Anda di halaman 1dari 22

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Aliran Konstruktivisme lahir dari sebuah kritik secara terbuka terhadap pendekatan Neorealisme dan Neoliberalisme. Manusia merupakan mahluk individual yang dikonstruksikan melalui sebuah realitas sosial. Konstruksi atas manusia ini akan melahirkan paham yang intersubyektivitas. Hanya dalam proses interaksi sosial, manusia akan saling memahaminya. Dalam melihat hubungan antar sesama individu, nilai-nilai relasi tersebut bukanlah diberikan atau disodorkan oleh salah satu pihak, melainkan kesepakatan untuk berinteraksi itu perlu diciptakan di atas kesepakatan antar kedua belah pihak. Dalam proses ini, faktor identitas individu sangat penting dalam menjelaskan kepentingannya. Interaksi sosial antar individu akan menciptakan lingkungan atau realitas sosial yang diinginkan. Dengan kata lain, sesungguhnya realitas sosial merupakan hasil konstruksi atau bentukan dari proses interaksi tersebut. Hakekat manusia menurut konsepsi konstruktivisme lebih bersifat bebas dan terhormat karena dapat menolak atau menerima sistem internasional, serta membentuk kembali model relasi yang saling menguntungkan. Dalam teorinya, konstruktivistik merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori gestalt. Perbedaannya: pada gestalt permasalahan yang dimunculkan berasal dari pancingan eksternal sedangkan pada konstruktivistik permasalahan muncul dibangun dari pengetahuan yang direkonstruksi sendiiri. Dalam pembelajaran di kelas, teori ini sangat percaya bahwa siswa mampu mencari sendiri masalah, menyusun sendiri pengetahuannya melalui kemampuan berpikir dan tantangan yang dihadapinya, menyelesaikan dan membuat konsep mengenai keseluruhan pengalaman realistik dan teori dalam satu bangunan utuh. Aliran konstruktivisme memberikan implikasi yang sangat besar dalam dunia pendidikan, khususnya di sekolah dasar.

I.2 I.3

Tujuan Untuk bahan belajar Calon Pendidik mengetahui bagaimana memotivasi peserta didik Untuk mengetahui cara melatih peserta didik bertanggung jawab Membantu peserta didik dalam menggali potensi dalam pembelajaran Rumusan Masalah Pengertian Konstruktivisme Teori belajar Konstruktivisme Teori belajar Konstruktivisme Piaget Teori belajar konstruktivisme sosial dari vygotsky Perbandingan antara konstruktivise piaget dengan konstruktivisme vygotsky
Dampak teori konstruktivisme terhadap pembelajaran Kritik atas konstruktivisme

Aplikasi teori konstruktivisme dengan pembelajaran rme

BAB I PEMBAHASAN
I. PENGERTIAN KONTRUKTIVISME Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. II. TEORI BELAJAR KONTRUKTIVISME Teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Konstruktivisme merupakan landasan berpikir ( filosofi ) pembelajaran kontekstual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan member makna melalui pengalaman nyata. Ciri ciri konstruktivisme Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya Murid aktif mengkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses Struktur pembelajaran seputar konsep utama

dengan keaktifan murid sendiri untuk mengajar perubahan konsep ilmiah kontruksi berjalan lancar

Kelebihan dan kekurangan konstruktivisme


3

Kelebihan

Murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjalankan ide dan membuat keputusan. Selain itu murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Kemahiran social diperoleh apabila berinteraksi dengan rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru Kelemahan

Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin kita bisa lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang mendukung, siswa berbeda persepsi satu dengan yang lainnya. A. TEORI KONSTRUKTIVISME PIAGET Piaget menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. a. TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME SOSIAL DARI VYGOTSKY konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar. Konstruktivisme menurut pandangan Vygotsky menekankan pada pengaruh budaya. Vygotsky berpendapat fungsi mental yang lebih tinggi bergerak antara interpsikologi (interpsychological) melalui interaksi sosial dan intra-psikologi
4

(intrapsychological) dalam benaknya. Internalisasi dipandang sebagai transformasi dari

kegiatan eksternal ke internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara inter-psikologi (antar orang) dan intra-psikologi (dalam diri individu).
SISWA SEBAGAI INDIVIDU YAN UNIK

Konstruktivisme sosial memandang setiap pembelajar sebagai individu yang unik dengan keunikan kebutuhan dan latar belakang. Pembelajar juga dipandang secara kompleks dan multidimensional. (Gredler 1997). Konstruktivisme sosial bukan hanya memahami keunikan dan kompleksitas pembelajar, namun juga membangkitkan, memanfaatkan dan memberikan penghargaan pada keduanya sebagai bagian integral dari proses pembelajaran (Wertsch 1997).

b. SELF REGULATED LEARNER (PEMBELAJAR YANG DAPAT MENGELOLA DIRI SENDIRI) Anak-anak kadang berpikir sendiri secara mandiri, tetapi sebagai makhluk sosial kognisi mereka sering kali bersifat kolaboratif. Dalam pendekatan konstruktivis sosial menggunakan sejumlah inovasi dalam pembelajaran di kelas. Menurut pendekatan konstruktivis ini, murid dapat menyusun sendiri pengetahuannya. Karena secara umum pendekatan tersebut menekankan pada konteks sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan ini dibangun dan dikontruksikan secara mutual (bersama). Keterlibatan dengan orang lain membuka kesempatan bagi murid untuk mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman mereka saat mereka bertemu dengan pemikiran orang lain dan saat mereka berpartisipasi dalam pencarian pemahaman bersama. Self Regulated Learner termotivasi untuk belajar oleh dirinya sendiri, bukan karena nilai yang diperolehnya sebagai hasil belajar atau karena motivasi eksternal yang lain, misalnya guru atau orang tuanya. c. TANGGUNG JAWAB PEMBELAJARAN Teori ini menekankan bahwa siswa harus aktif dalam proses pembelajaran, dan berbeda pendapat dengan pandangan pendidikan sebelumnya yang menyatakan tanggung jawab pembelajaran lebih kepada guru atau instruktur, sedangkan siswa berperan secara pasif dan reseptif. Van Glasersfeld menekankan bahwa siswa harus
5

mengkonstruk pemahamannya dan mereka bukan semata-mata kaca yang merefleksikan apa yang dibacanya. Pembelajar mencari makna dan akan mencoba mencari keteraturan dari berbagai kejadian yang ada di dunia bahkan seandainya informasi yang tersedia tidak lengkap. Lebih jauh lagi, ada alasan kuat bahwa tanggung jawab belajar seharusnya berangsur-angsur diberikan kepada pembelajar. Karenanya kostruktivisme social menekankan pentingnya keterlibatan aktif pembelajar dalam proses belajar, tidak seperti pandangan dunia pendidikan sebelumnya yang meletakkan tanggung jawab belajar pada guru untuk mengajar sehingga peran pembelajar pasif, bersifat hanya menerima. Von Glasersfeld (1989) menekankan agar pembelajar mengkonstruksi pemahamannya sendiri dan tidak hanya sekedar meniru dan melakukan begitu saja apa yang ia baca. Ketika tiada informasi yang lengkap, pembelajar mencari kebermaknaan dan memiliki kemauan untuk mencoba menemukan keteraturan dan pola kejadiankejadian di dunia nyata.

d. MOTIVAI PEMBELAJARAN Urgensi Motivasi Proses pembelajaran dapat dipahami atau dijelaskan dengan menggunakan berbagai teori belajar sebagaimana dibahas dalam bagian terdahulu. Guru sering dirisaukan dengan adanya siswa yang dinilai cerdas tetapi mempunyai prestasi yang sedang-sedang saja. Dalam pembelajaran siswa-siswa tersebut sering mengalami berbagai masalah baik dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya. Romiszowski (1984) mengemukakan bahwa kinerja yang rendah dapat disebabkan oleh beberapa factor yang berasal dari dalam dan luar diri siswa. Definisi motivasi Motivasi berasal dari bahasa latin yaitu movere yang berarti menggerakkan. Berdasarkan pengertian ini motivasi menjadi berkembang. Wlodkowski (1985) menjelaskan motivasi sebagai suatu kondisi yang menyebabkan atau menimbulkan perilaku tertentu dan yang memberi arah dan ketahanan pada tingkah laku
6

tersebut.Tokoh-tokoh pendidikan seperti Mc Clelland (1985), Bandura (1977), Bloom (1980), Weiner (1986), Fyans dan Maerh (1987) melakukan berbagai penelitian tentang peranan motivasi belajar dan menemukan hasil yang menarik. Sebagai contoh dalam studi yang dilakukan Fyans dan Maerh diantara 3 faktor, yaitu latar belakang keluarga, kondisi/konteks sekolah dan motivasi, factor yang terakhir merupakan predictor yang paling baik untuk prestasi belajar. Ada empat kategori kondisi motivasional yang harus diperhatikan oleh guru dalam usaha menghasilkan pembelajaran yang menarik, bermakna dan memberikan tantangan bagi siswa. Keempat kondisi motivasionaal tersebut dijelaskan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. Perhatian ( attention ) Relevansi ( relevance ) Kepercayaan diri ( confidence ) Kepuasan ( satisfaction ) Perhatian

Strategi untuk merangsang minat dan perhatian siswa : 1. 2. 3. 4. 5. Gunakan metode penyampaian pembelajaran yang bervariasi Gunakan media untuk melengkapi penyampaian pembelajaran Bila dirasa tepat gunakan humor dalam presentasi pembelajaran Gunakan peristiwa nyata, anekdot dan contoh-contoh untuk memperjelas konsep Gunakan teknik bertanya untuk melibatkan siswa

e. ZONA PERKEMBANGAN (ZONE OF DEVELOPMENT,ZD) Boleh dikatakan bahwa trade mark, ciri khusus dari konsep Vygotsky (1978) yaitu zona perkembangan, zone of development. Seperti yang disampaikan di depan terdapat perbedaan antara apa-apa yang dapat dilakukan siswa tanpa bantuan orang lain (zona perkembangan aktual, ZAD, zone of actual development) dengan apa-apa yang dapat dilakukan siswa dengan bantuan orang lain (perkembangan potensial), yang sering disebut sebagai zona perkembangan terdekat(ZPD, zone of proximal development). Siapa yang dimaksudkan sebagai orang lain di sini adalah teman sebaya atau guru maupun
7

orang tua. Vygotsky meyakini bahwa anak-anak mengikuti contoh-contoh yang diberikan oleh orang dewasa dan secara bertahap mengembangkan kecakapannya untuk melakukan tugas-tugas tertentu tanpa bantuan atau pendampingan orang lain. Proses atau cara memberikan bantuan yang diberikan oleh orang dewasa atau teman sebaya yang lebih berkompeten (capable peer), yang disebut sebagai scaffolding. Rumusan sederhananya mungkin dapat dinyatakan sebagai berikut: ZAD + ZPD + = ZPoD Zona Perkembangan Proksimal Secara formal

Zona Perkembangan Aktual =

Zona Perkembangan Potensial

Vygotsky mendefinisikan ZPD sebagai jarak antara tingkat pengembangan aktual, yang ditentukan melalui pemecahan masalah yang dapat diselesaikan secara individu, dengan tingkat pengembangan potensial, yang ditentukan melalui suatu pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa, atau dengan cara berkolaborasidengan teman-temannya sebaya (Vygotsky, 1978: 6). Dalam kaitan dengan scaffolding ini, lebih lanjut Vygotsky berpendapat bahwa apa-apa yang dapat dikerjakan siswa dengan cara bekerja sama dengan orang-orang yang berkompeten pada hari ini, tentu dapat dilakukannya sendiri besok pagi. f. PERAN GURU SEBAGAI FASILITATOR Dalam konteks pendidikan, istilah fasilitator semula lebih banyak diterapkan untuk kepentingan pendidikan orang dewasa (andragogi), khususnya dalam lingkungan pendidikan non formal. Namun sejalan dengan perubahan makna pengajaran yang lebih menekankan pada aktivitas siswa, belakangan ini di Indonesia istilah fasilitator pun mulai diadopsi dalam lingkungan pendidikan formal di sekolah, yakni berkenaan dengan peran guru pada saat melaksanakan interaksi belajar mengajar. Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa sebagai fasilitator, guru berperan memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Peran guru sebagai fasilitator membawa konsekuensi terhadap perubahan pola hubungan guru-siswa, yang semula lebih bersifat top-down ke hubungan kemitraan. Dalam hubungan yang bersifat top-down, guru seringkali diposisikan sebagai atasan
8

yang cenderung bersifat otoriter, sarat komando, instruksi bergaya birokrat, bahkan pawang, sebagaimana disinyalir oleh Y.B. Mangunwijaya (Sindhunata, 2001). Sementara, siswa lebih diposisikan sebagai bawahan yang harus selalu patuh mengikuti instruksi dan segala sesuatu yang dikehendaki oleh guru. Berbeda dengan pola hubungan top-down, hubungan kemitraan antara guru dengan siswa, guru bertindak sebagai pendamping belajar para siswanya dengan suasana belajar yang demokratis dan menyenangkan. Oleh karena itu, agar guru dapat menjalankan perannya sebagai fasilitator seyogyanya guru dapat memenuhi prinsipprinsip belajar yang dikembangkan dalam pendidikan kemitraan, yaitu bahwa siswa akan belajar dengan baik apabila: 1. Siswa secara penuh dapat mengambil bagian dalam setiap aktivitas pembelajaran
2. Apa yang dipelajari bermanfaat dan praktis (usable).

3. Siswa mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh pengetahuan dan keterampilannya dalam waktu yang cukup. 4. Pembelajaran dapat mempertimbangkan dan disesuaikan dengan pengalamanpengalaman sebelumnya dan daya pikir siswa. 5. Terbina saling pengertian, baik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa Di samping itu, guru seyogyanya dapat memperhatikan karakteristik-karakteristik siswa yang akan menentukan keberhasilan belajar siswa, diantaranya: 1. Setiap siswa memiliki pengalaman dan potensi belajar yang berbeda-beda. 2. Setiap siswa memiliki tendensi untuk menentukan kehidupannnya sendiri. 3. Siswa lebih memberikan perhatian pada hal-hal menarik bagi dia dan menjadi kebutuhannnya. 4. Apabila diminta menilai kemampuan diri sendiri, biasanya cenderung akan menilai lebih rendah dari kemampuan sebenarnya. 5. Siswa lebih menyenangi hal-hal yang bersifat kongkrit dan praktis. 6. Siswa lebih suka menerima saran-saran daripada diceramahi.
7. Siswa lebih menyukai pemberian penghargaan (reward) dari pada hukuman

(punishment).

Selain dapat memenuhi prinsip-prinsip belajar dan memperhatikan karakteristik individual, juga guru dapat memperhatikan asas-asas pembelajaran sebagai berikut:
1. Kemitraan, siswa tidak dianggap sebagai bawahan melainkan diperlakukan

sebagai mitra kerjanya


2. Pengalaman nyata, materi pembelajaran disesuaikan dengan pengalaman dan

situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari siswa.


3. Kebersamaan, pembelajaran dilaksanakan melalui kelompok dan kolaboratif. 4. Partisipasi, setiap siswa dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan

sehingga mereka merasa bertanggung jawab atas pelaksanaan keputusan tersebut, sekaligus juga bertanggung atas setiap kegiatan belajar yang dilaksanakannya.
5. Keswadayaan, mendorong tumbuhnya swadaya (self supporting) secara

optimal atas setiap aktivitas belajar yang dilaksanakannya.


6. Manfaat, materi pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan dan dapat

memberikan manfaat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi siswa pada masa sekarang mau pun yang akan datang.
7. Lokalitas, materi pembelajaran dikemas dalam bentuk yang paling sesuai

dengan potensi dan permasalahan di wilayah (lingkungan) tertentu (locally specific), yang mungkin akan berbeda satu tempat dengan tempat lainnya. Pada bagian lain, Wina Senjaya (2008) mengemukakan bahwa agar guru dapat mengoptimalkan perannya sebagai fasilitator, maka guru perlu memahami hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan berbagai media dan sumber belajar. Dari ungkapan ini, jelas bahwa untuk mewujudkan dirinya sebagai fasilitator, guru mutlak perlu menyediakan sumber dan media belajar yang cocok dan beragam dalam setiap kegiatan pembelajaran, dan tidak menjadikan dirinya sebagai satu-satunya sumber belajar bagi para siswanya. Terkait dengan sikap dan perilaku guru sebagai fasilitator, di bawah ini dikemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan guru untuk dapat menjadi seorang fasilitator yang sukses:
a. Mendengarkan dan tidak mendominasi. Karena siswa merupakan pelaku

utama dalam pembelajaran, maka sebagai fasilitator guru harus memberi

10

kesempatan agar siswa dapat aktif. Upaya pengalihan peran dari fasilitator kepada siswa bisa dilakukan sedikit demi sedikit.
b. Bersikap sabar. Aspek utama pembelajaran adalah proses belajar yang

dilakukan oleh siswa itu sendiri. Jika guru kurang sabar melihat proses yang kurang lancar lalu mengambil alih proses itu, maka hal ini sama dengan guru telah merampas kesempatan belajar siswa.
c. Menghargai dan rendah hati. Guru berupaya menghargai siswa dengan

menunjukan minat yang sungguh-sungguh pada pengetahuan dan pengalaman mereka


d. Mau belajar. Seorang guru tidak akan dapat bekerja sama dengan siswa apabila

dia tidak ingin memahami atau belajar tentang mereka.


e. Bersikap sederajat. Guru perlu mengembangkan sikap kesederajatan agar bisa

diterima sebagai teman atau mitra kerja oleh siswanya


f. Bersikap akrab dan melebur. Hubungan dengan siswa sebaiknya dilakukan

dalam suasana akrab, santai, bersifat dari hati ke hati (interpersonal realtionship), sehingga siswa tidak merasa kaku dan sungkan dalam berhubungan dengan guru.
g. Tidak berusaha menceramahi. Siswa memiliki pengalaman, pendirian, dan

keyakinan tersendiri. Oleh karena itu, guru tidak perlu menunjukkan diri sebagai orang yang serba tahu, tetapi berusaha untuk saling berbagai pengalaman dengan siswanya, sehingga diperoleh pemahaman yang kaya diantara keduanya.
h. Berwibawa. Meskipun pembelajaran harus berlangsung dalam suasana yang

akrab dan santai, seorang fasilitator sebaiknya tetap dapat menunjukan kesungguhan di dalam bekerja dengan siswanya, sehingga siswa akan tetap menghargainya.
i.

Tidak memihak dan mengkritik. Di tengah kelompok siswa seringkali terjadi pertentangan pendapat. Dalam hal ini, diupayakan guru bersikap netral dan berusaha memfasilitasi komunikasi di antara pihak-pihak yang berbeda pendapat, untuk mencari kesepakatan dan jalan keluarnya.

j.

Bersikap terbuka. Biasanya siswa akan lebih terbuka apabila telah tumbuh kepercayaan kepada guru yang bersangkutan. Oleh karena itu, guru juga jangan segan untuk berterus terang bila merasa kurang mengetahui sesuatu, agar siswa memahami bahwa semua orang selalu masih perlu belajar
11

k. Bersikap positif. Guru mengajak siswa untuk mamahami keadaan dirinya

dengan menonjolkan potensi-potensi yang ada, bukan sebaliknya mengeluhkan keburukan-keburukannya. Perlu diingat, potensi terbesar setiap siswa adalah kemauan dari manusianya sendiri untuk merubah keadaa. g. KOLABORASI ANTAR PELAJAR Pembelajar dengan keterampilan dan latar beakang yang berbeda diakomodasi untuk melakukan kolaborasi dalam penyelesaian tugas dan diskus-diskusi agar mencapai pemahaman yang sama tentang kebenaran dalam suatu wilayah bahasan yang spesifik. Disini kerja sama atau kolaboratif lebih bermakna dari kompetitif. Konsep ini juga terkait dengan konsep ZPD. Agar mampu meningkatkan perkembangan aktualnnya menjadi perkembangan potensial diperlukan penguatan melalui kerjasama dengan teman sebayanya yang berkemampuan ( capable peers) h. PEMAGANGAN KOGNITIF ( COGNITIF APPRENTICESHIP) Masa Magang Kognitif ini adalah suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman yang lebih pandai.
i. PROSES TOP DOWN ( PROSES DARI ATAS KE BAWAH)

Teori konstruktivis yang menekankan bahwa siswa siswa harus membangun sendiri pengetahuannya menggunakan pendekatan top-down dalam pembelajaran. Istilah top-down mengacu pada, siswa memulai pembelajaran dengan menghadapi masalahmasalah rumit dan nyata dalam kehidupan sehari-hari, sebelum mereka diberikan tugas untuk mengembangkan kemampuan dasar mereka terkait mata pelajaran yang sedang dipelajari. Sebuah contoh, pada pembelajaran dengan pendekatan top-down, siswa mungkin terlebih dahulu belajar untuk menemukan berapa uang yang diperlukan untuk membeli 2 buah pensil yang harganya Rp. 2.500,-. Mereka diberi persoalan yang terkait kehidupan sehari-hari yang sebenarnya lebih komplek dan rumit bila dibanding konsep dasar perkalian pada mata pelajaran matematika. Nah, setelah siswa dapat menemukan uang yang dibutuhkan untuk membeli dua pensil yang harganya Rp. 2.500,- adalah
12

sebesar Rp. 5.000,- barulah mereka diajak untuk menemukan konsep perkalian dengan bilangan yang lebih sederhana, misalnya 2 x 15, dll. Pada pendekatan top-down yang berkaitan dengan implikasi teori konstruktivis ini, sering pula persoalan komplek dimunculkan oleh siswa sendiri, bukannya dari guru, ketika mereka menemukan masalah dalam kehidupan sehari-hari. j. PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME Implementasi pendekatan konstruktivis dalam pengajaran pada umumnya menerapkan secara luas pembelajaran kooperatif (Cooperative learning) dengan landasan berpikir, bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit (top down process) jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya dalam kelompok-kelompok kecil (small group discussion) ini umumnya terdiri dari empat orang. Sumber yang lain menyarankan anatara 2 6 orang per kelompok. Disinilah peran rekan sebaya lebih kompeten (Capable Peers) ditampilkan. Secara rutin dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh guru, kelompok siswa tertentu bekerja sama saling membantu untuk menyelesaikan masalah kompleks tertentu. Hal ini dilanadasi oleh prinsip vygotsky tentang hakikat social, yakni belajar. Kecuali melalui metode pembelajaran kooperatif, juga disarankan penerapan pembelajaran dengan penemuan (discovery learning) serta pembelajaran generative ( Generative learning ) dalam implementasi pendekatan konstruktivis esensi pembelajaran generative adalah pengintegrasian aktif materi baru dengan skenata yang ada dan telah dibentuk oleh siswa, dalam hal ini sesuai dengan teori scaffolding, melalui pembelajaran generative para siswa melakukan operasi mental atau kerja otak terhadap informasi baru itu sehingga informasi baru itu masuk ke dalam pemahaman mereka. k. BELAJAR DENGAN CARA MENGAJAR ( LEARNIG BY TEACHING) SEBAGAI METODE KONSTRUKTIVISME Dalam hal ini siswa dihadapkan kepada situasi pembelajaran yang baru dan dilatih bersama-sama dengan rekan sekelasnya untuk saling mengajar tentang pengetahuan baru itu, sehingga akan terjadi proses konstruksi pengetahuan secara kolektif yang nonlinear. Menrut sejumlah penelitian metode belajar sambil mengajar ini merupakan metode yang
13

KOOPERATIF

SEBAGAI

IMPLEMENTASI

amat efektif untuk mengembangkan kompetensi siswa, dengan cara ini lebih mudah terjadi perubahan struktur kognitif yang lebih adaktif terhadap pengetahuan yang baru. Dalam konteks ini mel sibreman (1996 ;2), seorang konstruktivis yang mengembangkan puluhan metode pembelajaran aktif (student active learning) dengan cara memadukan filosofi konfusius (Kong Hu Cu) tentang pembelajaran dengan asas konstruktivisme, menuliskan puisinya terkait learning by teaching sebagai berikut : Apa yang saya dengar, saya lupa. Apa yang saya dengar dan lihat, saya ingat sedikit. Apa yang saya dengar, lihat dan tanyakan atau diskusikan dengan beberapa teman lain, saya mulai paham. Apa yang saya dengar, lihat, diskusiskan, dan lakukan, saya memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Apa yang saya ajarka pada orang lain, saya kuasai. Prinsip dasar dari konstruktivisme yang harus dipegang oleh pengajar adalah bahwa siswa lebih baik belajar dengan berbuat (Learning by doing) daripada belajar dengan mengamati (ini sebabnya Jhon dewey dianggap sebagi salah satu peletak dasar Konstruktivisme). Dalam kaitan ini J.G dan M.G Brooks, dalam bbukunya berjudul A case for Constructivist Classrom, seperti yang diungkap oleh Andy Carvin (1986) menuliskan ada 12 prinsip pokok dalam praktik pembelajaran konstruktivisme yang meliputi : Mendorong dan menerima otonomi dan inisiatif siswa Menggunakan data kasar dan data primer bersama-sama dengan bahan-bahan manipulatif, interaktif, dan fisik. Dalam perencanaan pembelajaran, guru menggunakan istliah kognitif seperti klasisifikasi, analisis, dan menciptakan/ membentuk/ membangun Menyertakan respon siswa untuk mendorong pembelajaran,
14

mengubah strategi pembelajaran, dan mengubah isi (pokok bahasan)

Menggali pemahaman siswa tentang konsep-konsep sebelum para siswa melakukan praktik saling berbagi ( Sharing ) pemahamannya tentang konsep tersebut : Mendorong siswa agar terlibat aktif dalam dialog, baik dengan guru maupun dengan sesame siswa. Mendorong timbbulnya sikap inkuiri (menemukan, menyelidiki,) siswa dengan jalan bertanya tentang sesuatu yang menuntut berpikir mendalam dan kritis, pertanyaan berujung terbuka dan mendorong siswa unutk saling bertanya dengan sesame temannya. Mengolaborasi, mengembangkan respon awal siswa; Melibatkan siswa dalam pengalaman-pengalaman belajar yang dapat membangkitkan kontradiksi dengan hipotesis awal yang dibuatnya, kemudian mendorong terjadinya diskusi yang intens. Menyediakan waktu tunggu setelah mengajukan sejumlah pertnyaan, untuk member kesempatan siswa berpikir. Menyediakan waktu bagi siswa untuk membangun hubungan antara pengetahuan baru dengan struktur kognitif awalnya dan menciptakan analogi atau kiasan-kiasan. Memelihara dan mengembngkan sikap keingin tahuan alamiah siswa dengan menggunakan sesering mungkin siklus belajar.

III. PERBANDINGAN

ANTARA

KONSTRUKTIVISE

PIAGET

DENGAN

KONSTRUKTIVISME VYGOTSKY

15

KONSTRUKTIVISME PIAGET Aspek pembelajaran konstruktivisme menurut J. Piaget bermakna adaptasi terhadap lingkungan yang dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.

Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.sedangkan Akomodasi, terjadi jika skema yang ada tidak cocok dengan rangsanganya. Maka dientuklah skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu dan proses ini terjadi seiring dengan bertambahnya usia. jadi, menurut piaget perkembangan kognitif pada manusia adalah sebuah proses biologis. KONSTRUKTIVISME VYGOTSKY Menurut Vygotsky, apa yang menjadi perilaku manusia adalah proses menyesuaikan diri dengan apa yang sesuai atau diharapkan lingkungan. Perkembangan kognitif pada manusia selain proses biologis, juga karena proses transformasi. Tetapi tumbuh kembangnya dipengaruhi oleh lingkungan. (Vigotsky menyebutnya sebagai konstruksi sosial) Manusia bukan hanya berkembang dalam arti sosial biologis, namun fungsi-fungsi psikologis terus meningkat dan berkembang karena manusia bertransformasi dalam konteks sosial dan pendidikan. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Pembangunan pengetahuan terjadi melalui interaksi sosial, begitupun dengan bentuk perkembangan kognitifnya yang terjadi karena keterkaitan diantara individu dan konteks sosial. IV. DAMPAK TEORI KONSTRUKTIVISME TERHADAP PEMBELAJARAN

Datara lain dapat bmpak teori konstruktivisme secara umum yang merupakann gabungan penerapan baik dari konsep piaget maupun vygotsky terhadap pembelajaran, antara daat berkenaan dengan:

16

Tujuan pendidikan

: Menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk masalah yang dihadapi menyelesaikan setiap

Kurikulum

: konstruktivisme tidak memerlukan kurikulum yang di standarisasikan. Oleh karena itu lebih diperlukan kuriklum yang telah disesuaikan dengan pengetahuan awal siswa. Juga diperlukan kurikulum yang lebih menekankan keterampiillan pemecahan masalah (hands out problem solving). Dengan kata lain kurikulum harus dirancang sedemikian rupa, sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan maupun keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik.

Pengajaran

: di bawah teori konstruktivisme, pendidik berfokus terhadap bagaimana menyusun hubungan antar faktafakta serta memperkuat perolehan pengetahuan yang baru bagi siswa. Pengajar harus menyusun strategi pembelajaranya dengan memperhatikan respon/ tanggapan dari siswa serta mendorong siswa untuk menganalisis, menafsirkan dan meramalkan informasi. Guru juga harus berupaya dengan keras menghadirkan pertanyaan berhujung terbuka (oppen-ended question) dan mendorong terjadinya diaolg yang ekstensif antar siswa. Dalam konsep ini sebaiknya guru berfungsi sebagai fasilitato dan mediator dan teman (mitra belajar) yan membangun situasi kondusif untu terjadinya konstruksi pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik.

Pembelajar

: diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai dengan dirinya.

17

Penilaian

: konstruktivisme tidak memelukan adanya test yang baku sesuai dengan tingkat kelas. Namun, justru memerlukan berperan bagian lebih dari proses dalam pembelajaran menilai dan (penilaian autentik) sehingga memungkinkan siswa besar mempertimbangkan kemajuannya atau hasil belajarnya sendiri. hal ini merupakan alasan untuk menghadirkan portofolio sebagai model penilaian. Portofolio secara ringkas dapat dimaknai sebagai bukti-bukti fisik ( hasil ujian, makalah, hasil keterampilan, piagam, piala, catatan anekdot da lain-lain) hasil belajar atau hasil kinerja siswa.

III. KRITIK ATAS KONSTRUKTIVISME

Kritik terutama dilancarkan terhadap konstruktivisme social vygotsky justru pada jantung teorinya, yaitu ZPD. Ada suatu dilema antara belajar yang dipandu guru dalam kaitan perkembangan potensial dengan belajar tanpa bantuan guru (Perkembangan Aktual), karena kurang memperdulikan pengaruh konsistensi dari bimbingan. Kecuali itu, bagaimanapun juga pendapat para behavioris tidak semuanya keliru. Para kontruktivis yang menganggap bahwa belajar, yaitu semata-mata memorisasi telah mengabaikan bahwa belajar juga menyangkut perubahan perilaku atau perubahan tindakan. Walaupun konstruktivisme mendapatkan popularitas besar sebagai filosofi pembelajaran, itu tidak berarti bahwa seluruh teknik pembelajaran yang berbasis pada konstruktivisme efisien atau efektif bagi semua siswa. Krtik yang lain terkait dengan perbedaan pandangan antara konstruktivis dengan para maturasionis. Para konstruktivis berpendapat bahwa proses dialektika dan proses interkasi bagi perkembangan dan belajar melalui konstruksi aktif oleh siswa, dapat difasilitasi dan dibantu oleh orang dewasa. Sedangkan para penganut maturasionis romantic berpendapat bahwa perkembangan siswa berlangsung secara alami (maturasional development) tanpa harus ada bantuan orang dewasadalam sutau lingkungan yang permisif. Dengan kata lain, orang dewasa berperan secara aktif dalam memandu belajar menurut konstruktivisme, sedangkan menurut maturansionisme siswa dibiarkan memandu
18

dirinya sendiri sesuai tahap-tahap perkembangan umurnya. Disamping jean jaques Rousseau para penganut maturasionis lainnya adalah ahli pendidikan Swiss Hainrich Pestalozzi, dan penemu system pendidikan kindergarten, Friedrich Frobel. Aplikasi teori konstruktivisme dengan pembelajaran RME PMRI merupakan bagian dari teori konstruktivisme, sehingga dalam belajar

matematika dengan PMRI, kegiatan guru bukanlah memindahkan pengetahuan matematika yang dimiliki kepada siswanya, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuan yang dimilikinya. Pengajar atau guru dalam PMRI lebih banyak berperan sebagai mediator atau fasilitator yang membantu kepada setiap kelompok, agar proses belajar siswa dalam kelompoknya berjalan dengan baik. pembelajarannya perlu memfasilitasi agar siswa dalam setiap Guru dalam kelompok antusias

menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan orientasi atau arahan, dan membantu kelompok yang bertanya apabila pembelajarannya dilakukan dalam kelompok kecil. Apabila dikaitkan dengan pembelajaran PMRI, fungsi guru sebagai mediator dan fasilitator yang telah diungkapkan di atas, diperlukan beberapa strategi kegiatan yang perlu dikerjakan dan beberapa pemikiran yang perlu dilakukan oleh guru, antara lain: 1. Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang dibutuhkan siswa untuk belajar. 2. Guru perlu mengerti pengalaman belajar apa yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. 3. Guru perlu menghargai pemikiran siswa untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang dimilikinya. Dengan demikian, guru perlu membiarkan siswa menemukan cara yang paling menyenangkan untuk bekerja sama dalam kelompoknya dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. PMRI merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk membangun gagasan atau pemahaman sendiri. Dalam kegiatan pembelajaran dengan pendekatan PMRI, guru melibatkan siswa secara aktif dalam kelompokkelompok kecil, menghargai usaha siswa, sehingga menemukan makna konsep. Langkah Umum Pelaksanaan RME
19

Langkah-langkah pembelajaran dengan RME secara umum: a. Mempersiapkan Kelas 1. Persiapkan sarana dan prasarana pembelajaran yang diperlukan, misalnya perangkat pembelajaran, lembar aktivitas siswa, alat tulis, dll. 2. Kelompokkan siswa jika perlu (sesuai rencana). 3. Sampaikan tujuan atau kompetensi dasar yang diharapkan dicapai serta cara belajar yang akan dipakai pada hari itu. b. Kegiatan Pembelajaran 1. Berikan masalah kontekstual. 2. Berilah penjelasan singkat seperlunya saja jika ada siswa yang belum memahami soal atau masalah kontekstual yang diberikan. 3. Mintalah siswa secara kelompok ataupun secara individual untuk mengerjakan atau menjawab masalah kontekstual yang diberikan dengan caranya sendiri. Berilah waktu yang cukup untuk siswa mengerjakannya. 4. Jika dalam waktu yang dipandang cukup, siswa tidak ada satu pun yang dapat menemukan cara pemecahan, berilah petunjuk seperlunya. 5. Mintalah seorang siswa atau wakil kelompok siswa untuk menyampaikan hasil kerjanya. 6. Tawarkan kepada seluruh kelas untuk mengemukakan pendapatnya atau tanggapan tentang berbagai pnyelesaian yang disajikan temannya di depan kelas. Bila ada penyelesaian lebih dari satu, ungkapkanlah semua. 7. Buatlah kesepakatan kelas tentang penyelesaian manakah yang dianggap paling tepat. Terjadi suatu negosiasi. Berikanlah penekanan kepada penyelesaian yang dipilih atau benar. 8. Bila masih tidak ada penyelesaian yang benar, mintalah siswa untuk memikirkan cara lain. (Soedjadi, dalam Jurnal Pendidikan Matematika, 1(2), 2007: 9 10). Dari langkah-langkah di atas terlihat jelas bahwa dalam pembelajaran dengan pendekatan RME dapat melatih komunikasi siswa, sehingga kemampuan siswa dalam komunikasi diharapkan dapat meningkat.

20

Kesimpulan
Jadi teori kontruktivisme adalah sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget yang merupakan bagian dari teori kognitif juga. Piaget menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru

21

DAFTAR PUSTAKA
Sindhunata. 2001. Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman, Yogyakarta : Kanisius Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Proyek P2MPD. 2000. Fasilitator dalam Pendidikan Kemitraan (Materi IV-4-1). Jakarta.
http://nuansaromantis.blogspot.com/2012/05/upaya-meningkatkan-kemampuan-komunikasi.html? m=1 http://word41step.wordpress.com/2010/04/27/perbedaan-konstruktivisme-piaget-dan-vygotsky/ http://www.google.co.id/#hl=id&spell=1&q=PERBANDINGAN+ANTARA+KONSTRUKTIVISME +PIAGET+DENGAN+KONSTRUKTIVISME+VYGOTSKY&sa=X&ei=e5t1UPCSF4rSrQfAtYCQ CQ&ved=0CBkQBSgA&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.&fp=a2800dbb340d3b49&bpcl=35243188&bi w=1366&bih=566

22

Anda mungkin juga menyukai