Kelas : B
NIM : 122011133062
Kura-Kura Berjanggut, dari judulnya saja sudah menggelitik minat untuk membaca.
Kenapa pula judulnya kura-kura berjanggut? Memang bisa? Saya pikir, kura-kura berjanggut
merupakan novel yang ditulis dengan tokoh hewan atau cerita fabel, dilihat dari judulnya
yang membawa nama hewan. Namun saya salah besar, karena tokoh-tokoh di novel ini
adalah manusia. Kura-kura berjanggut adalah novel yang tergolong baru, terbit tahun 2018
dengan tebal 960 halaman, namun sudah mampu menyabet penghargaan Kustala Sastra
Judulnya sudah menggelitik hati, isinya jauh lebih menggelitik lagi. Sebagian besar
latar novel ini terjadi di Aceh dengan kisaran waktu penghujung abad ke-16 hingga
permulaan abad ke-21, meskipun begitu Azhari Aiyub mampu menggambarkan realitas yang
terjadi di Aceh. Beliau mampu memikat para pembaca dengan penyajian yang sempurna,
ibarat produk yang dibeli sesuai dengan deskripsi penjual. Buku ini mampu membawa kita ke
masa yang jauh, fantasi kita dibawa mengawang dengan sesuatu yang tidak pernah kita
bayangkan sebelumnya. Novel ini dibuat dalam kurun waktu 12 tahun, menyajikan
muslihat di antara para pengkhianat, nakhoda Zeeland gila, ulat merica, agama yang memuja
kerang yang lebih tua ketimbang alam semesta, adu gajah sampai mati, wangsa pemburu
kedatangan bangsa Perancis ke Aceh yang diterima dengan baik oleh Sultan Nuruddin.
Menurut sejarah, Perancis sudah tiga kali mencapai perairan Aceh. Ekspedisi pertama
dipimpin oleh Jenderal Frotte de la Bardeliere pada 1602. Ia menghadap sultan Ala ad-Din
Ri’ayat Syah dan memperoleh izin untuk berdagang. Dengan demikian proses kedatangan
menjadi Sultan. Saya mencari-cari nama Sultan Nuruddinsyah, namun dalam situs peramban
web tidak ditemukan. Saya juga bertanya kepada guru sejarah saya zaman SMA, pun guru
saya tidak tahu menahu dengan nama sultan di atas. Bisa disimpulkan bahwa nama sultan
diatas adalah fiksi. Meskipun begitu, guru saya menyetujui bahwa ada kesamaan proses
Jujur saja, untuk novel setebal 960 halaman novel ini sangat menarik, berbobot, dan
berkelas. Saya tidak mengagung-agungkan novel ini, karena ada beberapa kerancuan sejarah
dimana Ujud yang dalam sejarah merupakan raja Johor yang menyerang Aceh pada zaman
pemerintahan Iskandar Muda. Iya, genrenya memang fiksi tapi karena mengangkat sejarah
Aceh sebagai latar belakangnya, otomatis membingungkan pembaca yang paham akan
sejarah.
Tak ayal pula, buku ini juga menjadi desau angin sejuk bagi para peminat buku
bacaan yang memiliki unsur sejarah namun berbalut estetika di dalamnya. Kadang-kadang,
saya bingung dengan bahasa yang digunakan, maklum membaca buku pelajaran terutama
Sejarah saja saya menggerutu lebih-lebih lagi buku fiksi dibalut dengan sejarah. Meskipun,
saya lahir dan besar di Sumatera, tentu adat dan istiadat setiap daerah di Sumatera itu
berbeda. Aksen bicara masyarakat Aceh cenderung unik, terutama masyarakat Gayo. Sedikit
memiliki cengkok dan sangat kental terdengar saat mereka bernyanyi. Lain hal dengan
Sumatera Selatan, tempat saya tinggal. Aksennya cenderung cepat, lantang, keras. Bila ditarik
dari segi sejarah, kerajaan di Sumatera memiliki hubungan yang sangat kental dengan
kerajaan di pulau Jawa, terutama kerajaan Sriwijaya. Tak heran bila dari segi bahasa,
Sumatera dan Jawa beda tipis. Hanya saja, bahasa Sumatera yang di adaptasi dari bahasa
Jawa sendiri jarang digunakan. Lebih sering terdengar bahasa percakapan dibanding bahasa
halus.
Kembali lagi ke buku ini, saya sangat terkejut saat awal membaca dengan jalur cerita
yang lompat-lompat seperti katak. Bingung, pasti tapi saya berusaha menikmati buku itu
sampai selesai. Buku ini saat tidak sengaja jatuh ke lantai, membuat meringis sebab sakit
bukan main. Dari segi keseluruhan, mengabaikan kebenaran sejarahnya, buku ini
sangat-sangat menyenangkan untuk dibaca. Membutuhkan usaha yang lebih memang, tapi
sebanding dengan buku yang sangat memanjakan diri untuk terus membaca dan membaca
lagi.
● Data Buku
Penerbit : Bananaa