Mungkinkah Pajak Atas Robot Diterapkan Di Indonesia
Mungkinkah Pajak Atas Robot Diterapkan Di Indonesia
Pada kesempatan kali ini, saya ingin menyampaikan aspirasi kepada DJP dalam rangka
ikut menyemarakkan reformasi perpajakan yang sedang gencar dilakukan oleh DJP. Harapan
saya adalah Direktorat Jenderal Pajak mau merumuskan dan menerapkan pajak atas robot di
Indonesia. Sampai dengan saat ini tidak ada satupun negara di dunia yang menerapkan pajak
atas robot. Diperlukan kajian mendalam dalam membuat regulasi perpajakan atas robot.
Definisi robot itu sendiri sangatlah luas. Apakah traktor pembajak sawah layak dikenakan pajak
robot atau ada kriteria lain dalam pengenaan pajak robot? Dapat dikatakan pajak robot masih
samar sehingga perlu penjelasan yang detail, jelas, lugas, dan mudah diterapkan.
Penggolongan robot sebagai subjek pajak juga akan menuai pro dan kontra karena ada yang
menilai robot hanya sebagai alat untuk membantu manusia dan bukan subjek hukum1.
Fenomena digitalisasi pada revolusi industri 4.0 sangatlah pesat. Banyak pekerjaan
manusia mulai diambil alih oleh robot/artificial intelligence, terutama di industri manufaktur,
sektor otomotif, perbankan, dsb. Lihat saja di lingkungan sekitar kita, sudah berapa banyak
kantor cabang bank yang tutup akibat teller yang mulai digantikan oleh mobile banking. Atau
bisa dihitung seberapa sering saat ini kita ke bank dibandingkan zaman dahulu yang serba
manual. Begitu pula dengan hadirnya mobil Tesla yang memiliki teknologi kemudi otomatis
sebagai pengganti supir, cepat atau lambat akan segera diterapkan dan dikembangkan lagi
pada merk pabrikan lainnya saat hak paten Tesla habis. Perkembangan teknologi sepesat ini
memang menimbulkan disrupsi sosial. Memang dengan digantikannya posisi manusia oleh
robot membuat pekerjaan jadi lebih ringan, perusahaan lebih efisien dari segi biaya, dan muncul
lapangan pekerjaan baru seperti programmer, gamer, content creator/youtuber, UI designer,
dsb. Akan tetapi, apakah masyarakat kita siap akan perubahan itu? Apakah jumlah pekerjaan
baru dari adanya otomatisasi lebih besar atau minimal setara dengan pekerjaan yang hilang?
Sampai saat ini saya masih bertanya-tanya mengenai hal itu.
Tenaga kerja yang bersaing di era digitalisasi adalah tenaga kerja dengan keahlian
IPTEK yang tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik2, lapangan pekerjaan utama
penduduk di Indonesia yang terbesar adalah di bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan
(28%) kemudian disusul perdagangan besar dan eceran (19%), serta industri pengolahan
(14%). Pekerjaan tersebut sangatlah rentan diotomasi oleh robot. Kedatangan mesin-mesin
pertanian modern dari Amerika, Jerman, dan Jepang pasti akan menggantikan pekerjaan buruh
tani atau pekerja pabrik padat karya yang merupakan pekerjaan low skill. Bisa dikatakan SDM
kita sangat rentan pada era ini karena rata-rata pekerjaan baru yang tercipta dari adanya
digitalisasi ini sangatlah high skill3. Diperlukan peran serta pemerintah dalam mengembangkan
literasi digital masyarakat baik melalui sarana formal di sekolah maupun informal. Disitulah
peran serta pajak secara tidak langsung untuk mendanai pendidikan dan pelatihan rakyat
Indonesia. Aliran dana dari pajak robot dapat dianggarkan untuk sektor ini.
Namun, tidak dapat disangkal penerapan aturan pajak robot pasti akan menimbulkan
banyak tantangan. Perusahaan dengan tujuan awal melakukan efisiensi melalui otomasi robot
dengan dikenakan pajak bisa jadi memilih cabut dari Indonesia dan memilih negara lain yang
tidak punya aturan seperti itu. Permasalahan semacam ini bisa saja dihindari jika ada
kekompakan dengan negara-negara lain untuk sepakat menerapkan pajak robot. Tantangan
lain pastinya juga hadir dari perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti Apple, Qualcomm,
Samsung, dan Tencent yang memiliki daya tawar kuat untuk menentang aturan ini. Efek pajak
robot dalam jangka pendek yang menjadi momok untuk investasi perusahaan teknologi di
Indonesia. Akan tetapi, dalam jangka panjang kita dapat menyiapkan tenaga kerja yang
terampil sehingga kita bukan hanya menjadi pasar bagi negara yang menguasai IPTEK. Sudah
menjadi rahasia umum kalau rata-rata produk elektronik buatan lokal hampir selalu kalah saing
dengan produk-produk impor karena bukan cuma kalah modal riset tetapi juga kalah kualitas
SDM-nya.
Kita harus tetap optimis melihat masa depan. Tidak ada yang tidak mungkin melihat
kondisi perkembangan ekonomi global saat ini. Pajak bersifat dinamis mengikuti pergerakan
ekonomi dan bisnis yang terjadi. Jadi, bukanlah suatu hal yang mustahil apabila suatu saat
nanti pajak robot diterapkan. Semua hal ini demi masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Daftar Pustaka