Anda di halaman 1dari 13

PENDEKATAN KONSTRUKTIVIS SOSIAL

D
I
S
U
S
U
N

OLEH : ELVINE MAGDAYAN (191810001)

FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
UNIVERSITAS BINA DARMA PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud kontruktivisme sosial ?
2.      Apa pengertian pembelajaran?
3.      Bagaimana pendekatan kontruktivisme social dama pembelajaran membaca dan menulis?
C. Tujuan Penulisan
1.      Memahami kontruktivisme social.
2.      Mengetahui pengertian pembelajaran.
3.      Mengetahui pendekatan kontruktivisme social dama pembelajaran membaca dan menulis.

A.    Pengertian Pendekatan Konstruktivisme

Konstruktivisme merupakan pandangan filsafat yang pertama kali dikemukakan oleh


Giambatista Vico tahun 1710, ia adalah seorang sejarawan Italia yang mengungkapkan
filsafatnya dengan berkata ”Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan
dari ciptaan”. Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana
membuat sesuatu”. Ini berarti bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat
menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu (Suparno, 1997:24). Filsafat
konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui
interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Hal ini sesuai dengan
pendapat Poedjiadi (2005 :70) bahwa “konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan
pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki
seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat
dari interaksi dengan lingkungannya”.

B.     Ciri-Ciri Pembelajaran Yang Konstruktivis Menurut Beberapa Literatur

1.      Menurut Yuleilawati.

a.       Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada


sebelumnya.

b.      Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia.


c.       Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan
pengalaman.

d.      Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai


informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama dengan
orang lain.

2.      Belajar harus disituasikan dalam latar (setting) yang realistik, penilaian harus terintegrasi
dengan tugas dan bukan merupakan kegiatan yang terpisah.

3.      Menurut Siroj.

a.       Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan belajar yang telah dimiliki siswa
sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.

b.      Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang
sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.

c.       Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan


melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep melalui kenyataan
kehidupan sehari-hari.

d.      Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu


terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya,
misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.

e.       Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga


pembelajaran menjadi lebih efektif.

f.        Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik dan siswa mau
belajar.

C.    Macam-Macam Konstruktivisme

Konstruktivisme dibedakan dalam dua tradisi besar yaitu konstruktivisme psikologis


(personal) dan sosial. Konstruktivisme psikologis memiliki dua cabang, yaitu yang lebih
personal (Piaget,1981:43) dan yang lebih sosial (Vygotsky); sedangkan konstruktivisme
sosial berdiri sendiri (Kukla, 2003: 11-14).
1.      Konstruktivisme personal

Piaget (Fosnot (ed), 1996: 13-14) menyoroti bagaimana anak-anak pelan-pelan


membentuk skema pengetahuan, pengembangan skema dan mengubah skema. Ia
menekankan bagaimana anak secara individual mengkonstruksi pengetahuan dari berinteraksi
dengan pengalaman dan objek yang dihadapinya. Ia menekankan bagaimana seorang anak
mengadakan abstraksi, baik secara sederhana maupun secara refleksif, dalam membentuk
pengetahuannya. Tampak bahwa tekanan perhatian Piaget lebih keaktifan individu dalam
membentuk pengetahuan. Bagi Piaget, pengetahuan lebih dibentuk oleh si anak itu sendiri
yang sedang belajar daripada diajarkan oleh orang tua.
Konstruktivisme psikologis memiliki dua cabang yaitu:
a.       Yang lebih personal, individual, dan subjektif seperti Piaget dan para pengikutnya.

b.      Yang lebih sosial seperti Vigotsky. Piaget menekankan aktivitas individual, lewat asimilasi
dan akomodasi dalam pembentukan pengetahuan, sedangkan Vygotsky menekankan
pentingnya masyarakat dalam mengkonstruksi pengetahuan ilmiah.

Dalam pandangan Piaget, pengetahuan dibentuk oleh anak lewat asimilasi dan
akomodasi dalam proses yang terus menerus sampai ketika dewasa. Asimilasi adalah proses
kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, nilai-nilai ataupun
pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Asimilasi
dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan
kejadian atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Setiap orang secara terus
menerus selalu mengembangkan proses asimiliasi. Proses asimilasi bersifat individual dalam
mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru sehingga pengertian
orang berkembang.
2.      Konstruktivisme sosial

Teori konstruktivisme di dalam bidang pendidikan terdiri dari dua aliran besar yaitu
konstruktivisme sosial (KS) dan konstruktivisme personal (KP). Konstruktivisme sosial dan
konstruktivisme personal sama-sama berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah hasil
rekayasa manusia sebagai individu. Akan tetapi keduanya memiliki perbedaan pandangan
mengenai peranan individu dan masyarakat dalam proses pembentukan ilmu pengetahuan itu.
Pendukung konstruktivisme sosial berpendapat bahwa di samping individu, kelompok
di mana individu berada, sangat menentukan proses pembentukan pengetahuan pada diri
seseorang. Melalui komunikasi dengan komunitasnya, pengetahuan seseorang dinyatakan
kepada orang lain sehingga pengetahuan itu mengalami verifikasi, dan penyempurnaan.
Selain itu, melalui komunikasi seseorang memperoleh informasi atau pengetahuan baru dari
masyarakatnya. Vygotsky menandaskan bahwa kematangan fungsi mental anak justru terjadi
lewat proses kerjasama dengan orang lain, seperti dinyatakan oleh Newman (1993:62)
sebagai berikut: ”The maturation of the child’s higher mental functions occurs in this
cooperative process, that is, it occurs through the adult’s assistance and participation”.[1]
D.    Teori Konstruktivisme Untuk Memahami Belajar

Menurut pandangan konstruktivisme, belajar merupakan suatu proses pembentukan


pengetahuan. Berikut ini, beberapa definisi teori konstruktivisme dari beberapa ahli:
1.      Jean Piaget menyatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh seorang anak merupakan hasil
dari konstruksi pengetahuan awal yang telah dimiliki dengan pengetahuan yang baru
diperolehnya.

2.      Lev Vygotsky berkata ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky yaitu. (1) Zone of
Proximal Development (ZPD), Kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang
dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu; dan (2)Scaffolding,
pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian
mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab
yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya.

3.      John Dewey bahwa belajar bergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik
dalam Kurikulum harus saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu
sama lain. Belajar harus bersifat.[2]

E.     Pengaruh konstruktivisme terhadap proses dan makna belajar

Makna belajar Bagi konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif,  di
mana peserta didik membangun sendiri pengetahuan, keterampilan dan tingkah lakunya.
Peserta didik mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari. Peserta didik sendiri lah yang
bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Mereka sendiri yang membuat penalaran
dengan apa yang dipelajarinya, dengan cara mencari makna, membandingkan dengan apa
yang telah ia ketahui dengan pengalaman dan situasi baru.
Belajar adalah lebih merupakan suatu proses untuk menemukan sesuatu, daripada
suatu proses untuk mengumpulkan sesuatu. Belajar bukanlah suatu kegiatan mengumpulkan
fakta-fakta, tetapi suatu proses pemikiran yang berkembang dengan membuat kerangka
pengertian yang baru. Peserta didik harus mempunyai pengalaman dengan membuat
hipotesis, prediksi, mengetes hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari
jawaban, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan,
mengekspresikan gagasan, dan lain sebagainya untuk membentuk konstruksi pengetahuan
yang baru. Proses belajar itu antara lain bercirikan sebagai berikut:
1.      Belajar berarti membentuk makna. Proses pembentukan makna ini berdasarkan
pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya melalui interaksi langsung dengan objek.
Makna diciptakan oleh peserta didik dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami.
Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.

2.      Konstruksi terjadi lewat asimilasi dan akomodasi. Setiap kali berhadapan dengan fenomena
atau persoalan yang baru.

3.      Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih kepada suatu


pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian (konsep) yang baru. Belajar itu
meredifinisi pengetahuan konsep lama menjadi pengertian ataupun konsep yang baru. Belajar
bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri, suatu
perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.

4.      Hasil belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang
merangsang pemikirannya lebih lanjut. Situasi ketidak seimbangan (disequilibrium) adalah
situasi yang baik untuk memacu belajar.

5.      Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman peserta didik dengan dunia fisik dan
lingkungannya.

6.      Belajar akan bermakna jika terjadi melalui refleksi dan memecahkan konflik kognitif dan
menggugat pengetahuan lamanya yang kurang sempurna.

7.      Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui oleh peserta didik. Seperti
konsep-konsep, nilai-nilai, tujuan, sikap dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan
bahan yang dipelajari. Setiap peserta didik mempunyai cara untuk mengerti kemampuannya
sendiri. Maka penting bagi setiap peserta didik mengerti kemampuannya, keunggulan dan
kelemahannya dalam mengerti sesuatu. Mereka perlu menemukan cara belajar yang tepat
bagi diri sendiri. Setiap peserta didik mempunyai cara yang cocok untuk mengkonstruksi
pengetahuannya yang kadang-kadang sangat berbeda dengan teman-temannya yang lain.
Dalam kerangka ini, sangat penting bahwa peserta didik dimungkinan untuk mencoba
bermacam-macam cara belajar yang cocok bagi dirinya, begitu juga penting bagi pendidik
menciptakan bermacam-macam cara belajar yang cocok untuk peserta didiknya. Di dalam
kelas, sering kali peserta didik sudah membawa konsep yang bermacam-macam sebelum
pelajaran formal dimulai. Inilah pengetahuan dasar mereka untuk dapat dikembangkan
menjadi pengetahuan yang baru. Mereka juga membawa perbedaan tingkat intelektual,
personal, sosial, emosional, kultural ketika masuk ruang pelajaran. Ini semua mempengaruhi
pemahaman mereka. Latar belakang dan pengertian awal yang dibawa peserta didik sangat
penting dimengerti oleh pendidik agar dapat membantu memajukan dan mengembangkan
kemampuan sesuai dengan pengetahuan yang lebih sempurna. Karena pengetahuan dibentuk
baik secara individual maupun sosial, maka kesempatan untuk belajar kelompok,
diskusi, cooperative learning  dapat dikembangkan. Menurut Glasersfeld, dalam belajar
kelompok, peserta didik yang mengerjakan suatu persoalan secara bersama-sama, harus
mengungkapkan bagaimana melihat persoalan tersebut dan apa yang ingin mereka buat
dengan persoalan itu. Inilah salah satu cara menciptakan refleksi, yang menuntut kesadaran
akan apa yang sedang dipikirkan dan sedang dibuat. Selanjutnya hal tersebut akan
memberikan kesempatan kepada seseorang untuk secara aktif membuat abstraksi. Bagi
peserta didik, menjelaskan sesuatu kepada kawan-kawan dapat membantu untuk melihat
sesuatu lebih jelas terutama inkonsistensi pandangan mereka sendiri. Seseorang yang diberi
kesempatan untuk menjelaskan bahan pada seluruh kelas, biasanya terpacu untuk belajar
lebih sungguh-sungguh.

Konstruktivisme sosial menekankan bahwa belajar menyangkut dimasukkannya


seseorang dalam suatu dunia simbolik atau konsep. Pengetahuan dikonstruksi bila seseorang
terlibat secara sosial dalam dialog dan aktif dengan percobaan, diskusi kelompok dan tukar
pengalaman. Belajar juga merupakan proses di mana seseorang dimasukan dalam suatu kultur
orang-orang terdidik. Dalam hal ini peserta didik tidak hanya perlu akses ke pengalaman
fisik, tetapi juga pada konsepkonsep dan model dari ilmu pengetahuan yang telah ada. Maka
peran pendidik di sini penting, karena mereka menyediakan kesempatan yang cocok dan juga
prasarana masyarakat ilmiah bagi peserta didik. Dalam konteks ini, kegiatan-kegiatan yang
memungkinkan para peserta didik berdialog dan berinteraksi dengan para ahli, dengan
lembaga-lembaga penelitian, dengan sejarah penemuan ilmiah, dengan masyarakat pengguna
hasil ilmiah akan sangat membantu dan merangsang untuk mengkonstruksi pengetahuan
mereka.[3]
BAB II
A.    PENDEKATAN KONTRUKTIVISME SOSIAL DENGAN
PEMBELAJARAN MEMBACA

Pendekatan kontruktivis sosial membawa aspek sosial membaca ke garis


depan(Ariza  Lapp, 2011; Hiebert Raphael, 1996). Kontribusi konteks sosial dalam
membantu anak-anak belajar membaca meliputi faktor-faktor seperti banyaknya penekanan
tempat budaya membaca, sejauh mana orangtua memperkenalkan anak-anak mereka pada
buku sebelum memasuki sekolah formal, keterampilan komunikasi guru, sejauh mana guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendiskusikan yang dibaca dan kurikulum
membaca yang diamanatkan(McGee  Richgels,2008). Disisi lain, kontruktivis kognitif
menekankan kontruksi makna oleh siswa, kontruktivis sosial menekankan makna yang
dinegosiasikan secara sosial. Dengan kata lain makna tidak hanya melibatkan kontribusi
pembaca tetapi juga konteks sosial tujuan membaca (Ariza  Lapp, 2011). Pendekatan
kontruktivis sosial menekankan pentingnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk
terlibat dalam dialog yang bermakna mengenai membaca salah satu cara melakukan ini
adalah melalui pengajaran timbal balik.
Pengajaran Timbal Balik Dalam diskusi tentang program
FCLmenjelaskan Pengajaran Timbal Balik dalam hal siswa bergiliran memimpin diskusi
kelompok kecil pengajaran timba balik juga dapat melibatkan guru dan siswa. Dalam
pengajaran timbal balik guru pada awalnya menjelaskan tentang cara menggunakan strategi
dan model untuk memahami teks. Kemudian, mereka meminta siswa untuk menunjjukan
strategi, memberi dukungan saat pelajaran. Seperti dalam perancah, guru secara bertahap
mengansumsikan peran yang kurang aktif, membiarkan siswa menganggap lebih banyak
inisiatif. Misalnya, Annemarie Palincsar dan Ann Brown (1984) menggunakan pengajaran
timbal balik untuk meningkatkan kemampuan siswa memberlakukan strategi tertentu dalam
meningkatkan pemahaman membaca. Dalam intruksi perancah guru, guru bekerja dengan
siswa menghasilkan pertanyaan tentang teks yang dibaca, menjelaskan yang tidak dimengerti,
meringkas teks, dan membuat prediksi.[4]
Penelitian tentang pengajaran timbal balik menunjukkan bahwa ini adalah strategi
yang sangat efektif untuk meningkatkan pemahaman bacaan (Webb & Palincsar, 1996).
Sebagai contoh, penelitian terbaru meneliti pengaruh strategi membaca (meringkas,
mempertanyakan, menjelaskan, dan memprediksi) dalam kelompok kecil pengajaran timbal
balik, pasangan, instruktur kelompok-kelompok kecil yang dipandu (Sporer, Brunstein &
Kieschke, 2009). Dibandingkan dengan kelompok kontrol dari siswa yang menerima intruksi
tradisional, siswa yang menerima intruksi strategi mencapai skor elebih tinggi dalam
pemahaman membaca. Selanjutnya, siswa yang berlatih pengajaran timbal balik dalam
kelompok-kelompok kecil dinilai lebih tinggi pada ujian prestasi membaca siswa dalam
kelompok intruksi yang dipandu tradisional.
Koneksi Sekolah/Keluarga/Masyarakat Dari prespektif kontruktivis sosial, sekolah
bukan satu-satunya konteks sosiakultural yang penting dalam membaca. Keluarga dan
masyarakat juga penting (Ariza  Lapp, 2011), perhatian khusus adalah sebuah penelitian,
rata-rata, anak-anak muda dirumah kesejahteraan mendengar tentang 2.100 kata perjam (Hart
Risley, 1995). Selain itu, anak-anak dirumah kesejahteraan hanya menerima setengah dari
pengalaman bahasa diawal tahun seperti anak-anak dalam keluarga berpenghasilan
menengah. Juga, anak-anak dalam keluarga berpenghasilan tinggi memiliki pengalaman
bahasa bahkan dua kali lipat dari anak-anak dalam keluarga berpenghasilan menengah.
Siswa berisiko tidak mebca diluar sekolah akan jatuh dibelakang saat melalui tahun-
tahun disekolah dasar. Banyak orangtua siswa yang berisiko mengalami kesulitan membaca,
serta masalah dalam mendapatkan buku(Gunning, 2010).
Saya baru-baru ini bertanya pada guru tentang cara mereka membantu siswa dalam
membaca secara efektif. Berikut ini adalah tanggapan mereka.[5]

ANAK USIA DINI


Pada anak usia yang sangat muda,penting untuk memiliki lingkungan cetak-yang-kaya saat
mereka dapat melihat berbagai kata frasa dimana-mana. Kelas kami dipenuhi dengan buku
cerita, kamus bergambar, majalah, dana sebagainya. Juga, setiap objek dalam kelasdiberi
label, misalnya, pintu, kursi, jendela, dan rak buku, sehingga anak-anak mengasosiasikan kata
tercetak pada label buku itu, nama anak-anak dicetak dibanyak tempat, sehingga mereka
terbiasa melihatnya.
SEKOLAH DASAR KELAS 5
Saya membantu anak kelas dua agar membaca lebih efektif dengan menekankan membaca
untuk pemahaman. Saya memasukkan strategi pemahaman pra-membaca, selama- membaca
dan pasca-membaca.dalam pra-membaca, saya menyatakan tujuan dari membaca dan pra-
tinjau gambar, judul, kepala surat, kata tebal, dan sebagainya. Selama membaca, kami
menyeleksi makna(Apakah ini masuk akal? Kata apa saja yang membingungkan?) dan
membaca kembali untuk memahami. Dalam pasca- membaca, kami memeriksa untuk
mengetahui hal apa yang dibaca. Meringkas, dan mencerminkannya.
SEKOLAH MENENGAH
Kelas 6-8 salah satu cara terbaik untuk menjadi pembaca yang lebih baik adalah dengan
membaca! Setiap kali saya menutup era sejarah dengan tingkat ketujuh, saya juga membuat
mereka sadar akan buku terkait yang tersedia diperpustakaan sekolah. Pustakawan akan
menarik buku dari rak-rak yang sesuai dan menampilkannya untuk siswa. Bahkan, yang
paling menarik “non-pembaca” memiliki bukayang ia suka, trik ini untuk menemukan buku
yang tepat!
SEKOLAH TINGGI
Kleas 9-12 dengan cara mengajarkan membaca diamerika, maka tidak heran banyak siswa
membencinya. Kami membuat membaca begitu menyakitkan dan serius, misalnya, kita
memilih selain novel, kita buat kuis dan menguji sampai mati. Guru perlu memperlihatkan
kepada siswa bahwa membaca merupakan hal yang menyenangkan-mereka harus membaca
apa yang siswa membaca, “menjual” buku-buku kepada siswa dengan berbicara tentang
bagian-bagian yang paling menarik, biarkan siswa melihat mereka membaca, dan menjadi
bersemangat dan energik saat mendiskusikan buku-buku baru dikelas.[6]
B.     PENDEKATAN KONTRUKTIVISME SOSIAL DENGAN PEMBELAJARAN
MENULIS
Konteks sosial menulis:
Prespektif kontruktivis soial berfokus pada konteks sosial tulisan diproduksi (Arizal &
Lapp, 2011). Siswa harus berpartisipasi dalam komunitas menulis untuk memahami
hubungan penulis – pembaca dan belajar untuk mengenali cara prespektif mereka mungkin
berbeda dengan orang lain(Hiebert & Raphael, 1996).
Beberapa siswa berlatar belakang banyak pengalaman menulis dan dorongan untuk
menulis ke kelas, sedangkanyang lainnya tidak (More-Hart, 2010). Dibeberapa kelas, guru
menempatkan nilai tinggi pada penulisan, orang lain memperlakukan guru menulis sebagai
kuarang penting. Suatu studi terbaru mengungkapkan bahwa di sekolah saat siswa
menunjukkan prestasi yang tinggi dalam menulis dan membaca, seni bahasa diberi prioritas
tinggi oleh kepala sekolah dan guru (Pressley dkk., 2007b). Kepala sekolah mengarahkan
sumber daya untuk membaca dan menulis intruksi, termasuk ekspansi besar jumlah buku
diperpustakaan sekolah dan dorongan kunjungan lapangan yang berkaitan dengan seni
bahasa.
Tulisan yang bermakna dan konferensi Siswa-Guru.
Menurut pendekatan kontruktivis sosial, kesempatan menulis siswa harus mencakup
untuk  menciptakan teks “nyata”, dalam arti menulis tentang situasi pribadi yang berarti.
Sebgaia contoh perhatikan Anthony, siswa yang sering disuruh gurunya untuk menulis
tentang pengalaman pribadi. Ia menulis tentang kehidupan neneknya dan kematian, dan
gurunya memberinya dukungan yang besar untuk menulis tentang pengalaman emosional ini.
Konferensi menulis siswa-guru berperan penting dalam membantu siswa menjadi penulis
yang lebih baik(Moore-Hart, 2010).[7]
Koneksi Sekolah-Masyarakat
Dalam pendekatan kontruktivis sosial penting untuk menghubungkan pengalaman
siswa disekolah dengan dunia diluar kelas(Comboz, 2010). Strategi yang baik adalah
melibatkan masyarakat menulis dikelas anda. Lihatlah disekitar komunitas anda dan berpikir
tentang penulis ahli yang bisa diundang ke kelas untuk mendiskusikan pekerjaan mereka.
Sebagian besar masyarakat memiliki keahlian tersebut, seperti jurnalis, penulis dan editor.
Salah satu dari empat sekolah menengah di Amerika Serikat diidentifikasikasi oleh Joan
Lipsitz(1984) membentuk Minggu Pengarang khusus ke kurikulumnya. Berdasarkan minat,
ketersediaan siswa, keagamaan, penulis diundang untuk membahas karya mereka dengan
siswa. Siswa mendaftar untuk bertemu penulis. Sebelum bertemu penulis, mereka diwajibkan
untuk membaca stidaknya satu dari buku-buku penulis. Siswa membuat pertanyaan untuk sesi
penulisannya. Dalam beberapa kasus, penulis datang ke kelas selama beberapa hari untuk
bekerja dengan siswa pada proyek-proyek tulisan mereka.
Dalam perjalanan diskusi tentang membaca dan menulis, telah dijelaskan sejumlah gagasan
yang dapat digunakan dikelas. Untuk mengevaluasi membaca dan menulis pengalaman. Saya
baru-baru ini bertanya guru tentang cara mereka membantu siswa dalam meningkatkan
keterampilan menulis mereka. Berikut adalah tanggapan mereka.Anak usia dini secara
bertahap, anak-anak pra-sekolah belajar menulis . mereka mulai dengan menulis, kemudian
beralih kebentuk gambar, kemudian pindah ke menulis aksara dasar. Hal tersebut penting
untuk mendorong dan mendukung (tidak mengoreksi) anak-anak semesntara mereka belajar
dan berlatih.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendekatan kontruktivis sosial menekankan pentingnya memberikan kesempatan
kepada siswa untuk terlibat dalam dialog yang bermakna mengenai membaca salah satu cara
melakukan ini adalah melalui pengajaran timbal balik.
Pendukung konstruktivisme sosial berpendapat bahwa di samping individu, kelompok
di mana individu berada, sangat menentukan proses pembentukan pengetahuan pada diri
seseorang. Melalui komunikasi dengan komunitasnya, pengetahuan seseorang dinyatakan
kepada orang lain sehingga pengetahuan itu mengalami verifikasi, dan penyempurnaan.
Selain itu, melalui komunikasi seseorang memperoleh informasi atau pengetahuan baru dari
masyarakatnya. Vygotsky menandaskan bahwa kematangan fungsi mental anak justru terjadi
lewat proses kerjasama dengan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Sutarjo Adisusilo, “Konstrutivisme Dalam Pembelajaran”.
Uswatun Umi, Hikmah dan Indrya Mulyaningsih,”Pendekatan Teori
Kontruktivistik”, Indonesian Language Education and Literature, (2016), Vol.1: 43.
W. Santrock, John, Psikologi  Pendidikan , Jakarta: Salemba Humanika, 2014.

Anda mungkin juga menyukai