Anda di halaman 1dari 38

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Ketangguhan (Hardiness)

1. Pengertian Ketangguhan (Hardiness)

Konsep tentang ketangguhan (hardiness) pertama kali dikemukakan

oleh Kobasa sebagai suatu proses penilaian kognitif yang terdiri atas tiga

karakteristik: a) kontrol (control); b) komitmen (commitment); dan c)

tantangan (challenge). Ketangguhan (hardiness) merupakan konstelasi

kepribadian yang menjadikan individu lebih kuat, optimis, stabil dan tahan

dalam menanggulangi efek negatif yang ditimbulkan oleh stresor (Kobasa,

1979). Ketangguhan (hardiness) merupakan karakteristik kepribadian yang

berperan sebagai penyangga atau penahan dalam menghadapi peristiwa-

peristiwa penuh stres dan memandangnya positif sebagai tantangan dan

kesempatan untuk berkembang (Clarabella, Hardjono, & Setyanto, 2015).

Salah satu permasalahan dasar yang dihadapi oleh individu dari

berbagai usia adalah stres. Individu memiliki respon yang berbeda satu sama

lain dalam menghadapi berbagai stresor yang muncul di dalam kehidupan.

Stresor dapat menjadi baik atau buruk bagi individu (Sadaghiani, 2011).

Tekanan hidup yang semakin berat terkadang membuat individu ingin lari dari

setiap permasalahan yang dihadapi (Sirait & Minauli, 2015). Individu hidup

tidak terlepas dari stres, maka perlu kemampuan untuk mengelola stres dengan

baik agar individu mampu mendapatkan kualitas hidup yang baik

(Musradinur, 2016).
commit to user

14
library.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

Ketangguhan (hardiness) merupakan bagian dari karakteristik

kepribadian yang menjadikan individu lebih kuat, tahan, stabil dan optimis

dalam menghadapi masalah serta mengurangi efek negatif dari stres

(Rahardjo, 2005). Hardiness merupakan sumber perlawanan disaat individu

menemui suatu kejadian yang dapat menimbulkan stres dan memiliki

beberapa kendali terhadap hidup dan memandang perubahan sebagai sebuah

tantangan dan mempercayai kemampuan menggunakan tenaganya untuk hal

yang kreatif dalam rangka menyelesaikan tugas-tugas yang diterimanya (Sirait

& Minauli, 2015). Hardiness mengurangi pengaruh kejadian yang

menegangkan dengan meningkatkan penyesuaian diri individu menggunakan

sumber sosial di lingkungannya untuk dijadikan tameng, motivasi dan

dukungan (Nirwana, Putra, & Yusra, 2014).

Ketangguhan (hardiness) memiliki keterkaitan dengan tingkat stres,

kelelahan emosi dan permasalahan kesehatan yang ada di dalam diri individu.

Ketangguhan (hardiness) diharapkan dapat mengarahkan individu dalam

mengatasi tekanan, kelelahan emosi dan mengurangi masalah kesahatan

dengan cara menggunakan sistem koping yang efektif (effective coping) dan

menggunakan sumber daya tertentu baik dari luar maupun dalam diri individu

(stress-buffering effect) (Servellen, Topf, & Leake, 1994).

Berdasarkan uraian definisi diatas, peneliti mengacu pada definisi

ketangguhan (hardiness) yang dikemukakan oleh Kobasa (1979). Dengan

demikian, ketangguhan (hardiness) merupakan konstelasi kepribadian yang

menjadikan individu lebih kuat, optimis, stabil dan tahan dalam

menanggulangi efek negatif yang ditimbulkan oleh stresor.


commit to user
library.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

2. Aspek-aspek Ketangguhan (Hardiness)

Kobasa (1979) menjelaskan bahwa aspek ketangguhan (hardiness)

dapat dibagi menjadi tiga, antara lain:

a. Komitmen (Commitment)

Komitmen mencakup keterlibatan individu dalam berbagai

aktivitas yang harus dilakukan di dalam kehidupan sehari-hari

seperti adanya kontak sosial dengan lingkungan sekitarnya.

Menurut Kobasa (dalam Schellenberg, 2005), individu yang

berkomitmen tidak mudah menyerah di bawah situasi yang

menekan dan keterlibatan mereka mengambil pendekatan aktif

bukan pasif dan penghindaran.

b. Kontrol (Control)

Kontrol mencakup kecenderungan merasakan dan melakukan

sesuatu dalam mengatasi ketidakpastian yang muncul di dalam

kehidupan sehari-hari individu. Menurut Bigbee (1985), kontrol

merupakan ukuran pada ketiadaan kekuatan diri yang dirasakan

oleh individu dan dipercaya bahwa seseorang mampu mengontrol

atau mempengaruhi peristiwa-peristiwa yang ada di dalam

kehidupannya. Individu dengan kontrol yang kuat akan cenderung

lebih optimis dan lebih berhasil dalam menghadapi permasalahan

apabila dibandingkan dengan individu dengan kemampuan kontrol

rendah.

commit to user
library.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

c. Tantangan (Challenge)

Tantangan mencakup kecenderungan memandang perubahan

sebagai kesempatan untuk berkembang ke arah yang lebih baik dan

bukan sebagai sesuatu yang mengancam kehidupan individu.

Peneliti menggunakan aspek-aspek ketangguhan (hardiness) dari

Kobasa (1979) sebagai acuan dalam menentukan dimensi ketangguhan

(hardiness). Adapun ketangguhan (hardiness) terdiri dari tiga aspek yaitu: (1)

komitmen (commitment), (2) kontrol (control), (3) tantangan (challenge).

Peneliti menggunakan aspek tersebut sebagai acuan karena dipandang dapat

menjelaskan aspek dari ketangguhan (hardiness) secara menyeluruh.

3. Faktor yang Mempengaruhi Ketangguhan (Hardiness)

Faktor yang mempengaruhi hardiness menurut Florian, Mikulincer

dan Taubman (1995) adalah:

a. Kemampuan merencanakan sesuatu secara realistis

Kemampuan merencanakan sesuatu secara realistis dapat

membantu individu ketika menemui permasalahan sehingga

individu yang bersangkutan tahu langkah terbaik yang dapat

dilakukan untuk menyelesaikan masalah.

b. Rasa percaya diri dan citra diri yang positif

Rasa percaya diri dan citra diri positif menjadikan individu lebih

santai dan optimis serta terhindar dari stres.

c. Keterampilan komunikasi dan kapasitas untuk mengelola perasaan

dengan baik
commit to user
library.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

Dengan demikian, dalam penelitian ini peneliti mengacu pada faktor-

faktor yang mempengaruhi ketangguhan (hardiness) menurut Florian,

Mikulincer dan Taubman (1995). Faktor-faktor tersebut adalah: 1)

kemampuan merencanakan sesuatu secara realistis; 2) rasa percaya diri dan

citra diri positif; 3) keterampilan komunikasi dan kapasitas untuk mengelola

perasaan.

4. Karakteristik Individu yang Memiliki Kepribadian Tangguh (Hardy

Individual)

Kobasa (dalam Kreitner & Kinicki, 2005) mengidentifikasi

sekumpulan ciri kepribadian yang menetralkan stres yang berkaitan dengan

pekerjaan. Kumpulan ciri ini dikatakan sebagai ketangguhan (hardiness)

melibatkan kemampuan untuk secara sudut pandang atau perilaku mengubah

bentuk stresor negatif menjadi tantangan yang positif. Ketangguhan adalah ciri

individu yang memiliki beberapa kendali terhadap hidup, memandang

perubahan sebagai tantangan dan mempercayai kemampuan menggunakan

tenaganya untuk hal yang kreatif dalam rangka menyelesaikan permasalahan

di dalam hidup (Sirait & Minauli, 2015). Ketangguhan merupakan cerminan

kekuatan seseorang dalam menghadapi stres. Seseorang yang memiliki

kepribadian tangguh cenderung memiliki penyesuaian diri yang positif dan

adaptif (Mahmudah, 2009).

Individu dengan tingkat ketangguhan (hardiness) yang tinggi akan

cenderung lebih mampu melawan stres. Individu yang memiliki kepribadian

hardiness akan cenderung memiliki kemampuan dalam melawan stres dan

percaya bahwa individu berkepribadian hardiness dapat mengontrol dan


commit to user
library.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

mempengaruhi kejadian-kejadian dalam hidupnya (Schultz & Schultz, 2002).

Individu dengan kepribadian hardiness akan berkomitmen secara mendalam

terhadap pekerjaan yang mereka senangi dan memandang suatu perubahan

sebagai suatu tantangan yang positif atau kesempatan untuk menuju kearah

yang lebih baik (Olivia, 2014).

Sebaliknya, individu dengan tingkat ketangguhan (hardiness) yang

rendah maka akan cenderung tidak yakin dengan kemampuannya dalam

mengendalikan stres dan tidak berdaya sehingga menyebabkan kurangnya

harapan, membatasi usaha dan mudah menyerah ketika sedang berada di

dalam situasi yang menekan dan pada akhirnya menyebabkan kegagalan

dalam menyelesaikan permasalahan di dalam kehidupan (Florian, Mikulincer,

& Taubman, 1995). Rendahnya tingkat ketangguhan (low hardiness level)

menyebabkan individu lebih memilih untuk mundur dalam menghadapi

masalah dikarenakan pada umumnya individu tersebut merasa teralienasi dari

aktivitas, tidak berdaya dalam menghadapi tekanan yang datang dari luar diri

dan berpikir bahwa perubahan yang terjadi dalam kehidupan bukanlah suatu

tantangan melainkan suatu ancaman yang dapat membahayakan kehidupan

individu tersebut (Maddi, 1999).

Peran kepribadian tangguh (hardy personality) adalah mempengaruhi

perilaku dan kognisi individu dalam mengerjakan tugas atau pekerjaan

tertentu, termasuk pola perilaku dan usaha individu ketika menghadapi

kesulitan dalam menyelesaikan tugas sehingga mampu mencapai hasil yang

diinginkan (Mahmudah, 2009). Individu yang tangguh (hardy individual)

memiliki tingkat kepuasan yang tinggi terhadap pekerjaan (high level of job
commit to user
library.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

satisfaction) dan merasa memiliki sedikit tekanan dalam pekerjaan apabila

dibandingkan dengan individu yang memiliki tingkat ketangguhan (hardiness

level) yang rendah. Individu yang tangguh (hardy individual) memiliki sedikit

keluhan terkait somatis, tidak mudah tertekan dan tidak mudah cemas apabila

dibandingkan dengan individu dengan tingkat ketangguhan yang rendah

(Manning, Williams, & Wolfe, 1988).

5. Fungsi Ketangguhan (Hardiness)

Fungsi dari ketangguhan (hardiness) menurut Kreitner dan Kinicki

(2005) antara lain:

a. Membantu individu menyesuaikan diri serta menumbuhkan rasa

toleransi terhadap tekanan yang muncul di kehidupan sehari-hari.

b. Mengurangi dampak negatif yang disebabkan oleh tekanan hidup

yang memungkinkan terjadi burn out dan penilaian negatif

terhadap kejadian yang mengancam dan meningkatkan

pengharapan untuk melakukan coping supaya berhasil dalam

menyelesaikan permasalahan hidup

c. Menumbuhkan pandangan positif terhadap setiap permasalahan

hidup sehingga individu menjadi tidak mudah tertekan dalam

menghadapi permasalahan.

d. Membantu individu untuk mengambil keputusan secara baik dalam

keadaan tertekan.

Dari beberapa penjelasan terkait fungsi ketangguhan (hardiness),

dapat disimpulkan bahwa ketangguhan (hardiness) menurut Kreitner dan

Kinicki (2005) berfungsi untuk mengurangi pengaruh negatif dari tekanan


commit to user
library.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

hidup dan menumbuhkan pandangan positif individu dalam memandang suatu

peristiwa sehingga mampu untuk memutuskan pemecahan masalah yang baik

dan memberikan harapan hidup yang lebih baik pada individu.

7. Proses Menjadi Individu yang Tangguh (Hardy Individual)

Ketangguhan (hardiness) diyakini mampu mengubah tekanan menjadi

sebuah kesempatan untuk tumbuh dan berkembang, yang kemudian

mengarahkan kepada peningkatan performa serta kesehatan mental dan fisik

(Maddi, 2006). Proses tersebut dijelaskan dalam gambar berikut.

Inherited Vulnerabilities
Your Weakest Genetic Link

Tekanan Ketegangan Kinerja dan


Perubahan yang Gairah Fisik Kesehatan
mengganggu dan Mental
dan konflik yang kronis Peningkatan atau
pemeliharaan

Sikap Tangguh Hardy Coping Hardy Health Practices


(Hardy
Attitudes) Mental: perspektif Latihan fisik,
Komitmen, dan pemahaman Relaksasi,
kontrol Perilaku: Mengambil Diet,
dan tantangan tindakan Pengobatan

Hardy Social
Support
Bantuan dan
dorongan

Gambar 2. Proses Menjadi Individu yang Tangguh (Hardy Individual)


commit to user
(Maddi & Kobasa, 1984)
library.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

Diagram tersebut menjelaskan bahwa, stres akut dan tekanan kronis yang

muncul dalam kehidupan dan sifatnya tidak teratasi memiliki dampak

meningkatkan ketegangan fisik dan mental. Apabila ketegangan fisik dan mental

sudah terlalu tinggi dan menetap dalam jangka waktu yang lama, maka akan

mengakibatkan penurunan sumber daya kekuatan fisik dan psikologis yang

kemudian berdampak pada penurunan kinerja dan kesehatan yang ada pada diri

individu. Namun, kinerja dan kesehatan pada individu dapat mengalami

peningkatan kembali apabila individu memiliki sikap tangguh (hardy attitudes)

yang kuat. Untuk meningkatkan sifat tangguh, Maddi (2013) mengatakan bahwa

individu perlu untuk melalui sebuah proses. Berikut merupakan penjelasan dari

proses untuk menjadi individu yang tangguh.

a. Hardy attitudes (Sikap tangguh)

Sikap tangguh merupakan sebuah kombinasi antara kognitif dan

emosional pada diri individu yang tersusun atas tiga sikap (3C), yaitu

komitmen (commitment), kontrol (control) dan tantangan (challenge).

Individu perlu menumbuhkan terlebih dahulu ketiga sikap tangguh (3C)

tersebut, tidak cukup hanya salah satu sikap saja untuk dapat bertahan

menghadapi tekanan dalam hidup.

Individu yang memiliki sikap komitmen yang tinggi akan

merasakan pentingnya untuk tetap terlibat dalam peristiwa dan individu

yang ada di sekitarnya, tidak peduli seberapa tertekan dirinya. Sedangkan

individu yang kurang memiliki sikap komitmen akan menarik dan

mengisolasi diri dari lingkungan sekitarnya. Individu yang memiliki


commit to user
library.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

kontrol dalam dirinya akan mampu memberikan pengaruh terhadap

sekitar. Sebaliknya, individu yang kurang mampu mengontrol diri akan

merasa tidak berdaya dan cenderung bersifat pasif terhadap lingkungan

sekitarnya. Individu yang memiliki sikap menyukai tantangan akan

melihat tekanan dalam hidup sebagai kesempatan untuk dapat

mengembangkan dirinya kearah yang lebih baik. Sedangkan individu yang

kurang menyukai tantangan akan cenderung berada pada zona nyaman.

Sikap tangguh ini merupakan keberanian dan motivasi yang

diperlukan untuk melakukan kerja keras dalam mengubah keadaan yang

penuh tekanan menjadi sebuah peluang untuk pertumbuhan dan

perkembangan diri.

b. Hardy social support

Sikap tangguh mengarahkan individu untuk mampu berinteraksi

dalam lingkungan sosial yang kemudian dapat membangun dukungan

sosial untuk dapat menumbuhkan semangat dalam dirinya, melakukan

penyesuaian diri dengan masyarakat sekitar, memiliki empati dan simpati

yang tinggi terhadap situasi menekan yang dihadapi oleh individu lain.

c. Hardy coping

Sikap tangguh mampu mengarahkan individu kepada

transformational coping yaitu usaha untuk menghadapi dan

menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam kehidupan dan

memandang tekanan menjadi sebuah kesempatan untuk mengembangkan

kualitas diri serta menjauhkan individu untuk menggunakan avoidance

coping, dimana individu akan cenderung untuk menjauh dari masalah yang
commit to user
library.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

dihadapi dalam kehidupannya (Maddi, 2013; Maddi & Hightower, 1999).

Untuk menumbuhkan hardy coping, terdapat tahapan-tahapan yang harus

dilalui. Tahapan tersebut menurut Maddi (2013) adalah:

1) Rekonstruksi keadaan (Situational reconstruction)

Dalam tahapan ini, individu mencoba untuk

membayangkan bagaimana kemungkinan terburuk yang

ditimbulkan oleh stresor dan kemudian membayangkan yang

sebaliknya, apa kemungkinan terbaik yang dapat diambil dengan

adanya tekanan dari sekitar.

2) Fokus (Focusing)

Setelah melalui tahapan rekonstruksi keadaan (situational

reconstruction), individu mencoba untuk menyadari kondisi

emosional yang sebenarnya, mencoba melampaui batas diri dan

kemudian mencoba untuk membuat rencana tindakan. Individu

mencoba untuk memahami dan mengarahkan perhatian pada pesan

yang dikirim dari dalam tubuh seperti detak jantung yang cepat,

sakit leher dan bahu, ketegangan otot, dan lain-lain. Dalam tahapan

ini, individu mencoba untuk mencari tahu bagaimana emosi dapat

mempengaruhi usaha penyelesaian masalah.

3) Kompensasi perbaikan diri (Compensatory self-improvement)

Perbaikan diri memberikan sebuah tantangan bagi individu

untuk mengidentifikasi tindakan yang dapat kita lakukan di masa

sekarang yang akan membantu individu untuk menemukan arah

baru, meningkatkan bakat, kemampuan sumber daya atau


commit to user
library.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

kepribadian yang kemudian dapat mengurangi tingkat tekanan

yang diakibatkan oleh munculnya perubahan di dalam kehidupan.

Dalam tahapan ini, individu diharapkan dapat meneruskan

usahanya untuk menyelesaiakan masalah. Individu diharapkan

tidak hanya berhenti pada satu cara penyelesaian masalah saja,

namun diharapkan tetap mencoba untuk mencari berbagai cara

hingga permasalahan yang ada di dalam kehidupannya mampu

terselesaikan.

d. Hardy health practices

Sikap tangguh dapat mengarahkan individu untuk dapat merawat

dirinya seperti melakukan aktivitas olahraga, mencari asupan nutrisi yang

baik dan melakukan relaksasi tubuh. Perawatan diri mampu menjaga

rangsangan tubuh pada tingkat optimal sehingga individu akan mempunyai

cukup kekuatan untuk bekerja keras dalam mengatasi permasalahan.

Setelah melalui proses tersebut, kinerja yang ada pada diri individu

akan meningkat. Individu akan mampu melaksanakan tugas-tugas yang

sulit, mengambil peran kepemimpinan, menjadi kreatif, meningkatkan

kesadaran dan kebijaksanaan serta tidak melakukan pelanggaran terhadap

peraturan. Proses tersebut juga mengarahkan kepada peningkatkan vitalitas

tubuh dan antusiasme serta mengurangi kemungkinan terjadinya gangguan

fisik dan mental.

B. Perkembangan Masa Dewasa

commit to user
library.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

Individu memiliki tugas perkembangan dalam setiap periode

pertumbuhan dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Pada masa dewasa

individu mengeksplorasi jalur karir yang ingin mereka ambil, perubahan gaya

hidup dan pencarian pasangan hidup (Santrock, 2011). Masa dewasa menurut

Papalia, Olds dan Feldman (2009) dibagi menjadi tiga, yaitu dewasa awal

dimulai sejak usia 20-40 tahun, dewasa tengah dimulai pada usia 40-65 tahun

dan dewasa tua dimulai pada usia 65 tahun keatas.

Masa dewasa awal merupakan transisi baik secara fisik, intelektual

dan peran sosial. Individu dikatakan menjadi dewasa apabila berani menerima

tanggung jawab atau akibat dari tindakan sendiri dan menentukan nilai dan

keyakinan sendiri. Masa dewasa awal merupakan masa untuk bekerja dan

menjalin hubungan dengan lawan jenis. Pada masa ini, penentuan relasi sangat

memegang peranan penting. Dewasa awal merupakan masa permulaan dimana

seseorang mulai menjalin hubungan secara intim dengan lawan jenisnya. Dua

kriteria yang diajukan untuk menunjukkan akhir masa muda dan permulaan

dari masa dewasa awal adalah kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam

membuat keputusan (Santrock, 2011).

Masa dewasa awal bagi seorang wanita juga disebut sebagai masa

pengaturan (settle down), yaitu dalam proses kehidupannya individu dituntut

untuk dapat memilih atau menyeimbangkan antara karier dengan hidup

berkeluarga. Tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada masa dewasa

awal antara lain: 1) mulai bekerja; 2) memilih pasangan; 3) mulai membina

keluarga; 4) mengasuh anak; 5) mengelola rumah tangga; 6) mengambil

tanggung jawab sebagai warga negara; 7) mencari kelompok sosial yang


commit to user
library.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

menyenangkan. Ada konsekuensi yang serius apabila individu gagal dalam

memenuhi tugas tersebut, salah satunya adalah munculnya berbagai

pertimbangan sosial yang kurang menyenangkan yang tidak dapat dihindari

oleh individu yang bersangkutan (Hurlock, 2009).

Tahapan perkembangan selanjutnya adalah masa dewasa madya.

Masa dewasa madya memiliki banyak ciri-ciri dan tidak sama pada

pengalaman setiap individu. Masa dewasa madya merupakan tahun utama

dalam rentang kehidupan masa dewasa, namun juga memiliki banyak variasi.

Di usia 40 tahun, beberapa individu telah menjadi orang tua untuk pertama

kalinya, sementara individu yang lainnya ada yang sudah memiliki cucu. Pada

usia 50 tahun, beberapa individu baru memulai karirnya yang baru, sementara

ada beberapa individu yang telah memasuki pensiun (Papalia, Olds, &

Feldman, 2009). Individu pada usia dewasa madya akan mengalami masa

jenuh dengan kegiatan rutin sehari-hari dan kehidupan bersama keluarga yang

memberikan sedikit hiburan. Kejenuhan tidak akan mendatangkan kebahagian

ataupun kepuasan ataupun kepuasan pada usia manapun. Akibatnya, usia

dewasa madya merupakan masa yang paling tidak menyenangkan di dalam

hidup (Hurlock, 1980). Tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa madya

menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1980) antara lain:

1. Tugas yang berkaitan dengan perubahan fisik

Tugas ini meliputi untuk mau melakukan penerimaan dan

penyesuaian dengan perubahan yang terjadi pada fisik individu

usia madya.

2. Tugas yang berkaitan dengan perubahan minat


commit to user
library.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

Individu yang berusia dewasa madya seringkali mengasumsikan

tanggung jawab warga negara dan sosial, serta mengembangkan

minat pada waktu luang yang berorientasi pada kedewasaan, pada

tempat kegiatan yang berorientasi pada keluarga yang biasa

dilakukan pada masa dewasa dini.

3. Tugas yang berkaitan dengan penyesuaian kejujuran

Tugas ini meliputi pemantapan dan pemeliharaan standar hidup

yang relatif mapan.

4. Tugas yang berkaitan dengan kehidupan keluarga

Tugas yang penting dalam kategori ini meliputi hal-hal yang

berkaitan dengan seseorang sebagai pasangan, menyesuaikan diri

dengan orang tua lanjut usia dan membantu anak remaja untuk

menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia.

Tahapan perkembangan masa dewasa selanjutnya adalah masa

dewasa akhir atau lansia. Usia dewasa akhir merupakan penutup dalam

rentang kehidupan seseorang (Hurlock, 1980). Dewasa ini, ilmuwan sosial

yang memiliki spesialisasi dalam mempelajari penuaan membagi tiga

kelompok lansia (Papalia, Olds, & Feldman, 2009):

1. Lansia muda

Lansia muda merupakan individu yang berada pada rentang usia 65

hingga 74 tahun yang biasanya masih aktif, sehat dan kuat.

2. Lansia tua

Lansia tua merupakan individu yang berada pada rentang usia 75

hingga 84 tahun
commit to user
library.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

3. Lansia tertua

Lansia tertua merupakan individu yang berada pada rentang usia

85 tahun keatas, lebih mungkin untuk rapuh dan renta serta

mengalami kesulitan untuk mengatur kehidupan sehari-hari

Tugas-tugas perkembangan tersebut pada dasarnya dapat dipenuhi

oleh individu. Tetapi, keterbatasan atau disabilitas fisik membuat individu

menjadi terhalang dalam memenuhi sebagian atau secara penuh tugas-tugas

perkembangan tersebut (Hurlock, 1980)

C. Wanita Penyandang Disabilitas

Penyandang disabilitas menurut Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas adalah setiap orang

yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan/atau sensorik

dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat

mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan

efektif dengan warga Negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Dermatoto

(dalam Tauda, Soedwiwahjono dan Putri, 2017) mengklasifikasikan tiga jenis

disabilitas, yaitu: 1) disabilitas fisik seperti tuna rungu, tuna daksa, tuna netra

dan tuna wicara; 2) disabilitas mental seperti gangguan tingkah laku atau

tunagrahita; 3) disabilitas fisik dan mental dimana penyandangnya memiliki

lebih dari satu jenis disabilitas.


commit to user
library.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

Sebagai negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD

1945, Indonesia menjamin setiap warga negara, baik laki-laki maupun wanita

mempunyai hak dan kedudukan yang sama, berhak untuk hidup,

mempertahankan hidup dan kehidupannya, serta berhak untuk memajukan

dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk pembangunan

masyarakat, bangsa dan negara. Hak tersebut dimiliki oleh setiap warga

negara tak terkecuali para penyandang disabilitas (Kementrian Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia [Kemenpppa RI],

2016)

Diperkirakan satu dari lima wanita hidup dengan disabilitas dan

prevalensi disabilitas sebenarnya lebih tinggi wanita jika dibandingkan dengan

pria (19,2% banding 12%). Faktor yang berkontribusi termasuk status

ekonomi dan sosial wanita, kekerasan gender dan praktek-praktek yang

berkaitan dengan diskriminasi gender (United Nation Women [UN Women],

2015). Berbagai macam perlakuan diskriminatif di tempat umum masih

banyak ditujukan kepada penyandang disabilitas terutama yang berjenis

kelamin wanita. Hal tersebut salah satunya ditunjukkan dengan tidak adanya

fasilitas umum yang representatif, kurangnya kesempatan untuk mendapatkan

pendidikan yang lebih tinggi, kurangnya fasilitas kesehatan dan sedikitnya

lapangan kerja yang tersedia bagi wanita penyandang disabilitas (Rahakbauw

& Salakory, 2018).

Stereotip yang masih diyakini oleh masyarakat umum hingga saat ini

adalah wanita merupakan makhluk yang emosional dan labil secara psikologis

dan hal tersebut kemudian memojokkan dan merugikan kaum wanita apabila
commit to user
library.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

dibandingkan dengan kaum laki-laki sehingga menghambat kaum wanita

untuk dapat berdiri sejajar dan berkompetisi dalam bebagai bidang dengan

dengan kaum laki-laki (Herdiansyah, 2016). Hal tersebut tidak luput dialami

oleh wanita penyandang disabilitas. Berbagai bentuk diskriminasi, kekerasan

yang berlapis juga dirasakan oleh kaum wanita penyandang disabilitas.

Diskriminasi tersebut bukan semata-mata karena identitas gendernya sebagai

wanita, namun juga karena wanita tersebut mengalami disabilitas (Haryono,

Kinasih, & Mas'udah, 2013).

Wanita dengan disabilitas mengalami penderitaan berlapis karena

kelompok tersebut harus menghadapi banyak proses penyesuaian terhadap

peristiwa yang dialami karena kemampuan tubuhnya tidak seperti dahulu lagi

dan gambaran negatif yang diberikan masyarakat bahwa Wanita disabilitas

tidak berdaya, sangat ketergantungan dengan individu lain, lemah, rentan dan

tidak mampu melakukan tugas. Banyak yang menderita depresi dan trauma

psikologis yang sulit untuk dilupakan (Thomson, 2002; Itriyati & Asriani,

2012)

Wanita dengan disabilitas juga harus rela ditinggalkan pasangan

karena stigma ketidakmampuan diri untuk melakukan aktivitas seksual dan

kemudian pasangan dari Wanita disabilitas tidak bertanggung jawab dalam

menghidupi keluarga yang ditinggalkannya. Sementara hal tersebut sulit bagi

Wanita disabilitas untuk bekerja diluar dalam rangka menghidupi kebutuhan

diri dan kebutuhan keluarganya. Wanita disabilitas membutuhkan banyak

bantuan dari lingkungan sekitar dan banyak membutuhkan bantuan finansial

commit to user
library.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

dalam memenuhi mobilitas dalam rangka menghidupi diri sendiri dan juga

keluarganya (Itriyati & Asriani, 2012).

D. Penyandang Disabilitas Dalam Sektor Pekerjaan

Bekerja merupakan kebutuhan dasar bagi pada penyandang disabilitas

(Purwanta, Hermanto, Sukinah, & Harahap, 2016). Makna bekerja bagi

penyandang disabilitas menurut Rokhim dan Handoyo (2015) adalah: 1)

eksistensi bagi diri; 2) usaha dalam rangka mengumpulkan modal; 3)

penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial; 4) penghasilan tambahan untuk

keluarga dan 5) sumber pendapatan utama bagi keluarga.

Rendahnya persentase penyandang disabilitas yang tidak masuk ke

pasar kerja disebabkan karena mayoritas penyandang disabilitas tidak cukup

memiliki semangat untuk masuk ke pasar kerja (discourage worker), ditandai

dengan tingginya tingkat inaktivitas. Tingkat inaktivitas penyandang

disabilitas berada pada angka 20,49%, yang berarti lebih tinggi apabila

dibandingkan dengan non-penyandang disabilitas yang hanya berada pada

angka 1,73%, dan jauh lebih tinggi pada penyandang disabilitas berat yang

berada pada angka 57,47% (LPEM UI, 2016).

Individu penyandang disabilitas perlu usaha lebih keras untuk

melakukan kegiatan sehari-hari apabila dibandingkan dengan individu normal

karena tidak bekerjanya salah satu bagian anggota tubuh pada individu

penyandang disabilitas (Nirwana, et.al., 2014). Penyandang disabilitas yang

memiliki karakter ketergantungan dengan individu lain adalah tunanetra dan


commit to user
library.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

tunadaksa. Kedua jenis disabilitas ini menyebabkan individu yang

menyandang mengalami kesulitan untuk melakukan mobilitas dengan mandiri

apabila dibandingkan dengan jenis disabilitas yang lain. Kesulitan dalam

melakukan mobilitas ini dikarenakan terdapat ketidaksempurnaan fungsi

penglihatan pada tunanetra dan fungsi salah satu organ tubuh pada tunadaksa

(Smart, 2012).

Disabilitas nampaknya merupakan sebuah beban bagi penyandangnya

untuk dapat bersaing dalam memasuki pasar tenaga kerja. Penyandang

disabilitas dengan kesulitan pendengaran atau wicara dan cedera tangan

cenderung lebih mungkin mendapatkan pekerjaan apabila dibandingkan

dengan penyandang disabilitas yang memiliki masalah mobilitas dan

disabilitas ganda (memiliki lebih dari satu jenis disabilitas) (LPEM UI, 2016).

Ketika memasuki dunia kerja individu dengan penyandang disabilitas

akan mengalami permasalahan yang berkaitan dengan penyesuaian diri,

dimana sebelumnya individu penyandang disabilitas berada di Balai

Rehabilitasi bersama para penyandang disabilitas yang lain, kemudian secara

tiba-tiba harus berhadapan dengan individu non-disabilitas. Kondisi tersebut

mendorong penyandang disabilitas untuk menyesuaikan diri supaya kebutuhan

penyandang disabilitas mendapatkan keterampilan kerja sebanding dengan

penerimaan sosial di tempat bekerja sehingga memungkinkan untuk

mendapatkan hasil yang diharapkan (Sayyidah, 2015).

Pemahaman yang salah terhadap tenaga kerja penyandang disabilitas

dapat diatasi dengan upaya pemberian pemahaman yang tepat pada

perusahaan dan karyawan tentang disabilitas agar menumbuhkan sense of


commit to user
library.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

disability di lingkungan kerja. Seluruh pihak harus mampu menyadari bahwa

penyandang disabilitas merupakan bagian dari keberagaman (diversity)

manusia dan memiliki hak asasi, sama halnya dengan perbedaan jenis

kelamin, warna kulit, suku, bangsa, ras dan agama (Poerwanti, 2017).

E. Tunanetra

1. Pengertian Tunanetra

Tunanetra adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan

kondisi individu yang memiliki gangguan atau hambatan fungsi indera

penglihatan dan diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu buta total (totally

blind) dan penglihatan lemah (low vision) (Mambela, 2018; Sholeh, 2015).

Individu dinyatakan sebagai tunanetra apabila setelah dilakukan usaha

perbaikan pada fungsi indera penglihatan ternyata ketajaman penglihatannya

tidak melebihi 20/200 atau luas pandangnya tidak melebihi 20 derajat

(Hallahan, Kauffman, & Pullen, 2009). Diperkirakan terdapat 253 juta

individu yang hidup dengan gangguan penglihatan. Dari total jumlah tersebut,

36 juta individu diantaranya mengalami buta total dan 217 juta individu

lainnya mengalami gangguan penelihatan dalam tingkatan sedang hingga berat

(WHO, 2017).

Sholeh (2015) mengemukakan bahwa individu yang mengalami

gangguan penglihatan dapat diketahui dengan kondisi sebagai berikut: 1)

kurangnya ketajaman penglihatan apabila dibandingkan dengan individu yang

memiliki penglihatan normal; 2) lensa mata dalam kondisi keruh atau

ditemukan cairan tertentu; 3) posisi mata yang sulit untuk dikendalikan oleh

commit to user
library.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

saraf otak dan 4) ditemukan kerusakan pada susunan saraf otak yang berkaitan

dengan pengaturan fungsi penglihatan.

Ketajaman penglihatan dapat diukur dengan Snellen Chart yang

terdiri dari berbagai ukuran huruf dengan indeks penglihatan. Apabila indeks

angka pada Snellen Chart menunjukkan angka 20/200, maka dapat dikatakan

bahwa individu tersebut mampu melihat huruf dari jarak 20 kaki, sementara

individu yang memiliki penglihatan normal mampu membaca huruf tersebut

dari jarak 200 kaki. Medan penglihatan merujuk pada luasnya daerah yang

dapat kita lihat pada saat tertentu yang dinyatakan dalam satuan derajat

(Hallahan, dkk., 2006; Mangunsong, 2009).

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa tunanetra adalah

individu yang fungsi penglihatannya mengalami hambatan penglihatan baik

yang fungsinya lemah (low vision) atau buta secara total (totally blind) dan

tidak berfungsi secara semestinya seperti individu yang memiliki penglihatan

normal sehingga menyebabkan permasalahan terkait produktivitas,

memperoleh pasangan hidup, pengasingan dalam lingkungannya serta hidup

selalu bergantung pada individu lain.

2. Klasifikasi Jenis Tunanetra

Tunanetra mengalami sebuah hambatan penglihatan yang dapat

diklasifikasikan menjadi beberapa jenis (Sholeh, 2015; Somantri, 2006;

Oklahoma State Department of Education, 2017). Klasifikasi tersebut

meliputi:

a. Penglihatan lemah (low vision)

commit to user
library.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

Low vision merupakan ketidakmampuan individu dalam membaca

dengan jarak pandang normal dan tidak dapat dibantu dengan

kacamata atau lensa kontak. Individu yang memiliki penglihatan

lemah hanya mampu membaca headline pada surat kabar. Ciri-ciri

umum individu yang memiliki penglihatan lemah (low vision)

adalah sebagai berikut (Persatuan Tunanetra Indonesia [Pertuni],

2013):

1) Menulis dan membaca dalam jarak dekat

2) Hanya dapat membaca huruf berukuran besar

3) Memicingkan mata atau mengerutkan dahi ketika melihat

di bawah cahaya yang terang

4) Terlihat tidak menatap lurus ke depan ketika memandang

suatu objek

5) Kondisi fisik mata tampak lain apabila dibandingkan

dengan individu yang memiliki mata normal seperti

berkabut atau berwarna putih

b. Buta secara keseluruhan (totally blind)

Menurut Hallahan dan Mangunsong (dalam Brebahama &

Listyandini, 2016), individu yang dinyatakan buta secara

keseluruhan (totally blind) apabila ketajaman penglihatannya

kurang dari jarak 20 kaki, ataupun luas area penglihatannya kurang

dari 20 derajat.

Selain itu, tunanetra juga dapat dikategorikan berdasarkan waktu

terjadinya, yaitu: 1) tunanetra yang terjadi sejak lahir dan 2) terjadi setelah
commit to user
library.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

lahir. Sedangkan berdasarkan kemampuan daya penglihatan tunanetra dapat

dikategorisasikan menjadi: 1) tunanetra ringan; 2) tunanetra agak berat dan 3)

tunanetra berat (Mambela, 2018).

3. Penyebab Terjadinya Tunanetra

Menurut survei yang dilakukan oleh WHO (2017), penyebab terbesar

terjadinya gangguan penglihatan dan kebutaan di berbagai negara adalah

katarak (47,9%). Penyebab lainnya adalah glukoma (12,3%), degenerasi

macula karena usia (8,7%), kekeruhan kornea (5,1%), retinopati diabetik

(4,8%), kebutaan masa kecil (3,9%), trakoma (3,6%) dan onchocerciasis

(0,8%).

Tunanetra yang terjadi sejak lahir pada umumnya disebabkan karena

masalah keturunan dan gangguan pertumbuhan sejak dalam kandungan.

Sementara tunanetra yang terjadi setelah lahir pada umumnya disebabkan

karena kerusakan tatanan saraf mata pada waktu hamil dan kelahiran ibu

menderita penyakit gonorrhea, trachoma, kecelakaan yang berhubungan

dengan mata (Mambela, 2018).

4. Dampak Menjadi Penyandang Tunanetra

Dampak atas keterbatasan fungsi indera penglihatan sangat besar

karena individu banyak menerima informasi yang sumbernya dari stimulus

visual. Hambatan yang dimiliki antara lain: 1) kesulitan orientasi dan

mobilitas, 2) sukar melihat objek yang ada di hadapan individu, 3)

ketidakmampuan membaca dan menulis, 4) hambatan interaksi sosial, 5)


commit to user
library.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id

melaksanakan aktivitas sehari-hari, hingga 6) kesulitan untuk mencari

pekerjaan (Brebahama & Listyandini, 2016; Mangunsong, 2009).

Sebagai dampak atas hilangnya fungsi indera penglihatan, para

penyandang tunanetra umumnya berusaha memaksimalkan fungsi indera yang

lain seperti indera peraba, penciuman, pendengaran dan lain-lan, sehingga hal

tersebut menjadikan penyandang tunanetra umumnya memiliki kemampuan

luar biasa misalnya di bidang musik atau ilmu pengetahuan (Mambela, 2018)

Dalam beberapa kasus, individu penyandang tunanetra mengalami

kehilangan harga diri, depresi dan kesepian. Penyandang tunanetra sering

terisolasi dari teman sebaya di masyarakat. Diperlukan dukungan baik dari

segi sosial dan teknologi agar penyandang tunanetra mampu terintegrasi

dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat (Gargiulo, 2012).

Permasalahan utama yang dialami individu yang mengalami tunanetra

di usia dewasa awal meliputi ketidakmampuan untuk bekerja dan hidup

produktif, memperoleh pasangan hidup, diasingkan dan akan selalu

bergantung pada individu lain (Harimukthi & Dewi, 2014).

Penyandang tunanetra yang berada pada tahapan perkembangan

dewasa awal dituntut untuk memenuhi tugas perkembangan yang ada. Di sisi

lain, mereka menghadapi tantangan yang besar dalam melaksanakan tugas

perkembangannya. Kondisi tersebut memberikan pengaruh terhadap kondisi

mental penyandang tunanetra (Brebahama & Listyandini, 2016). Hal tersebut

seperti yang diutarakan oleh Mappiare (1983) bahwa orang dewasa yang

mengalami ketidaksempurnaan dalam menyesuaikan diri di lingkungan sosial

commit to user
library.uns.ac.id 39
digilib.uns.ac.id

akan merasa janggal dan tidak seimbang dan kemudian mengarahkan individu

tersebut kepada perasaan tidak bahagia.

Penyandang tunanetra yang kehilangan fungsi penglihatan saat usia

dewasa biasanya memiliki keterampilan kerja yang sudah dipelajari pada saat

sebelum kehilangan fungsi penglihatan. Penyandang tunanetra perlu diberikan

pembinaan dan pelatihan kerja oleh layanan rehabilitasi serta didukung

dengan fasilitas kerja yang memenuhi aksesibilitas bagi penyandang tunanetra

agar mampu mandiri di tempat kerja (Gargiulo, 2012)

F. Kewirausahaan

1. Pengertian Kewirausahaan dan Wirausahawan

Kewirausahaan adalah suatu cara berpikir, menelaah dan bertindak

yang berdasar pada peluang bisnis, pendekatan secara holistik serta

kepemimpinan yang imbang (Timmons & Spinelli, 2008). Drucker (1994)

mendefinisikan kewirausahaan sebagai kemampuan menciptakan sesuatu yang

baru dan berbeda dari sebelumnya. Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif,

inovatif dan jeli dalam melihat peluang dan selalu terbuka untuk setiap

masukan dan perubahan yang bersifat positif sehingga membawa pada

pertumbuhan nilai bisnis (Saragih, 2017). Kewirausahaan didefinisikan

sebagai kegiatan yang melibatkan penemuan, evaluasi dan eksploitasi peluang

untuk memperkenalkan barang dan jasa yang baru, cara mengatur pasar,

proses dan bahan mentah melalui upaya pengorganisasian yang sebelumnya

tidak ada (Venkataraman, 1997; Shane & Venkataraman, 2000)

commit to user
library.uns.ac.id 40
digilib.uns.ac.id

Individu yang mengembangkan produk baru atau inovasi baru serta

membangun konsep bisnis yang baru dinamakan wirausahawan (Aprilianty,

2012). Wirausahawan adalah individu yang terlibat di dalam kegiatan yang

mereka rancang sendiri (Filion, 2008). Individu yang menjadi wirausahawan

merupakan individu yang mengenali potensi diri dan berusaha

mengembangkannya guna menangkap peluang serta mengorganisasi usaha

dalam rangka mewujudkan cita-cita (Saragih, 2017). Wirausahawan

(entrepreneur) secara sederhana merupakan individu yang berjiwa berani

mengambil risiko untuk membuka usaha dalam berbagai kesempatan dan

bermental mandiri tanpa memiliki rasa takut atau cemas dalam menghadapi

kondisi yang penuh ketidakpastian (Kasmir, 2007).

Dari berbagai penjelasan terkait definisi kewirausahaan dari berbagai

tokoh diatas, maka di dalam penelitian ini peneliti mengacu pada definisi yang

dikemukakan oleh Saragih (2017) bahwa kewirausahaan merupakan

kemampuan kreatif, inovatif dan jeli dalam melihat peluang dan selalu terbuka

untuk setiap masukan dan perubahan yang bersifat positif sehingga membawa

pada pertumbuhan nilai bisnis. Kemudian dalam penelitian ini, peneliti

mengacu pada definisi wirausahawan yang dikemukakan oleh Kasmir (2007),

yaitu individu yang berjiwa berani mengambil risiko untuk membuka usaha

dalam berbagai kesempatan dan bermental mandiri tanpa memiliki rasa takut

atau cemas dalam menghadapi kondisi yang penuh ketidakpastian.

2. Proses Kewirausahaan

Proses kewirausahaan menurut Hisrich, dkk. (dalam Suharti dan

Untoro, 2016) merupakan sebuah upaya untuk menciptakan sesuatu yang


commit to user
library.uns.ac.id 41
digilib.uns.ac.id

berbeda, memiliki nilai tambah melalui pengorbanan, waktu dan tenaga

dengan berbagai risiko finansial, psikis dan sosial serta mendapat penghargaan

berupa keuntungan dan kepuasan pribadi dari hasil yang diperoleh.

Secara umum tahap-tahap dalam proses kewirausahaan menurut

Suhermini dan Safitri (2010) adalah:

a. Tahap memulai usaha

Dalam tahapan memulai usaha, individu mempersiapkan semua

yang diperlukan dalam memulai usaha, diawali dengan melihat

peluang usaha baru yang memungkinkan untuk dilakukan eksekusi,

akusisisi atau melakukan franchising. Dalam tahapan ini individu

yang hendak memulai usaha memilih jenis usaha yang akan

dilakukan di waktu yang akan datang.

b. Tahap melaksanakan usaha

Setelah memulai usaha, individu yang bertindak sebagai pelaku

usaha mengelola berbagai aspek yang berkaitan dengan bidang

usaha yang sedang dijalaninya seperti pembiayaan, sumber daya

manusia, kepemilikan, risiko, hingga evaluasi atas usaha yang

sedang dijalankan saat ini.

c. Tahap mempertahankan usaha

Di tahapan ini, individu pelaku usaha melakukan analisis

perkembangan usaha berdasarkan hasil yang telah dicapai untuk

melakukan tindak lanjut sesuai dengan kondisi yang dihadapi.


commit to user
library.uns.ac.id 42
digilib.uns.ac.id

d. Tahap mengembangkan usaha

Setelah individu mampu untuk mempertahankan usaha, apabila

hasil yang didapatkan dapat bertahan atau bahkan mengalami

sebuah perkembangan maka salah satu pilihan yang dapat

dilakukan adalah perluasan dan pengembangan dari usaha yang

telah dipertahankan hingga saat ini.

3. Faktor Pendorong Keberhasilan Wirausaha

Suryana (2014) menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor yang

mempengaruhi keberhasilan individu dalam menjalankan wirausaha, yaitu:

a. Kemampuan dan kemauan

Individu perlu memiliki kemampuan yang dilengkapi dengan

kemauan untuk menjalankan wirausaha agar mendapat

keberhasilan dalam menjalankan wirausaha. Kemampuan tanpa

dilengkapi dengan kemauan tidak akan membawa kepada

kesuksesan, begitu juga sebaliknya.

b. Kerja keras dan tekad yang kuat

Kerja keras perlu diimbangi dengan tekad yang kuat untuk menjadi

wirausahawan yang berhasil.

c. Kesempatan dan peluang

Peluang ada jika individu menciptakan peluang itu sendiri, bukan

mencari-cari atau menunggu peluang yang datang.

commit to user
library.uns.ac.id 43
digilib.uns.ac.id

Sedangkan menurut Rauch dan Frese (2006), faktor yang

mempengaruhi kesuksesan wirausaha dapat diidentifikasi melalui lima faktor,

yaitu:

a. Lingkungan

Dukungan sosial yang diberikan oleh lingkungan akan memberikan

rasa lega karena individu merasa diperhatikan, mendapat masukan

yang dapat mendukung keinginannya (Primandaru, 2017).

b. Kepribadian

Menurut Alma (2010), wirausahawan yang berhasil adalah yang

mempunyai kepribadian unggul, dalam keadaan apapun tetap

mampu berdiri atas kemampuan sendiri untuk menolong dirinya

keluar dari kesulitan yang dihadapi termasuk mengatasi

kemiskinan tanpa bantuan individu lain.

c. Tujuan

Lambing dan Kuehl (1999) menyatakan bahwa tujuan yang ingin

dicapai oleh individu dalam berwirausaha dipengaruhi oleh

kebutuhan akan berprestasinya yang mendorong untuk

menghasilkan yang terbaik dan biasanya memiliki inisiatif serta

keinginan yang kuat untuk mengungkapkan ide-ide dalam

pikirannya, menyampaikan gagasan demi mencapai kesuksesan.

d. Sumber daya manusia

Beberapa kepribadian wirausaha lainnya seperti percaya diri,

orientasi pada hasil, kepemimpinan dan kerja keras akan

commit to user
library.uns.ac.id 44
digilib.uns.ac.id

mendukung terbentuknya sumber daya manusia yang mampu

mengelola wirausaha (Aprilianty, 2012).

e. Strategi

Persaingan era globalisasi menuntut wirausahawan mampu untuk

menciptakan strategi yang unggul. Strategi dan program yang

dijalankan tanpa diimbangi dengan kajian yang matang tidak akan

memberikan hasil yang optimal bagi pertumbuhan wirausaha

(Nurseto, 2004)

4. Karakteristik Wirausahawan

Wirausahawan yang berhasil mempunyai standar prestasi (n Ach)

yang tinggi dalam dirinya (Suhermini & Safitri, 2010). Potensi tersebut dapat

dilihat sebagai berikut.

a. Kemampuan menciptakan sebuah inovasi,

b. Toleransi atas keambiguan yang terjadi,

c. Keinginan diri yang besar untuk dapat berprestasi,

d. Kemampuan merencanakan suatu hal secara realistis,

e. Mempunyai sifat kepemimpinan yang berorientasi terhadap tujuan,

f. Objektif dalam memandang permasalahan,

g. Tanggung jawab pribadi,

h. Kemampuan beradaptasi dengan lingkungan,

i. Mampu bertindak sebagai organisator dan administrator, dan

j. Memiliki komitmen yang tinggi dalam diri.

Menurut Wijayanto (2013), wirausahawan dapat dicirikan dengan

karakteristik mempunyai hasrat selalu bertanggung jawab bisnis dan sosial,


commit to user
library.uns.ac.id 45
digilib.uns.ac.id

komitmen terhadap tugas yang dikerjakannya, memilih risiko yang moderat,

merahasiakan kemampuan untuk mencapai kesuksesan, cepat dalam melihat

peluang yang ada, berorientasi pada masa depan, melihat kembali prestasi

yang dihasilkan di masa lalu, haus terhadap uang, kompetensi dalam

berorganisasi, toleransi terhadap ambisi dan lebih fleksibel dalam mencari

pemecahan masalah.

Selain itu, terdapat lima karakteristik wirausahawan unggulan

(Nurseto, 2004), yaitu:

a. Berani mengambil risiko

Berani mengambil risiko berarti berani memulai sesuatu yang

penuh dengan ketidakpastian dan risiko setelah melalui

perhitungan dengan cermat.

b. Menyukai tantangan

Wirausahawan memandang tantangan bukan sebagai masalah,

namun sebagai perubahan yang terus terjadi di dalam kehidupan

dan menjadikannya motivasi untuk maju kedepan.

c. Memiliki daya tahan yang tinggi

Kemampuan untuk bangkit dan tidak mudah putus asa sangat

diperlukan bagi seorang wirausahawan untuk dapat bertahan

menjalani usahanya.

d. Memiliki pandangan jauh ke depan

Apapun yang dilakukan oleh wirausahawan memiliki tujuan jangka

panjang dan target untuk jangka waktu tertentu.

commit to user
library.uns.ac.id 46
digilib.uns.ac.id

e. Berusaha untuk memberikan yang terbaik

Wirausahawan akan memberikan sesuatu yang terbaik bagi

lingkungan sekitar dengan segala potensi yang dimiliki di dalam

dirinya. Apabila dirasa kurang, maka hal yang dapat dilakukan

adalah merekrut individu lain yang lebih berkompeten agar dapat

memberikan yang terbaik bagi pelanggan.

5. Penyandang Disabilitas dalam Sektor Kewirausahaan

Kewirausahaan merupakan proses yang bersifat dinamis untuk

menciptakan nilai tambah atas barang dan jasa serta kemakmuran individu

atau organisasi (Saragih, 2017). Proses kewirausahaan menuntut individu

untuk mau mengambil risiko dengan perhitungan yang matang sehingga

mampu untuk mengatasi rintangan dalam rangka mencapai sebuah kesuksesan

(Aprilianty, 2012).

Sebuah revieu tentang 14 negara berkembang ditemukan bahwa,

penyandang disabilitas lebih besar kemungkinan untuk mengalami kemiskinan

apabila dibandingkan dengan non-disabilitas. Penyandang disabilitas

cenderung kurang begitu baik dalam hal pendidikan, kondisi hidup, konsumsi,

kesehatan dan pekerjaan (United Nations Emergency Children’s Fund

[UNICEF], 2013).

Karena penyandang disabilitas mengalami kesulitan dalam mencari

lapangan pekerjaan, maka alternatif pemecahan masalah yang tepat adalah

berwirausaha (Syamsi, 2010; Winasti, 2010). Motivasi berwirausaha pada

penyandang disabilitas adalah untuk menafkahi keluarganya, menjalin relasi

commit to user
library.uns.ac.id 47
digilib.uns.ac.id

sosial, meningkatkan kesejahteraan, harga diri dan keinginan untuk dapat

setara dengan individu normal (Winasti, 2010).

Penyandang disabilitas ringan maupun berat cenderung bekerja

sebagai wiraswasta, wiraswasta dengan pekerja sementara/tidak dibayar dan

pekerja tidak dibayar/pekerja keluarga (International Labour Organisation

[ILO], 2017). Keyakinan yang kuat ditumbuhkan dari seseorang yang

memiliki kepribadian kuat dan tahan dalam menghadapi stresor. Oleh karena

itu, penyandang disabilitas yang berwirausaha sangat perlu untuk memiliki

kemampuan menangani psikisnya sebelum mampu untuk berperan sebagai

wirausahawan yang tangguh (Septianingsih, 2014).

G. Batasan Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian mengenai

dinamika ketangguhan (hardiness) pada wanita penyandang disabilitas

tunanetra yang menjalankan wirausaha. Disabilitas merupakan hilangnya

kesempatan individu untuk dapat berpartisipasi dikarenakan hilangnya fungsi

fisik. Hal tersebut menghambat penyandang disabilitas untuk dapat melakukan

aktivitas sehari-hari.

Penyandang disabilitas menerima berbagai stereotip buruk dari

lingkungan sekitar berupa diskriminasi hak asasi manusia, kurang mampu

untuk produktif, tidak berdaya, ketergantungan dengan individu dan

lingkungan sekitar. Stereotip negatif menyebabkan penyandang disabilitas

putus asa, tidak berharga, tidak percaya diri, rendah diri, cemas dan khawatir

yang kemudian akan menghambat proses hubungan interpersonal.

commit to user
library.uns.ac.id 48
digilib.uns.ac.id

Penyandang disabilitas mempunyai hak yang sama dengan individu

pada umumnya, salah satunya adalah mendapatkan pekerjaan yang layak.

Tetapi pada kenyataannya hak penyandang disabilitas, terutama dalam

mendapatkan pekerjaan yang layak masih belum terpenuhi seutuhnya.

Mayoritas penyandang disabilitas masih terserap dalam sektor pekerjaan kasar

apabila dibandingkan dengan individu non-penyandang disabilitas. Salah satu

alternatif pemecahan masalah adalah wirausaha.

Wirausaha merupakan salah satu aspek penting dalam meningkatkan

perekonomian suatu negara. Di Indonesia wirausaha mengalami peningkatan

dari angka 1,67 % pada tahun 2013-2014 menjadi 3,1 % pada tahun 2017.

Tetapi peningkatan jumlah wirausahawan wanita masih belum merata. Hal

tersebut diakibatkan oleh budaya patriarki dimana wanita memiliki tanggung

jawab seputar rumah tangga dan mengurus anak.

Stereotip umum yang ditujukan pada wanita adalah makhluk yang

emosional dan labil secara psikologis. Stereotip tersebut kemudian

menghambat wanita dalam berkompetisi dengan pria. Hal tersebut semakin

bertambah pada waita penyandang disabilitas. Diskriminasi tidak hanya terjadi

pada aspek gender, melainkan juga terjadi karena disabilitas yang dialami. Hal

tersebut membuat wanita penyandang disabilitas menjadi lebih sulit dalam

mendapatkan pekerjaan jika dibandingkan dengan pria penyandang disabilitas.

Maka dari itu dibutuhkan kepribadian yang tangguh (hardiness). Untuk

menjadi individu yang tangguh, perlu melalui proses terlebih dahulu. Setelah

melalui proses ketangguhan (hardiness process), diharapkan wanita

penyandang disabilitas menjadi lebih yakin dalam berpikir kreatif dalam


commit to user
library.uns.ac.id 49
digilib.uns.ac.id

memecahkan masalah kehidupan dan membantu untuk tetap bertahan dalam

kondisi yang dialami.

H. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Surakarta. Hal ini dikarenakan

menurut Dinas Sosial (dalam Tauda, dkk., 2017), kota Surakarta adalah salah

satu kota yang memiliki jumlah penyandang disabilitas terbanyak yaitu

sejumlah 1.474 orang. Kemudian kota ini menjadi salah satu pusat rehabilitasi

difabel di Indonesia termasuk dalam nominasi kota ramah difabel dengan

urutan 15 besar dari 115 negara.

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 50

I. Kerangka Berpikir Penelitian


Individu yang
Tidak mampu kurang efektif
Tekanan
mengatasi dalam
hambatan Ketegangan kehidupan
dalam sehari-hari
kehidupan

Hambatan dalam Proses menjadi individu


kehidupan yang tangguh (hardy
sehari-hari individual)
Wanita
Hambatan Hardy Attitudes
Penyandang Menjalankan  Commitment
Fisik
Disabilitas wirausaha  Control
Tunanetra
Hambatan  Challenge
Psikologis
Mampu Hardy Coping
Individu yang
mengatasi  Situational
Hardy Attitudes
Hambatan tangguh
hambatan  Recontruction
Commitment
Sosial (Hardy
dalam  Focusing
Control
 Compensatory
Challenge Individual)
kehidupan
Self-Improvement

Hardy Social
Support

Hardy Health
Practices
library.uns.ac.id 51
digilib.uns.ac.id

J. Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini akan menggali lebih dalam mengenai bagaimana

dinamika proses ketangguhan (hardiness) wanita penyandang disabilitas

tunanetra yang menjalankan wirausaha. Berdasarkan penjelasan pada bab

sebelumnya, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yang akan dijawab

dalam penelitian yang dilakukan, yaitu:

1. Apa saja motif yang mendasari wanita dewasa tunanetra dalam

menjalankan wirausaha?

2. Bagaimana riwayat tunanetra pada setiap subjek penelitian?

3. Apa saja hambatan yang dialami oleh setiap subjek dalam

menjalankan wirausaha? (Terkhusus hambatan psikologis)

4. Bagaimana fenomena dinamika ketangguhan (hardiness) pada

wanita penyandang disabilitas tunanetra yang menjalankan

wirausaha? Bagaimana proses ketangguhan (hardiness) yang

dilalui oleh setiap subjek penelitian?

commit to user

Anda mungkin juga menyukai