0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
50 tayangan9 halaman
Tiga dokumen tersebut membahas pandangan budaya berbagai suku di Indonesia mengenai seseorang yang menjelang ajal, yaitu:
1) Budaya Jawa melihat tanda-tanda seperti lemasnya tangan, keluarnya air besar dan angin dari tubuh, serta perubahan perilaku sebagai tanda-tanda kematian menurut kitab primbon.
2) Budaya Nias mempraktikkan tradisi "fangotome'o" dimana lansia dijadikan tamu untuk mem
Tiga dokumen tersebut membahas pandangan budaya berbagai suku di Indonesia mengenai seseorang yang menjelang ajal, yaitu:
1) Budaya Jawa melihat tanda-tanda seperti lemasnya tangan, keluarnya air besar dan angin dari tubuh, serta perubahan perilaku sebagai tanda-tanda kematian menurut kitab primbon.
2) Budaya Nias mempraktikkan tradisi "fangotome'o" dimana lansia dijadikan tamu untuk mem
Tiga dokumen tersebut membahas pandangan budaya berbagai suku di Indonesia mengenai seseorang yang menjelang ajal, yaitu:
1) Budaya Jawa melihat tanda-tanda seperti lemasnya tangan, keluarnya air besar dan angin dari tubuh, serta perubahan perilaku sebagai tanda-tanda kematian menurut kitab primbon.
2) Budaya Nias mempraktikkan tradisi "fangotome'o" dimana lansia dijadikan tamu untuk mem
perjalanan hidup seseorang dalam dunia. Semua individu akan mendekati ajalnya dengan pengalaman hidup yang unik, dengan kekuatan serta kelemahan, dan dengan beberapa isu psikososial dan spiritual yang terpecahkan dan tak terpecahkan (Kemp, 2009). BUDAYA
Budaya adalah kata sederhana dengan pengertian
kompleks yang mencakup seluruh wilayah aktivitas manusia. Secara spesifik, budaya didefinisikan sebagai pola kompleks dari makna, kepercayaan, dan tingkah laku bersama yang dipelajari dan diperoleh oleh kelompok orang selama perjalanan sejarah. Budaya mencerminkan keseluruhan dari tingkah laku manusia, termasuk nilai, sikap, dan cara-cara berhubungan dan berkomunikasi satu dengan yang lain. Pandangan Budaya Jawa terhadap Seseorang Menjelang Ajal Proses menjelang kematian dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah lelaku. Menurut pemahaman penulis lelaku lansia Jawa sudah dimulai ketika secara medis lansia tersebut sudah tidak bisa disembuhkan lagi meskipun sudah berulang kali berobat ke dokter. Bahkan seringkali dokter memberikan saran kepada keluarga untuk dirawat di rumah. Setelah mempelajari kitab Primbon Betaljemur Adammakna yang berisi tentang pengalaman menjelang kematian, penulis menemukan tanda-tanda yang menyertai kematian lansia Jawa adalah sebagai berikut: 1. Pergelangan tangan sudah lemas, tidak mau melakukan tindakan apa- apa, termasuk tidak mau makan dan sulit tidur 2. Sudah mengeluarkan air besar yang biasa disebut tinja kalong dan ke Sembilan lubang tubuh mengeluarkan angin 3. Otot-otot pergelangan kaki sudah melemas, keringat keluar dari sekujur tubuh 4. Kulit tidak berbunyi ketika diraba, denyut nadi semakin melemah dan dari telinga sudah tidak terdengar suara apapun 5. Ada perubahan besar pada perilaku yang berbeda dari kebiasaan sehari-hari, misalnya bergurau secara berlebihan 6. Muncul juga keinginan untuk dipenuhi segala keinginan tetapi setelah dikabulkan tidak perhatikan 7. Sering merasa kecewa dalam kehidupan keseharian, baik dalam hal makan atau pekerjaan-pekerjaan yang lain 8. Bermimpi membuat rumah dan mendiaminya. Kualitas rumah tersebut tergantung kualitas hidup pemimpinya. Kalau kualitas hidupnya baik, maka rumah yang dibangun juga indah, demikian juga sebaliknya 9. Merasakan jenuh melihat situasi kehidupan, sering bermimpi berjalan ke arah utara dan bertingkah laku seperti anak-anak 10. Dalam berelasi dengan orang lain mengalami perubahan yang mencolok, misalnya yang semula menyukai keramaian berubah menjadi lebih senang menyendiri, yang semula sering marah-marah menjadi lebih sabar. Pandangan Budaya Jawa terhadap Seseorang Menjelang Ajal • Kitab Primbon Sangkan Paraning Manungsa, juga menyebutkan tanda-tanda yang terjadi sebelum meninggal tersebut adalah:
• Wajah pucat, telinga mengerut, Pembicaraan sudah tidak runtut
atau clemang-clemong, ora sabahene (seperti bukan kehendaknya sendiri), Membuang kotoran tanpa terkendali, baik kencing atau membuang air besar, Kaki linu, inginnya hanya tidur dan bermalas-malasan seperti wanita hamil, Menginginkan makanan yang pedas-pedas dan setelah makan merasa mengantuk sehingga cenderung malas bekerja dan sering sakit-sakitan, dan Ada perasaan rindu pada saudara-saudara yang sudah meninggal, sehingga menyebabkan rasa sedih karena mengingat yang sudah meninggal tersebut. Pandangan Budaya Nias Terhadap Seseorang Menjelang Ajal
Masyarakat Nias merupakan salah satu suku yang memiliki
adat- istiadat atau kebiasaan-kebiasaan dalam hidup bermasyarakat. Masyarakat Nias melakukan praktik kebudayaan terhadap lansia yang menjelang ajal yakni Fangotome’o (kata benda), yang artinya seorang lansia yang menjelang ajal dijadikan tamu. Budaya fangotome’o ini sangat dijunjung tinggi di Nias karena menandakan bahwa seorang anak ingin memenuhi kebutuhan emosional atau psikologis orang tuanya dengan melakukan ritual ini. Masyarakat Nias berasumsi bahwa setelah melakukan praktik ini, lansia atau orangtua akan bahagia menghadapi kematiannya dan beberapa orang percaya bahwa lansia akan sembuh dari penyakitnya. Pandangan Budaya Cina terhadap Seseorang Menjelang Ajal Pada orang china hidup dan mati merupakan sebuah kontradiksi yang tidak terpecahkan dalam kehidupan manusia, tetapi orang Cina pun menemukan jalan keluar dengan menekankan rasa kebersamaan keluarga. Dengan dicerita- kan kembali pada setiap Malam Tiongciu, mitos kuno Chang E ini diharapkan menjadi sarana mengingatkan setiap orang Cina, terutama anak-anak, agar menghargai setiap anggota keluarga, sebab manusia pada suatu saat akan mati, dan tidak dapat hidup kembali. Ritual pemujaan Bulan yang dilakukan para raja zaman purbakala Budaya China pada p akhir musim gugur mungkin dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk memohon anugerah kemampuan hidup abadi dari Dewi Bulan, atau lebih tepatnya memperoleh ema- nasi Bulan yang dikatakan paling kuat atau sakti pada malam purnama, yakni agar dapat hidup abadi atau, paling tidak, panjang umur.
Rakyat jelata pun berusaha mengumpul- kan semua anggota
keluarga untuk membagi kue bulan pada Malam Tiongciu, dengan harap- an keluarganya sebagai sebuah keutuhan dapat kekal, dalam arti tidak ada yang mati, sebagaimana bulan yang makin besar dan memudar terus menerus tanpa mengenal kematian. Selain itu, kesadaran akan kematian ini telah menjadi unsur penyemaian serta perkembangan agama Tao tradisional Tiong- hoa yang bertujuan mengarahkan agar manusia menjadi dewa yang tidak mengenal kematian melalui meditasi dan bantuan obat- obatan. THANK YOU