Anda di halaman 1dari 3

BAGAIMANAKAH PERAN PUSTAKAWAN?

SEBUAH DEKONSTRUKSI
Reza Mahdi
NIM: 495651

Ketika mendengar istilah pustakawan, tentu melihat terlebih dahulu dari definisi
perpustakaan itu sendiri. Sulistyo-Basuki (1993) dan Sutarno-NS (2006) menyatakan bahwa
perpustakaan itu sendiri merupakan ruangan baik itu bagian dalam gedung ataupun sendiri yang
berisikan buku-buku, ditata sedemikian rupa sehingga mudah dicari dan digunakan oleh
masyarakat jika diperlukan, bukan untuk dijual. Setelah itu pada Jika melihat dari UU No. 43 tahun
2007 tentang perpustakaan, disebutkan bahwa perpustakaan tidak hanya mengelola buku, namun
karya tulis lainnya dan karya rekam. Setelah itu masuk kepada pustakawan itu sendiri, dalam UU
No. 43 tahun 2007 disebutkan bahwa pustakawan merupakan orang yang memiliki kompetensi
dari pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab
untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Kepustakawan ini sendiri
merupakan penerapan pengetahuan dalam hal pengelolan buku serta jasa perpustakaan (Sulistyo-
Basuki, 1993). Sehingga di sini dapat dikatakan dasar dari peran pustakawan itu adalah mengelola
buku serta sumber informasi lainnya untuk dilayani kepada masyarakat.
Seiring dengan perjalanan waktu pustakawan dituntut tidak hanya untuk mengelola buku
dan sumber informasi lainnya. Pengetahuan terus berkembang dengan signifikan sejalan dengan
teknologi dan informasi sehingga pustakawan tentu mengelola hal tersebut. Pengelolaan
pengetahuan atau dikenal dengan knowledge management merupkana proses yang meliputi
penciptaan, penyimpanan, dan penggunaan kembali pengetahuan sebagai asset dalam organisasi
(Ghani, 2009; Wibowo, 2017). Dari istilah tersebut, terdapat kata kunci yang menjadi perhatian
yakni penciptaan pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri dibagi menjadi dua, yakni tacit knowledge
dan explicit knowledge.1 Umumnya, pustakawan mengelola explicit knowledge seperti buku serta
sumber non-buku seperti rekaman suara, jurnal elektronik dan lain sebagainya. Akan tetapi seiring
dengan waktu pustakawan tentu juga memproduksi pengetahuan itu sendiri.
Sekarang kita lihat sudah mulai banyak pustakawan yang melakukan riset, menulis buku,
itu salah satu cara mereka untuk memproduksi pengetahuan. Hamzah dkk (2017) menyatakan
bahwa produksi pengetahuan menjadi solusi untuk memastikan tersebarnya pengetahuan
kepustakawanan secara berkelanjutan di era yang sudah digital. Jadi dari tacit knowledge seorang
pustakawan itu sendiri, disebarkan melalui tulisan-tulisan. Kemudian bagaimana tacit knowledge
yang ada di masyarakat? Apakah pustakawan juga mengelola itu? Jawabannya adalah ya!
Perpustakaan mengadakan kegiatan bagi masyarakatnya untuk berbagi pengetahuan melalui
bertutur/bercerita, mengadakan seminar, atau bahkan lokakarya. Pustakawan nantinya dapat
mendokumentasikan pengetahuan tersebut dan menjadi explicit knowledge baru (Burnette, 2016).

1
Tacit knowledge merupakan pengetahuan yang masih tersimpan dalam otak manusia alias belum disebarkan,
sedangkan explicit knowledge merupakan pengetahuan yang sudah terdokumentasi seperti melalui buku, laporan
riset, produk, dan lain sebagai macam (Wulantika, 2017)
Selain itu, inisiasi human library2 sebagai sarana untuk menyebarkan tacit knowledge (Zhai
et al., 2012). Pengetahuan tradisional yang ada di masyarakatpun juga perlu diperhatikan,
misalnya bagaimana cara masyarakat adat bertutur, membuat produk seperti makanan tradisional,
dan lain sebagainya. Pustakawan tentu perlu menangkap pengtahuan tersebut, misalkan dengan
membuat dan mengkomunikasikan database tentang pengetahuan tradisi tersebut kepada
masyarkaat (Adelia, 2018). Setelah itu bisa juga dengan membuat pojok perpustakaan yang berisi
segala hal tentang kearifan lokal di daerah induknya (Mahdi & Ma’rifah, 2019).
Penjelasan tersebut mengindikasikan bahwa kita dapat mendekonstruksi3 tentang peran
pustakawan itu sendiri. Buku tentu merupakan suatu hal yang pasti diolah oleh pustakawan
dikarenakan itu merupakan explicit knowledge yang sudah melalui berbagai macam review baik
oleh penyunting maupun pemberi testimoni. Akan tetapi jika kita berbicara pengetahuan, tentu
lebih luas disbanding buku, dan berdasarkan riset sebelumnya, pustakawan sekarang ini lebih dari
sekedar mengelola buku namun pengetahuan. Sehingga jika ditanya “bagaimanakah peran
pustakawan?”, kita dapat mengatakan bahwa “perpustakaan berperan mengelola pengetahuan dari
dalam maupun luar perpustakaan”.
REFERENSI
Adelia, N. (2018). Pustakawan dan Pengetahuan Tradisional: Studi tentang Urgensi dan Peran
Pustakawan dalam Pengetahuan Tradisional. Record and Library Journal, 2(1), 51–57.
https://doi.org/10.20473/rlj.v2-i1.2016.51-57
Burnette, M. (2016). Article information : Tacit Knowledge Sharing among Library Colleagues :
A Pilot Study. Reference Services Review, 45(3), 382–397.
Deodato, J. (2010). Deconstructing The Library With Jacques Derrida: Creating Space For The
“Other” In Bibliographic Description And Classification. Critical Theory For Library And
Information Science, Chapter July, 75–87.
Ghani, S. R. (2009). Knowledge management: tools and techniques. DESIDOC: Journal of
LIbrary & Information Technology, 29(6), 33–3. https://doi.org/10.14429/djlit.29.276
Hamzah, M., Hisham, R., Musa, I., Awang, N., & Hanipah, R. (2017). Knowledge Production by
Librarians In Malaysia For Evidence-Based Librarianship. Qualitative and Quantitative
Methods in Libraries, 3(2), 509–518.
Hilton C. Buley Library. (2021). Human Library: what is the Human Library? Southern

2
Human library pertama kali dicetuskan di Copenhagen, Denmark tahun 1993 sebagai bentuk dari kampaye anti
kekerasan dengan membentuk peer group, yang pada akhirnya memiliki 30.000 Anggota. Lambat laun menjadi
sarana untuk memerangi ketidakadilan dan diskriminasi sejak tahun 2000. Proyek human library di Roskilde
Festival dengan jumlah manusia sebagai “buku” sebanyak 50 “judul”. Human library terus berkembang hingga
sekarang (Hilton C. Buley Library, 2021; Muller, 2014)
3
Dekonstruksi itu sendiri merupakan teori yang dicetuskan oleh Jaques Derrida, seorang filusuf Perancis yang
sebenarnya lahir di Aljazair tahun 1930. Teori ini berarti “membongkar” suatu teori yang dianggap kurang benar
atau relevan lagi dengan zamannya. “Membongkar” di sini dapat dikatakan sebagai meningkatkan suatu teori yang
ada agar sesuai dengan kondisi sekarang. Jadi tujuan dari Derrida ini bukan menghancurkan, namun bisa
menunjukkan bahwa suatu teori dengan teori terdahulu yang ingin di-dekonstruksi berkaitan erat. (Deodato, 2010;
Wirawan, 2015).
Connecticut State University. https://libguides.southernct.edu/c.php?g=960661&p=6936949
Mahdi, R., & Ma’rifah, M. (2019). Indigenous knowledge, kebudayaan daerah, dan peran
perpustakaan sekolah dalam memperkenalkannya. Seminar Nasional Ilmu Perpustakaan
(SENASIP) 2019, 1, 416–422. http://semnasjsi.um.ac.id/index.php/senasip/senasip2019
Muller, R. (2014). The Human Library Inspiration for an anti stigma project in mental health ?
Sulistyo-Basuki. (1993). Pengantar ilmu perpustakaan. Gramedia Pustaka Utama.
Sutarno-NS. (2006). Perpustakaan dan masyarakat (Rev. ed.). Sagung Seto.
Wibowo, A. (2017). Knowledge Management Support for Enterprise Architecture Development.
International Journal of Knowledge Engineering, January 2017, 25–31.
https://doi.org/10.18178/ijke.2017.3.1.082
Wirawan, I. B. (2015). Teori-teori sosial dalam tiga paradigma: fakta sosial, definisi sosial, dan
perilaku sosial (1st ed.). Prenadamedia Group.
Wulantika, L. (2017). Knowledge Management Dalam Meningkatkan Kreasi dan Inovasi
Perusahaan. Majalah Ilmiah UNIKOM, 10(2), 263–270.
Zhai, Y. H., Zhao, Y., & Wang, R. M. (2012). Human library: A new way of tacit knowledge
sharing. Advances in Intelligent and Soft Computing, 143 AISC, 335–338.
https://doi.org/10.1007/978-3-642-27966-9_46

Anda mungkin juga menyukai