Anda di halaman 1dari 3

Dalam kurun waktu 1996-1999 rata-rata konsumsi pangan di Indonesia mengalami penurunan, baik

di perdesaan maupun perkotaan, baik di dalam maupun di luar Pulau Jawa. Krisis ekonomi tahun
1997 yang menyebabkan jatuhnya nilai rupiah, selanjutnya menyebabkan penurunan konsumsi
pangan di seluruh Indonesia. Pada periode 1999-2002, konsumsi jagung, kedelai, gula, daging dan
susu meningkat, sedangkan rata-rata konsumsi beras dan umbi-umbian terus menurun. Berfokus
pada perbedaan antara Jawa dan luar Jawa, file (51)

rata-rata konsumsi beras, jagung, umbi-umbian dan gula lebih rendah di Jawa dibandingkan di luar
Jawa, tetapi konsumsi kedelai, daging dan telur di Jawa lebih tinggi daripada di luar Jawa (Tabel 3.8).
Pasokan pangan per kapita per hari dalam bentuk energi sudah mencapai 3.030 kkal per hari dan
76,30 gram protein per hari, di atas batas yang dianjurkan (DKP, 2006b). Namun demikian, data
Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) menunjukkan bahwa rata-rata di seluruh Indonesia pada
tahun 2005, konsumsi pangan per kapita per hari berupa energi sebesar 1.996 kkal per hari dan
55,27 gram protein per hari. Tingkat konsumsi di perdesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan
(Tabel 3.9). (52)

Tingkat konsumsi pada tahun 1999 menurun dibandingkan dengan tahun 1996. Hal ini terkait
dengan umumnya daya beli masyarakat yang melemah pada masa krisis ekonomi. Pada tahun-
tahun berikutnya, tingkat konsumsi meningkat. Standar normatif konsumsi berimbang yang
diharapkan berdasarkan Pola Pangan Yang Diinginkan (DDP) selama periode 1999-2005 meningkat
dari 66,3 menjadi 79,1. Pencapaian tahun 2005 tampaknya mendekati nilai yang diharapkan yaitu
79,3. Untuk tahun 2009, skor yang diharapkan adalah 87,3 dan diharapkan menjadi 100 pada tahun
2015. (52)

3.6 Penyebab dan Penanganan Kasus Rawan Pangan Rawan pangan adalah kelangkaan pangan yang
dialami oleh suatu kelompok rumah tangga atau perorangan, dan disebabkan oleh peristiwa luar
biasa yang terjadi pada waktu tertentu saja. Kerawanan pangan dapat disebabkan oleh guncangan
tiba-tiba dan tidak terduga yang ditimbulkan oleh faktor alam, seperti bencana alam, dan faktor
sosial ekonomi, seperti pemecatan, pengangguran, fluktuasi harga pangan, kondisi ekonomi yang
tidak stabil, dan konflik sosial (bencana buatan manusia). ). Beberapa variabel (kondisi alam) yang
digunakan sebagai indikator kerawanan pangan adalah: (a) wilayah (persentase luas) tanpa hutan;
(b) kabupaten rawan banjir; (c) tingkat kegagalan panen padi; dan (d) fluktuasi curah hujan. Pada
periode 1975-2001, kejadian rawan pangan di Indonesia menempati urutan ketiga terparah di antara
negara-negara ASEAN (Puspoyo, 2006). Berkurangnya kawasan hutan yang disebabkan oleh
penebangan liar, kebakaran hutan, sistem pertanian tebas bakar, konversi hutan alam menjadi hutan
produksi penghasil kayu industri, kegiatan pertambangan di hutan, dan pemanfaatan hutan sebagai
lokasi transmigrasi telah berkontribusi pada frekuensi terjadinya alam. bencana. Di Sulawesi
Selatan, berbagai aktivitas di kawasan hutan provinsi selama 1985-1997 menyebabkan penurunan
luas hutan 11 persen. Kabupaten di provinsi yang rawan banjir dan longsor seperti di Sumatera dan
Papua memiliki curah hujan yang tinggi. Catatan sejak tahun 1974 menunjukkan bahwa hampir
setiap tahun banjir terjadi di Jambi, Sumatera Selatan, Riau, Aceh, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan, menyebabkan provinsi-provinsi
tersebut peka rawan pangan. Berdasarkan data curah hujan rata-rata sepuluh tahun (1993-1994 sd
2002-2003), banyak daerah di Indonesia mengalami penurunan curah hujan. Hal ini
mengindikasikan perubahan iklim yang tidak kondusif bagi pertanian berkelanjutan. Daerah yang
mengalami penurunan curah hujan yang signifikan adalah Sumatera bagian utara dan selatan, serta
Kalimantan Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tenggara.
Jumlah bencana alam yang terjadi di Indonesia dari tahun 1997 hingga 2005 mengalami
peningkatan. Contoh bencana adalah sebagai berikut: a. Pada tahun 1997-1998 terjadi kemunduran
yang berkepanjangan akibat fenomena El Nino menyebabkan produksi beras turun 3 juta ton
(Hermanto dan Kusumaningrum, 2006). b. Antara tahun 1990 dan 2001, terjadi 1.093 konflik sosial.
Yang paling serius berupa konflik masyarakat di Poso dan Maluku yang menelan korban sedikitnya
5.000 jiwa. Konflik separatis di Aceh dan Papua merenggut 1.307 nyawa. Semua konflik ini diikuti
oleh evakuasi besar-besaran sekitar 1,2 juta orang pada tahun 2001. (53)

Bencana alam yang terjadi dalam tiga tahun terakhir (2004-2006) antara lain tsunami di Aceh dan
Jawa Barat, serta gempa bumi di Papua, Yogyakarta, dan Jawa Tengah. Bencana tersebut menelan
korban sekitar 0,5 juta jiwa dan menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi (Puspoyo, 2006).
Puspoyo (2006) melaporkan bencana signifikan berikut di Indonesia antara tahun 1975 dan 2001: (a)
banjir yang memakan empat juta korban; (b) dua puluh tujuh letusan gunung berapi yang
merenggut 700 nyawa dan mempengaruhi hampir 600.000 orang; dan (c) kekeringan yang terjadi
sekali dalam tiga tahun yang disebabkan oleh El Nino dan mengakibatkan kelaparan sekitar 1,6 juta
orang. Tabel 3.10 menunjukkan berbagai bencana yang terjadi di Indonesia pada tahun 2005,
jumlah lokasi, jumlah korban, dan besarnya kerugian finansial (BKP, 2006e).

Cadangan pangan nasional berperan penting dalam mengatasi kejadian kerawanan pangan. Pasal 47
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 (tentang Pangan) menyebutkan bahwa cadangan pangan
nasional terdiri dari cadangan pangan pemerintah dan masyarakat / masyarakat (di unit penggilingan
padi, pedagang, dan rumah tangga). Cadangan pangan Pemerintah adalah cadangan pangan yang
dikelola atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, karena selama ini hanya Pemerintah Pusat yang
menguasai (54)

Cadangan pangan yang signifikan (Rachman et al., 2005). Dalam era desentralisasi, UU No. 6/2002
memungkinkan pemerintah provinsi, kabupaten, kota, dan desa berperan dalam pengelolaan
cadangan pangan daerah untuk mengatasi rawan pangan di daerahnya. Namun menurut Rachman
et al. (2005), cadangan pangan pemerintah daerah belum signifikan. Bencana harus dilihat dari
kerangka pembangunan, sehingga masyarakat lebih siap menghadapi segala bentuk bencana.
Kesiapsiagaan yang lebih baik untuk menghadapi bencana dapat dicapai dengan: (a) pembangunan
lumbung pangan dan benih di tingkat masyarakat lokal; (b) penggunaan air hujan; dan (c)
pengembangan rencana kontinjensi bencana untuk situs-situs yang rawan bencana sangat penting.
Untuk deteksi dan intervensi dini dalam pencegahan dan pengelolaan kejadian kerawanan pangan,
telah disiapkan seperangkat alat sebagai komponen Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (FNVS).
Pemerintah provinsi, kabupaten dan kota telah memanfaatkan sistem tersebut, namun belum dapat
dijalankan secara optimal karena luasan wilayah yang tercakup dan sumber daya yang tersedia untuk
intervensi sangat terbatas. Untuk mengoptimalkan FNVS harus lebih terkoordinasi dan lebih sinergis
dalam menangani bencana. Untuk itu telah dibentuk contact person di hampir semua kabupaten
dan kota untuk memperkuat jaringan FNVS. Sistem tersebut membutuhkan penguatan lebih lanjut
(BKP, 2006b). (55)

Anda mungkin juga menyukai