Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Lapisan Air Mata

Lapisan air mata berada pada permukaan mata dan berfungsi untuk
membasahi, lubrikasi, dan proteksi mata dari terjadinya dehidrasi kornea. Air
mata terdiri atas dua lapisan utama, yakni lapisan lipid di bagian atas dan lapisan
muko-akueous (Craig, et al., 2017b; Willcox et al., 2017).

Lapisan lipid merupakan lapisan tear film yang terletak di paling luar dan
diproduksi oleh kelenjar Meibom. Lapisan ini terutama tersusun atas lipid non-
polar yakni ester lilin/wax ester (30-50%) dan ester kolesterol (30-45%). Pada
lapisan ini juga terdapat asam lemak (O-asil)- -hidroksil atau gliserol (4% dari
lapisan lipid keseluruhan) yang bersentuhan langsung dengan lapisan muko-
akueous dibawahnya. Fungsi lapisan ini adalah untuk mencegah penguapan air
mata berlebih. Namun, Tear Film & Ocular Surface Society (TFOS) menyebutkan
bahwa fungsi ini tidak hanya dipegang oleh lapisan lipid saja, karena diduga
interaksi dari seluruh komponen tear film (termasuk lipid, mukus, protein dan
garam) turut berperan dalam mencegah penguapan dan kerusakan air mata pada
permukaan mata (Craig, et al., 2017b; Willcox et al., 2017).

Lapisan muco-aqueous merupakan melapisi bagian apeks dari sel epitel


kornea. Lapisan aqueous dihasilkan oleh kelenjar lakrimal, sedangkan lapisan
musin dihasilakn oleh sel Goblet yang terdapat pada permukaan konjungtiva
(konjungtiva bulbi, forniks, dan caruncula). Lapisan muko-akueous tersusun atas
glikokaliks yang kaya akan kabohidrat pada area yang berbatasan dengan epitel
kornea. Glikokaliks ini bersifat hidrofilik sehingga mampu mengikat air mata.
Selain glikokaliks, pada lapisan ini juga terdapat setidaknya 4 jenis musin dan
lebih dari 1500 protein dan peptida berbeda, dimana diantaranya adalah enzim
lysozyme, lactoferrin, Immunoglobulin A (IgA), immunoglobulin M (IgM), dan
immunoglobulin G (IgG) yang bersifat antibakteri untuk melindungi kornea dari
infeksi bakterial (Craig, et al., 2017b; Willcox et al., 2017).
Gambar 2.1. Struktur lapisan air mata (Willcox et al., 2017)

2.2 Penyakit Mata Kering (PMK)


2..2.1 Definisi dan Patofisiologi Penyakit Mata Kering (PMK)

Penyakit mata kering (PMK) didefinisikan sebagai suatu penyakit pada


permukaan mata yang bersifat multifaktorial dan ditandai dengan hilangnya
homeostasis dari lapisan air mata dan disertai dengan adanya gejala pada mata,
dimana instabilitas lapisan air mata, hiperosmolaritas, inflamasi dan kerusakan
permukaan mata, dan abnormalitas neurosensoris memegang peranan sebagai
etiologi. Berdasarkan definisi tersebut, PMK dapat dianggap sebagai suatu
gangguan fungsional yang kompleks dan tidak bisa didefinisikan hanya dengan
suatu proses, tanda, atau gejala tunggal. Istilah “permukaan mata” juga tidak
merujuk pada suatu struktur tunggal, melainkan meliputi permukaan mata serta
adneksa, termasuk lapisan air mata, kelenjar lakrimal, kelenjar meibom, kornea,
konjungtiva, dan kelopak mata (Craig, et al., 2017b; American Academy of
Ophthalmology, 2020a).
Mekanisme terjadinya PMK merupakan kombinasi dari berbagai faktor.
Elemen penting dari mekanisme terjadinya PMK telah disebutkan dalam definisi di
atas, yakni instabilitas lapisan air mata, hiperosmolaritas, inflamasi, dan kerusakan
menjadi pemicu terjadinya PMK. Instabilitas lapisan air mata akan menyebabkan
terjadinya hiperosmolaritas air mata. Hiperosmolaritas air mata akan menyebabkan
stres pada epitel permukaan korna sehingga terjadi pelepasan mediator inflamasi.
Mediator inflamasi kemudian akan menyebabkan kerusakan pada junction antar sel
epitel kornea sehingga sel limfosit T dapat menginfiltrasi epitel kornea.
Selanjutnya, sel limfosit T akan mengeluarkan tumor necrotizing factor (TNF- )
dan interleukin-1 yang akan menyebabkan lepasnya sel epitel dan apoptosis.
Kematian sel epitel ini akan menyebabkan kerusakan junction epitel kornea lebih
jauh sehingga inflamasi terjadi kembali. Hal ini akan terus berlanjut menjadi suatu
lingkaran setan yang ditunjukkan pada Gambar 2. Kerusakan pada epitel kornea
juga akan menyebabkan stimulasi pada ujung saraf yang ada di kornea sehingga
menyebabkan gejala rasa tidak nyaman pada mata, lebih sering berkedip, dan
sekresi air mata sebagai bentuk reflek kompensasi (Craig, et al., 2017b; American
Academy of Ophthalmology, 2020a).

Gambar 2.2 Mekanisme dari penyakit mata kering (American Academy of


Ophthalmology, 2020a)

2.2.2 Klasifikasi Penyakit Mata Kering


Instabilitas lapisan air mata dapat disebabkan oleh tingkat evaporasi air
mata yang tinggi, penurunan produksi lakrimal serta penurunan wetability.
Kedua hal tersebut kemudian menjadi dasar klasifikasi dari PMK sehingga PMK
dibagi menjadi PMK evaporatif, PMK defisiensi aqueous dan PMK penurunan
wetability. PMK evaporatif dapat disebabkan oleh lingkungan (angin/ aliran
udara yang cepat dan kelembapan yang rendah), blefaritis anterior,
dan penggunaan deterjen. Sebaliknya PMK karena defisiensi aqueous dapat
disebabkan oleh penuaan, kadar androgen yang rendah, penggunaan obat-obatan
sistemik yang menghambat aliran air mata, penyakit lakrimal inflamasi (Sjogren
syndrome dry eye dan/ atau non-Sjogren syndrome dry eye), penggunaan lensa
kontak, pasca pembedahan refraktif, dan penggunaan anestesia topikal. PMK
penurunan wetability terjadi lebih banyak pada pengguna visual display terminal
(VDT) disebut juga sebagai PMK break up time (BUT) pendek. Klasifikasi
lengkap PMK berdasarkan Asia Dry Eye Society (ADES) dapatdilihat pada Gambar
3 (Craig, et al., 2017a; Craig, et al., 2017b; American Academy of Ophthalmology,
2020a; Tsubota et al, 2020).

Gambar 2.3. Klasifikasi PMK menjadi PMK defisiensi akuos dan PMK
evaporatif dan penurunan wetability (Tsubota et al,2020)
Tabel 2.1 Skema derajat beratnya Mata Kering (MK)

Derajat
Kriteria 1 2 3 4
Ketidaknyamanan, Ringan Episodik Frekuensi berat berat dan/atau
berat, dan dan/atau sedang atau atau tetap tanpa tidak aktif dan
frekuensi episodik; kronis, stress stress tetap
terjadi dalam atau tanpa
stress stress
lingkungan

Gejala penglihatan tidak ada episodik Mengganggu, Konstan


atau episodik mengganggu kronik dan/atau dan/atau tidak
ringan dan/atau konstan, aktif
membatasi membatasi
aktifitas aktifitas

Injeksi tidak ada tidak ada atau +/- +/++


konjungtiva atau ringan ringan

pewarnaan tidak ada Bervariasi sedang hingga jelas


konjungtiva atau ringan jelas

Pewarnaan kornea tidak ada Bervariasi jelas di sentral erosi pungtata


atau ringan berat
Tanda pada tidak ada debris ringan, Keratitis Keratitis
kornea/ air mata atau ringan meniscus filamentosa, filamentosa,
menurun penggumpalan penggumpalan
mucus, mucus,
peningkatan peningkatan
debris air mata debris air
mata, ulkus
Kelenjar meibom MGD MGD Sering Trikiasis,
bervariasi bervariasi keratinisasi,
simblefaron

TBUT (detik) Bervariasi ≤ 10 ≤5 Segera

Nilai tes schirmer Bervariasi ≤ 10 ≤5 ≤2


(mm/5 menit)
(American Academy of Ophthalmology., 2020)

2.3 Diagnosis Penyakit Mata Kering


Penyakit mata kering merupakan penyakit yang relatif baru, pertama kali
disebutkan pada tahun 1995. Diagnosa PMK terutama didasarkan pada penilaian
keluhan subjektif, analisis faktor risiko dan pemeriksaan mata kering meliputi tear film
break up time (TFBUT), schirmer I, tear meniscus, serta pewarnaan kerato-konjungtiva.
Diagnosa PMK terkadang memiliki beberapa kendala seperti tersedianya fasilitas
pemeriksaan mata kering dan adanya perbedaan gejala subjektif pasien (Hirosawa et al,
2020).
Penilaian gejala subjektif dapat dilakukan dengan mewawancarai pasien
menggunakan kuesioner seperti ocular surface disease index (OSDI). Kuesioner tersebut
digunakan untuk menilai gejala subjektif dan pengaruhnya terhadap kehidupan sehari-
hari. Nilai dari OSDI dari rentang 0-100, dan diklasifikasikan menjadi normal (0-12),
ringan (13-22), moderate (23-32), dan berat (33-100) (Hirosawa et al, 2020).
Tear film break up time (TFBUT) dilakukan degan pewarnaan menggunakan
fluorescein tetes mata atau strip. Setelah cairan fluorescein diteteskan pasien diminta
untuk berkedip tiga kali untuk memastikan fluorescein dan air mata tercampur dengan
baik. Kemudia dinilai waktu dari kedipan terakhir dengan waktu munculnya titik
kehitaman pertama pada kornea, dimana waktunya diukur dengan stopwatch dengan nilai
normal ≥10 detik (Messmer E.M.,2015; Hirosawa et al, 2020).
Pewarnaan keratokonjungtiva dengan fluorescein dilakukan dengan menilai 3
zona yaitu konjungtiva bulbar nasal, konjungtiva bulbar temporal dan kornea. Masing-
masing zona tersebut dievaluasi dan diberi nilai 0-3, dimana 0 mengindikasikan tidak
terwarnai dan 3 mengindikasikan terwarnai secara konfluen, dan skor tertinggi adalah 9
(Hirosawa et al, 2020, Inomata et al, 2020)
Schirmer test I dilakukan tanpa anestesi topikal setelah semua pemeriksaan
dilakukan. Schirmer test strip diletakkan pada konjungtiva fornix inferior sepertiga
lateral selama 5 menit. Setelah itu, strip diambil dan diukur panjang kertas yang terbasahi
oleh air mata dengan nilai normal ≥10mm (Hirosawa et al, 2020, Inomata et al, 2020).
Maximum blink interval dilakukan sebagai salah satu metode yang mulai
dikembangkan sebagai metode yang mudah dilakukan dan memiliki korelasi yang
signifikan dengan hasil pemeriksaan TFBUT (Hirosawa et al, 2020, Inomata et al, 2020).
Maximum blink interval (MBI) merupakan lamanya waktu pasien dapat
mempertahankan mata terbuka sebelum berkedip. MBI pada beberapa penelitian
dikaitkan dengan hasil pemeriksaan tear film break up time (TFBUT )yang lebih pendek.
MBI disisi lain tidak berhubungan secara signifikan dengan gejala subjektif pada pasien.
Batas MBI untuk mendeteksi penyakit mata kering adalah 12.4 detik (Inomata et al,
2018).
Gambar 2.4 Perbedaan TFBUT, MBI dan BIP

2.4 Refleks Berkedip (Blink Reflex) pada mata kering


Saraf sensoris kornea tersusun oleh serabut saraf A-delta dan serabut C yang
merupakan serabut aksonal yang berakhiran bebas dan membentuk serabut nosiseptor.
Serabut A-delta yang bermyelinisasi dan mengirim sinyal lebih cepat daripada serabut C
yang tidak bermyelin, diasosiasikan dengan respon nyeri akut dan oleh sebab itu
berperan dalam mendeteksi rangsangan nyeri. Serabut saraf C merupakan serabut saraf
polimodal dan berespon terhadap rangsangan yang intens, seperti rangsangan suhu,
mekanis atau kimia. Serabut saraf ini berperan dalam merespon nyeri yang dalam dan
menyebar melewati area yang tidak spesifik. Serabut saraf C ini merupakan 70% dari
serabut saraf di seluruh permukaan kornea. Sensitivitas kornea untuk berkedip dan
merespon nyeri lebih tinggi pada pasien dengan mata kering yang disebabkan
hiperosmolaritas dan instabilitas air mata yang menyebabkan reaksi inflamasi pada
kornea dan menstimulasi neuron sensoris (Situ e al, 2008; Liu et al, 2009; Kaido et al,
2016).
Sensitivitas kornea yang tinggi menurut Kaido et al, 2016 disebabkan oleh
beberapa mekanisme. Pertama, aktivasi serabut saraf C oleh neurotransmiter. Serabut
saraf C berinteraksi dengan proses inflamasi dan adanya rilis neurotransmiter seperti
substansi P, calcitonin gene-related peptide, neuropeptide Y, vasoactive intestinal
peptide, galanin, methionin-enkephalin, katekolamin dan asetilkolin pada kornea. Pada
kondisi mata kering stimulasi dari jalur nosiseptif oleh karena kurangnya proteksi dari
lapisan air mata pada permukaan mata menyebabkan regenerasi saraf aberan,
menyebabkan rangsangan spontan dan sensitisasi periferal (Kaido et al, 2016).
2.5 Penyakit Mata Kering Pada Penderita Hipertensi
Penyakit mata kering (PMK) merupakan penyakit multifaktorial dimana faktor
sistemik merupakan salah satu faktor risikonya. Hipertensi merupakan salah satu faktor
risiko PMK yang banyak diteliti. Hubungan hipertensi dan PMK pada beberapa
penelitian disebutkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan diantara keduanya
(Akcay et al, 2015; Tang et al, 2016).
Studi-studi sebelumnya yang menilai hubungan hipertensi dan penyakit mata
kering meskipun didapatkan bahwa hipertensi tidak menyebabkan PMK secara langsung
akan tetapi penggunaan obat anti hipertensi dapat memperberat keluhan subyektif dan
klinis PMK pada penderita hipertensi. Obat-obat anti hipertensi yang diduga dapat
memperberat PMK pada pasien dengan hipertensi diantaranya adalah golongan diuretik,
ACE inhibitor, ARB dan beta blocker. Mekanisme yang diduga menyebabkan atau
memperberat PMK pada pasien dengan hipertensi yang mengkonsumsi obat-obatan
tersebut adalah efek langsung pada kelenjar lakrimalis dan kelenjar saliva yang
menyebabkan penurunan flow rate dari kelenjar -kelenjar tersebut sehingga
menyebabkan mata kering serta mulut kering. Akan tetapi, masih terdapat kontroversi
diantara peneliti mengenai masing-masing golongan obat dan mekanismenya dalam
menyebabkan mata kering. Salah satunya Moss et al menyatakan bahwa ACE inhibitor
justru memiliki efek protektif terhadap mata kering( Moss et al, 2008; Akcay et al, 2015;
Al Houssien et al, 2017).

Anda mungkin juga menyukai