Anda di halaman 1dari 66

HASIL

ANALISIS PARAMETER SPESIFIK DAN NON SPESIFIK EKSTRAK


DAUN BALANDETE (Maremmia peltata (L.Merr)) DAN
AKTIVITASNYA SEBAGAI ANTIOKSIDAN.

ASTUTI
F201601032

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MANDALA WALUYA
2021
ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang mengandung satu atau lebih

elektron tidak berpasangan dan sangat reaktif sehingga untuk menjadi stabil ia

cenderung akan mengambil elektron dari molekul lain (Jami’ah dkk., 2018). Radikal

bebas yang terbentuk dalam tubuh akan menghasilkan radikal bebas baru melalui

reaksi berantai yang akhirnya jumlahnya terus bertambah dan menyerang sel-sel tubuh

(Hutabalian, dkk., 2018). Radikal bebas bersifat reaktif, dan jika tidak diinaktifkan

dapat merusak makromolekul didalam tubuh seperti protein, lipid dan asam nukleat,

sehingga dapat menyebabkan penyakit degeneratif (Yulia, 2015).

Penyakit degeneratif adalah penyakit tidak menular yang berlangsung kronis

karena kemunduran fungsi organ tubuh akibat proses penuaan.tetapi tidak tertutup

kemungkinan pada usia muda, penyakit ini juga bisa terjadi. kerusakan sel akibat

reaktivitas senyawa radikal mengawali timbulnya berbagai penyakit degenerative

seperti kanker,rematik,penyakit respiratorik,dan katarak.hingga saat ini penyakit

degeneratif telah menjadi penyebab kematian terbesar di dunia. Menurut organisasi

kesehatan dunia hamper 17 juta orang meninggal lebih awal setiap tahun akibat

epidemic global penyakit degeneratif. Upaya untuk mencegah atau mengurangi

timbulnya penyakit degeneratif yang ditimbulkan oleh radikal bebas dibutuhkan

antioksidan yang mampu menetralkan atau melawan serangan negative dari radikal

bebas. (sindiya dan syubbanul, 2017).Antioksidan adalah senyawa yang dapat

menangkap radikal bebas. Senyawa antioksidan akan mendonorkan satu elektronnya

pada radikal bebas yang tidak stabil sehingga radikal bebas bisa dinetralkan dan tidak

lagi mengganggu metabolisme tubuh (Rahmi, 2017). Sebenarnya tubuh manusia

1
memiliki antioksidan alami, akan tetapi jumlahnya kurang untuk mengatasi semua

radikal yang terdapat dalam tubuh sehingga diperlukan antioksidan dari luar tubuh

(Samirana dkk., 2013). Antioksidan yang berasal dari luar tubuh dapat diperoleh dalam

bentuk sintetik maupun yang berasal dari bahan alam. Namun, adanya kekhawatiran

terhadap efek samping penggunaan antioksidan sintetik menyebabkan banyak

penelitian tentang potensi antioksidan alami yang berasal dari tanaman (Hutabalian

dkk., 2018). Pada umumnya aktivitas antioksidan disebabkan karena tanaman

mengandung senyawa metabolit sekunderdiantaranya adalah flavonoid, fenolik, dan

tannin (Rahmi, 2017).

Salah satu tanaman dari alam yang berkhasiat sebagai obat adalah tanaman

yang digunakan sebagai sumber bahan obat-obatan oleh masyarakat adalah Merremia

peltata ataubalandete digunakan sebagai antiketombe/penyakit kulit dan daunya

digunakan sebagai bisul, anti emetic, bengkak, dan rheumatic, daun Merremia

peltataini juga digunakan untuk pengobatan luka dan bengkak,dan obat diare, sakit

perut, batuk, sakit mata, luka, radang, dan pengompres luka (Alen et al, 2012). Hasil

uji skrining fitokimia daun segar diketahui bahwa tumbuhan ini memiliki kandungan

metabolit sekunder berupa terpenoid, steroid, saponin, dan fenolik (Honesty, 2012).

Pada penelitian sebelumnya, pengujian aktivitas antibakteri juga telah

dilakukan dengan menggunakan fraksi heksan, fraksi etil asetat dan fraksi sisa terhadap

bakteri Staphylococcus aureus yang menunjukkan aktivitas pada Konsentrasi Hambat

Minimum (KHM) masing-masing 500 ppm sedangkan dengan menggunakan fraksi

yang sama terhadap bakteri Eschericia coli menunjukkan aktivitas pada Konsentrasi

Hambat Minimum (KHM) masing-masing 1000 ppm (Alen et al, 2012). Pengujian

aktivitas antibakteri ekstrak etanol Merremia peltata (L.) Merr., juga dilakukan (Perez

et al., 2015) terhadap bakteri Gram positif (Staphylococcus aureus dan Bacillus

2
subtilis) dan bakteri Gram negatif (Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa)

menunjukkan hasil yang signifikan dalam menghambat pertumbuhan bakteri tersebut.

Selain itu, juga telah dilakukan uji sitotoksik menggunakan Brine Shrimp Lethality

Method menunjukkan nilai LC50 ekstrak daun balandete 19,678 ppm, fraksi n heksan

22,029 ppm, fraksi etil asetat 130,918 ppm (Alen et al., 2016).

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas diketahui bahwa tanaman ini

belum pernah dilakukan uji antioksidan terhadap ekstrak yang mengandung senyawa

flavanoid sehingga dilakukan penelitian untuk mengetahui analisis parameter spesifik

dan non spesifik ekstrak daun balandete dan aktivitasnya sebagai

antioksidan.Penelitian ini mengacu pada penelitian dan pengembangan standarisasi

tumbuhan obat, dikarenakan standarisasi merupakan tahapan yang penting dalam

melakuakan penelitian dan pengembangan obat bahan alam di Indonesia untuk

menjamin mutu dan keamanan dari sedian obat tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut dapat dikembangkan rumusan

masalah sebagai berikut :

1. Apakah ekstrak daun balandete Marremia peltata memiliki potensi aktivitas

sebagai antioksidan menggunakan metode DPPH?

2. Bagaimana nilai standarisasi parameter spesifik ekstrak daun balandete (Marremia

peltata)?

3. Bagaimana nilai standarisasi parameter non spesifik ekstrak daun Balendete

(Marremia peltata.)?

3
C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk :

1. Untuk mengetahui aktivitas antioksidan ekstrak daun balandete (Marremia peltata)

menggunakan metode DPPH.

2. Menetapkan beberapa nilai standarisasi parameter spesifik ekstrak daun Balandete

(Marremia peltata)

3. Menetapkan beberapa nilai standarisasi parameter non spesifik ekstrak daun

Balendete (Marremia peltata).

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dapat memberikan tambahan

informasi dan wawasan I lmu mengenai analisis parameter spesifik dan non

spesifik serta aktivitas kandungan senyawa ekstrak daun Balandete (Marremia

peltata.)

2. Manfaat praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan meningkatkan pengembangan tanaman herbal

b. Hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat dikalangan masyarakat

E. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang analisis parameter spesifik dan non spesifik ekstrak daun

balandete (Marremia peltata.) dan aktivitasnya sebagai antioksidan belum pernah

dilakukan sebelumnya, penelitian yang terkait tentang ini adalah:

Tabel 1.Keaslian penelitian


Peneliti dan
No. Judul Persamaan Perbedaan
tahun
1. Perez et.al Pengujian aktivitas Sampel yang1. Menggunakan
(2015) antibakteri ekstrak digunakan sama yaitu metode
etanol Merremia daun balandete pengujian yang
peltata (L.) Merr., (Maremmia peltata .L) berbeda

4
2. Renelliza Isolasi senyawa Sampel yang 2. Menggunakan
(2018) metabolit sekunder digunakan sama yaitu metode
dari fraksi etil asetat balandete (Marremia pengujian yang
daun tumbuhan aka peltata). berbeda
lambuang (Marremia
peltata (L) merr.,)
dan uji aktivitas
antibakteri
3. Resta (2012) Uji aktivitas Sampel yang Menggunakan
antibakteri fraksi digunakan sama yaitu metode
daun aka lambuang balandete (Marremia pengujian yang
(Marremia peltata peltata) berbeda
(L.) Merr)
3.
4. Yohannes Alen Uji efek anti kanker Sampel yang4. Menggunakn
(2018) ekstrak etanol daun digunakan sama yaitu metode
aka lambuang balandete (Marremia pengujian yang
(Marremia peltata peltata). berbeda
(L.) Merr. ) pada
mencit putih jantang
dengan metode
micronucleus assay

5
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Variabel Terikat

1. Tinjauan standarisasi

Standarisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian parameter,

prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsure-unsur terkait

paradigm mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia,

biologi dan farmasi), termasuk jaminan batas-batas stabilitas sebagai produk akhir

obat (obat, ekstrak atau produk ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang

konstan dan ditetapkan terlebih dahulu (Depkes RI, 2000).

Standarisasi suatu simplisia tidak lain pemenuhan terhadap persyaratan

sebagai bahan dan penetapan nilai berbagai parameter dari suatu produk.

Standarisai simplisia juga mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan

digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang

tercantum dalam manografi terbitan resmi Departemen Kesehatan (Materia

Medika Indonesia) (Depkes RI, 2000).

Mengingat obat herbal dan berbagai tanaman memiliki peran penting

dalam bidang kesehatan bahkan bisa menjadi produk andalan Indonesia maka dari

itu perlu dilakukan upaya penetapan standar mutu dan dan keamanan ekstrak

tanaman obat (Saifuddin, 2011).

6
2. Parameter-parameter standar ekstrak terdiri dari parameter spesifik dan

parameter non spesifik

a. Parameter spesifik

Parameter spesifik adalah aspek kandungan kimia kualitatif dan

aspek kuantitatif kadar senyawa kimia yang bertanggung jawab langsung

terhadap aktivitas farmakologis tertentu.

1) Identitas (parameter identitas ekstrak)

Meliputi deskripsi tata nama, nama ekstrak (generik, dagang,

paten), nama lain tumbuhan (sistematika botani), bagian tumbuhan yang

digunakan (rimpang, daun, dsb) dan nama Indonesia tumbuhan.

2) Organoleptik

Parameter organoleptik ekstrak meliputi penggunaan panca indera

mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa guna pengenalan awal yang

sederhana se-objektif mungkin.

3) Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu

Yaitu melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol/air) untuk

ditentukan jumlah larutan yang identik dengan jumlah senyawa

kandungan secara gravimetrik. Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa

terlarut dalam pelarut lain misalnya heksana, diklorometan, metanol.

Tujuannya untuk memberikan gambaran awal jumlah senyawa

kandungan.

4) Kadar senyawa yang larut dalam air

Sejumlah 1,0 g ekstrak dimasukkan kedalam labu bersumbat dan

ditambahkan 25,0 ml air-kloroform LP (2,5 ml koroform dimasukkan

dalam labu ukur 1000 ml dan ditambhakan air hingga tanda batas)

7
kemudian didiamkan selama 24 jam sambil dikocok berkali-kali selama 6

jam pertama dan dibiarkan selama 18 jam lalu disaring. Sebanyak 5,0 ml

filtrate diuapkan sehingga kering didalam cawan dangkal berdasarkan rata

yang telah di tara. Lalu residu dipanaskan pada suhu 105 oC hingga bobot

tetap.Kadar dalam persen senyawa yang larut air dihitung terhadap

ekstrak awal (Saifuddin, Rahayu, & Teruna, 2011).

% kadar senyawa terlarut air Bobot cawan Residu setelah

pemanasan (g)

A : Bobot cawan kosong (g)

B : Bobot sampel awal (g)

b. Parameter non spesifik

Parameter non spesifik adalah segala aspek yang tidak terkait dengan

aktivitas farmakologi secara langsung namun mempengaruhi aspek keamanan

dan stabilitas ekstrak dan sedian yang dihasilkan. Parameter non spesifik

ekstrak meliputi :

1) Susut pengeringan dan bobot jenis

a) Parameter susut pengeringan

Parameter susut pengeringan adalah pengukuran sisa zat setelah

pengeringan pada tempratur 105o C selama 30 menit atau sampai berat

konstan yang dinyatakan sebagai nilai persen. Dalam hal ini khusus

(jika bahan tidak mengandung minyak menguap/atsiri dan sisa pelarut

organik menguap) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena

berada di atmosfer/lingkungan terbuka.

8
Adapun tujuan penentuan susut pengeringan untuk memberikan

batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang

pada proses pengeringan.

b) Parameter bobot jenis

Parameter bobot jenis adalah masa per satuan volume pada

suhu kamar tertentu (25oC) yang di tentukan dengan alat khusus

piknometer atau alat lainya.Adapun tujuan menentukan bobot jenis

ekstrak yaitu memberikan batasan tentang besarnya masa persatuan

volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak

pekat (kental) yang masih dituang.Memberikan gambaran kandungan

kimia yang terlarut.

c) Kadar air

Kadar air adalah pengukuran kandungan air yang berada di

dalam bahan, dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara titrasi,

destilasi atau gravimetrik. Adapun tujuan menentukan kadar air untuk

memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan

air di dalam bahan.

d) Kadar abu

Kadar abu adalah bahan yang dipanaskan pada tempratur

dimana senyawa organik dan turunanya terdestruksi dan menguap,

sehinga tinggal unsure mineral dan anorganik. Tujuan menentukan

kadar abu untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal

dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya

ekstrak.

9
e) Sisa pelarut

Sisa pelarut adalah menentukan kandungan sisa pelarut tertentu

(yang memang ditambahkan). Untuk ekstrak cair berarti kandungan

pelarutnya, misalnya kadar alcohol. Adapun tujuan menentukan sisa

pelarut untuk memberikan jaminan bahwa selam proses tidak

meninggalan sisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada.

Sedangkan untuk ekstrak cair menunjukkan jumlah pelarut (alkohol)

sesuai dengan yang ditetapkan (Depkes RI, 2000).

3. Tijauan Mengenai Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa yang dapat menghambat oksigen reaktif dan

radikal bebas dalam tubuh yaitu dengan cara memberikan satu atau lebih electron

kepada radikal bebas sehingga menjadi molekul yang normal kembali dan

menghentikan kerusakn yang ditimbulkan (Sasikumar etal.,2009). Antioksidan

merupakan senyawa atau system yang dapat meredam reaktifitas radikal bebas dan

menghentikan reaksi berantai yang dapat makromolekul dalam tubuh (oroian &

Escriche, 2015).

Antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat

memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas tanpa terganggu sama

sekali fungsinya dan dapat memutus reaksi berantai dari radikal bebas.

Antioksidan telah diketahui memiliki pengaruh positif terhadap kualitas kesehatan

manusia terutama kemampuannya dalam menetralisir dampak negatif dari radikal

bebas (Ade dan Nurul, 2015).

Antioksidan Berdasarkan sumbernya secara umum dibedakan menjadi dua

yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami.

10
1. Antioksidan sintetik

Senyawa antioksidan sintetik memiliki fungsi menangkap radikal

bebas dan menghentikan reaksi berantai (Hurrel, 2003), berikut adalah

contihnya: Butylated hydroxyl anisole (BHA), Butylated hydroxyrotuluene

(BHT), propyl gallate (PG) dan metal chealating agent (EDTA), Tertiary butyl

hydroquinone (TBHQ), Nordihydro guaretic acid (NDGA), Antioksidan

utama pada saat ini digunakan dala produk makanan adalah monohidroksi atau

polihidroksi senyawa fenol dengan berbagai subtituen pada cincin (Hamid A.

et al, 2010)

2. Antioksidan alami

Antioksidan alami adalah zat yang dapat mencegah atau menghambat

suatu proses oksidasi sehingga membentuk senyawa yang lebih stabil.

Antioksidan golongan polifenol adalah sekelompok yang paling banyak

terdapat dalam buah-buahan, sayur-sayuran, tanaman polongan, biji-bijian,

rempah-rempah, dan anggur. (Horubala 1999; Borowska, 2003).

Pengelompokan antioksidan primer sebagai berikut: (Hurrell, 2003).

a. Antioksidan mineral adalh kofaktor antioksidan enzim. Keberadaanya

mempengaruhi metabolism makromolekul kompleks seperti karbohidrat.

Contoh: Selenium, tembaga, besi, seng dan mangan.

b. Antiosidan vitamin, dibutuhkan untuk fungsi metabolism tubuh. Contoh

vitamin C, vitamin E, vitamin B.

c. Fitokimia adalah senyawa fenolik, yang bukan vitamin maupun mineral.

Senyawa yang termasuk kedalam golongan fitokimia yaitu senyawa

flavanoid. Flavanoid adalah senyawa fenolik yang memberikan warna

pada buah, biji-bijian, daun, bunga dan kulit. Sebagai contoh katekin

11
merupakan senyawa antioksidan yang paling aktif pada the hijau dan

hitam, karotenoid adalah zat warna dalam buah-buahan dan sayuran,β

karoten terdapat pada wortel dapat di konversi menjadi vitamin A, likopen

banyak terdapat pada tomat dan zeaxantin terdapat pada bayam.

Antioksidan berdasarkan mekanisme kerjanya terbagi menjadi tiga,

yaitu antioksidan primer, sekunder, dan tersier.

a. Antioksidan Primer

Antioksidan primer merupakan senyawa yang mampu dengan cepat

memberikan atom hydrogen kepada senyawa radikal bebas serta mencegah

terbentuknya radikal bebas baru dengan memutus reaksi berantai

(polymerase) sehingga menjadi molekul yang stabil (Winarsi, 2007).

b. Antioksidan Sekunder

Antioksidan sekunder bekerja dengan cara memotong reaksi

oksidasi berantai radikal bebas atau dengan menangkapnya sehingga tidak

terjadi kerusakan yang lebih besar (Winarsi, 2007).

c. Antioksidan Tersier

Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel

dan jaringan yang rusak karena radikal bebas (Purba dan Martanto, 2009).

Aktivitas antioksidan dapat ditentukan dengan menggunakan

beberapa metode, salah satunya adalah metode DPPH (1,1-difenil-2-

pikrilhidrazil). Metode DPPH adalah radikal bebas yang stabil berdasarkan

adanya delokalisasi elektron bebas pada molekul keseluruhan dan

menyebabkan molekul tersebut tidak membentuk dimer, seperti radikal

lainnya.Delokalisasi elektron juga memberikan warna ungu tua. Ketika

larutan DPPH ditambahkan dengan senyawa yang dapat menyumbangkan

12
atom hidrogen, sehingga warna larutan tereduksi dengan hilangnya warna

violet (Sagar dkk., 2011).

Gambar 6. Reaksi Radikal DPPH dengan Antioksidan (Windono dkk, 2001)

Aktivitas antioksidan dapat dinyatakan dengan satuan persen %

penghambatan.

Nilai ini diperoleh dengan rumus sebagai barikut (Molyneux, 2003). %

absorbansi blanko−absorbansi sampel


penghambatan = 100 %
absorbansi blanko

Aktivitas antioksidan pada metode DPPH dinyatakan dengan IC50 adalahb

ilangan yang menunjukkan konsentrasi ekstrak yang mampu menghambataktivitas

antioksidan sebesar 50%.Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggiaktivitas

antioksidan (Blois, 1958).Sifat antioksidan berdasarkan nilai IC50 (Molyneux,

2004).

Tabel 1. Sifat Antioksidan

Nilai IC50 Sifat Antioksidan


<50 ppm Sangat kuat
50-100 ppm Kuat
100-150 ppm Sedang
150-200 ppm Lemah
>200 ppm Sangat lemah

4. Uji aktivitas antioksidan

13
metode yang digunakan untuk menentukan aktivitas antioksidan yaitu ada

beberapa cara, yaitu (1). BCB method (β caratone bleaching method) atau metode

pemulihan β-karoten (metode pemerangkapan radikal bebas DPPH),

(3).Thiobarbituric Acidreactive substance (TBARS) Assay, (4).ORAC Assay

(oxygen-radical absorbance capacity) (5).CUPRAC Assay (cupric reducing

antioxidant capacity), (6). FRAP Assay (ferric Reducing Antioxidant power), (7)

Determination of conjugated Dienes, (8). Determination of lipid Hydroperoxides

(De la Rose, 2010).

Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH.Metode

DPPH merupakan metode yang sederhana, cepat dan mudah untuk penapisan

aktivitas penangkapan radikal beberapa senyawa, selain itu metode ini terbukti

akurat, efektif dan praktis (molyneux, 2003).

Pelarut yang digunakan dalam metode DPPH tersebut akan bekerja dengan

baik apabila menggunakan pelarut methanol atau etanol dan kedua pelarut ini

tidak akan mempengaruhi dalam reaksi antara sampel uji sebagai antioksidan

dengan DPPH sebagai radikal bebas (Molyneux, 2004).

5. Mekanisme Kerja Antioksidan

Antioksidan bekerja dengan cara melindungi sel dan jaringan sasaran

dengan cara sebagai berikut:

1. Memusnahkan scavange radikal bebas secara enzimatik atau dengan reaksi

kimia langsung.

2. Mengurangi pembentukan radikal bebas

3. Mengikat ion logam yang terlibat dalam pembentukan spesies yang reaktif

transferring albumin.

4. Memperbaiki kerusakan sasaran

14
5. Menghancurkan molekul yang rusak dan menggantinya dengan yang baru.

Tubuh sendiri membuat tiga jenis antioksidan yakni antioksidann

primer(superoxededismutase SOD, glutathione peroxidase GPx), dan protein

pengikat, ferritin, ceruloplasmin). Tugasnya mencegah pembentukan radikal

bebas baru dan mengubah radikal bebas menjadi bahan yang tidak berbahaya

lagi. Ada juga antioksidan jenis sekunder. Ini berasal dari vitamin C, vitamin E

dan betakaraton. Jenis antioksidan ini memopunyai tugas menangkap radikal

bebas dan mencegah reaksi berantai yang akan mengakibatkan kerusakan pada

tubuh. Sedangkan antioksidan jenis tersier DNA-repair enzyme; methionin

sulfoxidereductase) bertugas memperbaiki kerusakn tubuh yang yang timbul

akibat radikal bebas.

6. Tinjauan mengenai Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan atom atau molekulyang memiliki satu atau lebih

atom yang tidak berpasangan(Middleton, dkk., 2000).Senyawa radikal bebas

adalah salah satu faktor penyebab kerusakan DNA disamping penyebab lain

seperti virus, apabila kerusakan tidak parah, masih dapat diperbaiki oleh sistem

perbaikan DNA. Namun, apabila sudah menyebabkan rantai DNA terputus

diberbagai tempat, kerusakan ini tidak dapat diperbaiki lagi sehingga pembelahan

sel terganggu.Selain itu, dapat menyebabkan perubahan abnormal yang mengenai

gen tertentu dalam tubuh yang dapat menyebabkan penyakit kanker (Suryo, 2008).

Komponen terpenting dalam membran sel mengandung asam lemak tak

jenuh dimana sangat rentang terhadap radikal bebas. Apabila struktur dan fungsi

membran terserang maka akan berubah dalam keadaan ekstrem akhirnya

mematikan sel-sel pada jaringan tubuh. Pada sel kulit radikal bebas akan merusak

senyawa lemak dalam membran sel sehingga menyebabkan kulit menjadi keriput.

15
Terjadinya kerusakan protein akibat serangan radikal bebas termasuk oksidasi

protein yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan tempat protein itu

berada.Contohnya kerusakan protein pada lensa mata yang mengakibatkan katarak

(Silalahi, 2006).

Menurut Khaira (2010) sumber radikal bebas ada yang bersifat internal

yaitu dari dalam tubuh dan ada yang bersifat eksternal dari luar tubuh.Radikal

bebas internal berasal dari oksigen yang kita hirup. Oksigen yang biasa dihirup

adalah penopang utama kehidupan karena menghasilkan banyak energi namun

hasil samping dari reaksi pembentukkan anergi tersebut akan menghasilakn

Reactive Oxygen Species (ROS). Sedangkan radikal eksternal berasal dari polusi

udara, alkohol, rokok, radiasi sinar ultra violet, obat-obatan tertentu seperti

kemoterapi, anestesi, dan peptisida (Desrosier, 1998).

Kerusakn yang dapat ditimbulkan oleh serangan radikal bebas antara lain

(Reynertson, 2007) :

1. Membran sel

Terutama komponen penyusun membrane berupa asam lemak tak

jenuh yang merupakan bagian dari fosfolipid dan mungkin juga protein.

Perusakan bagian dalam pembuluh darah akan mempermudah pengendapan

berbagai zat pada bagian yang dirusak tersebut, termasuk kolestrol, sehingga

timbul atheoroskleorosis. Serangan hidroksil pada asam lemak tak jenuh

sehingga terbentuk lipid hidroperoksida, yang selanjutnya merusak bagian sel

di mana hidroperoksida ini berada.

2. Kerusakan protein

16
Kerusakan protein termasuk oksidasi protein akan mengakibatkan

kerusakan jaringan tempat protein itu berada sebagai contoh kerusakan protein

pada lensa mata yang mengakibatkan terjadinya katarak.

3. Kerusakan DNA (dexoxyribo Nucleic Acid)

Radikal bebas hanya salahsatu foktor dari banyakny factor yang dapat

menyebabkan kerusakan pada DNA.Penyebab lainya yaitu virus, radiasi dan

zat kimia karsinogen akibat kerusakan DNA tersebut dapat timbul penyakit

kanker, kerusakan dapat berupa kerusakan awal fase transisi ataupun fase

permanen.

4. Kerusakan lipid peroksida

Lipid dianggap molekul yang paling sensitif terhadap srangan

radikal bebas sehingga terbentuk lipid peroksida. Terbentuknya lipid peroksida

yang selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan lain sianggap salah satu

penyebab pula terjadinya sebagai penyakit degeratif.

5. Dapat menimbulkan autoimun

Autoimun adalah terbentuknya antibody terhadap sel tubuh

biasa.Pada keadaan normal antibody hanya terbentuk apabila ada antigen yang

masuk kedalam tubuh. Adanya antibody untuk sel tubuh bis dapat merusak

jaringan tubuh dan sangat berbahaya.

6. Proses penuaan

Secara teori radikal bebas dapat dipunahkan oleh berbagai antioksidan

tetapi tidak pernah mencapai 100%.Karena itu secara pelan dan pasti terjadi

kerusakan jaringan yanh disebakan oleh radikal bebas yang tidaak

terpunahkan. Kerusakan secara pelan ini merupakan proses terjadinya

17
ketuaan.Yang ingin awet muda perlu banyak mengkomsumsi zat gizi yang

dapat memunahka radikal bebas.Sebab-sebab yang dapat meningkatkan atau

memicu pembentukan radikal bebas.

18
7. Tinjauan Mengenai Metode DPPH (1,1-diphenyl-2-pikrilhydrazil)

Metode DPPH (1,1-diphenyl-2-pikrilhydrazil) merupakan metode analisi

kapasitas antioksidan yang sederhana menggunakan senyawa pendeteksi yaitu

DPPH (1,1-diphenyl-2-pikrilhydrazil). Senyawa DPPH adalh senyawa radikal

bebas stabil yang dapat bereaksi dengan atom hydrogen yang berasal dari suatu

senyawa antioksidan membentuk DPPH tereduksi (Kubo, dkk., 2002). Kestabilan

radikal DPPH disebabkan oleh adanya delokalisasi pasangan electron secara

menyeluruh (sulistyowati dkk., 2013)

Metode peredaman radikal bebas DPPH didasarkan pada reduksi dari

latutan methanol radikal bebas. Ketika larutan DPPH yang berwarna ungu

bertemu dengan bahan-bahan pendonor electron maka DPPH akan tereduksi,

menyebabkan warna ungu akan memudar dan digantikan warna kuning yang

berasal dari gugusnpikril (Prayoga, 2013)

Radikal DPPH memberkan serapan kuatpada panjang gelombang 517

nmdengan violet gelap. DPPH dapat memberikan serapan karena memiliki gugus

kromofor dan auksikrom pada stuktur kimianya dan dengan adanya delokalisasi

electron pada DPPH akan memberikan warna violet (Dehpour, dkk., 2009).

8. Tinjauan mengenau Spektrofotometr UV-VIS

Prinsip kerja Spektrofotometer UV-Vis adalah adanya transisi elektronik

suatu molekul yang disebabkan oleh peristiwa absorbsi energy berupa radiasi

elektromagnetik pada frekunsi yang sesuai oleh molekul tersebut (rohman,

2007).Absorbs radiasi oleh sampel diukur oleh detektor pada berbagai panjang

gelombang dan diinformasikan ke perekam untuk menghasilkan spektrum.

Spectrum ini akan memberikan informasi penting untuk identifikasi adanya gugus

kromofor (Hendayana, 2006). Sinar ultraviolet (UV) mempunyai panjang

19
gelombang 200-400 nm.Dan sinar tampak (visible) mempunyai panjang

gelombang 400-750 nm.Spektrofotometri digunakan untuk mengukur besarnya

energi yang diabsorbsi atau diteruskan. Sinar radiasi manokromatik akan melewati

larutan yang mengandung zat yang dapat menyerap sinar radiasi tersebut (Harmita

2006). Pengukuran spektrofotometri menggunakan alat spektrofotometer yang

melibatkan energy elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis,

sehingga spektrofotometer UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif

dibandingkan kualitatif.Spectrum UV-Vis sangat berguna untuk pengukuran

secara kuantitatif.Konsentrasi dari analit didalam larutan bisa ditentukan dengan

mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan

hukum lambert-Beer (Rohman, 2007).

Hukum Lambert-Beer menyatakan hubungan linearitas antara absorban

dengan konsentrasi larutan analit dan berbanding terbalik dengan transmitan.

Dalam hukum Lambert-Beer tersebut ada beberapa pembatasan (Rohman, 2007)

yaitu:

a. Sinar yang digunakan dianggap manokromartis

b. Penyerapan terjadi dalam suatu volume yang mempunyai penampang yang

sama

c. Senyawa yang menyerap dalam larutan tersebut tidak tergantung terhadap

yang lain dalam larutan tersebut

d. Tidak terjadi fluoresensi atau fosforisensi

e. Indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi larutan Hukum Lambert-Beer

dinyatakan dalam persamaan (Rohman, 2007)

20
A=¿a.b.c

Keterangan :

A :absorban

a :absorpsivitas molar

b :tebal kuvet (cm)

c :konsentrasi

salah satu syarat senyawa dianalisi dengan spektrofotometri adalah

karna senyawa tersebut megandung gugus kromofor. Kromofor adalah gugus

fungsional yang mengabsorbsi radiasi ultraviolet dan tampak, jika diikat oleh

gugus ausokrom. Hamper semua kromofor mempunyai ikatan rangkap

berkonjugasi (diena (CC-CC), DIENON (CC-CCO), benzene dan lain-lain.

Ausokrom adalah gugus yang fungsional yang mempunyai electron bebas,

seperti –OH,NH2, NO2, -X (Harmita, 2006)

Menurut khopkar (2003) instrument spektrofotometri UV-Vis adalah:

a. Sumber cahaya

Sumber yang biasa digunakan pada spektrofotometri absorbs adalah

lampu wolfram, pada daerah UV digunakan lampu hydrogen atau lampu

deuterium kebaikan lampu wolfram adalah energy radiasi yang dibebaskan

tidak bervariasi pada berbagai panajng gelombang.

b. Manokromator

Manokromator adalah alata yang akan memecah cahaya polikromatis

menjadi cahaya tunggal (manokromatis) dengan komponen panjang

gelomban tertentu. Monokromator berfungsi untuk mendapatkan radiasi

monokromar dari sumber radiasi yang memancarkan radiasi

21
polikromatis.Monokromator terdiri dari susunan : celah (slit) masuk – filter –

prisma – kisi (grating) – celah (slit) keluar.

c. Wadah sampel (kuvet)

Kuvet merupakan wadah sampel yang akan dianalisis. Kuvet

darileburan silica (kuarsa) dipakai untuk analisis kualitatif dan kuantitatif

pada daerah pengukuran 190-1100 nm kuvet dari bahan gelas dipakai pada

daerah pengukuran 380-1100 nm karna bahan dari gelas mengabsorbsi radiasi

UV.

d. Detector

Detektor akan menagkap sinar yang diteruskan oleh larutan. Sinar

kemudian diubah menjadi sinyal listrik oleh amplifer dan dalam rekorder

akan ditampilakn dalam bentuk dan angka-angka pada reader (computer).

e. Visual Display/Recorder

Merupkan system baca yang memperagakan besarnya isyarat listrik,

menyatakan dalam bentuk % transmitan maupun absorbansi.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam analisi spektrofotometri UV-

Vis menurut (Rohman, 2007):

1. Pembentukan molekul

yang dapat menyerap sinar Uv-Vis hal ini perlu dilakukan jika

senyawa yang dianlisis tidak menyerap pada daerah tersebut. Cara yang

digunakan adalah dengan merubah menjadi senyawa lain atau direaksikan

dengan pereaksi tertentu.

2. Waktu oprasional (operating time)

Cara ini biasa digunakan untuk pengukuran hasil reaksi atau

pembentukan warna.Tujuanya adalah mengetahui waktu pengukura yang

22
stabil.Waktu oprasional ditentukan dengan mengukur hubungan antara

waktu pengukuran dengan absorbansi larutan.

3. Pemilihan panjang gelombang

Panajng gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah

panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal.untuk

memilih panjang gelombang maksimal, dilakukan dengan membuat kurva

hubungan antar absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu

larutanbaku pada konsentrasi tertentu.

B. Tinjauan Umum Variabel Bebas

1. Klasifikasi tumbuhan Bandete (Marremia Peltata)

Klasifikasi (Staples 2010)

Domain : Eukaryota

Kingdom : Plantae

Divisi : Tracheophyta

Class : Magnoliopsida

Ordo : Convolvulales

Family : Convolvulaceae

Genus : Marremia

Species : Marremia peltata

Nama daerah : Balandete, akar mencret

23
Gambar.1 Tanaman Balandete (Marremia peltata L)
2. Morfologi

Merremia peltata (L) Merrill, merupakan anggota suku

Convolvulaceae.Merremia dikenal juga dengan sebutan mantangan.M. peltata

merupakan tumbuhan dengan batang memanjang, licin, tidak berbulu, setengah

berkayu, merambat sampai 20 m, membelit pada pucuknya, dengan perakaran

yang mempunyai umbi (Stone 1970). Daun lebar berbentuk jantung sampai bulat ,

tekstur daun halus, bunga bertangkai membentuk tipe karangan bunga cyme,

mahkota bunga putih atau kuning, berbentuk lonceng besar, anther berjumbai dan

berambut (Staples 2010). Mahkota bunga M. peltata ada yang berwarna kuning

dan ada yang berwarna putih.Jumlah mahkota ada 5 helai.Kelopak bunga

berwarna hijau dan berjumlah 5 helai.Biji Marremia peltata memiliki ciri

berkeping dua, pembungkus biji keras dan berambut.

Marremia peltata juga memiliki daun yang berwarna merah marun ketika

daun masih muda. Batang dapat termodifikasi menjadi sulur.Sulur terbentuk

ketika tumbuhan menyentuh atau merambat batang atau tiang.Batang akan

mengeluarkan getah berwarna putih jika dilukai. Batang Marremia peltata ketika

muda tampak berwarna marun lalu hijau lunak, tumbuh menjadi batang berwarna

hijau dan lebih keras (padat berisi), lalu terus tumbuh berwarna coklat dan

semakin keras berkayu

24
Marremia peltata tumbuh lebat pada hutan yang telah ditebang. Tumbuh

lebat pada daerah terbuka dengan pH 6.1-7.8 (Irianto & Tjitrosoedirdjo 2010),

pada ketinggian 41 mdpl, suhu tanah 25.94ºC, rata-rata pada kanopi terbuka

minimal 15% dan maksimum 95.25% (Master 2012).

3. Tinjauan Ekstrak dan Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi

senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut

yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau

serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah

ditetapkan (Depkes RI, 2000).

Ada beberapa jenis ekstrak yakni: ekstrak cair, ekstrak kental dan ekstrak

kering. Ekstrak cair jika hasil ekstraksi masih bisa dituang, biasanya kadar air

lebih dari 30%. Ekstrak kental jika memiliki kadar air antara 5-30%. Ekstrak

kering jika mengandung kadar air jurang dari 5% (Voigt, 1995). Parameter yang

mempengaruhi kualitas dari ekstrak adalah bagian dari tumbuhan yang digunakan,

pelarut yang digunakan untuk ekstrak, dan prosedur ekstraksi (Tiwari et al., 2011).

Ekstraksi adalah kegiatan pengambilan suatu senyawa kimia yang dapat larut dari

suatu simplisia dalam komposisi pelarut cair tertentu sehingga dapat dipisahkan

dari kandungan atau pengotor yang tidak dapat larut dalam pelarut tersebut.

Ekstrak merupakan suatu sediaan kental yang didapatkan dengan suatu jalan

ekstraksi senyawa aktif dari suatu simplisia baik nabati maupun hewani dengan

meggunakan pelarut yang dapat melarutkan senyawa target, kemudian

diperlakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.

Tujuan pembuatan ekstrak tanaman obat adalah tidak lain untuk dapat

menstandarisasi kandungannya sehingga keseragaman mutu, khasiat dan

25
keamanan produk dapat dijamin. Keuntungan penggunaan ekstrak dibandingkan

dengan simplisia adalah penggunaannya dapat lebih sederhana, jika dilihat dari

segi jumlah peggunaanya yang lebih sedikit dari bobot tumbuhan atau simplisia

asalnya. Kesamaan aktivitas dalam bentuk ekstrak dan simplisia asalnya

sebenarnya tidak berbeda jauh tetapi tidak sama persis dikarenakan pelarut yang

digunakan tidak dapat mengekstrak kandungan berkhasiatya dengan sempurna

(Ditjen POM, 2005).

Uji standarisasi ekstrak dilakukan untuk menjamin keseragaman senyawa

aktif keamanan maupun kegunaan simplisia harus memenuhi persyaratan minimal

untuk standarisasi ekstrak (Depkes 1985). Standarisasi ekstrak terdiri dari

parameter standar spesifik dan standarnon spesifik.Parameter non spesifik lebih

terikait terhadap factor lingkungan dalam pembuatn simplisia sedangkan

parameter spesifik terkait langsung terhadap senyawa yang ada di dalam tanaman

(Depkes RI, 2000). Ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa metode yang

dilakukan untuk mendapatkan ekstrak yang diinginkan. Metode ekstraksi dibagi

menjadi dua cara yaitu cara dingin dan cara panas (Ditjen POM, 2000).

1. Ekstraksi cara dingin

Dapat dibedakan sebagai berikut :

a. Maserasi

Maserasi adalah suatu proses pengekstrakan simplisia dengan

menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan

pada temperature kamar (ditjen POM, 2000) keuntunganekstraksi dengan

cara maserasi yaitu pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana,

sedangkan kerugianya yaitu cara pengerjaanya lama, membutuhkan pelarut

yang cukup banyak dan penyarian kurang sempurna. Dalam maserasi

26
ekstrak cair, serbuk halus atau kasar daritumbuhan kontak dengan pelarut

disimpan dalam wadah tertutup untuk waktu tertentu dengan pengadukan

yang sering, sampai zat tertentu dapat terlarut. Metode ini cocok

digunakan untuk senyawa yang termolabil (Tiwari, et al., 2011)

b. Perkolasi

Perkolasi mersupakan suatu proses ekstraksi dengan pelarut yang

selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan

pada tempratur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan

bahan, tahap perendaman, tahap perkolasi antara, tahap pekolasi

sebenarnya (penampungan ekstrak) secara terus menerus sampai diperoleh

ekstrak (perkolat). Untuk menentukan akhir dari perkolasi dapat dilakukan

pemeriksaan zat secara kualitatif pada perkolat akhir. Untuk ekstrak cair

dan mengekstrak bahan aktif dan tincture dapat digunakan metode

perkolasi (Tiwari. et al., 2011)

2. Ekstraksi cara panas

Ekstraksi cara panas dapat dibedakan sebagai berikut :

a. Refluks

Refluks merupakan suatu ekstraksi dengan menggunakan pelarut

pada tempratur titik didihnya, dalam waktu tertentu dan jumlah pelarut

terbatas yang realitif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM,

2000)

b. Sokletasi

Sokletasi merupakan suatu ekstraksi dengan menggunakan pelarut

yang selalu baru, dengan menggunakan alat soklet sehingga terjadi

27
ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelatut relative konstan dengan adanya

pendingin balik (ditjen POM, 2000)

c. Infusa

Infusa merupakan suatu ekstraksi dengan menggunakan pelarut air

pada tempratur 90OC selama 15 menit dimana bejana infuse tercelup dalam

penangas air mendidih, tempratur yang digunakan (96-98oC) selama waktu

tertentu (15-20 menit) (ditjen POM, 2000)

d. Digesti

Digesti merupakan suatu proses maserasi kinetic pada tempratur lebih

tinggi dari tempratur suhu kamar, yaitu secara umum dilakukan pada

tempratur 40-500C (Ditjen POM, 2000) Digesti merupakan maserasi dengan

pengadukan kontinyu pada tempratur lebih tinggi dari tempratur ruang

(umumnya 25 0C- 300C) .digesti merupakan jenis ekstraksi maserasi dimana

suhu sedang digunakan selama proses ekstraksi (Tiwari. et al., 2011).

e. Dekok

Dekok merupakan proses infuse pada waktu yang lebih lama dan

tempratur sampai titik didih air(ditjen POM, 2000). Dekok merupakan

ekstraksi dengn pelarut air pada tempratur 90 0C selama 30 menit. Metode

ini digunakan untuk ekstraksi konsistuen yang larut dalam air konsistuen

yang larut dalam air dan konsistuen yang stabil terhadap panas (Tiwari et

al., 2011)

Tahapan pembuatan simplisia terdiri dari pengumpulan bahan baku,

sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan, sortasi kering dan

penyimpanan (Suharmiati dan Hzrti, 2003)

28
a) Pengumpulan Bahan Baku

Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda,

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti bagian tanaman yang

digunakan, waktu panen dan lingkungan tempat tumbuh.

b) Sortasi Basah

Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran atau

bahan-bahan lainnya yang tidak berguna atau berbahaya, misalnya

bahan yang sudah busuk, rumput, atau benda lain yang mempengaruhi

kualitas simplisia.

c) Pencucian

Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah atau

kotoran lainnya yang melekat dengan menggunakan air mengalir.

d) Perajangan

Perajangan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses

pengeringan, pengepakan, dan penggilingan.

e) Pengeringan

Pengerigan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan

simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam

waktu lama.

f) Sortasi Kering

Sortasi kering merupakan langkah akhir untuk pembuatan

simplisia.Sortasi dilakukan untuk memisahkan benda-benda asing

yang masih tertinggal.Pengepakan dan penyimpanan Tujuan

pengepakan dan penyimpanan adalah untuk melindungi agar simplisia

tidak rusak karena beberapa faktor seperti penyerapan air.Simplisia

29
sebaiknya disimpan ditempat yang kering, tidak lembab dan terhindar

dari sinar matahari langsung.

4. Tinjauan Mengenai Pelarut

Pelarut adalah zat yang digunakan sebagai media untuk melarutkan zat

lain. Kesuksesan penentuan senyawa biologs aktif dari bahan tu,buhan sangat

tergantung pada jenis pelarut yang digunakan dalam prosedur ekstraksi

(Ncubeetal., 2008).

Sifat pelarut yang baik untuk ekstraksi yaitu toksisitas dari pelarut yang rendah,

mudah menguap pada suhu yang rendah, dapat mengekstraksi komponen senyawa

dengan cepat (tiwarietal., 2011). Adapun pelaryt yang dapat digunakan dalam

prosedur ekstraksi antara lain:

a. Air

Air adalah pelarut universal, biasanya digunakan untuk mengekstraksi

produk tumbuhan dengan aktivitas antimikroba. Meskipun pengobatan secara

tradisonal menggunakan air sebagai pelarut, tetapi ekstrak tumbuhan dari

pelarut organic telah ditemukan untui memberikan aktivitas antimikroba

ylebih konsisten dibandingkan dengan ekstrak air (tiwarietal., 2011)

b. Alkohol

Aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dari ekstrak atanl dibandingkan

dengan ekstrak air dapat dikaitkan dengan adanya jumlah polifenol yang lebih

tinggi pada ekstrak etanol dibandingan dengan ekstrak air.Konsentrasi yang

lebih tinggi dari senyawa flavanoid terdeteksi denganetanol 70% karena

polaritasnya yang lebih tinggi daripada etanol murni (Tiwari et al., 2011).

30
c. Aseton

Aseton melarutkan beberapa komponen senyawa hidrofilik dan

lipofilik dari tumbuhan.Keuntungan dari pelarut aseton ini yaitu dapat

bercampur dengan air, mudah menguap dan memiliki toksisitas rendah (Tiwari

et al., 2011).

d. Kloroform

Terpenoid lakton telah diperoleh dengan ekstraksi berturut-turut

menggunakan n-heksan, kloroform dan methanol dngan konsentrasi aktivitas

tertinggi yang terdapat dalam fraksi kloroform.Kadan tannin dan terpenoid

ditemukan dalam fase air, tetapi lebih sering diperoleh dengan pelarut semi

polar (Tiwari et al., 2011).

e. Eter

Eter umumnya digunakan secara selektif untuk ekstraksi kumarin

dalam asam lemak (Tiwari et al., 2011)

f. N-heksan

Mempunyai karakteristik sangat tidak polar, volatile, mempunyai bau

khas yang dapat menyebabkan pingsan. Berat molekul n-heksan adalah 86,2

gram/mol dengan titik leleh 94,3-95, 30oC. Titik didih n-heksan pada tekanan

760 mmH adalah66-710 C n-heksan biasanya digunakan sebagai pelarut untuk

ekstraksi minyak nabati (Tiwari et al., 2011)

g. Etil Asetat

Etil asetat merupakan pelarut dengan karakteristik semi polar. Etil

asetat secara selektif akan menarik senyawa yang besifat semi polar seperti

fenol dan terpenoid (tiwari et al 2011).

31
h. Metanol

Metanol dapat mengekstrak senyawa fitokimia dengan jumlah yang

banyak.Tingginya rendemen yang terdapat pada pelarut metanol menunjukka

pelarut tersebut mampu mengekstrak lebih banyak komponen bioaktif yang

memiliki sifat kepolaran yang lebih tinggi.

C. Kajian Empiris

Salah satu tumbuhan yang digunakan sebagai sumber bahan obat-obatan oleh

masyarakat Indonesia adalah Merremia peltata (L.) Merr.,daunya dapat berkhasiat

sebagai antimikroba, antikanker, antiinflamasi, dan mengurangi sesak nafas. Secara

tradisional, daun Merremia peltata (L.)Merr., digunakan dengan meminum air perasan

daunnya untuk wanita pasca bersalin, pengobatan luka dan bengkak terutama pada

nodus limfatis dengan cara menempelkan daun yang sudah dihaluskan pada permukaan

kulit yang sakit, obat diare, sakit perut, batuk, sakit mata, luka, radang, dan

pengompres luka (Alen et al, 2012).

32
BAB III

PENELITIAN

A. Dasar Pikir Penelitian

Radikal bebas didefeniskan sebagai ataom atau molekul dengan atau molekul

dengan satu atau atau lebih electron yang tidak berpasangan dan bersifat tidak stabil,

berumur pendek, dan sangat reaktif untuk penarikan electron molekul lain dalam tubuh

untuk mencapai stabilitas yang menyebabkan potensi kerusakan pada biomolekul

dengan merusak integritas lipid, protein dan DNA yang mengarah pada peningktan

stress oksidatif seperti penyakit neurodegenerative, diabetes militus, penyakit

kardiovaskuler, prosespenuamn dini, bahkan kanker (phaniendra. et al., 2015).

Standarisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian parameter,

prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsure-unsur paradigm mutu

kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi, dan farmasi),

termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya.

(Depkes RI, 2002). Mengingat obat herbal dan berbagai tanaman memiliki peranan

penting dalam bidang kesehatan bahkan bisa menjadi produk andalan Indonesia maka

perlu dilakukan upaya penetapan standar mutu dan keamanan ekstrak tanaman obat

(Saifuddin et al., 2011)

Salah satu tanaman dari alam yang berkhasiat sebagai obat adalah

tanaman .yang digunakan sebagai sumber bahan obat-obatan oleh masyarakat adalah

Merremia peltata

33
B. Bagan Kerangka Konsep Penelitian

Ekstrak daun balandete


Standarisai parameter spesifik dan

(marremia peltata) non spesifik dan aktivitas


Antioksidan

Keterangan :

: Variabel dependen

: Variabel independen

: Menyatakan pengaruh antara variabel independent dandependen

Gambar 2. Bagan Kerangka Konsep Penelitian

C. Variable Penelitian

1. Variabel terikat : Variabel terikat pada penelitian ini adalah standarisasi parameter

sesifik dan non spesifik dan aktivitas antiosidan

2. Variabel bebas : Variabel bebas pada penelitian ini adalah : ekstrak daun balandete

D. Definisi Operasional Dan Kriteria Objektif

1. Defenisi Operasional Variabel independen

a. Standarisai adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang

hasilnya merupakan unsure-unsur terkait paradigm mutu kefarmasian, mutu

dalm artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi dan farmasi), termasuk

jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya.

Standarisasi ekstrak terdiri dari parameter spesifik dan parameter non spesifik.

Kriteria objektif :

1. Parameter spesifik : identitas ekstrak, penetapan organoleptik,

penetapan kadarsenyawa terlarut dalam pelarut

tertentu, identifikasi kandungan kimia ekstrak.

34
2. Parameter non speifi: penetapan susut pengeringan, kadar abu, bobot jenis,

kadar air, cemaran mikroba, angka lempeng total,

kapang dan khamir

a. Uji aktivitas antioksidan adalah suatu metode yang digunakan untuk

mengukur kemampuan ekstrak dalam menangkal aktivitas radikal bebas.

Kriteria objektif:

memiliki kandungan enyawa antioksidan dan memiliki intensitas nilai IC50

sesuai standar yang telah ditentukan.

Intensitas nilai IC50 yang telah ditentukan sesuai dengan standar adalah

sebagai berikut:

Sangat kuat :< 50 ppm

Kuat : 50-100 ppm

Sedang : 100-150 ppm

Lemah : 150-200 ppm (Blois,1958).

2. Defenisi Operasional Variabel dependen

a. Ekstrak daun balandete

Ekstrak daun balandet adalah hasil yang didapatkan dari proses ekstraksi dari

sampel daun balandete

Kriteria objektif : Dalam satuan g/mg

E. Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini, hipotesa yang dirancang peneliti adalah:

H0 : . Ekstrak daun balandete (marremia peltatata) tidak memenuhi syarat parameter

standarisasi obat bahan alam yang meliputi identitas ekstrak, organoleptik,

senyawa terlarut dalam pelarut tertentu, uji kkandungan kimia ekstrak, susut

35
pengeringan, kadar abu, kadar air, bobot jenis, cemaran mikroba, cemaran

kapang/khamir, dan cemaran logam berat

H1 : Ekstrak daun balandete memenuhi syarat parameter standarisasi obat bahan alam

yang meliputi identitas ekstrak, organoleptik, senyawa terlarut dalam pelarut

tertentu, uji kkandungan kimia ekstrak, susut pengeringan, kadar abu, kadar air,

bobot jenis, cemaran mikroba, cemaran kapang/khamir, dan cemaran logam

berat.

36
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis dan rancangan penelitian ini adalah penelitian deskriptif.yang bertujuan

untuk mengetahui analisis parameter spesifik dan non spesifik dari ekstrak daun

balandete (marremia peltata) sebagai bahan baku obat . adapun rancangan penelitian

nya adalah sampel daun balandete akan diekstraksi kemudian hasil ekstraksi akan

dilakukan pengujian parameter spesifik dan non spesifik.

B. Lokasi dan Waktu penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di laboratorium fitokimia program studi

farmasi UNniversitas Mandala Waluya dan laboratorium Farmasi UHO. Waktu

penelitian ini dilaksanakan pada bulan November-Desember Tahun 2020.

C. Populasi dan sampel

populasi dalam penelitian ini adalah daun balandete yang diperoleh di daerah

kendari Sulawesi tenggara sedangkan sampel penelitian ini adalah daun balandete

(Marremia peltata).

D. Alat dan Bahan yang digunakan

Alat yang digunakanPeralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

inkubator, oven, timbangan analitik , gelas kimia, gelas beaker( pyrex), labu takar,

tabung reaksi (pyrex), kondensor eksikator, statip , klem, krus porselin, spatula,

batang pengaduk, chamber, mikro pipet, densitometer (Camag TLC Scanner 3), alat

infundasi meliputi panci infusa, penangas air, waterbath (Memmerth), termometer,

corong buchner (pyrex), blender, toples, penggaris, kamera,wadah maserasi, Rotary

evaporator spektrofotometer UV-Vis.

37
Bahan atau sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ekstrak daun

balandete (marremiapeltata),aquadest etanol 96%, aluminium foil, kertas saring,

kertas perkamen, natrium asetat,asam askorbat, aluminium klorida, methanol, 2,2-

diphenyl-1-picrylhdrazyl (DPPH), dan vitamin C sebagai antioksidan

E. Prosedur penelitian

Uji aktivitas antioksidan dari ekstak daun balandete dilakukan melalui

beberapa tahapan penelitian yang meliputi :

1. Pengambilan sampel

Daun balandete (marremia peltata), yang digunakan dalam penelitian ini

diambil dari kotakendari Sulawesi tenggara. Pengambilan daun balandete

(Marremia peltata), dilakukan pada sore hari pada saat telah berlangsungnya

fotosintesis. Saat itu terjadi proses fotosintesis maksimal pada tanaman.

2. Determinasi sampel

Daun balandete marremia peltata dideterminasi dipusat penelitian ITB

(Institut Teknologi Bandung) Bandung, jawaa Barat.

3. Sortasi dan pengeringan daun balandete

Diambil daun balandete disortasi basah untuk memisahkan kotoran pada

simplisia sebelum dilakukan pencucian, lalu dicuci bersih untuk menghilangkan

sisa tanah dan kotoran yang menempel. Kemudia dilakukan pengeringan simplisia

yaitu dilakukan dengan cara diangin-anginkan atau tidak terkena cahaya matahari

langsung.

4. Ekstraksi serbuk

Serbuk yang kering kemudian diekstraksikan dngan dengan metode

maserasi menggunakan pelarut etanol 96% proses ekstraksinya dilakukan selam 3

hari. Setelah didapatkan ekstrak cair maka dapat dilakuakan pemekatan ekstrak

38
menggunakan rotary evaporator sampai didapatkan ekstrak yang kental.Kemudain

ekstrak kental yang didapatkan tadi dipisahkan dengan n-heksan dan fraksi tidak

larut n-heksan dimurnikan dengan etil asetat kemudian dipekatkan kembali

dengan menggunakan rotary evaporator dan diperoleh ekstrak etil asetat. Ekstrak

etil asetat akan digunakan untuk dilakukan uji parameter spesifik dan non spesifik.

5. Standarisasi Ekstrak (Departemen Kesehatan RI, 2000)

a. Parameter spesifik

1. Identitas

Deskripsi tata nama meliputi : nama ekstrak, nama latin tumbuhan,

bagian tumbuhan, yang digunakan , dan nama Indonesia tumbuhan

(Depkes RI, 2000).

2. Organoleptik

Penentuan organoleptik dilakukan dengan cara menggunakan

pancaindra untuk mendekskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa.

Tujuanya untuk pengenalan awal yang sederhana sesubyektif mungkin

Depkes RI, 2000).

3. Penentuan kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu

Penentuan kadar senyawa terlarut dilakukan dengan cara

melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol atau air) untuk ditentukan

jumlah solute yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara

gravimetric. Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam

pelarut lain misalnya n-heksan, diklorofometan, methanol, tujuanya untuk

memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan (Depkes RI,

2000).

39
a. Kadar senyawa yang larut dalam air

sejumlah 1,0 g ekstrak dimasukkan kedalam labu bersumbat

dan ditambahkan 25,0 ml air-kloroform LP (2,5 ml kloroform

dimasukkan dalam labu ukur 1000 ml dan ditambahkan air hingga

tanda batas). Kemudian didiamkan selama 24 jam sambil dikocok

berkali-kali selama 6 jam pertama dan dibiarkan selama 18 jam lalu

disaring. Sebanyak 5,0 ml filtrate diuapkan hingga kering dalam cawan

dangkal berdasar rata-rata yang telah ditara. Lalu residu dipanaskan

pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Kadar dalam persen senyawa

yang larut dalam air dihitung terhadap ekstrak awal (Depkes RI, 2000)

b. Kadar senyawa larut dalam etanol

Sejumlah 1,0 g ekstrak dimasukkan kedalam labu bersumbat

dan ditambahkan 25,0 ml etanol (96%). Kemudian didiamkan selama

24 jam sambil dikocok berkali-kali selama 6 jam pertama dan

dibiarkan selama 18 jam. Lalu disaring dengan cepat untuk

menghindarkan penguapan etanol. Sebanyak 5,0 ml filtrate diuapkan

hingga kering dalam cawan dangkal berdasarkan rata yang telah ditara

residu dipanaskan pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Kadar dalam

persen senyawa yang larut dalam etanol (95%) dihitung terhadap

ekstrak awal (Depkes RI, 2000).

b. Penentuan parameter non spesifik

1. Penetapan Susut Pengeringan

Sebanyak 1 gram ekstrak ditimbang dalam cawan yangsebelumnya

telah dipanaskan pada suhu 105ºC selama 30 menit dan ditimbang.

Ratakan dengan menggoyangkan hingga merupakan lapisan setebal (5

40
mm-10 mm) dan dikeringkan pada suhu penetapan hingga bobot tetap,

buka tutupnya, biarkan cawan dalam keadaan tertutup dan mendingin

dalam desikator hingga suhu kamar, kemudian dicatat bobot tetap yang

diperoleh (Depkes RI, 2000)

Ket :

A = Bobot sampel sebelum dipanaskan (g)

B = Bobot sampel setelah dipanaskan (g)

2. Penentuan kadar air

Sejumlah 0,1 g ekstrak ditimbang dalam krus porselen bertutup

yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 1050C selama 30 menit dan

telah ditera. Diratakan dengan menggoyangkan hingga merupakan lapisan

setebal 10 – 15 mm dan dikeringkan pada suhu penetapan hingga bobot

tetap, tutupnya dibuka, dibiarkan krus dalam keadaan tertutup dan

mendingin dalam desikator hingga suhu kamar, kemudian dicatat bobot

tetap yang diperoleh untuk menghitung persentase susut pengeringannya

Kadar Air =Berat sebelum pengeringan− Berat akhir ×100


Berat sebelum pengeringan
3. Penentuan kadar abu

Sejumlah 0,2 g ekstrak ditimbang dengan seksama dalam krus yang

telah ditera, dipijarkan perlahan-lahan. Kemudian suhu dinaikkan secara

bertahap hingga 600 ± 250C sampai bebas karbon, selanjutnya didinginkan

dalam desikator, serta ditimbang berat abu.Kadar abu dihitung dalam

persen berat sampel awal. Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu,

kemudian dididihkan dengan 25 ml asam klorida encer P selama 5 menit,

bagian yang tidak larut asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring

41
bebas abu, dicuci dengan air panas, disaring dan ditimbang, ditentukan

kadar abu yang tidak larut asam dalam persen terhadap berat sampel awal.

Kadar Abu =Berat awal− Berat akhir × 100%


Berat awal
4. Penetapan kadar abu total

Abu yang diperoleh di didihkan dengan 25 ml asam klorida encer

selama 5 menit.Pengumpulan bagian yang tidak larut asam, disaring

melalui kertas saring bebas abu, dicuci dngan air panas. Abu yang

tersaring dan kertas saringnya dimasukkan kembali dalam krus silikat yang

sama dipijarkan secara perlahan dalam krus (dengan suhu dinaikkan secara

bertahap hingga 600 ± 25oC, kemudian ditimbang hingga bobot tetap

(zainab dkk, 2016).

5. Bobot jenis

gunakan piknometer bersih dan kering. Piknometer yang akan

diguanakan ditimbang terlebih dahulu. Piknometer diisi dengan aquadest

kemudian diatur suhunya 25oC, dan ditimbang aquadest dalam piknometer

dikeluarkan dan dikeringkan untuk dimasukkan ekstrak cair 5% ekstrak

cair dimasukkan kedalam piknometer kemudian diatur suhu 25oC, dan

ditimbang (Depkes, 2000).

6. Penentuan cemaran mikroba dan kapang

a. Cemaran mikroba

Larutan ekstrak dibuat dengan pengenceran 1:10 dengan cara

melarutkan 1 gram ekstrak kedalam labu ukur 10 ml. dilanjutkan

dengan pengenceran 1:100 dan 1:1000. Untung penentuan angka

lempeng total (ALT) dipiprt 1 ml dari tiap pengenceran kedalam cawan

42
petri yang steril (duplo) dengan menggunakan pipet yang berbeda dan

steril untuk tiap pengenceran. Kedalam tiap cawan petri dituangkan 15

ml media nutrient agar tyang telah dicairkan bersuhu 45 oC. cawan petri

digoyangkan dengan hati-hati ( diputar dan digoyangkan kedepan dan

kebelakang ke kanan dan kekiri) hingga sampel bercampur rata dengan

larutan ekstrak. Kemudian dibiarkan hingga campuran dalam cawan

petri membeku. Cawan petri dengan posisi dimasukkan kedalam lemari

incubator suhu 35o C selama 24 jam dan menentukan angka lempeng

totalnya (Depkes, 2000).

b. Cemaran kapang/khamir

Latrutan ekstrak dibuat dengan pengenceran 1:10 dengan cara

melarutkan 1gra ekstrak kedalam labu ukur 10 ml. dilanjutkan dengan

pengenceran 1:100 dan 1:1000. Media agar yang digunakan adalah

Potato Dextrose Agar (PDA).PDA dicairkan dengan suhu 45oC, lalu

dimasukkan kedalam cawan petri yang steril (metode sebar atau

spreader) dengan menggunakan pipet yang berbeda dan steril untuk

tiap pengenceran.Cawan petri digoyangkan dengan hati-hati hingga

sampel tersebar secara merata pada media.Kemudian diinkubasikan

pada suhu kamar (25oC) selama 7 hari, lalu ditentukan jumlah kapang

dan khamir g sampel (Depkes, 2000).

c. Penentuan cemaran logam

Penetapan kadar As, Pb, Cd dengan metode Atomatic

Absorption Spectroscopy (AAS). Penetapan kadar ketiga logam berat

dengan cara dekstruksi basah. 1 gram ekstrak ditimbang dan

ditambahkan 10 ml HNO3 pekat, setelah itu dipanaskan dengan hot

43
plate hingga volume setengahnya. Ekstrak yang kental dan dingin

ditambahkan HCIO3 5 ml, kemudian dipasnaskan hingga asap putih

hilanglalu dibiarkan dingin kemudian dibilas dengan aquadest dan

disaring ke labu ukur 50 ml. tambahkan aquadest hingga 50 ml. sampel

diukur sengan alat AAS. Berdasarkan buku monografi ekstrak

tumnuhan obat nilai logam Pb tidak lebih dari 10 mg/kg, logam Cd

Tidak lebih dari 0,3 mg/kg, sedangkan logam As tidak lebih dari 5

µg/kg (Saifuddin, 2011)

6. Skrining Fitokimia

a. Uji alkaloid

Sejumlah ekstrak ditambahkan 10 mL kloroformamoniak, disaring ke

dalam tabung reaksi.Filtrat ditambahkan dengan beberapa tetes H 2SO4 2M dan

dikocoksehingga terpisah dua lapisan.Lapisan asam yang terdapat di bagian

atas dipipet ke dalam dua tabung reaksi. Masing-masing tabung reaksi

ditambahkan pereaksi Meyer (5 g KI dilarutkan dalam 90 mL air dan

ditambahkan perlahan HgCl2 sambil diaduk dan diencerkan hingga volume

100 mL) dan pereaksi Dragendorff (campuran Bi(NO3)2 dalam asam nitrat dan

larutan KI). Adanya alkaloid ditunjukkan terbentuknya endapan putih dengan

pereaksi Meyer dan endapan jingga sampai merah coklat dengan pereaksi

Dragendorff.(Atmoko, T., 2009).

b. Uji Flavonoid

Sejumlah ekstrak ditambah air secukupnya dan dipanaskan selama 5

menit, kmudian disaring.Filtrat ditambahkan sedikit serbuk Mg dan 1 mL HCl

pekat, kemudian larutan dikocok.Keberadaan flavonoid ditandai dengan

terbentuknya warna kuning, jingga atau merah.(Atmoko, T., 2009).

44
c. Uji Saponin

Sejumlah ekstrak ditambah air secukupnya dan dipanaskan selama 5

menit, setelah itu ditambahkan beberapa tetes HCl pekat.Adanya saponin

ditandai dengan terbentuknya busa/buih yang stabil selama ± 15 menit

(Atmoko, T., 2009).

d. Uji Tanin

Sejumlah ekstrak dalam tabung reaksi ditambah air secukupnya dan

dipanaskan selama 5 menit, lalu disaring.Filtrat ditambahkan FeCl3

1%.Adanya tanin ditandai dengan terbentuknya warna hijau kebiruan

(Atmoko, T., 2009)

e. Uji Kuinon

Sejumlah ekstrak dalam tabung reaksi ditambah air, dididihkan selama

5 menit, lalu disaring.Filtrat ditambah NaOH 1N.Adanya kuinon ditandai

dengan terbentuknya warna merah (Ciulei, 1984).

f. Uji Steroid dan terpenoid

Sejumlah ekstrak diekstraksi dengan eter dan fraksi yang larut dalam

eter dipisahkan. Lapisan eter dipipet dan diuji dengan pereaksi Lieberman

Buchard (asam asetatanhidrat : H2SO4 pekat = 3:1). Warna merah atau violet

menunjukkan adanya triterpenoid dan warna hijau atau biru menunjukkan

adanya steroid (Atmoko, T.,2009).

7. Pengujian Aktivitas Antioksidan Metode DPPH

a. Pembuatan Larutan DPPH 0,6 mM

Larutan DPPH dibuat dengan cara menimbang 11,75 mg DPPH

dimasukkan dalam labu ukur 50 mL dan dicukupkan dengan 50 mL metanol

45
p.a hingga tanda batas dikocok homogen sehingga diperoleh larutan DPPH

dengan konsentrasi 0,6 mM (Susana, dkk., 2018).

46
b. Pembuatan larutan pembanding

Sebanyak 10 mg vitamin C dilarutkan dengan metanol p.a sampai 100 mL

kemudian larutan dikocok sampai homogen, sehingga didapat konsentrasi

larutan vitamin C 100 ppm. Lalu dibuat dalam variasi konsentrasi 1 ppm,

ppm, 2 ppm, 3 ppm, 4 ppm dan 5 ppm (Susana dkk., 2018).

c. Pembuatan Larutan Stok Ekstrak daun balandete

Pembuatan larutan induk sampel 100 ppm sebanyak 10 mg ekstrak

metanol dilarutkan dengan metanol p.a. sampai 100 mL, larutan dikocok

sampai homogen. Lalu dibuat dalam variasi konsentrasi 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm,

4 ppm dan 5 ppm (Susana dkk., 2018).

d. Pengukuran panjang gelombang maksimum

Larutan DPPH 0,6 mM dipipet sebanyak 1 mL dan ditambahkan 3 mL

metanol p.a, diukur dengan Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang

400-600 nm hingga diperoleh panjang gelombang maksimum (Susana dkk.,

2018).

e. Penentuan Operating Time

Penentuan operating time dilakukan dengan cara 1 mL DPPH 0,6mM

ditambahkan 3 mL metanol p.a, dan 1 mL Vitamin C. larutan tersebut diukur

pada menit 10, 20, 30, 40, 50, dan 60 pada panjang gelombang maksimum yang

telah diperoleh (Rastuti dan Purwanti,2012).

f. Penentuan Aktivitas Penangkapan Radikal DPPH

Larutan seri pembanding dan larutan seri sampel masing-masing

dipipet sebanyak 1 mL lalu ditambahkan 3 mL metanol p.a dan 1 mL DPPH 0,6

mM. Kemudian larutan dikocok sampai homogen.Selanjutnya larutan

diinkubasi selama waktu operating time pada suhu ruangan. Absorbansi larutan

47
masing-masing diukur pada panjang gelombang maksimum DPPH 0,6 mM

yang telah diperoleh (Susana dkk., 2018).

g. Persentase hambatan (IC50)

Aktivitas antioksidan sampel ditentukan oleh besarnya hambatan

serapan radikal DPPH melalui perhitungan persentase hambatan(IC50) serapan

DPPH dengan menggunakan rumus :

Absorbans kontrol – absorbans sampel


% hambatan = x 100%
Absorbans kontrol

Nilai persentase hambatan (%) dan konsentrasi ekstrak daun balandete

diplot masing-masing pada sumbu x dan y, sehingga didapatkan persamaannya

= ax + b dengan perhitungan regresi linear. Aktivitas antioksidan dinyatakan

dengan Inhibition Concentration 50% (IC50) yaitu konsentrasi sampel yang

dapat meredam radikal DPPH sebanyak 50%. Nilai IC 50 didapatkan dari nilai x

setelah mengganti y = 50 Susana dkk., 2018).

F. Pengolahan dan analisis data

Data hasil uji parameter spesifik dan non spesifik serta uji antioksidan

dibandingkan dengan literatur dari buku pedoman parameter standar umum ekstrak

tumbuhan obat.Data yang disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara

deskriptif.

G. Etika penelitian

Adapun etika yang harus di patuhi dalam melakukan suatu penelitian yaitu

pertama peneliti mengajukan surat izin melakukan penelitian kepada Kepala

Laboratorium Universitas Mandala Waluya dan Universitas Haluoleo Kendari,

selanjutnya peneliti menentukan alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian

48
dan terakhir peneliti melakukan penelitian dengan tetap memperhatikan aturan

didalam laboratorium Farmasi Universitas Mandala waluya Kendari.

49
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di tiga laboratorium berbeda.pertama, determinasi

dilakukan dilaboratorium institute Teknologi Bandung (ITB). Kedua, standarisasi

ekstrak daun balandete dilakukan (Marremia peltata) di laburatorim penelitian

Farmasi di Universitas Haluoleo . Setelah itu yang ketiga dilakukan penelitian

lanjutan dengan proses Maserasi,uji antioksidan dan skrining fitokimia dilaboratorim

Farmakognosi-Fitokimia prodi Farmasi Universitas Mandala Waluya Kendari.

B. Analisi Data

1. Analisis Univart

a. Determinasi

Determinasi sampel daun balandete dilakukan dilaboratorium institute

teknologi bandung. Hasil determinasi ini digunakan untuk menunjukkan dan

menjamin keberadaaan jenis atau atau spesies sampel tersebut. Hasil

determinasi menunjukkan bahwa tanaman yang dilakukan dalm penelitian ini

adalah daun balandte (Marremia peltata).

b. Hasil uji skrining fitokimia

Hasil pengujian skrining fitokimia dengan penapisan fitokimia ekstrak

daun balandete (Marremia peltata) dapat dilihat

50
Tabel 5. Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Daun Balandete (Marremia peltata)

NO UJI P ereaksi HASIL


1 Dragendrof
Alkaloid ()

2 Saponin HCl Pekat ()


3 Steroid & Terpenoid H2SO4 ()
4 Flavonoid HCl ()
5 Tanin FeCI3 ()
6 Fenolik FeCl3 ()
Ket : (+) positif , (-) negatif

a) Hasil analisi standarisasi ekstrak

1. Parameter spesifik

a. Identitas

Nama ekstrak :Daun Balandete

Nama simplisia :marremia peltata

Nama latin : marremia peltata L.Merr.

Bagian tanaman :Daun (folium)

b. Organoleptis

No Parameter Hasil

1. Warna Coklat kehitaman

2. Bau Bau khas

3. Rasa Tdak berasa

4. Bentuk Kental

Tabel 1. Hasil pengamatan organoleptik simplisia daun balandete

(Marremia peltata)

51
c. Senyawa yang terlarut

Tabel 2. Hasil pengamatan senyawa terlarut (FI Herbal,

2011)

No. Parameter Hasil Standar


1. Senyawa larut dalam Air 12,70% > 10 %
2. Senyawa larut dalam 16,92% > 16,3 %
Etanol
Berdasarkan table diatas dapat dijelaskan bahwa hasil pengamatan

senyawa larut dalam etanol lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa

larut dalam air.

2. Parameter non spesifik

Tabel 3. Hasil analisis parameter non-spesifik ekstrak daun

balandete (Marremia peltata). (FI Herbal, 2011).

No Parameter Hasil Standar


.
1. Susut Pengeringan 16,82 % < 10,00 %
2. Kadar Air 9,26 % ≤ 10,00 %
3. Kadar Abu total 3,26 % ≤ 7,9 %
4. Kadar larut dalam Asam 0,62 % ≤ 1,9 %
5. Bobot jenis 1,0076 g/mL -
6. Cemaran Mikroba 0,55× 103 cfu/g ≤ 104 cfu/g
7. Cemaran 0,61 × 103 ≤ 104 cfu/g
Kapang/Khamir cfu/g
8. Cemaran Logam Pb 0,12 mg/kg ≤ 10 gr/kg
9. Cemaran Logam Cd 0,08 mg/kg ≤ 0,3 mg/kg
10. Cemaran Logam As Ttd ≤ 10 µg/kg

52
Berdasarkan table diatas menunjukkan bahwa dari parameter susut

pengeringan tidak memenuhi standar mutu ekstrak karena hasil yang

diperoleh adalah 16,82% sedangkan pada paremeter yang lainya memenuhi

standar berdasarkan (FI Herbal, 2011) Data disajikan pada table 3.

2. Analisis bivariat

a. Hasil pengujian antioksidan

Data antioksidan yang diperoleh ditentukan dengan melihat nilai IC50

yaitu dengan membuat kurva hubungan antara konsentrasi ekstrak dan persen

inhibisi tersebut yang akan menghasilkan persamaan regresi linier. Nilai IC5o

dihitung untuk menentukan parameter antioksidan.

Tabel 9. Uji Antioksidan

Konsentras Absorban
lC50
Sampel i Blanko sisampel + % inhibisi
(µg/mL)
(ppm) DPPH
10 0.606 0.432
Ekstrak 28,71
7,5 0.606 0.473
daun 21,94
5 0.606 0.477 32,711
balandete 21,28
2,5 0.606 0.482
20,46
10 0.606 0.265 56,27
7,5 0.606 0.268 55,77
Vit.C 5 0.606 0.369 39,10 7.168
2,5 0.606 0.372 38,61

Berdasarkan table diatas dapat dijelaskan bahwa hasil uji antioksidan ekstrak daun
balandete yang dibandingkan dengan control positif yaitu vitamin C mempunyai
perbedaan yang signifikan hal ini dikarenakan nilaiIC50 dari kedua sampel yaitu ekstrak
daun balandete yaitu 32,711 ppm yang termasuk dalam kategori antioksidan kuat
sedangkan vitamin C nilai IC50 yaitu 7,168 ppm yang termasuk dalam kategori antioksidan
kuat.
53
Persamaan regresi linear ekstrak daun balandete dan persamaan regresi linear
vitamin C Ditunjukkan pada gambar 3 dan 4 sebagai berikut:

hubungan antara
% inhibisi Vs Konsentrasi sampel
35
30
%inhibisi daun balandete

25 f(x) = 1.01650165016502 x + 16.7491749174917


R² = 0.749557522123895
20
15
10
5
0
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
konsentrasi (ppm)

Gambar 6. Persamaan regresi linear ekstrak daun balandete

f(x) = NaN x + NaN


R² = 0 hubungan antara
% inhibisi Vs Konsentrasi perbandingan
12

10
% Inhibisi Vitamin C

0
0 2 4 6 8 10 12
Konsentrasi (ppm)

Gambar 7. Persamaan regresi linier Vitamin C

C. Pembahasan

Pada penelitian ini dilakukan determinasi sampel daun balandete yang

dilakukan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasil determinasi ini dilakukan

54
untuk menunjukkan dan menjamin kebenaran jenis atau spesies sampel tersebut.

Hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan dalam penelitian ini

adalah daun balandete (Marremia peltata).

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daun balandete (Marremia

peltata). Bagian tanaman yang digunakan adalah daun. Sampel kemudian dibuat

dalam simplisia kering yang siap digunakan. Setelah itu simplisia diserbukkan

dengan cara diblender kasar. Hal ini bertujuan agar luas permukaan yang terdapat

pada daun dapat diperkecil sehingga dapat memudahkan pada saat proses penyarian.

Ini dikarenakan pelarut akan mudah menembus dinding sel pada tumbuhan sehingga

memudahkan penarikan senyawa pada tanaman tersebut. Pada proses ekstraksi

serbuk daun balandete dimasukkann kedalam maserasi tertutup gelap yaitu untuk

menghindari terjadinya proses oksidasi oleh cahaya yang dapat menganggu proses

ekstraksi dan direndam menggunakan etanol 96% untuk mendapatkan seluruh

metabolit berkhasiat secara maksimal karena semakin tinggi konsentrasi dari pelarut

maka semakin banyak metabolit yang terlarut dalam pelarut, kemudian diaduk lalu

ditutup rapat selama 24 jam, disaring dan diambil filtratnya. Ampas maserasi tadi

dimaserasi kembali dengan cara yang sama sebanyak 2 kali untuk memastikan

metabolit yang dibutuhkan telah tertarik secara keseluruhan. Filtrate yang diperoleh

dipekatkan dengan evaporator sehingga terbentuk ekstrak kental berwarna coklat

kemerahan sebanyak 42,5 gram. Selanjutnya ekstrak kental ditambahkan dengan etil

asetat karena salah satu pelarut yang memenuhi syarat untuk menarik senyawa kimia

yang bersifat semi polar. Selanjutnya ekstrak etil asetat tersebut akan dilakukan uji

standarisasi dan uji aktivitas antioksidan.

55
Ekstrak daun balandet kemudian dilanjutkan dengan skrining fitokimia yang

bertujuan untuk mengetahui senyawa organik apa saja yang terdapat pada ekstrak.

Setelah itu didapatkan hasil ekstrak daun balandete positif mengandung senyawa

Kemudian dilakukan pengujian standarisasi suatu ekstrak untuk memenuhi

syarat sebagai bahan dan penetapan nilai berbagai parameter dari suatu produk.

Standarisasi ekstrak juga mempunyai pengertian bahwa ekstrak tersebut yang akan

digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang

tercantum dalam manografi yang tercatat dalam manografi terbitan resmi departemen

kesehatan (Materia Medika Indonesia) (Depkes RI, 2011). Salah satu tujuan dari

standarisai adalah menjaga kosistensi dan keseragaman khasiat daro obat herbal.

Standarisasi yang melibatkan pemastian kadar senyawa yang aktif farmakologis

melalui analisis kuantitatif metabolit sekunder yang akan menjamin keseragaman

khasiat ( et al, 2011) standarisasi ekstrak daun balandete marremia peltat L. merr,,

yang dilakukan dalam penelitian ini adalah karakterisasi ekstrak berupa parameter

spesifik (meliputi parameter identitas ekstrak, organoleptis dan uji senyawa terlarut)

dan parameter non spesifik (meliputi parameter susut pengeringan, kadar air, kadar

abu total, kadar abu tidak larut asam, kadar cemaran mikroba, dan cemaran logam).

Parameter spesifik meliputi uji identitas ekstrak yang dapat memastikan bahwa

tanaman tersebut merupakan asli tanaman balandete , selanjutnya dilakukan

parameter organoleptis tanaman yaitu pengenalan sampel yang diamati langsung

dengan panca indra untuk memastikan bentuk, warna, baud an rasa.yang dihasilkan

secara sederhana dan subyektif munkin, parameter selanjutnya yaitu senyawa yang

larut dalam etanol. Penentuan kadar senyawa yang larut dalam air bertujuan untuk

menujukkan jumlah kandungan senyawa yang besifat polar (memiliki sifat kepolaran

sama dengan air). Penetapan kadar senyawa dalam etanol dilakukan untu

56
menujukkan kandungan senyawa-senyawa yang bersifat semi polar (memiliki sifat

kepolaran yang sama dengan etanol). Etanol yang digunakan sebagai pelarut yaitu

etanol 96% yang kemudian diuapkan diatas titik didih etanol (80oC).

Hasil standarisasi ekstrak pada parameter spesifik meliputi identitas ekstrak

yaitu ekstrak daun balandete dengan nama latin Marremia peltata L.Merr,,. Bagian

tanaman yang digunakan yaitu daun dengan hasil parameter organoleptis berwarna

coklat kehitaman, berbau khas, berasa hambar dan berbentuk kental, hasil penetapan

kadar senyawa larut dalam air yaitu 12,70% sedangkan kadar senyawa dalam etanol

yaitu 16,92% berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat dketahui bahwa kadar

senyawa larut dalam etanol lebih tinggi daripada senyawa yang larut dalam air,

artinya kadar senyawa semi polar lebih tinggi dibandingkan dengan kadar senyawa

polarnya hal ini disebabkan karena pelarut dalam proses maserasi yang digunakan

adalah etanol yang yang mana bersifat semi polar. Hasil yang diperoleh pada

penetapan kadar senyawa yang larut dalam air dan kadar senyawa yang laut dalam

etanol sudah sesuai berdasarkan MMI yang menyatakan bahwa persyaratan

parameter spesifik kadar senyawa larut dalam air yaitu >10% dan kadar senyawa

yang larut dalam etanol >16,3% penetapan kadar senyawa yang laut dam air dan

etanol ini merupakan dugaan secara umum banyaknya senyawa yang bersifat semi

polar (terlarut dalam etanol). Penetapan senyawa larut dalam air maupun etanol ini

tidak secara langsung mempengaruhi efek farmakologis senyawa aktif dalam ekstrak

(saefuddin, 2011).

Dan selanjutnya untuk menentukan parameter non spesifik ekstrak meliputi

uji parameter susut pengeringan bertujuan untuk memperlihatjan berapa banyak

senyawa yang terkandung pada ekstrak hilang atau mudah menguap pada proses

pengeringan. Bobot penyusutan atau pengeringan menjadi parameter suatu ekstrak

57
untuk menjaga kualitas agar terhindar dari pertumbuhan jamur (safitri, 2008) bobot

penyusutan ekstrak daun balandte yaitu 16,82% sehingga dikatakan belum

memenuhi syarat standar mutu ekstrak maka dari itu diperlukan perlakuan yang baik

dalam penyiaan ektrak untuk menjamin kualitas ekstrak. Untuk penentuan parameter

kadar air ekstrak etil asetat daun balendete diperoleh yaitu 9,26% sehingga dapat

disimpulkan bahwa ekstrak daun balandete yang digunakan memenuhi syarat. kadar

air dalam ekstrak Kurang dari 10% dapat meminimalisir tumbuhnya jamur dan kapan

serta menghasilkan daya tahan penyimpanan dan mutu ektrak daun balandete tetap

baik. Suatu produk obat bahan alam sebaiknya tidak mengandung semaran

mikroorganisme, akan tetapi kadang hal ini sulit dihindarkan. Menurut persyratan

obat tradisional tertera bahwa angka kapang dan khamir tidak lebih dari 10 4 CFU/gr.

Hasil penelitian yang dihasilkan untuk pengujian cemaran mikroba adalah . hal ini

berarti produk yang dihasilkan telah sesuai dan memenuhi syarat standar yang

diperbolehkan (BPOM RI, 2004).

Penentuan kadar abu ditunjukkan untuk mengetahui jumlah bahwa anorganik

atau mineral yang tersisa setelah proses pengabungan (sudamardji, 1989). Ekstrak

daun balandete telah memenuhi syarat standar kadar abu total yaitu sebesar 3,26%

menurut parameter standar yang berlaku adalah < 7,9% (BPOM RI, 2008). Kadar

abu hendaknya mempunyai nilai kecil karena parameter ini menunjukkan adanya

cemaran logam berat yang tahan pada suhu tinggi (isnawat dan, 2006).

Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam bertujuan untuk mengetahui

jumlah kadar abu yang diperoleh dari factor enternal berasal dari pengotor yang

berasal dari pasir atau tanah (Depkes RI, 2000). Menurut depkes RI 2008

menyatakan bahwa kadar abu tidak larut asam ≤ 1,9% dari hasil yang diperoleh yaitu

0,62% menunjukan bahwa ekstrak daun balandete memenuhi standar kadar abu

58
tidallarut asam. Penetapan kadar larut asam dimaksukkan untuk mengevaluasi

ekstrak dari kontaminasi tanah dan pasir.

Pada penetapan kadar cemaran pada ekstrak, yaitu cemaran logam berat pb,

cd dan As, penetapan kadar ketiga loga berat ini dilakukan debgan Atomic Absorban

Spectroscopy (AAS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar logam berat pb, cd,

As dalam ekstrak daun balandete bertutrut turut. Cemaran logam pb, cd dan As

masih dibawah batas maksimal yang diperbolehkan pemerintah, yaitu pb ≤10gr/kg,

cd ≤3 mg/kg dam As ≤10 µg/kg (BPOM 2004), Umumnya logam ini bersifsat racun

terhadap makhluk hidup. Toksitas pb dapat menyebabkan gangguan system

homopoetik, teratogenik, gangguan fungsi tiroid, kostipasi dan gangguan ginjal

toksitas cd dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan, sakit kepala dan sakit

pinggang dan toksitas As dapat menyakibatkan gastroenteritis, kerusakan ginjal, dan

hyperkeratosis (Darmono, 2008).

Dilanjutkan dengan pengujian aktivitas antioksidan dengan membuat terlebih

dahulu larutan DPPH (1,1-difenil-2-pikrihidazil) merupakan senyawa radikal bebas

yang stabil yang jika digunakan sebagai pereaksi cukup dilarutkan. Metode

peredaman DPPH didasarkan pada reduksi pendonor elektron. Pada saat larutan

DPPH yang berwarna ungu bertemu bahan pendonor elektron maka DPPH akan

tereduksi sehingga menyebabkan warna ungu DPPH berubah menjadi kuning yang

berasal dari gugus pikril. Dari penelitian yang telah dilakukan ekstrak dau balandete

mampu mereduksi DPPH sehingga berubah warna menjadi kuning.

Kemudian dibuat larutan stok vitamin C yang berfungsi sebagai pembanding

karena vitamin C mempunyai aktivitas antioksidan yang sangat tinggi. Vitamin C

dibuat dalam konsentrasi 2,0; 4,0; 6,0, 8,0 dan 10 ppm. Setelah itu dibuat larutan uji

ekstrak daun balandete dengan konsentrasi 20; 40; 60, 80 dan 100 ppm. Kemudian

59
diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit. Setelah diinkubasi sampel diuji

menggunakan spektrovotometri Uv-Vis dengan panjang gelombang 517 nm. Nilai

absorbansi dari vitamin C adalah berturut-turut adalah 10 ppm (0,265), 7,5 ppm

(0,268), 5 ppm (0,369), 2,5 ppm (0,372). Dan nilai absorbansi sampel berturut-turut

adalah 2 ppm (0,432) , 5 ppm (0,477), 7,5 ppm (0,473), 10 ppm (0,432). kemudian

dicari nilai konsentrasi efektif (% inhibisi) dan didapatkan hasil untuk sampel

berturut-turut adalah 10 ppm (28,71), 75 ppm (21,94), 5 ppm (21,28), 2,5 ppm

(20,46) sehingga diperoleh persamaan regresi linear Y=1.016x+16,74 dan didapatkan

hasil perhitungan IC50 sampel ekstrak daun balandete (marremia peltata) adalah

sebesar 32,711 yang artinya aktivitas antioksidan ekstrak daun balandete dikatakan

kuat karena nilainya 50-100 ppm. Antioksidan atau senyawa penangkap radikal

bebas merupakan zat yang dapat menentralkan radikal bebas atau suatu bahan yang

berfungsi mencegah sistem biologi tubuh dari efek yang merugikan yang timbul dari

proses ataupun reaksi yang menyebabkan oksidasi yang berlebihan. Reaksi oksidasi

dapat memicu terbentuknya radikal bebas yang sangat aktif yang dapat merusak

struktur dan fungsi sel. Tetapi reaktivitas radikal bebas tersebut dapat dihambat oleh

sistem antioksidan yang melengkapi sistem kekebalan tubuh. Mekanisme kerja

antioksidan terdiri dari: menangkap radikal bebas, menghambat inisiasi rantai,

menghambat dekomposisi peroksida, mencegah berlanjutnya abstraksi hidrogen,

daya reduksi dan pengikatan katalis ion logam transisi (Vinayak et al. 2010). Potensi

obat antioksidan dibagi menjadi antioksidan endogen, yaitu enzim-enzim yang

bersifat antioksidan, seperti : SOD (Superoksida Dismutase), GPx (Glutathione

Peroksidase) dan Cat (katalase); serta antioksidan eksogen, yaitu yang didapat dari

luar tubuh/makanan. Berbagai bahan alam asli Indonesia banyak mengandung

antioksidan dengan berbagai bahan aktifnya, antara lain vitamin C, E, pro vitamin A,

60
organosulfur, α-tocopherol, flavonoid, thymoquinone, statin, niasin, phycocyanin,

dan lain-lain. Berbagai bahan alam, baik yang sudah lama digunakan sebagai

makanan sehari-hari atau baru dikembangkan sebagai suplemen makanan,

mengandung berbagai antioksidan tersebut (Werdhasari, 2014). Berdasarkan data

yang diperoleh sudah sejalan dengan penelitian dari (M. Djaeni., dkk, 2017), maka

aktivitas antioksidan ekseak daun balandete berkisar antara 102-69 ppm. Semua

ekstrak bunga rosella yang di dapat menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan yang

terdapat pada bunga rosella termasuk dalam antioksidan kuat

61
BAB V1

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan Hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan:

1. Ekstrak daun balandete telah terbukti memenuhi syarat standarisasi namun

trdapat satu parameter yang belim memenuhi syarat standar yaitu susut

pengeringan, pada standar susut pengeringan menunjukkan bahwa < 10,00%

pada sampel didapatkan hasil yaitu 16,82%.

2. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka disimpulkan bahwa ekstrak

daun balandete (Marremia Peltata) memiliki aktivitas antioksidan kuat dengan

nilai IC50 sebesar 32.711

B. Saran

1. Diharapkan pada peneliti selanjutnya agar dapat melakukan penelitian tentang

pengujian lain pada ekstrak daun balandete (Marremia Peltata).

62
63
64

Anda mungkin juga menyukai