Anda di halaman 1dari 8

Teori Belajar Konstruktivisme dalam Kurikulum Merdeka Belajar

Aniza Nabila Nur Setya1


Nur Ita Rahmawati2
Universitas Muhammadiyah, Malang

Pengantar

Teori konstruktivisme merupakan teori yang sudah tidak asing lagi bagi dunia
pendidikan, sebelum mengetahui lebih jauh tentang teori konstruktivisme alangkah lebih baiknya
diketahui dulu konstruktivisme itu sendiri. Konstruktivisme berarti bersifat membangun. Dalam
konteks filsafat pendidikan, konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup
yang berbudaya modern. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, bahwa konstruktivisme
merupakan sebuah teori yang sifatnya membangun dari segi kemampuan, pemahaman, dalam
proses pembelajaran. Sebagai suatu teori dalam pembelajaran, konstruktivisme muncul
belakangan setelah teori behaviorisme dan kognitivisme walaupun semangat konstruktivisme
sendiri sudah muncul sejak awal abad 20 diantaranya melalui pemikiran Jean Piaget dan
Vygotsky. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan
pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi (bentukan). Bentukan kognitif (pengetahuan)
berasal dari pengalaman dan juga karena faktor sosial. Yaitu hubungan sosial manusia sebagai
individu yang berinteraksi dengan individu yang lain dan juga terhadap lingkungannya. Dalam
teori konstruktivisme, mengedepankan bahwa pengetahuan setiap individu yang satu dengan
individu lainnya akan berbeda dan mengalami keberagaman. Daya tangkap atas pengetahuan
baru yang diperoleh masing-masing individu akan sangat berdinamika sesuai dengan tingkat
pemahaman dan juga pengetahuan masing-masing individu. Dua tokoh penting pembentukan
teori konstruktivisme adalah Jean Piaget dan Lev Vygotsky (Harasim, 2007).

Pandangan Jean Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama yang menegaskan
bahwa penekanan teori konstruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan

1
Aniza Nabila Nur Setya, Program Studi Magister Pedagogi Universitas Muhammadiyah Malang
2
Nur Ita Rahmawati, Program Studi Magister Pedagogi Universitas Muhammadiyah Malang
yang dibangun dari realitas lapangan. Konstruktivisme Piaget menekankan pada proses yang
dilalui peserta didik untuk mengetahui sesuatu dan tahapan yang dilalui untuk memperoleh
pengetahuan tersebut (Trianto, 2007). Pandangan Vygotsky terhadap teori konstruktivisme
bahwa salah satu konsep dasar pendekatan konstruktivisme dalam belajar adalah adanya
interaksi sosial individu dengan lingkungannya. Vygotsky sangat menekankan pentingnya peran
interaksi sosial bagi perkembangan belajar seseorang (Baharuddin, 2008). peserta didik sebagai
individu yang menerima ilmu pengetahuan dalam proses pembelajaran menjadi sesuatu yang
harus mendapatkan perhatian khusus. Dalam pendidikan, individu utama yang menjadi pokok
pembahasan yang menjadi subjek dan sekaligus objek pembelajaran adalah peserta didik. Peserta
didik sebagai individu yang siap untuk menerima ilmu-ilmu baru, pemahaman-pemahaman baru
dari beberapa bidang ilmu yang akan diperolehnya dalam pendidikan atau bangku sekolah.

Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum yang memperbarui kurikulum darurat dan


kurikulum prototipe yang dikeluarkan pada masa pandemi yang dilakukan oleh Kementrian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) untuk meningkatkan kualitas
pendidikan di Indonesia. Adapun tujuan yang menonjol dari kurikulum merdeka adalah
pembelajaran yang menekankan pada proses pembelajaran, asesmen yang fleksibel dengan
aktivitas project-based learning untuk menciptakan peserta didik sesuai dengan Profil Pelajar
Pancasila. Jika kita telaah lebih jauh, maka kita akan menemukan bahwa kurikulum merdeka
memiliki semangat yang selaras dengan paradigma pembelajaran konstruktivisme.

Pembahasan

Yulaelawati (2004:54) mengemukakan ciri-ciri pembelajaran konstruktivis menurut


beberapa literatur yaitu pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang
telah ada sebelumnya; Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan
berdasarkan pengalaman dan berupa penafsiran personal tentang dunia; Pengetahuan tumbuh
karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai informasi atau menyepakati
suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama dengan orang lain; Belajar harus
disituasikan dalam latar (setting) yang realistik, penilaian harus terintegrasi dengan tugas dan
bukan merupakan kegiatan yang terpisah. Sedangkan menurut Suparno (1997), prinsip-prinsip
utama dalam teori konstruktivisme bahwa pengetahuan dibangun oleh peserta didik secara aktif
karena proses belajar terletak pada peserta didik. Karena kegiatan pembelajaran adalah
membantu peserta didik belajar dan menekankan pada proses belajar bukan pada hasil akhir dari
pembelajaran, dan pendidik adalah sebagai seorang fasilitator yang membantu peserta didik
untuk mengembangkan pikiran mereka berdasarkan atas pengalaman mereka.

Melvin L. Cybermen (dalam Nurhasnawati, 2005) terdapat beberapa strategi


pembelajaran dalam konstruktivistik yaitu pertama, Belajar aktif merupakan suatu pendekatan
dalam pengelolaan sistem pembelajaran melalui cara-cara belajar yang aktif dengan cara
pendidik sebagai fasilitator berperan untuk menyediakan sarana bagi peserta didik untuk
memudahkan mereka dalam belajar. peserta didik juga terlibat dalam proses belajar bersama
pendidik, karena peserta didik dilibatkan untuk menemukan sendiri dalam pembelajaran dan
menyampaikan hasil perolehannya secara komunikatif. Kedua, Belajar mandiri yaitu memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk menentukan tujuan belajarnya, merencanakan proses
belajarnya, menggunakan sumber belajar yang dipilihnya, membuat keputusan-keputusan
akademis dan melakukan kegiatan yang dipilihnya untuk mencapai tujuan belajarnya. Sedangkan
peran utama pendidik dalam belajar mandiri adalah sebagai konsultan dan fasilitator, bukan
sebagai otoritas dan satu-satunya sumber ilmu. Ketiga, Belajar kooperatif dan kolaboratif
bertujuan untuk membangun pengetahuan dalam diri individu melalui kerja dan diskusi
kelompok, sehingga terjadi pertukaran ide dari satu anggota kelompok kepada anggota kelompok
lainnya. peserta didik belajar untuk membangun pengetahuan berdasarkan suatu fakta atau
prinsip yang diketahuinya. Keempat, Generative learning berasumsi bahwa peserta didik bukan
penerima informasi yang pasif, melainkan peserta didik aktif berpartisipasi dalam proses belajar
dan dalam mengkonstruksi makna dari informasi yang ada di sekitarnya. pendidik mengharapkan
peserta didik menghasilkan sendiri makna dari informasi yang diperolehnya.

Seperti dijelaskan diatas bahwa kurikulum merdeka merupakan kurikulum baru untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia ini selaras dengan paradigma pembelajaran
konstruktivisme dimana poin yang ditonjolkan dalamnya yaitu pembelajaran yang menekankan
pada proses, pembelajaran dilakukan dengan asesmen yang fleksibel dan juga aktivitas project
based learning yang terdapat dalam Profil Pelajar Pancasila (PPP). Posisi teori konstruktivisme
dalam dunia pendidikan saat ini bisa dilihat dari hasil para pakar pendidikan yang menilai bahwa
saat ini kemampuan dalam high order thinking skills (HOTS) sangat dibutuhkan oleh para
peserta didik. Terdapat dua komponen dalam HOTS yakni berpikir kritis dan berfikir kreatif
tentunya hal ini menjadi salah satu dimensi profil pelajar pancasila dalam kurikulum merdeka.
Berpikir kritis berbeda dengan berpikir logis. Berpikir logis adalah berpikir secara praktis,
sedangkan berpikir kritis adalah berpikir secara konseptual. Berpikir kritis tidak semata-mata
mengetahui apa yang nampak atau aktual saja melainkan juga mampu melihat diluar jangkauan
apa yang nampak, mampu membedakan mana yang penting dan mana yang tidak penting.
Sementara itu berpikir kreatif adalah berpikir dengan imajinasi atau berpikir out of the box.
Berpikir kreatif dan berpikir kritis dapat tumbuh dalam lingkungan yang mengimplementasikan
pembelajaran konstruktivisme. Contoh lain nya dalam teori konstruktivisme di kurikulum
merdeka adalah pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah (problem solving).
Problem Solving disini merupakan aktivitas kognitif manusia yang otentik dan komplek.
Pengetahuan akan bermakna ketika lewat banyak sudut pandang. Pembelajaran problem solving
mudah terealisasi dengan pendekatan konstruktivisme yang menekankan proses, berorientasi
pada kebutuhan peserta didik dan kolaborasi.

Dari uraian diatas pembelajaran dan pendekatan konstruktivisme nampak jelas dalam
Kurikulum Merdeka Belajar. Beberapa aspek yang mencerminkan konstruktivisme diantaranya
kolaborasi, belajar aktif, pengalaman belajar, menekankan proses belajar dan asesmen yang lebih
komprehensif. Salah satu fitur dari kurikulum merdeka yang selaras dengan konstruktivisme
adalah scaffolding. Metode ini merupakan pendidikan pembelajaran dengan suatu bantuan dan
saat performa membaik maka bantuan tersebut perlahan dikurangi secara bertahap. Dalam
pembelajaran, scaffolding merupakan bantuan pendidik kepada peserta didik selama tahap awal
pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil
alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya. Scaffolding adalah
istilah lain dari ZPD atau Zone of Proximal Development yang melalui ZPD, pembelajaran
berlangsung saat peserta didik menyelesaikan masalah di luar batas kemampuannya, tapi masih
memiliki potensi berkembang di bawah bimbingan atau kolaborasi dengan rekan yang lebih
mampu. Scaffolding salah satunya dilakukan melalui peer instruction dalam salah satu
pembelajaran dalam kurikulum merdeka.
Pembelajaran berdiferensiasi juga merupakan metode pembelajaran yang mendukung
teori konstruktivisme. Pembelajaran diferensiasi sangat erat kaitannya dengan filosofi pendidikan
dari Ki Hajar Dewantara. Pembelajaran berdiferensiasi adalah salah satu peran pendidik
penggerak untuk menciptakan proses belajar yang berorientasi pada kemerdekaan pemikiran dan
potensi peserta didik. Ada beberapa elemen dalam pembelajaran berdiferensiasi yaitu konten,
proses, produk, dan lingkungan pembelajaran.

Yang pertama Diferensiasi konten adalah salah satu bentuk pembelajaran diferensiasi
dengan cara memberikan materi kepada peserta didik berdasarkan keterampilan, profil belajar,
dan pengetahuannya, tetapi tetap sejalan dengan kurikulum yang berlaku. Adapun contoh
diferensiasi konten berdasarkan profil belajar peserta didik adalah pendidik perlu memahami
gaya belajar peserta didik yang cenderung menggunakan media pembelajaran visual, audio, atau
audio visual. Adapun contoh diferensiasi konten yakni seperti menggunakan berbagai jenis
bahan bacaan yang berkaitan dengan materi pembelajaran, menggunakan bahan ajar berbasis IT,
menggunakan daftar kosakata untuk mengetahui tingkat kesiapan peserta didik,
mempresentasikan ide melalui sarana audio visual, meminta peserta didik untuk mengambil nilai
historis dari film bertema sejarah atau membuat konten TikTok yang berkaitan dengan materi
yang telah diajarkan oleh pendidik. Strategi pembelajaran diferensiasi konten dapat diterapkan
untuk mengeksplor wawasan dan pemahaman peserta didik terhadap materi yang dipelajari di
sekolah. Dengan demikian, ketrampilan dan pengetahuan peserta didik bisa lebih meningkat.
Kedua, Diferensiasi Proses pada bagian ini adalah perbedaan kegiatan yang dilakukan
peserta didik di kelas. Kegiatan yang dimaksud adalah kegiatan yang bermakna bagi peserta
didik sebagai pengalaman belajarnya di kelas, bukan kegiatan yang tidak berkorelasi dengan apa
yang sedang dipelajarinya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik ini tidak diberi
penilaian kuantitatif berupa angka, melainkan penilaian kualitatif yaitu berupa catatan-catatan
umpan balik mengenai sikap, pengetahuan dan keterampilan apa yang masih kurang dan perlu
diperbaiki/ditingkatkan oleh peserta didik. Kegiatan yang dilakukan harus memenuhi kriteria
sebagai kegiatan yang baik, yaitu kegiatan yang menggunakan keterampilan informasi yang
dimiliki peserta didik dan berbeda dalam hal tingkat kesulitan dan cara pencapaiannya.
Kegiatan-kegiatan yang bermakna yang dilakukan oleh peserta didik di dalam kelas harus
dibedakan juga berdasarkan kesiapan, minat, dan juga profil (gaya) belajar peserta didik tersebut.
Ketiga, Diferensiasi produk ini merupakan hasil akhir dari pembelajaran untuk
menunjukkan kemampuan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman peserta didik setelah
menyelesaikan satu unit pelajaran atau bahkan setelah membahas materi pelajaran selama satu
semester. Produk sifatnya sumatif dan perlu diberi nilai. Produk lebih membutuhkan waktu yang
lama untuk menyelesaikannya dan melibatkan pemahaman yang lebih luas dan mendalam dari
peserta didik. Oleh karenanya seringkali produk tidak dapat diselesaikan dalam kelas saja, tetapi
juga di luar kelas. Produk dapat dikerjakan secara individu maupun berkelompok. Jika produk
dikerjakan secara berkelompok, maka harus dibuat sistem penilaian yang adil berdasarkan
kontribusi masing-masing anggota kelompoknya dalam mengerjakan produk tersebut.

Berbeda dengan performance task/assessments yang walaupun merupakan penilaian


sumatif karena mencakup satu unit pelajaran atau satu bab, satu tema, dan perlu dinilai juga,
biasanya asesmen ini diselesaikan di kelas dan jangka waktu pengerjaannya lebih singkat dari
produk. pendidik merancang produk apa yang akan dikerjakan oleh peserta didik sesuai dengan
pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan yang harus ditunjukkan oleh mereka. pendidik juga
perlu menentukan kriteria penilaian dalam rubrik sehingga peserta didik tahu apa yang akan
dinilai dan bagaimana kualitas yang diharapkan dari setiap aspek yang harus dipenuhi mereka.
pendidik juga perlu menjelaskan bagaimana peserta didik dapat mempresentasikan produknya
sehingga peserta didik lain juga dapat melihat produk yang dibuat. Produk yang akan dikerjakan
oleh peserta didik tentu saja harus berdiferensiasi sesuai dengan kesiapan, minat, dan profil
belajar peserta didik.

Keempat, Diferensiasi Lingkungan Belajar meliputi susunan kelas secara personal,


sosial, dan fisik. Lingkungan belajar juga harus disesuaikan dengan kesiapan peserta didik dalam
belajar, minat mereka, dan profil belajar mereka agar mereka memiliki motivasi yang tinggi
dalam belajar. Misalnya pendidik dapat menyiapkan beberapa susunan tempat duduk peserta
didik yang ditempelkan di papan pengumuman kelas sesuai dengan kesiapan belajar, minat, dan
gaya belajar mereka. Jadi peserta didik dapat duduk di kelompok besar atau kecil yang
berbeda-beda, dapat juga bekerja secara individual, maupun berpasang-pasangan.
Pengelompokkan juga dapat dibuat berdasarkan minat peserta didik yang sejenis, maupun tingkat
kesiapan yang berbeda-beda maupun yang sama tergantung tujuan pembelajarannya. Pada
dasarnya, pendidik perlu menciptakan suasana dan lingkungan belajar yang menyenangkan bagi
peserta didik sehingga merasa aman, nyaman, dan tenang dalam belajar karena kebutuhan
mereka terpenuhi.

Penutup
Pada dasarnya kurikulum merdeka memberi keleluasaan bagi pendidik dalam
mengimplementasikan pembelajaran di kelas dengan pendekatan konstruktivisme ini sendiri,
tetapi bukan tidak mungkin hal tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal oleh pendidik.
Termasuk salah satunya pendidik harus meningkatkan pembelajarannya tidak boleh lagi
menggunakan pembelajaran tradisional dengan metode ceramah. Namun pendidik harus bisa
berinovasi mengemas pembelajaran yang menarik untuk peserta didik, pendidik juga harus
menjadi fasilitator yang artinya tidak harus lebih pandai dari peserta didik akan tetapi pendidik
juga harus bisa memfasilitasi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan belajar mereka.
Konstruktivisme menuntut pendidik untuk mengetahui karakter peserta didik, kelebihan dan
kekurangan mereka.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kurikulum merdeka berlandaskan teori
konstruktivisme. Selain peserta didik, para pendidik juga dituntut untuk terus belajar berdasarkan
pengalaman yang diperoleh dari lingkungan sekitar terutama dalam penerapan Kurikulum
Merdeka. Seperti yang telah dijelaskan, dalam teori belajar konstruktivisme, belajar dianggap
suatu proses konstruksi pengetahuan baru yang dilakukan oleh peserta didik dengan kemampuan
awal yang telah mereka miliki, diikuti pengalaman belajar dan interaksi sosial mereka. Dalam
konsep ini, peserta didik akan dituntun secara aktif menemukan pengetahuan baru berdasarkan
kematangan kognitifnya dengan tujuan membangun pemahaman dan menciptakan suatu karya
berdasarkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh.
Rujukan

[1] Ahmad Abrar Rangkuti. (2015). Teori Pembelajaran Konstruktivisme.

[2] Baharuddin. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

[3] Dadang Supardan. (2016). Teori dan Praktik Pendekatan Konstruktivisme dalam
Pembelajaran. Edunomic, 4. (1.), 1

[4] Harasim, L. (2017). Learning Theory and Online Technologies. Routledge. New York.

[5] Paulina Pannen, Dina Mustafa, Mustika Sekarwinahyu. (1991). Konstruktivistik Dalam
Pembelajaran. Jakarta: Proyek Pengembangan Universitas Terbuka Ditjen Dikti. Pramono,
Gatot.

[6] Sunanik, S. (2014). Perkembangan Anak ditinjau dari Teori Konstruktivisme. Syamil: Jurnal
Pendidikan Agama Islam (Journal of Islamic Education), 2(1), 14.

[7] Suparno, P. (1997). Filsafat konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

[8] Trianto, (2007). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Prestasi


Pustaka: Jakarta.

[9] Melvin L. Silbermen, Avtive Learning, Bandung, Nusa Media

[10] Yulaelawati, Ella. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran Filosofi Teori dan Aplikasi.
Bandung: Pakar Raya.

Anda mungkin juga menyukai