Resensi Buku Selimut Debu
Resensi Buku Selimut Debu
Identitas Buku
Afghanistan. Tanpa disadari, nama negara tersebut sudah familiar kita dengar. Tentu
informasi yang berkaitan dengan Afghanistan tak jauh-jauh dari peperangan, bom
meledak, dan rasa aman yang berdampingan dengan ketakukan atas ancaman
keselamatan diri. Menarik jauh benang sejarah masa lampau. Afghanistan adalah negara
yang penuh sejarah tinggi. berbagai peninggalannya menjadi bukti masa lampau di
negara ini pernah tercipta kehidupan yang mengagumkan. Peninggalan-peninggalan
masa lampau Sebagian besar kontras dengan cerita ataupun catatan yang pernah ada.
Sebagian kecil bangunan peninggalan masa lampau masih terawatt, sisanya hilang dan
rusak tergerus tangan-tangan manusia.
Agustinus Wibowo membawa kita pada dimensi yang lain tentang Afghanistan. Tak
menonjolkan cerita perang, catatan perjalanannya mengulas sudut pandang berbeda
tentang kehidupan masyarakat Afghanistan. Di buku Selimut Debu, kita diajak
membayangkan tempat yang bernama Bamiyam. Konon di sini pernah ada patung
Buddha yang berukuran raksasa. Hanya saja, konflik di Afghanistan membuat
peninggalan sejarah tersebut hancur. Tinggal puing-puingnya saja.
Agustinus mengunjungi semua lokasi penting di Afghanistan. Mulai dari Kabul: ibu
kota yang gemerlap. Bamiyam: kota suci peninggalan Buddha. Kandahar: wilayah
konflik markas Taliba. Wakhan: lembah terkucil yang mimpi hidup di Tajikistan. Serat:
gerbang mengadu nasib ke Iran nan Makmur. Lalu Provinsi Ghor: jantung negeri yang
justru mustahil ditinggali. Juga masih banyak tempat-tempat lain yang dikunjungi
Agustinus.
Agustinus juga berusaha mengenal setiap penghuni Afghanistan. Mulai dari penduduk
Kabul, hingga pendukung Talibab, pejuang gerilya, tentara Amerika, juga para ekpatriat.
Dia juga menyelami setiap suku di negeri miskin ini. Mulai dari Hazara yang berwatak
keras dan sering memberontak. Pasthun, yang konserfatif dan patuh adat, basis Taliban.
Ismaili di Utara yang cenderung bebas dan pro komunis. Wakhi saudara orang-orang
Chapursan di Pakistan.
Agustinus terus berpindah untuk membuka tabir Afghanistan. Meski ia tahu negeri ini
tak pernah aman. Bisa saja Taliban menculiknya di siang bolong. Bom pun meledak
tanpa kenal waktu, tak pula memilih lokasi. Ia bisa mati sia-sia menginjak ranjau kapan
pun. Ancaman itu pula yang dirasakan oleh setiap penghuni Afghanistan.
Salah satu kalimat epic yang Agustinus tuliskan ialah “Di sini semua mahal, yang
murah cuma satu: nyawa manusia” - Agustinus
Kesimpulan