Anda di halaman 1dari 83

SKRIPSI

PROSES DIVERSI DALAM PENYELESAIAN PERKARA


TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN ANAK
(Studi Kasus di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Gowa
Tahun 2015-2016)

OLEH
CAHYADI
B 111 12 666

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS
HASANUDDIN MAKASSAR
2018
HALAMAN JUDUL

PROSES DIVERSI DALAM PENYELESAIAN PERKARA


TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN ANAK
(Studi Kasus di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Gowa
Tahun 2015-2016)

SKRIPSI

Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam rangka penyelesaian studi


Sarjana Departemen Hukum Pidana
Program Studi Imu Hukum

disusun dan diajukan oleh:

CAHYADI
B 111 12 666

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS
HASANUDDIN MAKASSAR
2018
PENGESAHAN ÄKRIPSI

PROSES DIVERSI DALAMPENYELESAIAN PERKARA


TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN ANAK
(Studl Kasus Di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Gowa Tahun 2015-2016)

Dlsueun dan diajukan oieh

CAHYADI
B111 12 sg6

Telah dipertahankan di Hadapan Panitia Ujian Skripsi yang Dibentuk


dalam Rangka Penyelesaian Studi Program Sarjana
Departemen Hukum Pidana Program Studi llmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
pada HariJumat 26 Januari 2018
dan Dinyatakan Lulus ¡

Panitia Ujian

&okretaris

Dr. Syamsuddin Muchtar. S.H.. M.H. Dr. Ni. Haeranah, S.H..M.H.


NIP. 19831024 198903 1 002 NIP. 196g1212 199103 2 002

A.n. Dekan
Wakil Dekan Bidan Akademik

Prof. . Ahmadl Mi . S.H..M.H.


NIP. 19610607 108601 1 003
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa Skripsi mahasiswa:

Nama CAHYADI
No. Pokok B 111 12 666
Bagian Hukum Pidana
Judul "Proses Diversi dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana yang
dilakukan Anak (Studi Kasus di wiìayah Hukum Kepolisìan Resor
Gowa Tahun 2015-2016)”

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi di Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin Makassar.

Makassar, Desember 2017

Menpetahui,

Pembimbing I, Pembimbing I t

Dr. HJ Haeranah. S.H.,M.H.


NIP. 19661212 199103 2 D02

Or. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H.


NIP. 19631024 198903 1 002
KE MF.NT F.R IAN RISKT, TE KNOLOG I LïAN I'E J"íDI DI KAN TI GG 1
UN I Vxitsi rAs HASAn UDDI N
, J FA K U LTAS LI U KU
J I. Perintis Fien4 erdekaan K v1.10 Rlakassar 90245 Tel ›/fax : ț U4 l l i584586,? 8 7219, E-mai 1:h uku rn Ep un has.a:. -

PERSETUJUAN MENEAI1°UH U.HAN SKRIl'SI


Diterangkan bah wa skrips i mahas iswa

CA H YA D1
H I 1 1 1 2666
hm ti Hu kuiii
Bagian H msnm Pidana
J tid lit S kri psi Proscs Divci si I3alaifi Pen}'elesni«n P i kai'a Tindak Piclana Y:tng
Ui Jak rlkan Anak (Strid i Kasus Di \\'I Ia}’ah Huktinz Keçol isïan
Resoi Go»a Tahu n OU I 5-20 I ó )

\ Iemen uhi syarat rintri k diajtikan daïam rij ibn sï‹i-i psi sel›aga i rij ian zkhi i pi ogi'am sttidi.

akassai-, Janriari 20 ï

Lli'. A h nacï ( Firm.S L(..M H I P. I 9ó 10607 I 8ó 0 1 1 003


ABSTRAK

Cahyadi (B 11112666), Proses Diversi dalam Penyelesaian Perkara Tindak


Pidana yang dilakukan Anak (Studi kasus di Wilayah Hukum Kepolisian Resor
Gowa Tahun 2015-2016), dibimbing oleh Syamsuddin Muchtar selaku
Pembimbing I dan Hj. Haeranah Selaku Pembimbing II.

Metode penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian normatif empiris, yaitu
menggunakan pendekatan perundang-undangan (satute approach) dan
pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan untuk
menelaah semua Undang-Undang dan regulasi khususnya yang berkaitan
dengan diversi. Pendekatan kasus dengan menelaah kasus-kasus yang
berkaitan dengan anak yang berkonflik dengan hukum yang diselesaikan
melalui diversi.
Penulis berkesimpulan bahwa pelaksanaan diversi di Wilayah Hukum Polres
Gowa belum terlaksana secara optimal. Dalam mengupayakan diversi, aparat
kepolisian dari Polres Gowa masih mengalami beberapa hambatan yakni
terbatasnya waktu yang diberikan dalam mengupayakan diversi, kesulitan
menghadirkan para pihak yang terkait, terbatasnya jumlah penyidik anak yang
tersedia sehingga semua perkara yang melibatkan anak ditangani oleh pihak
Polres dan kurangnya kesadaran pihak korban terkait diversi sehingga menolak
adanya proses diversi yang diupayakan.

Polres Gowa perlu melakukan pembenahan SDM khususnya dalam menambah


personil yang dapat diikutkan dalam pelatihan teknis tentang peradilan anak.
Personil yang dilibatkan tidak hanya mereka yang ditugaskan pada Polres,
melainkan juga pada Polsek di Wilayah Hukum Polres Gowa, sehingga perkara
anak tidak lagi terpusat di Polres, tetapi juga dapat diselesaikan di tingkat
Polsek.

Kata Kunci:
Diversi, Tindak Pidana, Anak

v
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu

Puji dan syukur Alhamdullilah Penulis haturkan kepada Allah SWT atas

rahmat dan karunia-Nyalah yang telah memberikan kehidupan dan kekuatan

kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Proses

Diversi dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana yang Dilakukan Anak”

yang merupakan persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.

Berbagai hambatan dan kesulitan penulis hadapi selama penyusunan

skripsi ini. Namun berkat doa, bantuan, semangat, dorongan, bimbingan, dan

kerjasama dari berbagai pihak sehingga hambatan dan kesulitan tersebut

dapat teratasi dengan sebaik-baiknya.

Untuk itu perkenankanlah Penulis mengucapkan terima kasih. Terlebih

kepada Kedua Orang Tuaku, ISMAIL dan NURSIAH yang telah melahirkan,

mengasuh, membimbing, merawat, memberikan kasih sayang serta perhatian

kepada Penulis sampai menyelesaikan studi Penulis. Dan untuk istriku

tercinta VIVI NOVALIA yang selama ini memberi semangat kepada penulis,

Serta Kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Dwia Ariestina Pulubuha, MA, Selaku Rektor Universitas

Hasanuddin Makassar.

v
2. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin Makassar.

3. Bapak Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan, S.H., M.H. Selaku Ketua Bagian

Hukum Pidana Universitas Hasanuddin Makassar.

4. Bapak Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H., dan ibu Dr. Hj. Haerana,

S.H., MH. Selaku Pembimbing I dan Pembimbing II.

5. Bapak Prof. Dr. Muhadar, S.H., M.S., Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H. Selaku

penguji penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan yang membantu dan

memberikan kesempatan mengikuti perkuliahan di Universitas

Hasanuddin Makassar melalui kelas kerjasama.

7. Kepala Kepolisian Resort Gowa yang telah meberikan izin dalam rangka

kegiatan penelitian dan memberikan informasi yang dibutuhkan penulis.

8. Kepala Kepolisian Resort Kota Besar Makassar khususnya Kepala

Satuan Reskrim Polrestabes Makassar dan seluruh rekan-rekan Sat.

Reskrim Polrestabes Makassar yang telah memberikan izin untuk

mengikuti segala proses perkuliahan.

9. Teman KKN Gelombang 94 Universitas Hasanuddin Makassar,

Perumahan Dosen Unhas Antang Makassar.

10. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin khususnya

Dosen pada bagian Pidana.

11. Seluruh Staf Akademik dan Pegawai Fakultas Hukum Universitas yang

telah membantu dalam kelancaran akademik penulis.

v
12. Dan seluruh pihak yang telah membantu penulis hingga terselesaikannya

skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada

semuanya. Ahkirnya, hanya kepada Allah SWT, penulis serahkan segalanya

mudah-mudahan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis, umumnya bagi

kita semua. Wassalam dan Terima Kasih.

Penulis,

Cahyadi

v
DAFTAR ISI

halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................ ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI .............................. iv
ABSTRAK ....................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................ vi
DAFTAR ISI...................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ........................................................... 1


A. Latar Belakang Masalah .......................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ..................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ................................................... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................... 14


A. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana dan Anak
sebagai PelakuTindak Pidana................................... 14
1. Pengertian Tindak Pidana Anak........................... 14
2. Pengertian Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana . 16
B. Konsep Diversi......................................................... 18
1. Definisi Diversi ..................................................... 21
2. Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak ..... 26
C. Teori Perlindungan Hukum ...................................... 30
D. Perlindungan Hukum Anak Yang Berkonflik Dengan
Hukum ..................................................................... 32
E. Efektivitas Diversi dalam Pemenuhan Restoratif
Justice bagi Penyelesaian Perkara Anak.........................56

i
BAB III METODE PENELITIAN.................................................. 57
A. Tipe Penelitian ......................................................... 57
B. Lokasi Penelitian...................................................... 57
C. Jenis Dan Sumber Data ........................................... 57
D. Teknik Pengumpulan Data....................................... 58
E. Analisis Data ............................................................ 58

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................... 64


A. Proses Pelaksanaan Diversi Yang Dilakukan Oleh
Penyidik Di Wilayah Hukum Polres Gowa ............... 64
B. Kendala yang dihadapi oleh penyidik dalam
pelaksanaan Diversi di wilayah hukum Polres
Gowa ....................................................................... 72

BAB V PENUTUP ...................................................................... 75


A. Kesimpulan ............................................................. 75
B. Saran ....................................................................... 75

DAFTAR PUSTAKA

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam

dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, anak

adalah sebagai penerus bangsa yang tidak terpisahkan dari

keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa

dan negara. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut

dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-

haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan

Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang

diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden

Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan

dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2014 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak (selanjutnya disingkat UU SPPA) yang kesemuanya

mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non

diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan

tumbuh kembang serta menghargai partisipasi anak. Dalam Undang-

Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 juga mengatur jelas hak-

1
hak anak yang salah satunya adalah berhak atas kelangsungan hidup,

tumbuh dan kembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi.1

Melihat prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip non

diskriminasi yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan hak

untuk hidup, kelangsungan hidup, dan tumbuh kembang anak sehingga

diperlukan penghargaan terhadap anak, termasuk terhadap anak yang

melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, maka diperlukan suatu sistem

peradilan pidana anak yang di dalamnya terdapat proses penyelesaian

perkara anak di luar mekanisme pidana konvensional. Muncul suatu

pemikiran atau gagasan untuk hal tersebut dengan cara pengalihan atau

biasa disebut diversi, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan

untuk menyelesaikan permasalahan anak dan justru dalam Lembaga

Pemasyarakatan rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak

anak. Hal inilah yang mendorong ide diversi khususnya melalui konsep

Restoratif Justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam

menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.

Seorang anak yang melakukan tindak pidana wajib disidangkan di

pengadilan khusus anak yang berada di lingkungan peradilan umum,

dengan proses khusus serta pejabat khusus yang memahami masalah

anak, mulai dari penangkapan, penahanan, proses mengadili dan

pembinaan. Sementara itu dari perspektif ilmu pemidanaan, meyakini

1
Tim Pustaka Setia. 2002. Undang-undang Dasar 1945 Setelah Amandemen
Keempat Tahun 2002. Bandung. CV. Pustaka Setia. Hal.

2
bahwa penjatuhan pidana terhadap anak nakal (delinkuen) cenderung

merugikan perkembangan jiwa anak di masa mendatang. Kecenderungan

merugikan ini akibat dari efek penjatuhan pidana terutama pidana penjara,

yang berupa stigma (cap jahat).

Pengertian anak ditinjau dari berbagai aspek kejiwaan terdapat

pengklasifikasian yang rinci, yaitu anak remaja dini, remaja penuh dewasa

muda dan akhirnya dewasa. Perilaku delinkuensi anak yang merupakan

terjemahan dari istilah juvenille deliquency adalah perilaku anak yang

melanggar hukum yang apabila dilakukan oleh orang dewasa termasuk

kategori kejahatan, dalam hal ini termasuk perilaku pelanggaran anak

terhadap ketentuan perundang-undangan yang khusus diperuntukkan

bagi mereka. Namun apakah sistem penjatuhan pidana dapat kita

samakan dalam penjatuhan pidana bagi orang dewasa.

Dalam teori hukum pidana dikenal dalil Ultimum Remedium atau

disebut sebagai sarana terakhir yaitu sebagai sarana perbaikan keadaan

yang telah dirusak dengan adanya tindakan pidana (obat pamungkas) di

dalam masyarakat. Penjatuhan pemidanaan oleh aparatur negara (dalam

hal ini lembaga yudikatif) terhadap pelaku tindak pidana adalah objek dan

fair, hal ini berguna agar tidak terjadinya balas membalas atau pertikaian

di dalam masyarakat. Dimana hanya negaralah yang mempunyai

kewenangan untuk membalas dan menegakkan hukum guna mencapai

suatu keadilan.

3
Sejalan dengan hal tersebut menurut Yenti Garnasih bahwa

“pidana merupakan alat yang paling ampuh yang dimiliki negara untuk

memerangi kejahatan namun pidana bukan merupakan satu-satunya alat,

sehingga pidana jangan diterapkan terpisah, melainkan selalu dalam

kombinasi dengan tindakan-tindakan sosial lainnya, khususnya dalam

kombinasi dengan tindakan-tindakan preventif.2 lebih jauh lagi

mengatakan:

1. Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian yang

ditimbulkan dengan pemidanaan akan lebih besar daripada

kerugian oleh suatu tindakan pidana.

2. Jangan menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya

diperkirakan tidak akan tepat.

Gagasan yang dituangkan oleh pemerhati hukum yaitu Satjipto

Raharjo dimana melihat adanya kaitan dengan hal-hal di belakang hukum.

Keinginan untuk melihat logika sosial daripada logika hukum atau

perundang-undangan, yang seharusnya selalu dimaknai sehingga selalu

up to date. Dengan kata lain hukum selalu bergerak dan menyesuaikan

dengan perkembangan masyarakat.

Seturut dengan pendapat Satjipto Raharjo tersebut di atas

khususnya “untuk tindak pidana anak perlunya ada tindakan lain dalam

menangani hal tersebut. Peradilan anak yang mengedepankan

2
Yenti Garnasih. “Kebebasan Berpendapat dan Kebijakan Criminal”. (LBH Pers),
hal.

4
perlindungan dan rehabilitasi terhadap anak sebagai orang yang masih

mempunyai sejumlah keterbatasan dibandingkan dengan orang dewasa”.

Muncul argumen akan hal ini, yang mengatakan bahwa terhadap

pidana anak seharusnya tidak perlu dimasukkan ke dalam penjara, karena

dapat mempengaruhi kejiwaan sang anak. “suasana penjara yang tidak

ramah dan konsep pemisahan dari masyarakat atau lingkungannya akan

menyebabkan anak merasa dirinya pantas mempersalahkan dirinya dan

inferioritas tidak layak kembali ke masyarakat. Pada akhirnya menciptakan

lingkaran residivis, sebab dilingkungan ini mereka merasa mendapat

tempat.

Sistem Hukum Pidana Indonesia memasuki babak baru dalam

perkembangannya. Salah satu bentuk pembaharuan yang ada dalam

Hukum Pidana Indonesia adalah pengaturan tentang hukum pidana dalam

perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan

keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana yang dikenal

dengan keadilan restorative (restorative justice) yang berbeda dengan

keadilan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan keadilan

restitutif (menekankan keadilan pada ganti rugi). Apabila ditinjau dari

perkembangan ilmu hukum pidana dan sifat pemidanaan modern, telah

memperkenalkan dan mengembangkan apa yang disebut pendekatan

hubungan Pelaku-Korban atau “Doer-Victims” Relationship. Suatu

pendekatan baru yang telah menggantikan pendekatan perbuatan atau

pelaku atau “daad-dader straftecht”. Ahli hukum telah memperkenalkan

5
formula keadilan khususnya dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM),

bahwa ada 3 (tiga) aspek pendekatan untuk membangun suatu sistem

hukum dalam rangka modernisasi dan pembaharuan hukum, yaitu segi

struktur (structure), substansi (substance) dan budaya (legal culture) yang

kesemuanya layak berjalan secara integral, simultan dan pararel.3

Perlindungan hukum bagi anak dapat dilakukan sebagai upaya

perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak.

Perlindungan terhadap anak ini juga mencakup kepentingan yang

berhubungan dengan kesejahteraan anak. Perlindungan anak yang

berhadapan dengan hukum (ABH) merupakan tanggung jawab bersama

aparat penegak hukum. Tidak hanya anak sebagai pelaku, namun

mencakup juga anak sebagai korban dan saksi. Aparat penegak hukum

yang terlibat dalam penanganan ABH agar tidak hanya mengacu pada

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak atau peraturan perundang-undangan

lainnya yang berkaitan dengan penanganan ABH, namun lebih

mengutamakan perdamaian daripada proses hukum formal yang mulai

diberlakukan 2 tahun setelah Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana

Anak diundangkan atau mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 2014

(Pasal 108 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak).

3
Ridwan Mansyur. “Keadilan Restoratif Sebagai Tujuan Pelaksanaan Diversi Pada
Sistem Peradilan Pidana Anak”. Law Enforcement & Justice Magazine REQUISITOIRE,
Vol. 39 2014, hal.

6
Perlindungan anak merupakan pekerjaan penting yang harus terus

dilakukan oleh seluruh unsur negara kita. Bentuk-bentuk perlindungan

anak ini pun dilakukan dari segala aspek, mulai pada pembinaan dalam

keluarga, kontrol sosial terhadap pergaulan anak dan penanganan yang

tepat melalui peraturan-peraturan yang baik yang dibuat oleh negara.

Namun perjalanan panjangnya hingga saat ini apa yang diamanatkan

dalam Undang-Undang tersebut terkendala dengan sarana dan prasarana

yang disediakan oleh pemerintah. Misalnya penjara khusus anak yang

hanya ada di kota-kota besar, hal ini tentu saja menyebabkan tidak

terpenuhinya hak-hak anak sebagaimana yang diamanatkan oleh

Undang-Undang dan konvensi hak anak tersebut. Selain itu, kurangnya

sosialisasi yang terpadu dan menyeluruh yang dilakukan aparat penegak

hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) sehingga menyebabkan tidak efektifnya

pemberian perlindungan hukum terhadap anak.

Tindak pidana yang dilakukan oleh anak selalu menuai kritikan

terhadap para penegak hukum yang oleh banyak kalangan dinilai tidak

mengindahkan tata cara penanganan terhadap anak yang berhadapan

dengan hukum terutama anak sebagai pelaku, dan ada kesan kerap kali

mereka (anak) diperlakukan sebagai orang dewasa yang melakukan

tindak pidana. Diusianya yang masih sangat muda, mereka harus

mengalami proses hukum atas perkara pidana yang sedemikian panjang

dan melelahkan mulai dari tahap penyidikan oleh Polisi, tahap penuntutan

oleh Jaksa hingga ke tahap persidangan oleh

7
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsi dan

menganalisis secara mendalam dasar yang melatarbelakangi

pelaksanaan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum

(ABH) dan mendeskripsi serta menganalisis hambatan-hambatan yang

timbul dalam pelaksanaan diversi terhadap anak yang berhadapan

dengan hukum, dengan ini dalam hal anak sebagai pelaku tindak pidana.

B. Rumusan Masalah

Memperhatikan luasnya cakupan masalah Penerapan Diversi oleh

Penyidik Kepolisian pada Sistem Peradilan Pidana Anak, maka penulis

membatasinya pada:

1. Bagaimanakah proses pelaksanaan diversi yang dilakukan oleh

penyidik di wilayah hukum Polres Gowa?

2. Kendala apa yang dihadapi oleh penyidik dalam pelaksanaan

Diversi di wilayah hukum Polres Gowa?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh jawaban secara kongkrit

tentang hal-hal yang menjadi permasalahan penelitian, meliputi:

1. Untuk mengetahui proses diversi yang dilakukan oleh penyidik di

wilayah hukum Polres Gowa.

2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh penyidik dalam

pelaksanaan diversi di wilayah hukum Polres

8
D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini nantinya adalah

sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

1) Memberikan sumbangan pemikiran bagi pemahaman dan

pengembangan hukum perlindungan anak di Indonesia,

perlindungan anak pelaku tindak pidana melalui diversi dalam

sistem peradilan pidana anak.

2) Memberikan masukan terhadap pihak-pihak yang terkait

khususnya Kepolisian dalam kaitannya dengan hambatan-

hambatan yang dihadapi dalam penegakan hukum pidana melalui

upaya diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.

2. Manfaat Praktis

1) Memberikan landasan atau dasar pijakan atau rambu-rambu bagi

pengemban kewenangan aparat penegak hukum, sehingga aparat

penegak hukum lebih proporsional dan profesional dalam

menyikapi anak-anak yang berkonflik dengan hukum.

2) Dapat dijadikan dasar pemahaman bagi masyarakat yang sering

bersinggungan dengan kenakalan anak-anak, sehingga

masyarakat dapat memahami hak-hak normatif anak bila

berurusan dengan pihak yang berwajib.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana dan Anak Sebagai Pelaku

Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana Anak

Kenakalan anak diambil dari istilah juvenile delinquency.

Juvenile sinonim dengan istilah young person (orang yang muda),

(masa muda), youth (kaum muda), child (anak-anak) ataupun

adolescent (remaja).

Adapun deliquency adalah tindakan atau perbuatan (act) yang

dilakukan oleh anak, dimana jika tindakan atau perbuatan itu dilakukan

oleh orang dewasa merupakan suatu kejahatan. Deliquency ada dua

bentuk, yaitu criminal deliquency offence atau juvenile crime, contohnya

Pembunuhan, perampokan, dan pencurian. Status deliquency offence,

seperti pembolosan, meninggalkan rumah, terbiasa menentang

perintah yang sah menurut hukum dan yang layak dari orang tua/wali,

tidak mau patuh, tidak dapat dikendalikan atau perilaku yang tak

terkendalikan dan pelanggaran hukum minuman keras.4

Dalam ketentuan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

4
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruati Sistem Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia, Jogjakarta: Genta Publishing, 2011, hal. 29.

1
Pidana Anak, menyatakan bahwa anak nakal adalah anak yang

melakukan tindak pidana; anak yang melakukan perbuatan yang

dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-

undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan

berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Dalam ketentuan Pasal 1 Angka 2 UU SPPA, menyatakan

bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut

sebagai anak adalah orang yang telah berumur 12 (dua belas) tahun

tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun yang disangka,

didakwa atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana.5

Proses peradilan adalah suatu proses yuridis, dimana harus

ada kesempatan orang berdiskusi dan dapat memperjuangkan

pendirian tertentu yaitu mengemukakan kepentingan oleh berbagai

macam pihak, mempertimbangkannya dan dimana keputusan yang

diambil tersebut mempunyai motivasi tertentu.6 Dalam beberapa kasus

tindak pidana yang terjadi selama ini, maka diselesaikan secara pidana.

Hal ini cenderung masyarakat kita masih memandang pemidanaan

adalah akibat nyata/mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan

tindak pidana.7

5
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
6
Shanty Dellyana, 1988, Wanita Dan Anak Dimata Hukum, Liberty, Yogyakarta,
hal. 57
7
Eva Achjani Zulfa, Indriyanto Seno Adji, 2011, Pergeseran Paradigma
Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung, hal. 51.

1
2. Pengertian Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana

Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat,

merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib

diusahakan dengan kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan

perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang berakibat

hukum.8 Oleh karena itu, perlu adanya jaminan hukum bagi

perlindungan anak. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan

kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang

membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan

kegiatan perlindungan anak. Kegiatan perlindungan anak setidaknya

memiliki dua aspek. Aspek pertama berkaitan dengan kebijakan dan

peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan

hak-hak anak.

Aspek kedua menyangkut pelaksanaan kebijakan dan

peraturan tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, pengaturan

tentang batasan usia anak dapat dilihat antara lain pada ketentuan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330 ayat (1) yang memuat

batas antara belum dewasa (minderjarigheid) dan telah dewasa

(meerderjarigheid), yaitu 21 (dua puluh satu) tahun, kecuali anak

tersebut telah kawin sebelum berumur 21 (dua puluh satu) tahun dan

pendewasaan (venia aetetis, Pasal 419 KUHPerdata).

8
Abdul G. Nusantara, Hukum dan hak-hak Anak, disunting oleh Mulyana W.
Kusumah, Jakarta: Rajawali, 1986, hal. 23.

1
Ketentuan ini senada dengan Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana tidak merumuskan secara eksplisit tentang

pengertian anak, tetapi dapat dijumpai antara lain pada Pasal 45 dan

Pasal 72 yang memakai batasan usia 16 (enam belas) tahun, serta

Pasal 283 yang memakai batasan 17 (tujuh belas) tahun.9

Menurut ketentuan Pasal 1 Angka 8 Huruf a, b dan c Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan,

bahwa anak didik pemasyarakatan baik anak pidana, anak negara dan

anak sipil untuk dapat dididik di Lembaga Pemasyarakatan Anak

adalah paling tinggi sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak

adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pengertian anak dalam

kaitan dengan perilaku anak nakal (juvenile delinquency), biasanya

dilakukan dengan mendasarkan pada tingkatan usia.

Di Indonesia, penentuan batas usia anak dalam kaitan dengan

pertanggungjawaban pidana telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 1

Angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang merumuskan bahwa

9
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2011, hal. 3.

1
anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai

umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan

belas) tahun dan belum pernah kawin.

B. Konsep Diversi

Penyelenggaraan program diversi dalam sistem peradilan anak

beranjak pada tujuan yang lebih menekankan pada perlindungan anak

dalam sistem peradilan pidana anak. Pelaksanaan diversi merupakan

upaya untuk menghindari efek negatif sistem peradilan pidana anak

terhadap anak. Dengan pelaksanaan diversi, maka tidak terdapat putusan

dan tidak terdapat stigma yang menyatakan sebagai anak nakal. Maka

anak yang bersangkutan tidak menyandang cap jahat sebagai akibat dari

putusan pengadilan. Timbulnya pengaruh buruk proses peradilan pidana

terhadap anak dapat disebabkan karena pengaruh ketentuan UU maupun

dari faktor penegak hukum, maupun faktor dari budaya masyarakat.

Faktor dari UU Anak sendiri menyebabkan timbulnya stigma, yaitu

adanya ketentuan bagi narapidana anak ada keharusan untuk dibina dan

dimasukkan kepada Lembaga Pemasyarakatan. Pengaruh buruk proses

peradilan pidana anak, dapat berupa:

1. Trauma akibat perlakuan para penegak hukum pada setiap

tahapan.

2. Stigma/cap jahat pada diri pelaku sehingga anak tersebut selalu

dikawatirkan akan berbuat jahat.

3. Anak dikeluarkan dari sekolah.

1
Pengaruh-pengaruh buruk tersebut dapat dihindari apabila

dilakukan diversi (pengalihan). Dengan diversi maka anak dihindarkan

akan proses peradilan formal, dan tidak ada pencatatan kejahatan pada

anak tersebut.

Efek negatif akibat proses peradilan pidana anak, yaitu efek negatif

yang terjadi sebelum sidang, efek negatif pada saat sidang maupun efek

negatif setelah persidangan. Efek negatif pada anak akibat keterlibatan

anak dalam proses peradilan pidana dapat berupa penderitaan fisik dan

emosional seperti ketakutan, kegelisahan, gangguan tidur, gangguan

nafsu makan maupun gangguan jiwa. Akibat semua itu, maka anak

menjadi gelisah, tegang, kehilangan kontrol emosional, menangis,

gemetaran, malu dan sebagainya. Terjadinya efek negatif ini disebabkan

oleh adanya proses pengadilan pidana, baik sebelum sidang, saat

pemeriksaan perkara, dan efek negatif setelah sidang perkara pidana.

Efek negatif sebelum pemeriksaan perkara, ini timbul karena

adanya tekanan seperti: pertanyaan yang tidak simpatik; anak harus

menceritakan kembali peristiwa yang tidak menyenangkan; menunggu

persidangan; dan pemisahan dengan keluarga. Efek negatif ketika proses

persidangan terhadap anak dikarenakan dengan adanya tata ruang

pengadilan; berhadapan dengan korban dan para saksi; berbicara di

hadapan para petugas pengadilan. Efek negatif setelah persidangan

terhadap anak, hal ini disebabkan dengan adanya putusan hakim. Dengan

putusan pemidanaan terhadap anak, maka stigma yang berkelanjutan,

1
rasa bersalah pada diri anak dan sampai pada kemarahan dari pihak

keluarga.10

Untuk menghindari efek atau dampak negatif proses peradilan

pidana terhadap anak ini, United Nations Standart Minimum Rules for

Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) atau The Beijing Rules telah

memberikan pedoman sebagai upaya menghindari efek negatif tersebut.

Yaitu dengan memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum

mengambil tindakan-tindakan kebijakan dalam menangani atau

menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan

formal, antara lain menghentikan atau tidak meneruskan.

Diversi yang dicanangkan dalam SMRJJ (The Beijing Rules)

sebagai standar internasional dalam penyelenggaraan peradilan pidana

anak ini, berdasar rekomendasi hasil pertemuan para ahli PBB tentang

“Children and Juveniles in Detention: Aplication of Human Rights

Standards”, di Vienna, Austria tanggal 30 Oktober sampai dengan 4

November 1994, telah menghimbau seluruh negara mulai tahun 2000,

untuk mengimplementasikan The Beijing Rules, The Riyadh Guidelines

dan The United Nations Rules for the Protection of Juveniles Deprived of

their Liberty.11

10
Apong Herlina,dkk., Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan
Hukum Manual Pelatihan Untuk POLISI, Jakarta: Polri dan UNICEF, him. 101-103.
Sebagaimana dikutip dalam Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan
Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, him. 3-4
11
Sebagaimana diketahui, berdasar rekomendasi hasil Pertemuan Para Ahli PBB
tentang “Children and Juveniles in Detention: Aplication of Human Rights Standards", di
Vienna, Austria tanggal 30 Oktober sampai dengan 4 November 1994,

1
Di Indonesia, diversi telah menjadi salah satu rekomendasi dalam

Seminar Nasional Peradilan Anak yang diselenggarakan oleh Fakultas

Hukum Universitas Padjajaran Bandung tanggal 5 Oktober 1996. Di dalam

perumusan hasil seminar tersebut tentang halaman-halaman yang

disepakati antara lain “Diversi”. Diversi yang disepakati dalam

rekomendasi seminar tersebut, untuk memberikan kewenangan bagi

hakim, yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau mengalihkan/ tidak

meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap anak

selama proses pemeriksaan di muka sidang.12

1. Definisi Diversi

Diversi terdapat dalam United Nations Standart Minimum Rules for

Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) atau The Beijing Rules

(Resolusi Majelis Umum PBB 40/33 tanggal 29 November 1985), dimana

diversi tercantum dalam Rule 11.1, 11.2 dan Rule 17.4. Selanjutnya dalam

penjelasan Rule 11 tentang Diversi, dijelaskan sebagai berikut.

1. Diversi sebagai suatu program yang menghilangkan tahapan

proses peradilan formil bagi seorang terdakwa dan

menggantinya dengan suatu kebijakan berbasis pola

menghimbau seluruh negara mulai tahun 2000, untuk mengimplementasikan The Beijing
Rules, The Riyadh Guidelines dan The United Nations Rules for the Protection of
Juveniles Deprived of their Liberty. Lihat Ewald Filler (Ed.), 1995, Children In Trouble
United Nations Expert Group Meeting, Austrian Federal Ministery for Youth and Family,
Fransz-Josefs-Kai 51, A-1010 Viena, Ausria, him. 199. Sebagaimana dikutip dalam Setya
Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di
Indonesia, him. 4.
12
Romli Atmasasmita, 1997, Peradilan Anak di Indonesia, Bandung: Mandar
Maju,hlm. 201. Sebagaimana dikutip dalam Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi

Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, him.

1
pelayanan sosial kemasyarakatan, dimana program ini sudah

diterapkan secara luas baik secara formal maupun informal

diberbagai sistem hukum di banyak negara.

2. Maksud dari penerapan program diversi ini adalah untuk

menghilangkan efek negatif, seperti yang timbul dari

penerapan prosedur formil maupun administratif dalam sistem

peradilan pidana konvensional, sehingga dalam banyak kasus

bentuk kebijakan alternatif ini dianggap sebagai langkah yang

paling tepat dan akan memberikan hasil optimal terutama

dalam kasus-kasus dimana si pelaku melakukan tindak pidana

yang tergolong ringan atau tidak serius dan dari pihak

keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat sendiri turut

memberikan dukungan dan dapat bersikap dengan

sewajarnya (tidak membesar-besarkan masalah).

3. Diversi dapat diterapkan oleh aparat kepolisian, kejaksaan,

maupun lembaga lain yang berwenang dan terkait seperti

pengadilan, tribunal, lembaga maupun dewan (representasi

dari kelompok masyarakat). Penerapan diversi tak selalu

dibatasi secara sempit hanya untuk kasus-kasus sepele saja.

4. Pelaksanaan diversi harus memperoleh persetujuan

pelanggar hukum berusia muda (atau orang tuanya atau

walinya) terhadap langkah-langkah diversi yang disarankan.

Namun demikian persetujuan ini tidak dapat dibiarkan tak

1
tersanggah, karena persetujuan itu dapat saja diberikan

karena keputus asaan belaka di pihak remaja itu. Hal ini perlu

diperhatikan untuk memperkecil potensi pemaksaan dan

intimidasi pada semua tahap proses diversi. Remaja tidak

boleh merasa tertekan (misalnya agar menghindar dari

kehadiran di pengadilan) atau ditekan agar menyetujui

program-program diversi.

Diversi diatur pula dalam Rule 17.4 SMRJJ.8 dimana ditentukan

bahwa setiap pejabat yang berwenang mempunyai kekuasaan untuk tidak

melanjutkan proses pada setiap saat (have the power to discontinue the

proceeeding at any time). Kekuasaan pejabat mempunyai kewenangan ini

didasarkan pada ciri atau karakteristik yang melekat di dalam menangani

pelanggar anak (a characteristic inherent in the handling of juvenile

offenders), yang berbeda dengan pemeriksaan terhadap pelanggar

dewasa. Pada setiap saat, keadaan-keadaan tertentu dapat diketahui oleh

pihak berwenang secara hukum yang akan membuat penghentian

sepenuhnya dari intervensi sebagai pernyataan keputusan yang terbaik

terhadap perkara itu.13

Kata diversi berasal dari kata bahasa Inggris “Diversion” menjadi

istilah diversi, karena berdasar buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa

Indonesia yang disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan

13
Setya Wahyudi, Op. at., him. 274-276

1
istilah, penyesuaian akhiran -sion,-tion menjadi -si. Oleh karena itu kata

Diversion di Indonesia menjadi diversi.14

Berdasar United Nations Standart Minimum Rules for

Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules). Diversi adalah

pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil

tindakan-tindakan kebijaksanaan dalam menangani atau menyelesaikan

masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal antara lain

menghentikan atau tidak meneruskan/melepaskan dari proses peradilan

pidana atau mengembalikan/menyerahkan kepada masyarakaat dan

bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya. Penerapan diversi dapat

dilakukan di dalam semua tingkatan pemeriksaan, dimaksudkan untuk

mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses peradilan.15

Di Indonesia, istilah diversi pernah dimunculkan dalam perumusan

hasil seminar nasional peradilan anak yang diselenggarakan oleh Fakultas

Hukum Universitas Padjajaran Bandung tanggal 5 Oktober 1996. Di dalam

perumusan hasil seminar tersebut tentang hal-hal yang disepakati antara

lain “Diversi” yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau mengalihkan/

tidak meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap anak

selama proses pemeriksaan di muka sidang.16

Pengertian diversi di Indonesia dapat dilihat dalam dokumen

14
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yangDisempurnakan dan Pedoman Umum
Pembentukan Istilah, Bandung : Pustaka Setia, 2005, him. 84,87.
15
Setya Wahyudi, Op. Cit.,hlm. 56.
16
Romli Atmasasmita, 1997, Peradilan Anak di Indonesia, Bandung: Mandar
Maju,hlm. 201. Sebagaimana dikutip dalam Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi
dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, hlm.58.

2
manual pelatihan untuk polisi. Manual pelatihan untuk polisi menyebutkan

diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga

telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa

syarat.17

Berikut pengertian diversi menurut M. Nasir Jamil dalam bukunya

anak bukan untuk dihukum. Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian

kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari

proses pidana formal ke penyelesaian damai antara

tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi

oleh keluarga dan/atau masyarakat, Pembimbing Kemasyarakatan Anak,

Polisi, Jaksa atau Hakim.18

Pengertian diversi menurut Marlina dalam bukunya Peradilan

Pidana Anak di Indonesia. Diversi merupakan kebijakan yang dilakukan

untuk menghindarkan pelaku dari sistem peradilan pidana formal untuk

memberikan perlindungan dan rehabilitasi (protection and rehabilitation)

kepada pelaku sebagai upaya untuk mencegah anak menjadi pelaku

kriminal dewasa.19

17
Apong Herlina dkk, Perlindungan Terhadap Anak yang Berhadapan dengan
Hukum Manual Pelatihan untuk Polisi, Jakarta: POLRI-UNICEF,2004, hlm.330.
Sebagaimana dikutip dalam Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan
Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, him. 58
18
M. Nasir Jamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), Cet.2, Jakarta: SinarGrafika, 2013, him. 137.
19
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi
dan Restorative Justice, Bandung: Refika Aditama, 2009, him. 22.

2
2. Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak, disebutkan bahwa diversi adalah pengalihan

penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar

peradilan pidana.20

Pasal 5 Ayat (1) UU No. 11 Tahun 2012 secara tegas menyatakan

bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan

Keadilan Restoratif. Diversi dilaksanakan dengan tujuan untuk mencapai

perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak diluar

proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan,

mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa

tanggung jawab kepada anak. Pasal 7 Ayat (1) UU No. 11 tahun 2012

bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara

anak di Pengadilan Negeri wajib diupayakan diversi. Diversi dilaksanakan

dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara

di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak

pidana. Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan

anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya,

pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial professional berdasarkan

pendekatan Keadilan Restoratif dapat melibatkan tenaga kesejahteraan

sosial dan atau masyarakat yang hasilnya dibuat dalam bentuk Berita

Acara Diversi. Dalam melakukan proses diversi wajib diperhatikan

20
Pasal 1 angka (7) UU No. 11. Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.

2
kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggungjawab anak,

penghindaran stigma negative, keharmonisan masyarakat dan kepatutan,

kesusilaan dan ketertiban umum. Kewajiban jaksa penuntut umum untuk

melakukan diversi diatur dalam Pasal 42 UU No. 11 Tahun 2012 dimana

penuntut umum wajib melakukan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah

menerima berkas perkara dari penyidik. Penafsiran 7 (tujuh) hari setelah

menerima berkas perkara dari penyidik dapat dimaknai pada saat

dilakukan proses prapenuntutan dan secara riel tanggungjawab tersangka

dan barang bukti masih menjadi tanggung jawab penyidik sehingga dalam

pelaksanaannya nanti penuntut umum harus melakukan koordinasi

dengan penyidik menyangkut waktu, tempat dan cara pemanggilan

terhadap mereka-mereka yang wajib hadir dalam proses diversi. Yang

menjadi kendala yang dihadapi oleh penuntut umum yaitu hingga saat ini

aturan dan tata cara pelaksanaan diversi dalam tahap penuntutan belum

diatur baik dengan Peraturan Pemerintah maupun dengan menggunakan

peraturan Jaksa Agung atau peraturan lain yang relevan dengan hal

tersebut.

Bahwa selain kewajiban pelaksanaan diversi terhadap anak yang

meiakukan tindak pidana juga diatur sanksi pidananya apabila penuntut

umum dengan sengaja tidak melakukan diversi sebagaimana diatur dalam

Pasal 7 Ayat (1) dan Pasal 42 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara

paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,-

(dua ratus juta rupiah). Dengan adanya ancaman pidana ini membawa

2
konsekuensi bagi penuntut umum yang menangani perkara pelakunya

anak wajib memprioritaskan perkara tersebut sehingga harapan

pembentuk undang-undang dapat tercapai. Permasalahan yang

kemungkinan dapat timbul dari pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana

Anak yaitu:

1. Masalah jangka waktu penahanan yang sangat terbatas

2. Pejabat yang bertanggungjawab untuk melaksanakan berita acara

diversi dan bagaimana bila kesepakatan diversi kemudian diingkari

oleh pelaku apakah terhadap perkara tersebut dapat dilanjutkan ke

persidangan.

3. Siapakah yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan pelatihan

kerja apabila hakim memutuskan terhadap anak yang melakukan

tindak pidana dijatuhi hukum tersebut.

Untuk menjawab 2 (dua) permasalahan tersebut perlu dilakukan

koordinasi antar aparat penegak hukum mengingat masalah jangka waktu

penahanan dari tahap penyidikan hanyalah 15 (lima belas) hari, (7 hari)

penahanan penyidik dan 8 (delapan) hari perpanjangan penahanan dari

penuntut umum, penuntut umum untuk kepentingan penuntutan dapat

melakukan penahanan untuk paling lama 10 (sepuluh) hari, 5 (lima) hari

dari penuntut umum dan 5 (lima) hari perpanjangan dari hakim Pengadilan

Negeri, pemeriksaan di sidang pengadilan hakim dapat melakukan

penahanan untuk paling lama 25 (dua puluh lima) hari 10 (sepuluh) hari

oleh hakim dan 15 (lima belas) hari dari Ketua Pengadilan yang menjadi

2
kendala adalah perkara yang dapat dilakukan penahanan menurut Pasal

32 Ayat (2) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 yaitu tindak pidana

dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih sedangkan

perkara-perkara dengan ancaman pidana tersebut adalah perkara-perkara

yang dikategorikan perkara berat misal pembunuhan, curas,

pemerkosaan, narkotika, dll. Sehingga hal tersebut potensial dapat

menimbulkan permasalahan hukum apabila dalam melaksanakan

penahanan kurang bijaksana menyikapinya.

Terhadap permasalahan apabila telah disepakati kesepakatan

diversi dimana pelaku harus membayar sejumlah ganti kerugian kepada

korban tetapi pelaku kemudian tidak mampu membayar kesepakatan

sedangkan ketua pengadilan telah mengeluarkan surat ketetapan

penghentian proses hukum hal ini perlu bersama-sama menjadi bahan

kajian apakah perkara tersebut telah ne bis in idem atau dapat kemudian

di buka kembali proses persidangannya karena hingga saat ini belum ada

aturan yang jelas yang mengatur mengenai permasalahan tersebut. Akan

tetapi menurut kami seharusnya perkara tersebut belum ne bis in idem

dan dapat dilanjutkan kembali proses persidangannya sehingga tercapai

kepastian hukum namun hal ini perlu adanya pengaturan lebih jauh dalam

peraturan pemerintah tentang prosedur pelaksanaan diversi.

Bahwa yang paling bertanggungjawab melaksanakan pelatihan

kerja menurut kami adalah Departemen Sosial, Lembaga

Pemasyarakatan dan Departemen Tenaga Kerja akan tetapi timbul

2
permasalahan dimana tidak setiap Kabupaten/Kota menyiapkan balai

latihan kerja yang aktif melakukan pelatihan kerja dan kurangnya

koordinasi aparat penegak hukum dengan dinas terkait sehingga

menyulitkan pelaksanaan putusan untuk melakukan atau menitipkan anak

yang tersangkut perkara pidana guna mengikuti pelatihan kerja sehingga

harapannya kedepan melalui forum Integrated Criminal Justice System

dapat dijembatani lahirnya kerjasama-kerjasama dengan instansi yang

terkait untuk melaksanakan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana

Anak.

C. Teori Perlindungan Hukum

Kehadiran hukum dalam masyarakat adalah untuk

mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang

bisa bertentangan satu sama lain. Berkaitan dengan itu, hukum harus

mampu mengintegrasikannya sehingga benturan-benturan kepentingan itu

dapat ditekan sekecil-kecilnya. Dimana perlindungan terhadap

kepentingan-kepentingan tertentu, dalam suatu lalu lintas kepentingan,

hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan pihak lain.

Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi

yang salah satunya adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum

bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI

1945), untuk itu setiap produk yang dihasiikan oleh legislatif harus

senantiasa mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua

2
orang, bahkan harus mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan

keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut, dapat dilihat dari

ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan kedudukan hukum

bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Ada beberapa

pendapat yang dapat dikutip sebagai suatu patokan mengenai

perlindungan hukum, yaitu:

Menurut Satjipto Rahardjo:

“perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi


kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu
kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka
kepentingannyatersebut.“21

Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi

subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum

dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:22

a. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan

untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini

terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan

maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan

rambu-rambu atau batasan- batasan dalam melakukan suatu

kewajiban.

21
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dan Hukum di Indonesia, (Jakarta : Kompas,
2003), hal. 121
22
Musrihah, Dasar dan teori llmu Hukum. (Bandung: Grafika Persada,2000), hal.
3

2
b. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir

berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan

yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah

dilakukan suatu pelanggaran.

Salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum

adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat.

Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus

diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum. Sehingga dalam

penulisan ini, perlindungan hukum diberi batasan sebagai suatu upaya

yang dilakukan di bidang hukum dengan maksud dan tujuan memberikan

jaminan perlindungan terhadap anak.

D. Perlindungan Hukum Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum

Pada hakekatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri terhadap

berbagai macam ancaman mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang

kehidupan. Oleh karena itu anak harus dibantu orang lain dalam

melindungi diri mengingat situasi dan kondisinya. Melindungi anak adalah

melindungi manusia dan membangun manusia seutuhnya. Perlindungan

anak merupakan hal yang sangat penting demi terciptanya kontiunitas

negara, karena anak merupakan cikal bakal suatu generasi manusia

dalam pembangunan bangsa. Perlindungan anak adalah suatu usaha

mengadakan kondisi dan situasi yang memungkinkan pelaksanaan hak

2
dan kewajiban anak secara manusiawi positif.23

Menurut Arif Gosita, perlindungan anak merupakan suatu hukum

baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang menjamin anak benar-benar

dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Barda Nawawi Arief

mengartikan bahwa istilah perlindungan anak adalah sebagai upaya

perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak

(fundamental rights and freedom of children) serta berbagai kepentingan

yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.24

Pengertian perlindungan anak dalam arti luas adalah semua usaha

yang melindungi anak melaksanakan hak dan kewajibannya secara

manusiawi positif. Setiap anak melaksanakan haknya, ini berarti dilindungi

untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup mempunyai

kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan pelaksanaan

hak dan kewajibannya sendiri dan dapat perlindungan.

Dalam hukum perdata, perlindungan anak tidak hanya diberikan

kepada anak yang iahir saja, ietapi termasuk anak yang masih didalam

kandungan ibunya, bilamana kepentingan si anak menghendaki dan jika

anak tersebut mati sebelum dilahirkan maka anak dianggap tidak pernah

ada, hal ini termuat dalam Pasal 2 KUHPerdata. Dalam Pasal 330

KUHPerdata anak yang belum dewasa atau belum mencapai umur 21

tahun dan belum pernah kawin perlindungannya berada di bawah

kekuasaan orang tua atau wali. Selain diatur dalam Pasal 330
23
Romli Atmasasmita. Peradilan Anak di Indonesia. Mandar Maju. Bandung,
1997. Hal 165.
2 Aminah Aziz, Op Cit Hal

2
KUHPerdata perlindungan anak ini diatur juga dalam Pasal 345, 353, 365,

dan 395 KUHPerdata.

Upaya perlindungan hukum bagi anak tidak hanya dengan

menyiapkan subtansi hukum (legal subtance), tetapi juga perlu dukungan

oleh pemantapan struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum

(legal culture). Perlindungan anak dalam hukum pidana terbagi dua yaitu:

didalam KUHP dan diluar KUHP, perlindungan anak sebagai pelaku tindak

pidana dan perlindungan anak sebagai korban kejahatan.

Perlindungan anak dalam KUHP diatur dalam Pasal 283, 287,290,

292, 293, 294, 295, 297, 314, 330, 332, 337, 342, 364, 347 Ayat (1) dan

Pasal 348 KUHP yang kesemuanya berkaitan dengan delik kesusilaan.

Diluar KUHP banyak sekali mengatur perlindungan anak, antara lain dapat

dilihat dalam UU No. 12 Tahun 1948 jo. UU No.1 tahun 1951 tentang

Perlindungan Terhadap Pekerja Anak, Stb.1925 No 47 tentang

pembatasan kerja malam bagi wanita, UU No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Dalam tulisan ini penulis mencoba untuk memaparkan sedikit

bentuk perlindungan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, karena penulis berpendapat

bahwa UU ini sangat relevan dengan judul tulisan ini.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak ini merupakan babak baru terhadap upaya perlindungan

anak. UU ini memberi peluang yang sebesar-besarnya kepada pemerintah

3
dan masyarakat untuk berperan memberi perlindungan terutama

perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Anak

dari kelompok minoritas, korban eksploitasi ekonomi dan seksual, anak

korban penyalahgunaan NAPZA, anak korban kekerasan fisik maupun

mental, anak penyandang cacat, serta anak yang mendapat perlakuan

penelantaraan. Menurut Nawawi perlindungan anak mencakup berbagai

aspek antara lain:

1. Perlindungan terhadap hak-hak anak dan kebebasan anak.

2. Perlindungan anak dalam proses pengadilan.

3. Perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga,

pendidikan dan lingkungan sosial).

4. Perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi.

5. Perlindungan terhadap anak jalanan.

6. Perlindungan anak dari akibat peperangan/konflik.

7. Perlindungan anak terhadap tindak kekerasan.

8. Perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan

kemerdekaan.

Perlindungan anak dalam UU ini bertujuan menjamin terpenuhinya

hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi

secara optimal sesuai harkat, martabat, dan kemanusiaan serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak

Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Perlindungan

anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan terhadap berbagai

3
kebebasan dan hak asasi anak serta berbagai kepentingan yang

berhubungan dengan kesejahteraan anak

Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan anak akan dapat

terwujud dengan melihat Undang-Undang yang oleh pemerintah sebagai

lembaga yang berhak mengeluarkan UU bersama dengan DPR seperti

UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 3 Tahun 1997

tentang Peradilan Anak, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang yang tersebut di atas

mempunyai persamaan persepsi tentang kebijakan kelangsungan hidup,

tumbuh kembang, perlidungan dan peran serta anak yang didasarkan

pada tiga aspek utama Konvensi Anak yaitu:

a. Kelangsungan hidup (survival),

b. Tumbuh Kembang (developmental) dan,

c. Perlindungan (protection)

Hal tersebut di atas dikemukakan beberapa pengertian sebagai berikut:

1. Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan

penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan

perkembangannya dengan wajar, baik secara rohaniah,

jasmaniah maupun sosialnya.

2. Hak-hak anak adalah berbagai kebutuhan dasar yang

seharusnya diperoleh anak untuk menjamin kelangsungan

hidup, tumbuh kembang dan perlindungan dari segala bentuk

3
perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran terhadap anak,

baik yang mencakup hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya

anak.

Perlindungan anak adalah segala upaya yang ditujukan untuk

mencegah, merehabilitasi dan memberdayakan anak yang mengalami

tindak perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaraan agar dapat

menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar,

baik fisik, mental maupun sosialnya.

Hak-hak anak dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1979, Bab II

Pasal 2 sampai dengan 9, mengatur hak-hak anak atas kesejahteraan,

diperkuat dalam Undang-undang Nomor 23/2002 dalam Bab III Pasal 4

sampai 18 sebagai berikut:

1. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan. Anak

berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan

berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam

asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

Dimaksud dengan asuhan, adalah berbagai upaya yang dilakukan

kepada anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak

terlantar dan anak yang mengalami masalah kelainan yang bersifat

sementara sebagai pengganti orang tua atau keluarga agar dapat

tumbuh dan berkembang dengan wajar, baik secara rohani, jasmani

maupun sosial (Pasal 1 Angka 32 PP No. 2 Tahun 1988).

2. Hak atas pelayanan, anak berhak atas pelayanan untuk

3
mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan

kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang

baik dan berguna. (Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun

1979). Hak atas pemeliharaan dan perlindungan anak berhak atas

pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan

maupun sesudah dilahirkan.

3. Hak atas perlindungan lingkungan hidup, anak berhak atas

perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan

atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar

(Pasal 2 Ayat 4 Undang-Undang No. 4 Tahun 1979).

4. Hak mendapat pertolongan pertama, dalam keadaan yang

membahayakan, anaklah yang pertama-tama berhak mendapat

pertolongan dan bantuan dan perlindungan (Pasal 3 Undang-Undang

No. 4 Tahun 1979).

5. Hak memperoleh asuhan, anak yang tidak mempunyai orang tua

berhak memperoleh asuhan oleh negara, atau orang, atau badan lain

(Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979). Dengan

demikian anak yang tidak mempunyai orang tua itu dapat tumbuh dan

berkembang secara wajar baik jasmani, rohani maupun sosial.

6. Hak memperoleh bantuan, anak yang tidak mampu berhak

memperoleh bantuan, agar dalam lingkungan keluarganya dapat

tumbuh dan berkembang dengan wajar (Pasal 5 Ayat (1) Undang-

Undang No. 4 Tahun 1979). Menurut PP No. 2 Tahun 1988 Pasal 1

3
Ayat (4), bantuan itu bersifat tidak tetap dan diberikan dalam jangka

waktu tertentu kepada anak yang tidak mampu.

Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi

yang salah satunya adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum

bagi setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD

1945), untuk itu setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus

senantiasa mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua

orang, bahkan harus mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan

keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut, dapat dilihat dari

ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan kedudukan hukum

bagi setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali.

Salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah

memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Oleh

karena itu, perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus

diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum. Sehingga dalam

penulisan ini perlindungan hukum diberi batasan sebagai suatu upaya

yang dilakukan di bidang hukum dengan maksud dan tujuan memberikan

jaminan perlindungan terhadap anak. Pengertian hukum perlindungan

anak, beberapa ahli memberikan batasan-batasan sebagai berikut, Arif

Gosita mengatakan:

“bahwa hukum perlindungan anak sebagai hukum (tertulis) maupun


tidak tertulis yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan
hak dan kewajibannya“

3
Bismar Siregar menyebutkan:

“aspek hukum perlindungan anak lebih dipusatkan kepada hak-hak


anak yang diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingat secara
hukum (yuridis) anak belum dibebani kewajiban“25

Sedangkan Prof. Mr. J. E. Doek dan Mr. H. MA. Drewes

memberikan pengertian hukum perlindungan anak dalam 2 (dua)

pengertian masing-masing pengertian luas dan sempit.

a. Dalam pengertian luas: segala aturan hidup yang memberi

perlindungan kepada mereka yang belum dewasa dan memberi

kemungkinan bagi mereka untuk berkembang.

b. Dalam pengertian sempit: meliputi perlindungan hukum yang

terdapat dalam:

1. Ketentuan hukum perdata

2. Ketentuan hukum pidana

3. Ketentuan hukum acara

Dalam memberikan perlindungan terhadap anak kita juga harus

memperhatikan dan berpatokan pada asas-asas dan tujuan perlindungan

anak. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak disebutkan bahwa penyelenggaraan perlindungan

anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar

1945 serta sesuai dengan prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak, meliputi:

a. Non diskriminasi, artinya bahwa dalam memberikan perlakuan

25 Wagiati Sutedjo, 2006, Hukum Pidana Anak, Bandung: PT. Refika Aditama,
hal. 62

3
terhadap anak tidak boleh membeda-bedakan antara yang satu

dengan yang lain, dengan alasan apapun juga.

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak, maksudnya bahwa dalam

semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh

pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif,

maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi

pertimbangan utama.

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan.

Dimana ketiga unsur ini adalah hak asasi yang paling

mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara/ pemerintah,

masyarakat, keluarga, dan orang tua.

Tujuan penyusunan UU SPPA:

“Sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang


Pengadilan Anak yang dilakukan dengan tujuan agar dapat
terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan
kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum sebagai penerus bangsa”26

Pasal 108 Ketentuan Penutup Undang-Undang a quo menentukan

Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak

tanggal diundangkan. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Juli 2012

oleh Menkumham Amir Syamsudin pada Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2012 Nomor 153. Berdasarkan uraian tersebut, Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 berlaku pada tanggal 30 Juli 2014.

Ketentuan dalam UU No. 11 Tahun 2012 yang mengalami

26
Dikutip dari Penjelasan Umum Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak

3
perubahan signifikan dari UU No. 3 Tahun 1997 Perubahan Ketentuan

Umum.

a. Istilah/Definisi anak nakal dan sebagainya diganti dengan anak

yang berhadapan dengan hukum (12 tahun s/d 18 tahun), anak

yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban

tindak pidana, anak yang menjadi saksi tindak pidana (< 18

tahun).

b. Keadilan Restoratif: penyelesaian perkara tindak pidana

dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban,

dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari

penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan

kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

c. Diversi: pengalihan penyelesaian perkara tindak pidana dengan

melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak

lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian

yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada

keadaan semula, dan bukan pembalasan.

d. Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial.

e. Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA): Lembaga atau

tempat anak menjalani masa pidananya.

f. Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS): tempat

sementara bagi anak selama proses peradilan berlangsung.

g Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).

3
Lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan

penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi anak.

1. Penambahan Asas Sistem Peradilan Pidana Anak:

Asas Perlindungan, keadilan, pembinaan dan pembimbingan anak,

proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya

terakhir, penghindaran pembalasan. Klasifikasi hak anak yang dibedakan

atas: anak dalam proses pidana (Pasal 3); dan anak yang menjalani

proses pidana (Pasal 4).

Sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan keadilan

restoratif (Pasal 5 ayat 1). Berdasarkan asas perlindungan dan asas

keadilan, wajib diupayakan diversi (Pasal 5 ayat 3).

1. Diversi

a. Tujuan (Pasal 8): mencapai perdamaian antara korban dan anak;

menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;

menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong

masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung

jawab kepada anak. (Pasal 6)

b. Pasal 7 menentukan diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana

yang dilakukan. diancam dengan pidana penjara di bawah 7

(tujuh) tahun; dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.


27

c. Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan:


27
Penjelasan: Pengulangan tindak pidana dalam ketentuan ini merupakan tindak
pidana yang diiakukan oleh Anak, baik tindak pidana sejenis maupun tidak sejenis,
termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui Diversi,

3
anak dan orang tua/wali, korban dan atau orang tua/wali (apabila

korbannya anak), pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja

sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.

Dalam hal diperlukan, musyawarah dimaksud dapat melibatkan

tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat (antara lain

tokoh agama, guru, dan tokoh masyarakat. (Pasal 8)

d. Proses diversi wajib memperhatikan. a) kepentingan korban; b)

kesejahteraan dan tanggung jawab anak; c) penghindaran stigma

negatif; d) penghindaran pembalasan; e) keharmonisan

masyarakat; dan f) kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

e. Penyidik, penuntut umum dan hakim dalam melakukan diversi

harus mempertimbangkan: a) kategori tindak pidana 28; b) umur

anak29; c) hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan d)

dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

f. Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban

dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan

keluarganya, kecuali untuk: a) tindak pidana yang berupa

pelanggaran; b) tipiring; c) tindak pidana tanpa korban; d) nilai

kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi

setempat. (Pasal 9)

28
Penjelasan: Ketentuan ini merupakan Indikator bahwa semakin rendah
ancaman pidana semakin tinggi prioritas Diversi. Diversi tidak dimaksudkan untuk
dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan,
pemerkosaan, pengedar narkoba dan terorisme yang diancam pidana di atas 7 (tujuh)
tahun
29
Umur anak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menentukan prioritas

4
pemberian Diversi dan semakin muda umur anak semakin tinggi prioritas Diversi.

4
g. Hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk: a) perdamaian dengan

atau tanpa ganti kerugian; b) penyerahan kembali kepada orang

tua/wali; c) keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di

lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

d) pelayanan masyarakat. (Pasal 11)

h. Hasil kesepakatan diversi dituangkan dalam bentuk kesepakatan

diversi, kemudian disampaikan secara oleh atasan langsung

pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkatan pemeriksaan

ke pengadilan negeri sesuai yurisdiksi dalam waktu 3 (tiga) hari

sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan30.

i. Penetapan kesepakatan diversi harus dilakukan paling lama 3 hari

sejak diterimanya kesepakatan diversi, dan penetapan tersebut

sudah harus disampaikan kepada pembimbing kemasyarakatan,

Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim paling lama 3 (tiga) hari

sejak ditetapkan. (Pasal 12)

j. Apabila proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau

kesepakatan diversi tidak dilaksanakan maka proses peradilan

pidana anak dilanjutkan. (Pasal 13)

k. Dalam hal kesepakatan diversi tidak dilaksanakan dalam waktu

yang ditentukan, pembimbing kemasyarakatan segera

melaporkannya (laporan sekaligus dengan rekomendasi) kepada

pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan.

30
Berdasarkan ketentuan pasal 29 (3), pasal 42 (3) dan pasal 52 ayat (3)

4
Penetapan Diversi dibuat oleh Ketua Pengadilan Negeri

4
dan pejabat tersebut wajib menindaklanjuti laporan dalam waktu

paling lama 7 (tujuh) hari. (Pasal 14)

l. Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan diversi, tata cara, dan

koordinasi pelaksanaan diversi diatur dengan Peraturan

Pemerintah31. (Pasal 15)

1. Acara Peradilan Anak

a. Penyidik, penuntut umum dan hakim wajib memberikan

perlindungan khusus bagi anak yang diperiksa karena tindak

pidana yang dilakukannya dalam situasi darurat (antara lain:

situasi pengungsian, kerusuhan, bencana alam, dan konflik

bersenjata). Perlindungan khusus tersebut dilaksanakan melalui

penjatuhan sanksi tanpa pemberatan. (Pasal 17)

b. Identitas anak, anak korban dan atau anak saksi (meliputi nama,

nama orang tua, alamat, wajah dan hal lain yang dapat

mengungkapkan jati diri anak-anak tersebut). (Pasal 19)32

c. Dalam setiap tingkat pemeriksaan, anak wajib diberikan bantuan

hukum dan didampingi oleh pembimbing kemasyarakatan atau

pendamping33 lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Sedangkan untuk anak korban atau anak saksi wajib

31
Pasal 107 menentukan: Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diberlakukan.
32
Ketentuan Pidananya pada pasal 97: Setiap Orang yang melanggar kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
33
Pasal 1 Ketentuan Umum angka 18 Pendamping adalah orang yang
dipercaya oleh anak untuk mendampinginya selama proses peradilan pidana
berlangsung.

4
didampingi oleh orang tua 34 dan/atau orang yang dipercaya oleh

anak korban atau anak saksi, atau pekerja sosial. (Pasal 23)

d. Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang

dewasa atau anggota TNI diajukan ke pengadilan anak,

sedangkan orang dewasa atau anggota TNI diajukan ke

pengadilan berwenang (kewenangan absolut dan koneksitas).

(Pasal 24)

e. Register perkara anak dan anak korban wajib dibuat secara

khusus oleh lembaga yang menangani perkara anak. Dan

ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman register perkara anak

diatur dengan peraturan pemerintah.

5. Penahanan

a. Anak tidak boleh ditahan apabila ada jaminan dari orang tua/wali

dan/atau lembaga (baik pemerintah atau swasta di bidang

kesejahteraan sosial anak antara lain panti asuhan dan panti

rehabilitasi).

b. Syarat ditahannya anak: 1) berumur 14 (empat betas) tahun atau

lebih, 2 ) diduga melakukan t indak pidana dengan

ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.

c. Syarat-syarat tersebut harus dinyatakan secara tegas dalam surat

perintah (dan penetapan) penahanan.

d. Untuk melindungi keamanan anak, dapat dilakukan penempatan

34
Apabila orang tua sebagai tersangka atau terdakwa perkara yang sedang
diperiksa maka ketentuan ini tidak berlaku (pasal 23 ayat 3)

4
anak di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial).

(Pasal 32)

Apabila jangka waktu penahanan-penahanan di atas telah

berakhir, anak wajib dikeluarkan demi hukum.

a. Penahanan terhadap anak dilaksanakan di LPAS (Lembaga

Penempatan Anak Sementara) 35.

b. Dalam hal tidak terdapat LPAS. penahanan dapat dilakukan di

LPKS setempat 36.

c. Pejabat yang melakukan penangkapan dan penahanan wajib

memberitahukan kepada anak dan orang tua/wali mengenai hak

memperoleh bantuan hukum37 apabila kewajiban dimaksud tidak

dilaksanakan, penangkapan atau penahanan terhadap anak batal

demi hukum (Pasal 40)

5. Penyitaan

Penetapan pengadilan mengenai penyitaan barang bukti dalam

perkara anak harus ditetapkan paling lama 2 (dua) hari.

6. Hakim

a. Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat

pertama dengan hakim tunggal.


35
Pasal 106 ayat (1) huruf e: dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah
diberlakukannya Undang-Undang ini, kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang sosial wajib membangun LPKA dan LPAS di Provinsi.
42
Pasal 106 ayat (1) huruf f: dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah
diberlakukannya Undang-Undang ini, kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang sosial wajib membangun LPKS
37
Penjelasan: Ketentuan bantuan hukum mengacu Undang-Undang tentang
Bantuan Hukum. Pemberitahuan mengenai hak memperoleh bantuan hukum dilakukan
secara tertulis, kecuali apabila anak dan orang tua/wali tidak dapat membaca,
pemberitahuan dilakukan secara lisan.

4
b. KPN dapat menetapkan majelis hakim dengan syarat: 1)

ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih; atau 2) sulit

pembuktiannya. (Pasal 44)

c. Dalam hal belum terdapat hakim yang memenuhi persyaratan

sebagai hakim anak, tugas pemeriksaan di sidang anak

dilaksanakan oleh hakim yang melakukan tugas pemeriksaan

bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. (Pasal 43)

7. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

a. KPN wajib menetapkan hakim atau majelis hakim paling lama 3

(tiga) hari setelah menerima berkas dari penuntut umum.

b. Hakim wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari

setelah ditetapkan oleh KPN.

c. Diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari dan proses

diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi.

d. Bila mencapai kesepakatan, berita acara diversi dan

kesepakatan diversi disampaikan kepada KPN untuk dibuat

penetapan. Bila tidak berhasil, dilanjutkan ke persidangan.

(Pasal 52)

e. Orang tua/wali dan/atau pendamping, advokat atau pemberi

bantuan hukum dan pembimbing kemasyarakatan wajib hadir.

f. Apabila orang tua/wali dan pendamping tidak hadir, sidang

dilanjutkan dengan didampingi advokat atau pemberi bantuan

hukum lainnya dan/atau pembimbing kemasyarakatan. Jika

4
ketentuan tersebut tidak dilaksanakan, sidang anak batal demi

hukum. (Pasal 55)

g. Setelah dakwaan dibacakan, hakim memerintahkan pembimbing

kemasyarakatan membacakan laporan hasil litmas tanpa

kehadiran anak, kecuali hakim berpendapat lain. (Pasal 57)

h. Dalam hal anak korban dan/atau anak saksi tidak dapat hadir

untuk memberi keterangan di persidangan, hakim dapat

memerintahkan anak korban dan/atau anak saksi didengar

keterangannya: (Pasal 58)

1) di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang

dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan di daerah hukum

setempat dengan dihadiri oleh penyidik atau penuntut umum

dan advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya; atau

2) melalui pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat

komunikasi audiovisual dengan didampingi oleh orangtua/wali,

Pembimbing Kemasyarakatan atau Pendamping lainnya.

i. Dalam hal tertentu anak korban diberi kesempatan oleh hakim

untuk menyampaikan pendapat tentang perkara yang

bersangkutan. (Pasal 60 ayat (2))

j. Pembacaan Putusan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk

umum dan dapat tidak dihadiri oleh Anak.

k. Pengadilan wajib memberikan:

1) Petikan putusan pada hari putusan diucapkan kepada anak

4
atau advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya,

pembimbing kemasyarakatan dan penuntut umum.

2) Salinan putusan paling lama 5 (lima) hari sejak putusan

diucapkan kepada anak atau advokat atau pemberi bantuan

hukum lainnya, pembimbing kemasyarakatan dan penuntut

umum.

8. Pidana dan tindakan

a. Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat

dikenai tindakan. (Pasal 69)

b. Hakim dapat menjadikan hal-hal seperti ringannya perbuatan,

keadaan kepribadian anak, atau keadaan pada waktu dilakukan

perbuatan atau yang terjadi kemudian sebagai dasar untuk tidak

menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan

mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. (Pasal 70)

c. Pidana pokok bagi Anak terdiri atas:

1) pembinaan di luar lembaga;

2) pelayanan masyarakat; atau

3) pengawasan, pelatihan kerja; pembinaan dalam lembaga;

dan penjara.

d. Pidana tambahan terdiri atas: perampasan keuntungan yang

diperoleh dari tindak pidana, atau pemenuhan kewajiban adat 49

Apabila perbuatan diancam dengan pidana penjara dan denda,

pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. Serta pidana yang

4
dijatuhkan kepada anak dilarang melanggar harkat dan martabat

anak.

e. Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana

pokok, pidana tambahan dan pidana pengganti akan diatur lebih

lanjut dengan peraturan pemerintah. (Pasal 71)

f. Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak: a) pengembalian

kepada orang tua/wali; b) penyerahan kepada seseorang 38; c)

perawatan di rumah sakit jiwa39; d) perawatan di LPKS; e)

kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang

diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; f) pencabutan

SIM; dan/atau g). perbaikan akibat tindak pidana40.

g. Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan diatur dengan

peraturan pemerintah.

E. Efektivitas Diversi dalam Pemenuhan Keadilan Restoratif bagi


Penyelesaian Perkara Anak

Dalam penyelesaian perkara anak, sebagai suatu hal yang paling

penting untuk diperhatikan yaitu adanya upaya perlindungan terhadap

anak dalam rangka menjamin tumbuh dan berkembang bagi anak. Tujuan

38
Penjelasan: Penyerahan kepada seseorang adalah penyerahan kepada orang
dewasa yang dinilai cakap, berkelekauan bsik, dan bertanggung jawab, oleh Hakim serta
dipercaya oleh Anak.
39
Penjelasan: Tindakan ini diberikan kepada Anak yang pada waktu melakukan
tindak pidana menderita gangguan jiwa atau penyakit jiwa.
40
Penjelasan: Perbaikan akibat tindak pidana misalny a memperbaiki kerusakan
yang disebabkan oleh tindak pidananya dan memulihkan keadaan sebeum terjadinya
tindak

5
diversi yaitu harus diupayakan sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan

anak pelaku tindak pidana dalam mencapai keadilan restoratif.

Dalam konsideran UU SPPA, salah satu alasan lahirnya UU SPPA

adalah bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya,

sehingga untuk menjaga harkat dan martabatnya tersebut, anak berhak

mendapat perlindungan hukum khusus, terutama perlindungan hukum

dalam sistem peradilan.

Dalam setiap tahapan pemeriksaan terhadap anak (sistem

peradilan pidana anak) wajib mengutamakan kepentingan yang terbaik

bagi anak, artinya segala pengambilan keputusan harus selalu

mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak pada

saat sekarang maupun masa datang, dan hak asasi yang paling

mendasar bagi anak adalah dilindungi oleh negara, pemerintah,

masyarakat, keluarga dan orang tua. Secara faktual, penyelesaian

perkara anak melalui sistem peradilan pidana dapat menyebabkan hak-

hak anak yang fundamental terlanggar. Oleh karena itu, negara melalui

alat kelengkapannya harus berbuat yang terbaik bagi anak melalui

langkah-langkah strategis.

Salah satu langkah strategis dalam proses peradilan pidana anak

adalah upaya diversi dalam kerangka perwujudan restorative justice.

Pasal 1 Angka 6 UU SPPA memberi definisi tentang apa yang

dimaksud dengan restorative justice yaitu suatu proses penyelesaian yang

5
melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait

dalam suatu tindak pidana, secara bersama-sama mencari penyelesaian

terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan menekankan

pemulihan dan bukan pembalasan.

Substansi restorative justice berisi prinsip utama dalam

memperoleh keadilan, antara lain membangun partisipasi bersama antara

pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa

atau tindak pidana, memposisikan pelaku, korban, dan masyarakat

sebagai para pemangku kepentingan (stakeholders) yang bekerja

bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang

dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions).

Sehubungan dengan keadilan restoratif ini, Larry J. Siegel,

menyatakan:

Sistem peradilan pidana harus mendukung terciptanya masyarakat


yang damai dan adil, sistem peradilan seharusnya ditujukan untuk
menciptakan perdamaian, bukan untuk menghukum. Para
pendukung keadilan restoratif memandang upaya negara untuk
menghukum dan mengawasi (sebagaimana pendekatan retributif)
justru telah memicu orang melakukan kejahatan-kejahatan
berikutnya, bukan membuat orang takut melakukan kejahatan.
Permasalahan yang mendasar ialah sulitnya konsep keadilan
restoratif ini diterima karena pandangan terhadap pelaku kejahatan
tersebut digeneralisir dan dilandaskan oleh suatu kebencian,
dendam atau ketidaksukaan bukan kepada kepentingan yang lebih
luas di dalam pemberlakuan hukum pidana dengan
mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan pelaku dan
korban41.

Menurut Muladi, ciri-ciri peradilan restoratif adalah42:

Ibid. Hal. 135.


41

H. Anshori. 2015. Restorative Justice menuju Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Majalah Varia
42

Peradilan Tahun XXIX No. 350. IKAHI. Jakarta. Hal.

5
1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap

orang lain dan dipandang sebagai konflik;

2. Fokus perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan

kewajiban untuk masa datang;

3. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;

4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan

restorasi merupakan tujuan utama;

5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan antar hak, dinilai atas dasar

hasil;

6. Fokus perhatian terarah pada perbaikan luka sosial akibat kejahatan;

7. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;

8. Peran korban dan pelaku diakui, baik dalam penentuan masalah

maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku

didorong untuk bertanggung jawab;

9. Pertanggungjawaban pelaku dirumuskan sebagai dampak

pemahaman atas perbuatannya dan diarahkan untuk ikut memutuskan

yang terbaik;

10. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan

ekonomi; dan

11. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif;

Ciri-ciri serta karakteristik paradigma peradilan restoratif

sebagaimana gambaran di atas, tidak saja berdimensi tunggal yakni

pengendalian pelaku, melainkan berdimensi 3 (tiga) sekaligus yaitu

5
korban, pelaku dan masyarakat, sementara kepentingan negara diwakili

oleh peran dari lembaga peradilannya sendiri.

Prinsip restorative justice dalam putusan hakim berkenaan dengan

perkara anak sangat dimungkin karena salah satu tugas hakim adalah

hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan

rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) UU

Kekuasaan Kehakiman).

Dalam sistem peradilan pidana anak keadilan restoratif hanya akan

tercapai bilamana hakim dalam menjatuhkan putusan penekanannya pada

kepentingan terbaik bagi anak, memperhatikan tumbuh kembang dan

masa depan anak, serta pemulihan kembali pada keadaan semula,

menghindarkan anak dari stigma negatif dan bukan pembalasan dengan

memperhatikan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat;

5
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe

penelitian normatif empiris, yaitu menggunakan pendekatan perundang-

undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).

Pendekatan perundang-undangan untuk menelaah semua Undang-

Undang dan regulasi khususnya yang berkaitan dengan diversi.

Pendekatan kasus dengan menelaah kasus-kasus yang berkaitan dengan

anak yang berkonflik dengan hukum yang diselesaikan melalui diversi.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kepolisian Negara Republik Indonesia

Wilayah Hukum Resor Gowa.

C. Jenis dan Sumber Data.

Adapun jenis dan sumber data yang digunakan sebagai dasar

untuk menunjang hasil penelitian adalah:

1. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumber

pertama (responden) pada lokasi penelitian.

2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh berupa sumber-sumber

tertentu, seperti dokumen-dokumen termasuk juga literatur bacaan

lainnya yang sangat berkaitan dengan pembahasan penelitian ini.

5
D. Teknik Pengumpulan Data.

a. Bentuk penelitian kepustakaan yaitu teknik pengumpulan data

dengan cara mempelajari berbagai literatur baik buku artikel

maupun materi kuliah yang diperoleh.

b. Bentuk interview yaitu teknik pengumpulan data dengan cara

melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang berkompeten

dengan objek penelitian, serta meminta data-data kepada pihak

yang terkait dengan penelitian ini.

F. Analisis Data.

Data yang diperoleh baik primer maupun sekunder dianalisis baik

secara deduktif maupun induktif kemudian disajikan secara deskriptif yaitu

menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan

permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini.

5
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Proses Pelaksanaan Diversi Yang Dilakukan Oleh Penyidik Di


Wilayah Hukum Polres Gowa

Tindak pidana yang terjadi saat ini di masyarakat bukan saja

pelakunya orang dewasa, bahkan terjadi kecenderungan pelakunya

adalah masih tergolong usia anak-anak. Oleh karena itu, berbagai upaya

pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak perlu segera

dilakukan. Salah satu upaya pemerintah dalam melakukan pencegahan

dan penanggulangan kenakalan yaitu dengan menyelenggarakan sistem

peradilan pidana anak (Juvenile Justice System) melalui UU No. 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menggantikan UU No. 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang dilakukan dengan tujuan agar

dapat terwujud peradilan yang berar-benar menjamin perlindungan

kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum

sebagai penerus bangsa.

Mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi

pelindungan terhadap anak, perkara anak yang berhadapan dengan

hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana anak yang berada di

lingkungan peradilan umum. Namun, sebelum masuk proses peradilan,

para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan

proses penyelesaian di luar jalur pengadilan dalam hal tindak pidana yang

dilakukan dengan ancaman pidana penjara dibawah 7 tahun dan bukan

merupakan pengulangan tindak pidana, yakni melalui diversi berdasarkan

5
pendekatan keadilan restoratif. Pasal 1 ayat (6) UU No 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa keadilan

restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan

pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk

bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan

pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Proses diversi akan menghasilkan kesepakatan diversi yang mana

harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban

serta kesediaan anak dan keluarganya. Hasil kesepakatan diversi dapat

berbentuk perdamaian dengan atau tanpa kerugian, penyerahan kembali

kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di

lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 bulan atau pelayanan

masyarakat. Proses peradilan pidana anak akan dilanjutkan apabila

proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi

tidak dilaksanakan.

Penyidikan terhadap perkara Anak dilakukan oleh penyidik yang

ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2012. Penyidik yang melakukan penyidikan terhadap kasus anak

juga mempunyai beberapa syarat diantaranya syarat untuk dapat

ditetapkan sebagai penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu

dalam Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 meliputi:

5
a. Telah berpengalaman sebagai penyidik;

b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah

anak; dan

c. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradian anak.

Dari data yang diperoleh penulis dari Polres Gowa tahun 2015-

2016, data tindak pidana yang dilakukan oleh anak di wilayah hukum

Polres Gowa adalah sebagai berikut:

Tabel I
Data Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Anak di Wilayah Hukum
Polres Gowa Tahun 2015-2016
Tercapai Tidak Tercapai Persentasi %
No. Tahun Jumlah
Diversi Diversi capaian
1 2015 73 47 26 64.4
2 2016 52 38 19 73.7
Jumlah/rata-rata 125 85 45 68.7
Sumber data: Polres Gowa, 2017
Berdasarkan data tersebut di atas, dapat diketahui bahwa

implementasi pelaksanaan diversi pada Polres Gowa belum sepenuhnya

terlaksana. Pada tahun 2015, jumlah kasus yang melibatkan anak sebagai

pelaku tindak pidana berjumlah 73 kasus. 47 diantaranya telah

diselesaikan melalui proses diversi, sedangkan 26 sisanya tidak

terlaksana diversi. Selanjutya pada tahun 2016, hanya terdapat 52 kasus,

38 diantaranya terlaksana diversi dan 19 sisanya tidak terlaksana diversi.

Penyidikan anak di Polres Gowa belum berjalan secara optimal,

mengingat bahwa penyidik yang telah mengikuti pelatihan tentang

peradilan anak masih terbatas jumlahnya.

5
Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan

dilakukan dimulai semenjak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan,

pemeriksaan di sidang pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan

pengadilan tersebut. Selama proses peradilan tersebut, maka hak-hak

anak wajib dilindungi oleh hukum yang berlaku dan oleh sebab itu harus

dilakukan secara konsekuen oleh pihak-pihak terkait dengan penyelesaian

masalah anak nakal tersebut.

Bripda Siti Hajar Rahmat selaku Penyidik Pembantu pada pada

Polres Gowa mengemukakan bahwa:43

Diversi harus diupayakan oleh penyidik, dimana penyidik tersebut


haruslah penyidik anak, ketentuan diatur dalam UU SPPA. Penyidik
wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah
penyelidikan dimulai, ketentuan ini sesuai dengan UU SPPA.
Diversi diupayakan semata-mata hanya untuk mengutamakan
kepentingan terbaik anak agar anak menjalani kehidupan nantinya
tanpa ada rasa trauma karena proses peradilan. UU SPPA juga
mengatur ketentuan pidana untuk para penydik yang tidak
melaksanakan kewajibannya yaitu mengupayakan diversi. Apabila
ada Penyidik yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban
tersebut maka akan terancam untuk dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 tahun.

Hasil wawancara yang dikemukakan oleh Bripda Siti Hajar Rahmat

tersebut diatas memang adalah ketentuan yang sudah diatur dalam UU

SPPA. Diversi diupayakan oleh penyidik, dimana penyidik tersebut

haruslah penyidik anak, ketentuan ini sesuai dengan pasal 1 ayat (8) UU

SPPA. Penyidik wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari

setelah penyelidikan dimulai, ketentuan ini sesuai dengan pasal 29 ayat

(1) UU SPPA. Diversi diupayakan semata-mata hanya untuk

5
43
Hasil wawancara di Polres Gowa pada tanggal 12 Desember 2017.

5
mengutamakan kepentingan terbaik anak agar anak menjalani kehidupan

nantinya tanpa ada rasa traumakarena proses peradilan.Pasal 98 UU

SPPA juga mengatur ketentuan pidana untuk para penydik yang tidak

melaksanakan kewajibannya yaitu mengupayakan diversi, yang berbunyi:

“Penyidik yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana

penjara paling lama 2 (dua) tahun”.

Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan

(Pasal 18 UU No. 11 Tahun 2012). Kentuan ini menghendaki bahwa

pemeriksaan dilakukan dengan pendekatan secara efektif dan simpatik.

Efektif dapat diartikan, bahwa pemeriksaannya tidak memakan waktu

lama, dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, dan dapat

mengajak tersangka memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya.

Simpatik maksudnya pada waktu pemeriksaan, penyidik bersikap sopan

dan ramah serta tidak menakut-nakuti tersangka. Tujuannya adalah agar

pemeriksan berjalan dengan lancar, karena seorang anak yang merasa

takut sewaktu menghadapi penyidik, akan mengalami kesulitan untuk

mengungkapkan keterangan yang benar dan sejelas-jelasnya. Pada

waktu pemeriksaan tersangka, penyidik tidak memakai pakaian seragam.

Ketentuan Pasal 18 ini, mencerminkan perlindungan hukum pada

anak, apabila penyidik tidak melakukan pemeriksaan dalam suasana

kekeluargaan, tidak ada sanksi hukum yang dapat dikenakan kepadanya.

Dalam melakukan penyidikan anak nakal, penyidik wajib meminta

5
pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan, dan apabila

perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan,

ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya

(Pasal 27 ayat 1 dan 2 UU No. 11 Tahun 2012). Laporan penelitian

kemasyarakatan, dipergunakan oleh penyidik anak sebagai bahan

pertimbangan dalam melakukan tindakan penyidikan, mengingat bahwa

anak nakal perlu mendapat perlakuan sebaik mungkin dan penelitian

terhadap anak dilakukan secara seksama oleh peneliti kemasyarakatan

(Bapas), agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar.

Pasal 27 ayat 1 UU No. 11 tahun 2012, menentukan bahwa dalam

melakukan penyidikan anak nakal, penyidik dibantu pembimbing

kemasyarakatan. Pasal 65 ayat 1 huruf b UU No. 11 Tahun 2012,

menentukan bahwa pembimbing kemasyarakatan bertugas membantu

memperlancar penyidikan dengan membuat laporan penelitian

kemasyarakatan. Proses penyidikan anak nakal, wajib dirahasiakan (

Pasal 19 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2012). Tindakan penyidik berupa

penangkapan, penahanan, dan tindakan lain yang dilakukan mulai dari

tahap penyelidikan hingga tahap penyidikan, wajib dilakukan secara

rahasia.

Perkara anak dapat diajukan ke sidang pengadilan sesuai Pasal 20

UU No. 11 Tahun 2012 adalah perkara anak yang berumur 12 tahun dan

belum genap berumur 18 tahun dan diajukan ke sidang pengadilan

setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan

6
belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun,

Anak tetap diajukan ke sidang Anak. Namun pasal 24 UU No.11 tahun

2012, masih memungkinkan dilakukan penyidikan anak yang berumur

dibawah 12 tahun, namun berkas perkaranya tidak akan dilimpahkan ke

kejaksaan untuk dilakukan penuntutan di persidangan. Tujuan dilakukan

penyidikan terhadap anak yang belum berumur 12 tahun yang diduga

melakukan tindak pidana adalah untuk mengetahui bahwa anak yang

bersangkutan melakukan tindak pidana seorang diri atau ada orang lain

yang terlibat atau anak yang bersangkutan melakukan tindak pidana

bersama-sama dengan orang lain atau Tentara Nasional Indonesia (TNI),

dalam hal ini yang berumur 12 tahun keatas dan atau dengan orang

dewasa atau TNI. Bertolak dari hal tersebut maka pada waktu

pemeriksaan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tersebut

seorang penyidik tidak memakai seragam atau dinas dan melakukan

pendekatan secara efektif, aktif, dan simpatik.

Bripda Siti Hajar Rahmat selaku Penyidik anak di Polres Gowa

mengemukakan bahwa,44 Penyidikan dianggap selesai dan lengkap,

apabila telah ada pemberitahuan dari penuntut umum yang menyatakan

bahwa berkas perkara telah lengkap atau apabila tanggapan waktu 14

hari sejak tanggal penerimaan berkas, penuntut umum tidak

menyampaikan pernyataan apa-apa dan tidak pula mengembalikan

berkas perkara itu kepada penyidik. Terhitung sejak tenggang waktu

44
Hasil wawancara di Polres Gowa pada tanggal 12 Desember

6
tersebut, dengan sendirinya menurut hukum penyerahan berkas perkara

sudah sah dan sempurna, beralih kepada penuntut umum tanpa

memerlukan proses lagi. Terjadi penyerahan tanggung jawab hukum atas

seluruh perkara yang bersangkutan dari penyidik kepada penuntut umum.

Peralihan tanggung jawab yuridis atas berkas perkara, tanggung jawab

hukum atas tersangka dan tanggung jawab hukum atas segala barang

bukti atau benda yang disita.

Berdasarkan dari hasil wawancara peneliti dengan beberapa

penyidik Polres Gowa tersebut di atas, yaitu Aiptu Hasmawati Hamsah,

S.H. selaku Kanit Pelayanan Perlindungan Perempuan dan Anak dan

Bripda Siti Hajar Rahmat selaku penyidik anak pada Polres Gowa, dapat

disimpulkan bahwa pelaksanaan diversi di Polres Gowa yaitu dengan

berpedoman dengan UU SPPA dan dengan pedoman Peraturan

Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi

Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 Tahun. Penyidik

menerima laporan dari pelapor lalu penyidik membuat Berkas Acara

Perkara (BAP), selanjutnya penyidik menyerahkan BAP kepada Balai

Pemasyarakatan (Bapas), setelah mendapatkan BAP dari penyidik,

selanjutnya Bapas melakukan Penelitian Masyarakat (Litmas) di

lingkungan rumah pelaku, dari hasil litmas Bapas nantinya akan keluar

surat rekomendasi dari Bapas, dimana surat rekomendasi tersebut bisa

merupakan rekomendasi untuk diversi dan rekomendasi untuk tidak

diversi. Penyidik selaku fasilitator akan memanggil para pihak yaitu

6
terlapor (pelaku), orang tua atau wali terlapor, pelapor (korban), orang tua

atau wali pelapor, tokoh masyarakat, dan dengan di dampingi Bapas dan

Peksos (Pekerja Sosial). Khusus untuk wilayah Gowa, pihak korban akan

di dampingi oleh pekerja sosial dan pihak pelaku di dampingi oleh Bapas

yang selanjutnya akan dilakukannya musyawarah dimana nantinya hasil

musyawarah tersebut di tuangkan dalam bentuk kesepakatan diversi.

Meskipun telah diupayakan dengan sangat baik, dibersi ini masih

terkendala beberapa faktor, karena terlaksananya diversi ini juga tidak

hanya di pengaruhi oleh pihak aparat saja, namun juga merupakan

kehendak pihak korban.

B. Kendala yang Dihadapi oleh Penyidik dalam Pelaksanaan Diversi


di Wilayah Hukum Polres Gowa

Sistem peradilan pidana anak di Indonesia wajib mengutamakan

kepentingan yang terbaik bagi anak dan berupaya mengurangi

penyelesaian perkara anak di pengadilan pidana, dan jika terpaksa

dipidana penjara, maka pidana tersebut hanya dilakukan sebagai upaya

terakhir dan dalam waktu yang singkat. Hal ini sesuai dengan asas

sebagaimana diatur dalam Pasal 2, yaitu pelindungan; keadilan;

nondiskriminasi; kepentingan terbaik bagi Anak; penghargaan terhadap

pendapat Anak; kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;

pembinaan dan pembimbingan Anak; proporsional; perampasan

kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan penghindaran

pembalasan.

6
Meskipun telah diupayakan, diversi ini masih belum dilaksanakan

sepenuhnya oleh aparat penegak hukum. Hal ini disebabkan oleh

beberapa faktor. Berdasarkan hasil wawacara penulis dengan Bripda Siti


45
Hajar Rahmat selaku penyidik polres gowa mengemukakan bahwa:

Salah satu penghambat pelaksanaan diversi adalah kurangnya


waktu yang diberikan oleh Undang-undang bagi para penegak
hukum untuk mengupayakan diversi. Karena Undang-undang
hanya memberikan batas maksimal adalah 30 (tiga puluh) hari.
Bagi kami di wilayah Gowa, beberapa lokasi masih sangat jauh dari
Polres sehingga membutuhkan waktu lebih. Apalagi pemanggilan
saksi dan korban juga terbilang susah, karena mereka belum tentu
hadir pada waktu yang ditentukan. Kadang terlambat dan itu sangat
menghambat kami. Terlebih lagi di Polres Gowa penyidik anak
sangat terbatas, sehingga banyaknya kasus yang melibatkan anak,
menjadi kendala utama bagi kami. Solusi yang dilakukan yaitu
dengan cara mengefektifkan waktu dengan sebaik-baiknya supaya
tidak melebihi batas waktu yang telah ditentukan oleh Undang-
undang.

Apa yang dikemukakan di atas, sudah sesuai dengan ketentuan

Pasal 15 UU SSPA dimana ditentukan bahwa Proses Diversi

dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari

terhitung sejak tanggal dimulainya Diversi. Selanjutnya Bripda Siti Hajar

Rahmat selaku penyidik pembantu mengemukakan bahwa: 46

Perlindungan dalam proses penyidikan kepada anak terhadap


tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah sebagai bentuk
perhatian dan perlakuan khusus untuk melindungi kepentingan
anak. Perhatian dan perlakuan khusus tersebut berupa
perlindungan hukum agar anak tidak menjadi korban dari
penerapan hukum yang salah yang dapat menyebabkan
penderitaan mental, fisik dan sosialnya. Meskipun demikian,
banyak kendala yang dihadapi dalam melaksanakan penyidikan
tindak pidana yang dilakukan oleh anak di wilayah hukum Polres
Gowa, salah satu kendala penyidikan anak adalah karena tidak

45
Hasil wawancara di Polres Gowa pada tanggal 12 Desember 2017.
46
Hasil wawancara di Polres Gowa pada tanggal 12 Desember 2017.

6
adanya penyidik yang telah mengikuti pelatihan tentang peradilan
anak. Polsek di wilayah hukum Gowa, belum memiliki penyidik
yang telah mengikuti pelatihan. Hal ini menjadi hambatan yang
besar, karena syarat penyidik telah ditentukan oleh undang-
undang. Dengan demikian, maka semua kasus yang melibatkan
anak di pusatkan di polres Gowa. Banyaknya kasus dan
terbatasnya penyidik, menjadi jangka waktu diberikan UU belum
dapat dioptimalkan. Selain itu, orang tua korban kadang-kadang
berubah pikiran. Awalnya mau menyelesaikan perkaranya melalui
diversi, namun setelah diadakan pertemuan untuk mengambil
keputusan malah yang bersangkutan bersikukuh untuk melanjutkan
kasus tersebut.

Sistem diversi sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana anak

ini harus disosialisasikan oleh pemerintah dan kepolisian, mengingat

bahwa tingkat kesadaran orang tua masih rendah. Sosialisasi ini dapat

dilakukan melalui penyadaran, bahwa diversi ini tidak hanya

diperuntukkan bagi golongan tertentu saja, melainkan bagi semua anak.

Selain itu, bagi penyidik juga seharusnya berbicara terlebih dahulu kepada

pihak anak yang menjadi pelaku, agar pada saat proses mediasi, tidak

menyinggung perasaan korban maupun keluarganya, sehingga kehendak

dalam melakukan diversi tetap bertahan. Sangat dipahami, jika pihak

korban tidak ingin melaksanakan diversi, jika pihak pelaku juga di lain sisi

terus menyerang pihak korban dengan alasan-alasan yang tidak dapat

diterima pihak korban. Oleh karena itu, perlu diatur sedemkian rupa

sehingga korban mau melakukan diversi sampai pada pembautan Berita

Acara dilakukan.

6
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Pelaksanaan diversi di Wilayah Hukum Polres Gowa belum

terlaksana secara optimal. Dari 125 kasus yang melibatkan

anak sebagai pelaku pada tahun 2015 dan tahun 2016, hanya

85 kasus saja yang berhasil dilaksanakan diversi. hal ini

menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa kasus yang tidak

dapat terlaksana diversi.

2. Dalam mengupayakan diversi, aparat kepolisian polres gowa

masih mengalami beberapa hambatan yakni terbatasnya waktu

yang diberikan dalam mengupayakan diversi, kesulitan

menghadirkan para pihak yang terkait, terbatasnya jumlah

penyidik anak yang tersedia sehingga semua perkara yang

melibatkan anak di tangani oleh pihak polres, dan kurangnya

kesadaran pihak korban terkait diversi sehingga menolak

adanya proses diversi yang diupayakan.

B. Saran

Adapun saran penulis adalah sebagai berikut:

1. Polres Gowa harus melakukan pembenahan SDM khususnya

dalam menambah personil yang dapat di ikutkan dalam

pelatihan teknis tentang peradian Anak. Personil yang dilibatkan

6
tidak hanya mereka yang ditugaskan pada Polres, melainkan

juga pada Polsek di wilayah hukum gowa, sehingga perkara

anak tidak lagi terpusat di Polres, tetapi juga dapat diselesaikan

di tingkat Polsek.

2. Dalam melakukan diversi penyidik polres harus melakukan

pembicaraan awal dengan pihak anak sebagai pelaku, agar

bersikap rendah diri selayaknya pihak yang membutuhkan

pertolongan dari pihak korban. Hal ini diupayakan agar dalam

proses musyawarah pihak korban dapat menerima segala hal

yang berkaitan dengan diversi sehingga musyawarah dapat

terlaksana dengan baik.

6
DAFTAR PUSTAKA

Abdul G. Nusantara, 1986. Hukum dan Hak-Hak Anak, Jakarta: Rajawali.

Arief, Barda Nawawi, 1994. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan


Kejahatan dengan Pidana Penjara. Semarang : CV Ananta.

Eva Achjani Zulfa, Indriyanto Seno Adji, 2011, Pergeseran Paradigma


Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung.

M. Nasir Jamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan


UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), Cet.2, Jakarta:
SinarGrafika.

Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan


Konsep Diversi dan Restorative Justice, Bandung: Refika
Aditama.

Musrihah, 2000. Dasar dan Teori llmu Hukum. Bandung: Grafika Persad.

Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia,


Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Ridwan Mansyur, 2014, Keadilan Restoratif Sebagai Tujuan Pelaksanaan


Diversi Pada Sistem Peradilan Pidana Anak. Law Enforcement &
Justice Magazine REQUISITOIRE, Vol. 39.

Romli Atmasasmita, 1997. Peradilan Anak di Indonesia. Bandung:


Mandar Maju

Satjipto Rahardjo, 2003 Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta :


Kompas.

Setya Wahyudi, 2014, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan


Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Jogjakarta: Genta
Publishing.

Shanty Dellyana, 1988, Wanita Dan Anak Dimata Hukum, Liberty,


Yogyakarta.

Tim Pustaka Setia, 2002. Undang-undang Dasar 1945 Setelah


Amandemen Keempat Tahun 2002. Bandung. CV. Pustaka Setia.

Wagiati Sutedjo. 2006, Hukum Pidana Anak. Bandung : PT. Refika


Aditama.

Yenti Garnasih. Kebebasan Berpendapat dan Kebijakan Criminal.

6
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara


Republik Indonesia

2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

3. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana


Anak.

4. Peraturan Mahkamah Agung RI No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman


Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

5. Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman


Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang belum Berusia 12
tahun.

Anda mungkin juga menyukai