NUR KHOIRIYAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efek Ekstrak Etanol Biji
Adas (Foeniculum vulgare Mill.) pada Tikus Laktasi terhadap Produksi Susu Induk
dan Pertumbuhan Anak Tikus adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Nur Khoiriyah
NIM I151170121
RINGKASAN
NUR KHOIRIYAH. Efek Ekstrak Etanol Biji Adas (Foeniculum Vulgare Mill.)
pada Tikus Laktasi terhadap Produksi Susu Induk dan Pertumbuhan Anak Tikus.
Dibimbing oleh LILIK KUSTIYAH dan KATRIN ROOSITA.
Pemberian Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi merupakan langkah yang sangat
dianjurkan dalam rangka mencegah terjadinya masalah gizi dan kesehatan pada
anak. Namun, terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan seorang ibu
berhenti memberikan ASI kepada bayinya, salah satunya adalah sedikitnya jumlah
ASI yang diproduksi oleh ibu. Salah satu jenis tanaman yang digunakan untuk
meningkatkan produksi susu adalah tanaman adas atau fennel (Foeniclum vulgare
Mill). Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kandungan
fitokimia dari ekstrak etanol biji adas, serta efek dari ekstrak etanol biji adas pada
tikus laktasi terhadap konsentrasi hormon laktogenik, gambaran darah, produksi air
susu, dan pertumbuhan anak tikus
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan desain rancangan acak
lengkap. Hewan coba yang digunakan adalah 24 tikus Sprague Dawley laktasi yang
dikelompokkan ke dalam 4 kelompok perlakuan dengan jumlah tikus pada setiap
kelompok sebanyak 6 tikus. Kelompok perlakuan terdiri dari 3 taraf perlakuan
ekstrak biji adas (EA1: 88.75 mg/kg BB, EA2: 177.50 mg/kg BB, dan EA3: 355.00
mg/kg BB) dan 1 kelompok kontrol (N: akuades). Intervensi dilakukan dari hari ke-
3 laktasi sampai hari ke-21 laktasi. Selama masa intervensi, tikus diberikan akses
terhadap air dan pakan standar secara ad libitum.
Hasil analisis fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji adas
mengandung flavonoid, fenol, tanin, saponin, dan steroid. Kandungan senyawa
dengan luas area tertinggi hasil analisis GCMS adalah asam lemak oleat, linoleat,
dan palmitat. Secara keseluruhan, hasil analisis menunjukkan tidak terdapat
perbedaan yang signifikan pada konsentrasi hormon T3, T4 dan prolaktin antar
kelompok perlakuan. Perbedaan yang signifikan hanya terjadi pada minggu ke-3
yaitu konsentrasi hormon T4 pada kelompok kontrol dan EA1 memiliki nilai yang
signifikan lebih rendah dibandingkan kelompok EA2. Gambaran darah pada induk
juga tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar kelompok
perlakuan (p>0.05). Konsentrasi hemoglobin, hematokrit, dan leukosit induk masih
berada pada rentang normal, sedangkan konsentrasi eritrosit pada semua kelompok
perlakuan masih berada dibawah rentang normal.
Selanjutnya, hasil intervensi sampai hari ke-21 laktasi menunjukkan bahwa
rata-rata produksi susu tidak berbeda signifikan antar kelompok perlakuan (p>0.05).
Namun, pada kelompok EA1, EA2, dan EA3 menunjukkan rata-rata produksi susu
yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil analisis
sampai hari ke-15 laktasi menunjukkan terdapat peningkatan produksi susu yang
signifikan (p<0.05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan kelompok EA1 memiliki
produksi susu yang signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol sampai hari
ke-15 laktasi. Pertumbuhan anak tikus juga tidak menunjukkan adanya perbedaan
yang signifikan antar kelompok perlakuan. Namun, anak tikus di kelompok EA1
memiliki peningkatan berat badan yang relatif lebih tinggi (28.11±5.54 g/anak)
dibandingkan kontrol (25.65 ± 4.69 g/anak). Dalam penelitian ini, pemberian
ekstrak etanol biji adas dengan dosis terendah (88.75 mg/kg BB) menunjukkan
produksi susu dan pertumbuhan anak yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok kontrol.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jumlah dosis yang lebih
sesuai sehingga dapat memaksimalkan potensi ekstrak etanol biji adas sehingga
dapat meningkatkan produksi susu dan pertumbuhan anak yang signifikan
dibandingkan kontrol. Penggunaan jenis pelarut lainnya juga perlu
dipertimbangkan untuk penelitian selanjutnya guna menambah informasi mengenai
potensi biji adas sebagai bahan laktagogum. Penggunaan tikus laktasi dengan berat
badan awal yang memiliki nilai standar deviasi lebih kecil di setiap kelompok
perlakuan juga disarankan untuk digunakan dalam penelitian selanjutnya.
Kata kunci: biji adas, pertumbuhan anak, produksi air susu, tikus laktasi
SUMMARY
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFEK EKSTRAK ETANOL BIJI ADAS (Foeniculum vulgare
Mill.) PADA TIKUS LAKTASI TERHADAP PRODUKSI
SUSU INDUK DAN PERTUMBUHAN ANAK TIKUS
NUR KHOIRIYAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Gizi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
Penguji pada Ujian Tesis: Dr Rimbawan
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subahanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya yang telah diberikan sehingga tesis ini berhasil diselesaikan.
Judul dari tesis adalah Efek Ekstrak Etanol Biji Adas (Foeniculum Vulgare Mill.)
pada Tikus Laktasi terhadap Produksi Susu Induk dan Pertumbuhan Anak Tikus.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Lilik Kustiyah, MSi dan Dr. Katrin Roosita, SP, MSi selaku dosen
pembimbing yang telah bersedia membimbing dan memberi saran kepada
penulis dalam penyusunan tesis ini.
2. Lembaga Pengelola Dana Pendidian (LPDP) Kementerian Keuangan
Indonesia yang selama ini memberikan bantuan finansial melalui program
Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) LPDP Afirmasi Bidikmisi sehingga
penulis dapat menempuh pendidikan magister di Institut Pertanian Bogor.
3. Bapak Moch. Karnen (Almarhum), Ibu Tiroh, dan Bapak Dulah selaku orang
tua atas segala doa dan kasih sayang, serta motivasi yang telah diberikan
selama penyusunan tesis ini.
4. Bapak Dr. Rimbawan selaku pembahas pada pelaksanaan kolokium dan
penguji tesis yang telah memberikan saran kepada penulis.
5. Ibu drh Ines, drh Yuyun, drh Heni, drh Ika dan Pak Mul yang telah banyak
membantu dan mendukung selama pengambilan data di kandang hewan
percobaan Pusat Studi Biofarmaka, LPPM, IPB
6. Teman-teman pascasarjana program studi Ilmu Gizi tahun 2017, khususnya
Ilmi, Mulya, Dila, Salma, Ina, Mesa, Leny, dan Vera atas dukungan yang telah
diberikan.
7. Seluruh pihak yang terkait yang telah memberikan saran dan masukan dalam
penulisan tesis ini.
Semoga tesis ini memberikan manfaat.
Nur Khoiriyah
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil identifikasi biji adas 63
2 Prosedur analisis prolaktin 64
3 Prosedur analisis T3 65
4 Prosedur analisis T4 66
5 Persetujuan etik 67
6 Hasil kromatogram ekstrak biji adas dengan menggunakan GCMS 68
DAFTAR LAMPIRAN (lanjutan)
7 Dokumentasi penelitian 69
8 Hasil uji SPSS 70
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Status gizi pada masa awal kehidupan merupakan salah satu faktor penting
yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia di masa yang akan datang. Hal ini
terkait dengan beberapa bukti yang menunjukkan bahwa status gizi yang baik pada
masa bayi akan menurunkan risiko berbagai penyakit tidak menular (hipertensi,
diabetes, dan kardiovaskular) dan meningkatkan potensi terhadap tingginya
kemampuan kognitif dan ekonomi di masa dewasa (Victoria et al. 2008; Lanigan
2010). Air Susu Ibu (ASI) merupakan sumber makanan utama untuk dapat
menunjang terpenuhinya kebutuhan zat gizi pada bayi. ASI diketahui mengandung
komponen zat gizi dan kandungan bioaktif lengkap yang dapat menunjang
pertumbuhan, perkembangan, dan kesehatan pada bayi dimasa awal kehidupannya
(Ballard 2013).
Pemenuhan kecukupan gizi pada bayi melalui hanya memberikan ASI sampai
anak berusia 6 bulan (ASI eksklusif) merupakan langkah yang sangat dianjurkan
dalam rangka mencegah terjadinya masalah gizi dan kesehatan pada anak. WHO
(World Health Organization) juga menyarankan untuk tetap memberikan ASI
bersamaan dengan makanan pendamping ASI sejak usia 6 bulan sampai 2 tahun
(WHO 2009). WHO dalam Global Nutrition Target 2025 menetapkan bahwa
pencapaian prevalensi pemberian ASI eksklusif minimal harus mencapai 50%
(WHO 2014). Namun, masih banyak kasus yang menunjukkan bahwa prevalensi
pemberian ASI eksklusif di beberapa negara menunjukkan angka yang masih
rendah. Hasil penelitian Cai et al. (2012) menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi
pemberian ASI eksklusif di beberapa negara di benua Afrika dan Asia pada tahun
2010 masih berada di bawah 50%. Prevalensi bayi 0-6 bulan yang masih mendapat
ASI eksklusif di Indonesia juga masih berada di bawah 50%, yaitu pada tahun 2010
sebesar 15.3%, tahun 2013 sebesar 30.2%, dan tahun 2017 sebesar 37.3%
(Kemenkes 2010; Kemenkes 2013; Kemenkes 2018).
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan seorang ibu berhenti
memberikan ASI kepada bayinya dan segera memulai memberikan makanan lain
sebelum anak berusia 6 bulan. Salah satu faktor tersebut adalah tidak ada atau
sedikitnya jumlah ASI yang dapat diproduksi oleh ibu (Brown et al. 2014).
Prabasiwi et al. (2015) dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebanyak
51.1% ibu beralasan untuk berhenti memberikan ASI secara eksklusif karena ASI
yang diproduksi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan bayinya. Oleh karena itu,
adanya stimulus dari suatu substansi yang dapat meningkatkan jumlah produksi air
susu (laktagogum) bisa menjadi alternatif pilihan untuk meningkatkan produksi
ASI pada ibu menyusui.
Sumber-sumber yang bersifat laktagogum alami telah banyak dimanfaatkan
oleh masyarakat dan diketahui terbukti dapat memicu peningkatan produksi air susu
(Roosita 2003; Damanik et al. 2006; Mortel dan Mehta 2013; Bazzano et al. 2016).
Salah satu sumber yang diketahui memiliki sifat laktagogum adalah biji adas atau
fennel seed (Foeniclum vulgare Mill.). Biji adas dilaporkan sebagai sumber
tradisional untuk meningkatkan produksi ASI di beberapa negara (Badgujar et al.
2014).
2
Perumusan Masalah
Adas merupakan salah satu jenis tanaman yang diduga memiliki efek dapat
meningkatkan produksi air susu. Beberapa penelitian pada serbuk biji adas
menunjukkan bahwa pemberian serbuk biji adas telah terbukti pada studi klinis
dapat meningkatkan tanda-tanda kecukupan ASI pada bayi dan meningkatkan
hormon prolaktin pada ibu menyusui (Honarvar et al. 2013; Ghasemi et al. 2014).
Hasil penelitiam pada hewan coba membuktikan adanya potensi pemberian ekstrak
dan biji adas sebagai salah satu sumber yang dapat meningkatkan produksi air susu
(Al-Sundany et al. 2014). Javan et al. (2017) juga menunjukkan bahwa biji adas
merupakan salah satu sumber yang secara tradisional digunakan oleh masyarakat
persia sebagai bahan untuk meningkatkan produksi air susu. Namun, penelitan pada
ekstrak biji adas terhadap peningkatan produksi air susu masih belum dilaporkan.
Oleh karena itu, rumusan masalah yang ingin diketahui peneliti pada penelitiam ini
adalah bagaimana hasil analisis kandungan fitokimia pada ekstrak etanol biji adas?,
apakah ekstrak etanol biji adas mempengaruhi konsentrasi hormon laktogenik
serum pada tikus laktasi?, apakah ekstrak etanol biji adas mempengaruhi gambaran
darah pada tikus laktasi?, apakah ekstrak etanol biji adas mempengaruhi produksi
air susu pada induk tikus laktasi?, dan apakah ekstrak etanol biji adas
mempengaruhi pertumbuhan anak tikus?.
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis efek ekstrak etanol biji
adas pada tikus laktasi terhadap konsentrasi hormon laktogenik, gambaran darah
induk tikus laktasi, produksi air susu, dan pertumbuhan anak tikus.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian adalah:
1. Menganalisis kandungan fitokimia secara kualitatif dan melakukan analisis
komponen senyawa kimia pada ekstrak etanol biji adas dengan menggunakan
GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectrometer)
2. Menganalisis pengaruh pemberian ekstrak etanol biji adas terhadap konsentrasi
hormon laktogenik serum pada tikus laktasi
3. Menganalisis pengaruh pemberian ekstrak etanol biji adas terhadap gambaran
darah pada tikus laktasi.
4. Menganalisis pengaruh pemberian ekstrak etanol biji adas terhadap produksi
air susu pada tikus laktasi.
5. Menganalisis pengaruh pemberian ekstrak etanol biji adas terhadap
pertumbuhan anak tikus.
4
Hipotesis
Manfaat
2 TINJAUAN PUSTAKA
Laktagogum
cm
Dosis dan tingkat keamaan pemberian biji adas telah dibuktikan oleh
beberapa penelitian (Shah et al. 1991; Ghasemi et al. 2014; Tambunan 2016). Hasil
penelitian Ghasemi et al. (2014) menunjukkan bahwa pada dosis pemberian teh
herbal yang mengandung serbuk biji adas 7.5 g sebanyak 3 kali sehari dapat
menimbulkan tanda-tanda kecukupan air susu pada bayi. Tanda-tanda kecukupan
air susu tersebut dianalisis berdasarkan kenaikan berat badan, lingkar kepala, berat
popok, frekuensi defekasi, dan frekuensi menyusu. Honarvar et al. (2013) juga
menunjukkan bahwa pada dosis pemberian serbuk biji adas sebanyak 3 g/hari pada
ibu menyusui diketahui dapat meningkatkan konsentrasi hormon prolaktin secara
signifikan.
Shah et al. (1991) melakukan penelitian mengenai dosis akut dan kronik pada
pemberian ekstrak etanol 95% dari biji adas pada mencit. Pengamatan yang
dilakukan untuk menilai toksisitas akut meliputi gejala umum toksisitas dan
kematian hewan selama 24 jam. Pengamatan untuk toksisitas kronik meliputi gejala
toksisitas umum, kematian, gambaran darah (sel darah merah, sel darah putih, dan
hemoglobin), disfungsi sperma, berat tubuh, dan berat organ vital selama periode
pemberin 90 hari. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada pemberian
ekstrak etanol biji adas yang diamati selama 24 jam pada dosis 500, 1000, dan 3000
mg/kg BB tidak menimbulkan gejala toksisitas akut. Pemberian ekstrak etanol biji
adas pada dosis 100 mg/kg BB selama 90 hari juga tidak menimbulkan gejala
7
toksisitas kronik. Hasil pengamatan toksisitas akut pada kelompok perlakuan tidak
berbeda signifikan dengan kontrol.
Tambunan (2016) juga melakukan sebuah penelitian mengenai efek toksisitas
akut dari ekstrak etanol 80% dari biji adas pada mencit. Pengamatan yang diamati
meliputi gejala toksik, berat badan, konsumsi makanan dan minuman, kematian,
kondisi organ hati dan ginjal. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada
pemberian ekstrak pada dosis 5, 50, 300, 1000, 2000, 4000, dan 8000 mg/kg BB
tidak ditemukan gejala toksik dan kematian mencit. Oleh karena itu, ekstrak etanol
biji adas dapat diklasifikasikan dengan kriteria “praktis tidak toksik”.
Biji adas merupakan salah satu bahan alami yang dimanfaatkan sebagai
pelancar air susu di beberapa negara dan dilaporkan memiliki aktifitas galaktogenik
(Badgujar et al. 2014). Kandungan fitoestrogen dan efek estrogenik yang dimiliki
oleh biji adas diduga dapat menimbulkan sifat laktagogum. Biji adas dikenal dalam
pengobatan tradisional sebagai salah satu tanaman yang dapat meningkatkan
produksi air susu (Badgujar et al. 2014; Khan dan Musharaf 2014; Shantii et al.
2014). Namun, bukti secara ilmiah dalam studi-studi klinis dan hewan coba masih
terbatas.
Biji adas diketahui memiliki aktifitas estrogenik sebagai akibat dari
kandungan fitoestrogen (Badgujar et al. 2014; Khan dan Musharaf 2014). Efek
estrogenik ini telah dibuktikan pada hasil penelitian mengenai pengamatan kelenjar
mammae dan oviduk pada model tikus betina yang telah mengalami ovarirektomi
(Devi et al. 1985). Jamu yang terbuat dari biji adas juga dimanfaatkan sebagai obat
pelancar menstruasi dan peluruh Rahim di Indonesia. Hal ini kemudian dianalisis
secara lebih lanjut oleh Nuratmi et al. (1998) dalam sebuah penelitian
menggunakan model tikus hamil untuk membuktikan sifat antikonsepsi dan abortif
dari biji adas. Hasilnya menunjukkan bahwa pada biji adas tidak menunjukkan sifat
antikonsepsi dan abortif dari biji adas.
Honarvar et al. (2013) melakukan sebuah penelitian pada ibu menyusui dan
berhasil membuktikan bahwa pemberian serbuk biji adas sebanyak 3 g/hari dapat
secara signifikan meningkatkan hormon prolaktin. Pembuktian serupa juga
dilakukan dalam penelitian Sadeghpour et al (2015), yang hasilnya menunjukakn
bahwa pemberian ekstrak biji adas dengan dosis 100 mg/kg BB dan 200 mg/kg BB
dapat meningkatkan hormon prolaktin pada mencit dewasa. Hormon prolaktin
merupakan hormon penting yang dibutuhkan dalam proses laktogenesis pada
kelenjar mammae.
Al-Sudany et al. (2014) melakukan penelitian pada kondisi tikus betina
dewasa, hamil, dan menyusui. Hasilnya menunjukkan bahwa secara histologis
pemberian pakan yang mengandung serbuk biji adas terbukti dapat memberikan
manfaat pada perkembangan kelenjar mammae, sehingga diduga dapat berdampak
pada peningkatan produksi air susu. Ghasemi et al (2014) selanjutnya membuktikan
pula dalam studi klinis bahwa biji adas dapat meningkatkan tanda-tanda kecukupan
ASI pada bayi. Hasil-hasil penelitian sifat estrogenik dan galaktogenik dari biji adas
secara lebih rinci dituliskan pada Tabel 1. Penelitian-penelitian yang dipaparkan
semakin memperkuat bukti bahwa biji adas berpotensi memiliki sifat laktagogum.
8
Tabel 1 Hasil-hasil penelitian sifat estrogenik dan galaktogenik pada biji adas
Peneliti Subjek Dosis intervensi* Hasil
Devi et al. (1985) 20 tikus albino I1 : ovarirektomi + ekstrak aseton 50 Terdapat peningkatan berat organ, konsentrasi asam
betina dewasa µg/100 g BB selama 10 hari nukleat (RNA dan DNA), dan konsentrasi protein
I2 : ovarirektomi + ekstrak aseton pada kelenjar mammae dan oviduk tikus yang
150 µg/100 g BB selama 10 hari signifikan pada pemberian dosis 150 µg/100 g BB
I3 : ovarirektomi + ekstrak aseton dan 250 µg/100 g BB. Peningkatan terjadi seiring
250 µg/100 g BB selama 10 hari dengan peningkatan dosis ekstrak aseton biji adas
K1: pelet standar yang diberikan. Hasil ini membuktikan ekstrak
K2: ovarirektomi + pelet standar aseton biji adas memiliki efek estrogenik
Nuratmi dan Astuti 24 tikus putih I1 : infusa biji adas 100 mg/100 g BB Pemberian infusa biji adas pada semua dosis selama
(1998) Wistar bunting selama 14 hari 14 hari tidak menunjukkan sifat antiimplantasi atau
I2 : infusa biji adas 300 mg/100 g BB antikonsepsi terhadap pembuahan. Infusa biji adas
selama 14 hari juga tidak menunjukkan sifat abortif. Hal ini
I3 : infusa biji adas 900 mg/100 g BB ditunjukkan dari jumlah kehilangan janin (gugur,
selama 14 hari resobsi, dan cacat) masih lebih rendah dibandingkan
K : aquades janin yang hidup.
Honarvar et al. 46 ibu I : 6 kapsul serbuk biji adas (500 Konsentrasi serum prolaktin secara signifikan
(2013) menyusui mg/kapsul)/hari selama 15 hari meningkat sebelum dan setelah intervensi (p<0.001).
Perbedaan konsentrasi serum sebelum dan setelah
intervensi adalah 30.99±44.78 ng/ml. Hasil ini
menunjukkan bahwa biji adas mempengaruhi tingkat
serum prolaktin pada ibu menyusui
Keterangan : * I = grup intervensi, K = grup kontrol, KN = grup kontrol negatif
Tabel 1 Hasil-hasil penelitian sifat estrogenik dan galaktogenik pada biji adas (lanjutan)
Peneliti Subjek Dosis intervensi* Hasil
Al-Sudany et al. 90 tikus putih I : serbuk biji adas sebanyak 5% - Pada tikus dewasa virgin : terjadi hiperplasia dan
(2014) Sprague Dawley atau 10% dari pakan harian hipertropi pada duktus dan alveoli (sel epitelial),
betina dewasa, selama 10 atau 20 hari pada serta pelebaran lumen.
hamil, dan tikus dewasa virgin (25 tikus), - Pada tikus hamil : terjadi hiperplasia pada isi sel
menyusui tikus hamil (25 tikus), dan tikus epitelial (duktus dan alveoli), peningkatan jumlah
menyusui (25 tikus) lumen dan jaringan ikat dengan peningkatan
K : pakan harian standar (5 tikus substansi-substansi sekresi (glikoprotein)
setiap kelompok) - Pada tikus menyusui : terjadi hiperplasia pada sel
epitelial (duktus dan alveoli), pelebaran yang jelas
dari lumen yang banyak mengandung subtansi-
substansi sekretori di dalam lumen dan duktus.
Ghasemi et al. 73 pasang ibu I : teh herbal (mengandung 7.5 g Tanda tanda kecukupan ASI pada bayi (berat badan,
(2014) dan bayi serbuk biji adas dan 3 g black lingkar kepala, berat popok, frekuensi defekasi, dan
tea) 3 kali/hari selama 4 frekuensi menyusu) signifikan (<0.001) lebih tinggi
minggu pada kelompok intervensi dibandingkan kontrol.
K : teh (mengandung 3 g black tea)
3 x/hari selama 4 minggu
Sadeghpour et al. 28 mencit albino I1 :ektrak etanol biji adas 100 Hormon prolaktin pada grup intervensi (I1 dan I2)
(2015) betina dewasa mg/kg BB selama 5 hari secara signifikan lebih tinggi dibandingkan grup
I2 :ekstrak etanol biji adas 200 kontrol. Konsentrasi hormon prolaktin dari semua
mg/kg BB selama 5 hari grup adalah I1 = 1.48 ± 0.58, I2 = 2.27 ± 0.85, KN =
K : normal saline 1.31 ± 0.49 dan K = 1.36 ± 0.51 ng/ml.
KN: etanol
Keterangan : * I = grup intervensi, K = grup kontrol, KN = grup kontrol negatif
9
10
Proses produksi dan sekresi air susu oleh kelenjar mammae dapat dipengaruhi
oleh berbagai macam faktor. Salah satu faktor tersebut adalah adanya pengaruh
pemberian sumber laktagogum terhadap hormon laktogenik. Secara umum, obat
medis pelancar air susu (metoclopramide, domperidone, sulpiride, dan
chloropromazine) dapat membantu meningkatkan produksi air susu melalui adanya
penghambatan dari aksi prolactin inhibitory factor (PIH) di hipotalamus. Proses
penghambatan ini menyebabkan terjadinya peningkatan produksi hormon prolaktin
oleh anterior pituitari. Selanjutnya peningkatan hormon prolaktin akan memicu
peningkatan produksi air susu pada kelenjar mammae (Gambar 2) (Forinash et al.
2012).
Forinash et al. (2012) menujukkan bahwa mekanisme aksi dari sumber
laktagogoum alami masih diketahui secara terbatas. Namun, dalam beberapa
sumber alami seperti fenugreek (Trigonella foenum-graecum), shatavari
12
(Asparagus racemosus Willd), dan milk tistle, peningkatan produksi susu diduga
dapat terjadi melalui adanya mekanisme peningkatan hormon prolaktin. Sumber
laktagogoum tersebut menyebabkan adanya peningkatan hormon prolaktin di
anterior pituitari. Peningkatan hormon prolaktin kemudian dapat memicu
peningkataan produksi air susu di kelenjar mammae (Gambar 2).
Gambar 2 Mekanisme penduga peningkatan produksi susu dari obat medis dan
beberapa sumber laktagogum alami (Forinash et al. 2012)
Roosita 2014; Iwansyah 2017). Roosita (2014) secara lebih rinci menjelaskan
bahwa senyawa beta karoten yang dikandung oleh nutrasetikal galohgor terbukti
dapat mempengaruhi proliferasi sel, diferensiasi sel, dan peningkatan ekspresi gen
betakasein dan koneksin yang memiliki peran penting dalam mekanisme produksi
air susu. Namun, mekanisme aksi pada sumber laktagogum lainnya sehingga dapat
menyebabkan peningkatan produksi air susu masih memerlukan penelitian lebih
lanjut. Mekanisme penduga dari beberapa sumber laktagogum alami telah
dirangkum pada Tabel 2.
Kelenjar air susu atau kelenjar mammae (mammary gland) adalah salah satu
kelenjar eksokrin di dalam tubuh yang terdapat pada mamalia dan memiliki fungsi
yang sangat khusus, yaitu mampu memproduksi (sintesis), mensekresi, dan
mengeluarkan air susu untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi pada bayi.
Berbeda halnya dengan organ lain di dalam tubuh yang mencapai proses
kematangan selama masa embrionik, kelenjar mammae akan mencapai tahap
kematangan hanya selama siklus kehamilan sampai menyusui (pregnancy-lactation
cycle) (Hassiotou dan Geddes 2013).
Kelenjar mamme terdiri dari dua bagian utama yaitu epitelium (terdiri dari
saluran-saluran/duktus-duktus dan sel-sel alveolus) dan stroma (jaringan ikat atau
disebut juga fat pad). Sel epitelium pada dasarnya terdiri dari sel luminal yang
mengelilingi lumen sentral dan sel mioepitelial memanjang yang terletak pada
posisi basal (Dimri et al. 2005; Visvader dan Stingl 2014). Sel epitelium kemudian
akan membentuk duktus-duktus dan alveolus. Selain itu, terbentuk pula bagian
lumen tengah yang menonjol keluar permukaan tubuh melalui puting (nipple)
(Gambar 3) (Dimri et al. 2005; Hennighausen dan Robinson 2015).
a b c d
Gambar 4 Perkembangan kelenjar mammae pada wanita pada saat pubertas (a),
dewasa virgin (b), kehamilan (c), dan menyusui (d) (Hennighausen
dan Robinson 2015)
Secara fisiologi, duktus-duktus (milk duct) akan semakin berkembang dan
bercabang hingga mencapai titik akhir di setiap kelompok-kelompok lobul alveolus.
15
Setiap alveolus dikelilingi oleh satu lapis sel epitelial sekretori yang terpolarisasi.
Selanjutnya, alveoli dikelilingi oleh sel mioepitelial yang berfungsi dalam
pelepasan air susu. Alveoli juga dikelilingi oleh jaringan ikat yang tervaskularisasi
atau stroma (McManaman dan Neville 2003). Komponen utama dari stroma
meliputi sel adiposa, fibrolas, sel-sel darah, pembuluh darah, dan saraf
(Hennighausen dan Robinson 2015).
Sel kelenjar mammae akan terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan
sampai akhirnya mencapai proses kematangan (Gambar 4). Pada masa awal
seseorang lahir sampai sebelum mencapai usia dewasa, perkembangan sel kelenjar
mammae umumnya diakibatkan karena peningkatan jaringan ikat dan deposit
lemak. Pada tahap sebelum mencapai dewasa (pubertas), terjadi pertumbuhan
alveolus dan perpanjangan duktus. Perpanjangan duktus ini terjadi sebagai akibat
dari pertumbuhan cepat atas TEB (terminal end bud) yang dikelilingi monolayer
epitelial (cap cells) (Hennighausen dan Robinson 2015). Cap cells kemudian akan
berdiferensiasi membentuk miopeitelial baru untuk mengelilingi duktus yang telah
mengalami perubahan morfologi dan perpanjangan.
Gambar 5 Perkembangan sel epitelilal kelenjar mammae pada saat sebelum masa
kehamilan hingga menyusui (Borellini dan Oka 1986)
Selama masa menyusui atau laktasi, fungsi diferensiasi dari sel kelenjar
mammae akan memuncak pada proses laktogenesis (Gambar 5). Jager et al. (2008)
menyebutkan bahwa kondisi diferensiasi pada sel kelenjar mammae ditandai
dengan adanya sintesis laktosa, lemak susu, dan ekspresi dari gen-gen protein susu
(β-kasein atau whey acidic protein). Secara fisiologis, sel akan mengalami
polarisasi dan saling terhubung oleh celah penghubung (tight junction). Secara
fisiologis, permukaan sel epitel yang menghadap alveolus ditutupi oleh mikrovili
(Gambar 5). Sebagian besar bagian sitoplasma terdiri dari retikulum endoplasma
kasar. Droplet-droplet lemak yang kecil juga tampak di seluruh sitoplasma (Gambar
5) (Borellini dan Oka 1986).
Laktogenesis
Prolaktin
Prolaktin merupakan hormon polipeptida yang disintesis dan disekresikan
oleh sel laktotrof di kelenjar pituitari anterior. Molekul prolaktin terdiri dari rantai
asam amino tunggal dengan tiga ikatan disulfida intramolekuler diantara enam
residu sistein (Cys4-Cys11, Cys58-Cys174, dan Cys191-Cys199). Prolakin
berikatan dengan reseptor prolaktin yang termasuk ke dalam keluarga reseptor kelas
1 cytokine di sisi periperal kelenjar target (Freeman et al. 2000). Ikatan prolaktin
dan reseptornya menghasilkan dimerisasi dan aktifasi Jak/STAT yang dapat
memicu terjadinya transkripsi protein-protein spesifik (Neville et al. 2002).
Prolaktin diketahui memiliki berbagai fungsi di kelenjar mammae. Diantara
fungsi prolaktin yaitu berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan kelenjar
mammae (mammogenesis), sintesis air susu (laktogenesis), dan mengatur sekresi
air susu (galaktopoiesis). Namun, fungsi-fungsi tersebut bukan hanya merupakan
fungsi tunggal karena hormon prolaktin, melainkan hasil dari kerja hormon-hormon
lain dan faktor pertumbuhan yang juga bertindak di kelenjar mammae (Freeman et
al. 2000; Neville et al. (2002).
Prolaktin berfungsi dalam mamogenesis dengan dua cara yang berbeda yaitu
mengkontrol percabangan duktus dan terminal end bud melalui mekanisme tidak
langsung pada hewan dewasa virgin, tetapi bertindak secara langsung pada epitelial
mammae untuk memproduksi lobuloalveolar selama kehamilan. Pertumbuhan dan
perkembangan lobuloalveolar kelenjar mammae juga didukung oleh hormon lain
seperti estrogen, progesteron, dan glukokortikoid. Selama kehamilan, percabangan
18
lanjutan dari duktus dan perkembangan alveolus juga merupakan bagian fungsi dari
progesteron, prolaktin dan plasental laktogen (Freeman et al. 2000; Neville et al.
2002).
Pada fungsi laktogenesis, pituitari prolaktin diperlukan untuk sintesis
komponen air susu. Prolaktin berfungsi untuk menstimulasi beberapa asam amino,
sintesis protein susu kasein dan alfa-laktalbumin, uptake glukosa, dan sintesis gula
susu laktosa serta lemak susu selama proses laktogenesis. Pada fungsi
galaktopoiesis, prolaktin merupakan hormon utama yang diperlukan untuk
membantu sekresi air susu pada mamalia. Namun, fungsi galaktopoiesis ini
didukung pula oleh beberapa hormon lain seperti hormon pertumbuhan, tiroid,
paratiroid, kalsitonin, faktor pertumbuhan, dan oksitosin (Freeman et al. 2000).
Neville et al. (2002) menunjukkan bahwa prolaktin merupakan hormon
penting yang terlibat pada fase proliferasi sel alveoli dan laktogenesis II. Pada
hewan coba (mencit, tikus, dan hewan lainnya), prolaktin akan disekresikan pada
hari ke-1 sampai ke-8 kehamilan dari anterior pituitari. Prolaktin berfungsi sebagai
hormon luteotropik yang berperan dalam menstimulasikan sekresi hormon estrogen
dan progesteron dari korpus luteum pada awal kehamilan (8 hari pertama
kehamilan) (Freeman et al. 2000; Neville et al. 2002). Prolaktin, estrogen, dan
progesteron secara bersama-sama menstimulasi proliferasi alveolus di kelenjar
mammae. Namun, konsentrasi prolaktin kemudian akan berkurang dan menghilang
pada hari ke-10 kehamilan. Fungsi prolaktin digantikan oleh hormon plasental
laktogen selama masa kehamilan sebagai hormon luteotropik utama (Neville et al.
2002).
Selanjutnya, 2 hari sebelum terjadinya proses kelahiran, sekresi prolaktin
pada tikus semakin meningkat sampai mencapai 100 kali lipat. Pada mencit dan
tikus, reseptor hormon prolaktin juga akan mulai menurun dan menghilang selama
masa kehamilan, akan tetapi reseptor ini akan muncul dan meningkat kembali
menjelang masa kelahiran. Seiring dengan semakin menurunnya konsentrasi
progesteron menjelang proses kelahiran, hormon prolaktin meningkat secara
signifikan dan menggantikan fungsi hormon plasental laktogen sebagai stimulus
fungsional pada epitelial kelenjar mammae (Neville et al. 2002).
Pada manusia di periode awal kehamilan sampai 10 minggu kehamilan,
hormon human chorionic gonadotropin (hCG) akan meningkat setelah terjadinya
implantasi dan menjaga fungsi korpus luteum dalam mensekresi estrogen dan
progesteron. Hormon hCG kemudian akan menurun sebagai akibat dari plasenta
yang mulai meningkatkan produksi hormon plasental laktogen, progesteron dan
estrogen. Plasma prolaktin dan kortisol akan meningkat secara signifikan selama
masa kehamilan, yang diduga distimulasi oleh meningkatnya estrogen dan fase
laktogenesis I. Selanjutnya, level plasma prolaktin terus dipertahankan tinggi
selama masa laktasi pada wanita menyusui. Selama masa laktasi, sekresi prolaktin
distimulasi oleh adanya isapan anak. Namun, sekresi prolaktin dari pituitari ini akan
ditekan oleh adanya hormon dopamin (bromokriptin) pada tikus dan manusia
(Neville et al. 2002).
Tiroid
Tiroid merupakan hormon yang diproduksi oleh kelenjar tiroid dan memiliki
peran penting dalam proses pertumbuhan, perkembangan, dan metabolisme tubuh.
Hormon tiroid diketahui dapat meningkatkan fosforilasi oksidatif di mitokondria,
19
serta mempertahankan asam amino dan transport elektron di dalam sel. Hormon
tiroid bertindak melalui adanya perubahan ekspresi gen. Hormon tiroid masuk ke
dalam sel dan akan berikatan dengan reseptor spesifik di dalam nukleus. Kemudian,
hormon tiroid akan menstimulasi sintesis berbagai macam mRNA yang selanjutnya
akan menstimulasi sintesis protein, termasuk enzim dan hormon-hormon (Simundic
et al. 2009).
Seluruh proses biosintesis dari hormon tiroid distimulasi oleh thyroid
stimulating hormone (TSH) dan dihambat oleh kelebihan iodium (Simundic et al.
2009). TSH merupakakan hormon yang memiliki peranan penting dalam
meregulasi homeostatis hormon tiroid. TSH merupakan hormon glikoprotein yang
tersusun atas subunit alfa dan beta yang terikat secara non-kovalen satu dengan
lainnya. TSH disekresikan oleh sel thyrotroph di anterior pituitari. Sekresi dari TSH
dikontrol oleh adanya feedback negatif dari Thyrotropin releasing hormone (TRH).
TRH merupakan hormon peptida yang disintesis di hipotalamus. TRH disekresikan
oleh neuron hipotalamus ke dalam portal darah hypotalamic-hypophyseal dan
melalui reseptornya di thyrotroph dapat menstimulasi sekresi TSH (Simundic et al.
2009). TRH diketahui dapat menstimulasi sekresi hormon TSH di anterior pituitari
(Tabares et al. 2014).
Sekresi TRH dan TSH dapat dihambat oleh konsentrasi hormon tiroid darah
yang tinggi melalui adanya feedback negatif yang melibatkan hipotalamus, pituitari,
dan kelenjar tiroid (axis HPT). Hipotalamus mensekresikan TRH yang kemudian
dapat mensitmulasi sekresi TSH di kelenjar pituitari. TSH selanjutnya dapat
menstimulasi kelenjar tiroid untuk mensekresikan hormon tiroid. Kemudian, ketika
tingkat hormon tiroid tinggi melebihi batas tertentu, maka sekresi TRH akan
dihambat. Penghambatan sekresi TRH akan memicu penghambatan sekresi TSH
yang kemudian dapat memicu penghambatan sekresi hormon tiroid di darah
(Simundic et al. 2009).
Kelenjar tiroid dapat memproduksi dua jenis hormon yaitu 3,5,3',5'-
tetraiodotironine atau tiroksin (T4) dan 3,5,3'-triiodotironine (T3). Proses sintesis
dari hormon-hormon ini membutuhkan asam amino tiroksin dan mineral iodium.
Jumlah produksi T4 oleh kelenjar tiroid diketahui hampir mencapai 90%,
sedangkan sisanya adalah T3. Sebagian besar T3 didapatkan dari hasil perubahan
T4 melalui proses deiodinasi dengan bantuan enzim 5’– deiodinase (Neville et al.
2002). Proses deiodinasi dapat terjadi di beberapa kelenjar tubuh seperti hati, ginjal,
dan kelenjar tiroid. Namun, proses deiodinasi juga dapat terjadi di otot, jantung,
paru-paru, dan kelenjar mammae pada tikus.
Hormon tiroid diketahui memiliki peranan penting dalam proses produksi air
susu di kelenjar mammae. Kondisi kelainan pada hormon tiroid, seperti hipotiroid,
diketahui dapat berpengaruh pada penurunan produksi air susu (Marasco 2006).
Kondisi hipotiroid selama masa laktasi juga diduga diperparah dengan
meningkatnya pelepasan iodium melalui air susu pada kondisi laktasi. Iodium
merupakan komponen utama penyusun hormon tiroid (Tucker 2000).
Hasil-hasil penelitian menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang negatif
antara konsentrasi hormon tiroid dengan produksi susu. Tucker (2000)
menyebutkan bahwa rata-rata sekresi T4 mengalami penurunan seiring dengan
meningkatnya volume air susu. T4 merupakan hormon yang akan mengalami
proses perubahan secara enzimatik menjadi T3 yang secara biologis memiliki
kemampuan yang lebih aktif. Gueorguive (1999) juga menunjukkan bahwa
20
konsentrasi T3 dan T4 ditemukan lebih rendah pada sapi perah yang memiliki
produksi susu yang lebih tinggi.
Tucker (2000) juga menyebutkan bahwa konsentrasi T4 mengalami
penurunan seiring dengan meningkatnya produksi air susu selama masa laktasi. T4
merupakan hormon yang akan berubah menjadi bentuk yang lebih aktifnya, yaitu
T3, di kelenjar tiroid atau jaringan lainnya. Tucker (2000) menjelaskan bahwa
proses perubahan T4 menjadi T3 diketahui mengalami penurunan di hati dan ginjal,
tetapi mengalami peningkatan di kelenjar mammae selama masa laktasi. Oleh
karena itu, kondisi hormon tiroid di kelenjar mammae berada dalam konsentrassi
yang normal (euthyroid state) selama masa laktasi, meskipun kondisi hipotiroid
terjadi di dalam serum darah atau organ lainnya. Kondisi tersebut akan
menyebabkan meningkatnya metabolisme kelenjar mammae untuk produksi susu
(Tucker 2000).
Hormon tiroid juga memiliki peranan penting dalam sintesis protein susu.
Triiodotironin (T3) diketahui berperan dalam sintesis protein susu pada penelitian
menggunakan kultur sel. Hasil penelitian Ziska et al. (1988) menunjukkan bahwa
sel kultur kelenjar mammae yang ditambahkan T3 mengandung mRNA alfa-
laktalbumin 2.46 kali lebih banyak dibandingkan dengan sel kultur yang tidak
ditambahkan hormon T3.
Hormon tiroid juga diketahui berperan dalam meningkatkan respon terhadap
hormon laktogenik lainnya. Tetraiodotironin (T4) diketahui dapat meningkatkan
respon galaktopoietik dari hormon pertumbuhan (GH) dan prolaktin. Capuco et al.
(1999) menunjukkan bahwa berat anak tikus tidak berbeda signifikan ketika induk
tikus hanya diberikan perlakuan hormon pertumbuhan, prolaktin, dan T4 secara
tunggal. Sementara itu, pada induk yang diberikan perlakuan hormon
pertumbuhan+T4 dan prolaktin+T4 menunjukkan adanya peningkatan berat badan
anak tikus sebesar 18% dibandingkan pada induk tikus yang hanya diberikan
hormon pertumbuhan dan prolaktin secara tunggal.
Darah merupakan cairan pembawa yang dipompa dari jantung untuk dialirkan
ke seluruh tubuh. Darah memiliki fungsi utama sebagai pembawa zat gizi dan
oksigen ke seluruh sel. Darah juga berfungsi untuk mengatur homeostatis tubuh
dengan membantu dalam menjaga temperatur tubuh, menjaga tingkat pH normal di
dalam jaringan, mengatur volume cairan di dalam sistem sirkulasi, media
transportasi enzim dan hormon, dan sebagai tempat pertahanan tubuh terhadap
mikroorganisme atau benda-benda asing yang mengancam tubuh (Ashton 2013).
Darah tersusun dari elemen-elemen pembentuk (sel darah merah, sel darah
putih, dan platelet) dan plasma. Hematokrit merupakan istilah yang digunakan
untuk menyatakan proporsi elemen-elemen pembentuk sel darah merah di dalam
darah keseluruhan (whole blood). Seluruh sel darah berasal dari kelas tunggal stem
sel pluripoten. Stem sel pembentuk darah memiliki dua jenis kemampuan, yaitu
kemampuan untuk membentuk stem sel baru melalui pembelahan sel dan
kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi sel darah dewasa yang telah
terspesialisasi. Stem sel pluripoten akan membelah dan membentuk stem sel
myeloid dan stem sel limfoid. Myeloid stem sel kemudian akan berdiferensiasi
21
Plasma Darah
Plasma adalah cairan berwarna kuning dalam darah yang tersusu oleh air,
protein, lemak, dan komponen lainnya. Plasma memiliki fungsi sebagai medium
untuk mengirimkan berbagai zat gizi menuju sel-sel dari berbagai organ tubuh.
Plasma juga berfungsi sebagai tempat untuk menyalurkan zat buangan tubuh hasil
proses metabolisme seluler, mempertahankan tekanan darah normal, serta
membantu menyeimbangkan proses homeostasis tubuh yang meliputi menjaga
keseimbangan asam dan basa di dalam tubuh (Rogers 2011).
Protein merupakan komponen kedua terbanyak setelah air di dalam plasma
(hampir 7 % dari berat plasma). Plasma protein memiliki efek osmotik yang
menyebabkan air cenderung akan bergerak dari cairan ekstraseluler ke dalam
plasma. Sebagian besar protein dalam plasma adalah serum albumin. Fungsi utama
dari serum albumin adalah untuk menjaga tekanan osmotik dari plasma. Kurangnya
serum albumin di dalam tubuh akan menyebabkan keluarnya cairan ke jaringan
ekstraseluler sehingga dapat menyebabkan bengkak atau edema. Serum albumin
dapat mengikat substansi tertentu yang ditransportasikan di dalam plasma. Hal ini
menyebabkan albumin bertindak sebagai protein pembawa nonspesifik. Komponen
lainnya yang terdapat di dalam plasma adalah sitokin. Sitokin memiliki fungsi
sebagai senyawa kimia pembawa pesan (messenger) yang mengatur pembentukan
sel darah (hematopoiesis). Potein lain yang terdapat di dalam plasma adalah
komplemen. Komplemen memiliki peran penting sebagai perantara respon imun
dan inflamasi terhadap berbagai agen-agen pembawa infeksi (Rogers 2011).
(ferrous protophyrin IX). Grup hem ini secara kovalen mengikat atom ferrous
(Fe2+) yang kemudian dapat mengikat oksigen di sisi kebalikannya. Oleh karena itu,
setiap hemolgobin dapat mengikat empat molekul oksigen. Konsentrasi
hemolgobin di dalam darah utuh (whole blood) merupakan salah indikator yang
dapat mengukur kondisi anemia seseorang. Pada manusia, konsentrasi hemolgobin
yang rendah dari batas normalnya (12-18 g/dl) diindikasikan sebagai kondisi
anemia atau kekurangan sel darah merah (Ashton 2013).
MCH (mean corpuscular volume) merupakan sebuah istilah yang digunakan
untuk menyatakan rata-rata volume dari sel darah merah, sedangkan MCHC (mean
corpuscular hemoglobin concentraiton) adalah rata-rata jumlah hemoglobin dalam
satu sel darah merah. Nilai MCH dan MCHC yang berada di luar batas normalnya
sering dikaitkan dengan kondisi anemia. Nilai MCH dan MCHC yang kurang dari
batas normalnya secara berturut-turut disebut sebagai kondisi mikrositik anemia
dan hipokromik anemia, sedangkan nilai MCH dan MCHC yang melebihi batas
normalnya secara berturut-turut disebut sebagai kondisi makrositik anemia dan
hiperkromik anemia (Ashton 2013).
Platelet (Trombosit)
Platelet disebut juga trombosit atau keping darah. Platelet merupakan sel
tidak berinti yang berasal dari megakariosit di sumsum tulang merah (Nikolic et al.
2016). Jumlah normal platelet pada manusia berkisar antara 150x103 sampai
450x103 sel/µl. Platelet menempati urutan kedua terbanyak setelah sel darah merah
(Twomey et al. 2018). Platelet memiliki fungsi utama dalam proses hemostasis dan
trombosis darah. Hemostasis dapat dibagi menjadi hemostasis primer, hemostasis
sekunder, dan fibrinolisis. Hemostasis primer adalah fungsi utama platelet dalam
mencegah pendarahan ketika terjadinya luka pada pembuluh darah. Sel pembuluh
darah yang sehat bersifat non-adhesif terhadap platelet. Namun, kondisi rusaknya
pembuluh darah akan membentuk permukaan subendotelilal yang merupakan target
utama dari platelet. Platelet agonis kemudian akan memicu aksi adhesi platelet pada
bagian permukaan subendotelial tersebut. Selama proses ini, platelet akan berubah
bentuk dan melepaskan komponen-komponen granula, kemudian secara bertahap
membentuk sebuah agregat. Proses ini akan meminimalisasi hilangnya darah secara
berlebihan dari pembuluh yang telah rusak (Jurk dan Kehrel 2005).
Platelet tersusun atas tiga jenis granula, yaitu granula padat, granula alfa, dan
lisosom. Granula padat mengandung nukleotida, katekolamin, serotonin, glutamat,
histamin, pirofosfat, dan kation. Granula alfa umumnya mengandung protein-ptoein
adhesi untuk proses pembekuan darah. Lisosom mengandung berbagai enzim
proteolitik yang memiliki peran penting dalam proses pemecahan protein.
Pelepasan dari granula-granula ini memiliki fungsi penting dalam proses inflamasi,
aterosklerosis, pertahanan tubuh tidak spesifik, penyembuhan luka, angiogenesis,
dan malignansi (Nikolic et al. 2016).
substansi toksik dan menghancurkan produk buangan tubuh lainnya. Sel darah putih
mengandung nukleus dan organel-organel. Sel darah putih dapat dibagi menjadi
granulosit (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan agranulosit (monosit dan limfosit)
(Al-Dulaimi et al. 2018).
Neutrofil merupakan jenis sel darah putih yang paling banyak, yaitu sekitar
50-70% dari total sel darah putih yang bersirkulasi. Beberapa jenis sel darah putih
(neutrofil, eosinofil, basofil, dan monosit) diproduksi di stem sel myeloid,
sedangkan limfosit dibentuk di stem sel limfoid yang bermigrasi dari sumsum
tulang merah ke jaringan limfoid (timus, limpa, dan noda limpa) (Ashton 2013).
Pembentukan sel darah putih umumnya dipicu oleh sel darah putih yang telah
dewasa dengan tujuan untuk mengumpulkan lebih banyak sel darah putih ke daerah
tubuh yang mengalami infeksi atau luka (Al-Dulaimi et al. 2018). Oleh karena itu,
jumlah sel darah putih biasanya akan meningkat secara signifikan apabila kondisi
infeksi terjadi di dalam tubuh. Faktor stimulan dari pembentukan sel darah putih
dinamai berdasarkan kemampuannya untuk mempertahankan pertumbuhan sel
darah di dalam sebuah kultur (Ashton 2013).
Tikus percobaan atau tikus laboratorium adalah tikus dari spesies Rattus
norvegicus yang dibiakan dan dikembangkan untuk keperluan penelitian ilmiah.
Tikus jenis ini sering dijadikan sebagai model untuk analisis berbagai masalah
biomedis seperti penyakit kardiovaskular, kelainan metabolisme (metabolisme
lemak, diabetes melitus), penyakit saraf (epilepsi, parkinson), organ tranplantasi,
penyakit autoimun, kanker, atau penyakit ginjal. Terdapat beberapa galur tikus
percobaan hasil dari biakan secara acak atau outbred, seperti galur Wistar, Sprague
Dawley, Osborne-Mendel, Long-Evans, Holtzman, Slonaker, dan Albany. Tikus
dari galur Wistar dan Sprague Dawley adalah jenis galur tikus yang banyak
digunakan untuk percobaan-percoaan di laboratorium (Hedrich 2000). Tikus galur
ini memiliki ciri utama berwarna putih sehingga sering disebut sebagai tikus putih
atau tikus albino.
Karakteritik fisiologi secara umum dari tikus percobaan disajikan pada Tabel
3. Tahapan pertumbuhan pada tikus percobaan hampir menyerupai pertumbuhan
pada manusia pada umumnya. Tikus anak yang baru lahir hanya menerima asupan
dari air susu induk tikus sampai berusia 18 hari. Tikus anak ini mulai mampu untuk
menerima pakan padat (pakan untuk tikus dewasa) setelah usia 18 hari. Lama waktu
menyusui pada tikus akan mulai berkurang pada saat usia tikus mencapai 20 hari.
Tikus kemudian mulai dipisahkan dari induknya pada usia 21 hari (Sengupta 2013).
Tabel 3 Karakteristik fisiologi umum dari tikus putih (Sengupta 2013) (lanjutan)
Karakteristik fisiologi
Rata-rata berat tikus jantan dewasa 450 – 550 g
Rata-rata berat tikus betina dewasa 250 – 300 g
Usia hidup 2.5 – 3.5 tahun
Usia dikawinkan 8 – 10 minggu
Lama estrus 10 – 20 jam
Lama kehamilan/bunting 21 – 23 hari
Jumlah anak 6-12
Berat badan lahir 5g
Perkiraan usia sapih 21 hari
Usia menopause 15-18 bulan
Gambar 6 Pertumbuhan tikus putih setelah lahir sampai dewasa (Sengupta 2013)
Tikus putih galur Sprague Dawley merupakan salah satu galur tikus
percobaan spesies Rattus norvegicus hasil outbred dan dikembangkan pertama kali
oleh Robert S. Dawley pada tahun 1920an dari pembiakan hibrid tikus putih Wistar
betina dan tikus stok liar jantan. Hasil biakan tikus Sprague Dawley sering
digunakan sebagai hewan model laboratorium dari metabolisme penyakit pada
manusia seperti diabetes, obesitas, kanker, dan penyakit-penyakit kardiovaskular
(Brower 2015). Tikus galur Sprague Dawley juga sering digunakan sebagai model
percobaan dalam penelitian sumber laktagogum (Mahmood et al. 2012: Iwansyah
25
2017). Tikus galur ini memiliki ciri utama berupa rasio panjang ekor dan panjang
tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan galur Wistar.
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Keterangan :
= variabel yang dianalisis
= variabel yang tidak dianalisis
= pengaruh yang dianalisis
= pengaruh yang tidak dianalisis
4 METODE
Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji adas (Foeniculum
vulgare Mill.) yang didapatkan dari Gunung Putri, Cipanas, Jawa Barat. Proses
pendapatan biji adas dilakukan setelah melakukan diskusi dengan petugas di Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITRO), Bogor. Biji adas yang
diperoleh telah dilakukan identifikasi tanaman di Pusat Konservasi Tumbuhan
Kebun Raya Bogor, Bogor (Lampiran 1). Hewan uji berupa tikus putih Sprague
29
Dawley laktasi yang didapatkan dari hasil perkawinan alamiah antara tikus jantan
dan betina. Tikus diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka, LPPM IPB. Pakan harian
yang diberikan merupakan pakan standar komersial yang diperoleh dari Pusat Studi
Biofarmaka, LPPM IPB.
Bahan untuk proses ekstraksi biji adas terdiri dari etanol 70% dan kertas
saring Whatman No.42. Bahan yang digunakan untuk analisis fitokimia kualitatif
adalah etanol, akuades, serbuk magnesium, HCl pekat, FeCl3 1% (dalam pelarut
air), pereaksi Wagner (KI, iodum, dan akuades), pereaksi Meyer, pereaksi
Dragendorff, Kloroform, dan H2SO4 pekat. Bahan yang diperlukan untuk analisis
senyawa kimia dengan GC-MS yaitu metanol khusus untuk GC-MS. Bahan untuk
analisis konsentrasi prolaktin, T3, dan T4 pada serum adalah kit ELISA
triiodotironin (T3) untuk tikus dari BIOENZY®, kit ELISA tetraiodotironin (T4)
dari BIOENZY®, dan kit ELISA prolaktin untuk tikus dari BT-LABORATORY®.
Bahan yang digunakan selama pemeliharaan dan intervensi hewan coba adalah
pakan standar, akuades, ketamin, dan xylazin. Pakan standar memiliki kompoisi
jagung, bungkil kedelai, tepung daging dan tulang, pecahan gandum, fosfor,
kalsium, minyak nabati, vitamin dan mineral mix, dan antioksidan.
Alat yang digunakan untuk esktraksi sampel dan analisis senyawa fitokimia
adalah blender, ayakan 40 mesh, corong buchner, vacum pump, gelas piala, tabung
reaksi, gelas ukur, gelas kaca ukuran 4 L, erlenmeyer, timbangan analitik, vortex,
pemanas listrik, tip plastik, pipet mikro, pipet tetes, kuvet, vacum evaporator,
lemari pendingin (refrigerator) dengan suhu 2-4 oC, freezer dengan suhu -19 oC,
dan GC-MS. Peralatan yang dibutuhkan selama pemeliharaan pada hewan coba dan
analisis hormon laktogenik pada serum adalah kandang tikus, sekam, botol minum,
timbangan digital, spuit injeksi, sonde, sentrifuse, tabung darah EDTA, hematology
analyzer dan ELISA reader (Benchmark BIO-RAD).
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer. Terdapat 5
(lima) jenis data yang dianalisis yaitu kandungan senyawa kimia pada ekstrak biji
adas, konsentrasi hormon laktogenik, gambaran darah induk tikus laktasi, produksi
air susu induk, dan pertumbuhan anak tikus. Jenis dan cara pengumpulan data
disajikan pada Tabel 5.
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih laktasi.
Tikus putih laktasi didapatkan dari hasil perkawinan alamiah antara tikus putih
jantan dan betina. Kriteria tikus laktasi yang digunakan adalah: galur Sprague
Dawley, umur 3-4 bulan, berat 150-300 g, sedang dalam masa laktasi, dan sehat
yang ditunjukkan dengan tanda-tanda seperti mata jernih, bulu putih bersih, dan
aktif beraktifitas. Penelitian ini menggunakan 4 (empat) kelompok perlakuan yang
terdiri dari 3 (tiga) taraf perlakuan pemberian ekstrak biji adas dan 1 (satu)
kelompok kontrol normal. Jumlah tikus yang dibutuhkan adalah 24 ekor (6 ekor per
kelompok perlakuan) berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus Federer
(2008). Penentuan jumlah hewan coba berdasarkan rumus Federer (2008) adalah
sebagai berikut:
(n-1) (t-1) ≥ 15
(n-1) (4-1) ≥ 15
n≥6
Keterangan : n = jumlah tikus di setiap kelompok
t = jumlah kelompok
Rancangan Percobaan
Yij = µ + αi + εij
31
Keterangan:
Yij = Hasil pengamatan efek ekstrak etanol biji adas ke-i pada ulangan ke-j
µ = Nilai rata-rata pengamatan
αi = Pengaruh proporsi ektrak etanol biji adas pada taraf ke- i
εij = Kesalahan penelitian karena pengaruh ekstrak etanol biji adas pada taraf ke-
i pada ulangan ke-j
Tahapan Penelitian
Penelitian eksperimen ini terdiri dari 3 (tiga) tahap penelitian. Tahap pertama
adalah pembuatan ekstrak sampel. Tahap kedua adalah analisis kandungan
fitokimia meliputi analisis kandungan fitokimia secara kualitatif dan analisis
senyawa kimia menggunakan GC-MS. Selanjutnya, tahap ketiga adalah pengujian
efek esktrak etanol biji adas pada tikus laktasi.
mengidentifikasi senyawa anetol pada ekstrak biji adas. Senyawa anetol diketahui
termasuk ke dalam golongan senyawa volatil. Oleh karena itu, analisis dengan
menggunakan gas kromatografi dapat dilakukan (Alam et al. 2019).
Alat yang digunakan adalah GC-MS merk Shimadzu GC-2010 Plus Series.
Fase gerak yang digunakan adalah helium dengan tekanan 9.2 psi, laju total 54.0
ml/menit, dan split rasio 46.4. Fase diam atau kolom adalah TRX-5-MS dengan
dimensi 30 m x 0.15 mm x 0,25 µm. Suhu oven diprogram antara 60 oC sampai 280
o
C dengan laju 10 oC/menit. Suhu oven kolom adalah 60 oC, suhu injektor 200oC,
suhu sumber ion 250 oC, dan suhu interface 250 oC. Sebanyak 10 mg ekstrak etanol
biji adas dilarutkan dalam 5 ml metanol. Kemudian 6 µL dari campuran larutan
diinjeksikan pada sample injection port GC-MS. Analisis identifikasi senyawa
dilakukan dengan membandingkan spektrum senyawa dan waktu retensi pada data
bank National Institute of Standard and Technology (NIST) GCMS Merck
Shimadzu QP2010.
menunjukkan bahwa sampai pada pemberian ekstrak etanol biji adas dosis 8000
mg/kg BB tidak menyebabkan kematian pada mencit. Sehingga ekstrak ini dapat
diklasifikan dalam kriteria “praktis tidak bersifat toksik”. Shah et al. (1991)
melakukan penelitian mengenai dosis akut dan kronik pada pemberian ekstrak
etanol 95% dari biji adas pada mencit. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa pada pemberian ekstrak etanol biji adas yang diamati selama 24 jam pada
dosis 500, 1000, dan 3000 mg/kg BB tidak menimbulkan gejala toksisitas akut.
Pemberian ekstrak etanol biji adas pada dosis 100 mg/kg BB selama 90 hari juga
tidak menimbulkan gejala toksisitas kronik.
dan gambaran darah induk (jumlah sel darah merah, jumlah sel darah putih,
hematokrit, dan hemoglobin). Prosedur percobaan pada tikus laktasi secara lebih
jelas disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Tahapan pengujian efek ekstrak etanol biji adas pada tikus laktasi
d. Pengambilan darah
Pengambilan sampel darah dilakukan melalui bagian ekor tikus pada minggu
ke 1 laktasi (hari ke-7) dan minggu ke-2 laktasi (hari ke-14 laktasi) untuk analisis
hormon pada serum darah induk tikus laktasi (T3, T4, dan prolaktin). Jumlah darah
yang diambil yaitu sebanyak 1 ml. Sebanyak 1 ml dari sampel darah disentrifuse
dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit untuk mendapatkan serum.
Pengambilan sampel darah dilakukan kembali pada minggu ke-3 (setelah hari
ke-21 laktasi) dengan sebelumnya tikus dieuthanasia menggunakan ketamin (75-
100 mg/kg BB) dan xylazin (5-10 mg/kg BB). Sebanyak 5 ml darah diambil melalui
jantung untuk analisis hormon dan gambaran darah. Sebanyak ± 2 ml darah
disentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit untuk analisis hormon
serum. Selanjutnya, sebanyak ± 3 ml darah dimasukkan ke dalam tabung EDTA
untuk analisis gambaran darah induk tikus laktasi.
Pertimbangan Etik
Penelitian ini telah mendapat persetujuan etik dengan nomor etik 149-2019 IPB
dari Komisi Etik Hewan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Institut Pertanian Bogor (KEH LPPM IPB). Attending veteriner dalam penelitian ini
adalah drh Innes Maulidya dari Pusat Studi Biofarmaka, LPPM, IPB. Persetujuan etik
ditampilkan pada Lampiran 5.
Definisi Operasional
Berat badan anak adalah berat badan anak tikus yang merupakan hasil dari
penimbangan dengan timbangan digital. Data berat badan anak meliputi data
berat badan anak yang ditimbang sebelum menyusu, berat badan setelah
dipisahkan dari induk tikus selama 4 jam, dan berat setelah menyusu pada
induk tikus selama 1 jam.
Ekstrak etanol biji adas adalah biji adas yang diekstrak dengan pelarut etanol 70%
menggunakan metode maserasi berulang.
Fitokimia kualitatif adalah kandungan fitokimia yang dianalisis secara kualitatif
berdasarkan pengamatan perubahan warna pada reaksi kimia yang dilakukan.
Kandungan fitokimia kualitatif dalam yang dianalisis dalam penelitian ini
meliputi kandungan alkaloid, flavonoid, fenol, saponin, tanin, steroid, dan
terpenoid.
Gambaran darah adalah analisis gambaran darah induk yang meliputi jumlah sel
darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), hemoglobin, dan hematokrit.
Hormon laktogenik adalah hormon-hormon yang terlibat dalam produksi air susu
di kelenjar mammae. Hormon laktogenik dalam penelitian ini adalah
konsentrasi T3, T4, dan prolaktin pada serum darah induk tikus laktasi yang
dianalisis dengan menggunakan kit ELISA.
Pertumbuhan anak adalah perubahan berat badan anak tikus yang dianalisis setiap
dua hari sekali dari hari ke-3 laktasi sampai hari ke-21 laktasi yang ditimbang
pada pagi hari sebelum dipisahkan dengan induk tikus untuk perhitungan
produksi susu.
Produksi susu induk adalah volume air susu induk tikus pada masa laktasi yang
diestimasi berdasarkan selisih berat badan anak tikus sebelum menyusui dan
setelah menyusui pada induk, dengan anak tikus dipisahkan terlebih dahulu
dari induk tikus selama 4 jam. Produksi susu induk dalam penelitian ini
diukur setiap dua hari sekali dari hari ke-3 sampai ke-21 laktasi
Sumber laktagogoum alami adalah berbagai jenis tanaman atau produk yang
terbuat dari bahan dasar alami yang berdasarkan penelitian dapat
meningkatkan produksi air susu.
39
Hasil analisis menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji adas tidak mengandung
senyawa alkaloid (Tabel 6). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Bhaisare et al. (2014) yang menujukkan bahwa dalam ekstrak hidroalkohol
biji adas tidak terdeteksi kandungan alkaloid. Namun, hasil penelitian Beyazen et
al. (2017) menunjukkan bahwa pada ekstrak metanol dan ekstrak air biji adas
terdapat kandungan senyawa alkaloid. Perbedaan hasil ini dapat disebabkan oleh
penggunaan jenis pelarut yang berbeda dalam pembuatan ekstrak. Kandungan
alkaloid akan lebih terekstrak secara maksimal pada pelarut metanol dan air
dibandingkan dengan etanol.
Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa di dalam ekstrak etanol biji adas
terdapat kandungan senyawa flavonoid (Tabel 6). Badgujar et al. (2014) dan
Bhaisare et al. (2014) juga menunjukkan bahwa pada ekstrak hidroalkohol biji adas
mengandung senyawa golongan falvonoid. Rifqiyani dan Wahyuni (2019)
menyatakan bahwa flavonoid merupakan salah satu jenis senyawa yang diduga
dapat meningkatkan produksi air susu pada tanaman adas. Mohanty et al. (2014)
juga menyatakan bahwa senyawa golongan flavonoid merupakan salah satu
senyawa pada biji adas yang diduga dapat meningkatkan produksi susu. Badgujar
40
Analisis keberadaan senyawa kimia pada ekstrak biji adas dilakukan dengan
menggunakan GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectrometer). Penggunaan
GC-MS juga telah dilakukan pada penelitian sebelumnya untuk menganalisis
kandungan komponen senyawa kimia pada ekstrak dan minyak biji adas (Renjie et
al. 2010; Alam et al. 2019). Identifikasi komponen senyawa kimia dalam penelitian
ini ditampilkan berdasarkan tingkat kesamaan pada daftar senyawa di library NIST.
Jumlah senyawa yang teridentifikasi ditampilkan dalam bentuk persen area (%
area). Hasil analisis komponen senyawa kimia pada ekstrak etanol biji adas
ditampilkan pada Tabel 7. Hasil kromatogram secara lebih lengkap disajikan pada
Lampiran 6.
Tabel 7 Komponen senyawa kimia pada ektrak etanol biji adas (lanjutan)
Nama SI RT (menit) % Area
Benzofuran 90 11.05 0.81
2-Metoksi-4-vinilfenol 87 12.64 0.22
Dietil ftalat 88 16.48 1.00
Asam miristat 92 18.28 0.37
Kafein 91 19.59 0.65
9-Tetradekanal 84 20.30 0.49
Asam palmitoleat 93 20.39 0.59
Asam palmitat 94 20.48 16.59
Metil 9-cis,11-trans-oktadekadienoat 90 21.89 0.55
Asam 9-Oktadekenoat, metil ester 90 21.94 1.23
Asam linoleat 92 22.26 10.41
Asam oleat 92 22.32 53.04
Asam stearat 89 22.48 1.03
Bis(2-etilheksil) ftalat 88 26.06 0.34
E,E,Z-1,3,12-Nonadekatrien-5,14-diol 82 27.50 0.88
Keterangan : SI = similarity index,, RT : retention time.
Karakteristik Sampel
tikus adalah 7.98±1.07 g/anak. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan pada berat awal induk dan anak antar kelompok
perlakuan (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa induk tikus yang diberi perlakuan
dan anaknya sudah dalam kondisi setara.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa nilai persentase standar deviasi
terhadap rata-rata pada berat awal induk dalam penelitian ini masih dinilai tinggi,
yaitu pada kelompok N mencapai 18% dan pada kelompok EA1 mencapai 22%.
Oleh karena itu, pemilihan sampel induk laktasi dengan berat badan awal yang
seragam dan nilai standar deviasi yang lebih kecil perlu dipertimbangkan untuk
penelitian selanjutnya, sehingga data hasil intervensi bisa lebih baik untuk dianalisis.
Mahmood et al. (2012) menunjukkan bahwa terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan saat melakukan pengukuran produksi air susu pada induk, diantaranya
adalah jumlah anak per induk dan interval waktu pemisahan antara induk dan anak
tikus. Jumlah anak per kandang disesuaikan dengan tujuan untuk memaksimalkan
potensi anak sehingga dapat menyusu pada induk tanpa adanya persaingan yang
ketat antar anak dalam satu induk. Semakin banyak jumlah anak yang menyusu
pada induk, maka dapat menyebabkan jumlah air susu yang diterima oleh setiap
anak akan semakin sedikit. Beberapa penelitian yang mengukur variabel produksi
air susu menggunakan jumlah anak sebanyak 6 anak per induk (Mahmood et al.
2012; Lin et al. 2017). Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan penyesuaian
jumlah ana tikus sebanyak 6 ekor per induk.
Waktu pemisahan diantara induk dan anak harus dilakukan dalam waktu yang
cukup sehingga air susu yang terakumulasi di kelenjar air susu dapat diukur secara
akurat (Mahmood et al. 2012). Waktu pemisahan tersebut umumnya dilakukan
antara 4 sampai 6 jam. Waktu pemisahan anak tikus dengan induk tikus dalam
penelitian ini dilakukan selama 4 jam. Hal ini dikarenakan dalam waktu tersebut
sudah dinilai cukup untuk bisa mengukur produksi air susu yang terakumulasi
(Roosita 2003; Lin et al. 2017).
1,5
0,5
0
minggu ke-1 minggu ke-2 minggu ke-3
Periode laktasi
Gambar 10 Konsentrasi triiodotironin (T3) pada serum darah tikus laktasi
Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Roosita (2003) yang menunjukkan
bahwa terdapat penurunan konsentrasi T3 selama waktu pengamatan setelah adanya
pemberian nutrasetikal galohgor pada tikus laktasi. Nilai rata-rata konsentrasi
hormon T3 pada induk tikus yang diberikan nutrasetikal galohgor pada hari ke-21
laktasi signifikan lebih rendah (0.3635 ng/ml) dibandingkan dengan kontrol (0.5918
ng/ml). Penurunan T3 ini diduga disebabkan karena meningkatnya aktifitas hormon
T3 di kelenjar air susu sehingga dapat memaksimalkan produksi air susu pada tikus.
Penelitian pada sapi perah juga menunjukkan bahwa konsentrasi T3 memiliki nilai
yang lebih rendah pada kelompok sapi yang memiliki jumlah produksi air susu yang
lebih tinggi (Gueorguiev 1999).
Konsentrasi T3 sebagian besar didapatkan dari hasil perubahan T4 dengan
bantuan enzim 5’–deiodinase. Proses pembentukkan hormon tiroid tersebut (T3 dan
T4) memerlukan mineral iodium (Neville et al. 2002). Kandungan iodium dalam
makanan yang dikonsumsi merupakan salah satu sumber iodium yang didapatkan
oleh tubuh. Kekurangan asupan iodium dalam tubuh dapat menyebabkan
konsentrasi hormon tiroid berapa dibawah kadar normalnya (hipotiroid). Tucker
(2000) juga menambahkan bahwa kondisi hipotiroid dalam tubuh dapat diperparah
dengan meningkatnya sekresi iodium melalui air susu selama kondisi laktasi. Hal
tersebut menunjukkan bahwa asupan iodium harus diperhatikan untuk mencapai
jumlah yang cukup selama masa laktasi. Namun, kecukupan asupan iodium induk
tikus dalam penelitian ini masih belum dianalisis secara lebih mendalam. Oleh
karena itu, dalam penelitian selanjutnya perlu dipertimbangkan mengenai analisis
terhadap status asupan iodium yang dikonsumsi oleh induk.
45
30
20
10
0
minggu ke-1 minggu ke-2 minggu ke-3
Periode laktasi
Gambar 11 Konsentrasi tetraiodotironin (T4) pada serum darah tikus laktasi
Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Roosita (2003) yang menunjukkan
bahwa terdapat penurunan konsentrasi T4 setelah pemberian nutrasetikal galohgor
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pemberian nutrasetikal galohgor diketahui
secara signifikan dapat menurunkan konsentrasi serum T4 di hari ke-7 laktasi, ke-
14 laktasi, dan ke-21 laktasi dengan nilai masing masing yaitu 8.32, 9.07, dan 7.26
ng/ml. Hasil tersebut juga didukung oleh hasil penelitian pada sapi perah yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara konsentrasi T4 dengan
produksi air susu pada setiap masa laktasi. Konsentrasi T4 ditemukan lebih rendah
pada sapi dengan produksi susu yang lebih tinggi (Gueorguive 1999).
Rendahnya konsentrasi T4 pada serum darah induk selama masa laktasi
diduga karena adanya peningkatan aktifitas perubahan T4 menjadi T3 di kelenjar
mammae dibandingkan di organ lainnya. Kondisi ini memungkinkan konsentrasi
hormon tiroid di kelenjar mammae berada dalam kondisi yang normal (euthyroid
state) selama masa laktasi, meskipun kondisi hipotiroid dapat terjadi di dalam
serum darah atau organ lainnya. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya prioritas
metabolisme di kelenjar mammae untuk produksi susu (Tucker 2000).
T4 juga diketahui memiliki fungsi penting dalam meningkatkan kepekaan
kelenjar air susu terhadap hormon pertumbuhan (growth hormone) dan prolaktin
selama masa laktasi. Hasil penelitian Capuco (1999) menunjukkan bahwa
46
18.13
30 19.28 ±10.31a ±9.81a ±7.21a
20.54 ±7.51a 20.93 22.21 20.79
±4.76a ±2.82a ±2.28a 19.56 ±4.59a 20.63
25 ±290a ±1.36a 16.40
15.75 ±3.03a
20 ±1.93a
15
10
0
minggu ke-1 minggu ke-2 minggu ke-3
Periode laktasi
Gambar 12 Konsentrasi prolaktin pada serum darah tikus laktasi
Beberapa peneliti menduga bahwa biji adas dapat meningkatkan produksi susu
karena adanya kandungan fitoestrogennya. Fitoestrogen adalah golongan senyawa
kimia pada tumbuhan yang memiliki aksi seperti estrogen. Kandungan fitoestrogen
menyebabkan timbulnya aktifitas estrogenik. Tabares et al. (2014) menduga bahwa
estrogen dapat meningkatkan ekspresi gen prolaktin melalui dua kemungkinan
mekanisme. Mekanisme pertama adalah fitoestrogen dapat terikat di reseptor
estrogen intraseluler di sel laktrotopik pituitari, yang selanjutnya dapat
menyebabkan peningkatan prolaktin dan peningkatan sekresi air susu. Mekanisme
kedua adalah fitoestrogen dapat menghambat suatu mekanisme yang dihasilkan
oleh adanya aktifasi reseptor dopamin di sel laktotropik anterior pituitati. Dopamin
diketahui sebagai salah satu senyawa inhibitor dari hormon prolaktin (Tabares et al.
2014).
47
Kandungan senyawa fitoestrogen yang diduga terdapat pada biji adas adalah
flavonoid dan anetol (Tabares et al. 2014; Rifqiyati dan Wahyuni 2016). Anetol
merupakan salah satu kelompok fitoestrogen dengan struktur yang menyerupai
dopamin. Anetol diduga berkompetisi dengan dopamin pada sisi reseptornya,
sehingga menghambat aksi anti-sekretori dari dopamin terhadap prolaktin
(Badgujar et al. 2014). Namun dalam penelitian ini, hormon prolaktin pada
pemberian ekstrak etanol biji adas tidak terlihat menunjukkan hasil yang signifikan
meningkat dibandingkan dengan kontrol. Hal ini diduga berkaitan dengan data
sebelumnya yang menunjukkan bahwa kandungan senyawa anetol yang masih
belum terekstrak secara maksimal di dalam ekstrak etanol biji adas.
Forinash et al. (2012) menyebutan bahwa hormon prolaktin merupakan
hormon kunci dalam proses produksi air susu pada ibu menyusui. Hormon prolaktin
memiliki berbagai macam fungsi di kelenjar air susu seperti menunjang
perkembangan kelenjar dan sintesis air susu (Freeman et al. 2000). Beberapa hasil
penelitian pada tanaman yang diduga dapat meningkatkan produksi air susu
menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dari hormon prolaktin. Bako et
al. (2008) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan hormon prolaktin dan
produksi susu yang signifikan setelah pemberian ekstrak etil asetat biji rosela pada
tikus laktasi. Hasil penelitian lainnya oleh Kusuma et al. (2017) menunjukkan
bahwa terdapat peningkatan hormon prolaktin dan produksi susu yang signifikan
setelah adanya pemberian daun ubi jalar (200 g/hari) pada ibu menyusui.
Namun, tidak semua hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang
sejalan antara peningkatan produksi air susu dan hormon prolaktin. Hasil penelitian
Ogweje et al. (2019) menunjukkan adanya peningkatan produksi air susu pada
induk setelah pemberian Vitamin C tidak ditunjang dengan adanya peningkatan
yang signifikan dari hormon prolaktin. Namun, peningkatan produksi air susu
tersebut lebih disebabkan karena adanya peningkatan hormon oksitosin. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa kandungan senyawa dari bahan yang diberikan pada
tikus laktasi dapat mempengaruhi berbagai mekanisme peningkatan produksi air
susu pada tikus. Pemberian fraksi etil asetat daun torbangun juga menunjukkan
bahwa peningkatan produksi air susu yang signifikan tidak disertaii dengan data
serum hormon prolaktin yang meningkat secara signifikan. Namun, terdapatnya
peningkatan ekspresi gen dari reseptor hormon prolaktin di kelenjar mammae pada
kelompok yang diberikan ekstrak (Iwansyah et al. 2019).
Kadar eritrosit pada semua pelakuan diketahui tidak berbeda signifikan antar
kelompok perlakuan dan nilai tersebut masih berada dibawah kadar normal untuk
setiap kelompok perlakuan (Tabel 9). Nilai normal untuk parameter jumlah eritrosit
adalah 7 x 106/mm3 sampai 11 x 106/mm3 (Douglas dan Wardrop 2010). Hasil ini
sejalan dengan penelitian Roosita et al. (2003) yang juga menunjukkan bahwa
kadar eritrosit pada kelompok tikus laktasi yang diberikan nutrasetikal galohgor
(bahan galaktogoum) selama 21 hari laktasi tidak berbeda signifikan dengan
kelompok kontrol. Konsentrasi ertirosit memiliki nilai yang masih berada dibawah
kadar normal yaitu berkisar antara 6.130±0.25 106/mm3 pada kelompok perlakuan
galohgor dan 5.377±0.25 pada kelompok kontrol.
Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol biji adas tidak dapat
meningkatkan jumlah eritrosit pada tikus laktasi. Hal ini berbeda dengan penelitian
Mansouri et al. (2015) yang menunjukkan bahwa pada pemberian ekstrak etanol
biji adas dengan dosis 250 mg/kg BB selama 30 hari pada tikus jantan secara
signifikan dapat meningkatkan sel darah merah. Hal ini diduga karena adanya
perbedaan kondisi fisiologis pada tikus dan lama intervensi yang berbeda.
Kadar hemoglobin tikus diketahui tidak berbeda signifikan antar kelompok
perlakuan (Tabel 9). Semua tikus pada kelompok perlakuan memiliki kadar
hemoglobin yang masih berada pada kisaran yang normal. Kisaran kadar normal
untuk parameter kadar hemoglobin adalah 11.6 g/dL sampai 16 g/dL (Douglas dan
Wardrop 2010). Hasil ini juga sejalan dengan penelitian Mansouri et al. (2015) yang
menunjukkan bahwa pada pemberian ekstrak etanol biji adas pada konsentrasi yang
berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan
ekstrak dengan kelompok kontrol. Hemoglobin merupakan komponen pembawa
oksigen di dalam sel darah. Oleh karena itu, ketersediaanya dalam konsentrasi yang
normal sangat diperlukan untuk menunjang kesehatan tubuh.
Kadar hematokrit induk tikus pada penelitian ini tidak berbeda signifikan
antar kelompok perlakuan dan masih berada pada kisaran rentang yang normal
(Tabel 9). Kisaran normal untuk parameter jumlah hematokrit adalah 37.6% sampai
51% (Douglas dan Wardrop 2010). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Bahar
(2011) yang juga menunjukkan bahwa pemberian fraksi daun kelor pada tikus
laktasi tidak menunjukkan perbedaan nilai hematokrit yang signifikan dengan
kelompok kontrol. Hematokrit merupakan istilah yang digunakan untuk
49
menyatakan jumlah sel darah merah dalam 100 ml darah. Kadar hematokrit dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kondisi asupan cairan tubuh, adanya
pendarahan, dan kondisi anemia.
Nilai leukosit tikus kelompok perlakuan tidak berbeda signifikan dengan
kelompok kontrol dan masih berada pada batasan nilai normal (Tabel 9). Kisaran
normal jumlah leukosit pada tikus yaitu berkisar 5x103/mm3 sampai 13x103/mm3
(Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Bahar
(2011) yang juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan
pada nilai leukosit setelah adanya pemberian fraksi daun kelor pada tikus laktasi.
Leukosit atau sel darah putih memiliki fungsi utama dalam sistem pertahanan tubuh
dengan cara melindungi tubuh dari berbagai penyakit infeksi dan substansi
substansi toksis (Al-Dulaimi et al. 2018).
Produksi susu induk dalam penelitian ini dianalisis secara tidak langsung
yaitu melalui selisih berat badan anak tikus antara sebelum dan setelah menyusu
pada induk tikus. Metode perhitungan produksi susu ini telah banyak dilakukan
pada penelitian sebelumnya yang juga menganalisis efek sumber laktagogoum
terhadap produksi air susu (Roosita 2003; Mahmood et al. 2012; Lin et al. 2017).
Suprayogi et al. (2015) menunjukkan bahwa selisih berat badan sebelum dan
sesudah menyusui memiliki korelasi yang positif dengan volume susu. Perubahan
berat pada anak tikus pada masa sebelum sapih diduga merupakan akibat dari
kuantitas dan kualitas air susu yang dikonsumsi anak selama menyusu pada induk.
N EA1 EA2 EA3
6
Produksi susu induk tikus (g/hari)
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Rata-rata produksi susu induk disajikan dari hari ke-3 laktasi sampai hari ke-
21 laktasi pada Gambar 13. Hal ini dilakukan untuk mengetahui produksi susu
sampai waktu masa sapih tikus. Produksi susu pada setiap hari laktasi diketahui
mengalami fluktuatif, namun terlihat adanya trend yang meningkat sampai hari ke-
19 laktasi. Kondisi produksi susu yang tidak linier atau mengalami fluktuatif juga
ditemukan pada hasil penelitian Koko et al. (2019) dan Mahmood et al. (2012) yang
menunjukkan bahwa grafik produksi susu terhadap hari laktasi tidak bersifat linier.
Hal ini diduga disebabkan adanya pengaruh variasi biosintesis air susu selama masa
laktasi (Koko et al. 2019).
Produksi susu pada keseluruhan kelompok perlakuan juga diketahui
mengalami penurunan pada hari ke-21 laktasi (Gambar 13). Hal tersebut diduga
karena semakin mendekatinya masa sapih, yakni pada hari ke-21 laktasi, maka
produksi susu induk semakin berkurang. Frekuensi menyusu anak tikus pada induk
juga berkurang, dan anak tikus sudah siap untuk megkonsumsi pakan dengan
tesktur yang padat. Seiring dengan meningkatnya usia anak tikus, maka kebutuhan
zat gizi akan semakin meningkat. Peningkatan kebutuhan ini dapat dipenuhi melalui
pakan yang tersedia untuk dikonsumsi (Mahmood et al. 2012; Sengupta 2013;
Koko et al. 2019).
Hasil uji ANOVA terhadap produksi susu pada setiap hari pengamatan
menunjukkan bahwa rata-rata produksi susu pada setiap hari pengamatan tidak
berbeda signifikan antar kelompok perlakuan. Meskipun secara statistik tidak
berbeda signifikan, namun dapat diamati bahwa produksi susu induk tikus pada
kelompok EA1, EA2, dan EA3 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok
kontrol (N) (Gambar 13).
Hasil analisis rata-rata produksi susu secara keseluruhan disajikan pada Tabel
10. Rata-rata produksi susu sampai hari ke-21 laktasi menunjukkan tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan. Namun demikian, rata-rata
produksi susu pada kelompok perlakuan ekstrak biji adas (EA1, EA2, dan EA3)
memiliki rata-rata produksi susu yang relatif lebih tinggi dibandingkan kontrol (N).
pemberian ekstrak etanol biji pada tikus laktasi relatif lebih baik pada dosis yang
terkecil, yaitu 88.75 mg/kg BB, dibandingkan kelompok kontrol.
Rata-rata produksi susu pada pemberian ektrak etanol biji adas yang relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol diduga disebabkan adanya kandungan
senyawa yang terekstrak. Meskipun kandungan senyawa anetol tidak terdeteksi,
terdapat kandungan senyawa lain pada ekstrak etanol biji adas yang diduga dapat
menunjang peningkatan produksi susu. Kandungan senyawa tersebut meliputi
flavonoid, fenol, tanin, saponin, dan asam lemak. Rifqiyati dan Wahyuni (2019)
menyatakan bahwa flavonoid merupakan salah satu jenis senyawa yang diduga
dapat meningkatkan produksi air susu pada tanaman adas. Mohanty et al. (2014)
dalam hasil penelitiannya menjelaskan bahwa beberapa golongan fitokimia seperti
polifenol, saponin, dan tanin diduga memiliki efek yang positif dalam membantu
meningkatkan produksi air susu. Sementara itu, ekstrak biji adas juga dianalisis
memiliki kandungan asam lemak yang diduga dapat menunjang peningkatan
produksi air susu. Diantara kandungan asam lemak tersebut adalah asam palmitat.
Asam palmitat dalam bahan pangan diketahui dapat meningkatkan lemak susu dan
digunakan sebagai sumber energi untuk proses produksi air susu (Piantoni et al.
2013).
Hasil analisis pada Tabel 10 juga menunjukkan bahwa lama waktu pemberian
intervensi diduga dapat mempengaruhi hasil produksi susu. Hasil analisis produksi
susu pada kelompok intervensi sampai hari ke-15 laktasi menunjukkan terdapat
perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol, sedangkan hasil analisis
produksi susu sampai hari ke-21 laktasi tidak berbeda nyata dengan kelompok
kontrol. Hasil ini menduga bahwa lama waktu pemberian ekstrak etanol biji adas
relatif lebih baik diberikan hanya sampai hari ke-15 laktasi. Hasil ini serupa dengan
penelitian Hossainzadeh et al. (2013a) yang menunjukkan bahwa pemberian biji
jintan hitam secara signifikan dapat meningkatkan produksi susu setelah hari ke-15
laktasi.
dan kontrol (R2 = 0.999). Hasil uji dengan ANOVA menunjukkan bahwa rata-rata
berat badan anak tikus pada setiap hari pengamatan tidak berbeda signifikan antar
kelompok perlakuan. Namun, Gambar 14 menunjukkan bahwa peningkatan berat
badan anak tikus yang diberikan ekstrak etanol biji adas pada kelompok EA1 relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol, EA2, dan EA3.
40
35
30
Berat anak tikus (g)
25
20
15
10
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Perubahan berat badan anak tikus selanjutnya dianalisis dari hasil selisih berat
badan awal sampai hari ke-15 laktasi dan sampai hari ke-21 laktasi. Perubahan berat
badan ini disajikan pada Tabel 11. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa setelah
pemberian bahan intervensi sampai hari ke-21 laktasi, perubahan berat badan anak
tikus tidak berbeda signifikan antar kelompok perlakuan (p>0.05). Namun
demikian, dari hasil selisih berat menunjukkan bahwa perubahan berat anak tikus
pada kelompok EA1 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (Tabel 11).
Tabel 11 Rata-rata pertambahan berat badan anak tikus laktasi pada kelompok
perlakuan
Kelompok Pertambahan berat badan Pertambahan berat badan
perlakuan sampai hari ke-15 laktasi sampai hari ke-21 laktasi
(g/tikus) (g/tikus)
N 16.99±3.16a 25.68±4.69a
EA1 18.23±2.23a 28.11±5.54a
a
EA2 16.17±1.37 25.69±6.82a
EA3 16.22±3.23a 24.25±5.74a
Keterangan: nilai merupakan rata-rata ± SD (n=6), N: akuades, EA1: ekstrak biji adas dosis 88.75 mg/kg
BB, EA2: ekstrak biji adas dosis 177.50 mg/kg BB, EA3: ekstrak biji adas dosis 355.00 mg/kg,
huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan berbeda signifikan (p<0.05).
53
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol biji adas
tidak menyebabkan adanya perubahan berat badan anak tikus yang signifikan
dibandingkan kontrol. Hasil ini juga didukung oleh data produksi susu yang
membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan setelah pemberian
ekstrak etanol biji adas pada hari ke-21 laktasi. Perubahan berat badan anak pada
masa awal kehidupannya atau sebelum masa sapih diduga merupakan hasil
pengaruh dari kuantitas dan kualitas air susu yang dihasilkan oleh induk (Okasha et
al. 2008). Hasil penelitian Suprayogi et al. (2015) mengenai pemberian daun katuk
pada tikus laktasi juga menunjukkan bahwa peningkatan berat badan anak tikus
pada masa laktasi diduga disebabkan oleh adanya peningkatan produksi susu induk.
Adanya senyawa aktif yang dikonsumsi anak melalui susu induk juga dapat
mempengaruhi perubahan berat badan anak (Suprayogi et al. 2015). Namun, dalam
penelitian ini kualitas air susu yang dihasilkan induk tikus tidak dianalisis secara
mendalam.
Tabel 11 juga menunjukkan bahwa terdapat satu kelompok yaitu EA1 yang
memiliki perubahan berat badan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok kontrol, meskipun nilai tersebut tidak berbeda signifikan secara statistik
antara kelompok perlakuan. Hasil ini sejalan dengan data produksi susu yang telah
disebutkan sebelumnya yang menunjukkan bahwa produksi susu induk relatif lebih
tinggi pada kelompok EA1 dibandingkan kelompok N (kontrol). Hasil penelitian
ini menduga bahwa pemberian ekstrak etanol dengan dosis terkecil yaitu 88.75
mg/kg BB memberikan hasil perubahan berat badan yang relatif lebih baik
dibandingkan kelompok lainnya. Namun, hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut
untuk mengevaluasi kembali jumlah dosis yang lebih sesuai sehingga dapat
mencapai peningkatan berat badan yang signifikan dibandingkan kontrol.
Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada ekstrak etanol biji adas terdapat
kandungan flavonoid, fenol, tanin, saponin, dan steroid. Kandungan senyawa
dengan luas area tertinggi hasil analisis kromatogram dengan GC-MS adalah asam
lemak oleat, linoleat, dan palmitat.
Secara keseluruhan hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan pada konsentrasi hormon T3, T4 dan prolaktin tikus
laktasi antar kelompok perlakuan. Perbedaan hanya terjadi pada minggu ke-3
laktasi yaitu nilai hormon T4 pada kelompok N dan EA1 signifikan lebih rendah
dibandingkan kelompok EA2. Gambaran darah pada induk laktasi juga tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan.
Gambaran hemoglobin, hematokrit, dan leukosit induk masih berada pada rentang
normalnya, sedangkan gambaran eritrosit pada semua kelompok perlakuan masih
berada dibawah rentang normal.
Rata-rata produksi susu setelah pemberian ekstrak etanol biji adas sampai hari
ke 21 laktasi menunjukkan tidak berbeda signifikan antar kelompok perlakuan.
54
Namun, rata-rata produksi susu pada kelompok EA1, EA2, dan EA3 menunjukkan
nilai yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Rata-rata
produksi susu menunjukkan hasil yang berbeda signifikan sampai hari ke-15
laktasi, yaitu produksi susu pada kelompok EA1 signifikan lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol. Pertumbuhan anak tikus tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan. Namun demikian, terdapat
satu kelompok yaitu EA1 yang memiliki nilai perubahan berat badan tertinggi
dibandingkan kelompok lainnya.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Bako IG, Mabrouk MA, Abubakar MS, Mohammed A. 2013. Lactogenic study of
the ethyl-acetate fraction of Hibiscus sabdariffa linn seed on pituitary
prolactin level of lactating albino rats. International Journal of Applied
Research in Natural Products. 60 (2) : 30-37.
Bahar NW. 2011. Pengaruh pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk (sauropus
androgynus (l.) Merr) terhadap gambaran hematologi pada tikus putih laktasi
[Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Ballard. 2013. Human milk composition: nutrient and bioactive factors. Pediatr
Clin North Am. 60 (1): 49-74. Doi.10.1016/j.pcl.2012.10.002
Bargah RK. 2015. Preliminary test of phytochemical screening of crude ethanolic
and aqueous extract of Moringa pterygospermae. J. Pharmacognosy
Phytother. 4 (1): 7-9.
Bano S, Ahmad N, Sharma AK. 2016. Phytochemical investigation and evaluation
of anti-microbial and anti-oxidant activity of Foeniculum vulgare (fennel). Int
J Pharm Sci Res. 7 (7) : 3010-314.
Bazzano AN, Hofer R, Thibeau S, Gillispie V, Jacobs M, Theall KP. 2016. A
review of herbal and pharmaceutical galactagogues for breast-feeding.
Ochsner J. 16 (4): 511-524.
Beyazen A, Dessalegegn E, Mamo W. 2017. Phytochemical screening, antioxidant
and antimicrobial activities of seeds of Foeniculum vulgare (ensilal). World
J Pharm Sci. 5(3): 198-208
Bhaisare DB, Thyagarajan D, Punniamurthy N, Churchil RR, Ranganathan V. 2014.
Phytochemical analysis of four herbal seed extract and their use in poultry
ration. J Poult Sci. 2(2): 34-47.
Borellini F, Oka T, 1989. Growth control and differentiation on mammary epithelial
cells. Env Health Persptv. 80:85-89.
Brown CRL, Dodds L, Legge A, Bryanton J, Semenic S. 2014. Factors influencing
the reasons why mothers stop breastfeeding. Can J Public Health.105(3):179-
185.
Brown JE. 2011. Nutrition Through the Life Cycle. America (US) : Wadsworth
Brower M, Grace M, Kotz CM, Koya V. 2015. Comparative analysis of growth
characteristics of Sprague Dawley rats obtained from different sources. Lab
Anim Res. 3 (4) : 166-173.
Cai X, Wardlaw T, Brown DW. 2012. Global trens in exclusive breasfeeding. Int
Breastfeed J. 7 (12) : 1-5. Doi. 10.1186/1746-4358-7-12.
Capuco AV, Kahl S, Jack LJ, Bishop JO, Wallace H. 1999. Prolactin and growth
hormone stimulation of lactation in mice requires thyroid hormones. Pro Soc
Exp Biol Med. 221(4):345-51.
Colegate SM, Molyneux RJ. 2008. Bioactive natural products: detection, isolation,
and structural determination – 2 nd Edition. Boca Raton (US): CRC Press
Damanik R, Wahlqvist ML, Wattanapenpaiboon N. 2006. Lactagogue effects of
Torbangn, a Bataknese traditional cuisine. Asia Pac J Clin Nutr. 15 (2):267-
274.
Damayanti A, Setyawan E. 2012. Essential oil extraction of fennel seed
(foeniculum vulgare) using steam distillation. Int J Sci Eng. 3(2):12-14.
Devi K, Vanithakumari G, Anusya S, Mekala N, Malini N, Elango V. 1985. Effect
of foeniculum vulgare seed extract on mammary glands and oviducts of
ovariectomised rats. Ancient Sci Life. 2 (2): 129-132
56
Nikinmaa M. 2011. Red Blood Cell Function. In: Farrell AP (ed.), Encyclopedia of
Fish Physiology: From Genome to Environment. San Diego (US): Academic
Press.
Nuratmi B, Sundari D, Astuti Y. 1998.Pengaruh buah adas (Foeniculum vulgare
Mill.) terhadap pertumbuhan janin tikus putih. Med litbang ed khusus. 3 (3):
29-31
Okasha MAM, Abu Bakar MS, Bako IG. 2008. Study of the effect of aqueous
Hibiscus Sabdariffa Linn seed extract on serum prolactin level. 22 (4): 575-
583.
Piantoni P, Lock AL, Allen M. 2013. Palmitic acid increased yields of milk and
milk fat and nutrient digestibility across production level of lactating cows. J.
Dairy Sci. 96 :1–12. Doi. 10.3168/jds.2013-6680
Pooja S, Vidyasagar. 2016. Phytochemical screening for secondary metabolites of
Opuntia dillenii Haw. J Med Plants Studies. 4(5): 39-43
Prabasiwi P, Fikawati S, Syafiq A. 2015. Exclusive breasfeeding and perception of
insufficient milk supply. J Kes Masy Nas. 9 (3) : 282-287.
Raguinidin PF, Dans LF, King JF. 2014. Moringa oleifera as a Galactagogue.
Breastfeeding med. 9( 6): 323-324. DOI: 10.1089/bfm.2014.0002
Renjie L, Zhenhong L, Shidi S. 2010. GC-MS analysis of fennel essential oil and
its effect on microbiology growth in rats’ intestine. Afr J Microbiol
Res. :1319–1323
Rifqiyati N, Wahyuni. 2019. Fennel (Foeniculum vulgare) leaf infusion effect on
mammary gland activity and kidney function of lactating rats. Nusantara
Bioscinece. 11 (1) : 101-105. Doi. 10.13057/nusbiosci/n110117
Rifqiyati N, Sulisiyawati, Sunaini. 2016. Pengaruh ekstrak etanol daun adas
(Foeniculum vulgare mill.) pada induk tikus (rattus norvegicus) masa laktasi
terhadap pertumbuhan anak. Integrates Lab Journal. 4 (2) : 199-205.
Roger K. 2011. Blood : physiology and circulation. New York (US) : Britannica
Educational Publishing.
Roosita K. 2003. Efek jamu galohgor pada involusi uterus dan produksi air susu
tikus putih (Rattus sp.) [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Roosita K. 2014. Peranan ß-karoten dan nutrasetikal galohgor dalam proliferasi,
diferensiasi, dan ekspresi gen sel epitel usus (CMT-93) dan sel kelenjar
mammae (HC11) [Disertasi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor
Ross JA, Kasum CM. 2002. DIETARY FLAVONOIDS: Bioavailability, Metabolic
Effects, and Safety. Nutrition. 22 (1): 19-34. Doi.
10.1146/annurev.nutr.22.111401.144
Sadeghpour N, Khaki NA, Najafpour A, Dolatkhak H, Montaseri A. 2015. Study
of Foeniculum vulgare (Fennel) Seed Extract Effects on Serum Level of
Estrogen, Progesterone and Prolactin in Mouse. Crescent J Med Biol Sci. 2
(1) : 23-27
Sari IP. 2003. Daya laktagogum jamu uyup-uyup dan ekstrak daun katu (Sauropus
androgynus merr.) Pada glandula ingluvica merpati. M Farmasi Ind. 14(1):
265-269. 2003
Saxena M, Saxena J, Nema R, Singh D, Gupta A. 2013. Phytochemistry of medical
plants. J Pharmacogn Phytochem. 1 (6): 168-182.
Sengupta P. 2013. The laboratory rat: Relating its age with human’s. Int J Prev Med
4 (6) :624-30.
60
Shah AH, Qureshi S, Ageel AM. 1991. Toxicity studies in mice of ethanol extracts
of Foenic&n vulgare fruit and Ruta chalepensis EArial parts. J
Ethnopharmacol. 34:167-I 12.
Shanti RV, Jumari, Izzati M.2014. Studi Etnobotani Pengobatan Tradisional untuk
Perawatan Wanita di Masyarakat Keraton Surakarta Hadiningrat.
Biosaintifika. 6 (2):85-93.1Doi.10.15294/biosaintifika.v6i2.3101
Simundic AM, Blaton V, Mozina B. 2009. New Trends In Classification, Diagnosis
And Management Of Thyroid Diseases. Zagreb (CRO) : Medicinska Naklada
Sirotkin AV, Harrath AH. 2014. Phytoestrogens and their effects. Eur J Pharmacol.
15;741:230-6. doi: 10.1016/j.ejphar.2014.07.057.
Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan
Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Press.
Suprayogi A, Kusumorini N, Arita SAD. 2015. Fraksi heksana daun katuk sebagai
obat untuk memperbaiki produksi susu, penampilan induk, dan anak tikus. J
Veteriner. 16 (1): 88-95.
Soka S, Alam H, Stefiani, Boenjamin N, Agustina TW, Suhartono MG. Effect of
Sauropus androgynus Leaf Extracts on the Expression of Prolactin and
Oxytocin Genes in Lactating BALB/C Mice. J Nutrigenet Nutrigenomics.
3:31–36. Doi.10.1159/000319710
Stuebe AM, Meltzer-Brody S, Pearson B, Pedersen C, Grewen K. 2015. Maternal
Neuroendocrine serum levels in exclusively breastfeeding mothers.
Breastfeeding med. 10 (4) : 197-202. Doi.10.1089/bfm.2014.0164.
Petrus AJA. 2013. Sauropus androgynus (L.) Merrill-A Potentially Nutritive
Functional Leafy-Vegetable. Asian J Chem 25 (17). 9425-9433.
Tabares FP, Jaramillo JVB, Ruiz-Cortes ZT. 2014. Pharmacological Overview of
Galactogogues. Vet Med Int. 2014:1-20. doi.10.1155/2014/602894
Tambunan YS. 2016. Uji toksisitas akut ekstrak etanol buah adas manis
(Foeniculum vulgare mill.) Pada mencit [Skripsi]. Sumatera Utara (ID) :
Universitas Sumatera Utara
Tucker HA. 2000. Hormonal regulation of milk synthesis. J Dairy Sci. 83:874–884
Turkyılmaz C, Onal E, Hirfanoglu IM, Turan O, Koç E, Ergenekon E, Atalay Y.
The effect of galactagogue herbal tea on breast milk production and short-
term catch-up of birth weight in the first week of life. J Altern Complement
Med. 17(2):139-42. doi: 10.1089/acm.2010.0090.
Twomey L, Wallace RG, Gummins PM, Degryse B, Sheridan S, Harrison M,
Moyna N, Meade-Murphy G, Navasiolava N, Custaud MA, et al. 2018.
Platelet: from formation to function [internet]. [diunduh 2019 Jan 17].
Tersedia pada: https://www.intechopen.com/books/homeostasis-an-
integrated-vision/platelets- from-formation-to-function
Usman H, Abdurahman FI, Usman A. Qualitative phytochemical screening and in
vitro antimicrobial effects of methanol stem bark extract of ficus thonningii
(moraceEA). Afr J Trad. 6 (3) :289 – 295.
Vinod KS, Raghuveer I, Alok S Himanshu G. 2010. Phytochemical investigation
and chromatographic evaluation of the ethanolic extract of whole plant extract
of Dendrophthoe falcata (L.F.). Ettingsh. Int J Pharm Sci Res. 1:39-45
61
Victoria CG, Adair L, Caroline F, Hallal PC, Martorell R, Richter L, Sachdev HS.
2008. Maternal and child undernutrition: a consequences for adult health and
human capital. Lancet. 371: 340–57. Doi.10.1016/S0140-6736(07)61692-4
Visvader JE, Stingl J. 2014. Mammary stem cells and the differentiation hierarchy:
current status and perspectives. Genes Dev. 28(11):1143-58. doi:
10.1101/gad.242511.114
Wahba HE, Ibrahim ME, Mohamed MA. 2018. Comparative Studies of the
Constituents of Fennel Essential Oils extracted from Leaves and Seeds with
Those Extracted from Waste Plants after Harvest. J Mater Environ Sci. 9 (7):
2174-2179
Westfall. 2003. Galactagogue herbs: a qualitative study and review. Canadian
Journal of Midwifery Research and Practice. 2 (2) : 1-6.
Whelan J, Fritsche K. 2013. Linoleic acid. Adv Nutr. 4 (3) : 311-312
WHO [World Health Organization]. 2009. Infant and Young Child Feeding.
Perancis (FR) : WHO Library Cataloguing-in-Publication Data.
______________________________. 2014. Global Nutrition Targets 2025:
Breastfeeding policy brief [internet]. [diunduh 2018 Nov 2]. Tersedia pada :
http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/149022/WHO_NMH_NHD
_14.7_eng.pdf?ua=1
Yabes-Almirante C, Lim CHTN. 1996. Effectiveness of natalac as galactogoue.
JPMA. 71 (3):265-272
Zakaria, Hadju V, As’as S, Bahar B. Pengaruh pemberian ekstrak daun kelor
terhadap kuantitas dan kualitas air susu ibu (asi) pada ibu menyusui bayi 0-6
bulan. J MKMI. 12 (3) : 161-169
Ziska SE, Bhattacharjee M, Herber RL, Qasba PK, Vonderhaar BK. 1988. Thyroid
hormone regulation of α-lactalbumin: differential glycosylation and
messenger ribonucleic acid synthesis in mouse mammary glands.
Endocrinology. 123 (5) : 2242 – 2248. Doi: 10.1210/endo-123-5-2242
Zuppa AA. Sindico P, Orchi C, Carducci C, Cardiello V, Romagnoli C. 2010.
Safety and efficacy of galactogogues: substances that induce, maintain and
increase breast milk production. J Pharm Pharm Sci.13(2):162-74
LAMPIRAN
63
RT
Nama SI Area % Area
(menit)
Gliserin 6.51 96 942119 5.15
Sikloheksanamin 8.57 80 513425 2.81
4H-Piran-4-on 9.85 93 204351 1.12
1-Deoksi-d-arabitol 10.72 82 494200 2.70
Benzofuran 11.05 90 149004 0.81
2-Metoksi-4-vinilfenol 12.64 87 39878 0.22
Dietil ftalat 16.48 88 183476 1.00
Asam miristat 18.28 92 68362 0.37
Kafein 19.59 91 119683 0.65
9-Tetradekanal 20.30 84 90411 0.49
Asam palmitoleat 20.39 93 108408 0.59
Asam palmitat 20.48 94 3036482 16.59
Metil 9-cis,11-trans-oktadekadienoat 21.89 90 101017 0.55
Asam 9-Oktadekenoat, metil ester 21.94 90 224648 1.23
Asam linoleat 22.26 92 1904628 10.41
Asam oleat 22.32 92 9707512 53.04
Asam stearat 22.48 87 189108 1.03
Bis(2-etilheksil) ftalat 26.06 88 62765 0.34
E,E,Z-1,3,12-Nonadekatrien-5,14-diol 27.50 82 161297 0.88
Total 18300774 100.00
Keterangan : SI = similarity index,, RT : retention time.
69
ANOVA
BB_induk_awal
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 743.125 3 247.708 .202 .894
Dalam Kelompok 24556.833 20 1227.842
Total 25299.958 23
ANOVA
BB_anak_awal
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 4.136 3 1.379 1.247 .319
Dalam Kelompok 22.108 20 1.105
Total 26.243 23
ANOVA
T3_minggu1
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 1.054 3 .351 1.344 .307
Dalam Kelompok 3.139 12 .262
Total 4.193 15
ANOVA
T3_minggu2
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok .263 3 .088 .295 .828
Dalam Kelompok 3.563 12 .297
Total 3.826 15
ANOVA
T3_minggu3
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok .581 3 .194 1.116 .381
Dalam Kelompok 2.081 12 .173
Total 2.662 15
71
ANOVA
T4_minggu1
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 366.637 3 122.212 1.588 .244
Dalam Kelompok 923.326 12 76.944
Total 1289.962 15
ANOVA
T4_minggu2
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 178.115 3 59.372 .784 .526
Dalam Kelompok 909.142 12 75.762
Total 1087.257 15
ANOVA
T4_minggu3
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 154.140 3 51.380 4.039 .034
Dalam Kelompok 152.647 12 12.721
Total 306.787 15
T4_minggu3
Duncan
Subset for alpha = 0.05
kode 1 2
1 32.8100
2 32.9925
4 37.4475 37.4475
3 40.1600
Sig. .105 .303
ANOVA
prolaktin_minggu1
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 17.482 3 5.827 .253 .858
Dalam Kelompok 276.767 12 23.064
Total 294.249 15
ANOVA
prolaktin_minggu2
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 18.046 3 6.015 .175 .911
Dalam Kelompok 413.091 12 34.424
Total 431.137 15
72
ANOVA
prolaktin_minggu3
Signifikans
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F i
Antar kelompok 125.426 3 41.809 1.039 .411
Dalam Kelompok 483.079 12 40.257
Total 608.504 15
ANOVA
leukosit
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 15.188 3 5.063 .492 .692
Dalam Kelompok 205.752 20 10.288
Total 220.940 23
ANOVA
eritrosit
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 1.290 3 .430 .918 .450
Dalam Kelompok 9.368 20 .468
Total 10.658 23
ANOVA
hemoglobin
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 10.141 3 3.380 1.265 .313
Dalam Kelompok 53.445 20 2.672
Total 63.586 23
ANOVA
hematokrit
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 69.952 3 23.317 1.448 .259
Dalam Kelompok 322.007 20 16.100
Total 391.958 23
73
ANOVA
RataRata_ASI_15
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 3.532 3 1.177 3.162 .047
Dalam Kelompok 7.447 20 .372
Total 10.979 23
RataRata_ASI_15
Duncan
Subset untuk alfa = 0.05
Kode 1 2
1 1.6554
4 1.9503 1.9503
3 2.3376 2.3376
2 2.6687
Signifikansi .081 .067
ANOVA
RataRata_ASI21
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 2.848 3 .949 2.994 .055
Dalam Kelompok 6.343 20 .317
Total 9.191 23
ANOVA
perubahan_Berat_15
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 30.794 3 10.265 .676 .577
Dalam Kelompok 303.749 20 15.187
Total 334.543 23
74
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 4 Juli 1994 dan merupakan putri
pertama dari Moch. Karnen (Alm.) dan Tiroh. Penulis menempuh pendidikan
sekolah dasar di SDN 1 Sukadana dari tahun 1999 sampai 2005, sekolah menengah
pertama di SMPN 1 Waled pada tahun 2005-2008, sekolah menengah atas di
SMAN 1 Babakan pada tahun 2008-2011. Penulis melanjutkan studi ke Institut
Pertanian Bogor pada tahun 2011 melalui jalur SNMPTN Undangan (Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri jalur undangan) di program studi Ilmu
Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). Selama
menjadi mahasiswa program sarjana, penulis menerima beasiswa BIDIKMISI.
Penulis meraih gelar sarjana pada tahun 2015 dengan judul skripsi Hubungan antara
Konsumsi Pangan dan Frekuensi ISPA dengan Status Gizi pada Balita Peserta
Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI).
Penulis pernah mengikuti program pertukaran pelajar di program studi
Nutrition and Dietetics, Chulalongkorn University Thailand, pada pada tahun 2016.
Penulis pernah bekerja di Puslitbang Gizi, Bogor, sebagai enumerator pada Studi
Kohort Tumbuh Kembang Anak dari tahun 2016 sampai 2017. Penulis kemudian
melanjutkan studi ke Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program
Studi Ilmu Gizi pada tahun 2017. Selama masa studi, penulis menerima beasiswa
dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) melalui jalur Afirmasi penerima
Bidikmisi.
Penulis aktif pada beberapa kegiatan akademik maupun non-akedemik
selama menjadi mahasiswa pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah
menjadi asisten praktikum mata kuliah Metode Penelitian Gizi pada tahun
2017/2018. Penulis aktif di ogranisasi mahasiswa pascasarjana Bogor Science Club
Institut Pertanian Bogor pada Tahun 2017/2018 sebagai anggota pada divisi
Reseach and Development. Penulis juga aktif di organisasi Pengurus LPDP IPB
sebagai sekretarus umum II pada periode 2018/2019. Penulis mendapatkan dana
penelitian tesis dari LPDP dengan judul tesis Efek Ekstrak Etanol Biji Adas pada
Tikus Laktasi terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Tikus.