1. Pendekatan sifat/trait approach (mulai 1990 sampai mulai kurang aktif tahun 1950an)
2. Pendekatan perilaku/behavior approach (mulai dekade1930 sampai decade 1960)
3. Pendekatan situasional/situational approach (mulai decade 1960-an sampai sekarang)
4. Pendekatan relational/relational approach (mulai decade 1990-an sampai sekarang)
5. Pendekatan kepemimpinan baru /new leadership approach (mulai decade 1980-an
sampai sekarang) dengan tranformational/transactional leadership. Kharismatic
leadership.
6. Pendekatan kepemimpinan yang sedang berkembang sekarang ini/emerging leadership
approach (mulai tahun 2000-an) dengan munculnya teori seperti: servant leadership,
authentic leadership, ethical leadership dan lain-lain.
Tujuan dari paper ini fokus pada literature review era pendekatan emerging leadership.
Beberapa teori kepemimpinan yang sedang berkembang masa sekarang ini akan direview yakni:
servant leadership, authentic leadership dan ethical leadership. Skala pengukuran konstruk dari
ketiga konsep kepemimpinan tersebut telah dikembangkan oleh peneliti yang mengembangkan
konsep baru kepemimpinan tersebut.
Konsep Servant Leadership pertama kali dikenalkan oleh Robert K. Greenleaf pada tahun
1970 dalam bukunya The Servant as Leader. Robert K. Greenleaf adalah Vice President
American Telephone and Telegraph Company (AT&T). Menurut Greenleaf, Servant
Leadership adalah seseorang yang menjadi pelayan lebih dahulu. Dimulai dari perasaan
alami bahwa seseorang yang ingin melayani, harus terlebih dulu melayani. Kemudian pilihan
secara sadar membawa seseorang untuk memimpin.
Menurut Sendjaya dan Sarros (2002:57), Servant Leadership adalah pemimpin yang
mengutamakan kebutuhan orang lain, aspirasi, dan kepentingan orang lain atas mereka sendiri.
Servant leader memiliki komitmen untuk melayani orang lain.
Menurut Spears (2002:255), pemimpin yang melayani (Servant Leadership) adalah seorang
pemimpin yang mengutamakan pelayanan, dimulai dengan perasaan alami seseorang yang ingin
melayani dan untuk mendahulukan pelayanan. Selanjutnya secara sadar, pilihan ini membawa
aspirasi dan dorongan dalam memimpin orang lain.
Menurut Trompenaars dan Voerman (2010:3), Servant Leadership adalah gaya manajemen
dalam hal memimpin dan melayani berada dalam satu harmoni, dan terdapat interaksi dengan
lingkungan. Seorang servant leader adalah seseorang yang memiliki keinginan kuat untuk
melayani dan memimpin, dan yang terpenting adalah mampu menggabungkan keduanya sebagai
hal saling memperkuat secara positif.
Menurut Poli (2011), Servant Leadership adalah proses hubungan timbal balik antara
pemimpin dan yang dipimpin dimana di dalam prosesnya pemimpin pertama-tama tampil
sebagai pihak yang melayani kebutuhan mereka yang dipimpin yang akhirnya menyebabkan ia
diakui dan diterima sebagai pemimpin.
Menurut Vondey (2010), Servant Leadership merupakan seorang pemimpin yang sangat
peduli atas pertumbuhan dan dinamika kehidupan pengikut, dirinya serta komunitasnya, karena
itu ia mendahulukan hal-hal tersebut daripada pencapaian ambisi pribadi (personal ambitious)
dan kesukaannya semata
Menurut Barbuto & Wheeler (2006), dimensi servant leadership adalah sebagai berikut:
1. Altruistic calling, yaitu hasrat yang kuat untuk membuat perubahan positif pada
kehidupan orang lain dan meletakkan kepentingan orang lain di atas kepentingan sendiri
dan juga akan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan bawahannya.
2. Emotional healing, yaitu komitmen seorang pemimpin untuk meningkatkan dan
mengembalikan semangat karyawannya.
3. Wisdom, yaitu pemimpin yang mudah untuk memahami suatu situasi dan dampak dari
situasi tersebut.
4. Persuasive mapping, yaitu sejauh mana pemimpin memiliki keterampilan untuk
memetakan persoalan dan mengkonseptualisasikan kemungkinan tertinggi yang akan
terjadi dan membujuk seseorang untuk melakukan sesuatu ketika mengartikulasikan
peluang.
5. Organizational stewardship, yaitu sejauh mana pemimpin menyiapkan organisasi untuk
membuat kontribusi positif terhadap lingkungannya.
6. Humility, yaitu kerendahan hati pemimpin.
7. Vision, yaitu sejauh mana pemimpin mencari komitmen semua anggota organisasi
terhadap visi bersama dengan mengajak anggota untuk menentukan arah masa depan
perusahaan.
8. Service, yaitu sejauh mana pelayanan dipandang sebagai inti dari kepemimpinan dan
pemimpin menunjukkan perilaku pelayanannya kepada bawahan.
Menurut Dennis (2004), Servant Leadership dapat diukur melalui Servant Leadership Assement
Instrument (SLAI). Berdasarkan hal tersebut indikator Servant Leadership adalah sebagai
berikut:
1. Kasih Sayang (Love). Kepemimpinan yang mengasihi dengan cinta atau kasih sayang.
Cinta yang dimaksud adalah melakukan hal yang benar pada waktu yang tepat untuk
alasan dan keputusan yang terbaik.
2. Pemberdayaan (Empowerment). Penekanan pada kerja sama yaitu mempercayakan
kekuasaan pada orang lain, dan mendengarkan saran dari followers.
3. Visi (Vision). Arah organisasi dimasa mendatang yang akan dibawa oleh seorang
pemimpin. Visi akan mengispirasi tindakan dan membantu membentuk masa depan.
4. Kerendahan Hati (Humility). Menjaga kerendahan hati dengan menunjukkan rasa
hormat terhadap karyawan dan mengakui kontribusi karyawan terhadap tim.
5. Kepercayaan (Trust). Servant-leader adalah orang-orang pilihan yang dipilih
berdasarkan suatu kelebihan yang menyebabkan pemimpin tersebut mendapatkan
kepercayaan.
Seorang pemimpin dengan gaya kepemimpinan melayani (Servant Leadership), dapat diketahui
melalui ciri-ciri sebagai berikut:
a. Mendengarkan
Pemimpin pelayan berusaha mengenali dan memahami dengan jelas kehendak kelompok.
Mereka berusaha mendengarkan secara tanggap apa yang dikatakan (dan tidak dikatakan).
Mendengarkan dan memahami apa yang dikomunikasikan oleh tubuh, jiwa, dan pikiran.
Pemimpin pelayan berusaha keras memahami dan memberikan empati kepada orang lain. Orang
perlu diterima dan diakui sebagai suatu individu yang istimewa dan unik. Setiap individu tidak
ingin kehadirannya dalam suatu organisasi/perusahaan ditolak oleh orang lain yang berada di
sekitar dirinya. Pemimpin pelayan yang paling sukses adalah mereka yang mampu menjadi
seorang pendengar yang penuh dengan empati.
c. Kemampuan meramalkan
Kemampuan untuk memperhitungkan kondisi yang sudah terjadi atau meramalkan kemungkinan
hasil suatu situasi sulit didefinisikan, tetapi mudah dikenali. Kemampuan meramalkan adalah ciri
khas yang memungkinkan pemimpin pelayan bisa memahami pelajaran dari masa lalu, realita
masa sekarang dan kemungkinan konsekuensi sebuah keputusan untuk masa depan. Hal ini
menanamkan inti permasalahan sampai jauh ke dalam pikiran intuitif.
Ciri khas kepemimpinan pelayan lainnya adalah mengandalkan kemampuan meyakinkan orang
lain, bukannya wewenang karena kedudukan dalam membuat keputusan di dalam organisasi.
Pemimpin pelayan berusaha meyakinkan orang lain, bukannya memaksakan kepatuhan.
e. Konseptualisasi
Pemimpin pelayan berusaha memelihara kemampuan mereka untuk memiliki impian besar.
Kemampuan untuk melihat kepada suatu masalah (atau sebuah organisasi) dari perspektif
konseptualisasi berarti bahwa orang harus berpikir melampaui realita dari hari ke hari. Pemimpin
pelayan harus mengusahakan keseimbangan yang rumit antara konseptualisasi dan fokus sehari-
hari.
f. Kemampuan Menyembuhkan
Belajar menyembuhkan merupakan daya yang kuat untuk perubahan dan integrasi. Salah satu
kekuatan besar kepemimpinan pelayan adalah kemampuan untuk menyembuhkan diri sendiri dan
orang lain.
g. Kemampuan Melayani
Kemapuan melayani (stewardship) adalah memegang sesuatu dengan kepercayaan orang lain.
Kepemimpinan pelayan memiliki komitmen untuk melayani kebutuhan orang lain. Hal ini
tentunya menekankan adanya keterbukaan dan kejujuran, bukan pengendalian atau pengawasan.
Pemimpin pelayan sangat berkomitmen terhadap pertumbuhan pribadi, profesional dan spiritual
setiap individu di dalam organisasi. Dalam praktiknya dengan cara melakukan pengembangan
pribadi dan profesional, menaruh perhatian pribadi pada gagasan dan saran karyawan atau
anggota, memberikan dorongan kepada keterlibatan pekerja dalam pengambilan keputusan,
toleran terhadap kesalahan dan sebagainya.
Daftar Pustaka
Sendjaya, S. dan Sarros, J. C. 2002. Servant leadership: Its Origin, Development and
Application in Organizations. Journal Of Leadership and Organization Studies.
Spears, Larry. 2002. Character and Servant Leadership: Ten Characteristics of
Effective, Caring Leaders. The Journal of Virtues & Leadership.
Trompenaars, Fons dan Voerman, Ed. 2009. Servant Leadership Across Cultures:
Harnessing the strength of the world's most powerful leadership philosophy. New
York: Infinite Ideas Limited.
Poli, W.I.M. 2011. Kepemimpinan Stratejik; Pelajaran dari Yunani Kuno hingga
Bangladesh. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Vondey, M. 2010. The Relationships among Servant Leadership, Organizational
Citizenship Behavior, Person-Organization Fit, and Organizational Identification.
International Journal of Leadership Studies.
Barbuto, JE. dan Wheeler DW. 2006. Scale development and construct clarification
ofservant leadership. Group & Organization Management.
Dennis, R. 2004. Development of the Servant Leadership Assesment Instrumen.
Leadership & Organization Development Journal.
1. Mendengarkan (Listening). Para pemimpin secara tradisional dinilai berkaitan dengan
keterampilan mereka dalam hal berkomunikasi dan pengambilan keputusan. Memang dua hal ini
merupakan keterampilan-keterampilan yang penting untuk dimiliki oleh seorang servant-leader,
namun harus diperkuat dengan komitmen mendalam untuk secara intens mendengarkan orang-
orang yang berbicara kepadanya. Seorang servant-leader senantiasa berupaya untuk mengetahui
kehendak kelompoknya, dan dia mencoba untuk mengklarifikasi kehendak itu. Dia berupaya
untuk mendengarkan apa saja yang dikatakan dan tidak dikatakan oleh orang-orang lain
kepadanya. Seorang pendengar yang baik juga selalu mendengarkan suara di dalam batinnya,
dan berupaya untuk memahami komunikasi yang disampaikan orang-orang lain lewat bahasa
tubuh mereka, seperti ekspresi wajah dlsb. Upaya mendengarkan harus disertai refleksi secara
teratur demi tercapainya pertumbuhan sang servant-leader itu sendiri.
Marilah kita merenungkan apa yang ditulis oleh William Arthur Ward: "We must be silent before
we can listen. We must listen before we can learn. We must learn before we can prepare. We
must prepare before we can serve. We must serve before we can lead,” artinya: Kita harus
hening sebelum kita dapat mendengarkan. Kita harus mendengarkan sebelum kita dapat belajar.
Kita harus belajar sebelum kita dapat mempersiapkan. Kita harus mempersiapkan sebelum kita
dapat melayani.”
Contoh dari seorang pemimpin yang menggunakan pendekatan persuasif ini adalah John
Woolman, seorang yang beragama Quaker di Amerika. Praktis dia berjuang sendiri untuk
mempengaruhi para anggota Quaker di Amerika untuk tidak memperkerjakan para budak dalam
bisnis mereka. Banyak dari para Quaker Amerika hidup makmur dan mereka memiliki budak-
budak. Sebagai seorang pemuda, John Woolman bercita-cita agar para anggota komunitas
Quaker yang dikenal sebagai “Society of Friends” tidak mempunyai budak-budak, suatu praktek
yang tidak manusiawi ini. Pada tahun 1770, hampir seratus tahun sebelum perang saudara (Civil
War), tidak ada seorang anggota Quaker pun yang mempunyai budak. Bagaimana John
Woolman sampai berhasil mencapai tujuannya yang mulia itu? Lewat pendekatan persuasif yang
dilakukannya dengan para anggota Quaker yang mempunyai budak-budak di pantai timur
Amerika Serikat untuk bertahun-tahun lamanya. Dia berjalan kaki atau dengan naik kuda bermil-
mil jauhnya, pergi ke sana-kemari memberi penjelasan kepada orang-orang yang dikunjunginya
tentang buruknya memiliki budak. Jadi, John Woolman melakukan pendekatan secara satu per
satu, samasekali tidak mengumpulkan mereka dalam rapat akbar gaya kampanye pemilu kita,
lengkap dengan penyanyi dangdutnya. Metodenya sederhana namun unik. Dia tidak ribut-ribut
dan memulai sebuah gerakan protes. Pendekatannya lemah lembut namun jelas dan merupakan
persuasi yang bersifat mendesak. Itulah dia pribadi yang bernama John Woolman (lihat Robert
K. Greenleaf, 1977, hal. 29).
8. Kepengurusan (Stewardship). Peter Block, pengarang “Stewardship and The Empowered
Manager) mendefinisikan stewardship ini sebagai memegang/mengurus sesuatu untuk orang lain
atas dasar kepercayaan” (lihat L.C. Spears, 1994, hal. 158). Menurut pandangan Robert
Greenleaf, semua lembaga adalah tempat di mana CEO, para pekerja dll., semua memainkan
peranan yang signifikan dalam mengurus lembaga-lembaga mereka atas dasar kepercayaan demi
kebaikan masyarakat yang lebih besar. Servant-leadership, seperti juga stewardship pertama-
tama dan terutama mengandaikan suatu komitmen untuk melayani kebutuhan-kebutuhan orang
lain. Hal tersebut juga menitik-beratkan penggunaan keterbukaan dan persuasi, bukan
pengendalian (kontrol).
46 This person goes above and beyond the call of duty to meet my needs.
Wisdom ( = .92)
21 This person believes that the organization needs to play a moral role in society.
43 This person sees the organization for its potential to contribute to society.
54 This person is preparing the organization to make a positive difference in Sumber future.
Sumber: Barbuto, John E. and Wheeler, Daniel W., "Scale Development and Construct
Clarification of Servant Leadership" (2006).Faculty Publications: Agricultural
Leadership, Education & Communication Department. 51.
Seorang pemimpin otentik memiliki nilai-nilai, prinsip, moral yang ia milliki sebagai
dirinya sendiri, bukan imitasi atau meniru orang lain. Mereka akan mendemonstrasikan nilai-
nilai, prinsip,moral dan etika ke dalam perilaku kepemimpinannya. Menurut Kruse (2013)
dari berbagai konsep teori, karakteristik dari pemimpin yang otentik adalah:
1. Self-aware dan tulus. Pemimpin-pemimpin yang otentik adalah individu yang
mengaktualisasikan dirinya dengan memiliki self-awareness (kesadaran diri). Mereka
mengetahui kekuatan dan kelemahan pada diri mereka sendiri dan emosi mereka. mereka
juga tidak berperilaku berbeda di berbagai kondisi, dengan kata lain mereka menjadi diri
mereka di hadapan para pengikutnya. Mereka juga tidak takut untuk terlihat lemah dengan
mengakui kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan dan kegagalan yang pernah mereka
lalui.
2. Mission driven dan fokus pada hasil. Mereka mampu menempatkan misi-misi untuk
mencapai tujuan orang banyak atau organisasi di atas tujuan pribadi. Mereka melakukan
pekerjaan mereka untuk mencapai hasil bukan untuk kekuasaan, ego dan keinginan materi
pribadi.
3. Memimpin dengan hati, tidak hanya dengan pikiran. Mereka tidak takut untuk
menunjukkan emosi-emosi yang mereka miliki, kerentanan mereka terhadap karyawan.
Namun bukan berarti mereka “lembek”, akan tetapi dapat mengkomunikasikan apa yang
dirasakan dengan tata cara yang tepat beserta empati.
4. Fokus pada jangka panjang. Mereka fokus untuk hasil jangka panjang, bersedia untuk
membimbing setiap orang dan memelihara organisasi dengan sabar dan kerja keras karena
mereka yakin dengan hasil yang akan bertahan untuk jangka waktu yang lama.
Dalam alat ukur Kepemimpinan Otentik terdiri dari empat komponen sebagai berikut
(Avolio, Gardner & Walumbawa, 2007)
2. Transparansi: sejauh mana pemimpin mendorong keterbukaan terhadap orang lain dengan
memberikan kesempatan pada mereka untuk memunculkan ide-ide, tantangan dan opini?.
Pemimpin jujur dan tidak memiliki agenda tersembunyi, terus terang ketika berhadapan
dengan orang lain.
3. Moral: sejauh mana pemimpin membuat standar yang tinggi untuk pelaksanaan moral dan
etika?. Pemimpin otentik memiliki etika, hal benar apakah yang harus dilakukan dan
perduli akan etika dan keadilan.
4. Balanced Processing: sejauh mana pemimpin meminta pendapat dan sudut pandang yang
cukup sebelum membuat keputusan penting?. Pemimpin otentik yang efektif akan
mempertimbangkan semua pilihan dan pandangan-pandangan kontra sebelum melakukan
serangkaian tindakan. Perencanaan-perencanaan baik-baik dipikirkan dan didiskusikan
dengan terbuka.
15. I listen very carefully to the ideas of others before making decisions. 1 2 3 4 5
Number from the scale below which you feel most accurately characterizes your response to
that statement.
Key: 1 = Strongly disagree 2= Disagree 3= Neutral 4=Agree 5=Strongly agree 1. I can list my
three greatest weaknesses.
Scoring 1. Sum the responses on items 1, 5, 9, and 13 (self-awareness). 2. Sum the responses
on items 2, 6, 10, and 14 (internalized moral perspective). 3. Sum the responses on items
3, 7, 11, and 15 (balanced processing). 4. Sum the responses on items 4, 8, 12, and 16
(relational transparency). 5. Sum the responses on all items (authentic leadership).
Total Scores
Self-awareness:______
Balanced Processing:______
Relational Transparency:______
Authentic Leadership:______
Scoring Interpretation
Cara Penggunaan ALQ
Marilah kita ukur tingkatnya secara mandiri melalui pendekatan Authentic Leadership
Questionnaire (ALQ) yang diciptakan oleh Avolio, Gardner, & Walumbwa (2007). Caranya
dengan menjawab secara jujur atas 16 pertanyaan dari 4 komponen Self Awaraness (SA);
Internalized Moral Perspective (IM); Balance Processing (BP); dan Relational Transperancy
(RT). Alternatif jawaban menggunakan skala Likert dengan rentang 0 sampai 4, yaitu: (0) Tidak
pernah, (1) Jarang, (2) Kadang-kadang, (3) Sering dan (4) Selalu. Semakin tinggi skor
menunjukkan kepemimpinan otentik yang semakin tinggi. Berikut contoh pengisian ALQ dan
evaluasinya.
Setelah itu marilah kita jumlah 16 pertanyaan tersebut dan kita kelompokan sebagai berikut:
Bila total nilai seluruh empat komponen berada dalam range 4 yaitu kisaran antara 16-32, maka
nilai kepemimpinan otentik sangat rendah. Pada kisaran 32-48, berarti rendah; kisaran 48-64
mempunyai nilai yang tinggi, dan kisaran 64-80, nilainya sangat tinggi.
Penutup
Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Bill George dan kawan kawan menyimpulkan bahwa
seseorang tidak harus lahir dengan karateristik khusus seseorang pemimpin. Semua orang
mempunyai potensi menjadi pemimpin. Tantangannya adalah memahami diri kita sendiri dan
menemukan suatu cara yang dapat memanfaatkan potensi kepemimpinan kita untuk melayani
oang lain (Bill George, Peter Sims, Andrew N. McLean, and Diana Mayer, 2007, hal 2). Dalam
organisasi, tidak ada pemimpin dadakan (instan). Menemukan tingkat kepemimpinan otentik
seseorang memerlukan komitmen mengembangkan diri. Seperti pemusik, atlit, seseorang harus
mendedikasikan dirinya sepanjang waktu untuk mewujudkan potensinya.
Setelah menjawab 16 pertanyaan secara mandiri dan jujur, pembaca dapat membandingkan
masing masing komponen. Terhadap komponen yang telah tinggi, seyogianya terus
dipertahankan. Sedangkan terhadap komponen yang masih rendah, perlu untuk ditingkatkan
dalam masa mendatang melalui pendidikan dan pelatihan. Namun seseorang tidak boleh
mengharapkan organisasi memberikan sepenuhnya program pengembangan dirinya. Seseorang
perlu bertanggung jawab untuk mengembangkan dirinya.
Daftar Pustaka
Bill George, Peter Sims, Andrew N. McLean, and Diana Mayer, Discovering Your
Authentic Leadership, Harvard Business Review, 2007;
Clarissa S. Cervo1,2,3, Lisete dos Santos Mendes M?nico 4, Nuno Rebelo dos Santos5, Claudio
Simon Hutz and Leonor Pais, Authentic Leadership Questionnaire: invariance between samples
of Brazilian and Portuguese employees, 2016, Psicologia: Reflex?o e Cr?tica.
Yukl telah mengembangkan kuisioner pengukuran kepemimpinan etis (Yukl et al., 2013).
1. Strongly Disagree
2. Moderately Disagree
3. Slightly Disagree
4. Slightly Agree
5. Moderately Agree
6. Strongly Agree
My boss:
5. _ Keeps his/her actions consistent with his/her stated values (“walks the talk”).
8. _ Insists on doing what is fair and ethical even when it is not easy.
13. _ Is fair and objective when evaluating member performance and providing rewards.
15. _ Holds members accountable for using ethical practices in their work.
DAFTAR PUSTAKA
Antonakis J, Cianciolo, A.T., & Sternberg R.J. 2004, The Nature of Leadership, Thousand Oaks,
CA: Sage.
Avolio, B. J., Gardner, W. L., & Walumbawa, F. O. (2007). Authentic leadership questionnaire.
Diunduh dari http://www.mindgarden.com/69-au thentic-leadership-questionnaire.
Barbuto, John E. and Wheeler, Daniel W., "Scale Development and Construct Clarification of
Servant Leadership" (2006).Faculty Publications: Agricultural Leadership, Education &
Communication Department. 51.
Kruse, K., 2013. What is authentic leadership?. Diunduh dari
http://www.forbes.com/sites/kevinkruse/2013/05/12/what-is-authentic-
leadership/#197b2f012ddd.
Yukl, Gary, Rubina Mahsud, Shahidul Hassan and Gregory E. Prussia,, 2011, An Improved
Measure of Ethical Leadership, Journal of Leadership & Organizational Studies 20(1) 38
–48
Ethical Leadership
ABSTRAK
Makalah ini mengkaji membangun kepemimpinan etis. Pemimpin etis berpikir tentang
konsekuensi jangka panjang, terkait kelemahan dan manfaat dari keputusan yang mereka buat
dalam organisasi. Mereka adalah rendah hati, yang bersangkutan untuk kebaikan yang lebih
besar, berusaha untuk keadilan, bertanggung jawab dan menunjukkan rasa hormat untuk setiap
individu. Pemimpin etis menetapkan standar etika yang tinggi dan bertindak sesuai dengan
mereka tetapkan. Mereka mempengaruhi nilai-nilai etika organisasi melalui perilaku mereka.
Pemimpin berfungsi sebagai role model bagi pengikut mereka dan menunjukkan kepada mereka
batas-batas perilaku yang ditetapkan dalam sebuah organisasi. Mereka dianggap sebagai
seseorang yang jujur, dapat dipercaya, berani dan menunjukkan integritas. Semakin pemimpin
"berjalan sesuai pembicaraan", dengan menerjemahkan nilai-nilai yang diinternalisasi ke dalam
tindakan, tingkat kepercayaan yang lebih tinggi dan rasa hormat dapat diberikan dari pengikut.
Kata kunci : Pemimpin etis, karakter, hubungan pemimpin-pengikut, budaya etis
PENGANTAR
Meskipun dekade terkait diskusi dan penelitian tentang kepemimpinan etis sebagian besar
anekdot dan tetap sangat normatif (Brown & Trevino, 2006). Sampai baru-baru "sedikit yang
telah dilakukan untuk secara sistematis mengembangkan kepemimpinan dengan membangun
etika yang diperlukan untuk menguji teori tentang asal-usul dan hasil (Brown, Trevino, &
Harrison, 2005, hal. 118).
Hal ini terutama pada saat skandal korporasi dan penyimpangan moral yang lebih luas di
kelompok masyarakat dan kepentingan dalam korporasi bertanya pada diri sendiri pertanyaan
mendasar, yaitu, yang manajer perusahaan dan keetisan mereka. Hanya dalam beberapa tahun
terakhir bahwa manajer dan peneliti telah mengalihkan perhatian mereka ke manajemen etika (L.
K. Trevino & Brown, 2005). Perhatian untuk "kesadaran etis" datang pada saat konsep legitimasi
kepemimpinan dipertanyakan dan ketika kepercayaan publik dalam tata kelola perusahaan sangat
rendah (Fulmer, 2005). Pemimpin harus menjadi sumber penting dari bimbingan etis bagi
karyawan dan harus pada saat yang sama bertanggung jawab untuk pengembangan moral dalam
sebuah organisasi. Orang mungkin berpikir bahwa etika adalah sesuatu yang intim, soal rahasia
bahwa seorang individu dan berbagi hati nuraninya. Bagaimana kita bersikap, bagaimana kita
mencapai tujuan (selama mereka adalah legal dan sah), tidak mungkin tampak penting, dan
beberapa bahkan mungkin mengatakan bahwa etika tidak ada hubungannya dengan manajemen.
Kebenaran s namun justru sebaliknya, etika memiliki banyak jika tidak semuanya harus
dilakukan dengan manajemen / kepemimpinan. Dan perilaku manajer 'disebarkan di seluruh
perusahaan dan standar perilaku mereka adalah bagian penting dari iklim perusahaan, dan ketika
stabil, budaya.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk menjelaskan konstruk kepemimpinan etis dengan meninjau
literatur yang relevan. Tujuan dari kertas termasuk memberikan definisi untuk membangun
kepemimpinan etis dan menggambarkan kepribadian pemimpin etis ini. Selain itu, kami
mengevaluasi faktor penentu utama dari perilaku etis pemimpin dalam sebuah organisasi.
Pertanyaan penelitian kertas termasuk: apa karakteristik kepribadian penting dari seorang
pemimpin yang etis dan apa yang perilaku khas nya? Apa peran pemimpin dalam membina
perilaku etis pengikut 'dan bagaimana pengikut memandang pemimpin etis? Kami juga
menyediakan hasil dari studi empiris langka tentang pemimpin etis dan persepsi para pengikut
'dimensi etis dalam pemimpin. Struktur kertas mencerminkan tujuan dan mengikuti pertanyaan
penelitian.
Pemimpin etis berbicara kepada kita tentang identitas kita, apa yang kita lakukan dan apa yang
kita dapat menjadi, bagaimana kita hidup dan bagaimana kita bisa hidup lebih baik. (Freeman &
Stewart, 2006). Etika adalah istilah filosofis yang berasal dari kata Yunani "ethos" yang berarti
kebiasaan atau karakter. Hal ini berkaitan dengan menggambarkan dan menentukan persyaratan
moral dan perilaku, yang menunjukkan bahwa ada cara yang dapat diterima dan tidak dapat
diterima dalam berperilaku yang berfungsi sebagai fungsi dari prinsip filosofis (Minkes, Kecil, &
Chatterjee, 1999). Perilaku etis didefinisikan sebagai perilaku yang secara moral diterima secara
"baik" dan "benar" sebagai lawan dari "buruk" atau "salah" dalam situasi tertentu (Sims, 1992).
Etika adalah kode dari nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memandu perilaku individu atau
kelompok sehubungan dengan apa yang benar atau salah. Perilaku etis secara legal dan moral
diterima oleh masyarakat secara umum (L. K. Trevino, 1986). Dilema etika, hadir dalam situasi
yang tidak pasti, di mana kepentingan yang berbeda, nilai-nilai, keyakinan yang berkaitan
dengan berbagai pemangku kepentingan dalam konflik.
Secara sempit, dalam konteks organisasi, etika dapat dilihat sebagai percakapan terbuka tentang
nilai-nilai dan isu-isu yang paling penting untuk para pemangku kepentingan dan bisnis. Di satu
sisi, itu adalah penemuan terus menerus dan penegasan kembali dan evaluasi nilai-nilai sendiri
dan prinsip-prinsip (Freeman & Stewart, 2006). Perilaku etis dalam konteks organisasi telah
paling sering dijelaskan dalam hal standar etika pemimpin senior (CEO) dan budaya yang
mereka secara substansial berkontribusi (DeGeorge, 1986).
Kami mendefinisikan kepemimpinan sebagai seni membujuk pengikut ingin melakukan hal-hal,
kegiatan, agar pemimpin dapat mencapai tujuan. Oleh karena itu peran pemimpin dalam proses
mengarahkan perilaku individu menuju tujuan yang diinginkan. Pemimpin bervariasi tergantung
pada gaya kepemimpinan individu yang berasal dari karakteristik kepribadian. Beberapa
pemimpin, khususnya karismatik dan transformasional, memiliki kekuatan pribadi di mana
mereka melibatkan karyawan, sedangkan lainnya mengerahkan posisi, kekuasaan yang sah.
Pemimpin yang ditandai dengan nilai-nilai yang berbeda, sikap, keyakinan, perilaku, kebiasaan
dan praktik dan itu adalah untuk batas tertentu, tergantung pada budaya organisasi, profesional
atau institusional.
Kepemimpinan menandakan hubungan antara pemimpin dan pengikutnya dalam konteks
situasional dan organisasi. Menurut penelitian oleh Rost, kepemimpinan didefinisikan sebagai
hubungan kekuatan-dan sarat nilai antara pemimpin dan pengikut / konstituen yang berniat
perubahan nyata yang mencerminkan saling tujuan mereka (Rost, 1993). Kepemimpinan dalam
konteks etika organisasi normatif akan didefinisikan berkaitan dengan bagaimana individu harus
atau seharusnya berperilaku dalam suatu organisasi. Ini termasuk spekulasi tentang kriteria yang
menentukan keputusan etis dan karakteristik kepribadian. Kepemimpinan etis sangat penting dan
vital dalam memberikan arahan yang memungkinkan organisasi untuk memenuhi misi dan visi
dan mencapai tujuan dinyatakan (Kanungo & Mendonca, 1996). Kepemimpinan etis dianggap
sebagai faktor kunci dalam pengelolaan reputasi organisasi di lingkungan eksternal dan
dibandingkan dengan pesaing (Blanchard & Peale, 1996; Kanungo & Mendonca, 1996).
Kesehatan moral dari organisasi tergantung pada standar dan contoh dari kepala eksekutif (Kelly,
1990). Menurut Hitt, kepemimpinan senior memiliki dua tanggung jawab utama: 1) untuk
memastikan bahwa keputusan etis yang dibuat; 2) untuk mengembangkan iklim organisasi di
mana etika perilaku pengikut dipupuk (Hitt, 1990).
Kepemimpinan etis adalah membangun yang tampaknya ambigu dan mencakup berbagai elemen
beragam (G. Yukl, 2006). Alih-alih memahami kepemimpinan etis mencegah orang dari
melakukan hal yang salah, penulis mengusulkan bahwa kita perlu melihatnya sebagai
memungkinkan orang untuk melakukan hal yang benar (Freeman & Stewart, 2006). Seorang
pemimpin yang etis adalah orang yang hidup dengan prinsip-prinsip etik yang sangat penting
baginya. Untuk menjadi pemimpin yang etis perlu untuk mematuhi standar yang lebih universal
dari perilaku moral (Thomas, 2001). Memimpin secara etis diyakini menjadi proses penyelidikan
- mengajukan pertanyaan tentang apa yang benar dan apa yang salah - dan modus perilaku -
pengaturan contoh bagi pengikut dan orang lain tentang kebenaran atau kesalahan dari tindakan
tertentu (Guy, 1990).
Kepemimpinan etis dapat dilihat dari segi penyembuhan dan kekuatan energi cinta, mengakui
bahwa kepemimpinan adalah hubungan timbal balik dengan pengikut. Misi pemimpin adalah
untuk melayan, mendukung dan semangat untuk memimpin berasal dari kasih sayang (Kouzes &
Posner, 1992). Bahwa kepemimpinan etis mulai mendapat perhatian bahkan ditampilkan dalam
upaya untuk mendidihkan kepemimpinan etis bawah untuk mencintai (Kouzes & Posner, 1992).
Berdasarkan tinjauan ekstensif literatur Brown dan koleganya membentuk definisi berikut:
kepemimpinan etis didefinisikan sebagai "demonstrasi perilaku normatif yang tepat melalui
tindakan pribadi dan hubungan interpersonal, dan promosi perilaku tersebut ke pengikut melalui
komunikasi dua arah, penguatan dan pengambilan keputusan "(Brown et al., 2005, hal. 120).
Definisi ini mengusulkan bahwa perilaku 1) pemimpin etis 'berfungsi sebagai perilaku role
model untuk pengikut sebagai perilaku yng sesuai dan dapat diterima; 2) pemimpin etis
berkomunikasi dan membenarkan tindakan mereka untuk pengikut (yaitu mereka membuat etika
yang menonjol di lingkungan sosialnya) (Bass & Steidlmeier, 1999); 3) pemimpin etis ingin
terus berperilaku sesuai dengan etika, karena itu mereka menetapkan standar etika dalam
perusahaan dan penghargaan etika (Minkes et al, 1999) pada karyawan serta menghukum
perilaku yang tidak etis.; 4) pemimpin etis menggabungkan dimensi etika dalam proses
pengambilan keputusan, mempertimbangkan konsekuensi etis dari keputusan mereka dan di atas
semua mencoba untuk membuat pilihan yang adil. Definisi di atas tempat kepemimpinan etis
antara bentuk positif dari kepemimpinan dan berfokus pada perilaku pemimpin dan dengan
demikian menguraikan karakteristik pribadi, sikap dari perilaku aktual.
Ciulla mengusulkan bahwa pemimpin etis adalah pemimpin yang efektif (Ciulla, 1995). Dalam
prakteknya meskipun, kita lebih sering menemukan pemimpin yang efektif dan etis atau tidak
efektif dan etis. Ciulla berpendapat bahwa pada waktu hanya fakta satu dianggap sebagai etika
dan dapat dipercaya membuatnya efektif, sedangkan kadang-kadang menjadi sangat efektif
membuat satu etika. Ada juga masalah kriteria kepemimpinan yang baik seperti; kadang-kadang
menjadi etis tampaknya masuk akal dan sesuai dalam jangka pendek dan tidak tepat dalam
jangka panjang. Sebuah perilaku tertentu mungkin benar dari perspektif intra-organisasi tapi
tidak benar dalam masyarakat. Kadang-kadang terjadi bahwa para pemimpin memiliki niat
moral, namun karena ketidakmampuan mereka menciptakan hasil yang tidak etis (Ciulla, 2005).
Enderle mengusulkan dua tujuan dari (manajerial) kepemimpinan etis, yang pertama adalah
untuk secara eksplisit menyatakan dimensi etika yang ada di masing-masing dan setiap
keputusan manajerial, sedangkan yang kedua adalah untuk merumuskan dan membenarkan
prinsip-prinsip etika (yang merupakan bantuan penting untuk kepemimpinan yang bertanggung
jawab) yang tidak dapat menggantikan tanggung jawab pribadi dalam pengambilan keputusan
(Enderle, 1987). Menjadi etika melibatkan "melakukan lebih dari memenuhi minimal moral dan
keberanian moral" (Murphy & Enderle, 1995, str. 126). Seseorang dengan pikiran etis, menurut
Howard Gardner, seorang profesor di Harvard Graduate School of Education bertanya pada
dirinya sendiri pertanyaan berikut: "Jenis orang seperti apa, pekerja dan warga yang ingin
menjadi seperti apa? Jika semua pekerja di profesi saya mengadopsi pola pikir yang saya miliki
dan melakukan apa yang saya lakukan, apa dunia akan menjadi seperti saya? (Kannair, 2007).
Sifat
Karakter Pemimpin mempengaruhi kinerja etis, tapi karakter semata-mata tidak sepenuhnya
menjelaskan penyimpangan etika dalam perusahaan. Namun, memang benar, bahwa karakter
yang kuat memainkan peran penting dalam efektif diri kepemimpinan dan dalam proses
memimpin orang lain. Pemimpin karena itu harus bergantung pada suara hati mereka, kompas
batin yang menunjukkan mereka ke arah etika (Brown, 2007). Dalam bukunya, Covey
membahas masalah kepemimpinan etis dengan istilah "Etika Karakter", bahwa ia memahami
bukan sebagai karakter individu, tetapi dari "prinsip-prinsip yang mengatur efektivitas manusia"
menjadi diri memvalidasi hukum alam (Covey, 2004, hal. 32). Modus standar etika dan akibat
perilaku diabaikan atau diterapkan adalah fungsi dari karakteristik individu. Pandangan Covey
tentang kepemimpinan yang efektif dengan komponen etika yang kuat digambarkan dalam
kalimat berikut: "Untuk menghargai diri sendiri dan, pada saat yang sama, bawahan diri untuk
tujuan yang lebih tinggi dan prinsip-prinsip adalah esensi paradoks dari kemanusiaan tertinggi
dan dasar kepemimpinan yang efektif ( Covey, 2004, hal. 19).
Jones menegaskan bahwa perilaku etis adalah hasil dari disposisi pribadi seseorang, karakter dan
bukan akibat dari pengalaman belajar. Dia menegaskan bahwa pemimpin etis adalah membangun
pertapa, dimana pertapa menjelaskan, orang tujuan menguasai diri yang sadar berkaitan dengan
konsekuensi (Jones, 1995). Dia melanjutkan bahwa "orang pertapa hidup dari dalam. Dia adalah
orang yang menganggap kehidupan sebagai kesempatan komitmen untuk tujuan yang lebih
tinggi dari satu sendiri kebahagiaan langsung dan kesejahteraan (Jones, 1995, hal. 869). Ia
percaya bahwa menjadi etis adalah kualitas pribadi terkait dengan kebiasaan karakteristik, oleh
karena itu program pelatihan yang menekankan prinsip-prinsip moral jelas mungkin tidak efektif
seperti yang kita inginkan. Hal ini diasumsikan bahwa konsisten perilaku etis adalah hasil dari
proses sosialisasi jauh lebih menyeluruh daripada program pelatihan organisasi.
Kriteria yang relevan untuk menilai perilaku etis dari seorang pemimpin termasuk nilai-nilai
individu, niat sadar, kebebasan memilih, tahap perkembangan moral, jenis pengaruh yang
digunakan, dan penggunaan etis serta perilaku yang tidak etis (G. Yukl, 2006). Beberapa
karakteristik perilaku pemimpin etis dan tidak etis yang ditunjukkan pada tabel di bawah.
Sifat CEO yang paling sering atribut untuk pemimpin etis adalah kejujuran, kepercayaan dan
integritas. Kepercayaan dikaitkan dengan kredibilitas, konsistensi dan prediktabilitas dalam
hubungan, kejujuran adalah unsur penting yang dibutuhkan dalam hubungan berbasis
kepercayaan. pemimpin etis memperlakukan orang yang tepat, memiliki tingkat tinggi dari
perkembangan moral dan bermain adil (L.K. Trevino, Hartman, & Brown, 2000). Pemimpin
yang jujur dan tentang dirinya sendiri dan dengan orang lain mengilhami kepercayaan yang
mendorong pengikutnya untuk mengambil tanggung jawab. Selama lebih dari satu dekade,
Kouzes dan Posner telah meminta karyawan di seluruh dunia apa yang kebanyakan nilai yang
mereka atau inginkan dari seorang pemimpin dan apa yang diperlukan bagi mereka untuk
mengikutinya secara rela. Dan tanpa pengecualian kejujuran (integritas, kepercayaan) adalah
yang pertama pada daftar (Kouzes & Posner, 1992). Dan bagaimana karyawan tahu bahwa
pemimpin jujur atau tidak jujur? Mereka mengamati perilaku dan konsistensi perilaku dalam
kondisi yang sama. Jika seorang pemimpin selalu berubah perilakunya, pengikut menganggap
dia sebagai tidak berpendirian tetap, tidak dapat diandalkan, dan karena itu tidak layak percaya.
Hal lain yang mengurangi kepercayaan adalah jika seorang pemimpin mengemban satu set nilai-
nilai (cara dia harus bersikap) dan secara aktif mempromosikan mereka, sedangkan pribadi
berlatih set.
Nilai
Nilai-nilai etika dalam pengaturan organisasi ditekankan dan diperkuat terutama melalui basis
nilai kepemimpinan, yang dapat didefinisikan sebagai hubungan antara pemimpin dan rekan
kerja, berdasarkan kebersamaan, internalisasi nilai, yang ditindaklanjuti oleh pemimpin (Daft,
2007) . Nilai adalah prinsip-prinsip umum yang memandu tindakan. Nilai bukan suatu tindakan,
mereka adalah kode yang mendasari sanksi atau hukuman untuk beberapa pilihan perilaku dan
manfaat. Sepanjang sejarah nilai telah menarik minat banyak peneliti di berbagai ilmu. Dengan
pertumbuhan mengejutkan dari perusahaan, peneliti manajemen menjadi tertarik pada topik ini
juga. Mereka datang untuk merealisasikan bahwa nilai-nilai memiliki efek mendalam pada
kinerja seorang pemimpin. Menurut Dolan et al (2006), nilai-nilai moral etika mengacu pada
bentuk perilaku bagaimana kita harus hidup dengan mencapai hasil yang diinginkan dalam
bentuk nilai akhir. Kata "moral" berasal dari bahasa Latin "mores/adat istiadat" yang berarti
kebiasaan. Dalam tabel di bawah ini adalah contoh dari berbagai jenis nilai-nilai yang dapat
dikaitkan dengan pemimpin.
Tabel 2: Contoh nilai akhir (pribadi dan etika sosial) dan
instrumental (etika moral dan nilai-nilai persaingan)
Kebahagian, kesehatan, keselamatan,
Personal Values:
keluarga, pribadi sukses, pengakuan, status,
Hal apa yang paling penting dalam hidup
barang-barang material, persahabatan,
anda?
kesuksesan di tempat kerja, cinta.
Ethical-social values:
Perdamaian, ekologi, keadilan sosial.
Apa yang ingin anda lakukan untuk dunia?
Ethical Moral values: Kejujuran, ketulusan, tanggung jawab,
Bagaiamana anda harus bersikap terhadap kesetiaan, solidaritas, saling percaya,
orang disekililing anda? menghormati hak asasi.
Values of competition:
Uang, imajinasi, logika, kecantikan,
Apa yang anda yakini perlu untuk bersaing
kecerdasan, berfikir positif, fleksibilitas.
dalam hidup?
Sumber: (Dolan, Gracia, & Richley, 2006, hal. 33)
Pakar etika bisnis, Profesor Baradarcco percaya bahwa selama karirnya seorang pemimpin perlu
untuk mencangkup kode yang lebih kompleks dari perilaku etis dibandingkan dengan yang
dipelajari di masa kecil dan remaja. Dia berpendapat bahwa moralitas secara nyata tidak
sepasang agak muncul dalam banyak warna abu-abu. Itulah alasan mengapa para pemimpin
perlu kode etik yang sangat beragam, kompleks dan sungguh cerdik karena situasi yang mereka
hadapi. Akibatnya, para pemimpin harus merangkul lebih luas dari nilai-nilai kemanusiaan dan
terus-menerus mengevaluasi nilai-nilai dasar mereka (J. J. L. Badaracco, 2006).
Atas dasar kebaikan (value) lima teori nilai yang penting bagi para pemimpin etis (Blanchard &
Peale, 1996):
Kebanggaan. Kurang harga diri seorang pemimpin yang etis tidak akan menerima penghargaan
dan rasa hormat dari para pengikut. Pemimpin etis menunjukkan kebanggaan secara sehat, bukan
kesombongan, garis pemisah antara mereka memang tipis karena kecenderungan egois yang kuat
pada manusia. Pemimpin etis mengakui bahwa banyak sekali kecintaan pada diri sendiri adalah
sifat buruk.
Kesabaran. Dalam proses menerapkan strategi yang memungkinkan organisasi untuk mencapai
tujuannya, seorang pemimpin dihadapkan dengan hambatan dari lingkungan internal dan
eksternal, keengganan dan kurangnya komitmen dari pengikut. Karena membutuhkan waktu
untuk mengatasi hambatan, maka kesabaran adalah sangat penting.
Kehati-hatian. Kehati-hatian adalah kebajikan yang mengacu menggunakan penilaian yang
baik dalam urusan praktis. Hal ini dianggap sebagai ukuran nilai moral karena menyediakan
model tindakan etis yang baik. Seorang pemimpin dalam kebiasaan mwenggunakan kehati-
hatian dan ketabahan tidak cenderung untuk mengambil jalan atau praktik yang tidak etis bahkan
di saat sesuatu tidak berjalan seperti yang direncanakan.
Ketekunan. Hal ini mengacu pada usaha keras pemimpin untuk mencapai tujuan dan usahanya
terus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mencapainya, bahkan jika perlu mereka
melibatkan pengorbanan dan risiko pribadi. Ketekunan terletak pada mencoba untuk mengatasi
"praktek" membenarkan perilaku tidak etis ketika salah satu merasa diliputi oleh tekanan, karena
rasa kewajiban kepada orang lain.
Perspektif. Hal ini dipahami sebagai kemampuan untuk melihat apa yang benar-benar penting
dalam situasi tertentu.
Dua puluh satu eksekutif puncak kurang efektif efektif dan dua puluh satu organisasi non-profit
berpartisipasi dalam studi penalaran etis. Para peneliti menunjukkan bahwa eksekutif lebih
memilih pertimbangan etis berprinsip lebih mungkin untuk menjadi efektif. Yakni, ketika
dihadapkan dengan dilema etika, eksekutif efektif terlibat dalam penalaran kognitif secara
signifikan lebih kompleks tentang masalah ini dari eksekutif kurang efektif. Evaluasi eksekutif
dasar efektif keputusan moral tentang hak dihitung, nilai-nilai dan prinsip-prinsip sendiri, bukan
pada opini publik. Mereka juga lebih mungkin untuk membuat keputusan yang mungkin tidak
populer di masyarakat tetapi tepat dari sikap etis. Akibatnya mereka bersedia menerima konflik
berikutnya yang mungkin timbul dari keputusan ini. (Jurkiewicz & Massey Jr, 1998). eksekutif
kurang efektif melakukan hal yang benar dalam konteks "melakukan tugas seseorang dalam
masyarakat", menampilkan ketaatan kepada otoritas, lebih peduli dengan bagaimana keputusan
mereka mungkin dilihat oleh orang lain (dalam dan luar organisasi). (Jurkiewicz & Massey Jr,
1998).
INTEGRITAS
Hari ini salah satu ciri paling dikutip yang diperlukan untuk melatih kepemimpinan efektif
adalah integritas. Bahkan, titik penting yang membedakan sebuah 500 organisasi Fortune dari
para pesaingnya adalah integritas membuat keuntungan dan praktek alokasi sumber daya lain
dengan manajer dan pemilik (Blanchard, O'Connor, O'Connor, & Ballard, 1997). Minkes dan
rekan mengatakan: "Pemimpin tanpa integritas hanya melempar tindakan; nilai-nilai yang
disepakati dan di tempat, CEO harus menempatkan mereka ke dalam praktek. "(Minkes et al.,
1999, hal. 330).
Para pemimpin memperlihatkan integritas jujur dengan diri mereka sendiri dan orang lain,
belajar dari kesalahan dan terus-menerus dalam proses perbaikan diri. Mereka memimpin dengan
melakukan contoh dan mengharapkan banyak orang lain melakukan seperti yang mereka lakukan
dari diri mereka sendiri. Mereka bertanggung jawab untuk menilai tentang keputusan penting
dan berusaha untuk menyeimbangkan kepentingan persaingan ketika dalam proses mencapai
tujuan organisasi (Hoenig, 2000). Pendekatan integritas untuk mengelola etik menggabungkan
ketaatan hukum dengan penekanan pada tanggung jawab manajerial untuk perilaku etis. Strategi
integritas mendefinisikan perusahaan membimbing nilai-nilai, aspirasi, pola pemikiran dan
perilaku. Setelah ini diterapkan dan diintegrasikan ke dalam kegiatan organisasi sehari-hari,
strategi tersebut membantu mencegah penyimpangan etika yang merusak (Paine, 1994). CEO
Raytheon, Dan Burhnam berbagi pandangannya tentang integritas dalam pemimpin etis: "CEO
harus menjadi kepala kantor etika perusahaan. Dia tidak bisa mendelegasikan integritas ... CEO
harus membuat semua orang mengerti bahwa masa depan organisasi tergantung pada reputasi
nya. Organisasi harus pribadi, manusia dan individu ... Jika perilaku tidak etis terungkap, penting
untuk bertindak cepat dan tegas (Fulmer, 2004, hal. 310).
Dalam esai Kouzes dan Posner menawarkan saran praktis untuk menjadi pemimpin etis,
menjelaskan bahwa pemimpin etis berasal tidak begitu banyak dari kepala tetapi dari hati.
Berdasarkan berbagai wawancara mereka menyimpulkan bahwa cinta merupakan jiwa
kepemimpinan etis. Mereka juga mengamati bahwa ketika pribadi bekerja terbaik - yang berarti
memimpin dengan cinta, dengan perasaan keterikatan pribadi yang hangat - pemimpin yang
mengubah pengikutnya menjadi pemimpin. Cinta dalam arti organisasi menciptakan keinginan
untuk melihat orang lain tumbuh dan menjadi lebih baik (Kouzes & Posner, 1992). Lain "resep"
untuk menjaga diri di jalan etik adalah untuk menjalani "suntikan periodik positif", yang terjadi
ketika salah satu memenuhi individu atau pengalaman situasi yang memaksa dia untuk
memeriksa apa yang dia lakukan atau coba lakukan untuk menetapkan contoh yang baik untuk
orang lain (Kannair, 2007).
Aturan dasar perilaku yang etis pemimpin harus mengikuti yang diuraikan dibawah ini untuk
dianggap pemimpin sejati (Freeman, Martin, Parmar, cording, & Werhane, 2006):
• Prinsip Pemimpin: pemimpin adalah anggota terkemuka dari perusahaan dan juru bicaranya,
karena perbuatannya harusberguna bagi pencapaian tujuan dan manfaat bagi korporasi
• Prinsip Konstituen (pemilih): pemimpin menghormati rekan kerja mereka dan menganggap
mereka sebagai orang-orang yang memiliki tujuan yang sama. Individualitas dan kebebasan
mereka diterima dalam batas-batas perilaku etis
• Prinsip Hasil: pemimpin menghubungkan nilai-nilai untuk dukungan pemangku kepentingan
serta legitimasi sosial. Misi, visi, nilai-nilai dan tujuan (strategi dan taktik) perusahaan diuraikan
dalam pemahaman tentang cita-cita etis
• Prinsip Keterampilan/Proses: pemimpin terbuka untuk pendapat yang berbeda, ide-ide,
pandangan dan menciptakan suasana komunikasi yang dinamis dan menghasilkan solusi
• Prinsip Situasi/konteks: penilaian moral yang digunakan untuk membuat keputusan etis ketika
melewati batas-batas ide yang berbeda. Pemimpin etis mengetahui batas-batas nilai dan prinsip-
prinsip etika mereka.
• Prinsip Etika: pemimpin memahami kepemimpinan dan etika sebagai proses dan frame
tindakan terpadu dan tujuan dalam hal etika.
Murphy dan Enderle mempelajari contoh perilaku etis dari empat CEO pensiun yang telah
tertulis atau lisan tentang etika, menggunakan pendekatan narasi untuk memahami perilaku etis
dan belajar dari itu. Setelah mempelajari perilaku mereka, wawancara dan tulisan-tulisan tentang
bisnis dan etika mereka dapat diringkas dengan tema umum sebagai berikut. Keempat pemimpin
menunjukkan komitmen yang kuat untuk memahami dan menafsirkan realitas dalam konteks
kejujuran dan keterbukaan. Ciri-ciri yang terakhir khususnya dicari di saat krisis ketika para
pemimpin perlu untuk mempertahankan. Selanjutnya, pemimpin mampu menciptakan realitas
dengan terus menegaskan kembali cita-cita dan keyakinan dari organisasi masing-masing.
Mereka juga sangat peduli bagaimana keputusan mereka mempengaruhi orang lain. Yaitu,
mereka menyadari bahwa keputusan manajerial memiliki dampak yang besar terhadap kehidupan
profesional dan pribadi pemangku kepentingan (dimulai dengan karyawan). Dari perspektif
kepribadian, pemimpin memiliki motivasi yang sangat kuat dan emosional yang kuat, berani,
adil dalam memperlakukan semua karyawan. Akhirnya, pemimpin memegang nilai-nilai agama
yang kuat, komitmen moral mereka tampaknya berakar pada keyakinan agama yang membawa
rasa kewajiban tanpa syarat kepada orang lain (Murphy & Enderle, 1995).
Faktor-faktor penentu organisasi yang sangat etis menurut Pastin mencakup: 1) individu yang
mengakui dan menerima tanggung jawab pribadi atas tindakan organisasi; 2) pengabdian yang
mendalam untuk keadilan dengan penekanan pada orang lain; 3) menjadi nyaman dengan
berinteraksi dengan kelompok-kelompok eksternal; 4) mengikat semua kegiatan dengan tujuan
keseluruhan (Pastin, 1986). CEO memiliki peran penting untuk memainkan penerapan budaya
organisasi yang mana Hitt mengacu pada klarifikasi nilai-nilai (Hitt, 1990).
PENUTUP
Dapatkah perusahaan menjadi sukses dan kompetitif di pasar bersamaan dengan penerapan etik?
Akers percaya bahwa keberhasilan pasar dan perilaku etis berjalan beriringan: "Etika dan daya
saing tidak dapat dipisahkan. Kami bersaing di masyarakat. Tidak ada masyarakat dimana saja
dapat bersaing sangat panjang atau berhasil dengan orang yang menusuk satu sama lain di
belakang; dengan orang yang mencoba untuk mencuri dari satu sama lain; dengan segala sesuatu
yang membutuhkan konfirmasi notaris karena Anda tidak dapat mempercayai orang lain; dengan
setiap akhir pertengkaran kecil melalui litigasi; dan dengan pemerintah menulis bertumpuk-
tumpuk undang-undang peraturan, mencoba perangkat bisnis untuk tetap jujur "(Akers, 1989,
hal. 69). Ia membayar untuk menjadi etis, merupakan salah satu temuan kunci dalam sebuah
studi oleh U.K. Institut Etika Bisnis. Dalam sampel sebanyak 350 di UK mengenai "etika"
perusahaan (di mana kinerja diukur antara tahun 1997 dan 2001) ada bukti indikasi kuat bahwa
perusahaan dengan kode etik bisnis menghasilkan kinerja di atas rata-rata bila dibandingkan
kelompok yang sama tanpa kode etik (Fulmer, 2004).
Northouse, P. G. (2013). Leadership: Theory and practice (6th ed.). Thousand Oaks, CA: SAGE
Publications.
Peter Northouse mendefinisikan tim sebagai "jenis kelompok tertentu yang terdiri dari anggota
yang saling bergantung, yang memiliki tujuan yang sama, dan yang harus mengoordinasikan
aktivitas mereka untuk mencapai tujuan ini". (2013, p. 287) Dia melanjutkan dengan mengatakan
bahwa tim yang baik memenuhi dua fungsi utama, satu terkait dengan tugas, dan yang lainnya
terkait dengan orang. Dia dengan lugas berkata, “Dua fungsi penting dari efektivitas tim adalah. .
. kinerja (pencapaian tugas) dan pengembangan (pemeliharaan tim), ”(p. 299) Dalam jenis
kepemimpinan ini, peran pemimpin adalah pengawasan tim; khususnya, untuk membantu tim
mencapai tujuannya dengan memantau, mendiagnosis, dan bertindak. Ini sering kali melibatkan
kepemimpinan terdistribusi, yang merupakan distribusi peran dan tanggung jawab
kepemimpinan kepada anggota tim yang paling tepat pada waktu tertentu.
Teori Kepemimpinan Tim tidak benar-benar tentang bagaimana sebuah tim memimpin,
melainkan bagaimana seorang pemimpin memimpin sebuah tim. Model Hill untuk
Kepemimpinan Tim memberikan penjelasan yang baik tentang teori ini. Ini dimulai dengan
model mental pemimpin, yang melibatkan tiga langkah dalam menavigasi masalah dalam fungsi
tim: mengidentifikasi masalah, memahami konteks, dan menentukan kemungkinan. Model
tersebut kemudian berkembang menjadi keputusan yang harus dibuat oleh seorang pemimpin
mengenai masalah, apakah atau bagaimana mengintervensi dan meningkatkan fungsi tim. Dia
harus memutuskan apakah hanya memantau situasi, atau mengambil tindakan. Ia harus
menentukan apakah masalahnya adalah internal - dalam hal ini ia perlu mendiagnosis atau
memperbaiki - atau eksternal - dalam hal ini ia perlu memperkirakan atau mencegah. Jika dia
harus campur tangan, dia harus menentukan apakah intervensi itu untuk tugas atau kebutuhan
relasional (atau untuk masalah lingkungan), yang pada gilirannya akan mempengaruhi tindakan
yang harus dia ambil.
Ide dasarnya adalah tanggung jawab pemimpin untuk memantau tim dan aktivitasnya untuk
memastikan bahwa tim berfungsi dengan baik, dan jika - atau kapan - tidak, untuk menentukan
langkah apa yang harus diambil untuk mengatasi masalah dan mendapatkan tim kembali di jalur.
Ia harus mampu melihat dan memahami masalah yang ada dalam tim (dan apakah itu terkait
dengan tugas, orang, atau lingkungan) dan menentukan respon atau tindakan korektif apa yang
paling tepat. Mengingat nilai tim dalam sebuah organisasi (yang merupakan diskusi lain), ini
adalah keahlian penting bagi para pemimpin. Pemahaman tentang Teori Kepemimpinan Tim
telah membantu saya menjadi lebih efektif dalam memimpin tim saya, dan saya akan mendorong
Anda untuk tumbuh di bidang ini juga.
Northouse, P. G. (2013). Leadership: Theory and practice (6th ed.). Thousand Oaks, CA: SAGE
Publications.