Anda di halaman 1dari 19

Rumah Badak Heuay

Berikut Ini Ciri Khas Rumah Adat Jawa Barat


1. Posisi Bangunan
Ciri khas rumah adat Jawa Barat bisa kita lihat dari posisi Bangunan.
Masyarakatnya memiliki filosofi yang sangat unik dalam menentukan
posisi. Yaitu sesuai dengan arah matahari terbit dan terbenam. Mengingat
arah tersebut sesuai dengan kiblat.
Sehingga dalam proses pembangunannya, rumah hanya boleh menghadap
Barat dan Timur. Menarik bukan?
2. Jenis Pondasi
Secara umum dalam pembuatan pondasi rumah adat Sunda, hampir sama
dengan rumah adat lainnya. Tetapi secara fungsi memiliki perbedaan.
Pondasi rumah adat Sunda bisa meminimalisir terjadinya kerusakan parah
apabila terjadi gempa bumi.
3. Dinding Bangunan
Biasanya bagian dinding terbuat dari anyaman bambu yang memiliki
lubang-lubang. Lubang tersebut bertujuan agar menjadi jalan keluar
masuknya udara. Sehingga ruangan tidak terlalu panas.
Tak hanya dinding saja yang menggunakan bambu. Bagian lainnya seperti
daun jendela dan daun pintu juga menggunakan bambu.
4. Lantai
Pelupuh, sebutan untuk lantai tradisional khas Sunda. Terbuat dari bambu
yang sudah dibelah. Penggunaan bambu bertujuan agar sirkulasi udara
dapat keluar masuk melalui kolong bawah tanah.
5. Plafon
Penggunaan bambu juga sampai pada bagian plafon. Kerangka plafon
terbuat dari bambu yang masih utuh. Desainnya dibuat lebih besar
dibandingkan dengan yang lain. Tujuannya sebagai tempat penyimpanan
beberapa barang yang punya rumah.
Imah Badak Heuay – Sukabumi
Dikutip dari Rimba Kita, rumah adat Badak Heuay memiliki arti yang
sangatlah unik yaitu badak yang sedang menguap. Istilah tersebut berasal
dari desain atap rumah adat pada bagian belakang dan tepiannya
menyerupai badak yang sedang menguap. Anda bisa menemukan rumah
adat Badak Heuay di daerah Sukabumi, terutama pada kawasan yang
masih banyak bisa ditemukan pedesaan.

Rumah adat Badak Heuay merupakan salah satu rumah adat yang hingga
saat ini masih bisa ditemui dengan sangat mudah karena banyak penduduk
yang memanfaatkannya sebagai hunian utama oleh warga Sukabumi.
Kujang

Kujang merupakan senjata


tradisional dari Jawa Barat
yang mana oleh masyarakat
Sunda disakralkan dan
dianggap magis. Kujang
menurut masyarakat Jawa
Barat berasal dari bahasa
sunda kuno yaitu kata Kudi
dan Hyang.

Kudi yang berarti Senjata


dengan kekuatan gaib
sedangkan Hyang berarti
dewa atau masyarakat Sunda
mengartikannya kedudukan
yang di atas Dewa.
Berarti Kujang adalah
pusaka yang
mememiliki kekuatan
magis yang kekuatannya
berasal dari para dewa.

Beliung
Masyarakat Sunda
butuh alat untuk
menebang pohon besar
dan membelah kayunya,
makanya dibuatlah
Beliung atau biasa kita
sebut sebagai kapak.

Untuk gagangnya saja


panjangnya 30-35cm dab terbuat dari kayu. Kelebihannya dibandingkan dengan senjata lain khususnya bedog adalah
bahwasanya baliung ini terbuat dari besi baja yang besar dan dan tebal pada bagian pangkalnya.
Pada zaman dahulu nenek moyang sunda menggunakan patik ini untuk kegiatan berat seperti menebang pohon untuk
membuka hutan dan untuk kayu bakar. Hebatnya sampai sekarang masyarakat sunda khususnya yang di pedalaman masih
memakainya.
Bedog
Bedog atau Golog
merupakan senjata khas
dari Jawa Barat. Kita lihat
bentuknya besar
menyerupai pisau besar
makanya disebut golok. Di
Tiap daerah Jawa Barat
mungkin kebutuhan dan
kegunaan golok atau bedok
tersebut berbeda makanya
kita akan menjumpai
bentuknya yang beragam
dan bervariasi di tiap
daerahnya.

Tetapi meskipun beragam


variasinya dapat kita lihat
pada ciri-ciri umumnya,
diantaranya adalah
Panjangnya sekitar 30 cm-
40cm. Ada juga yang berukuran lebih dari 40cm disebut kolewang atau biasa dipanggil gobang.
Golongan masyarakat ini pada dasarnya mempunyai jumlah kekayaan
yang jauh lebih banyak dari kalangan rakyat jelata, namun bukan
berasal dari keturunan bangsawan. Mereka juga tidak perlu melakukan
pekerjaan kasar, sehingga penampilan mereka pun jauh berbeda
dengan rakyat jelata. Penampilan masyarakat kelas menengah tampak
rapi dan berwibawa.
Kaum pria Jawa Barat dari kelas menengah biasanya mengenakan
pakaian warna putih. Modelnya hampir sama dengan jas dan
dinamakan Baju Bedahan. Untuk bawahannya, mereka tidak memakai
celana, melainkan kain kebat yang disarungkan.
Untuk mengencangkan lilitan kain, mereka memakai sabuk. Untuk
hiasan kepala, para pria kalangan menengah mengenakan Bengker.
Tambahan aksesoris lainnya adalah arloji rantai berwarna emas yang
dimasukkan ke dalam saku depan Baju Bedahan dengan rantai yang
dibiarkan menggantung.
Sementara itu, kaum wanita Jawa Barat dari kalangan menengah
biasanya mengenakan kebaya dalam aneka warna dan motif. Untuk
bawahannya, mereka juga mengenakan kain kebat panjang. Ikat
pinggang juga dikenakan untuk mengencangkan lilitan kain kebat.
Beberapa wanita gemar mengenakan selendang sebagai aksesoris.
Untuk alas kaki, wanita kelas menengah mengenakan sejenis selop
yang diberi nama Kelom Geulis. Wanita dari kalangan menengah juga
sudah biasa memakai perhiasan berupa anting, kalung, gelang, dan
cincin, walau ukurannya tidak terlalu besar.
Baju Tradisional Kelas Bawah / Rakyat Jelata

Pakaian ini dulunya dikenakan oleh sebagian besar


masyarakat Jawa Barat. Pengguna baju adat ini mayoritas
bekerja sebagai petani dan peternak. Pakaian tradisional
untuk rakyat jelata sangat sederhana dan biasanya terlihat
usang. Hal ini diakrenakan pakaian tersebut dipakai
berulang-ulang untuk melakukan pekerjaan kasar.
Kaum pria Jawa Barat dari kalangan rakyat jelata
mengenakan atasan yang dinamakan baju Salontréng. Untuk
bawahannya, mereka mengenakan celana komprang yang
ukurannya longgar. Kombinasi Salontréng dan celana
komprang ini biasa disebut sebagai Baju Pangsi.
Para pria biasanya juga mengenakan sarung yang
diselempangkan di bahu. Untuk alas kakinya, pria Jawa
Barat mengenakan sandal Tarumpah yang terbuat dari kayu.
Sementara pada kepalanya, mereka mengenakan ikat kepala
yang dinamakan Logen. Model ikatannya ada 2 jenis, yaitu
Barambang Semplak dan Hanjuang Nangtung.
Sementara itu, para perempuan Jawa Barat dari kalangan
rakyat jelata biasa mengenakan kamisol atau kebaya
sederhana. Untuk bawahannya, mereka mengenakan
kain batik yang dinamakan Sarung Kebat atau Sinjang
Bundel. Kain ini bisa dipakai panjang hingga ke mata kaki,
ataupun hanya menggantung sepanjang betis.
Penggunaan kain dengan cara tersebut dimaksudkan agar
para wanita lebih leluasa saat harus bekerja berat. Untuk
mengencangkan kain, mereka mengenakan Beubeur atau ikat
pinggang. Untuk alas kakinya, mereka mengenakan sandal
jepit keteplek.
Dewi Sartika
Raden Dewi Sartika –  Merupakan pejuang wanita yang telah memberi banyak
inspirasi pada dirintisnya pendidikan untuk kaum wnaita. Lahir di Bandung tanggal 4
Desember 1884. Ibundanya bernama Raden Ayu Permas dan Ayahnya bernama Raden
Somanegara.

Masa Perjuangan

Ia memulai perjuangannya sejak usia 18 tahun dengan mengajarkan membaca, menulis,


memasak dan menjahit bagi perempuan-perempuan di kotanya. Pada 16 Juli 1904,
Raden Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri atau Sakola Perempuan. Di tahun 1904,
Sakola Istri dirubah namanya menjadi Sakola Keutamaan Istri dan pada tahun 1929,
Sakola tersebut berganti nama lagi menjadi Sakola Raden Dewi.

Selain tersebar di kota kabupaten Pasundan, Sekolah Raden Dewi menyebar pula ke
luar pulau Jawa. Dewi Sartika berusaha keras untuk mendidik anak-anak perempuar
agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, cerdas, luwes, terampil dan kelak
mampu berdiri sendiri. Untuk menutupi biaya operasional sekolah, Dewi Sartika
berusaha mencari sumbangan dana dan tambah lagi banyak pihak yang mendukung
perjuangannya, terutama suaminya yaitu Raden Kanduruan Agah Suriawinata.

Nama Dewi Kartika dikenal luas oleh masyarakat sebagai pendidik, terutama di
kalangan perempuan. Pada tanggal 16 Januari 1939, pemerintah Hindia Belanda
memberikan bintang jasa kepada Dewi Sartika atas jasanya telah memajukan
pendidikan kaum perempuan.

Akhir Hayat
Dewi Sartika menghembuskan napas terakhirnya di Tasikmalaya, 11 September
1947. Atas perjuangannya dalam mencerdaskan bangsa, Ia diberikan gelar
kehormatan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, pada tanggal 1 Desember 1966.

Achmad Soebarjo
Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (lahir di Karawang, Jawa Barat,
23 Maret 1896 – meninggal 15 Desember 1978 pada umur 82 tahun) adalah
tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan seorang Pahlawan
Nasional Indonesia. Ia adalah Menteri Luar Negeri Indonesia yang pertama.
Achmad Soebardjo memiliki gelar Meester in de Rechten, yang diperoleh di
Universitas Leiden Belanda pada tahun 1933.
Riwayat Perjuangan
Achmad Sebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah Perlembagaan
dan Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas
Indonesia. Semasa masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia  melalui beberapa organisasi seperti
Jong Jawa dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Belanda. Pada bulan
Februari 1927, ia pun menjadi wakil Indonesia bersama dengan Mohammad
Hatta dan para ahli gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa
"Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di
Brussels dan kemudiannya di Jerman. Pada persidangan pertama itu juga ada
Jawaharlal Nehru  dan pemimpin-pemimpin nasionalis  yang terkenal dari
Asia  dan Afrika. Sewaktu kembalinya ke Indonesia, ia aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI).
Dan pada tanggal 17 Agustus 1945, Soebardjo dilantik sebagai Menteri Luar
Negeri pada Kabinet Presidensial, kabinet Indonesia yang pertama, dan kembali
menjabat menjadi Menteri Luar Negeri sekali lagi pada tahun 1951 - 1952. Selain
itu, ia juga menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Switzerland antara tahun-
tahun 1957 - 1961.

Otto Iskandar Dinata


Otto Iskandar Dinata adalah pahlawan nasional yang dijuluki Si Jalak Harupat. Pria
yang lahir pada  31 Maret 1897 di Bandung, Jawa Barat merupakan putra dari
Raden Haji Rachmat Adam seorang kepala desa di Bojongsoang.

Otto menempuh pendidikannya di Hollandsch-Inlandsche School yang kemudian


melanjutkannya ke Hollandsch-Inlandsche School. Setelah lulus, Otto melanjutkan
sekolahnya di sekolah guru Hogere Kweekschool. Kemudian Otto menjadi guru
HIS di Banjarnegara, Jawa Tengah.

Pada 1920, Otto kemudian pindah ke Bandung. Pada masa pergerakan


kemerdekaan, Otto pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang
Bandung periode 1921 hingga 1924. Selain itu, Otto juga aktif di organisasi budaya
Sunda, Paguyuban Pasundan.

Pada masa kemerdekaan, Otto terlibat dalam keanggotaan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai pengganti BPUPKI.
Setelah Indonesia merdeka, Otto menjabat sebagai menteri negara yang pertama bersama Mohammad Amir, Wahid Hasyim, Mr. Sartono,
dan A.A. Maramis.
Saat itu Otto bertugas mempersiapkan Badan Keamanan Rakyat (BKR)
dari laskar-laskar yang tersebar di Indonesia. Dalam tugasnya, Otto
menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa kalangan hingga
diperkirakan dia diculiksalah satu laskar yang bermarkas di Tangerang.
Kemudian 19 Desember 1945, dan dibawa ke suatu tempat di pesisir
Pantai Mauk. Jenazahnya tidak pernah ditemukan, hingga akhirnya
pemerintah menetapkan menetapkan 20 Desember 1945 sebagai
tanggal meninggalnya.

Kiai Haji Zainal Mustafa


Kiai Haji Zainal Mustafa (lahir di Bageur, Cimerah,
Singaparna, Tasikmalaya, 1899 – meninggal di Jakarta, 28
Maret 1944) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Ia
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tasikmalaya.

Zaenal Mustofa adalah pemimpin sebuah pesantren di


Tasikmalaya dan pejuang Islam pertama dari Jawa Barat yang
mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan Jepang.
Nama kecilnya Hudaeni. Lahir dari keluarga petani berkecukupan, putra pasangan Nawapi dan Ny. Ratmah, di kampung
Bageur, Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna (kini termasuk wilayah Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame) Kabupaten
Tasikmalaya (ada yang menyebut ia lahir tahun 1901 dan
Ensiklopedia Islam menyebutnya tahun 1907, sementara tahun
yang tertera di atas diperoleh dari catatan Nina Herlina Lubis,
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat).
Namanya menjadi Zaenal Mustofa setelah ia menunaikan ibadah
haji pada tahun 1927.

Muhammad Toha
Muhammad Toha atau Mohammad Toha (Bandung, 1927 - Bandung, 11
Juli 1946) adalah seorang komandan Barisan Rakjat Indonesia, sebuah
kelompok milisi pejuang yang aktif dalam masa Perang Kemerdekaan
Indonesia. Toha meninggal dalam kebakaran dalam misi
penghancuran gudang amunisi milik Tentara Sekutu bersama rekannya,
setelah meledakkan dinamit dalam gudang amunisi tersebut.
Toha bergabung dengan Barisan Rakjat Indonesia (BRI) yang kemudian
bersatu dengan Barisan Pelopor yang dipimpin oleh Anwar Sutan
Pamuncak, lalu berganti nama menjadi Barisan Banteng Republik
Indonesia (BBRI). Mohammad Toha ditunjuk sebagai Komandan Seksi I
Bagian Penggempur.
Keterlibatannya dengan Peristiwa Bandung Lautan Api adalah ketika Toha
bersama sahabatnya Mohammad Ramdan menghancurkan gudang amunisi
tentara sekutu. Bandung Selatan yang kala itu akan direbut oleh sekutu, dibumihanguskan terlebih dahulu. Para pejuang tidak rela
wilayahnya ditempati begitu saja oleh sekutu.
Hingga akhirnya seluruh bangunan yang ada
di Bandung bagian selatan dibakar sebelum
ditinggalkan. Mohammad Toha dan
Mohammad Ramdan kala itu bertugas
meledakkan gudang amunisi persenjataan.
Namun efek ledakkan yang dihasilkan ternyata
lebih besar, sehingga langsung menewaskan
keduanya.
Tetapi bagi warga Bandung semua,
Muhammad Toha adalah seorang pahlawan.
Pemerintah Bandung menghormatinya dengan
memberi nama salah satu jalan di Bandung
dengan namanya. Selain itu di daerah
Dayeuhkolot, tepat di depan kolam bekas
terjadinya ledakan, terdapat monumen
Mohammad Toha untuk memperingati jasa
dan keberaniannya.

Nasi Timbel

Nasi Timbel merupakan makanan khas Sunda. Nasi timbel pada mulanya merupakan bekal makanan bagi para
petani yang bekerja di sawah. Nasi yang masih hangat dibungkus dengan daun pisang agar lebih praktis dibawa.
Selain itu, ternyata daun pisang juga membuat nasi menjadi lebih harum dan menggoda selera. Karena itulah, nasi
timbel terus populer dan tidak cuma dinikmati oleh para petani saja. Kini nasi timbel sudah bisa didapatkan di
banyak warung dan restoran, baik di Jawa Barat maupun di daerah lain di Indonesia. Tentu saja, nasi timbel
kurang lengkap bila tidak disajikan bersama sajian pendampingnya. Nasi timbel komplit biasanya disajikan
bersama hidangan-hidangan lezat seperti ulukuteuk leunca, ayam goreng, tahu & tempe goreng, ikan asin,
sambel terasi, lalapan.

Anda mungkin juga menyukai