10% 12,5% 15% K(+)
Konsentrasi

Gambar 9. Nilai rata-rata zona bening Staphylococcus Aureus


Gambar 9, menunjukkan bahwa nilai zona bening Staphylococcus Aureus pada
karakteristik edible film antibakteri berbasis alginat dengan konsentrasi yang berbeda
menghasilkan data yang meningkat. Senyawa alkaloid terdapat pada ekstrak daun sirih
merah. Alkaloid adalah senyawa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen yang
terbentuk dan biasanya terdapat dalam bentuk gabungan sebagai bagian dari sistem siklik.
Senyawa alkaloid dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan Gram negatif
dengan mendorong terjadinya lisis sel dan perubahan morfologi bakteri (Puspita, Safithri
& Sugiharti, 2018).

Tabel 18. Hasil zona bening edible film antibaktei berbasis alginat
Konsentrasi Zona hambat (mm) Rata-rata ± S.D.
Ekstrak Bakteri Escherichia coli
Ulangan 1 Ulangan 2
K (-) 0,0 0,0 0,0 ± 0,0
10% 6,8 6,4 6,6 ± 0,3
12,5% 7,0 6,6 6,8 ± 0,3
15% 7,1 6,8 7,0 ± 0,2
K (+) 18,2 18,3 18,2 ± 0,1
20

Escherichia coli (mm)


15

Zona Bening
10

0
K(-) 10% 12,5% 15% K(+)
Konsentrasi

Gambar 10. Nilai rata-rata zona bening Escherichia coli


Gambar 10, menunjukkan bahwa nilai zona bening Escherichia coli pada karakteristik
edible film antibakteri berbasis alginat dengan konsentrasi yang berbeda menghasilkan
data yang meningkat. Timbulnya zona hambat dari edible film terhadap bakteri E.coli
disebabkan oleh senyawa aktif yang mampu merusak sel bakteri tersebut yaitu senyawa
1,8-Cineol. Hal ini didukung oleh pernyataan oleh Amaliya & Putri (2014) yang
menyatakan penghambatan pertumbuhan sel mikroba oleh komponen fenol disebabkan
kemampuan fenol untuk mendenaturasi protein dan merusak membran sel dengan cara
melarutkan lemak yang terdapat pada dinding sel bakteri gram negatif. Senyawa 1,8-
Cineol merupakan komponen senyawa fenol. Hal ini menunjukkan minyakatsiri lengkuas
mempunyai aktivitas antimikroba terhadap bakteri E.coli yang merupakan salah satu
bakteri yang ditemukan pada makanan.
Tabel 19. Hasil zona bening edible film antibaktei berbasis alginat
Konsentrasi Zona hambat (mm) Rata-rata ± S.D.
Ekstrak Bakteri Pseudomonas aeruginosa
Ulangan 1 Ulangan 2
K (-) 0,0 0,0 0,0 ± 0,0
10% 6,9 6,7 6,8 ± 0,1
12,5% 7,1 7,0 7,1 ± 0,1
15% 7,3 7,2 7,3 ± 0,1
K (+) 12,6 10,9 11,8 ± 1,2

14
Pseudomonas aeruginosa

12
10
Zona Bening

8
(mm)

6
4
2
0
K(-) 10% 12,5% 15% K(+)
Konsentrasi

Gambar 11. Nilai rata-rata zona bening Pseudomonas aeruginosa


Gambar 10, menunjukkan bahwa nilai zona bening Pseudomonas aeruginosa pada
karakteristik edible film antibakteri berbasis alginat dengan konsentrasi yang berbeda
menghasilkan data yang meningkat. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak, maka aktivitas
penghambatan suatu senyawa akan semakin tinggi, dikarenakan konsentrasi senyawa aktif
yang berperan sebagai antibakteri juga mengalami peningkatan atau semakin besar.
Tabel 20. Hasil zona bening edible film antibaktei berbasis alginat
Konsentrasi Zona hambat (mm) Rata-rata ± S.D.
Ekstrak Bakteri Salmonella sp.
Ulangan 1 Ulangan 2
K (-) 0,0 0,0 0,0 ± 0,0
10% 7,2 6,9 7,1 ± 0,2
12,5% 7,5 7,0 7,3 ± 0,4
15% 8,1 7,4 7,8 ± 0,5
K (+) 19,6 21,3 20,5 ± 1,2
25
Salmonella sp. (mm) 20
Zona Bening

15
10
5
0
K(-) 10% 12,5% 15% K(+)
Konsentrasi

Gambar 12. Nilai rata-rata zona bening Salmonella sp.


Gambar 10, menunjukkan bahwa nilai zona bening Salmonella sp. pada karakteristik
edible film antibakteri berbasis alginat dengan konsentrasi yang berbeda menghasilkan
data yang meningkat. Tanin merupakan poliflavanoid yang biasanya digunakan sebagai
bahan penyegar, mempunyai sifat antimikroba terhadap khamir, bakteri dan kapang.
Kemampuan tanin sebagai bahan antimikroba diduga karena tanin akan berikatan dengan
dinding sel bakteri, sehingga akan menginaktifkan kemampuan menempel bakteri,
menghambat pertumbuhan, aktivitas enzim protease dan dapat membentuk ikatan komplek
dengan polisakarida.

KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Hasil uji mutu fisik laju transmisi uap air, kelarutan, ketabalan, kecerahan dan warna
menunjukkan bahwa ada perbedaan nyata (α=0,05) terhadap karakteristik edible film
antibakteri berbasis alginat. Uji laju transmisi uap air, kelarutan dan ketebalan yang
terbaik adalah konsentrasi 15%. Uji kecerahan dan warna yang terbaik adalah
konsentrasi 0%. Uji kuat tarik dan elongasi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
nyata. Uji kuat tarik memiliki nilai terbaik yaitu pada konsentasi 0% dan uji elongasi
yang terbaik adalah pada konsentrasi 12,5%.
2. Hasil uji kimia berupa kadar air menghasilkan perbedaan yang nyata α=0,05,
edible film yang bersifat biodegradable dengan kandungan kadar air yang
tinggi akan mudah ditumbuhi oleh mikroba, karena adanya komponen nutrisi
dalam film seperti protein. Sebaliknya edible film dengan kadar air rendah
akan lebih tahan terhadap kerusakan mikrobiologis. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa jenis anti bakteri dengan konsentrasi anti bakteri yang
memiliki nilai kadar air yang paling baik adalah dengan konsentrasi 0%.
3. Hasil mutu mikrobiologi dengan pengamatan zona bening terhadap 4 baktei yang
bebeda yaitu Staphylococcus aureus, Eschericia coli, Pseudomonas aeruginosa dan
Salmonella sp. Menunjukkan bahwa konsentrasi 10%, 12,5% dan 15% dapat
menghambat pertumbuhan 4 bakteri, dengan daya hambat sedang.
DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, Y., & Priatni, A. (2018). Karakteristik edible film berbasis karagenan dan stearin
sawit sebagai kemasan pangan the characteristic of edible film based on carrageenan
and palm stearin for food packaging. J. Ris. Teknol. Ind., 12(2), 99-106.
Amaliya, R. R., & Putri, W. D. R. (2013). Karakterisasi edible film daripati jagung dengan
penambahan filtrat kunyit putih sebagai antibakteri [in press juli 2014]. Jurnal Pangan
dan Agroindustri, 2(3), 43-53.
Afifah, N., Sholichah, E., Indrianti, N., & Darmajana, D. A. (2018). PENGARUH
KOMBINASI PLASTICIZER TERHADAP KARAKTERISTIK EDIBLE FILM
DARI KARAGENAN DAN LILIN LEBAH-(The Effect of Plasticizer Combination on
Characteristics of Edible Film from Carrageenan and Beeswax). Biopropal Industri,
9(1), 49-60.
Bourbon, A. I., Pinheiro, A. C., Cerqueira, M. A., Rocha, C. M., Avides, M. C., Quintas, M.
A., & Vicente, A. A. (2011). Physico-chemical characterization of chitosan-based
edible films incorporating bioactive compounds of different molecular weight. Journal
of Food Engineering, 106(2), 111-118.
Bourtoom, T. (2007). Effect of some process parameters on the properties of edible film
prepared from starch. Department of Material Product Technology. Songkhala.
Diova, D. A., Darmanto, Y. S., & Rianingsih, L. (2013). Karakteristik edible film komposit
semirefined karaginan dari rumput laut Eucheuma cottonii dan beeswax. Jurnal
Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan, 2(4), 1-10.
Eriningsih, R., Marlina, R., Mutia, T., Sana, A. W., & Titis, A. (2014). Eksplorasi kandungan
pigmen dan alginat dari rumput laut coklat untuk proses pewarnaan kain sutera. Arena
Tekstil, 29(2).
Estiningtyas, Heny R., d. 2012. Aplikasi edible film maizena dengan penambahan ekstrak jahe
sebagai antioksidan alami pada coating sosis sapi. Jurnal Biofarmasi 10 (1), 7-16.
Handito, D. (2011). Pengaruh Konsentrasi Karagenan Terhadap Sifat Fisik Dan Mekanik
Edible Film (the Effect of Carrageenan Concentrations on Mechanical and Physical
Properties of Edible Films). Agroteksos.
Kragović, M., Daković, A., Marković, M., & Petković, A. (2016). Kinetic of thermal
degradation of alginate-zeolite composites. Zaštita materijala, 57(4), 559-564.
Kusuma, W. I., Santosa, G. W., & Pramesti, R. (2013). Pengaruh Konsentrasi NaOH yang
Berbeda Terhadaap Mutu Agar Rumput Laut Gracilaria verrucosa. Journal of marine
research, 2(2), 120-129.
Kusumawati, D. H., & Putri, W. D. R. (2013). Karakteristik fisik dan kimia edible film pati
jagung yang diinkorporasi dengan perasan temu hitam. Jurnal Pangan dan
Agroindustri, 1(1), 90-100.
Kusumawati, D. H., & Putri, W. D. R. (2013). Karakteristik fisik dan kimia edible film pati
jagung yang diinkorporasi dengan perasan temu hitam. Jurnal Pangan dan
Agroindustri, 1(1), 90-100.
Lestari ABS, D. Y. 2014. Aktivitas antioksidan ek-strak daun sirih merah (Piper crocatum)
hasil optimasi pelarut etanol-air. Ilmu Kefarma-sian Indonesia 12(1): 75-79.
Lindrianti, T., & Arbiantara, H. (2011). Pengembangan proses compression molding dalam
pembuatan edible film dari tepung koro pedang (Canafalia ensiformis L.). Jurnal
Teknologi dan Industri Pangan, 22(1), 53-57.
Ningsih, S. H. (2015). Pengaruh plasticizer gliserol terhadap karakteristik edible film
campuran whey dan agar (Doctoral dissertation).
Nisa, G. K., Nugroho, W. A., & Hendrawan, Y. (2014). Ekstraksi daun sirih merah (Piper
crocatum) dengan metode Microwave Assisted Extraction (MAE). Jurnal Bioproses
Komoditas Tropis, 2(1), 72-78.
Nuansa, M. F., Agustini, T. W., & Susanto, E. (2018). Karakteristik dan Aktivitas Antioksidan
Edible Film dari Refined Karaginan dengan Penambahan Minyak Atsiri. Jurnal
Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan, 6(1), 54-62.
Nurfarjin, Z. D. (2015, April). Karakterisasi dan Sifat Biodegradasi Edible Film dari Pati Kulit
Pisang Nangka (Musa Paradisiaca L.) dengan Penambahan Kitosan dan Plasticizer
Gliserol. In Seminar Nasional Teknik Kimia Kejuangan (pp. 1-1).
Pasril, Y., & Yuliasanti, A. (2014). Daya Antibakteri Ekstrak Daun Sirih Merah (Piper
Crocatum) terhadap Bakteri Enterococcus Faecalis sebagai Bahan Medikamen Saluran
Akar dengan Metode Dilusi Anti-Bacterial Power of Red Batel Leaves (Piper
Crocatum) to Enterococcus Faecalis Bacteria as Medi. Insisiva Dental Journal:
Majalah Kedokteran Gigi Insisiva, 3(1), 88-95.
Puspita, P. J., Safithri, M., & Sugiharti, N. P. (2018). Antibacterial Activities of Sirih Merah
(Piper crocatum) Leaf Extracts. Current Biochemistry, 5(3), 1-10.
PUTRA, A. S. P., ALI, A., & EFENDI, R. (2017). Karakteristik edible film pati tapioka dengan
penambahan minyak atsiri daun jeruk purut sebagai antibakteri. Jurnal Sagu, 16(1), 13-
20.
Rusli, A., Metusalach, S., & Tahir, M. M. (2017). Karakterisasi edible film karagenan dengan
pemlastis gliserol. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 20(2), 219-229.
Salimah, T., & Ma'ruf, W. F. (2016). Pengaruh Transglutaminase Terhadap Mutu Edible Film
Gelatin Kulit Ikan Kakap Putih (Lates Calcalifer). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi
Hasil Perikanan, 5(1), 49-55.
Santoso, B., Marsega, A., Priyanto, G., & Pambayun, R. (2016). Perbaikan sifat fisik, kimia,
dan antibakteri edible film berbasis pati Ganyong. Agritech, 36(4), 378-386.
Setiani, W., Sudiarti, T., & Rahmidar, L. (2013). Preparasi dan karakterisasi edible film dari
poliblend pati sukun-kitosan. Jurnal Kimia Valensi, 3(2).
Setyaningrum, A., Sumarni, N. K., & Hardi, J. (2017). Sifat Fisiko-Kimia Edible Film Agar–
Agar Rumput Laut (Gracilaria sp.) Tersubtitusi Glyserol. Natural Science: Journal of
Science and Technology, 6(2).
Warkoyo, W., Rahardjo, B., Marseno, D. W., & Karyadi, J. N. W. (2014). Sifat fisik, mekanik
dan barrier edible film berbasis pati umbi kimpul (Xanthosoma sagittifolium) yang
diinkorporasi dengan kalium sorbat. Agritech, 34(1), 72-81.

Anda mungkin juga menyukai