Anda di halaman 1dari 2

Bab IV

Upacara Kematian
Masyarakat Jawa

KEMATIAN di dalam kebudayan apapun hampir selalu disikapi dengan ritualisasi.


Entah apapun wujud ritualisasi itu. Ada alasan mengapa kematiam disikapi dengan
ritualisasi. Dalam berbagai kebudayan kematian juga dianggap bukan sebagai bentuk akhir
atau titik lenyap dari kehidupan. Peristiwa kematian juga ditangkap dengan sudut pandang
dan pengertian yang berbeda-bedaoleh setiap orang. Baik dengan ketakutan , kecemasan,
pasrah atau keikhlasan.
Semua orang pasti tahu suatu saat akan mati, entah bagaimana caranya atau seperti
apa matinya. Dan setiap orang pasti akan merasakan kematian , walaupun arti “merasakan”
itu tidak sama dengan dipersepsi oleh orang yang hidup. Kematian adalah salah satu bagian
dari kehidupan yang pasti di jalani , sama seperti kelahiran. Bedanya adlah yang pertama
menandai akhir dari suatu kehidupan sedangkan yang terakhir menandai awal dari suatu
kehidupan.
Kelahiran dan kematian bias diandaikan seperti ujung dari seutas tali yang bernama
kehidupan, berbeda titik tetapi terentang sepanjang usia. Dan di tengahnya itulah
kehidupan yang ada dan berbeda. Kematian adalah suatu misteri. Banyak yang tidak tahu
seperti apa dunia sesudah kematian. Tetapi banyak juga yang percaya bahwa ada
“kehidupan lain” setelah kematian. Kematian adalah suabuah misteri yang tidak dapat
diungkapkan dan tidak terelakan . fenomena ini hanya bisa dibicarakan dalam skala iman
atau kepercayaan. Masyarak jawa dalam dalam pengertian ini dapat dilihat juga
memercayai adanya dunia lain sesudah mati.
Banyak juga yang percaya bahwa kematian adalah akhir dari segalanya dan akhir dari
eksistensi seseorang, dan setelah itu yang ada adalah ketiadaan. Banyak juga yang percaya
bahwa kematian adalah awal dari suatu kehidupan baru dalam suatu bentuk siklus. Apapun
kepercayaan yang dianut, taka da seorang pun yang tahu seperti apa situasi dan kondisi
sesudah kematian.
Masyarakat jawa memandang kematian bukan sebagai peralihan status baru bagi
orang yang mati. Mereka (orang yang mati) diangkat lebih tinggi dibandingkan dengan
orang-orang yang masih hidup . segala status yang disandang semasa hidup ditelanjangi
digantikan dengan citra kehidupan luhur. Dalam hal ini makna kematian dikalangan orang
jawa mengacu pada pengertian kembali ke asal mula keberadaan (sangkan paraning
dumadi).
Kematian dalam kebudayan jawa (juga dalam kebudayan lain) hampir selalu disikapi
bukan sesuatu yang selesai. Titik. Kematian selalu meninggalkan ritualisasi yang
diselenggarakan oleh yang ditinggal mati. Setelah orang mati, maka ada pengeburan yang
disertai doa-doa, sesajian, selamatan, pembagian waris, pelunasan, utang, dan seterusnya.
Oleh karena penyebab kematian, maka pengertian mati juga diberi istilah yang
berbeda-beda. Ada mati wajar, mati sial, mati konyol, dan sebagainya. Masing-masing
pengertian mati ini selalu berkaitan erat dengan konstruksi sosial dari masyarakat yang
melingkupinya.
Dalam masyrakat Jawa kematian juga melahirkan apa yang disebut ziarah atau tilik
kubur. Hal ini semakin menegaskan bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya iakatan
antara si mati dan yang hidup dipertautkan kembali lewat aktivitas ziarah kubur. Tradisi ini
secara tersirat juga menimbulkan sebuah pengharapan bagi yang masih hidup bahwa yang
telah mati, yang telah berada di dunia sana dapat meyalurkan berkah dan pangetsu kepada
yang masih hidup. Hal ini dipandang dapat menjadi salah satu factor keberhasilan bagi
kehidupan orang yang telah ditinggalkan si mati. Baik keberhasilan material maupun
spiritual.

Anda mungkin juga menyukai