Anda di halaman 1dari 32

Konsep dasar dan proses terjadinya penyakit dalam epidemiologi

berkembang dari rantai sebab akibat menuju suatu proses kejadian penyakit yaitu

proses interaksi antara manusia (pejamu) dengan berbagai sifatnya (biologis,

fisiologis, psikologis, sosiologis dan antropologis), dan dengan penyebab (agent)

serta lingkungan (enviroment). Menurut John Gordon, model segitiga

epidemiologi menggambarkan interaksi tiga komponen penyakit yaitu manusia

(Host), penyebab (Agent) dan lingkungan (Enviroment). Penyakit dapat terjadi

karena adanya ketidakseimbangan antar ketiga komponen tersebut. Model ini

lebih dikenal dengan model segitiga epidemiologi atau trias epidemiologi dan

cocok untuk menerangkan penyebab penyakit infeksi sebab peran agent (yakni

mikroba) mudah diisolasikan dengan jelas dari lingkungan.65,67

Gambar 27. Segitiga Epidemiologi.65

Adapun faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan seseorang dalam ilmu

epidemiologi dikenal dengan segitiga epidemiologi yaitu Agent-Host-

Environment (AHE). Segitga epidemiologi ini sangat umum digunakan oleh para

ahli dalam menjelasakan kosep berbagai permasalahan kesehatan termasuk salah


satunya adalah terjadinya penyakit. Hal ini sangat komprehensif dalam

memprediksi suatu penyakit. Terjadinya suatu penyakit sangat tergantung dari

keseimbangan dan interaksi ke tiganya.67,68

1) Agent (Agen)

Agent dapat berasal dari berbagai unsur seperti unsur biologis yang

disebabkan oleh mikroorganisme, unsur nutrisi karena bahan makanan yang tidak

memenuhi standar gizi yang ditentukan, unsur kimiawi yang disebabkan karena

bahan dari luar tubuh maupun dari dalam tubuh sendiri, unsur fisika, serta unsur

psikis atau genetik yang terkait dengan heriditer atau keturunan. Demikian juga

dengan unsur kebiasaan hidup (rokok, alkohol), perubahan hormonal dan unsur

fisioloigis seperti kehamilan, persalinan, dan lain-lain.69,40

Community Acquired Pneumonia (CAP) memiliki dua tipe etiologi, tipikal

dan atipikal.71 Pneumonia tipikal dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri

mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, seperti Streptococcus

pneumoniae,  Haemophilus influenzae dan  Moraxella catarrhalis.72 Pneumonia

atipik lebih sering mengenai anak dan dewasa muda serta pneumonia ini sulit

untuk menemukan mikroorganisme penyebabnya karena tidak dapat tumbuh pada

media kultur biasa.73 Di negara dengan fasilitas laboratorium yang memadai

ternyata pneumonia atipik sering dijumpai, 7-55% dari CAP disebabkan oleh

kuman atipik, baik sendiri maupun campuran. Mikroorganisme yang sering

menyebabkan pneumonia atipik adalah Legionella, Mycoplasma,

Chlamydia pneumoniae,  C. Psittaci, virus influenza tipe A dan B.73


Adapun karakteristik dari agen berupa :74

a. Infektivitas

Kesanggupan dari organisme untuk beradaptasi sendiri terhadap

lingkungan dari penjamu untuk mampu tinggal dan berkembangbiak (multiply)

dalam jaringan penjamu. Umumnya diperlukan jumlah tertentu dari suatu

mikroorganisme untuk mampu menimbulkan infeksi terhadap penjamunya.

minimum infectious dose adalah jumlah minimal organisme yang dibutuhkan

untuk menyebabkan infeksi. Jumlah ini berbeda antara berbagai spesies mikroba

dan antara individu.74

b. Patogenensis

Kesanggupan organisme untuk menimbulkan suatu reaksi klinik khusus

yang patologis setelah terjadinya infeksi pada penjamu yang diserang. Dengan

perkataan lain, jumlah penderita dibagi dengan jumlah orang yang terinfeksi.

Hampir semua orang yang terinfeksi dengan virus smallpox menderita penyakit

(high pathogenenicity), sedangkan orang yang terinfeksi poliovirus tidak semua

jatuh sakit (low pathogenenicity).74

c. Virulensi

Kesanggupan organisme tertentu untuk menghasilakan reaksi patologis

yang berat yang selanjutnya mungkin menyebabkan kematian. Virulensi kuman

menunjukkan beratnya (severity) penyakit.74

d. Toksisitas
Kesanggupan organisme untuk memproduksi reaksi kimia yang toksis dari

substansi kimia yang dibuatnya. Dalam upaya merusak jaringan untuk

menyebabkan penyakit, berbagai organisme mengeluarkan zat toksis.70

e. Antigenisitas

Kesanggupan organisme untuk merangsang reaksi imunologis dalam

penjamu. Beberapa organisme mempunyai antigenesitas lebih kuat dibanding

yang lain.70

f. Invasitas

Kemampuan organisme untuk melakukan penetrasi dan menyebar setelah

memasuki jaringan.73 Pada CAP dan TB, invasi dari bakteri melalui airborne

droplets dari satu orang ke orang lain dalam populasi tertutup. 75 Mycobacterium

tuberculosis bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen, sehingga

senang tinggal di daerah apeks paru yang kandungan oksigennya tinggi. Kuman

TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup

beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab.70

2) Host (Pejamu)

Host atau penjamu ialah keadaan manusia yang sedemikan rupa sehingga

menjadi faktor risiko untuk terjadinya suatu penyakit. Faktor ini disebabkan oleh

faktor intrinsik. Faktor penjamu yang biasanya menjadi faktor timbulnya suatu

penyakit sebagai berikut :69-70,77

a. Umur

Misalnya, usia lanjut lebih rentan untuk terkena penyakit karsinoma,

jantung dan lain lain daripada yang usia muda.


b. Genetik (Hubungan Keluarga)

Misalnya penyakit yang menurun seperti hipertensi, diabetes mellitus,

hemofilia, buta warna, sickle cell anemia, dan lain-lain.

c. Keadaan Imunitas dan Respons Imunitas.

d. Kebiasaan Hidup dan Kehidupan Sosial dari Host Sendiri

Seperti kebiasaan minum alkohol, narkoba dan merokok.

e. Jenis Kelamin

Frekuensi penyakit pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan pada wanita

dan penyakit tertentu seperti penyakit pada kehamilan serta persalinan hanya

terjadi pada wanita sebagaimana halnya penyakit hipertrofi prostat hanya dijumpai

pada laki-laki.

f. Ras

Hubungan antara ras dan penyakit tergantung pada tradisi, adat istiadat dan

perkembangan kebudayaan. Terdapat penyakit tertentu yang hanya dijumpai pada

ras tertentu seperti sickle cell anemia pada ras Negro.

g. Status Nutrisi

Gizi yang buruk mempermudah seseorang menderita penyakit infeksi

seperti TBC dan kelainan gizi sepeerti obesitas, kolesterol tinggi dan lainnya.

h. Adat-Istiadat

Ada beberapa adat-istiadat yang dapat menimbulkan penyakit seperti

kebiasan makan ikan mentah dapat menyebabkan cacing hati.

i. Psikis
Faktor kejiwaan seperti emosional, stress dapat menyebabkan terjadinya

penyakit hipertensi, ulkus peptikum, depresi, insomnia dan lainnya.

Pada kasus ini, pasien lebih rentan menderita CAP karena memiliki

faktor risiko berupa usia dan status nutrisi. Usia adalah faktor risiko yang terkenal

untuk CAP, terutama pada orang tua. Usia juga dapat memodifikasi atau

berinteraksi dengan faktor -faktor lain pada orang tua. Status nutrisi yang buruk,

yang dalam penelitian yang berbeda mencakup hipoalbuminemia,

hipoproteinemia, malnourishment, atau skor nutrisi yang rendah, merupakan

prediktor CAP yang kuat.78

Sedangkan faktor risiko yang dapat meningkatkan infeksi

Mycobacterium tuberculosis selain droplet individu ke individu, populasi lain

dengan risiko peningkatan risiko M. tuberculosis adalah tunawisma, penyalahguna

narkoba dan alkohol, tahanan, dan orang yang terinfeksi virus human

immunodeficiency virus (HIV). Karena sulit untuk memberantas penyakit pada

pasien ini, penyebaran infeksi ke populasi lain, termasuk petugas kesehatan,

menimbulkan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan. Ini terutama berlaku

untuk M. tuberculosis yang resistan terhadap obat karena pasien yang menerima

pengobatan yang tidak memadai mungkin tetap menular untuk waktu yang lama.79

3) Environment (Lingkungan)

Faktor lingkungan adalah faktor yang ketiga sebagai penunjang terjadinya

penyakit, hal ini karena faktor ini datangnya dari luar atau bisa disebut dengan

faktor ekstrinsik. Faktor lingkungan terdiri: 69,77

a. Lingkungan Biologis
Bersifat biotik atau benda hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, virus,

bakteri, jamur, parasit, serangga dan lain-lain yang dapat berfungsi sebagai agen

penyakit, reservoir infeksi vektor penyakit atau pejamu (host) intermediate.

Hubungan manusia dengan lingkungan biologisnya bersifat dinamis dan bila

terjadi ketidakseimbangan antara hubunganmanusia dengan lingkungan biologis

maka manusia akan menjadi sakit.

b. Lingkungan Fisik

Bersifat abiotik atau benda mati seperti air, udara, tanah, cuaca, makanan,

rumah, panas, sinar, radiasi dan lain-lain.

c. Lingkungan Sosial Ekonomi

Berupa kultur, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap, standar

dan gaya hidup, pekerjaan, kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial dan

politik. Manusia dipengaruhi oleh lingkungan sosial melalui berbagai media

seperti radio, TV, pers, seni, literatur, cerita, lagu dan sebagainya. Bila manusia

tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosial, maka akan terjadi

konflik kejiwaan dan menimbulkan gejala psikosomatik seperti stress, insomnia,

depresi dan lainnya.

Hubungan antara agent-host-environment pada kasus ini dibahas sebagai

berikut :

1. Faktor Risiko Internal (Host/Penjamu)

a. Usia

Penuaan memiliki efek penurunan pada berbagai mekanisme perlindungan

host di paru, antara lain pada barier mekanik, aktivitas fagosit, imunitas humoral
dan sel T. Perubahan spesifik lainnya adalah menurunnya fungsi sel B dan T

perifer yang bersifat antigen spesifik. Fungsi dari sel natural killer (NK),

makrofag, dan neutrofil juga menurun pada usia lanjut. 80 Usia pasien 59 tahun

yang merupakan usia pra lansia yang menjadi faktor risiko terjadinya CAP, TB

maupun gagal jantung.

Risiko CAP meningkat seiring dengan meningkatnya usia pasien. Usia

lanjut ditentukan berdasarkan umur lebih atau sama dengan 60 tahun.

Meningkatnya risiko dan angka kejadian pada kelompok usia yang lebih lanjut ini

memiliki hubungan dengan beberapa faktor risiko serta komorbiditas. Akan tetapi

penurunan imunitas atau fungsi paru juga dapat terjadi. Pada usia lanjut,

mekanisme mukosiliar dari jalan napas menjadi kurang efisien.80

Pada populasi lanjut usia, CAP tetap menjadi satu-satunya penyebab

kematian paling umum dari penyakit menular.81 Penelitian Rini Sri Agusti

melakukan penelitian untuk mengathui faktor risiko apa saja yang dapat

meningkatkan kejadian CAP pada pasien yang berobat di Poli Paru RSUD

Pirngadi Medan pad tahun 2020, faktor usia mendapatkan nilai p sebesar 0,042

(p<0,05) pada hasil analisis uji statistik chi square. Sehingga, dapat disimpulkan

bahwa terdapat hubungan bermakna antara faktor risiko usia dengan kejadian

CAP.80 Hal ini juga didukung studi oleh Maria Certan dkk yang diterbitkan pada

tahun 2022, terdapat karakteristik pasien yang berumur > 65 tahun memiliki odd

ratio (OR) sebesar 1,23, yang artinya kemungkinan dapat meningkatkan risiko

1,23 kali lipat terjadinya CAP.82

Pada TB, kelompok umur penderita yang paling banyak adalah umur
antara 55-65 tahun. Kelompok umur ini didapatkan dari hasil penelitian Tarmizi

dkk pada tahun 2018. Kelompok umur ini bukan lagi tergolong usia produktif dan

termasuk golongan umur yang rentan terhadap penyakit, namun hasil observasi di

lapangan rata-rata responsden yang termasuk golongan umur di atas masih aktif

bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup. Dengan keadaan yang rentan penyakit

dan masih harus bekerja memungkinkan mereka untuk menderita TB Paru.83

Seperti pada kasus ini, pasien termasuk kelompok usia tidak produktif, tetapi

beliau terkadang masih bekerja menjual sayur ke pasar. Akan tetapi kemungkinan

untuk terinfeksi Mycobacterium tuberculosis, berdasarkan penelitian yang

dilakukan Erawati tahun 2020, usia tidak menjadi faktor risiko terjadinya TB. Hal

ini dibuktikan dari data OR yang didapat yakni 0,93, artinya usia secara

signifikan tidak meningkatkan risiko terjadinya TB.83

Pada gagal jantung, distribusi penyakit Congestive Heart Failure atau

gagal jantung kongestif diketahui meningkat pada usia 40 tahun ke atas. Hasil

analisis ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kelompok

usia responsden yang paling banyak menderita CHF di RS Wahidin Sudirohusodo

dan RS Stella Maris Makassar dari 40 responsden adalah pada kelompok usia

dewasa yaitu 41-50 tahun sebesar 37,5%.84

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin tidak berpengaruh sebagai faktor risiko terjadinya CAP. Hal

ini dibuktikan dari penelitian Jen-Tzer Gau dkk, tahun 2010, jenis kelamin

memiliki OR 1.01 yang artinya secara statistik, faktor jenis kelamin tidak

signifikan meningkatkan kejadian CAP.85


Kasus TB paru paling banyak terjadi pada laki-laki di banding perempuan

dengan angka kejadian 35 kasus dan nilai Odds Ratio 2,7 yang menyatakan

bahwa laki-laki 2,7 kali lebih berisiko di banding perempuan. Hal ini disebabkan

karena laki-laki memiliki mobilitas yang lebih tinggi di banding perempuan dan

juga kebiasaan buruk lainnya seperti merokok dan mengonsumsi alkohol yang

dapat menyebabkan sistem imunitas menurun sehingga dapat memudahkan laki-

laki terinfeksi TB paru.87

Usia memang merupakan faktor resiko dari penyakit gagal jantung. Akan

tetapi, peranan faktor risiko usia harus ditinjau dari faktor jenis kelamin. Hal ini

dikarenakan secara jenis kelamin, kerentanan seseorang terhadap penyakit gagal

jantung dipengaruhi oleh peranan hormon perempuan yaitu estrogen yang bersifat

memproteksi perempuan dari berbagai penyakit kardiovaskuler. Oleh karenanya

laki-laki rentan terhadap penyakit gagal jantung pada usia 50 tahun sedangkan

perempuan pada usia 65 tahun atau setelah menopause.87 Pada kasus ini, berbeda

dengan teori dimana pasien berjenis kelamin perempuan. Meskipun kebanyakan

faktor jenis kelamin laki-laki, tetap tidak menutup kemungkinan perempuan dapat

terserang penyakit CAP, TB maupun gagal jantug.

c. Status Gizi

Pasien memiliki status gizi underweight dengan BMI 14.5. Penelitian yang

dilakukan Anna M. Berley dkk pada tahun 2017, didapatkan data bahwa obesitas

lebih sering terjadi pada orang dewasa <65 tahun; 67% dengan obesitas dan 81%

dengan obesitas ekstrim adalah orang dewasa berusia <65 tahun. Asma (41%) dan

diabetes (44%) paling umum di antara orang dewasa dengan obesitas ekstrem,
sedangkan PPOK (37%) dan imunosupresi (26%) paling umum di antara orang

dewasa yang kekurangan berat badan. Meskipun tidak ada istilah interaksi yang

signifikan yang diamati antara usia, atau PSI dan BMI pada model dewasa, dalam

analisis usia yang bertingkat, hubungan antara kekurangan berat badan dan lama

tinggal di rumah sakit hanya signifikan di antara orang dewasa berusia 50-64

tahun. Usia pasien berumur 59 tahun dan lama perawatan di rumah sakit selama 6

hari sehingga masih ada keterkaitan antara status gizi dengan kejadian CAP. Dari

penelitian ini juga, didapatkan OR BMI underweight dengan lama perawatan

lebih dari 3 hari yakni, 1.59. Underweight dapat meningkatkan 1.59 kali lipat

kejadian CAP.88

Pasien mempunyai BB 35 kg, TB 155 cm, BBI 49.5 kg, dan IMT 14,5

(<18,5 kg/m2) yang menandakan underweight/status gizi kurang. Berdasarkan

Pedoman Pelayanan Gizi pada Pasien TB, intervensi yang dapat diberikan bagi

kelompok dewasa adalah pemenuhan energi sebanyak 35 – 40 kkal/kgBB ideal,

dengan kebutuhan protein sebanyak 15% dari total energi, lemak sebanyak 20-

25% dari total energi, dan karbohidrat sebanyak 60-70% total energi, atau 40-50%

untuk mengurangi dampak metabolisme. Oleh karena itu, kalori yang dibutuhkan

pasien perhari adalah 1700 kkal. Kebutuhan harian pasien adalah karbohidrat

1.020 kkal, lemak 340 kkal dan protein sebanyak 255 kkal yang bisa didapatkan

dari makanan harian seperti nasi, ikan, sayur dan buah. Diiringi dengan konsumsi

multivitamin yang sudah diberikan dan cairan yang cukup. Hidrasi/pemberian

cairan yang cukup pada pasien dengan pola minum minimal 8 gelas (2 liter) sehari

namun pada psien dibatasi menjadi 4 gelas sehari akibat dari gagal jantung.89
Aspek yang perlu dimonitor dan evaluasi setelah intervensi gizi diberikan

adalah perbaikan asupan makanan mencapai >80% kebutuhan, perubahan BB dan

status gizi menjadi normal dan perubahan pola makan dan variasi pemilihan bahan

makanan.65 Pada pasien ini riwayat imunisasi tidak diketahui. Pasien mengaku

mengalami penurunan berat badan sejak 1 tahun yang lalu, yang mengakibatkan

penurunan status gizi pasien menjadi gizi kurang. Gizi kurang berpengaruh

terhadap daya tahan tubuh pasien dalam melawan penyakit, seperti agen penyebab

TB dan pneumonia.79

Pada kondisi gizi kurang atau gizi buruk dapat semakin memperlemah

kekebalan tubuh, sehingga meningkatkan kemungkinan TB laten berkembang

menjadi penyakit aktif bahkan sebaliknya. Beberapa kondisi pasien TB aktif

berada dalam kondisi katabolik, mengalami penurunan berat badan dan

memperlihatkan gejala kekurangan vitamin dan mineral pada saat diagnosis.

Penurunan berat badan dapat disebabkan beberapa faktor antara lain asupan

makan berkurang karena hilangnya nafsu makan, mual, nyeri perut, kehilangan

unsur hara karena muntah dan diare serta perubahan metabolik yang disebabkan

oleh penyakit.90

Status nutrisi merupakan salah satu faktor yang menentukan fungsi seluruh

sistem tubuh termasuk sistem imun, dan dibutuhkan manusia untuk memproteksi

tubuh. Bila daya tahan tubuh sedang rendah, kuman TB paru akan mudah masuk

ke dalam tubuh. Kuman ini akan berkumpul dalam paru-paru kemudian

berkembang biak. Tetapi, orang yang terinfeksi kuman TB paru belum tentu

menderita TB paru. Hal ini bergantung pada daya tahan tubuh orang tersebut.
Apabila, daya tahan tubuh kuat maka kuman akan terus tertidur di dalam tubuh

(dorman) dan tidak berkembang menjadi penyakit namun apabila daya tahan

tubuh lemah maka kuman TB akan berkembang menjadi penyakit. Penyakit TB

paru lebih dominan terjadi pada masyarakat yang status gizi rendah karena sistem

imun yang lemah sehingga memudahkan kuman TB masuk dan berkembang

biak.90

d. Adanya Komorbiditas

CAP mewakili beban penyakit yang berat pada kelompok tertentu, dengan

infeksi yang lebih tinggi dan tingkat kematian yang terlihat pada pasien berisiko

tinggi dan imunokompromis seperti HIV, pasien dengan gangguan menelan

dengan aspirasi atau dalam penggunaan obat sedatif, penyakit paru obstruktif

kronis (PPOK), asma serta penyakit kardiovaskular kronis. Pada penelitian Irene

dkk di tahun 2019, menemukan pasien dengan PPOK, memiliki OR 2,97 yang

artinya dapat meningkatkan risiko kejadian CAP sebesar 2,97 kali lipat, sementara

pada pasien dengan asma, OR 2,16 untuk asma yang artinya dapat meningkatkan

risiko kejadian CAP sebesar 2,16 kali lipat.90

Adanya riwayat penyakit kardiovaskular kronis sebelumnya juga telah

dijelaskan sebelumnya dapat meningkatkan risiko CAP hingga tiga kali lipat.78

Hal ini seperti yang terjadi pada pasien, dimana pasien memiliki gagal jantung.

Alasan mengapa pasien dengan gagal jantung lebih rentan terhadap pneumonia

daripada orang lain yakni bermacam-macam.91 Terdapat hal yang bersifat

nonspesifik dan spesifik. Faktor predisposisi nonspesifik termasuk komorbiditas

seperti penyakit paru obstruktif kronik dan penyakit ginjal kronis dan kontributor
beragam lainnya yang terkait dengan usia yang lebih tua, mulai dari kesehatan

mulut yang buruk melalui kekurangan gizi hingga penurunan imunitas yang

diperantarai sel. Namun, akumulasi cairan alveolar mungkin merupakan

mekanisme spesifik pada pasien dengan gagal jantung, yang dapat mengganggu

pembersihan bakteri dan mengganggu pertahanan lokal terhadap infeksi.91

Pada penelitian di South East Ethiopia didapatkan bahwa orang yang

mengidap status HIV positif berisiko 11,70 kali terhadap kejadian tuberkulosis.

Sedangkan menurut penelitian Jyothi dkk yang memiliki Diabetes 1,53 dan

riwayat asma 2,53 kali terhadap kejadian tuberkulosis.80

e. Perilaku Gaya Hidup

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara

merokok dengan CAP, baik pada perokok aktif maupun yang memiliki riwayat

merokok maupun perokok pasif. Hal ini dikarenakan terganggunya fungsi epitel

respiratorik dan mekanisme pembersihan mikroorganisme dari saluran napas.

Risiko penyakit pneumokokal menurun 14% untuk setiap tahun setelah seseorang

berhenti merokok, dan kembali ke tingkat yang sama dengan seseorang yang tidak

pernah merokok setelah kurang lebih 13 tahun. Pada kelompok orang yang tidak

merokok, risiko meningkat dengan meningkatnya durasi paparan pasif terhadap

asap rokok.80 Pasien tidak merokok, tetapi anak pasien serta penjual di pasar

merupakan perokok aktif, sehingga pasien merupakan perokok pasif yang dapat

meningkatkan kejadian terjadinya penyakit.

Faktor perilaku adaah kebiasaan yang bisa diubah dengan pemahaman dan

komitmen untuk menjalani hidup sehat. Kebiasaan yang berisiko menularkan TB


adalah batuk yang tidak menutup mulut dan meludah di sembarang tempat. Sesuai

dengan sifat kuman TB dapat ditularkan melalui percikan dahak (droplet) bahan

setiap kali batuk dapat mengeluarkan sekitar 3000 partikel kuman dan dapat

bertahan hidup di lingkungan yang gelap dan lembab. Tata cara etika batuk yang

benar yaitu menggunakan masker setiap saat, tidak meludah pada tempat

sembarangan, segera membuat tisu yang sudah di pakat ke dalam tempat sampah,

cuci tangan menggunakan air bersih dan sabun serta menutup mulut dan hidung

dengan lengan atas bagian dalam atau menggunakan tisu saat batuk. Anjuran

penggunaan masker ketika berada dalam jarak 3 kaki dari penderita tuberkulosis

merupakan tindakan kewaspadaaan universal yang perlu dilakukan oleh siapapun

yang memiliki kontak erat dengan pasien tuberculosis.92 Menurut Alcorn, perilaku

memakai masker pada penderita TB lebih ditujukan untuk mengurangi tingkat

penularan kepada orang lain, hal ini diperkuat oleh Aditama, bahwa penderita TB

disarankan menggunakan masker dalam mencegah terjadinya penularan terhadap

orang di sekitarnya. Walaupun tidak berhubungan secara langsung antara perilaku

mencegah tertular infeksi tambahan, namun tidak melaksanakan perilaku

mencegah tertular infeksi tambahan memungkinkan penderita TB akan mudah

tertular oleh penyakit lainnya terutama infeksi yang penularannya melalui saluran

pencernaan (fecal-oral) dan udara (air born). Hal ini terjadi karena daya tahan

tubuh penderita TB cenderung lemah. 93 Sedangkan pada pasien ini memiliki

kebiasaan jarang menggunakan masker saat bekerja dan tidak menerapkan etika

batuk.

f. Kondisi Biologis
Community Acquired Pneumonia (CAP) memiliki dua tipe etiologi, tipikal

dan atipikal. Pneumonia tipikal dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri

mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, seperti Streptococcus

pneumoniae, Haemophilus Influenzae, Moraxella catarrhalis.73 Pneumonia atipik

lebih sering mengenai anak dan dewasa muda serta pneumonia ini sulit untuk

menemukan mikroorganisme penyebabnya karena tidak dapat tumbuh pada media

kultur biasa.50 Di negara dengan fasilitas laboratorium yang memadai ternyata

pneumonia atipik sering dijumpai, 7-55% dari CAP disebabkan oleh kuman

atipik, baik sendiri maupun campuran. Mikroorganisme yang sering menyebabkan

pneumonia atipik : Legionella, Mycoplasma, Chlamydia  pneumoniae, 

Chlamydia Psittaci, virus influenza tipe A dan B.74

Streptococcus pneumoniae adalah flora normal tenggorokan dan

nasofaring pada orang sehat. Strain yang dapat menyebabkan infeksi adalah strain

S dari S.pneumoniae. Strain S dari Streptococcus pneumoniae memproduksi

kapsul tipis yang melingkupi setiap selnya. Kapsul tersebut terdiri dari

polisakarida yang berfungsi melindungi bakteri dari respons imun dari hostnya

dan hal tersebut menyebabkan bakteri dapat menyebabkan penyakit. Koloni dari

strain S terlihat halus karena terdapat kapsul pada permukaannya. Terdapat pula

strain R yang tidak mensintesis polisakarida karena tidak memiliki kapsul

sehingga permukaannya terlihat kasar. Strain R tidak menyebabkan penyakit.76

CAP terjadi ketika organisme oral endogen diaspirasi ke saluran udara

bagian bawah. Meskipun strain dapat menyebar melalui tetesan udara (droplet)

dari satu orang ke orang lain dalam populasi tertutup, kejadian epidemik jarang
terjadi. Penyakit terjadi ketika mekanisme pertahanan alami (misalnya, refleks

epiglottal, perangkap bakteri oleh sel-sel penghasil lendir yang melapisi bronkus,

penghilangan organisme oleh epitel pernapasan bersilia, dan refleks batuk)

terlemahkan, memungkinkan organisme berkoloni di orofaring untuk

mendapatkan akses ke paru-paru. Sehingga, hal ini akan mengaktifkan mekanisme

pertahanan terakhir pada paru, yaitu makrofag alveolus.76

Makrofag akan memfagosit dan membunuh mikroorganisme dan hal ini

menyebabkan terjadinya manifestasi klinis pneumonia walaupun jumlah

mikroorganisme yang terdapat di alveolus sedikit. Jika makrofag alveolus tidak

dapat melawan pertumbuhan mikroorganisme patogen, maka terjadi mekanisme

perlindungan akhir pada paru dengan membentuk respons inflamasi lokal.

Respons inflamasi ini ditandai dengan perpindahan leukosit, limfosit, dan monosit

dari kapiler ke alveolus. sehingga dapat menghasilkan gambaran infiltrat pada

pemeriksaan radiologi, suara ronki pada auskultasi, dan hipoksemia akibat

terganggunya proses pertukaran gas di alveolus.78

Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai

organ tubuh lainnya. Pada tahapan perjalanan penyakit TB dimana reaksi daya

tahan tubuh muncul 6–14 minggu setelah infeksi. Lesi umumnya sembuh total

namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi tersebut (dorman) dan suatu saat

dapat aktif kembali tergantung dari daya tahan tubuh manusia. Penyebaran melalui

aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum penyembuhan lesi.94

Secara biologis, faktor lingkungan dapat terlibat dalam patogenesis

tuberkulosis melalui dampak fungsi kekebalan tubuh dan dengan demikian


meningkatkan kerentanan untuk mengembangkan TB menjadi aktif. Peningkatan

kadar polutan udara telah terkait dengan gangguan fungsi paru-paru melalui stres

oksidatif, yang dapat menghasilkan peradangan saluran udara, mengurangi fungsi

makrofag, dan meningkatkan kerentanan terhadap patogen.95 Selain itu, partikel

knalpot diesel menekan ekspresi mediator proinflamasi selama infeksi

tuberkulosis, menginduksi keadaan seluler hiporesponssif, yang merupakan

mekanisme yang memungkinkan polutan udara mengubah kekebalan

antimikroba.74 Juga menjadi perhatian, sistem kekebalan yang melemah yang

disebabkan oleh infeksi HIV dapat meningkatkan reaktivasi tuberkulosis.75

g. Psikologis

Penyakit TB memiliki beberapa dampak yang ditimbulkan terhadap kesehatan

termasuk psikologis. Beberapa kondisi psikologis yang dapat dialami pasien

pengidap TB antara lain tegang, ketakutan, jantung berdebar-debar, fobia

penyakit, mudah marah, takut akan penolakan, anhedonia dan ingin menyendiri.96

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suryani menunjukkan hasil yaitu terdapat

responden dengan TB sebanyak 64,9% yang mengalami tingkat stres, cemas dan

depresi (yang diukur dengan DASS) tingkat ringan. Sedangkan hampir setengah

dari responden yaitu 35,1% mengalami tingkat stres, cemas dan depresi tingkat

sedang.97

Adapun pada pasien dalam laporan ini mengaku tidak ada keluhan seperti

gangguan emosi, perubahan mood yang signifikan, stres, kecemasan dan depresi.

Dinilai dari skor Generalized Anxiety Disorder (GAD-7), didapatkan skor pasien

adalah 1 poin yang bermakna kecemasan minimal. Pada pasien ini belum ada
gejala yang mengarah pada gangguan, namun tidak menutup kemungkinan

adanya penurunan kondisi psikologis pasien. Pasien juga belum ada

memberitahukan kondisi penyakitnya ke tetangga dan masyarakat luas selain dari

keluarganya. Hal ini berkaitan dengan penelitian Truzyan yang menyatakan

bahwa sebanyak 21% pasien TB tidak ingin untuk membeberkan kondisi

penyakitnya ke masyarakat, sedangkan mayoritas lainnya bersifat netral atau

tidak ada permasalahan dalam menyampaikan kondisinya. Menariknya, hanya

23% pasien yang diterima oleh masyarakat dengan statusnya sebagai penderita

TB. Sedangkan, 77% pasien lainnya mengalami kekecewaan dalam

bermasyarakat. Sehingga, kemungkinan 21% pasien yang menolak untuk

memberitahukan kondisi penyakitnya adalah dengan alasan menjaga nama

keluarga dan harga diri di mata sosial.96

Sayangnya, hanya sebanyak 10% pasien yang melakukan konseling

psikologis.98 Salah satunya, konseling berbasis keluarga dapat diterapkan untuk

meningkatkan hubungan interpersonal di dalam keluarga, meningkatkan

dukungan bagi pasien TB dan meningkatkan kepatuhan terapi. Intervensi dapat

berupa interview dan focus group discussion (FGD) selama sekitar 90 menit yang

diperantarai oleh tenaga kesehatan untuk menyampaikan beberapa materi edukasi,

flipchart, brosur yang diadaptasi dari US Center for Disease and Prevention,

WHO maupun pemerintah (contoh: Kemenkes).96

f. Pengetahuan

Pengetahuan berdampak pada perilaku seseorang. Semakin rendah

pendidikan seseorang, semakin sulit memahami penyakit CAP dan akan


berdampak pada perilaku mencegah agar tidak terkena CAP. Menurut Soekanto.

bahwa pendidikan adalah upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga terjadi

perubahan perilaku positif yang meningkat.96

Penelitian Mendez-Brich dkk pada tahun 2019, mendapatkan bahwa

pasien dengan status edukasi yang rendah memiliki nilai OR 1,32 yang artinya

dapat meningkatkan risiko 1,32 kali lipat terjadinya CAP. Pada pasien ini,

didapatkan hasil kuesioner mengenai pengetahuan, sikap, tindakan dan

penggunaan masker dalam rangka pencegahan terjadinya penyakit. Dan hasil yang

didapatkan yakni pengetahuan pasien rendah.97

Tindakan seseorang terhadap masalah kesehatan pada dasarnya akan

dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang terhadap masalah tersebut. Dalam hal ini

semakin tinggi tingkat pengetahuan yang dimiliki penderita TB paru maka

semakin tinggi pula kepatuhan penderita tersebut untuk melakukan pengobatan.

Namun kondisi pendidikan yang relatif rendah, maka pengetahuan masyarakat

terhadap penyakit TB paru serta pentingnya PHBS juga terbatas. Hal ini tampak

dari persepsi masyarakat terhadap penyakit TB paru, dimana sebagian masyarakat

masih beranggapan bahwa penyakit TB paru adalah penyakit keturunan,

memalukan dan dianggap tabu oleh masyarakat yang menyebabkan sebagian

masyarakat malu untuk memeriksakan kesehatan atau penyakitnya ke pelayanan

kesehatan, dan cenderung memilih pengobatan tradisional.98 Seperti pada pasien

ini, dari anamnesis didapatkan informasi bahwa pendidikan terakhir pasien adalah

tamat SD, yang mana hal ini mempengaruhi tingkat pengetahuan pasien mengenai

penyakitnya. Oleh karena itu pada pasien perlu diberikan edukasi dan konseling
terkait TB paru, serta PHBS terutama tentang penggunaan obat-obatan sesuai

anjuran dokter agar tidak terjadi penyalahgunaan obat-obatan yang bersifat

hepatotoksik. Untuk mengukur pengetahuan pasien pada kasus ini, juga digunakan

alat ukut berupa kuesioner mengenai pengetahuan TB dan PHBS. Hasil dari

jawaban kuesioner tersebut yaitu tingkat pengetahuan pasien maupun keluarga

kurang.

Rendahnya pengetahuan kesehatan yang dimiliki pasien akan

menimbulkan beberapa masalah yang nantinya dapat memengaruhi manajemen

penyakit dari pasien seperti pemahaman materi pendidikan, membaca label obat,

dan sulit memahami komunikasi dengan penyedia layanan kesehatan. Pasien yang

memiliki pengetahuan yang rendah memiliki kemungkinan 1,5-3 kali lebih besar

untuk mengalami hasil kesehatan yang buruk dan peningkatan risiko untuk

perawatan yang buruk juga akibat kurangnya pengetahuan tentang penyakit.

Sesuai dengan teori, pada pasien ini telah melakukan pengisian kuesioner The

Dutch Heart Failure knowledge scale, didapatkan skor pasien 5 yang artinya

pengetahuan mengenai gagal jantung rendah.

2. Faktor Risiko Eksternal

a. Ekonomi

Determinan sosial kesehatan adalah keadaan di mana orang lahir, tumbuh,

hidup, bekerja dan usia. Keadaan ini terkait dengan distribusi uang dan sumber

daya; mereka menentukan perbedaan dalam paparan faktor risiko kesehatan dan

morbiditas-mortalitas. Faktor risiko sosial yang berbeda untuk pneumonia

diidentifikasi. Pada kelompok yang lebih tua, status sipil lebih mungkin
menyiratkan untuk hidup sendiri (lajang, janda atau bercerai) merupakan faktor

risiko independen untuk pneumonia. Hal ini mungkin disebabkan oleh perawatan

diri dan kualitas hidup yang buruk, kebersihan mulut yang buruk, status sosial

ekonomi yang rendah, atau berkurangnya akses ke layanan perawatan kesehatan.96

Data WHO pada tahun 2017 yang menyatakan bahwa angka kematian

akibat TB paru sebagian besar berada di negara yang relatif miskin. Pada

penelitian Fitriani dkk menyatakan bahwa tingkat pendapatan yang rendah 3,17

kali berisiko terhadap kejadian tuberkulosis. Keadaan sosial ekonomi yang rendah

menyebabkan rumah dihuni oleh banyak penghuni sehingga tidak sebanding

dengan luasnya ruang dan menimbulkan kesesakan. Kondisi sosial ekonomi tidak

hanya berhubungan langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung

seperti kondisi status gizi yang buruk, perumahan yang tidak sehat dan rendahnya

akses terhadap pelayanan kesehatan serta membangun rumah yang sesuai standar

kesehatan, atau ketidakmampuan pemenuhan asupan nutrisi sehingga terjadi

kurang gizi yang berakibat pada daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah

untuk terinfeksi.89

Pada pasien ini tingkat ekonomi berasal dari anak pasien dimana

penghasilan anak pasien sekitar Rp Rp1.000.000,- s/d Rp3.000.000 dan penghasilan.

Berdasarkan kriteria MDK BKKBN keluarga pasien masuk ke dalam tahapan

Keluarga Sejahtera I (KS I). Indikator-indikator tersebut antara lain anggota

keluarga makan dua kali sehari atau lebih, memiliki pakaian yang berbeda untuk

di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian, rumah memiliki atap, lantai dan dinding

yang baik, apabila ada yang sakit dibawa ke saranan kesehatan, bila pasangan usia
subur ingin ber KB pergi ke sarana pelayanan kontrasepsi, semua anak umur 7-15

tahun dalam keluarga bersekolah.99

b. Lingkungan Sosial

TB paru merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang

ditularkan melalui udara. Keadaan yang dapat memengaruhi penyebaran TB paru

salah satunya adalah lingkungan yang kumuh kotor. Penderita TB paru lebih

banyak terdapat pada masyarakat yang menetap pada lingkungan yang kumuh

dan kotor. Sehingga sanitasi lingkungan perumahan sangat berkaitan dengan

penularan penyakit.79

Peluang peningkatan paparan terkait dengan jumlah kasus menular di

masyarakat, peluang kontak dengan kasus menular, tingkat daya tular dahak

sumber penularan, intensitas batuk sumber penularan, kedekatan kontak dengan

sumber penularan, dan lamanya waktu kontak dengan sumber penularan. Pada

pasien ini diketahui bahwa pasien terkadang bekerja sebagai penjual sayur

yang berinteraksi secara langsung dengan pelanggannya. Pada pekerjaannya akan

banyak bersosialisasi dengan pembelinya tanpa diketahui apakah mereka sedang

menderita TB atau tidak. Kuman TB dapat ditularkan melalui droplet. Droplet

yang mengandung kuman dapat bertahan hidup di udara pada suhu kamar dalam

beberapa jam, kuman tersebut akan terhirup oleh orang-orang di sekitarnya dan

menyebar melalui perederan darah, sistem saluran limfe, saluran napas. 55 Pada

lingkungan pasien, tetangga pasien menderita TB dan sedang menjalani

pengobatan TB, sedangkan penjual di pasar ada yang mengalami gejala TB

seperti batuk lama.


c. Lingkungan budaya

Masyarakat di lingkungan kerja pasien seringkali berkontak tanpa

menggunakan APD seperti masker. Selain itu, lingkungan kerja pasien yang

berdekatan dengan pasien memungkinkan adanya keramaian yang terpusat dalam

satu waktu.65 Berdasarkan penelitian, lingkungan yang paling potensial untuk

terjadinya penularan di luar rumah adalah tempat kerja, yang merupakan

lingkungan spesifik dengan keramaian yang terpusat dalam satu waktu. 76 Pasien

membeli obat sendiri di apotek untuk mengatasi keluhannya seperti sakit kepala,

sebelum akhirnya berobat ke tenaga kesehatan. Tidak ada menggunakan

pengobatan tradisional dan tidak merasa penyakit tersebut berkaitan dengan

kekuatan ghaib.

d. Lingkungan fisik dan kepadatan hunian

Kepadatan hunian dapat meningkatkan temperatur udara akibat

pengeluaran panas badan yang pada akhirnya meningkatkan kelembaban akibat

uap air dari pernapasan sehingga semakin banyak jumlah penghuni rumah maka

semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Tinggal di

lingkungan yang ramai (>10 orang) di dalam satu rumah, meningkatkan risiko

CAP dikarenakan mempengaruhi kualitaas udara sehingga beragam

mikroorganisme mudah menyebar di lingkungan padat.13

Berdasarkan penelitian Monintja N, terdapat peningkatan risiko sebanyak

4 kali lebih besar terjadinya TB pada pencahayaan yang kurang dari 60 lux.

Disebutkan pula kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat yang

sejuk, lembap dan gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya dan
mati bila terkena sinar matahari dalam waktu 2 jam. Diutamakan sinar matahari

pagi mengandung sinar ultraviolet yang dapat mematikan kuman. 100 Penelitian

Nungraningtyas menyatakan untuk membunuh suatu spesies kuman dibutuhkan

intensitas sinar ultraviolet yang berbeda-beda. Membunuh Mycobacterium

tuberculosis dibutuhkan intensitas sebesar 250 nm, sehingga lampu UV tipe C

dinilai paling efektif untuk membunuh bakteri mikroba tuberkulosis tahan asam.

Sinar UVC dengan panjang gelombang 254 nm sudah mampu membunuh

mikroorganisme dengan menembus membran organisme pada sistem DNA,

sehingga tidak mampu membelah diri dan selanjutnya tidak akan mampu

memproduksi diri dan umurnya akan lebih pendek. Pada akhirnya secara

keseluruhan, jumlah mikroorganisme akan bekurang dengan cepat.101

Monintja N juga menyatakan bahwa luas ventilasi meningkatkan risiko

sebesar 3 kali lipat terjadinya TB. Terjadinya penularan biasanya terjadi di dalam

satu ruangan yang memungkinkan percikan dahak berada dalam waktu yang

lama. Ventilasi yang mengalirkan udara dapat mengurangi jumlah percikan

dahak, sementara sinar matahari langsung yang masuk ke dalam ruangan dapat

membunuh bakteri.100

Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat

bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Pengaruh faktor

lingkungan terhadap kejadian TB paru seperti lingkungan rumah yang kurang

sehat misalnya kurang adanya fasilitas ventilasi yang baik, pencahayaan yang

buruk di dalam ruangan, kepadatan hunian dalam rumah diperkirakan karena

peningkatan dalam interaksi udara yang dihirup dan bahan bangunan di dalam
rumah. Perumahan yang tidak memenuhi standar kesehatan yang tidak mampu

mempertahankan penghuninya dari udara dingin memperbesar peluang menderita

berbagai penyakit termasuk penyakit infeksi, demikian juga lingkungan rumah

padat dan terisolir. Rumah tinggal pasien memiliki jendela dan ventilasi namun

pasien jarang membuka jendela. Pasien hanya membuka jendela di kamar tidur.

Pasien lebih sering membuka pintu saja, sehingga pencahayaan di beberapa

ruangan tidak cukup. Kondisi ventilasi yang <10% serta minim cahaya matahari

yang masuk ke rumah membuat bakteri Mycobacterium tuberculosis yang

sebelumnya sudah ada di dalam hunian pasien tidak cepat mati dan memudahkan

pasien maupun untuk tertular penyakit ini. Suatu ruangan dengan luas ventilasi

yang tidak memenuhi syarat (< 10% luas lantai) menyebabkan kurangnya oksigen

di dalam rumah serta dapat menyebabkan tingginya kelembaban udara karena

terjadi proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan sehingga memberi

kesempatan kepada bakteri TB untuk dapat bertahan hidup di dalam ruang

tersebut karena sifat bakteri TB yang mampu bertahan hidup di dalam ruangan

yang gelap dan lembab. Penyakit tuberkulosis paru ditularkan melalui penyebaran

airborne droplet infection dengan sumber infeksi adalah orang dengan penyakit

tuberkulosis paru yang batuk. Transmisi umumnya terjadi di ruangan, dimana

droplet nuclei dapat tinggal dalam udara dengan waktu yang lama. Sinar matahari

dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit tuberkulosis paru, dengan

masuknya sinar matahari pagi ke dalam rumah. Cahaya matahari masuk ke dalam

rumah melalui jendela atau genteng kaca.100

Berdasarkan penelitian, lingkungan yang paling potensial untuk terjadinya


penularan di luar rumah adalah tempat kerja, yang merupakan lingkungan spesifik

dengan keramaian yang terpusat dalam satu waktu. 103 Pada lingkungan tempat

kerja pasien, terdapat penjual pasar yang mengalami keluhan batu lama yang

mana merupakan gejala dari TB itu sendiri.

Ketika WHO mempresentasikan pedoman kualitas udara global yang baru

pada bulan September 2021, mereka menekankan “bukti yang jelas tentang

kerusakan polusi udara pada kesehatan manusia, pada konsentrasi yang bahkan

lebih rendah dari yang dipahami sebelumnya”.98 Meskipun hubungan dengan

risiko infeksi pernapasan bawah umumnya kecil, polusi udara di luar ruangan dan

dalam ruangan ada di mana-mana dan semua berkontribusi pada beban

substansial pneumonia dan bronkiolitis di seluruh dunia. 104 Pertanian adalah

sumber polusi udara yang besar tetapi sering diabaikan. Padahal emisi atmosfer

mengandung materi partikel kasar dan halus dan nitrogen reaktif. 105,106

Peningkatan risiko pneumonia di penduduk daerah pertanian ternak di pedesaan

telah ditunjukkan dalam beberapa penelitian di Belanda dan Amerika Serikat

yang mungkin dikarenakan paparan polusi udara atau infeksi zoonosis.107,108

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang mungkin dipengaruhi oleh faktor

lingkungan. Sebuah studi menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam

jumlah kasus TB saat musim dingin dibandingkan dengan musim panas. 109 Selain

itu, polusi udara adalah penyebab substansial morbiditas dan mortalitas di seluruh

dunia.110 Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara paparan jangka

panjang terhadap polusi udara sekitar dengan tuberkulosis dan satu studi

menemukan hubungan yang signifikan antara paparan polusi udara ambien jangka
pendek dan risiko tuberkulosis.111,112

Berdasarkan faktor agent, host dan environment yang ada pada kasus ini,

ketidakseimbangan disebabkan oleh bergesernya environtment sehingga

memberatkan host. Pergeseran/perubahan kualitas lingkungan merugikan atau

menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh, serta meningkatkan kemungkinan

agent lebih mudah menyerang host yang rentan. Sehingga didapatkan gambaran

segitiga epidemiologi sebagai berikut :

Gambar 28. Model Segitiga Epidemiologi pada Kasus68

Untuk mencegah ketidakseimbangan antara agent, host dan environment,

diperlukan pencegahan, pencegahan terbagi menjadi pencegahan primer, sekunder

dan tersier.

1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya pencegahan dilakukan sebelum sistem

bereaksi terhadap stressor yang bertujuan untuk mencegah onset suatu penyakit

atau cedera selama masa pra patogenesis.1113

Pencegahan Primer CAP antara lain dengan :114

 Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir.


 Hindari menyentuh mata, hidung, dan mulut dengan tangan yang belum

dicuci

 Hindari kontak dekat degan orang yang sakit

 Tinggal di rumah jika sedang sakit

 Gunakan masker

 Imunisasi

Pencegahan primer pada TB, meliputi:115

a. Promosi Kesehatan

Penyuluhan dengan melibatkan pasien & masyarakat dalam kampanye

advokasi, penyuluhan rencana pengendalian infeksi, Koleksi dahak Aman,

penyuluhan Etika batuk dan batuk yang higienis, penyuluhan pasien TB triase

dilakukan untuk saluran cepat atau pemisahan, penyuluhan mendiagnosis TB

yang cepat dan pengobatan, Meningkatkan ventilasi udara kamar, Melindungi

pekerja perawat kesehatan, Pengembangan kapasitas dan Memonitor praktek

pengendalian infeksi (WHO).

b. Proteksi Spesifik

Vaksinasi BCG secara signifikan yang bisa mengurangi risiko TB dan

penggunaan alat pelindung diri di tempat kerja yang berisiko terkena TB,

Terapi pencegahan isoniazid (IPT) dan Terapi antiretroviral (ART) untuk

orang-orang dengan HIV (WHO).


Pencegahan untuk gagal jantung, yakni dengan melakukan diagnosis awal

dan penatalaksanaan penyebab gagal jantung akut serta penanganan faktor risiko

kardiovaskular pada pasien. Pencegahan primer mencakup penatalaksanaan yang

cepat dan efektif terhadap kondisi aterosklerosis, penyakit jantung koroner, dan

hipertensi.116

2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya pencegahan yang dilakukan saat proses

telah berlangsung, namun belum timbul tanda atau gejala sakit dengan tujuan

proses penyakit tidak berlanjut.113 Pada CAP, seseorang yang panas disertai napas

cepat dan napas sesak segera dilakukan pemeriksaan ke tenaga kesehatan, untuk

mengetahui penyebab dan mendapatkan pengobatan secepatnya.114 Adapun

pencegahan sekunder TB:115

a. Deteksi dini

Skrining atau penemuan kasus baru yang benar-benar positif TB dengan

melakukan pemerikasaan dahak. melakukan diagnosis TB paru dengan

memeriksa semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam 2 hari,

diagnosis TB ekstra paru dengan gejala dan keluhan tergantung organ yang

terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB

pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis

TB. Diagnosis TB pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) 1.TB Paru BTA

Positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak positif. 2.TB Paru BTA

negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran klinis &

radiologis mendukung Tb atau BTA negatif dengan hasil kultur TB positif.


TB Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,

bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang

terkena.

b. Pengobatan tepat

Pada tahap ini, pencegahan sekunder dilakukan dengan pengobatan tepat.

Pengobatan untuk penyakit TB yaitu mengonsumsi obat kombinasi pada

orang dengan TB aktif, dengan jadwal dosis pada anak-anak dan remaja

dengan TB aktif yang tepat, jadwal dosis pada orang dewasa dengan TB

aktif yang tepat, Lama pengobatan pada orang dewasa dengan TB paru aktif

yang benar, Lama pengobatan pada anak-anak dan remaja dengan TB paru

aktif dengan benar, Lama pengobatan pada penderita TB paru aktif dengan

benar.

Pencegahan sekunder gagal jantung bertujuan untuk mencegah kondisi

gagal jantung kronis yang dapat menyebabkan episode gagal jantung akut yang

memerlukan perawatan kembali di rumah sakit. Beberapa strategi pencegahan

yang dilakukan untuk mencegah pasien kembali masuk rumah sakit, antara

lain :116

 Perawatan di rumah sakit: dekongesti, tata laksana penyebab dan faktor

eksaserbasi, titrasi terapi gagal jantung yang tepat

 Perencanaan dan transisi: perencanaan follow-up, penjadwalan kontrol

pasca-perawatan dalam 7-10 hari, kolaborasi dengan dokter pada layanan

primer, edukasi pasien, kunjungan rumah oleh perawat, telemonitoring.

3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya pencegahan yang dilakukan saat proses

penyakit sudah lanjut, untuk mencegah cacat dan mengembalikan penderita ke

status sehat.113 Baik untuk CAP, TB maupun gagal jantung, penccegahan tersier

yang dilakukan yakni dengan aktivitas rehabilitasi medik. Adapun pencegahan

khusus pada TB meliputi :115

A. Pencegahan Ketidakmampuan

Penggunaan kortikosteroid tambahan pada pengobatan TB aktif,

Penggunaan operasi tambahan pada orang dengan TB aktif serta Pengobatan TB

aktif pada orang dengan penyakit penyerta atau kondisi co-ada.

B. Rehabilitasi

Pasien paru BTA positif dengan pengobatan ulang kategori 2, bila masih

positif TB maka hentikan pengobatan dan rujuk ke layanan TB-MDR.

Pada penangananya, penyakit harus dilakukan dengan mempertimbangkan

berbagai aspek, mulai dari klinis dan non klinis, salah satunya adalah lingkungan

terutama rumah tinggal. Berdasarkan teori, lingkungan rumah merupakan salah

satu dari tiga faktor yang paling dominan terhadap kejadian TB bersama dengan

pengetahuan dan perilaku.77

Anda mungkin juga menyukai