Anda di halaman 1dari 3

Melihat Foto Gus Dur di Ponpes Papua Ini, Seluruh Suku Tunduk Tidak Jadi Usir Kiai Pesantren

Admin Thursday, July 6, 2017 Karomah

Silahkan Share Di Facebook

Silahkan Tweet Di Twitter

Cerita berawal dari profesi saya sebagai penjual ayam, yang alhamdulillah lumayan sukses.
Banyak masyarakat Papua, baik pendatang maupun asli sana yang jadi pelanggan ayam saya.
Namun, dalam menyembelih ayam-ayam itu, mereka masih belum dikatakan sempurna secara
syar'i.

Dari situlah awal saya memberikan sedikit demi sedikit arahan soal menyembelih hewan.
Alhamdulillah banyak yang meniru. Di Papua sini komunitas muslim sangat minoritas.
Sebetulnya banyak kelompok Islam baru yang bermunculan, namun berhaluan keras. Sehingga
masyarakat asli merasa terusik dan tentu tidak begitu tertarik atas kehadiran mereka.

Karena itulah ketika kami membangun Pondok Pesantren Madrasatul Qur'an (PPMQ) di Papua
Barat, mereka mengira bahwa kami sama dengan komunitas muslim garis keras yang tidak
simpatik kepada orang Papua dan juga adat Papua. Berkat pertolongan Allah, alhamdulillah
lama-kelamaan mereka mengetahui siapa kami dan bahkan mau belajar Al-Quran kepada kami,
yang hanya penjual ayam ini.

Saya tidak punya ilmu Al-Quran sebaik dan sepandai sahabat-sahabat santri lain. Saya hanya
bisa alif ba', ta'. Namun semua aktivitas mengajar Qur'an kami lakukan dengan ikhlas, sesuai
nasihat Romo Kiai Yusuf Masyhar.

Awal berdiri, semua menolak kehadiran PPMQ Al-Qalam. Bahkan dari pihak lintas gereja pun
menolak keras (maaf, saya ngetik ini sambil menangis karena ingat waktu itu). Majelis Rakyat
Papua juga menolak.

Kami dikepung. Tempat kami dikelilingi pelbagai macam sajam, tombak, panah, parang dan
lainnya, hendak mengusir kami dari bumi Papua. Mereka pun merangsek masuk ke dalam
pondok, ke ruang utama. Di saat itulah mereka melihat logo NU, foto Gus Dur, Kalender
Tebuireng dan MQ, serta foto Mbah Hasyim dan lainnya.
Melihat semua itu, kepala suku besar berteriak ke orang-orang sudah siap dengan senjatanya di
luar pondok, "Berhenti, kau punya pesantren ada hubungan apa dengan Tebuireng dan foto-foto
ini?". Saya hanya diam tidak menjawab. Kondisi saat itu benar-benar mencekam.

Setelah itu, mereka meletakkan senjata semua. Duduk dengan hormat mengikuti kepala suku
besarnya. Mereka berteriak, "Gus Dur... Gus Dur,.. kita punya orang tua... NU kita punya
saudara...". Ya Allah ya Rabb.

Lalu mereka berkata langsung ke saya, "Pak ustadz, mulai detik ini kami yang menjaga
pesantren ini, kami yang jaga". Lalu mereka berteriak bersama-sama tanda mendukung.

Alhamdulillah sampai detik ini pesantren kita berdiri, dengan dukungan mereka, sahabat kami
semua, yang mengakui dan tunduk menghormati Gus Dur sebagai orang tua. Masyaallah.
Terimakasih kepada kepala suku, Gus Dur dan NU.

Sahabatku semua, ini kisah nyata yang kami alami di Papua Barat. Banyak yang belum saya
ceritakan. Insyaallah lain waktu saja. Doa, berkah, serta ridho guru-guru kita di pondok
pesantren sangatlah penting. Sekali lagi, berpeganglah pada Al-Quran dan berdakwalah dengan
akhlak yang sejuk. Semua akan membantu. [dutaislam.com/ab]

Sumber : dutaislam.com

Anda mungkin juga menyukai