LATAR BELAKANG
Rumput laut yang banyak tumbuh secara alami di perairan Indonesia antara lain rumput
laut cokelat Sargassum sp. (Eriningsih et al., 2014) dan merupakan penghasil alginat (alginofit)
(Kusuma, Santosa dan Pramesti, 2013). Alginat merupakan metabolit primer senyawa
hidrokoloid penting sehingga banyak dimanfaatkan oleh industri pangan maupun non pangan.
Alginat juga merupakan polisakarida alami yang bersifat kental dan larut dalam air. Alginat
memiliki potensi sebagai bahan dasar pembuatan edible film karena film yang terbentuk akan
bersifat kuat, mudah terurai dan tidak beracun sehingga alginat cocok digunakan sebagai bahan
dasar edible film (Kragović et al., 2016).
Edible film adalah lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk di
atas komponen makanan atau diletakan diantara komponen makanan yang berfungsi sebagai
penghambat terhadap transfer massa seperti kelembaban, oksigen maupun zat terlarut. Edible
film umumnya terbuat dari bahan-bahan organik seperti lemak, protein, dan karbohidrat
(pati/non-pati) (Adiningsih & Priatni, 2018). Bahan-bahan organik yang digunakan dalam
pembuatan edible film dapat berperan sebagai nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangan
mikroba patogen sehingga kemasan edible film akan rusak dan produk yang dikemas akan
terkontaminasi (Putra, Ali & Efendi, 2017). Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu bahan
yang dapat mencegah kerusakan pada edible film.
Senyawa antibakteri dapat ditambahkan ke dalam kemasan edible film. Kemasan
antibakteri adalah kemasan yang mampu mengurangi, menghambat atau memperlambat
pertumbuhan mikroorganisme patogen. Salah satu bahan alami yang dapat digunakan sebagai
antibakteri adalah sirih merah. Sirih merah (Piper crocatum) merupakan tanaman yang
memiliki banyak manfaat sebagai tanaman obat-obatan. Sirih merah mempunyai metabolit
alkaloid, flavonoid, polifenolat, tanin dan minyak atsiri dengan aktivitas sebagai antioksidan
dan antibakteri (Lestari, 2014). Berdasarkan penelitian Puspita, Safithri & Sugiharti (2018)
diperoleh bahwa ekstrak daun sirih merah dapat menghambat pertumbuhan B. substilis dan
P.aeuruginosa.
Berdasarkan lata belakang, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas
penambahan ekstrak sirih merah terhadap edible film antibakteri berbasis alginat. Selain itu
juga menentukan konsentrasi ekstrak sirih merah yang paling efektif.
METODOLOGI
Bahan
Bahan yang digunakan untuk proses pembuatan edible film adalah alginat, pati mocaf,
gliserol, beeswax, aquadest dan ekstrak sirih merah. Pada ekstraksi sirih merah bahan yang
digunakan adalah etanol 96%.
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri adalah timbangan analitik, beaker
glass, spatula, gelas ukur, pipet, thermometer, hot plate, magnetic stirrer, alumunium foil dan
cetakan akrilik. Alat-alat yang digunakan untuk analisis kimia antara lain cawan porselen,
spatula, timbangan analitik, desikator, dan oven (Memmert). Alat yang digunakan pada analisis
fisik antara lain mikrometer digital, WVTR (Water Vapor Transmission Rate) (Labthink),
Colorimeter HunterLab, SEM (Scanning Electron Microscope) (JEOL) dan texture analyzer.
Sedangkan alat untuk uji mikrobiologi anata lain cawan petri, ose, kertas cakram, pinset,
autoklaf, mikropipet, inkubator dan shaker water bath.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dalam skala laboratorium di Balai Besar Riset Pengolahan Produk
dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta Pusat. Metode penelitian mengacu pada
metode yang digunakan oleh Murdinah (2007) dengan dimodifikasi pada penggunaan ekstrak
daun sirih merah sebagai antibakteri. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 2 kali ulangan.
Prosedur Penelitian
Pembuatan Ekstrak Daun Sirih Merah
Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi yaitu daun sirih merah segar dipotong-
potong, kemudian ditimbang, selanjutnya dilakukan maserasi menggunakan etanol 96%
sebanyak 1 : 20 selama 3 x 24 jam sambil dilakukan pengadukan sesekali kemudian disaring
dan ampas yang diperoleh kemudian dibilas dengan etanol sebanyak 13% dari total etanol yang
digunakan untuk maserasi. Hasil maserasi kemudian dilakukan proses penguapan
menggunakan rotatory evaporator dan water bath, dengan suhu 50˚C untuk menguapkan
etanol sehingga sampai diperoleh ekstrak kental daun sirih merah. Dilanjutkan dengan
Pengeringan beku (freeze drying) adalah salah satu metode pengeringan yang mempunyai
keunggulan dalam mempertahankan mutu hasil pengeringan.
Pembuatan Edible Film Antibakteri Berbasis Alginat
Alginat dilarutkan dalam air aquades yang dipanaskan diatas hotplate menggunakan
magnetic stirrer hingga larutan homogen selanjutnya secara bertahap dimasukkan pati mocaf
dengan pemanasan, dilakukan sampai larutan mencapai suhu 70 ˚C yang diukur menggunakan
thermometer kemudian ditambahkan beeswax dan plasticizer gliserol, tunggu sekitar 30 menit
hingga tercampur sempurna, setelah itu masukkan ekstrak antibakteri sirih merah kedalam
larutan dengan suhu 50 ˚C dan homogenisasi selama 15-30 menit. Pencetakan dilakukan di plat
kaca akrilik berukuran 16 x 16 cm (50 ml) menggunakan metode tuang. Setelah film dicetak,
dilakukan pengeringan dengan suhu ruang(27ºC) selama 3 hari.
Analisa Data
Data yang dihasilkan dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisa sidik
ragam (ANOVA) menggunakan program komputer microsoft excel kemudian ditampilkan
dalam bentuk tabel dan grafik.
(g/m2.24h)
3000
2000
1000
0
0 10 12,5 15
Konsentrasi (%)
Gambar 1. Grafik Laju Transmisi Uap Air Edible Film Antibakteri Berbasis Alginat
Berdasarkan Gambar 1, menunjukkan bahwa nilai laju transmisi uap air pada edible
film antibakteri berbasis alginat dengan konsentrasi yang berbeda menghasilkan laju
transmisi uap air yang berfluktuatif. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak sirih merah yang
digunakan, maka nilai laju transmisi uap air yang dihasilkan cenderung menurun.
Penurunan laju transmisi uap air edible film berbanding lurus dengan ketebalannya, makin
tebal makin sulit uap air untuk menembus edible film tersebut (Santoso et al., 2016). Untuk
mengetahui apakah perlakuan tersebut memengaruhi laju transmisi uap air edible film
maka dilakukan analisis lebih lanjut dengan menggunakan Uji ANOVA yang disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisis ANOVA laju transmisi uap air edible fim
Sumber Variasi Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat rata-rata F hitung
Perlakuan 3 808992,46 269664,1543 12,41
Galat 4 86940,99 21735,24845
Total 7 895933,46
Berdasarkan Tabel 2, didapatkan hasil bahwa nilai F hitung konsentrasi ekstrak sirih
merah lebih besar dari F tabel, yaitu 12,41 > 10,13 yang berarti H0 ditolak dan H1 diterima.
Sehingga dapat dikatakan konsentrasi ekstrak sirih merah yang digunakan berpengaruh
nyata terhadap laju transmisi uap air edible film yang dihasilkan. Hal ini disebabkan secara
fisik, kandungan pati dan ekstrak sirih sebagai bahan pengisi pada matrik edible film,
sehingga semakin tinggi konsentrasi maka matrik edible film semakin padat. Matrik edible
film yang padat menyebabkan uap air sulit untuk menembusnya, semakin sulit uap air
menembus suatu edible film maka nilai laju transmisi uap airnya semakin rendah. Selain
itu sifat hidrofilik dari pati dan penambahan plasticizer juga menjadi faktor penting yang
mempengaruhi laju transmisi uap air (Kusumawati & Putri, 2013).
b. Kelarutan
Kelarutan edibl film bertujuan untuk mengetahui kemampuan edible film untuk larut
dalam air dan untuk menahan air. Kelarutan merupakan sifat fisik edible film yang penting
karena berkaitan dengan kemampuan edible film untuk menahan air (Bourbon et al,.
2011). Kelarutan edible film dalam air merupakan persen berat kering edible film yang
telah dilarutkan dalam air selama 24 jam (Warkoyo et al., 2014). Hasil rata-rata analisis
kelarutan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis kelarutan edible film
Konsentrasi Kelarutan (%)
Ekstrak (%) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD
60,00
40,00
20,00
0,00
0 10 12,5 15
Konsentrasi (%)
5,00
Kuat Tarik (Mpa)
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
0 10 12,5 15
Konsentrasi (%)
Rata-rata nilai ketebalan edible film antibakteri berbasis alginat dengan konsentrasi
yang berbeda berkisar antara 0,069 ± 0,001 - 0,153 ± 0,006 mm, dengan nilai terendah 0,069 ±
0,001 mm pada konsentrasi ekstrak sirih merah 0% dan tertinggi 0,153 ± 0,006 mm pada
konsentrasi ekstrak sirih merah 15%.
0,200
Ketebalan (mm)
0,150
0,100
0,050
0,000
0 10 12,5 15
Konsentrasi (%)
e. Kecerahan
Derajat kecerahan suatu bahan merupakan kemampuan suatu bahan untuk
memantulkan cahaya yang mengenai permukaannya (Setiani,Sudiarti & Rahmidar, 2013).
Hasil rata-rata ketebalan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil analisis kecerahan edible film
Opacity (%)
Konsentrasi Rata-rata ± SD
Ekstrak (%) Ulangan 1 Ulangan 2
0 11,60 11,40 11,50 ± 0,14
10 9,05 14,60 11,83 ± 3,92
12,5 13,55 11,20 12,38 ± 1,66
15 28,40 24,15 26,28 ± 3,01
Rata-rata nilai kecerahan edible film antibakteri berbasis alginat dengan konsentrasi
yang berbeda berkisar antara 11,50 ± 0,14-26,28 ± 3,01%, dengan nilai terendah 11,50 ± 0,14%
pada konsentrasi ekstrak sirih merah 0% dan tertinggi 26,28 ± 3,01% pada konsentrasi ekstrak
sirih merah 15%.
30,00
25,00
Opacity (%)
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
0 10 12,5 15
Konsentrasi (%)
Berdasarkan Tabel 10, didapatkan hasil bahwa nilai F hitung konsentrasi ekstrak sirih
merah lebih besar dari F tabel, yaitu 15,22 > 10,13 yang berarti H0 ditolak dan H1 diterima.
Sehingga dapat dikatakan konsentrasi ekstrak sirih merah yang digunakan berpengaruh
nyata terhadap kecerahan edible film yang dihasilkan. Lindriant dan Arbiantara (2011)
menyatakan bahwa semakin tipis edible film maka akan semakin transparan. Hal tersebut
mengakibatkan peningkatan nilai pembacaan kecerahan (L) pada colour reader. Selain itu,
Ningsih (2015) menyatakan bahwa jenis bahan dasar yang digunakan akan mempengaruhi
warna edible film. Sehingga dapat disimpulkan bahwa edible film yang menggunakan jenis
anti bakteri yang berbeda dan konsentrasi anti bakteri yang berbeda pula maka akan
memberikan hasil kecerahan yang berbeda. Peningkatan konsentrasi ekstrak sirih merah
memeberikan nilai kecerahan yang semakin menurun sehingga terlihat semakin buram, hal
tersebut dikarenakan penambahan ekstrak sirih merah yang semakin besar menyebabkan
ketebalan edible film semakin meningkat karena jumlah total padatan terlarut dalam film
juga meningkat.
f. Elongasi
Elongasi merupakan persentase perubahan panjang film saat film ditarik hingga putus
(Estiningtyas & Heny, 2012). Elongasi dilakukan untuk mengetahui kemampuan
pemanjangan edible film, semakin tinggi nilai elongasinya maka kemasan edible film
semakin fleksibel dan plastis (Nuansa, Agustini & Susanto, 2018). Hasil rata-rata
ketebalan dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil analisis elongasi edible film
Elongasi (%)
Konsentrasi
Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD
Ekstrak (%)
0 20,60 19,42 20,01 ± 0,83
10 26,10 24,75 25,43 ± 0,95
12,5 26,04 25,33 25,69 ± 0,50
15 35,65 15,62 25,64 ± 14,16
Rata-rata nilai elongasi edible film antibakteri berbasis alginat dengan konsentrasi
yang berbeda berkisar antara 20,01 ± 0,83 - 25,69 ± 0,50%, dengan nilai terendah 20,01 ± 0,83%
pada konsentrasi ekstrak sirih merah 0% dan tertinggi 25,69 ± 0,50% pada konsentrasi ekstrak sirih
merah 12,5%.
30,00
25,00
Elongasi (%)
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
0 10 12,5 15
Konsentrasi (%)
Berdasarkan Tabel 12, didapatkan hasil bahwa nilai F hitung konsentrasi ekstrak sirih
merah lebih kecil dari F tabel, yaitu 0,51 < 10,13 yang berarti H0 diterima dan H1 ditolak.
Sehingga dapat dikatakan konsentrasi ekstrak sirih merah yang digunakan tidak
berpengaruh nyata terhadap elongasi edible film yang dihasilkan. Handito (2011)
menyatakan bahwa elongasi edible film yang tidak berbeda nyata antar konsentrasi bahan
disebabkan karena secara statistik konsentrasi tersebut belum memberikan pengaruh yang
nyata terhadap elongasi. Menurut Japanesse Industrial Standart (JIS), nilai elongasi
minimal adalah 5%. Maka, edible film yang dihasilkan pada penelitian ini sudah sesuai
dengan standar mutu yang telah ditetapkan oleh Japanesse Industrial Standart. Ningsih
(2015) mengemukakan bahwa persen pemanjangan edible film dipengaruhi oleh sifat dan
kandungan polimer penyusunnya. Edible film dengan nilai elongasi yang rendah
menunjukkan bahwa film tersebut kaku sehingga mudah patah dan tidak elastis (Salimah
& Ma’ruf, 2016).
g. Warna
Warna edible film sangat berpengaruh terhadap kenampakan dan penampilan produk
yang di kemas yang memengaruhi daya terima konsumen terhadap produk. Semakin cerah
edible film maka semakin bagus kualitas edible film (Afifah et al., 2018). Hasil rata-rata
ketebalan dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil analisis warna edible film
Konsentrasi Warna (dE*)
Ekstrak (%) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD
Rata-rata nilai warna edible film antibakteri berbasis alginat dengan konsentrasi yang
berbeda berkisar antara 7,05 ± 0,26 - 71,41 ± 0,95 dE*, dengan nilai terendah 7,05 ± 0,26 dE*
pada konsentrasi ekstrak sirih merah 0% dan tertinggi 71,41 ± 0,95 dE* pada konsentrasi ekstrak
sirih merah 15%.
80,00
Warna (dE*)
60,00
40,00
20,00
0,00
0 10 12,5 15
Konsentrasi (%)
Berdasarkan Tabel 14, didapatkan hasil bahwa nilai F hitung konsentrasi ekstrak sirih
merah lebih besar dari F tabel, yaitu 153,23 > 10,13 yang berarti H0 ditolak dan H1
diterima. Sehingga dapat dikatakan konsentrasi ekstrak sirih merah yang digunakan
berpengaruh nyata terhadap warna edible film yang dihasilkan. Edible film yang dihasilkan
pada penelitian ini memiliki permukaan yang transparan dan berwana merah kecoklatan,
semakin pekat seiring bertambahnya konsentrasi ekstrak sirih merah. Hal ini sesuai dengan
penelitian Nisa, Nugroho & Hendrawan (2014), yang menyatakan bahwa sifat fisik/ warna
ekstrak daun sirih merah berwarna merah kecoklatan. Warna merah kecoklatan yang
dihasilkan ari ekstrak daun sirih merah diakibatkan karena adanya kandungan flavonoid
yang ada dalam daun sirih merah yang memberi warna merah. Hal ini sesuai dengan Waji
(2009), yang menyatakan bahwa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol terbesar
yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, dan
biru, dan sebagian zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan.
a b
c d
e f
g h
Gambar 8. Morfologi Permukaan Edible Film Antibakteri Berbasis Alginat
(a) Konsentrasi 0% dengan pembesaran 1000x (b) Konsentrasi
0% dengan pembesaran 2000x (c) Konsentrasi 10% dengan
pembesaran 1000x (d) Konsentrasi 10% dengan pembesaran
2000x (e) Konsentrasi 12,5% dengan pembesaran 1000x (f)
Konsentrasi 12,5% dengan pembesaran 2000x (g) Konsentrasi
15% dengan pembesaran 1000x (h) Konsentrasi 15% dengan
pembesaran 2000x
18,00
Kadar Air
17,00
16,00
15,00
0 10 12,5 15
Konsentrasi (%)
25
Staphylococcus Aureus
20
Zona bening
15
(mm)
10
0
K(-) 10% 12,5% 15% K(+)
Konsentrasi
Tabel 18. Hasil zona bening edible film antibaktei berbasis alginat
Konsentrasi Zona hambat (mm) Rata-rata ± S.D.
Ekstrak Bakteri Escherichia coli
Ulangan 1 Ulangan 2
K (-) 0,0 0,0 0,0 ± 0,0
10% 6,8 6,4 6,6 ± 0,3
12,5% 7,0 6,6 6,8 ± 0,3
15% 7,1 6,8 7,0 ± 0,2
K (+) 18,2 18,3 18,2 ± 0,1
20
Zona Bening
10
0
K(-) 10% 12,5% 15% K(+)
Konsentrasi
14
Pseudomonas aeruginosa
12
10
Zona Bening
8
(mm)
6
4
2
0
K(-) 10% 12,5% 15% K(+)
Konsentrasi
15
10
5
0
K(-) 10% 12,5% 15% K(+)
Konsentrasi
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Hasil uji mutu fisik laju transmisi uap air, kelarutan, ketabalan, kecerahan dan warna
menunjukkan bahwa ada perbedaan nyata (α=0,05) terhadap karakteristik edible film
antibakteri berbasis alginat. Uji laju transmisi uap air, kelarutan dan ketebalan yang
terbaik adalah konsentrasi 15%. Uji kecerahan dan warna yang terbaik adalah
konsentrasi 0%. Uji kuat tarik dan elongasi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
nyata. Uji kuat tarik memiliki nilai terbaik yaitu pada konsentasi 0% dan uji elongasi
yang terbaik adalah pada konsentrasi 12,5%.
2. Hasil uji kimia berupa kadar air menghasilkan perbedaan yang nyata α=0,05,
edible film yang bersifat biodegradable dengan kandungan kadar air yang
tinggi akan mudah ditumbuhi oleh mikroba, karena adanya komponen nutrisi
dalam film seperti protein. Sebaliknya edible film dengan kadar air rendah
akan lebih tahan terhadap kerusakan mikrobiologis. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa jenis anti bakteri dengan konsentrasi anti bakteri yang
memiliki nilai kadar air yang paling baik adalah dengan konsentrasi 0%.
3. Hasil mutu mikrobiologi dengan pengamatan zona bening terhadap 4 baktei yang
bebeda yaitu Staphylococcus aureus, Eschericia coli, Pseudomonas aeruginosa dan
Salmonella sp. Menunjukkan bahwa konsentrasi 10%, 12,5% dan 15% dapat
menghambat pertumbuhan 4 bakteri, dengan daya hambat sedang.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, Y., & Priatni, A. (2018). Karakteristik edible film berbasis karagenan dan stearin
sawit sebagai kemasan pangan the characteristic of edible film based on carrageenan
and palm stearin for food packaging. J. Ris. Teknol. Ind., 12(2), 99-106.
Amaliya, R. R., & Putri, W. D. R. (2013). Karakterisasi edible film daripati jagung dengan
penambahan filtrat kunyit putih sebagai antibakteri [in press juli 2014]. Jurnal Pangan
dan Agroindustri, 2(3), 43-53.
Afifah, N., Sholichah, E., Indrianti, N., & Darmajana, D. A. (2018). PENGARUH
KOMBINASI PLASTICIZER TERHADAP KARAKTERISTIK EDIBLE FILM
DARI KARAGENAN DAN LILIN LEBAH-(The Effect of Plasticizer Combination on
Characteristics of Edible Film from Carrageenan and Beeswax). Biopropal Industri,
9(1), 49-60.
Bourbon, A. I., Pinheiro, A. C., Cerqueira, M. A., Rocha, C. M., Avides, M. C., Quintas, M.
A., & Vicente, A. A. (2011). Physico-chemical characterization of chitosan-based
edible films incorporating bioactive compounds of different molecular weight. Journal
of Food Engineering, 106(2), 111-118.
Bourtoom, T. (2007). Effect of some process parameters on the properties of edible film
prepared from starch. Department of Material Product Technology. Songkhala.
Diova, D. A., Darmanto, Y. S., & Rianingsih, L. (2013). Karakteristik edible film komposit
semirefined karaginan dari rumput laut Eucheuma cottonii dan beeswax. Jurnal
Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan, 2(4), 1-10.
Eriningsih, R., Marlina, R., Mutia, T., Sana, A. W., & Titis, A. (2014). Eksplorasi kandungan
pigmen dan alginat dari rumput laut coklat untuk proses pewarnaan kain sutera. Arena
Tekstil, 29(2).
Estiningtyas, Heny R., d. 2012. Aplikasi edible film maizena dengan penambahan ekstrak jahe
sebagai antioksidan alami pada coating sosis sapi. Jurnal Biofarmasi 10 (1), 7-16.
Handito, D. (2011). Pengaruh Konsentrasi Karagenan Terhadap Sifat Fisik Dan Mekanik
Edible Film (the Effect of Carrageenan Concentrations on Mechanical and Physical
Properties of Edible Films). Agroteksos.
Kragović, M., Daković, A., Marković, M., & Petković, A. (2016). Kinetic of thermal
degradation of alginate-zeolite composites. Zaštita materijala, 57(4), 559-564.
Kusuma, W. I., Santosa, G. W., & Pramesti, R. (2013). Pengaruh Konsentrasi NaOH yang
Berbeda Terhadaap Mutu Agar Rumput Laut Gracilaria verrucosa. Journal of marine
research, 2(2), 120-129.
Kusumawati, D. H., & Putri, W. D. R. (2013). Karakteristik fisik dan kimia edible film pati
jagung yang diinkorporasi dengan perasan temu hitam. Jurnal Pangan dan
Agroindustri, 1(1), 90-100.
Kusumawati, D. H., & Putri, W. D. R. (2013). Karakteristik fisik dan kimia edible film pati
jagung yang diinkorporasi dengan perasan temu hitam. Jurnal Pangan dan
Agroindustri, 1(1), 90-100.
Lestari ABS, D. Y. 2014. Aktivitas antioksidan ek-strak daun sirih merah (Piper crocatum)
hasil optimasi pelarut etanol-air. Ilmu Kefarma-sian Indonesia 12(1): 75-79.
Lindrianti, T., & Arbiantara, H. (2011). Pengembangan proses compression molding dalam
pembuatan edible film dari tepung koro pedang (Canafalia ensiformis L.). Jurnal
Teknologi dan Industri Pangan, 22(1), 53-57.
Ningsih, S. H. (2015). Pengaruh plasticizer gliserol terhadap karakteristik edible film
campuran whey dan agar (Doctoral dissertation).
Nisa, G. K., Nugroho, W. A., & Hendrawan, Y. (2014). Ekstraksi daun sirih merah (Piper
crocatum) dengan metode Microwave Assisted Extraction (MAE). Jurnal Bioproses
Komoditas Tropis, 2(1), 72-78.
Nuansa, M. F., Agustini, T. W., & Susanto, E. (2018). Karakteristik dan Aktivitas Antioksidan
Edible Film dari Refined Karaginan dengan Penambahan Minyak Atsiri. Jurnal
Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan, 6(1), 54-62.
Nurfarjin, Z. D. (2015, April). Karakterisasi dan Sifat Biodegradasi Edible Film dari Pati Kulit
Pisang Nangka (Musa Paradisiaca L.) dengan Penambahan Kitosan dan Plasticizer
Gliserol. In Seminar Nasional Teknik Kimia Kejuangan (pp. 1-1).
Pasril, Y., & Yuliasanti, A. (2014). Daya Antibakteri Ekstrak Daun Sirih Merah (Piper
Crocatum) terhadap Bakteri Enterococcus Faecalis sebagai Bahan Medikamen Saluran
Akar dengan Metode Dilusi Anti-Bacterial Power of Red Batel Leaves (Piper
Crocatum) to Enterococcus Faecalis Bacteria as Medi. Insisiva Dental Journal:
Majalah Kedokteran Gigi Insisiva, 3(1), 88-95.
Puspita, P. J., Safithri, M., & Sugiharti, N. P. (2018). Antibacterial Activities of Sirih Merah
(Piper crocatum) Leaf Extracts. Current Biochemistry, 5(3), 1-10.
PUTRA, A. S. P., ALI, A., & EFENDI, R. (2017). Karakteristik edible film pati tapioka dengan
penambahan minyak atsiri daun jeruk purut sebagai antibakteri. Jurnal Sagu, 16(1), 13-
20.
Rusli, A., Metusalach, S., & Tahir, M. M. (2017). Karakterisasi edible film karagenan dengan
pemlastis gliserol. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 20(2), 219-229.
Salimah, T., & Ma'ruf, W. F. (2016). Pengaruh Transglutaminase Terhadap Mutu Edible Film
Gelatin Kulit Ikan Kakap Putih (Lates Calcalifer). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi
Hasil Perikanan, 5(1), 49-55.
Santoso, B., Marsega, A., Priyanto, G., & Pambayun, R. (2016). Perbaikan sifat fisik, kimia,
dan antibakteri edible film berbasis pati Ganyong. Agritech, 36(4), 378-386.
Setiani, W., Sudiarti, T., & Rahmidar, L. (2013). Preparasi dan karakterisasi edible film dari
poliblend pati sukun-kitosan. Jurnal Kimia Valensi, 3(2).
Setyaningrum, A., Sumarni, N. K., & Hardi, J. (2017). Sifat Fisiko-Kimia Edible Film Agar–
Agar Rumput Laut (Gracilaria sp.) Tersubtitusi Glyserol. Natural Science: Journal of
Science and Technology, 6(2).
Warkoyo, W., Rahardjo, B., Marseno, D. W., & Karyadi, J. N. W. (2014). Sifat fisik, mekanik
dan barrier edible film berbasis pati umbi kimpul (Xanthosoma sagittifolium) yang
diinkorporasi dengan kalium sorbat. Agritech, 34(1), 72-81.