Anda di halaman 1dari 90

EFEK EKSTRAK ETANOL BIJI ADAS (Foeniculum vulgare

Mill.) PADA TIKUS LAKTASI TERHADAP PRODUKSI


SUSU INDUK DAN PERTUMBUHAN ANAK TIKUS

NUR KHOIRIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efek Ekstrak Etanol Biji
Adas (Foeniculum vulgare Mill.) pada Tikus Laktasi terhadap Produksi Susu Induk
dan Pertumbuhan Anak Tikus adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2020

Nur Khoiriyah
NIM I151170121
RINGKASAN

NUR KHOIRIYAH. Efek Ekstrak Etanol Biji Adas (Foeniculum Vulgare Mill.)
pada Tikus Laktasi terhadap Produksi Susu Induk dan Pertumbuhan Anak Tikus.
Dibimbing oleh LILIK KUSTIYAH dan KATRIN ROOSITA.

Pemberian Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi merupakan langkah yang sangat
dianjurkan dalam rangka mencegah terjadinya masalah gizi dan kesehatan pada
anak. Namun, terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan seorang ibu
berhenti memberikan ASI kepada bayinya, salah satunya adalah sedikitnya jumlah
ASI yang diproduksi oleh ibu. Salah satu jenis tanaman yang digunakan untuk
meningkatkan produksi susu adalah tanaman adas atau fennel (Foeniclum vulgare
Mill). Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kandungan
fitokimia dari ekstrak etanol biji adas, serta efek dari ekstrak etanol biji adas pada
tikus laktasi terhadap konsentrasi hormon laktogenik, gambaran darah, produksi air
susu, dan pertumbuhan anak tikus
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan desain rancangan acak
lengkap. Hewan coba yang digunakan adalah 24 tikus Sprague Dawley laktasi yang
dikelompokkan ke dalam 4 kelompok perlakuan dengan jumlah tikus pada setiap
kelompok sebanyak 6 tikus. Kelompok perlakuan terdiri dari 3 taraf perlakuan
ekstrak biji adas (EA1: 88.75 mg/kg BB, EA2: 177.50 mg/kg BB, dan EA3: 355.00
mg/kg BB) dan 1 kelompok kontrol (N: akuades). Intervensi dilakukan dari hari ke-
3 laktasi sampai hari ke-21 laktasi. Selama masa intervensi, tikus diberikan akses
terhadap air dan pakan standar secara ad libitum.
Hasil analisis fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji adas
mengandung flavonoid, fenol, tanin, saponin, dan steroid. Kandungan senyawa
dengan luas area tertinggi hasil analisis GCMS adalah asam lemak oleat, linoleat,
dan palmitat. Secara keseluruhan, hasil analisis menunjukkan tidak terdapat
perbedaan yang signifikan pada konsentrasi hormon T3, T4 dan prolaktin antar
kelompok perlakuan. Perbedaan yang signifikan hanya terjadi pada minggu ke-3
yaitu konsentrasi hormon T4 pada kelompok kontrol dan EA1 memiliki nilai yang
signifikan lebih rendah dibandingkan kelompok EA2. Gambaran darah pada induk
juga tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar kelompok
perlakuan (p>0.05). Konsentrasi hemoglobin, hematokrit, dan leukosit induk masih
berada pada rentang normal, sedangkan konsentrasi eritrosit pada semua kelompok
perlakuan masih berada dibawah rentang normal.
Selanjutnya, hasil intervensi sampai hari ke-21 laktasi menunjukkan bahwa
rata-rata produksi susu tidak berbeda signifikan antar kelompok perlakuan (p>0.05).
Namun, pada kelompok EA1, EA2, dan EA3 menunjukkan rata-rata produksi susu
yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil analisis
sampai hari ke-15 laktasi menunjukkan terdapat peningkatan produksi susu yang
signifikan (p<0.05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan kelompok EA1 memiliki
produksi susu yang signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol sampai hari
ke-15 laktasi. Pertumbuhan anak tikus juga tidak menunjukkan adanya perbedaan
yang signifikan antar kelompok perlakuan. Namun, anak tikus di kelompok EA1
memiliki peningkatan berat badan yang relatif lebih tinggi (28.11±5.54 g/anak)
dibandingkan kontrol (25.65 ± 4.69 g/anak). Dalam penelitian ini, pemberian
ekstrak etanol biji adas dengan dosis terendah (88.75 mg/kg BB) menunjukkan
produksi susu dan pertumbuhan anak yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok kontrol.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jumlah dosis yang lebih
sesuai sehingga dapat memaksimalkan potensi ekstrak etanol biji adas sehingga
dapat meningkatkan produksi susu dan pertumbuhan anak yang signifikan
dibandingkan kontrol. Penggunaan jenis pelarut lainnya juga perlu
dipertimbangkan untuk penelitian selanjutnya guna menambah informasi mengenai
potensi biji adas sebagai bahan laktagogum. Penggunaan tikus laktasi dengan berat
badan awal yang memiliki nilai standar deviasi lebih kecil di setiap kelompok
perlakuan juga disarankan untuk digunakan dalam penelitian selanjutnya.

Kata kunci: biji adas, pertumbuhan anak, produksi air susu, tikus laktasi
SUMMARY

NUR KHOIRIYAH. Effect of Fennel Seed (Foeniculum Vulgare Mill.) Ethanolic


Extract in Lactating Rat on Milk Production and Pup’s Growth. Supervised by
LILIK KUSTIYAH and KATRIN ROOSITA.

Providing breastmilk to the infant is highly recommended to prevent nutrition


and health problems in children. However, there are several factors cause a mother
to stop giving breastmilk to her baby, one of which is the lack of breastmilk
production. One type of plant believed to increase milk production is fennel
(Foeniculum vulgare Mill). Specifically, this study aimed to analyze the
phytochemical content of ethanolic extract of fennel seeds, as well as the effects of
ethanol extract of fennel seeds in lactation rats on the concentration of lactogenic
hormones, hematology, milk production, and pups’ growth.
This research was an experimental study with a completely randomized
design. The 24 Sprague Dawley lactation rats were grouped into 4 treatments with
6 rats per group. The treatment group consisted of 3 levels of fennel seed ethanolic
extract group (EA1: 88.75 mg / kg BB, EA2: 177.50 mg / kg BB, and EA3: 355.00
mg / kg BB) and 1 normal control group (N). The intervention was carried out from
the 3rd day of lactation until the 21st day of lactation. During the intervention
period, the rats were given access to water and standard feeding on ad libitum.
The phytochemical analysis result showed that the ethanolic extract of fennel
seeds contained flavonoids, phenols, tannins, saponins, and steroids. The
compounds with the highest percent area by GC-MS analysis were oleic, linoleic,
and palmitic acids. Overall the results of the analysis showed that there were no
significant differences in the concentrations of the T3, T4, dan prolactin among the
treatment groups. The significant difference was showed in T4 hormone at the 3rd
week of lactation. The control group and EA1 had significantly lower T4 value
compared to the EA2 group. The hematology of lactating rats also did not show
significant differences among treatment groups. The concentration of haemoglobin,
haematocrit, and leukocyte was still in the normal range, while the concentration of
erythrocyte level in all treatment groups was still below the normal range.
Furthermore, the results of intervention until the 21st day of lactation showed
that there was no significant difference in milk production among the treatment
groups. However, milk production in EA1, EA2, and EA3 was relatively higher
than the N group. Milk production until the 15th day of lactation was significantly
different among the treatment groups. Duncan's analysis showed that milk
production in the EA1 group was significantly higher than control groups until the
15th day of lactation. The analysis also showed that there was no significant
difference in pup’s growth among the treatment groups. However, pups in the EA1
group revealed relatively higher weight gain (28.11±5.54 g/pup) than control group
(25.65 ± 4.69 g/pup). In this study, the administration of of fennel seed ethanolic
extract with the lowest dose (88.75 mg /kg BW) showed relatively higher in milk
production and pup’s growth compared to the control group.
Further research is needed on evaluating the appropriate dosages to maximize
the potential of fennel seed ethanolic extract to increase milk production and pup’s
growth significantly than normal control. Besides, the use of other types of solvent
need to be considered for further research to add information about the potential
effect of fennel seed as lactagogue material. In addition, the initial body weight of
lactating rat that have smaller standar deviation value in each treatment group is
recommended for future studies.

Keywords: fennel seed, lactating rat, milk production, pup’s growth


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2020
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFEK EKSTRAK ETANOL BIJI ADAS (Foeniculum vulgare
Mill.) PADA TIKUS LAKTASI TERHADAP PRODUKSI
SUSU INDUK DAN PERTUMBUHAN ANAK TIKUS

NUR KHOIRIYAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Gizi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
Penguji pada Ujian Tesis: Dr Rimbawan
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subahanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya yang telah diberikan sehingga tesis ini berhasil diselesaikan.
Judul dari tesis adalah Efek Ekstrak Etanol Biji Adas (Foeniculum Vulgare Mill.)
pada Tikus Laktasi terhadap Produksi Susu Induk dan Pertumbuhan Anak Tikus.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Lilik Kustiyah, MSi dan Dr. Katrin Roosita, SP, MSi selaku dosen
pembimbing yang telah bersedia membimbing dan memberi saran kepada
penulis dalam penyusunan tesis ini.
2. Lembaga Pengelola Dana Pendidian (LPDP) Kementerian Keuangan
Indonesia yang selama ini memberikan bantuan finansial melalui program
Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) LPDP Afirmasi Bidikmisi sehingga
penulis dapat menempuh pendidikan magister di Institut Pertanian Bogor.
3. Bapak Moch. Karnen (Almarhum), Ibu Tiroh, dan Bapak Dulah selaku orang
tua atas segala doa dan kasih sayang, serta motivasi yang telah diberikan
selama penyusunan tesis ini.
4. Bapak Dr. Rimbawan selaku pembahas pada pelaksanaan kolokium dan
penguji tesis yang telah memberikan saran kepada penulis.
5. Ibu drh Ines, drh Yuyun, drh Heni, drh Ika dan Pak Mul yang telah banyak
membantu dan mendukung selama pengambilan data di kandang hewan
percobaan Pusat Studi Biofarmaka, LPPM, IPB
6. Teman-teman pascasarjana program studi Ilmu Gizi tahun 2017, khususnya
Ilmi, Mulya, Dila, Salma, Ina, Mesa, Leny, dan Vera atas dukungan yang telah
diberikan.
7. Seluruh pihak yang terkait yang telah memberikan saran dan masukan dalam
penulisan tesis ini.
Semoga tesis ini memberikan manfaat.

Bogor, Januari 2020

Nur Khoiriyah
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii


DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan 3
Hipotesis 4
Manfaat 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 4
Laktagogum 4
Biji Adas (Foeniculum vulgare Mill.) 5
Dosis dan Keamanan Pemberian Biji Adas 6
Potensi Biji Adas sebagai Sumber Laktagogum 7
Kandungan Senyawa pada Biji Adas 10
Mekanisme Penduga Efek Laktagogum 11
Fisiologi Kelenjar Air Susu 14
Laktogenesis 15
Hormon pada Proses Laktogenesis 16
Gambaran Darah (Hematologi) 20
Tikus Percobaan (Rattus norvegicus) 23
Pengujian Sumber Laktagogum pada Hewan Coba 25
3 KERANGKA PEMIKIRAN 25
4 METODE 28
Desain, Waktu, dan Tempat 28
Bahan dan Alat 28
Jenis dan Cara Pengumpulan Data 29
Jumlah dan Cara Penarikan Hewan Coba 30
Rancangan Percobaan 30
Tahapan Penelitian 31
Pengolahan dan Analisis Data 37
Pertimbangan Etik 38
Definisi Operasional 38
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 39
Kandungan Fitokimia pada Ektrak Etanol Biji Adas 39
Komponen Senyawa Kimia pada Ekstrak Etanol Biji Adas 40
Karakteristik Sampel 42
DAFTAR ISI (lanjutan)

Hormon Laktogenik pada Induk Tikus Laktasi 43


Gambaran Darah pada Induk Tikus Laktasi 47
Produksi Susu pada Induk Tikus Laktasi 49
Pertumbuhan Anak Tikus 51
6 SIMPULAN DAN SARAN 53
Simpulan 53
Saran 54
DAFTAR PUSTAKA 54
LAMPIRAN 62
RIWAYAT HIDUP 74
DAFTAR TABEL

1 Hasil-hasil penelitian sifat estrogenik dan galaktogenik pada biji adas 8


2 Mekanisme penduga beberapa sumber laktagogum dari hasil-hasil
penelitian 13
3 Karakteristik fisiologi umum dari tikus putih (Sengupta 2013) 23
4 Kerangka waktu penelitian 28
5 Jenis dan cara pengumpulan data 29
6 Kandungan fitokimia secara kualitatif 39
7 Komponen senyawa kimia pada ektrak etanol biji adas 40
8 Karakteristik awal sebelum perlakuan 43
9 Gambaran darah induk tikus pada setiap kelompok perlakuan 48
10 Rata-rata produksi susu induk pada setiap kelompok perlakuan 50
11 Rata-rata pertambahan berat badan anak tikus laktasi pada kelompok
perlakuan 52

DAFTAR GAMBAR

1 Biji adas (Foeniculum vulgare Mill) 6


2 Mekanisme penduga peningkatan produksi susu dari obat medis dan
beberapa sumber laktagogum alami (Forinash et al. 2012) 12
3 Anatomi kelenjar mammae pada wanita (Dimri et al. 2005) 14
4 Perkembangan kelenjar mammae pada wanita pada saat pubertas (a),
dewasa virgin (b), kehamilan (c), dan menyusui (d) (Hennighausen dan
Robinson 2015) 14
5 Perkembangan sel epitelilal kelenjar mammae pada saat sebelum masa
kehamilan hingga menyusui (Borellini dan Oka 1986) 15
6 Pertumbuhan tikus putih setelah lahir sampai dewasa (Sengupta 2013) 24
7 Kerangka pemikiran penelitian 27
8 Tahapan pengujian efek ekstrak etanol biji adas pada tikus laktasi 35
9 Proses penimbangan berat badan anak tikus 37
10 Konsentrasi triiodotironin (T3) pada serum darah tikus laktasi 44
11 Konsentrasi tetraiodotironin (T4) pada serum darah tikus laktasi 45
12 Konsentrasi prolaktin pada serum darah tikus laktasi 46
13 Produksi air susu induk pada setiap hari pengamatan 49
14 Berat badan anak tikus pada setiap hari pengamatan 52

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil identifikasi biji adas 63
2 Prosedur analisis prolaktin 64
3 Prosedur analisis T3 65
4 Prosedur analisis T4 66
5 Persetujuan etik 67
6 Hasil kromatogram ekstrak biji adas dengan menggunakan GCMS 68
DAFTAR LAMPIRAN (lanjutan)
7 Dokumentasi penelitian 69
8 Hasil uji SPSS 70
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Status gizi pada masa awal kehidupan merupakan salah satu faktor penting
yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia di masa yang akan datang. Hal ini
terkait dengan beberapa bukti yang menunjukkan bahwa status gizi yang baik pada
masa bayi akan menurunkan risiko berbagai penyakit tidak menular (hipertensi,
diabetes, dan kardiovaskular) dan meningkatkan potensi terhadap tingginya
kemampuan kognitif dan ekonomi di masa dewasa (Victoria et al. 2008; Lanigan
2010). Air Susu Ibu (ASI) merupakan sumber makanan utama untuk dapat
menunjang terpenuhinya kebutuhan zat gizi pada bayi. ASI diketahui mengandung
komponen zat gizi dan kandungan bioaktif lengkap yang dapat menunjang
pertumbuhan, perkembangan, dan kesehatan pada bayi dimasa awal kehidupannya
(Ballard 2013).
Pemenuhan kecukupan gizi pada bayi melalui hanya memberikan ASI sampai
anak berusia 6 bulan (ASI eksklusif) merupakan langkah yang sangat dianjurkan
dalam rangka mencegah terjadinya masalah gizi dan kesehatan pada anak. WHO
(World Health Organization) juga menyarankan untuk tetap memberikan ASI
bersamaan dengan makanan pendamping ASI sejak usia 6 bulan sampai 2 tahun
(WHO 2009). WHO dalam Global Nutrition Target 2025 menetapkan bahwa
pencapaian prevalensi pemberian ASI eksklusif minimal harus mencapai 50%
(WHO 2014). Namun, masih banyak kasus yang menunjukkan bahwa prevalensi
pemberian ASI eksklusif di beberapa negara menunjukkan angka yang masih
rendah. Hasil penelitian Cai et al. (2012) menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi
pemberian ASI eksklusif di beberapa negara di benua Afrika dan Asia pada tahun
2010 masih berada di bawah 50%. Prevalensi bayi 0-6 bulan yang masih mendapat
ASI eksklusif di Indonesia juga masih berada di bawah 50%, yaitu pada tahun 2010
sebesar 15.3%, tahun 2013 sebesar 30.2%, dan tahun 2017 sebesar 37.3%
(Kemenkes 2010; Kemenkes 2013; Kemenkes 2018).
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan seorang ibu berhenti
memberikan ASI kepada bayinya dan segera memulai memberikan makanan lain
sebelum anak berusia 6 bulan. Salah satu faktor tersebut adalah tidak ada atau
sedikitnya jumlah ASI yang dapat diproduksi oleh ibu (Brown et al. 2014).
Prabasiwi et al. (2015) dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebanyak
51.1% ibu beralasan untuk berhenti memberikan ASI secara eksklusif karena ASI
yang diproduksi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan bayinya. Oleh karena itu,
adanya stimulus dari suatu substansi yang dapat meningkatkan jumlah produksi air
susu (laktagogum) bisa menjadi alternatif pilihan untuk meningkatkan produksi
ASI pada ibu menyusui.
Sumber-sumber yang bersifat laktagogum alami telah banyak dimanfaatkan
oleh masyarakat dan diketahui terbukti dapat memicu peningkatan produksi air susu
(Roosita 2003; Damanik et al. 2006; Mortel dan Mehta 2013; Bazzano et al. 2016).
Salah satu sumber yang diketahui memiliki sifat laktagogum adalah biji adas atau
fennel seed (Foeniclum vulgare Mill.). Biji adas dilaporkan sebagai sumber
tradisional untuk meningkatkan produksi ASI di beberapa negara (Badgujar et al.
2014).
2

Salah satu penelitian etnobotani di Indonesia menunjukkan bahwa biji adas


secara tradisional digunakan sebagai bahan alami untuk ibu pasca melahirkan dan
ibu menyusui (Shanthi et al. 2014). Hasil penelitian Ghasemi et al. (2014)
menunjukkan bahwa teh herbal yang mengandung serbuk biji adas terbukti dapat
meningkatkan tanda-tanda kecukupan ASI pada bayi. Al-Sundany et al. (2014) juga
menunjukkan bahwa pemberian pakan yang mengandung serbuk biji adas terbukti
dapat menyebabkan pelebaran ruang alveolus dan peningkatan substansi sekretori
kelenjar air susu pada tikus laktasi, sehingga pemberian biji adas diduga dapat
berdampak pada peningkatan produksi air susu.
Hasil penelitian mengenai pengaruh serbuk biji adas terhadap produksi susu
telah dilaporkan baik itu pada hewan coba maupun pada manusia (Ghasemi et al.
2014; Al-Sundany et al. 2014). Sementara itu, hasil penelitian menggunakan
ekstrak biji adas terhadap produksi air susu masih belum dilaporkan. Penelitian
menggunakan ekstrak telah dilakukan oleh Sadeghpour et al. (2015) yang
menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji adas terbukti dapat meningkatkan hormon
prolaktin secara signifikan pada mencit betina dewasa. Hormon prolaktin
merupakan hormon yang diketahui memiliki peran dalam proses produksi air susu
di kelenjar air susu (kelenjar mammae) (Neville et al. 2002). Namun, penelitian
Sadeghpour et al. (2015) tersebut masih belum menjelaskan efek ekstrak etanol biji
adas tersebut terhadap produksi susu pada tikus laktasi.
Proses pembentukan air susu di kelenjar mammae melibatkan berbagai
hormon-hormon penting. Analisis terhadap hormon-hormon tersebut diharapkan
dapat membantu menjelaskan mekanisme yang terjadi terhadap efek suatu bahan
intervensi terhadap produksi susu. Stuebe et al. (2014) menunjukkan bahwa
diantara jenis hormon yang dapat diamati selama masa laktasi adalah hormon tiroid
dan prolaktin.
Hormon tiroid merupakan hormon yang diproduksi oleh kelenjar tiroid dan
memiliki peranan dalam proses produksi air susu di kelanjar mammae. Marasco
(2006) menyebutkan bahwa kondisi kelainan pada produksi hormon tiroid diketahui
dapat berpengaruh pada produksi susu. Roosita (2003) juga menunjukkan bahwa
terdapat penurunan yang signifikan dari konsentrasi hormon tiroid
(triiodotironin/T3) dan tetraiodotironin/T4) dalam serum darah pada kelompok
tikus yang diintervensi nutrasetikal galohgor. Tucker (2000) menyebutkan bahwa
adanya penurunan hormon tiroid pada masa laktasi diduga disebabkan oleh
peningkatan aktifitas hormon tersebut di kelenjar mammae, sehingga menyebabkan
peningkatan metabolisme basal untuk produksi susu. Namun, hasil penelitian
mengenai efek biji adas terhadap hormon tiroid pada tikus laktasi masih belum
dilaporkan.
Prolaktin merupakan hormon yang disekresikan oleh sel laktotrof di kelenjar
pituitari anterior dan diketahui memiliki fungsi dalam proses pembentukan air susu
(Freeman et al. 2000; Neville et al. 2002). Beberapa hasil penelitian mengenai
pengaruh pemberian sumber laktagogum menunjukkan terdapat peningkatan yang
signifikan pula pada hormon prolaktin (Bako et al. 2008; Kusuma et al. 2017).
Hasil penelitian Honarval et al. (2013) juga menunjukkan bahwa terdapat
peningkatan hormon prolaktin yang signifikan setelah adanya pemberian biji adas
pada ibu menyusui.
Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan, peneliti tertarik untuk
menganalisis efek laktagogum dari pemberian ekstrak etanol biji adas yang berasal
3

dari Indonesia. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menganalisis


kandungan fitokimia dari ekstrak etanol biji adas serta efeknya pada tikus laktasi
terhadap konsentrasi hormon laktogenik, gambarah darah induk tikus, produksi
susu induk, dan pertumbuhan anak tikus.

Perumusan Masalah

Adas merupakan salah satu jenis tanaman yang diduga memiliki efek dapat
meningkatkan produksi air susu. Beberapa penelitian pada serbuk biji adas
menunjukkan bahwa pemberian serbuk biji adas telah terbukti pada studi klinis
dapat meningkatkan tanda-tanda kecukupan ASI pada bayi dan meningkatkan
hormon prolaktin pada ibu menyusui (Honarvar et al. 2013; Ghasemi et al. 2014).
Hasil penelitiam pada hewan coba membuktikan adanya potensi pemberian ekstrak
dan biji adas sebagai salah satu sumber yang dapat meningkatkan produksi air susu
(Al-Sundany et al. 2014). Javan et al. (2017) juga menunjukkan bahwa biji adas
merupakan salah satu sumber yang secara tradisional digunakan oleh masyarakat
persia sebagai bahan untuk meningkatkan produksi air susu. Namun, penelitan pada
ekstrak biji adas terhadap peningkatan produksi air susu masih belum dilaporkan.
Oleh karena itu, rumusan masalah yang ingin diketahui peneliti pada penelitiam ini
adalah bagaimana hasil analisis kandungan fitokimia pada ekstrak etanol biji adas?,
apakah ekstrak etanol biji adas mempengaruhi konsentrasi hormon laktogenik
serum pada tikus laktasi?, apakah ekstrak etanol biji adas mempengaruhi gambaran
darah pada tikus laktasi?, apakah ekstrak etanol biji adas mempengaruhi produksi
air susu pada induk tikus laktasi?, dan apakah ekstrak etanol biji adas
mempengaruhi pertumbuhan anak tikus?.

Tujuan

Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis efek ekstrak etanol biji
adas pada tikus laktasi terhadap konsentrasi hormon laktogenik, gambaran darah
induk tikus laktasi, produksi air susu, dan pertumbuhan anak tikus.

Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian adalah:
1. Menganalisis kandungan fitokimia secara kualitatif dan melakukan analisis
komponen senyawa kimia pada ekstrak etanol biji adas dengan menggunakan
GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectrometer)
2. Menganalisis pengaruh pemberian ekstrak etanol biji adas terhadap konsentrasi
hormon laktogenik serum pada tikus laktasi
3. Menganalisis pengaruh pemberian ekstrak etanol biji adas terhadap gambaran
darah pada tikus laktasi.
4. Menganalisis pengaruh pemberian ekstrak etanol biji adas terhadap produksi
air susu pada tikus laktasi.
5. Menganalisis pengaruh pemberian ekstrak etanol biji adas terhadap
pertumbuhan anak tikus.
4

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah:


1. Pemberian ekstrak etanol biji adas dapat mempengaruhi konsentrasi hormon
laktogenik pada tikus laktasi.
2. Pemberian ekstrak etanol biji adas dapat menyebabkan gambaran darah pada
tikus laktasi menjadi lebih baik dibandingkan dengan kontrol normal
3. Pemberian ekstrak etanol biji adas dapat menyebabkan peningkatan produksi
air susu pada tikus laktasi yang signifikan dibandingkan dengan kontrol normal.
4. Pemberian ekstrak etanol biji adas meningkatkan pertumbuhan pada anak tikus
secara signifikan dibandingkan dengan kontrol normal.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber informasi tentang


pengaruh ekstrak etanol biji adas terhadap konsentrasi hormon laktogenik (tiroid
dan prolaktin), gambaran darah induk tikus laktasi, produksi air susu induk, dan
pertumbuhan anak. Beberapa hasil analisis kandungan fitokimia yang dipaparkan
juga diharapkan dapat menjadi sumber informasi tambahan mengenai informasi
kandungan fitokimia pada ekstrak etanol biji adas di Indonesia.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Laktagogum

Laktagogum adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebutkan


sumber-sumber yang dapat meningkatkan produksi air susu. Sumber-sumber
tersebut meliputi sumber pangan, obat medis, dan obat herbal (Westfall 2003). Efek
laktagogum dari suatu tanaman atau obat sering dimanfaatkan oleh ibu menyusui
yang memiliki masalah pada kuantitas ASI, baik itu berkaitan dengan jumlah air
susu yang yang dihasilkan sedikit atau air susu yang tidak dapat terproduksi.
Kondisi rendahnya kuantitas ASI ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti
kondisi kelahiran bayi yang premature dan adanya kondisi penyakit yang diderita
oleh ibu (Gabay 2002).
Beberapa obat medis yang digunakan sebagai laktagogum adalah
metoclopramide, domperidone, sulpiride, dan chloropromazine. Efek farmakologis
dari obat-obat ini umumnya dapat meningkatkan efek antagonisme terhadap
pelepasan dopamin di sistem saraf pusat, sehingga menyebabkan meningkatnya
pelepasan hormon prolaktin di anterior pituitari. Peningkatan hormon prolaktin
inilah yang memicu peningkatkan produksi air susu (Gabay 2002; Zuppa et al.
2010). Namun pada beberapa kondisi tertentu, penelitian lain menunjukkan adanya
efek samping dari penggunaan obat-obatan tersebut pada ibu menyusui, seperti
mulut kering, sakit kepala, gangguan pencernaan, insomnia, gangguan endokrin,
kardiak aritmia, sampai kematian yang mendadak (Zuppa et al. 2010)
5

Terdapat beberapa tanaman yang juga diketahui dapat bersifat sebagai


laktagogum atau peningkat produksi air susu. Diantara sumber tanaman tersebut
adalah shavatari (Asparagus racemosus), torbangun (Coleus amboinicus Lour),
fenugreek (Trigonella foenumgraecum), biji adas (Foeniculum vulgare Mill.),
silymarin atau milk thistle (Silybum marianum), chasteberry (Vitex agnus Castus),
daun kelor (Moringa oleifera), daun katuk (Sauropus androgynus), bunga pisang
(Musa x paradisiaca), jintan hitam (Nigella sativa) dan biji anis (Pimpinella anisum
L.) (Mahmood et al. 2012; Mortel dan Mehta 2013; Petrus 2013; Hosseinzadeh et
al. 2013a, 2013b; Raguindin et al. 2014). Selain sumber tanaman, di Indonesia
terdapat pula produk nutrasetikal yang juga digunakan oleh masyarakat untuk
meningkatkan produksi air susu seperti nutrasetikal Galohgor dan jamu Uyup-uyup
(Roosita et al. 2003; Sari 2003; Roosita et al. 2014).
Penggunaan sumber laktagogum alami sudah banyak digunakan oleh wanita
secara tradisional di masyarakat secara turun temurun. Namun, adanya laporan efek
samping dari penggunaan sumber laktagogum alami ini masih sangat terbatas.
Penggunaan sumber alami dengan masih berada pada batas aman atau dibawah
lethal dose (LD) dilaporkan aman dan tidak menimbulkan efek samping. Oleh
karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap dosis penggunaan dan tingkat
keamanan dari setiap sumber yang digunakan oleh ibu menyusui.

Biji Adas (Foeniculum vulgare Mill.)

Tanaman adas (Foeniculum vulgare Mill) merupakan salah satu tanaman


yang digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. Tanaman ini tergolong pada
famili Umbelliferae atau Apiaceae dengan genus Foeniculum (Badgujar et al. 2014).
Tanaman ini dikenal sebagai tanaman purba yang awalnya berasal dari Eropa dan
daratan Mediterania, kemudian pertumbuhan tanaman menyebar ke negara-negara
Asia termasuk Indonesia (Khan dan Musharaf 2014). Di Indonesia, budidaya
tanaman ini banyak dilakukan di daerah pegunungan atau dataran tinggi (1600
sampai 2400 mdpl) oleh petani-petani di Pulau Jawa (Hasanah 2004).
Hampir semua bagian dari tanaman adas (biji, daun, dan akar) dapat
digunakan dan dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Tanaman adas secara
tradisional dan turun-temurun digunakan untuk mengobati berbagai macam
penyakit di berbagai negara seperti Asia, India, dan Cina. Biji adas telah dilaporkan
memiliki banyak manfaat di bidang kesehatan karena memiliki aktifitas anti-bakteri,
anti-jamur, antioksidan, anti-inflamasi, anti-anxiety atau sebagai penenang, gastro-
protektif, anti-kolesterol dan anti-aterogenik, anti-diabetes, anti-kanker, hepato-
protektif, memori-protektif, estrogenik dan galaktogenik (Badgujar et al. 2014;
Khan dan Musharaf 2014; Kooti et al. 2015).
Biji adas umumnya berbentuk elips atau silinder dan memiliki warna cokelat
kekuningan atau cokelat kehijauan (Khan dan Musharaf 2014). Biji adas memiliki
beberapa nama sebutan di berbagai negara. Di Indonesia biji dari tanaman adas
(Foeniculum vulgare Miller) disebut sebagai biji adas, di Inggris dan Amerika
disebut sebagai fennel seed, di Perancis disebut sebagai Fenoil, di Arab disebut
Shmr (Razianaj), dan di Persia disebut Razianeh (Hasanah 2004; Badgujar et al.
2014). Dokumentasi biji adas yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada
Gambar 1.
6

cm

Gambar 1 Biji adas (Foeniculum vulgare Mill)

Di Indonesia, biji adas juga dimanfaatkan sebagai bahan campuran pada


pengobatan-pengobatan tradisional, salah satunya adalah sebagai ramuan untuk
pelancar produksi ASI. Hasil penelitian Shanti et al. (2014) menunjukkan bahwa
biji adas merupakan salah satu bahan yang digunakan pada komposisi pembuatan
jamu untuk ibu menyusui. Adas juga digunakan secara tradisional oleh masyarakat
dan keluarga kerajaan di Surakarta sebagai ramuan alami bagi ibu pasca melahirkan
dan menyusui (Shanthi et al. 2014). Namun, data penelitian mengenai biji adas
sebagai sumber laktagogum masih sangat terbatas berdasarkan penelitian-
penelitian sebelumnya di Indonesia.

Dosis dan Keamanan Pemberian Biji Adas

Dosis dan tingkat keamaan pemberian biji adas telah dibuktikan oleh
beberapa penelitian (Shah et al. 1991; Ghasemi et al. 2014; Tambunan 2016). Hasil
penelitian Ghasemi et al. (2014) menunjukkan bahwa pada dosis pemberian teh
herbal yang mengandung serbuk biji adas 7.5 g sebanyak 3 kali sehari dapat
menimbulkan tanda-tanda kecukupan air susu pada bayi. Tanda-tanda kecukupan
air susu tersebut dianalisis berdasarkan kenaikan berat badan, lingkar kepala, berat
popok, frekuensi defekasi, dan frekuensi menyusu. Honarvar et al. (2013) juga
menunjukkan bahwa pada dosis pemberian serbuk biji adas sebanyak 3 g/hari pada
ibu menyusui diketahui dapat meningkatkan konsentrasi hormon prolaktin secara
signifikan.
Shah et al. (1991) melakukan penelitian mengenai dosis akut dan kronik pada
pemberian ekstrak etanol 95% dari biji adas pada mencit. Pengamatan yang
dilakukan untuk menilai toksisitas akut meliputi gejala umum toksisitas dan
kematian hewan selama 24 jam. Pengamatan untuk toksisitas kronik meliputi gejala
toksisitas umum, kematian, gambaran darah (sel darah merah, sel darah putih, dan
hemoglobin), disfungsi sperma, berat tubuh, dan berat organ vital selama periode
pemberin 90 hari. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada pemberian
ekstrak etanol biji adas yang diamati selama 24 jam pada dosis 500, 1000, dan 3000
mg/kg BB tidak menimbulkan gejala toksisitas akut. Pemberian ekstrak etanol biji
adas pada dosis 100 mg/kg BB selama 90 hari juga tidak menimbulkan gejala
7

toksisitas kronik. Hasil pengamatan toksisitas akut pada kelompok perlakuan tidak
berbeda signifikan dengan kontrol.
Tambunan (2016) juga melakukan sebuah penelitian mengenai efek toksisitas
akut dari ekstrak etanol 80% dari biji adas pada mencit. Pengamatan yang diamati
meliputi gejala toksik, berat badan, konsumsi makanan dan minuman, kematian,
kondisi organ hati dan ginjal. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada
pemberian ekstrak pada dosis 5, 50, 300, 1000, 2000, 4000, dan 8000 mg/kg BB
tidak ditemukan gejala toksik dan kematian mencit. Oleh karena itu, ekstrak etanol
biji adas dapat diklasifikasikan dengan kriteria “praktis tidak toksik”.

Potensi Biji Adas sebagai Sumber Laktagogum

Biji adas merupakan salah satu bahan alami yang dimanfaatkan sebagai
pelancar air susu di beberapa negara dan dilaporkan memiliki aktifitas galaktogenik
(Badgujar et al. 2014). Kandungan fitoestrogen dan efek estrogenik yang dimiliki
oleh biji adas diduga dapat menimbulkan sifat laktagogum. Biji adas dikenal dalam
pengobatan tradisional sebagai salah satu tanaman yang dapat meningkatkan
produksi air susu (Badgujar et al. 2014; Khan dan Musharaf 2014; Shantii et al.
2014). Namun, bukti secara ilmiah dalam studi-studi klinis dan hewan coba masih
terbatas.
Biji adas diketahui memiliki aktifitas estrogenik sebagai akibat dari
kandungan fitoestrogen (Badgujar et al. 2014; Khan dan Musharaf 2014). Efek
estrogenik ini telah dibuktikan pada hasil penelitian mengenai pengamatan kelenjar
mammae dan oviduk pada model tikus betina yang telah mengalami ovarirektomi
(Devi et al. 1985). Jamu yang terbuat dari biji adas juga dimanfaatkan sebagai obat
pelancar menstruasi dan peluruh Rahim di Indonesia. Hal ini kemudian dianalisis
secara lebih lanjut oleh Nuratmi et al. (1998) dalam sebuah penelitian
menggunakan model tikus hamil untuk membuktikan sifat antikonsepsi dan abortif
dari biji adas. Hasilnya menunjukkan bahwa pada biji adas tidak menunjukkan sifat
antikonsepsi dan abortif dari biji adas.
Honarvar et al. (2013) melakukan sebuah penelitian pada ibu menyusui dan
berhasil membuktikan bahwa pemberian serbuk biji adas sebanyak 3 g/hari dapat
secara signifikan meningkatkan hormon prolaktin. Pembuktian serupa juga
dilakukan dalam penelitian Sadeghpour et al (2015), yang hasilnya menunjukakn
bahwa pemberian ekstrak biji adas dengan dosis 100 mg/kg BB dan 200 mg/kg BB
dapat meningkatkan hormon prolaktin pada mencit dewasa. Hormon prolaktin
merupakan hormon penting yang dibutuhkan dalam proses laktogenesis pada
kelenjar mammae.
Al-Sudany et al. (2014) melakukan penelitian pada kondisi tikus betina
dewasa, hamil, dan menyusui. Hasilnya menunjukkan bahwa secara histologis
pemberian pakan yang mengandung serbuk biji adas terbukti dapat memberikan
manfaat pada perkembangan kelenjar mammae, sehingga diduga dapat berdampak
pada peningkatan produksi air susu. Ghasemi et al (2014) selanjutnya membuktikan
pula dalam studi klinis bahwa biji adas dapat meningkatkan tanda-tanda kecukupan
ASI pada bayi. Hasil-hasil penelitian sifat estrogenik dan galaktogenik dari biji adas
secara lebih rinci dituliskan pada Tabel 1. Penelitian-penelitian yang dipaparkan
semakin memperkuat bukti bahwa biji adas berpotensi memiliki sifat laktagogum.
8

Tabel 1 Hasil-hasil penelitian sifat estrogenik dan galaktogenik pada biji adas
Peneliti Subjek Dosis intervensi* Hasil
Devi et al. (1985) 20 tikus albino I1 : ovarirektomi + ekstrak aseton 50 Terdapat peningkatan berat organ, konsentrasi asam
betina dewasa µg/100 g BB selama 10 hari nukleat (RNA dan DNA), dan konsentrasi protein
I2 : ovarirektomi + ekstrak aseton pada kelenjar mammae dan oviduk tikus yang
150 µg/100 g BB selama 10 hari signifikan pada pemberian dosis 150 µg/100 g BB
I3 : ovarirektomi + ekstrak aseton dan 250 µg/100 g BB. Peningkatan terjadi seiring
250 µg/100 g BB selama 10 hari dengan peningkatan dosis ekstrak aseton biji adas
K1: pelet standar yang diberikan. Hasil ini membuktikan ekstrak
K2: ovarirektomi + pelet standar aseton biji adas memiliki efek estrogenik

Nuratmi dan Astuti 24 tikus putih I1 : infusa biji adas 100 mg/100 g BB Pemberian infusa biji adas pada semua dosis selama
(1998) Wistar bunting selama 14 hari 14 hari tidak menunjukkan sifat antiimplantasi atau
I2 : infusa biji adas 300 mg/100 g BB antikonsepsi terhadap pembuahan. Infusa biji adas
selama 14 hari juga tidak menunjukkan sifat abortif. Hal ini
I3 : infusa biji adas 900 mg/100 g BB ditunjukkan dari jumlah kehilangan janin (gugur,
selama 14 hari resobsi, dan cacat) masih lebih rendah dibandingkan
K : aquades janin yang hidup.

Honarvar et al. 46 ibu I : 6 kapsul serbuk biji adas (500 Konsentrasi serum prolaktin secara signifikan
(2013) menyusui mg/kapsul)/hari selama 15 hari meningkat sebelum dan setelah intervensi (p<0.001).
Perbedaan konsentrasi serum sebelum dan setelah
intervensi adalah 30.99±44.78 ng/ml. Hasil ini
menunjukkan bahwa biji adas mempengaruhi tingkat
serum prolaktin pada ibu menyusui
Keterangan : * I = grup intervensi, K = grup kontrol, KN = grup kontrol negatif
Tabel 1 Hasil-hasil penelitian sifat estrogenik dan galaktogenik pada biji adas (lanjutan)
Peneliti Subjek Dosis intervensi* Hasil
Al-Sudany et al. 90 tikus putih I : serbuk biji adas sebanyak 5% - Pada tikus dewasa virgin : terjadi hiperplasia dan
(2014) Sprague Dawley atau 10% dari pakan harian hipertropi pada duktus dan alveoli (sel epitelial),
betina dewasa, selama 10 atau 20 hari pada serta pelebaran lumen.
hamil, dan tikus dewasa virgin (25 tikus), - Pada tikus hamil : terjadi hiperplasia pada isi sel
menyusui tikus hamil (25 tikus), dan tikus epitelial (duktus dan alveoli), peningkatan jumlah
menyusui (25 tikus) lumen dan jaringan ikat dengan peningkatan
K : pakan harian standar (5 tikus substansi-substansi sekresi (glikoprotein)
setiap kelompok) - Pada tikus menyusui : terjadi hiperplasia pada sel
epitelial (duktus dan alveoli), pelebaran yang jelas
dari lumen yang banyak mengandung subtansi-
substansi sekretori di dalam lumen dan duktus.

Ghasemi et al. 73 pasang ibu I : teh herbal (mengandung 7.5 g Tanda tanda kecukupan ASI pada bayi (berat badan,
(2014) dan bayi serbuk biji adas dan 3 g black lingkar kepala, berat popok, frekuensi defekasi, dan
tea) 3 kali/hari selama 4 frekuensi menyusu) signifikan (<0.001) lebih tinggi
minggu pada kelompok intervensi dibandingkan kontrol.
K : teh (mengandung 3 g black tea)
3 x/hari selama 4 minggu

Sadeghpour et al. 28 mencit albino I1 :ektrak etanol biji adas 100 Hormon prolaktin pada grup intervensi (I1 dan I2)
(2015) betina dewasa mg/kg BB selama 5 hari secara signifikan lebih tinggi dibandingkan grup
I2 :ekstrak etanol biji adas 200 kontrol. Konsentrasi hormon prolaktin dari semua
mg/kg BB selama 5 hari grup adalah I1 = 1.48 ± 0.58, I2 = 2.27 ± 0.85, KN =
K : normal saline 1.31 ± 0.49 dan K = 1.36 ± 0.51 ng/ml.
KN: etanol
Keterangan : * I = grup intervensi, K = grup kontrol, KN = grup kontrol negatif
9
10

Kandungan Senyawa pada Biji Adas

Fitokimia adalah sekelompok senyawa metabolit sekunder di dalam tanaman


dan terbukti dapat menunjukkan efek biologis tertentu yang bermanfaat bagi
kesehatan manusia. Fitokimia bukan merupakan jenis zat gizi esensial yang
dibutuhkan oleh tubuh untuk menunjang kehidupan vital, tetapi memiliki peran
penting dalam mekanisme pencegahan atau penyembuhan penyakit-penyakit
tertentu. Terdapat 7 (tujuh) golongan utama fitokimia yang dapat dikelompokkan
dalam analisis kandungan fitokimia dari suatu tanaman, yaitu alkaloid, flavonoid,
glikosidik, tanin, saponin, fenolik, dan terpenoid (Saxena et al. 2013).
Mohanty et al. (2014) melaporkan bahwa golongan senyawa fitokimia seperti
alkaloid, polifenol, saponin, dan tanin memiliki efek positif terhadap proses
produksi air susu. Alkaloid memberikan efek yang positif terhadap proses
pengeluaran air susu. Polifenol diduga dapat membantu meningkatkan jumlah
produksi air susu dan persentase lemak, protein, dan laktosa air susu. Saponin
diduga dapat membantu meningkatkan status kesehatan dan produktifitas. Tanin
diduga membantu memperbaiki pencernaan protein dan status kesehatan (Mohanty
et al. 2014)
Biji adas, sebagai salah satu tanaman yang diketahui memiliki banyak manfaat
bagi kesehatan manusia, diketahui memiliki berbagai kandungan fitokimia
(Badgujar et al. 2014). Hasil penelitian Bhaisare et al. (2014) menunjukkan bahwa
ekstrak hidroalkohol dari biji adas mengandung flavonoid, fenol, saponin, steroid,
tanin, dan terpenoid. Penelitian lain menunjukkan bahwa dalam ekstrak metanol
biji adas menunjukkan hasil yang positif untuk flavonoid, fenol, dan terpenoid,
tetapi hasil negatif untuk saponin, tanin, dan alkaloid (Bano et al. 2016). Okasha et
al. (2008) menunjukkan bahwa terdapatnya kandungan saponin, tanin, alkaloid, dan
flavonoid pada ekstrak air biji rosela (Hibiscus Sabdariffa Linn) diduga memicu
peningkatan hormon prolaktin pada tikus laktasi.
Secara kuantitatif, total fenol pada ekstrak hidroalkohol biji adas adalah 0.528
mg ekuivalen asam galat/g berat kering, sedangkan total fenol pada ekstrak metanol
adalah 3.48 mg ekuivalen asam galat/g berat sampel (Bhaisare et al. 2014; Bano et
al. 2016). Nagy et al. (2014) menunjukkan bahwa total flavonoid dari ekstrak
metanol 80% diketahui sebesar 0.695 mg kuersetin ekuivalen/g berat kering.
Berbeda halnya dengan Dua et al. (2013) yang menunjukkan bahwa total flavonoid
dari ekstrak metanol 80% biji adas adalah 9.325±1.25 mg kuersetin ekuivalen/g
ekstrak kering.
Biji adas juga diketahui memiliki kandungan fitoestrogen. Kandungan
fitoestrogen inilah yang juga diduga menimbulkan sifat laktagogum dari sumber-
sumber alami, salah satunya adalah biji adas (Tabares et al. 2014). Kandungan
fitoestrogen dalam suatu tanaman menyebabkan timbulnya aktifitas estrogenik.
Aktifitas estrogenik suatu tanaman adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh
substansi tertentu dalam menyerupai aksi hormon estrogen manusia (17 β-estradiol)
(Sirotkin dan Harrath 2014). Tabares et al. (2014) menjelaskan bahwa jika molekul
fitoestrogen memiliki aksi seperti estrogen, maka molekul tersebut dapat
meningkatkan ekspresi reseptor prolaktin, meningkatkan reseptor faktor
pertumbuhan, dan meningkatkan regulasi produksi kasein serta aktifitas enzim
laktosa sintetase.
11

Terdapat dua dugaan jalur mekanisme fitoestrogen sehingga dapat


mempengaruhi hormon prolaktin pada manusia. Jalur pertama adalah fitoestrogen
dapat terikat secara tepat di reseptor estrogen intraseluler di sel laktrotopik pituitari,
sehingga menyebabkan peningkatan prolaktin dan peningkatan sekresi air susu.
Efek ini diakibatkan oleh mekanisme aksi yang dipicu alfa-isoform dari reseptor
estrogen yang terdapat pada membran. Jalur kedua adalah fitoestrogen dapat
menghambat suatu mekanisme yang diaktifkan oleh reseptor dopamin D2R
(dopamine 2 receptor) di sel laktotropik anterior pituitati. Hal ini dapat
menstimulasi produksi prolaktin dan proliferasi sel laktotropik melalui peningkatan
cAMP yang berakhir pada jalur fosforilasi protein kinase yang memicu ekspresi
gen prolaktin (Tabares et al. 2014).
Kandungan senyawa fitoestrogen yang diduga terdapat pada biji adas adalah
flavonoid dan anetol (Rifqiyati dan Wahyuni 2016; Tabares et al. 2014). Flavonoid
merupakan metabolit sekunder alami yang berkontribusi terhadap adanya warna
pada bunga, buah, dan biji dari suatu tanaman. Flavonoid diklasifikasikan menjadi
enam subgrup, yaitu flavonon (apigenin, luteolin), flavonol (kuersetin, myrisetin),
flavanon (naringenin, hesperidin), katekin (epikatekin, gallokatekin), antosianin
(sianidin, pelargonidin), dan isoflavon (genistein, daidzein) (Ross dan Kasum 2002).
Anetol merupakan salah satu senyawa dari turunan fenilpropanoid.
Fenilpropene merupakan kelas dari senyawa folatil yang sebagian besar ditemukan
pada gymnospermae dan angiospermae. Anetol termasuk ke dalam kelompok
senyawa aromatik yang ditemukan melimpah pada minyak esensial suatu tanaman.
Anetol memiliki nama kimia (1-methoxy-4-(1-propenyl)) benzene dan termasuk ke
dalam golongan alkenilbenzena. Rumus kimia dari anetol adalah C10H12O.
(Marinov dan Valcheva-Kuzmanova 2015). Anetol merupakan salah satu kelompok
fitoestrogen dengan struktur yang menyerupai dopamin. Dopamin diketahui
sebagai salah satu senyawa inhibitor dari prolaktin. Anetol diduga berkompetisi
dengan dopamin pada sisi reseptornya, sehingga menghambat aksi anti-sekretori
dari dopamin terhadap prolaktin (Badgujar et al. 2014). Forinash et al. (2012)
menyebutkan bahwa hormon prolaktin merupakan hormon kunci dalam proses
produksi air susu pada ibu menyusui (Forinash et al. 2012).

Mekanisme Penduga Efek Laktagogum

Proses produksi dan sekresi air susu oleh kelenjar mammae dapat dipengaruhi
oleh berbagai macam faktor. Salah satu faktor tersebut adalah adanya pengaruh
pemberian sumber laktagogum terhadap hormon laktogenik. Secara umum, obat
medis pelancar air susu (metoclopramide, domperidone, sulpiride, dan
chloropromazine) dapat membantu meningkatkan produksi air susu melalui adanya
penghambatan dari aksi prolactin inhibitory factor (PIH) di hipotalamus. Proses
penghambatan ini menyebabkan terjadinya peningkatan produksi hormon prolaktin
oleh anterior pituitari. Selanjutnya peningkatan hormon prolaktin akan memicu
peningkatan produksi air susu pada kelenjar mammae (Gambar 2) (Forinash et al.
2012).
Forinash et al. (2012) menujukkan bahwa mekanisme aksi dari sumber
laktagogoum alami masih diketahui secara terbatas. Namun, dalam beberapa
sumber alami seperti fenugreek (Trigonella foenum-graecum), shatavari
12

(Asparagus racemosus Willd), dan milk tistle, peningkatan produksi susu diduga
dapat terjadi melalui adanya mekanisme peningkatan hormon prolaktin. Sumber
laktagogoum tersebut menyebabkan adanya peningkatan hormon prolaktin di
anterior pituitari. Peningkatan hormon prolaktin kemudian dapat memicu
peningkataan produksi air susu di kelenjar mammae (Gambar 2).

Gambar 2 Mekanisme penduga peningkatan produksi susu dari obat medis dan
beberapa sumber laktagogum alami (Forinash et al. 2012)

Sementara itu, tidak semua hasil penelitian pada sumber-sumber


laktagogoum menduga bahwa adanya peningkatan produksi susu hanya disebabkan
oleh peningkatan hormon prolaktin (Mahmood et al. 2012). Terdapat pengaruh
pada hormon laktogenik lainnya yang juga diketahui dapat menyebabkan
peningkatan produksi air susu (Soka et al. 2012). Hasil penelitian Roosita (2014)
menunjukkan bahwa peningkatan produksi susu didukung oleh data penurunan
konsentrasi T3 dan T4 pada serum yang signifikan setelah adanya pemberian
nutrasetial galohgor. Hal tersebut diduga karena terjadinya peningkatan aktifitas T3
dan T4 di kelenjar mammae, sehingga menyebabkan peningkatan metabolisme
basal untuk produksi air susu. Hasil ini juga didukung oleh hasil penelitian
Gueorguiev (1999) yang menunjukkan terdapat hubungan yang negatif antara
konsentrasi serum T4 dengan produksi susu pada sapi perah. Hormon T4 ditemukan
lebih rendah pada sapi yang memiliki produksi susu yang lebih tinggi.
Adanya peningkatan konsentrasi oksitosin juga diketahui dapat menyebabkan
peningkatan produksi air susu setelah pemberian daun katuk (Soka et al. 2012).
Oksitosin merupakan hormon yang merangsang pengeluaran air susu di kelenjar
mammae. Pelepasan oksitosin menyebabkan kontraksi sel mioepitelial yang
kemudian mendorong air susu untuk keluar dari alveoli, selanjutnya air susu
tersebut melewati duktus-duktus, dan akhirnya keluar dari puting (Moberg dan
Prime 2013).
Mekanisme peningkatan produksi susu juga diduga disebabkan karena
adanya peningkatan proliferasi sel kelenjar mammae (Mahmood et al. 2012;
13

Roosita 2014; Iwansyah 2017). Roosita (2014) secara lebih rinci menjelaskan
bahwa senyawa beta karoten yang dikandung oleh nutrasetikal galohgor terbukti
dapat mempengaruhi proliferasi sel, diferensiasi sel, dan peningkatan ekspresi gen
betakasein dan koneksin yang memiliki peran penting dalam mekanisme produksi
air susu. Namun, mekanisme aksi pada sumber laktagogum lainnya sehingga dapat
menyebabkan peningkatan produksi air susu masih memerlukan penelitian lebih
lanjut. Mekanisme penduga dari beberapa sumber laktagogum alami telah
dirangkum pada Tabel 2.

Tabel 2 Mekanisme penduga beberapa sumber laktagogum dari hasil-hasil


penelitian
Jenis Mekanisme penduga
Shatavari Menunjukkan efek estrogenik yang ditandai dengan adanya
peningkatan hormon prolaktin; aksi steroid dari saponin dalam
tanaman diduga menyebabkan efek laktagogum (Gupta dan
Shawn 2011).
Torbangun Terjadinya proliferasi dari sel sekretori kelenjar mammae
(Damanik et al. 2006; Iwansyah et al. 2018)
Fenugreek Menunjukkan efek estrogenik yang ditandai dengan peningkatan
hormon prolaktin; adanya mekanisme peningkatkan produksi
keringat yang memicu produksi air susu (Turkyilmaz et al.
2011); adanya kandungan fitoestrogen diosgenin pada fenugreek
(Mortel dan Mehta 2013; Tabares et al. 2014)
Milk thistle Masih belum diketahui, memungkinkan memberikan efek
estrogenik (Di Pierro et al. 2008; Mortel dan Mehta 2013)
Daun katuk Terjadinya peningkatan eskpresi gen prolaktin dan oksitosin di
kelenjar pituitari; adanya kandungan papaverin dan sterol diduga
memiliki efek laktagogum (Soka et al. 2010)
Daun kelor Terjadi peningkatan hormon prolaktin (Yabes-Almirante dan
Lim 1996); diduga karena adanya kandungan fitosterol dan
antioksidan yang diduga berpengaruh terhadap proses
peningkatan produksi ASI (Zakaria et.al 2016)
Bunga pisang Masih belum diketahui; diduga menyebabkan terjadinya
peningkatan proliferasi sel kelenjar mammae, dan adanya
kandungan saponin dan tanin (Mahmood et al. 2012)
Jintan hitam Masih belum diketahui; diduga akibat adanya aksi fitoestrogen
anetol yang dapat menyebabkan efek estrogenik (Hosseinzadeh
et al. 2012)
Biji adas Adanya efek estrogenik yang ditandai peningkatan hormon
prolaktin (Sadeghpour et al. 2015); menyebabkan pembesaran
alveolus pada kelenjar mammae tikus (Al-Sudany et al. 2014);
diduga karena adanya kandungan fitoestrogen anetol dan
flavonoid (Badgujar et al. 2016).
Nutrasetikal Adanya kandungan senyawa penciri β-karoten yang mampu
galohgor mempengaruhi proliferasi sel, diferensiasi sel, serta ekspresi gen
β-kasein dan koneksin pada sel kelenjar mamme HC11 (Roosita
2014).
14

Fisiologi Kelenjar Air Susu

Kelenjar air susu atau kelenjar mammae (mammary gland) adalah salah satu
kelenjar eksokrin di dalam tubuh yang terdapat pada mamalia dan memiliki fungsi
yang sangat khusus, yaitu mampu memproduksi (sintesis), mensekresi, dan
mengeluarkan air susu untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi pada bayi.
Berbeda halnya dengan organ lain di dalam tubuh yang mencapai proses
kematangan selama masa embrionik, kelenjar mammae akan mencapai tahap
kematangan hanya selama siklus kehamilan sampai menyusui (pregnancy-lactation
cycle) (Hassiotou dan Geddes 2013).

Gambar 3 Anatomi kelenjar mammae pada wanita (Dimri et al. 2005)

Kelenjar mamme terdiri dari dua bagian utama yaitu epitelium (terdiri dari
saluran-saluran/duktus-duktus dan sel-sel alveolus) dan stroma (jaringan ikat atau
disebut juga fat pad). Sel epitelium pada dasarnya terdiri dari sel luminal yang
mengelilingi lumen sentral dan sel mioepitelial memanjang yang terletak pada
posisi basal (Dimri et al. 2005; Visvader dan Stingl 2014). Sel epitelium kemudian
akan membentuk duktus-duktus dan alveolus. Selain itu, terbentuk pula bagian
lumen tengah yang menonjol keluar permukaan tubuh melalui puting (nipple)
(Gambar 3) (Dimri et al. 2005; Hennighausen dan Robinson 2015).

a b c d
Gambar 4 Perkembangan kelenjar mammae pada wanita pada saat pubertas (a),
dewasa virgin (b), kehamilan (c), dan menyusui (d) (Hennighausen
dan Robinson 2015)
Secara fisiologi, duktus-duktus (milk duct) akan semakin berkembang dan
bercabang hingga mencapai titik akhir di setiap kelompok-kelompok lobul alveolus.
15

Setiap alveolus dikelilingi oleh satu lapis sel epitelial sekretori yang terpolarisasi.
Selanjutnya, alveoli dikelilingi oleh sel mioepitelial yang berfungsi dalam
pelepasan air susu. Alveoli juga dikelilingi oleh jaringan ikat yang tervaskularisasi
atau stroma (McManaman dan Neville 2003). Komponen utama dari stroma
meliputi sel adiposa, fibrolas, sel-sel darah, pembuluh darah, dan saraf
(Hennighausen dan Robinson 2015).
Sel kelenjar mammae akan terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan
sampai akhirnya mencapai proses kematangan (Gambar 4). Pada masa awal
seseorang lahir sampai sebelum mencapai usia dewasa, perkembangan sel kelenjar
mammae umumnya diakibatkan karena peningkatan jaringan ikat dan deposit
lemak. Pada tahap sebelum mencapai dewasa (pubertas), terjadi pertumbuhan
alveolus dan perpanjangan duktus. Perpanjangan duktus ini terjadi sebagai akibat
dari pertumbuhan cepat atas TEB (terminal end bud) yang dikelilingi monolayer
epitelial (cap cells) (Hennighausen dan Robinson 2015). Cap cells kemudian akan
berdiferensiasi membentuk miopeitelial baru untuk mengelilingi duktus yang telah
mengalami perubahan morfologi dan perpanjangan.

Gambar 5 Perkembangan sel epitelilal kelenjar mammae pada saat sebelum masa
kehamilan hingga menyusui (Borellini dan Oka 1986)

Selama masa menyusui atau laktasi, fungsi diferensiasi dari sel kelenjar
mammae akan memuncak pada proses laktogenesis (Gambar 5). Jager et al. (2008)
menyebutkan bahwa kondisi diferensiasi pada sel kelenjar mammae ditandai
dengan adanya sintesis laktosa, lemak susu, dan ekspresi dari gen-gen protein susu
(β-kasein atau whey acidic protein). Secara fisiologis, sel akan mengalami
polarisasi dan saling terhubung oleh celah penghubung (tight junction). Secara
fisiologis, permukaan sel epitel yang menghadap alveolus ditutupi oleh mikrovili
(Gambar 5). Sebagian besar bagian sitoplasma terdiri dari retikulum endoplasma
kasar. Droplet-droplet lemak yang kecil juga tampak di seluruh sitoplasma (Gambar
5) (Borellini dan Oka 1986).

Laktogenesis

Laktogenesis adalah rangkaian proses terjadinya produksi air susu di kelenjar


mammae dan termasuk terjadinya perubahan kelenjar mammae dari masa
kehamilan sampai setelah proses kelahiran. Neville et al. (2001) menunjukkan
bahwa tahap laktogenesis terbagi menjadi 2 (dua) tahapan, yaitu laktogenesis tahap
I dan laktogenesis tahap II.
16

Laktogenesis tahap I merupakan proses yang terjadi selama masa kehamilan.


Kelenjar mammae sudah mulai berdiferensiasi sehingga dapat memproduksi
komponen-komponen air susu (kasein dan laktosa) dengan jumlah yang masih
sedikit. Tahap laktogenesisi I pada manusia ditandai melalui adanya peningkatan
konsentrasi laktosa dan -laktalbumin di plasma darah dan kondisi ini umumnya
terjadi saat pertengahan kehamilan sampai beberapa hari setelah kelahiran (partum)
(Brown 2011). Kelenjar mammae kemudian akan terus berdiferensiasi penuh
sampai pada masa akhir laktogenesis I sehingga dapat memproduksi air susu.
Namun, sekresi air susu pada tahap ini akan tertahan karena tingginya konsentrasi
plasma progesteron dan estrogen. Pada akhir tahap ini pula, umumnya kelenjar
mammae manusia memproduksi kolostrum. Kolostrum diketahui mengandung
sodium, klorida, imunoglobulin, dan laktoferin dengan konsentrasi yang relatif
tinggi (Neville et al. 2001).
Laktogenesis tahap II merupakan proses yang terjadi ketika produksi dan
sekseri air susu meningkat yang berhubungan dengan kondisi kelahiran. Pada
beberapa hewan (seperti sapi, kambing, dan tikus), laktogenesis tahap II dimulai
sebelum proses lahirnya anak. Hal ini disebabkan karena pada saat ini terjadi
penurunan plasma progesteron yang tajam dan juga menginisiasi terjadinya partum.
Pada manusia, laktogenesis tahap II terjadi setelah proses kelahiran. Hal ini
disebabkan karena umumnya plasma progesteron mengalami penurunan sekitar 10
kali lipat pada sekitar 4 hari setelah partum. Laktogenesis tahap II dapat diamati
melalui adanya perubahan komposisi dan volume air susu (Neville et al. 2001).

Hormon pada Proses Laktogenesis

Proses pembentukan air susu di kelenjar mammae sampai terjadinya laktasi


terjadi dengan melibatkan hornon-hormon penting. Tugas utama dari hormon-
hormon ini adalah untuk mensinkronisasikan perkembangan dan fungsi kelenjar
mammae terhadap tahapan reproduksi dari manusia/hewan dan kebutuhan air susu
untuk memenuhi kebutuhan bayi. Hormon reproduksi seperti estrogen, progesteron,
plasental laktogen, prolaktin, dan oksitosin memiliki fungsi secara langsung di
kelenjar mammae. Terdapat beberapa hormon metabolik seperti hormon
pertumbuhan (growth hormone), glukokortikoid, tiroid, dan insulin yang juga
memiliki peran terhadap fungsi kelenjar mammae. Hormon pertumbuhan diketahui
memiliki peran dalam proses perkembangan duktus, glukokortikoid dan tiroid
diketahui mermiliki peran penting untuk sekresi air susu, dan insulin diketahui
memiliki peran dalam perkembangan sel kelanjar mammae dalam kultur sel
(Neville et al. 2002).
Selama masa awal kehamilan, hormon estrogen dan progesteron berperan
sebagai faktor utama dalam perkembangan jaringan di payudara. Estrogen
menstimulasi perkembangan milk duct dan progresteron berfungsi dalam
membentuk lobula-lobula yang bertanggung jawab untuk produksi air susu
(Forinash et al. 2012; Hassiotou dan Geddes 2013). Hormon lain yang penting dan
terlibat dalam fisiologi menyusui adalah prolaktin. Prolaktin merupakan hormon
utama yang menstimulasi perkembangan kelenjar air susu atau mammae. Hormon
prolaktin (disertai dengan hormon human chorionic somatomammotropin)
berfungsi dalam menstimulasi produksi enzim yang dibutuhkan untuk produksi air
17

susu. Namun, tingginya konsentrasi hormon progesteron dan estrogen selama


kehamilan akan menekan aksi prolaktin, sehingga air susu tidak dapat dikeluarkan
selama seseorang masih dalam kondisi hamil (Forinash et al. 2012).
Setelah proses persalinan, konsentrasi hormon estrogen dan progesteron
secara signifikan akan menurun, sehingga hormon prolaktin secara penuh dapat
menstimulasi alveoli untuk memproduksi air susu. Hormon lain, seperti kortisol,
insulin, vasoaktif intestinal peptida, hormon pertumbuhan (growth hormone), dan
thyroid releasing hormone dapat menstimulasi prolaktin dan mempengaruhi
komposisi air susu. Sebaliknya, hormon dopamin bersifat sebagai faktor
penghambat bagi pelepasan prolaktin, sehingga dapat menghambat mekanisme aksi
prolaktin dalam menstimulasi produksi air susu (Forinash et al. 2012).
Pelepasan air susu dari alveoli dan milk duct membutuhkan adanya kontraksi
dari sel mioepitelial yang distimulasi oleh oksitosin dari posterior pituitari (Neville
et al. 2002). Oksitosin adalah hormon yang berfungsi untuk menstimulasi sel
mioepital untuk dapat berkontraksi dan melepaskan simpanan air susu dari sel milk
duct. Air susu harus dikeluarkan dari lumen alveoli menuju milk duct untuk bisa
keluar dan kemudian dapat menuju mulut bayi (Forinash et al. 2012).
Isapan dari mulut bayi memiliki peranan penting untuk dapat menstimulasi
produksi prolaktin dan oksitosin. Sekresi air susu akan terus berlangsung hingga
hisapan bayi berakhir. Meskipun alveoli masih menyimpan air susu, namun apabila
hisapan dari bayi berhenti maka tidak akan ada lagi air susu yang akan dilepaskan.
Payudara akan kembali memproduksi air susu untuk proses menyusui selanjutnya
ketika semua air susu sudah dikeluarkan dalam proses menyusui sebelumnya. Aksi
ini merupakan mekanisme balik yang dapat memicu adanya suplai air susu dapat
terjadi setiap waktu selama masa laktasi (Forinash et al. 2012).

Prolaktin
Prolaktin merupakan hormon polipeptida yang disintesis dan disekresikan
oleh sel laktotrof di kelenjar pituitari anterior. Molekul prolaktin terdiri dari rantai
asam amino tunggal dengan tiga ikatan disulfida intramolekuler diantara enam
residu sistein (Cys4-Cys11, Cys58-Cys174, dan Cys191-Cys199). Prolakin
berikatan dengan reseptor prolaktin yang termasuk ke dalam keluarga reseptor kelas
1 cytokine di sisi periperal kelenjar target (Freeman et al. 2000). Ikatan prolaktin
dan reseptornya menghasilkan dimerisasi dan aktifasi Jak/STAT yang dapat
memicu terjadinya transkripsi protein-protein spesifik (Neville et al. 2002).
Prolaktin diketahui memiliki berbagai fungsi di kelenjar mammae. Diantara
fungsi prolaktin yaitu berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan kelenjar
mammae (mammogenesis), sintesis air susu (laktogenesis), dan mengatur sekresi
air susu (galaktopoiesis). Namun, fungsi-fungsi tersebut bukan hanya merupakan
fungsi tunggal karena hormon prolaktin, melainkan hasil dari kerja hormon-hormon
lain dan faktor pertumbuhan yang juga bertindak di kelenjar mammae (Freeman et
al. 2000; Neville et al. (2002).
Prolaktin berfungsi dalam mamogenesis dengan dua cara yang berbeda yaitu
mengkontrol percabangan duktus dan terminal end bud melalui mekanisme tidak
langsung pada hewan dewasa virgin, tetapi bertindak secara langsung pada epitelial
mammae untuk memproduksi lobuloalveolar selama kehamilan. Pertumbuhan dan
perkembangan lobuloalveolar kelenjar mammae juga didukung oleh hormon lain
seperti estrogen, progesteron, dan glukokortikoid. Selama kehamilan, percabangan
18

lanjutan dari duktus dan perkembangan alveolus juga merupakan bagian fungsi dari
progesteron, prolaktin dan plasental laktogen (Freeman et al. 2000; Neville et al.
2002).
Pada fungsi laktogenesis, pituitari prolaktin diperlukan untuk sintesis
komponen air susu. Prolaktin berfungsi untuk menstimulasi beberapa asam amino,
sintesis protein susu kasein dan alfa-laktalbumin, uptake glukosa, dan sintesis gula
susu laktosa serta lemak susu selama proses laktogenesis. Pada fungsi
galaktopoiesis, prolaktin merupakan hormon utama yang diperlukan untuk
membantu sekresi air susu pada mamalia. Namun, fungsi galaktopoiesis ini
didukung pula oleh beberapa hormon lain seperti hormon pertumbuhan, tiroid,
paratiroid, kalsitonin, faktor pertumbuhan, dan oksitosin (Freeman et al. 2000).
Neville et al. (2002) menunjukkan bahwa prolaktin merupakan hormon
penting yang terlibat pada fase proliferasi sel alveoli dan laktogenesis II. Pada
hewan coba (mencit, tikus, dan hewan lainnya), prolaktin akan disekresikan pada
hari ke-1 sampai ke-8 kehamilan dari anterior pituitari. Prolaktin berfungsi sebagai
hormon luteotropik yang berperan dalam menstimulasikan sekresi hormon estrogen
dan progesteron dari korpus luteum pada awal kehamilan (8 hari pertama
kehamilan) (Freeman et al. 2000; Neville et al. 2002). Prolaktin, estrogen, dan
progesteron secara bersama-sama menstimulasi proliferasi alveolus di kelenjar
mammae. Namun, konsentrasi prolaktin kemudian akan berkurang dan menghilang
pada hari ke-10 kehamilan. Fungsi prolaktin digantikan oleh hormon plasental
laktogen selama masa kehamilan sebagai hormon luteotropik utama (Neville et al.
2002).
Selanjutnya, 2 hari sebelum terjadinya proses kelahiran, sekresi prolaktin
pada tikus semakin meningkat sampai mencapai 100 kali lipat. Pada mencit dan
tikus, reseptor hormon prolaktin juga akan mulai menurun dan menghilang selama
masa kehamilan, akan tetapi reseptor ini akan muncul dan meningkat kembali
menjelang masa kelahiran. Seiring dengan semakin menurunnya konsentrasi
progesteron menjelang proses kelahiran, hormon prolaktin meningkat secara
signifikan dan menggantikan fungsi hormon plasental laktogen sebagai stimulus
fungsional pada epitelial kelenjar mammae (Neville et al. 2002).
Pada manusia di periode awal kehamilan sampai 10 minggu kehamilan,
hormon human chorionic gonadotropin (hCG) akan meningkat setelah terjadinya
implantasi dan menjaga fungsi korpus luteum dalam mensekresi estrogen dan
progesteron. Hormon hCG kemudian akan menurun sebagai akibat dari plasenta
yang mulai meningkatkan produksi hormon plasental laktogen, progesteron dan
estrogen. Plasma prolaktin dan kortisol akan meningkat secara signifikan selama
masa kehamilan, yang diduga distimulasi oleh meningkatnya estrogen dan fase
laktogenesis I. Selanjutnya, level plasma prolaktin terus dipertahankan tinggi
selama masa laktasi pada wanita menyusui. Selama masa laktasi, sekresi prolaktin
distimulasi oleh adanya isapan anak. Namun, sekresi prolaktin dari pituitari ini akan
ditekan oleh adanya hormon dopamin (bromokriptin) pada tikus dan manusia
(Neville et al. 2002).

Tiroid
Tiroid merupakan hormon yang diproduksi oleh kelenjar tiroid dan memiliki
peran penting dalam proses pertumbuhan, perkembangan, dan metabolisme tubuh.
Hormon tiroid diketahui dapat meningkatkan fosforilasi oksidatif di mitokondria,
19

serta mempertahankan asam amino dan transport elektron di dalam sel. Hormon
tiroid bertindak melalui adanya perubahan ekspresi gen. Hormon tiroid masuk ke
dalam sel dan akan berikatan dengan reseptor spesifik di dalam nukleus. Kemudian,
hormon tiroid akan menstimulasi sintesis berbagai macam mRNA yang selanjutnya
akan menstimulasi sintesis protein, termasuk enzim dan hormon-hormon (Simundic
et al. 2009).
Seluruh proses biosintesis dari hormon tiroid distimulasi oleh thyroid
stimulating hormone (TSH) dan dihambat oleh kelebihan iodium (Simundic et al.
2009). TSH merupakakan hormon yang memiliki peranan penting dalam
meregulasi homeostatis hormon tiroid. TSH merupakan hormon glikoprotein yang
tersusun atas subunit alfa dan beta yang terikat secara non-kovalen satu dengan
lainnya. TSH disekresikan oleh sel thyrotroph di anterior pituitari. Sekresi dari TSH
dikontrol oleh adanya feedback negatif dari Thyrotropin releasing hormone (TRH).
TRH merupakan hormon peptida yang disintesis di hipotalamus. TRH disekresikan
oleh neuron hipotalamus ke dalam portal darah hypotalamic-hypophyseal dan
melalui reseptornya di thyrotroph dapat menstimulasi sekresi TSH (Simundic et al.
2009). TRH diketahui dapat menstimulasi sekresi hormon TSH di anterior pituitari
(Tabares et al. 2014).
Sekresi TRH dan TSH dapat dihambat oleh konsentrasi hormon tiroid darah
yang tinggi melalui adanya feedback negatif yang melibatkan hipotalamus, pituitari,
dan kelenjar tiroid (axis HPT). Hipotalamus mensekresikan TRH yang kemudian
dapat mensitmulasi sekresi TSH di kelenjar pituitari. TSH selanjutnya dapat
menstimulasi kelenjar tiroid untuk mensekresikan hormon tiroid. Kemudian, ketika
tingkat hormon tiroid tinggi melebihi batas tertentu, maka sekresi TRH akan
dihambat. Penghambatan sekresi TRH akan memicu penghambatan sekresi TSH
yang kemudian dapat memicu penghambatan sekresi hormon tiroid di darah
(Simundic et al. 2009).
Kelenjar tiroid dapat memproduksi dua jenis hormon yaitu 3,5,3',5'-
tetraiodotironine atau tiroksin (T4) dan 3,5,3'-triiodotironine (T3). Proses sintesis
dari hormon-hormon ini membutuhkan asam amino tiroksin dan mineral iodium.
Jumlah produksi T4 oleh kelenjar tiroid diketahui hampir mencapai 90%,
sedangkan sisanya adalah T3. Sebagian besar T3 didapatkan dari hasil perubahan
T4 melalui proses deiodinasi dengan bantuan enzim 5’– deiodinase (Neville et al.
2002). Proses deiodinasi dapat terjadi di beberapa kelenjar tubuh seperti hati, ginjal,
dan kelenjar tiroid. Namun, proses deiodinasi juga dapat terjadi di otot, jantung,
paru-paru, dan kelenjar mammae pada tikus.
Hormon tiroid diketahui memiliki peranan penting dalam proses produksi air
susu di kelenjar mammae. Kondisi kelainan pada hormon tiroid, seperti hipotiroid,
diketahui dapat berpengaruh pada penurunan produksi air susu (Marasco 2006).
Kondisi hipotiroid selama masa laktasi juga diduga diperparah dengan
meningkatnya pelepasan iodium melalui air susu pada kondisi laktasi. Iodium
merupakan komponen utama penyusun hormon tiroid (Tucker 2000).
Hasil-hasil penelitian menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang negatif
antara konsentrasi hormon tiroid dengan produksi susu. Tucker (2000)
menyebutkan bahwa rata-rata sekresi T4 mengalami penurunan seiring dengan
meningkatnya volume air susu. T4 merupakan hormon yang akan mengalami
proses perubahan secara enzimatik menjadi T3 yang secara biologis memiliki
kemampuan yang lebih aktif. Gueorguive (1999) juga menunjukkan bahwa
20

konsentrasi T3 dan T4 ditemukan lebih rendah pada sapi perah yang memiliki
produksi susu yang lebih tinggi.
Tucker (2000) juga menyebutkan bahwa konsentrasi T4 mengalami
penurunan seiring dengan meningkatnya produksi air susu selama masa laktasi. T4
merupakan hormon yang akan berubah menjadi bentuk yang lebih aktifnya, yaitu
T3, di kelenjar tiroid atau jaringan lainnya. Tucker (2000) menjelaskan bahwa
proses perubahan T4 menjadi T3 diketahui mengalami penurunan di hati dan ginjal,
tetapi mengalami peningkatan di kelenjar mammae selama masa laktasi. Oleh
karena itu, kondisi hormon tiroid di kelenjar mammae berada dalam konsentrassi
yang normal (euthyroid state) selama masa laktasi, meskipun kondisi hipotiroid
terjadi di dalam serum darah atau organ lainnya. Kondisi tersebut akan
menyebabkan meningkatnya metabolisme kelenjar mammae untuk produksi susu
(Tucker 2000).
Hormon tiroid juga memiliki peranan penting dalam sintesis protein susu.
Triiodotironin (T3) diketahui berperan dalam sintesis protein susu pada penelitian
menggunakan kultur sel. Hasil penelitian Ziska et al. (1988) menunjukkan bahwa
sel kultur kelenjar mammae yang ditambahkan T3 mengandung mRNA alfa-
laktalbumin 2.46 kali lebih banyak dibandingkan dengan sel kultur yang tidak
ditambahkan hormon T3.
Hormon tiroid juga diketahui berperan dalam meningkatkan respon terhadap
hormon laktogenik lainnya. Tetraiodotironin (T4) diketahui dapat meningkatkan
respon galaktopoietik dari hormon pertumbuhan (GH) dan prolaktin. Capuco et al.
(1999) menunjukkan bahwa berat anak tikus tidak berbeda signifikan ketika induk
tikus hanya diberikan perlakuan hormon pertumbuhan, prolaktin, dan T4 secara
tunggal. Sementara itu, pada induk yang diberikan perlakuan hormon
pertumbuhan+T4 dan prolaktin+T4 menunjukkan adanya peningkatan berat badan
anak tikus sebesar 18% dibandingkan pada induk tikus yang hanya diberikan
hormon pertumbuhan dan prolaktin secara tunggal.

Gambaran Darah (Hematologi)

Darah merupakan cairan pembawa yang dipompa dari jantung untuk dialirkan
ke seluruh tubuh. Darah memiliki fungsi utama sebagai pembawa zat gizi dan
oksigen ke seluruh sel. Darah juga berfungsi untuk mengatur homeostatis tubuh
dengan membantu dalam menjaga temperatur tubuh, menjaga tingkat pH normal di
dalam jaringan, mengatur volume cairan di dalam sistem sirkulasi, media
transportasi enzim dan hormon, dan sebagai tempat pertahanan tubuh terhadap
mikroorganisme atau benda-benda asing yang mengancam tubuh (Ashton 2013).
Darah tersusun dari elemen-elemen pembentuk (sel darah merah, sel darah
putih, dan platelet) dan plasma. Hematokrit merupakan istilah yang digunakan
untuk menyatakan proporsi elemen-elemen pembentuk sel darah merah di dalam
darah keseluruhan (whole blood). Seluruh sel darah berasal dari kelas tunggal stem
sel pluripoten. Stem sel pembentuk darah memiliki dua jenis kemampuan, yaitu
kemampuan untuk membentuk stem sel baru melalui pembelahan sel dan
kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi sel darah dewasa yang telah
terspesialisasi. Stem sel pluripoten akan membelah dan membentuk stem sel
myeloid dan stem sel limfoid. Myeloid stem sel kemudian akan berdiferensiasi
21

menjadi sel prognitor yang kemudian membentuk sel pronormoblas (eritroblas),


megakarioblas, myeoblas, dan monoblas. Pronormoblast merubakan sel awal
pembentuk eritrosit, megakarioblas merupakan sel awal pembentuk platelet,
myeoblas merupakan sel awal pembentuk ganulosit, dan monoblas merupakan sel
awal pembentuk monosit yang akhirnya akan membentuk makrofag (Ashton 2013).

Plasma Darah
Plasma adalah cairan berwarna kuning dalam darah yang tersusu oleh air,
protein, lemak, dan komponen lainnya. Plasma memiliki fungsi sebagai medium
untuk mengirimkan berbagai zat gizi menuju sel-sel dari berbagai organ tubuh.
Plasma juga berfungsi sebagai tempat untuk menyalurkan zat buangan tubuh hasil
proses metabolisme seluler, mempertahankan tekanan darah normal, serta
membantu menyeimbangkan proses homeostasis tubuh yang meliputi menjaga
keseimbangan asam dan basa di dalam tubuh (Rogers 2011).
Protein merupakan komponen kedua terbanyak setelah air di dalam plasma
(hampir 7 % dari berat plasma). Plasma protein memiliki efek osmotik yang
menyebabkan air cenderung akan bergerak dari cairan ekstraseluler ke dalam
plasma. Sebagian besar protein dalam plasma adalah serum albumin. Fungsi utama
dari serum albumin adalah untuk menjaga tekanan osmotik dari plasma. Kurangnya
serum albumin di dalam tubuh akan menyebabkan keluarnya cairan ke jaringan
ekstraseluler sehingga dapat menyebabkan bengkak atau edema. Serum albumin
dapat mengikat substansi tertentu yang ditransportasikan di dalam plasma. Hal ini
menyebabkan albumin bertindak sebagai protein pembawa nonspesifik. Komponen
lainnya yang terdapat di dalam plasma adalah sitokin. Sitokin memiliki fungsi
sebagai senyawa kimia pembawa pesan (messenger) yang mengatur pembentukan
sel darah (hematopoiesis). Potein lain yang terdapat di dalam plasma adalah
komplemen. Komplemen memiliki peran penting sebagai perantara respon imun
dan inflamasi terhadap berbagai agen-agen pembawa infeksi (Rogers 2011).

Sel Darah Merah


Sel darah merah atau eritrosit merupakan jenis sel terbanyak di dalam darah.
Hampir 99.9% sel di dalam darah merupakan sel darah merah. Jumlah sel darah
merah normal di dalam tubuh pada manusia berkisar antara 4.2x106 sampai 6.3 x106
sel/ µl. Pada tikus, jumlah sel darah merah berkisar antara 7.00 - 11.00 x106/mm3
(Douglas dan Wardrop 2010).
Sel darah merah terbentuk dari stem sel myeloid. Stem stem myeolid yang
berdiferensiasi menjadi pronormoblas yang merupakan bentuk awal dari sel eritroid.
Sel ini akan terus membelah sampai pada tahap normoblas akhir. Sampai pada tahap
ini, sel disebut sebagai retikulosit. Retikulosit akan terus berkembang menunju
dewasa di sumsum tulang merah sampai dilepaskan ke dalam sirkulasi darah.
Retikulosit kemudian akan mengalami proses sintesis hemoglobin dan pada tahap
ini disebut sebagai eritrosit dewasa (Ashton 2013).
Fungsi utama dari sel darah merah adalah mengirimkan oksigen dari paru-
paru ke setiap jaringan di seluruh tubuh dan mengangkat karbondioksida dari
jaringan-jaringan untuk kembali ke paru-paru (Nikinmaa 2011). Sel darah merah
terususn atas hemoglobin. Hemoglobin merupakan sebuah metaloprotein
terkonjugasi yang terdiri dari empat rantai polipeptida globin. Setiap rantai
polipeptida globin mengandung struktur cincin porphyrin yang disebut hem
22

(ferrous protophyrin IX). Grup hem ini secara kovalen mengikat atom ferrous
(Fe2+) yang kemudian dapat mengikat oksigen di sisi kebalikannya. Oleh karena itu,
setiap hemolgobin dapat mengikat empat molekul oksigen. Konsentrasi
hemolgobin di dalam darah utuh (whole blood) merupakan salah indikator yang
dapat mengukur kondisi anemia seseorang. Pada manusia, konsentrasi hemolgobin
yang rendah dari batas normalnya (12-18 g/dl) diindikasikan sebagai kondisi
anemia atau kekurangan sel darah merah (Ashton 2013).
MCH (mean corpuscular volume) merupakan sebuah istilah yang digunakan
untuk menyatakan rata-rata volume dari sel darah merah, sedangkan MCHC (mean
corpuscular hemoglobin concentraiton) adalah rata-rata jumlah hemoglobin dalam
satu sel darah merah. Nilai MCH dan MCHC yang berada di luar batas normalnya
sering dikaitkan dengan kondisi anemia. Nilai MCH dan MCHC yang kurang dari
batas normalnya secara berturut-turut disebut sebagai kondisi mikrositik anemia
dan hipokromik anemia, sedangkan nilai MCH dan MCHC yang melebihi batas
normalnya secara berturut-turut disebut sebagai kondisi makrositik anemia dan
hiperkromik anemia (Ashton 2013).

Platelet (Trombosit)
Platelet disebut juga trombosit atau keping darah. Platelet merupakan sel
tidak berinti yang berasal dari megakariosit di sumsum tulang merah (Nikolic et al.
2016). Jumlah normal platelet pada manusia berkisar antara 150x103 sampai
450x103 sel/µl. Platelet menempati urutan kedua terbanyak setelah sel darah merah
(Twomey et al. 2018). Platelet memiliki fungsi utama dalam proses hemostasis dan
trombosis darah. Hemostasis dapat dibagi menjadi hemostasis primer, hemostasis
sekunder, dan fibrinolisis. Hemostasis primer adalah fungsi utama platelet dalam
mencegah pendarahan ketika terjadinya luka pada pembuluh darah. Sel pembuluh
darah yang sehat bersifat non-adhesif terhadap platelet. Namun, kondisi rusaknya
pembuluh darah akan membentuk permukaan subendotelilal yang merupakan target
utama dari platelet. Platelet agonis kemudian akan memicu aksi adhesi platelet pada
bagian permukaan subendotelial tersebut. Selama proses ini, platelet akan berubah
bentuk dan melepaskan komponen-komponen granula, kemudian secara bertahap
membentuk sebuah agregat. Proses ini akan meminimalisasi hilangnya darah secara
berlebihan dari pembuluh yang telah rusak (Jurk dan Kehrel 2005).
Platelet tersusun atas tiga jenis granula, yaitu granula padat, granula alfa, dan
lisosom. Granula padat mengandung nukleotida, katekolamin, serotonin, glutamat,
histamin, pirofosfat, dan kation. Granula alfa umumnya mengandung protein-ptoein
adhesi untuk proses pembekuan darah. Lisosom mengandung berbagai enzim
proteolitik yang memiliki peran penting dalam proses pemecahan protein.
Pelepasan dari granula-granula ini memiliki fungsi penting dalam proses inflamasi,
aterosklerosis, pertahanan tubuh tidak spesifik, penyembuhan luka, angiogenesis,
dan malignansi (Nikolic et al. 2016).

Sel Darah Putih


Sel darah putih atau leukosit merupakan jenis sel yang memiliki jumlah lebih
sedikit dibandingkan dengan eritrosit (pada manusia sekitar 45-7000 sel/µl pada
kondisi normalnya) (Ashton 2013). Jumlah sel darah putih pada tikus berkisar
antara 5x103 sampai 13x103/mm3 (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Fungsi utama
dari sel darah putih adalah untuk membantu tubuh menyerang patogen, substansi-
23

substansi toksik dan menghancurkan produk buangan tubuh lainnya. Sel darah putih
mengandung nukleus dan organel-organel. Sel darah putih dapat dibagi menjadi
granulosit (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan agranulosit (monosit dan limfosit)
(Al-Dulaimi et al. 2018).
Neutrofil merupakan jenis sel darah putih yang paling banyak, yaitu sekitar
50-70% dari total sel darah putih yang bersirkulasi. Beberapa jenis sel darah putih
(neutrofil, eosinofil, basofil, dan monosit) diproduksi di stem sel myeloid,
sedangkan limfosit dibentuk di stem sel limfoid yang bermigrasi dari sumsum
tulang merah ke jaringan limfoid (timus, limpa, dan noda limpa) (Ashton 2013).
Pembentukan sel darah putih umumnya dipicu oleh sel darah putih yang telah
dewasa dengan tujuan untuk mengumpulkan lebih banyak sel darah putih ke daerah
tubuh yang mengalami infeksi atau luka (Al-Dulaimi et al. 2018). Oleh karena itu,
jumlah sel darah putih biasanya akan meningkat secara signifikan apabila kondisi
infeksi terjadi di dalam tubuh. Faktor stimulan dari pembentukan sel darah putih
dinamai berdasarkan kemampuannya untuk mempertahankan pertumbuhan sel
darah di dalam sebuah kultur (Ashton 2013).

Tikus Percobaan (Rattus norvegicus)

Tikus percobaan atau tikus laboratorium adalah tikus dari spesies Rattus
norvegicus yang dibiakan dan dikembangkan untuk keperluan penelitian ilmiah.
Tikus jenis ini sering dijadikan sebagai model untuk analisis berbagai masalah
biomedis seperti penyakit kardiovaskular, kelainan metabolisme (metabolisme
lemak, diabetes melitus), penyakit saraf (epilepsi, parkinson), organ tranplantasi,
penyakit autoimun, kanker, atau penyakit ginjal. Terdapat beberapa galur tikus
percobaan hasil dari biakan secara acak atau outbred, seperti galur Wistar, Sprague
Dawley, Osborne-Mendel, Long-Evans, Holtzman, Slonaker, dan Albany. Tikus
dari galur Wistar dan Sprague Dawley adalah jenis galur tikus yang banyak
digunakan untuk percobaan-percoaan di laboratorium (Hedrich 2000). Tikus galur
ini memiliki ciri utama berwarna putih sehingga sering disebut sebagai tikus putih
atau tikus albino.
Karakteritik fisiologi secara umum dari tikus percobaan disajikan pada Tabel
3. Tahapan pertumbuhan pada tikus percobaan hampir menyerupai pertumbuhan
pada manusia pada umumnya. Tikus anak yang baru lahir hanya menerima asupan
dari air susu induk tikus sampai berusia 18 hari. Tikus anak ini mulai mampu untuk
menerima pakan padat (pakan untuk tikus dewasa) setelah usia 18 hari. Lama waktu
menyusui pada tikus akan mulai berkurang pada saat usia tikus mencapai 20 hari.
Tikus kemudian mulai dipisahkan dari induknya pada usia 21 hari (Sengupta 2013).

Tabel 3 Karakteristik fisiologi umum dari tikus putih (Sengupta 2013)


Karakteristik fisiologi
Temperatur tubuh 37 oC
Rata-rata pernapasan 75 – 115 kali/menit
Rata-rata detak jantung 260 – 400 kali/menit
Rata-rata asupan air 10 -12 ml/100 g berat badan
Rata-rata konsumsi makanan 10 g/100 g berat badan
Usia kematangan seksual 7 minggu
24

Tabel 3 Karakteristik fisiologi umum dari tikus putih (Sengupta 2013) (lanjutan)
Karakteristik fisiologi
Rata-rata berat tikus jantan dewasa 450 – 550 g
Rata-rata berat tikus betina dewasa 250 – 300 g
Usia hidup 2.5 – 3.5 tahun
Usia dikawinkan 8 – 10 minggu
Lama estrus 10 – 20 jam
Lama kehamilan/bunting 21 – 23 hari
Jumlah anak 6-12
Berat badan lahir 5g
Perkiraan usia sapih 21 hari
Usia menopause 15-18 bulan

Tikus mulai mengalami perkembangan kematangan seksual setelah usia sapih


selesai (setelah 21 hari). Kematangan seksual tikus ditandai dengan pembukaan
vagina pada tikus betina dan pemisahan balanopreputial pada tikus jantan. Usia
kematangan seksuai ini umumnya terjadi pada 32 atau 34 hari pada tikus betina dan
45 atau 48 hari pada tikus jantan. Timbulnya kematangan seksual meruapakan tanda
tikus sudah memasuki masa remaja yang juga disertai dengan gerak tubuh yang
semakin lincah dan adanya peningkatan sosialisasi antar tikus (Sengupta 2013).
Setelah usia 5 minggu atau 36 hari, tikus mulai mengalami transisi menuju masa
dewasa. Secara umum, pertumbuhan tulang pada tikus putih akan berhenti pada
usia 7-8 bulan (210 hari). Pertumbuhan tikus putih dari lahir sampai dewasa
disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Pertumbuhan tikus putih setelah lahir sampai dewasa (Sengupta 2013)

Tikus putih galur Sprague Dawley merupakan salah satu galur tikus
percobaan spesies Rattus norvegicus hasil outbred dan dikembangkan pertama kali
oleh Robert S. Dawley pada tahun 1920an dari pembiakan hibrid tikus putih Wistar
betina dan tikus stok liar jantan. Hasil biakan tikus Sprague Dawley sering
digunakan sebagai hewan model laboratorium dari metabolisme penyakit pada
manusia seperti diabetes, obesitas, kanker, dan penyakit-penyakit kardiovaskular
(Brower 2015). Tikus galur Sprague Dawley juga sering digunakan sebagai model
percobaan dalam penelitian sumber laktagogum (Mahmood et al. 2012: Iwansyah
25

2017). Tikus galur ini memiliki ciri utama berupa rasio panjang ekor dan panjang
tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan galur Wistar.

Pengujian Sumber Laktagogum pada Hewan Coba

Beberapa sumber laktagogoum alami yang diduga dapat meningkatkan


produksi air susu telah diteliti secara ilmiah, khususnya pada tikus laktasi (secara
in-vivo). Pemberian sumber-sumber laktagogum ini umumnya dilakukan pada
mencit dan tikus putih laktasi galur Sprague Dawley. Intervensi dilakukan pada
masa laktasi sampai sebelum memasuki masa sapih atau sebelum usia 21 hari.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian intervensi umumnya
dilakukan dari hari ke-2 sampai hari ke-28 laktasi (Iwansyah 2017), dari hari ke-3
sampai ke-14 laktasi (Hosseinzadeh et al. 2013a dan 2013b), dari hari ke-3 sampai
hari ke-21 laktasi (Roosita 2003), dari hari ke-4 sampai ke-10 laktasi (Suprayogi et
al. 2015), dan dari hari ke-5 sampai ke-15 laktasi (Mahmood et al. 2012).
Mahmood et al. (2012) menjelaskan bahwa perubahan berat anak tikus masih
belum stabil pada masa awal kelahiran. Hal ini dikarenakan terjadinya kondisi
dehidrasi pada anak dan proses penyesuaian induk terhadap perilaku menyusui
anak-anaknya. Oleh karena itu, peneliti umumnya baru memulai melakukan
pengukuran produksi susu induk pada hari ke-2 sampai hari ke-5 setelah kelahiran.
Produksi air susu induk dapat diukur secara tidak langsung berdasarkan
estimasi menggunakan selisih berat badan anak sebelum dan sesudah menyusu pada
induknya. Suprayogi et al. (2015) menyebutkan bahwa terdapat korelasi yang
positif antara selisih bobot anak dengan volume susu induk. Sehingga produksi susu
induk dapat diestimasi melalui perubahan bobot anak. Mahmood et al. (2012)
menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam
mengestimasi produksi air susu. Faktor tersebut adalah jumlah anak dan interval
waktu pemisahan antara ibu dan anak sebelum waktu menyusu. Jumlah anak yang
umumnya menyusu kepada induk dengan menggunakan metode ini adalah
sebanyak 6 ekor. Waktu pemisahan dengan induk berdasarkan penelitian
sebelumnya yaitu selama 4 sampai 6 jam (Hosseinzadeh et al. 2013a dan 2013b;
Iwansyah 2017; Lin et al. 2017).

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Biji adas diketahui memiliki banyak manfaat bagi kesehatan manusia


(Badgujar et al. 2014). Salah satu manfaatnya adalah sebagai sumber laktagogum,
yaitu fungsi dari tanaman yang dapat meningkatkan produksi air susu (Badgujar et
al. 2014; Kooti et al. 2015). Hasil penelitian Ghasemi et al. (2014) menunjukkan
bahwa pemberian teh yang mengandung biji adas pada ibu menyusui terbukti dapat
meningkatkan tanda-tanda kecukupan ASI pada bayi.
Sifat laktagogum pada biji adas diduga disebabkan karena kandungan senyawa
kimia yang terdapat di dalamnya. Kandungan fitokimia kualitatif seperti saponin,
tanin, alkaloid dan flavonoid juga terdeteksi pada sumber-sumber laktagogoum dan
26

senyawa tersebut diduga dapat mempengaruhi peningkatan produksi susu pada


tikus coba (Okasha et al. 2008; Iwansyah 2017). Badgujar et al. (2014)
menunjukkan bahwa efek laktagogum dari biji adas diduga disebabkan karena
kandungan senyawa anetol yang termasuk ke dalam golongan senyawa volatil
fitoestogen. Anetol diduga dapat menghambat suatu mekanisme yang dihasilkan
oleh adanya aktifasi reseptor dopamin di sel laktotropik anterior pituitati. Hasilnya
adalah adanya stimulasi produksi prolaktin. Molekul fitoestrogen diduga dapat
meningkatkan ekspresi reseptor prolaktin, reseptor faktor pertumbuhan,
peningkatan regulasi produksi kasein susu, dan aktifitas enzim lactose syntetase di
sel kelenjar mammae (Tabares et al. 2014). Alam et al. (2019) menunjukkan bahwa
kandungan anetol dapat dianalisis dengan menggunakan GC-MS (Gas
Chromatography-Mass Spectrometer).
Proses laktogenesis di kelenjar mammae diketahui melibatkan beberapa kerja
hormon, seperti hormon tiroid dan prolaktin (Stuebe et al. 2014). Roosita (2003)
menunjukkan bahwa peningkatan produksi susu pada tikus laktasi setelah adanya
pemberian nutrasetikal galohgor juga disertai data konsentrasi T3 dan T4 yang
signifikan lebih rendah dibandingkan kontrol. Hormon prolaktin juga memiliki
peranan penting dalam proses sintesis air susu (laktogenesis) dan mengatur sekresi
air susu (galaktopoiesis). Beberapa hasil penelitian menggunakan bahan
laktagogum menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada hormon
prolaktin (Bako et al. 2008; Kusuma et al. 2017).
Adanya kehilangan darah sebagai akibat dari proses melahirkan dan terjadinya
peningkatan kebutuhan zat gizi untuk produksi air susu diduga dapat menyebabkan
kondisi timbulnya infeksi dan kekurangan gizi pada ibu pasca melahirkan
(Kominiarek dan Rajan 2016). Kehilangan darah selama proses melahirkan
diketahui dapat dipulihkan melalui adanya proses homeostasis darah pada kondisi
tubuh yang sehat. Proses homeostatis yang meliputi pembentukan kembali sel-sel
darah sangat diperlukan untuk menunjang peredaran oksigen dan zat gizi menuju
sel-sel kelenjar mammae sehingga dapat mendukung proses produksi air susu.
Ekstrak etanol biji adas diketahui dapat membantu meningkatkan jumlah sel
darah merah dan sel darah putih berdasarkan hasil penelitian Mansouri et al. (2015).
Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa ekstrak etanol biji adas dapat
berpotensi menimbulkan efek imonumodulator dan efek hematologis pada tikus.
Namun, penelitian pada tikus laktasi masih terbatas diteliti oleh peneliti-peneliti
sebelumnya.
Salah satu tanda adanya pemenuhan asupan air susu yang baik pada bayi
dapat dilihat dari hasil pemantauan berat badan yang semakin meningkat setiap
bulannya sesuai dengan meningkatnya usia bayi (Ghasemi et al. 2014). Mahmood
et al. (2012) mengasumsikan bahwa anak yang memiliki pertumbuhan cepat dapat
disebabkan konsumsi ASI pada anak tersebut memiliki kuantitas yang lebih banyak
dibandingkan dengan anak yang memiliki pertumbuhan yang lambat. Berdasarkan
pemaparan tersebut, adanya peningkatan produksi air susu pada induk diduga dapat
mempengaruhi peningkatan pertumbuhan pada anaknya. Salah satu variabel
pertumbuhan pada anak yang dapat dianalisis dalam penelitian ini adalah berat
badan. Kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 7.
27

Ekstrak etanol biji adas

Kandungan senyawa kimia


• Kandungan fitokimia kualitatif (saponin,
tanin, alkaloid, flavonoid, terpenoid, fenol)
• Analisis senyawa kimia menggunakan GC-
MS

Intervensi ekstrak biji adas pada tikus laktasi

Gambaran darah induk yang


lebih baik : Perubahan konsentrasi
• Sel darah merah hormon laktogenik :
• Sel darah putih • Penurunan T3 dan T4
• Hemoglobin • Peningkatan prolaktin
• Hematokrit

Peningkatan produksi susu induk tikus

Peningkatan pertumbuhan pada anak tikus

Peningkatan berat badan Peningkatan panjang badan

Keterangan :
= variabel yang dianalisis
= variabel yang tidak dianalisis
= pengaruh yang dianalisis
= pengaruh yang tidak dianalisis

Gambar 7 Kerangka pemikiran penelitian


28

4 METODE

Desain, Waktu, dan Tempat

Penelitian ini adalah eksperimental study dengan desain rancangan acak


lengkap (RAL). Keseluruhan proses penelitian dari mulai ekstraksi sampel sampai
analisis data dilaksanakan pada Bulan Maret sampai Oktober 2019. Kerangka
waktu pada penelitian ini disajikan pada Tabel 4. Proses ekstraksi dan evaporasi
sampel dilakukan di Laboratorium Percobaaan Makanan IPB, Laboratorium Kimia
dan Analisis Makanan IPB, dan Laboratorium pilot plan SEAFAST (Southeast
Asian Food and Agricultural Science and Technology) LPPM IPB. Analisis
kandungan fitokimia ekstrak biji adas secara kualitatif dilakukan di Laboratorium
Kimia dan Analisis Makanan IPB dan Pusat Biofaramaka IPB. Analisis senyawa
kimia dengan menggunakan GC-MS dilakukan di Pusat Bioteknologi Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pemeliharaan hewan dilakukan di Unit
Kandang Hewan Percobaan Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB, Bogor. Analisis
konsentrasi hormon pada serum dan gambaran darah induk tikus dilakukan di
Laboratorium Imunologi dan Labotarorium Patologi Pusat Studi Satwa Primata
LPPM IPB, Bogor.

Tabel 4 Kerangka waktu penelitian


No Waktu Kegiatan
1 Maret - Mei 2019 • Proses pengajuan etik hewan Persiapan
ekstraksi sampel
• Identifikasi tanaman
• Analisis kandungan senyawa fitokimia
• Analisis kandungan dengan GC-MS
2 Juni – September 2019 • Pemberian intervensi pada tikus laktasi
dari hari ke-3 sampai ke-21 laktasi
• Pengukuran produksi susu induk dan
pertumbuhan anak pada hari ke-3 sampai
ke-21 laktasi
• Pengambilan sampel darah pada hari ke-7
dan ke-14 laktasi
• Euthanasia dan pengambilan darah pada
laktasi ke-22
3 Oktober 2019 Analisis data

Bahan dan Alat

Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji adas (Foeniculum
vulgare Mill.) yang didapatkan dari Gunung Putri, Cipanas, Jawa Barat. Proses
pendapatan biji adas dilakukan setelah melakukan diskusi dengan petugas di Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITRO), Bogor. Biji adas yang
diperoleh telah dilakukan identifikasi tanaman di Pusat Konservasi Tumbuhan
Kebun Raya Bogor, Bogor (Lampiran 1). Hewan uji berupa tikus putih Sprague
29

Dawley laktasi yang didapatkan dari hasil perkawinan alamiah antara tikus jantan
dan betina. Tikus diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka, LPPM IPB. Pakan harian
yang diberikan merupakan pakan standar komersial yang diperoleh dari Pusat Studi
Biofarmaka, LPPM IPB.
Bahan untuk proses ekstraksi biji adas terdiri dari etanol 70% dan kertas
saring Whatman No.42. Bahan yang digunakan untuk analisis fitokimia kualitatif
adalah etanol, akuades, serbuk magnesium, HCl pekat, FeCl3 1% (dalam pelarut
air), pereaksi Wagner (KI, iodum, dan akuades), pereaksi Meyer, pereaksi
Dragendorff, Kloroform, dan H2SO4 pekat. Bahan yang diperlukan untuk analisis
senyawa kimia dengan GC-MS yaitu metanol khusus untuk GC-MS. Bahan untuk
analisis konsentrasi prolaktin, T3, dan T4 pada serum adalah kit ELISA
triiodotironin (T3) untuk tikus dari BIOENZY®, kit ELISA tetraiodotironin (T4)
dari BIOENZY®, dan kit ELISA prolaktin untuk tikus dari BT-LABORATORY®.
Bahan yang digunakan selama pemeliharaan dan intervensi hewan coba adalah
pakan standar, akuades, ketamin, dan xylazin. Pakan standar memiliki kompoisi
jagung, bungkil kedelai, tepung daging dan tulang, pecahan gandum, fosfor,
kalsium, minyak nabati, vitamin dan mineral mix, dan antioksidan.
Alat yang digunakan untuk esktraksi sampel dan analisis senyawa fitokimia
adalah blender, ayakan 40 mesh, corong buchner, vacum pump, gelas piala, tabung
reaksi, gelas ukur, gelas kaca ukuran 4 L, erlenmeyer, timbangan analitik, vortex,
pemanas listrik, tip plastik, pipet mikro, pipet tetes, kuvet, vacum evaporator,
lemari pendingin (refrigerator) dengan suhu 2-4 oC, freezer dengan suhu -19 oC,
dan GC-MS. Peralatan yang dibutuhkan selama pemeliharaan pada hewan coba dan
analisis hormon laktogenik pada serum adalah kandang tikus, sekam, botol minum,
timbangan digital, spuit injeksi, sonde, sentrifuse, tabung darah EDTA, hematology
analyzer dan ELISA reader (Benchmark BIO-RAD).

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer. Terdapat 5
(lima) jenis data yang dianalisis yaitu kandungan senyawa kimia pada ekstrak biji
adas, konsentrasi hormon laktogenik, gambaran darah induk tikus laktasi, produksi
air susu induk, dan pertumbuhan anak tikus. Jenis dan cara pengumpulan data
disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Jenis dan cara pengumpulan data


No Variabel Cara pengumpulan data
1. Kandungan senyawa kimia
a. Analisis fitokimia secara kualitaatif Analisis secara kualitatif melalui
(alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, pengamatan terhadap perubahan
fenol, steroid, triterpenoid) warna
b. Analisis komponen senyawa kimia Analisis dengan menggunakan
GC-MS
2. Konsentrasi hormon laktogenik
a. Konsentrasi hormon tiroid pada Analisis dengan menggunakan
serum darah induk tikus (T3 dan kit ELISA triiodotironin (T3) dan
T4) tetraiodotironin (T4) untuk tikus
30

Tabel 5 Jenis dan cara pengumpulan data (lanjutan)


No Variabel Cara pengumpulan data
b. Konsentrasi prolaktin pada serum Analisis dengan menggunakan
darah induk tikus kit ELISA prolaktin untuk tikus

3. Gambaran darah induk tikus (eritrosit, Analisis dengan menggunakan


leukosit, hemoglobin, dan hematokrit) hematology analyzer
4. Produksi air susu induk tikus Pengukuran secara tidak
langsung berdasarkan estimasi
berat badan anak tikus setiap 2
hari sekali dari hari ke-3 sampai
ke-21 laktasi
5. Pertumbuhan anak tikus Pengukuran berat badan anak
tikus setiap 2 hari sekali dari hari
ke-3 sampai ke-21 laktasi

Jumlah dan Cara Penarikan Hewan Coba

Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih laktasi.
Tikus putih laktasi didapatkan dari hasil perkawinan alamiah antara tikus putih
jantan dan betina. Kriteria tikus laktasi yang digunakan adalah: galur Sprague
Dawley, umur 3-4 bulan, berat 150-300 g, sedang dalam masa laktasi, dan sehat
yang ditunjukkan dengan tanda-tanda seperti mata jernih, bulu putih bersih, dan
aktif beraktifitas. Penelitian ini menggunakan 4 (empat) kelompok perlakuan yang
terdiri dari 3 (tiga) taraf perlakuan pemberian ekstrak biji adas dan 1 (satu)
kelompok kontrol normal. Jumlah tikus yang dibutuhkan adalah 24 ekor (6 ekor per
kelompok perlakuan) berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus Federer
(2008). Penentuan jumlah hewan coba berdasarkan rumus Federer (2008) adalah
sebagai berikut:
(n-1) (t-1) ≥ 15
(n-1) (4-1) ≥ 15
n≥6
Keterangan : n = jumlah tikus di setiap kelompok
t = jumlah kelompok

Rancangan Percobaan

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak


lengkap (RAL) dengan faktor pemberian dosis ekstrak etanol biji adas yang
bertingkat. Unit percobaan pada penelitian ini adalah tikus laktasi galur Sprague
Dawley. Tikus laktasi dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok perlakuan,
yaitu 3 (tiga) kelompok perlakuan ekstrak biji adas dan 1 (satu) kelompok kontrol
normal. Persamaan matematis dari rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Yij = µ + αi + εij
31

Keterangan:
Yij = Hasil pengamatan efek ekstrak etanol biji adas ke-i pada ulangan ke-j
µ = Nilai rata-rata pengamatan
αi = Pengaruh proporsi ektrak etanol biji adas pada taraf ke- i
εij = Kesalahan penelitian karena pengaruh ekstrak etanol biji adas pada taraf ke-
i pada ulangan ke-j

Tahapan Penelitian

Penelitian eksperimen ini terdiri dari 3 (tiga) tahap penelitian. Tahap pertama
adalah pembuatan ekstrak sampel. Tahap kedua adalah analisis kandungan
fitokimia meliputi analisis kandungan fitokimia secara kualitatif dan analisis
senyawa kimia menggunakan GC-MS. Selanjutnya, tahap ketiga adalah pengujian
efek esktrak etanol biji adas pada tikus laktasi.

Tahap 1 : Pembuatan Ekstrak Sampel


Biji adas yang telah dikumpulkan kemudian dibersihkan dan dihaluskan
dengan menggunakan blender. Penghalusan dilakukan sampai biji berubah menjadi
serbuk. Selanjutnya, hasil serbuk kemudian diayak dengan menggunakan ayakan
40 Mesh (Sadeghpour et al. 2015). Ekstraksi sampel dilakukan dengan cara
maserasi menggunakan pelarut etanol 70%. Pelarut etanol dipilih berdasarkan studi
sebelumnya yang menunjukkan bahwa efek esktrak etanol biji adas dapat secara
signifikan meningkatkan hormon prolaktin pada tikus (Sadeghpour et al. 2015).
Hasil penelitian Mansouri et al (2015) juga menunjukkan bahwa pada pemberian
ekstrak etanol biji adas dapat secara signifikan menigkatkan sel darah merah pada
tikus.
Proses maserasi yang dilakukan mengacu pada metode Sadeghpour et al.
(2015). Serbuk biji adas (300 g) dicampurkan etanol 70% (3000 ml) dengan
perbandingan 1:10 (b/v). Proses maserasi dilakukan selama 1x24 jam dengan proses
pengadukan sesekali. Setelah itu, ekstrak kemudian disaring dengan menggunakan
kertas saring Whatman nomor 42. Maserasi dilakukan kembali secara berulang (re-
maserasi). Total proses re-maserasi adalah sebanyak 4 kali. Filtrat dari hasil
penyaringan kemudian dievaporasi dengan menggunakan vacum-evaporator pada
suhu 40 oC sampai terbentuk ekstrak. Hasil ekstrak kemudian disimpan pada suhu
2-8 oC untuk analisis selanjutnya. Adanya kemugnkinan residu etanol pada ekstrak
etanol biji adas kemudian dianalisis dengan menggunakan GC-MS. Hasilnya
menunjukkan bahwa residu etanol tidak terdeteksi dengan pembacaan
menggunakan GC-MS.

Tahap 2 : Analisis Kandungan pada Ekstrak Biji Adas


a. Analisis kandungan fitokimia secara kualitatif
Kandungan fitokimia yang dianalisis pada penelitian ini adalah kadungan
alkaloid, flavonoid, saponin, fenol, steroid, tanin, dan terpenoid. Analisis fitokimia
secara kualitatif diacu dari Usman et al. (2009), Vinod et al. (2010), Abodunrin et
al. (2015), Bargah (2015), dan Pooja dan Vidyasagar (2016). Analisis dilakukan
sebanyak 3 (tiga) kali ulangan.
32

Uji alkaloid. Kandungan alkaloid dianalisis menggunakan pereaksi Wagner,


Meyer, dan Dragendorff. Sebanyak 500 mg ekstrak ditambahkan 5 m HCl 10%
(dalam pelarut air). Larutan kemudian dipanaskan pada suhu 40 oC sampai 50 oC
selama 15 menit. Campuran disaring ketika masih panas, dan kemudian didiamkan
sampai dingin. Sebanyak 1 ml filtrat diambil ke tabung reaksi dan ditambahkan
dengan beberapa tetes reagen Wagner, Meyer, dan Dragendorff. Kandungan
alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan cokelat kemerahan oleh pereaksi
Wagner, endapan putih tulang (creamy) oleh pereaksi Meyer, dan endapatan oranye
atau merah-oranye oleh pereaksi Dragendorff (Abodunrin et al. 2015).
Uji flavonoid. Keberadaan kandungan flavonoid dianalisis dengan
menggunakan sodium hydorxide test. Sebanyak 100 mg ekstrak ditambahkan 4 ml
aquades dan kemudian disaring. Sebanyak 2 ml dari filtrat diambil dan ditambahkan
2 ml NaOH 10%. Larutan akan menunjukkan warna kuning. Selanjutnya
ditambahkan beberapa tetes (5 tetes) HCl. Terjadinya perubahan warna dari kuning
menjadi perlahan pudar dan tidak berwarna menunjukkan adanya flavonoid (Usman
et al. 2009).
Uji saponin. Kandungan saponin di dalam ekstrak biji adas dianalisis
berdasarkan frothing test. Sebanyak 500 mg ekstrak ditambahkan 10 ml air destilasi.
Campuran dikocok dengan kuat selama 10 detik, kemudian didiamkan selama 10
menit. Adanya saponin ditunjukan dengan terbentuknya buih atau busa yang stabil
setinggi minimal 2 cm yang bertahan sampai 10 menit (Vinod et al. 2010).
Uji tanin. Keberadaan kandungan tanin dianalisis dengan menggunakan
ferric chloride test. Sebanyak 500 mg ekstrak ditambahkan 10 ml aquades,
kemudian disaring. Sebanyak 2 ml dari filtrat diambil, kemudian ditambahkan
beberapa tetes FeCl3 1% (b/v). Terbentuknya endapan biru tua atau hitam kehijauan
menunjukkan adanya tannin (Usman et al. 2009).
Uji fenol. Keberadaan kandungan fenol dianalisis dengan menggunakan
ferric chloride test. Sebanyak 500 mg ekstrak ditambahkan dengan 5 mL aquades.
Campuran ditambahkan dengan beberapa tetes FeCl3 5% (b/v). Terbentuknya
warna hijau tua atau kehitaman menandakan adanya fenol (Bargah 2015).
Uji triterpenoid dan steroid. Keberadaan kandungan triterpenoid dan
steroid dianalisis dengan menggunakan uji Salkowaski and Liebermann-Burchard.
Uji Salkowaski dilakukan dengan sebanyak 500 mg ekstrak dilarutkan dalam 2 ml
kloroform. Kemudian kedalam campuran larutan ditambahkan 2-3 ml asam sulfat
pekat secara perlahan melalui dinding tabung. Adanya perubahan warna menjadi
kuning pada lapisan bawah menunjukkan keberadaan triterpendoid. Terbentuknya
warna merah kecokelatan menunjukkan adanya kandungan steroid. Uji
Liebermann-Burchard dilakukan dengan sebanyak 50 mg ekstrak ditambah asam
asetat anhidrida sampai terendam dalam tabung reaksi dan dipanaskan selama 5
menit. Campuran ekstrak didinginkan dan kemudian ditambahkan 1 tetes H2SO4
pekat secara perlahan melalui dinding tabung. Terbentuknya warna merah ungu
pada lapisan bawah menunjukkan adanya triterpenoid, sedangkan terbentuknya
warna hijau atau biru pada lapisan atas menunjukkan adanya steroid (Pooja dan
Vidyasagar 2016).

b. Analisis kandungan senyawa kimia dengan GC-MS


Kandungan senyawa kimia pada ekstrak biji adas dianalisis dengan
menggunakan GC-MS. Hal ini dilakukan dengan tujuan utama untuk
33

mengidentifikasi senyawa anetol pada ekstrak biji adas. Senyawa anetol diketahui
termasuk ke dalam golongan senyawa volatil. Oleh karena itu, analisis dengan
menggunakan gas kromatografi dapat dilakukan (Alam et al. 2019).
Alat yang digunakan adalah GC-MS merk Shimadzu GC-2010 Plus Series.
Fase gerak yang digunakan adalah helium dengan tekanan 9.2 psi, laju total 54.0
ml/menit, dan split rasio 46.4. Fase diam atau kolom adalah TRX-5-MS dengan
dimensi 30 m x 0.15 mm x 0,25 µm. Suhu oven diprogram antara 60 oC sampai 280
o
C dengan laju 10 oC/menit. Suhu oven kolom adalah 60 oC, suhu injektor 200oC,
suhu sumber ion 250 oC, dan suhu interface 250 oC. Sebanyak 10 mg ekstrak etanol
biji adas dilarutkan dalam 5 ml metanol. Kemudian 6 µL dari campuran larutan
diinjeksikan pada sample injection port GC-MS. Analisis identifikasi senyawa
dilakukan dengan membandingkan spektrum senyawa dan waktu retensi pada data
bank National Institute of Standard and Technology (NIST) GCMS Merck
Shimadzu QP2010.

Tahap 3 : Pengujian Ekstrak Etanol Biji Adas pada Tikus Laktasi


a. Perhitungan jumlah dosis
Pemberian ekstrak etanol biji adas pada penelitian ini didasarkan pada rumus
hasil konversi dosis manusia ke hewan coba yang ditentukan berdasarkan faktor
koreksi (Km). Nair dan Jacob (2016) menjelaskan bahwa penentuan konversi dosis
manusia ke hewan coba dihitung berdasarkan pada faktor koreksi yang dimiliki
antara hewan dan manusia. Faktor koreksi tersebut didapatkan dari hasil pembagian
antara acuan berat badan dan luas area tubuh. Faktor koreksi manusia dengan acuan
berat badan 60 kg dan luar area tubuh 1.62 m2 adalah 37, sedangkan acuan berat
badan tikus 0.15 kg dengan luas tubuh 0.025 m2 adalah 6 (Nair dan Jacob 2016).
Dosis pada manusia yang digunakan dalam penelitian ini adalah dosis dari
hasil penelitian Ghasemi et al. (2013). Ghasemi et al. (2013) dalam hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa pemberian teh yang mengandung serbuk biji
adas sebanyak 22.5 g/hari dapat secara signifikan meningkatkan tanda-tanda
kecukupan ASI pada bayi. Berdasarkan hasil perhitungan konversi dosis manusia
ke dosis tikus dengan memperhitungkan persen rendemen ekstrak etanol biji adas
sebesar 15.33%, maka dosis tersebut setara dengan 355 mg/kg BB (berat badan).
Pemberian ekstrak etanol biji adas pada penelitian ini diberikan sebanyak ¼,
½ dan 1 kali dari dosis hasil konversi yang telah didapatkan, sehingga ketiga taraf
jumlah dosis yang didapatkan adalah 88.75 mg/kg BB (EA1), 177.50 mg/kg BB
(EA2), dan 355.00 mg/kg BB (EA3). Hal tersebut didasarkan dengan
mempertimbangkan kondisi bahan intervensi yang diberikan pada tikus laktasi
yakni dalam bentuk ekstrak. Kandungan senyawa yang terekstrak di dalam ekstrak
etanol biji adas diduga akan lebih tinggi dibandingkan dalam bentuk serbuknya.
Oleh karena itu, pemberian dengan dosis yang lebih kecil dapat menghindari
kemungkinan terjadinya kondisi toksisitas. Hal tersebut juga didukung oleh hasil
penelitian Firdaus et al. (2016) yang memberikan ekstrak nutrasetikal galohgor
dengan jumlah dosis yang kecil yaitu 37 mg/kg BB. Rifqiyati et al. (2016) juga
menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol daun adas dengan dosis lebih kecil
menunjukkan penambahan berat badan anak yang lebih tinggi dibandingkan pada
pemberian dosis yang lebih tinggi (Rifqiyanti 2019).
Pemberian dosis ekstrak etanol biji adas telah mempertimbangkan dosis
maksimal yang dapat berakibat toksik. Hasil penelitian Tambunan (2016)
34

menunjukkan bahwa sampai pada pemberian ekstrak etanol biji adas dosis 8000
mg/kg BB tidak menyebabkan kematian pada mencit. Sehingga ekstrak ini dapat
diklasifikan dalam kriteria “praktis tidak bersifat toksik”. Shah et al. (1991)
melakukan penelitian mengenai dosis akut dan kronik pada pemberian ekstrak
etanol 95% dari biji adas pada mencit. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa pada pemberian ekstrak etanol biji adas yang diamati selama 24 jam pada
dosis 500, 1000, dan 3000 mg/kg BB tidak menimbulkan gejala toksisitas akut.
Pemberian ekstrak etanol biji adas pada dosis 100 mg/kg BB selama 90 hari juga
tidak menimbulkan gejala toksisitas kronik.

b. Prosedur pada hewan coba


Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih galur
Sprague Dawley laktasi yang didapatkan dari hasil perkawinan alamiah tikus jantan
dan tikus betina. Tikus dipelihara di dalam kondisi ruangan yang disesuaikan 14
jam gelap dan 10 jam terang (Suprayogi et al. 2015). Induk tikus dan anak tikus
ditempatkan di dalam kandang dengan ukuran 37.5 x 32.5x 18 cm yang dilapisi
sekam kayu dan dilengkapi dengan tempat pakan dan botol minum.
Adaptasi pada tikus dilakukan selama 10 hari untuk penyesuaian terhadap
kondisi kandang dan pakan barunya (Suprayogi et al. 2015). Setelah masa adaptasi
selesai dilakukan proses pengawinan pada tikus (mating). Proses pengawinan
dilakukan dengan menempatkan tikus betina dan tikus jantan dengan proporsi 2:1
(tikus betina:tikus jantan) di dalam satu kandang. Tikus diamati untuk mengetahui
kondisi kehamilan pada tikus. Kondisi kehamilan pada tikus diamati melalui
pengamatan kondisi bagian perut tikus yang mulai membesar. Tingkat keberhasilan
proses perkawinan ini sangat mempengaruhi ketersediaan sampel tikus laktasi yang
akan digunakan. Proses pengawinan pada tikus laktasi dalam penelitian ini
dilakukan sebanyak 2 kali proses pengawinan. Hal tersebut dilakukan karena pada
proses pertama masih belum didapatkan tikus laktasi sejumlah sampel yang
dibutuhkan. Proses pertama menghasilkan 14 tikus laktasi dan proses kedua
menghasilkan 10 tikus laktasi.
Tikus betina yang sudah hamil ditempatkan ke dalam setiap kandang dengan
jumlah 1 ekor setiap kandangnya untuk selanjutnya dibiarkan sampai terjadinya
partum (kelahiran). Setelah partum, setiap induk tikus dikelompokkan dan
diberikan intervensi yang dimulai pada hari ke-3 laktasi. Induk dibiarkan untuk
menyusui anaknya dengan jumlah anak tikus disesuaikan sebanyak 6 anak setiap
kandang. Tikus dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kelompok untuk menerima
perlakuan intervensi, yaitu 3 (tiga) kelompok perlakuan diberikan ekstrak biji adas
(EA1, EA2, dan EA3) dan 1 (satu) kelompok kontrol normal.
Pemberian intervensi pada induk tikus dilakukan selama masa laktasi dari hari
ke-3 laktasi sampai hari ke-21 laktasi (Hosseinzadeh et al. 2013a). Berat badan anak
tikus ditimbang setiap dua hari sekali selama masa intervensi berlangsung. Pada
hari ke-7 (minggu ke-1) dan ke-14 (minggu ke-2), induk tikus diambil darahnya
melalui ekor untuk analisis hormon serum. Selama masa adaptasi sampai masa
intervensi selesai, tikus diberikan akses terhadap air dan makanan (pakan standar)
secara ad libitum. Sisa pakan standar yang dikonsumsi oleh induk tikus selama
masa intervensi ditimbang setiap harinya. Setelah akhir intervensi, hari ke-22
laktasi (minggu ke-3), induk tikus di-euthanasia untuk pengambilan darah dari
jantung sebanyak 5 ml untuk analisis hormon laktogenik (prolaktin, T3, dan T4)
35

dan gambaran darah induk (jumlah sel darah merah, jumlah sel darah putih,
hematokrit, dan hemoglobin). Prosedur percobaan pada tikus laktasi secara lebih
jelas disajikan pada Gambar 8.

Tikus betina Sprague Dawley


Adaptasi 10 hari

Pengawinan dengan tikus jantan sampai


bunting

Tikus bunting sampai melahirkan (partum)

Hari ke-3 laktasi

Penimbangan induk dan anak (n=6)

Induk tikus laktasi diberikan bahan intervensi setiap hari

KL : EA1 : EA2 : EA3 :


akuades Ekstrak Ekstrak Ekstrak
88.75 mg/kg 177.50 mg/kg 355.00 mg/kg

• Dilakukan penimbangan produksi susu dan pertumbuhan anak


pada hari ke-3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, 17, 19, dan 21 laktasi.
• Dilakukan pengambilan darah pada induk laktasi dari ekor
untuk analisis hormon pada hari ke-7 dan 14 laktasi
Hari ke-21 laktasi

Induk tikus laktasi di-euthanasia dan


diambil darahnya untuk analisis gambaran
darah dan hormon laktogenik serum pada
hari ke-22 laktasi

Gambar 8 Tahapan pengujian efek ekstrak etanol biji adas pada tikus laktasi

c. Pemberian bahan intervensi


Bahan intervensi diberikan setiap hari kepada induk tikus dengan cara
pencekokan. Pemberian dilakukan pada hari laktasi ke-3 sampai hari laktasi ke-21
laktasi. Pencekokan dilakukan setiap hari pada pagi hari dengan menggunakan
sonde (Hosseinzadeh et al. 2013a). Terdapat 3 (tiga) kelompok perlakuan dengan
masing-masing kelompok diberikan ekstrak biji adas dengan dosis 88.75 mg/kg
BB (EA1), 177.50 mg/kg BB (EA2), dan 355.00 mg/kg BB (EA3). Sementara itu,
kelompok kontrol normal diberikan akuades.
36

Bahan intervensi dilarutkan dalam akuades untuk memudahkan proses


pencekokan. Penambahan akuades ini didasarkan pada penelitian sebelumnya yang
juga menggunakan akuades sebagai kontrol normal dan cairan pembawa ekstrak
(Roosita 2003; Hosseinzadeh et al. 2013a, Hosseinzadeh et al 2013b; Iwansyah et
al. 2017). Ekstrak etanol biji adas dilarutkan dengan akuades sampai mencapai
konsentrsi sebesar 50 ppm untuk mempermudah proses intervensi. Selanjutnya,
pemberian bahan intervensi disesuaikan dengan dosis dan berat badan induk tikus.
Jumlah volume ekstrak yang diberikan pada induk tikus pada penelitian ini berkisar
antara 0.3 ml sampai 1.5 ml. Pemberian jumlah intervensi juga dilakukan dengan
mempertimbangkan kapasitas maksimal volume lambung tikus dalam menampung
cairan. Sengupta (2013) menunjukkan bahwa kapasitas lambung tikus putih
percobaan (Rattus novergicus) mampu menampung cairan dengan volume
sebanyak 10 ml sampai 12 ml/100 g berat badan atau sekitar 20 ml sampai 240 ml
pada tikus dengan berat 200 g.

d. Pengambilan darah
Pengambilan sampel darah dilakukan melalui bagian ekor tikus pada minggu
ke 1 laktasi (hari ke-7) dan minggu ke-2 laktasi (hari ke-14 laktasi) untuk analisis
hormon pada serum darah induk tikus laktasi (T3, T4, dan prolaktin). Jumlah darah
yang diambil yaitu sebanyak 1 ml. Sebanyak 1 ml dari sampel darah disentrifuse
dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit untuk mendapatkan serum.
Pengambilan sampel darah dilakukan kembali pada minggu ke-3 (setelah hari
ke-21 laktasi) dengan sebelumnya tikus dieuthanasia menggunakan ketamin (75-
100 mg/kg BB) dan xylazin (5-10 mg/kg BB). Sebanyak 5 ml darah diambil melalui
jantung untuk analisis hormon dan gambaran darah. Sebanyak ± 2 ml darah
disentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit untuk analisis hormon
serum. Selanjutnya, sebanyak ± 3 ml darah dimasukkan ke dalam tabung EDTA
untuk analisis gambaran darah induk tikus laktasi.

e. Analisis hormon laktogenik pada serum


Hormon laktogenik yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi konsentrasi
triiodotironin (T3), tetraiodotironin (T4) dan prolaktin. Konsentrasi prolaktin dan
tiroid (T3 dan T4) dianalisis pada minggu ke-1 (hari ke-7 laktasi), minggu ke-2 (hari
ke-14 laktasi), dan minggu ke-3 (hari ke-22 laktasi). Konsentrasi hormon pada
serum dianalisis dengan menggunakan enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA) reader (BIORAD I-MARK). Konsentrasi hormon T3 dan T4 dianalisis
dengan menggunakan kit ELISA triiodotironin (T3) dan tetraiodotironin (T4) untuk
tikus sesuai protokol dari BIOENZY pada panjang gelombang 450 nm. Konsentrasi
hormon prolaktin serum dianalisis dengan kit ELISA prolaktin untuk tikus sesuai
protokol dari BT-LABORATORY pada panjang gelombang 450 nm. Prosedur
analisis disajikan pada Lampiran 2, Lampiran 3, dan Lampiran 4.

f. Analisis gambaran darah


Gambaran darah yang dianalisis meliputi jumlah eritrosit (sel darah merah),
leukosit (sel darah putih), kadar hemoglobin, dan kadar hematokrit setelah proses
intervensi selesai (hari laktasi ke-22). Parameter tersebut diukur dengan
menggunakan hematology analyzer (Nihon Kohden, Hematology MEK-6450K).
37

g. Produksi susu induk


Produksi susu induk tikus dianalisis dengan metode tidak langsung
berdasarkan estimasi kenaikan berat badan anak tikus setelah menyusu pada
induknya dengan anak tikus dipisahkan terlebih dahulu dari induk tikus.
Perhitungan produksi air susu dilakukan setiap 2 (dua) hari sekali pada hari ke-3
laktasi sampai hari ke-21 laktasi untuk memperkecil adanya tingkat stres pada tikus.
Produksi air susu setelah intervensi didapatkan berdasarkan hasil selisih dari berat
anak tikus setelah menyusu dan sebelum menyusu, dengan anak tikus dipisahkan
terlebih dahulu dari induk tikus selama 4 jam (Roosita 2003; Hosseinzadeh et al.
2013a; Hosseinzadeh et al. 2013b; Lin et al. 2017).
Anak tikus terlebih dahulu ditimbang pada pagi hari (B1), kemudian
dipisahkan selama 4 jam dari induk tikus (Roosita 2003; Lin et al. 2017). Setelah 4
jam, anak tikus ditimbang kembali (B2) dan kemudian dibiarkan untuk menyusu
kepada induk tikus selama 1 jam. Anak tikus ditimbang kembali setelah menyusu
pada induk tikus (B3). Produksi air susu dari induk tikus dihitung berdasarkan
rumus sebagai berikut : (B3 – B2) ditambah kehilangan berat badan anak tikus
karena proses metabolik. Kehilangan berat badan anak tikus karena proses
metabolik selama 1 jam menyusui dihitung berdasarkan rumus yaitu (B1 – B2)/4
(Lin et al. 2017). Proses penimbangan berat anak tikus dijelaskan pada Gambar 9.

Anak tikus ditimbang (B1), kemudian dipisahkan dari


induknya pada pkl 08.30 selama 4 jam

Pada pkl. 12.30, anak tikus ditimbang (B2), dan


dikembalikan kepada induknya untuk disusui selama 1 jam

Anak tikus ditimbang kembali (B3) pada jam 13.30

Gambar 9 Proses penimbangan berat badan anak tikus

h. Pemantauan pertumbuhan anak tikus


Pertumbuhan anak tikus dianalisis berdasarkan hasil penimbangan berat
badan pada pagi hari sebelum anak tikus dipisahkan dari induk untuk perhitungan
produksi air susu. Penimbangan dilakukan setiap 2 hari sekali. Pengukuran berat
badan anak tikus dilakukan pada hari ke-3, 5, 7, 9. 11, 13, 15, 17, 19, dan 21 laktasi.

Pengolahan dan Analisis Data

Hasil analisis kandungan fitokimia kualitatif ditampilkan secara deskriptif.


Data kandungan komponen senyawa kimia menggunakan GC-MS ditampilkan
sebagai nilai persen (%) area dari setiap kurva kandungan senyawa. Data
konsentrasi hormon laktogenik, gambaran darah induk tikus, produksi susu, dan
pertumbuhan anak tikus ditampilkan dalam nilai rata-rata dan standar deviasi.
Seluruh data kuantitatif diolah dengan menggunakan Microsoft Exel dan SPSS for
windows versi 16. Perbedaan yang signifikan setiap variabel antar kelompok
38

perlakuan dianalisis dengan menggunakan ANOVA. Jika terdapat perbedaan yang


signifiakn (p<0.05) maka dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT).

Pertimbangan Etik

Penelitian ini telah mendapat persetujuan etik dengan nomor etik 149-2019 IPB
dari Komisi Etik Hewan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Institut Pertanian Bogor (KEH LPPM IPB). Attending veteriner dalam penelitian ini
adalah drh Innes Maulidya dari Pusat Studi Biofarmaka, LPPM, IPB. Persetujuan etik
ditampilkan pada Lampiran 5.

Definisi Operasional

Berat badan anak adalah berat badan anak tikus yang merupakan hasil dari
penimbangan dengan timbangan digital. Data berat badan anak meliputi data
berat badan anak yang ditimbang sebelum menyusu, berat badan setelah
dipisahkan dari induk tikus selama 4 jam, dan berat setelah menyusu pada
induk tikus selama 1 jam.
Ekstrak etanol biji adas adalah biji adas yang diekstrak dengan pelarut etanol 70%
menggunakan metode maserasi berulang.
Fitokimia kualitatif adalah kandungan fitokimia yang dianalisis secara kualitatif
berdasarkan pengamatan perubahan warna pada reaksi kimia yang dilakukan.
Kandungan fitokimia kualitatif dalam yang dianalisis dalam penelitian ini
meliputi kandungan alkaloid, flavonoid, fenol, saponin, tanin, steroid, dan
terpenoid.
Gambaran darah adalah analisis gambaran darah induk yang meliputi jumlah sel
darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), hemoglobin, dan hematokrit.
Hormon laktogenik adalah hormon-hormon yang terlibat dalam produksi air susu
di kelenjar mammae. Hormon laktogenik dalam penelitian ini adalah
konsentrasi T3, T4, dan prolaktin pada serum darah induk tikus laktasi yang
dianalisis dengan menggunakan kit ELISA.
Pertumbuhan anak adalah perubahan berat badan anak tikus yang dianalisis setiap
dua hari sekali dari hari ke-3 laktasi sampai hari ke-21 laktasi yang ditimbang
pada pagi hari sebelum dipisahkan dengan induk tikus untuk perhitungan
produksi susu.
Produksi susu induk adalah volume air susu induk tikus pada masa laktasi yang
diestimasi berdasarkan selisih berat badan anak tikus sebelum menyusui dan
setelah menyusui pada induk, dengan anak tikus dipisahkan terlebih dahulu
dari induk tikus selama 4 jam. Produksi susu induk dalam penelitian ini
diukur setiap dua hari sekali dari hari ke-3 sampai ke-21 laktasi
Sumber laktagogoum alami adalah berbagai jenis tanaman atau produk yang
terbuat dari bahan dasar alami yang berdasarkan penelitian dapat
meningkatkan produksi air susu.
39

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Fitokimia pada Ektrak Etanol Biji Adas

Fitokimia merupakan jenis metabolit sekunder tanaman yang diketahui


memiliki manfaat bagi kesehatan manusia. Golongan senyawa fitokimia yang
terdapat dalam ekstrak etanol biji adas dianalisis secara kualitatif dengan
menggunakan uji warna. Kandungan fitokimia yang dianalisis meliputi alkaloid,
flavonoid, saponin, tanin, fenol, terpenoid, dan steroid. Hasil analisis kandungan
fitokimia ekstrak etanol biji adas ditampilkan pada Tabel 6. Hasil analisis
menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji adas mengandung senyawa golongan
flavonoid, saponin, tanin, fenol, dan steroid.

Tabel 6 Kandungan fitokimia secara kualitatif


Komponen Hasil analisis
Alkaloid
Uji reagen Wagner -
Uji reagen Meyer -
Uji reagen Dragendorff -
Flavonoid +
Saponin +
Tanin +
Fenol +
Triterpenoid
Uji Salkowaski -
Uji Liebermann-Burchard -
Steroid
Uji Salkowaski +
Uji Liebermann-Burchard +
Keterangan : (+) = keberadaan, (-) = ketidakberadaan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji adas tidak mengandung
senyawa alkaloid (Tabel 6). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Bhaisare et al. (2014) yang menujukkan bahwa dalam ekstrak hidroalkohol
biji adas tidak terdeteksi kandungan alkaloid. Namun, hasil penelitian Beyazen et
al. (2017) menunjukkan bahwa pada ekstrak metanol dan ekstrak air biji adas
terdapat kandungan senyawa alkaloid. Perbedaan hasil ini dapat disebabkan oleh
penggunaan jenis pelarut yang berbeda dalam pembuatan ekstrak. Kandungan
alkaloid akan lebih terekstrak secara maksimal pada pelarut metanol dan air
dibandingkan dengan etanol.
Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa di dalam ekstrak etanol biji adas
terdapat kandungan senyawa flavonoid (Tabel 6). Badgujar et al. (2014) dan
Bhaisare et al. (2014) juga menunjukkan bahwa pada ekstrak hidroalkohol biji adas
mengandung senyawa golongan falvonoid. Rifqiyani dan Wahyuni (2019)
menyatakan bahwa flavonoid merupakan salah satu jenis senyawa yang diduga
dapat meningkatkan produksi air susu pada tanaman adas. Mohanty et al. (2014)
juga menyatakan bahwa senyawa golongan flavonoid merupakan salah satu
senyawa pada biji adas yang diduga dapat meningkatkan produksi susu. Badgujar
40

et al (2014) melaporkan bahwa kandungan flavonoid pada ekstrak hidroalkohol biji


adas mencapai 12.3 ± 0.18 mg/g. Dua et al (2013) dalam hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa senyawa flavonoid terbesar pada ekstrak metanol biji adas
adalah kuersetin, yaitu sebesar 781.986 µg/g berat kering. Hasil penelitian Lin et al.
(2017) menunjukkan bahwa kuersertin terbukti dapat meningkatkan produksi air
susu pada tikus hipogalaktia.
Kandungan senyawa lain yang tedapat di dalam ekstrak etanol biji adas adalag
saponin, tanin, dan fenol (Tabel 6). Hasil ini juga sejalan dengan hasil penelitian
Bhaisare et al. (2014) yang menunjukkan bahwa pada ekstrak hidroalkohol biji adas
mengandung senyawa saponin, tanin, dan fenol. Mohanty et al. (2014) dalam hasil
penelitiannya menjelaskan bahwa beberapa golongan fitokimia seperti polifenol,
saponin, dan tanin diduga memiliki efek yang positif dalam membantu
meningkatkan produksi air susu. Senyawa golongan polifenol diduga dapat
membantu meningkatkan jumlah produksi air susu dan persentase lemak, protein,
dan laktosa air susu. Senyawa golongan saponin diduga dapat membantu
meningkatkan status kesehatan dan produktifitas. Senyawa golongan tanin diduga
membantu memperbaiki pencernaan protein dan status kesehatan.
Analisis terhadap ekstrak etanol biji adas menunjukkan hasil yang negatif
untuk keberadaan senyawa triterpenoid, namun menunjukkan hasil yang positif
untuk senyawa steroid (Tabel 6). Hal ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian
Bhaisare et al. (2014) yang menunjukkan bahwa pada ekstrak hidroalkohol biji adas
menunjukkan hasil yang positif untuk keberadaan senyawa terpenoid dan steroid.
Terdapat faktor yang dapat mempengaruhi kandungan senyawa aktif pada biji adas
yang dianalisis. Collegate dan Molyneux (2008) menyatakan bahwa faktor-faktor
tersebut meliputi iklim, geografis, proses pengumpulan, proses penyimpanan, dan
persiapan tanaman segar.

Komponen Senyawa Kimia pada Ekstrak Etanol Biji Adas

Analisis keberadaan senyawa kimia pada ekstrak biji adas dilakukan dengan
menggunakan GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectrometer). Penggunaan
GC-MS juga telah dilakukan pada penelitian sebelumnya untuk menganalisis
kandungan komponen senyawa kimia pada ekstrak dan minyak biji adas (Renjie et
al. 2010; Alam et al. 2019). Identifikasi komponen senyawa kimia dalam penelitian
ini ditampilkan berdasarkan tingkat kesamaan pada daftar senyawa di library NIST.
Jumlah senyawa yang teridentifikasi ditampilkan dalam bentuk persen area (%
area). Hasil analisis komponen senyawa kimia pada ekstrak etanol biji adas
ditampilkan pada Tabel 7. Hasil kromatogram secara lebih lengkap disajikan pada
Lampiran 6.

Tabel 7 Komponen senyawa kimia pada ektrak etanol biji adas


Nama SI RT (menit) % Area
Gliserin 96 6.51 5.15
Sikloheksanamin 80 8.57 2.81
4H-Piran-4-on 93 9.85 1.12
1-Deoksi-d-arabitol 82 10.72 2.70
41

Tabel 7 Komponen senyawa kimia pada ektrak etanol biji adas (lanjutan)
Nama SI RT (menit) % Area
Benzofuran 90 11.05 0.81
2-Metoksi-4-vinilfenol 87 12.64 0.22
Dietil ftalat 88 16.48 1.00
Asam miristat 92 18.28 0.37
Kafein 91 19.59 0.65
9-Tetradekanal 84 20.30 0.49
Asam palmitoleat 93 20.39 0.59
Asam palmitat 94 20.48 16.59
Metil 9-cis,11-trans-oktadekadienoat 90 21.89 0.55
Asam 9-Oktadekenoat, metil ester 90 21.94 1.23
Asam linoleat 92 22.26 10.41
Asam oleat 92 22.32 53.04
Asam stearat 89 22.48 1.03
Bis(2-etilheksil) ftalat 88 26.06 0.34
E,E,Z-1,3,12-Nonadekatrien-5,14-diol 82 27.50 0.88
Keterangan : SI = similarity index,, RT : retention time.

Hasil analisis menunjukkan bahwa senyawa yang terdeteksi dengan persen


luas area tertinggi pada ekstrak etanol biji adas adalah asam oleat (53.04%), asam
linoleat (10.41%), dan asam palmitat (16.59%). Sementara itu, gliserin,
sikloheksanamin, 4H-Piran-4-on, 1-deoksi-arabitol, asam 9-oktadekenoat, dan
asam stearat terdeteksi dengan persentase yang sedang (1 – 5 %). Struktur senyawa
lainnya seperti benzofuran, 2-metoksi-4-vinilfenol, asam miristat, kafein, 9-
tetradekenal, asam palmitoleat, metil 9-cis 11-trans-oktadekadienoat, Bis(2-
etilheksil) ftalat, dan E,E,Z-1,3,12-Nonadekatrien-5,14-diol terdeteksi dengan
persentase yang rendah (< 1 %).
Hasil ini berbeda dengan penelitian Alam et al. (2019) yang menunjukkan
bahwa kandungan senyawa terbesar pada ekstrak metanol biji adas adalah trans-
anetol (31.49%), 2-pentanon (25.01%), fenkon (11.68%) and benzaldehid-4-
metoksi (8.01%). Leal et al. (2011) juga menunjukkan bahwa kandungan anetol
secara kuantitatif pada ekstrak etanol biji adas berkisar antara 1.1 mg/g sampai 6.8
mg/g ekstrak. Senyawa-senyawa tersebut diketahui tidak terdeteksi pada ekstrak
etanol biji adas pada penelitian ini. Hal tersebut diduga disebabkan adanya
perbedaan kualitas biji adas yang digunakan sehingga dapat mempengaruhi
kandungan senyawa yang dikandungnya. Faktor seperti suhu lingkungan,
kelembaban, kondisi iklim, dan waktu pemanenan diduga dapat mempengaruhi
kualitas tanaman yang selanjutnya dapat mempengaruhi kandungan senyawa (Alam
et al. 2019).
Adanya perbedaan pelarut ekstraksi yang digunakan juga diduga dapat
mempengaruhi perbedaan kandungan senyawa yang dapat terdeteksi. Berdasarkan
hasil penelitian Alam et al. (2019), penggunaan pelarut metanol dalam metode
ekstraksi dapat mendeteksi komponen senyawa yang masih belum terekstrak dalam
penelitian ini, khususnya senyawa trans-anetol. Senyawa trans-anetol merupakan
senyawa yang diduga dapat meningkatkan produksi air susu pada biji adas. Oleh
42

karena itu, penggunaan pelarut metanol perlu dipertimbangkan untuk penelitian


selanjutnya yang bertujuan untuk mengekstrak senyawa anetol.
Kuantitas senyawa trans-anetol juga dapat dimaksimalkan dengan cara
mengekstrak minyak yang terkandung pada biji adas. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa trans-anetol merupakan senyawa yang memiliki persentase
terbesar pada minyak biji adas (Damayani dan Setyawan 2012; Wahba et al. 2018).
Analisis secara kuantitatif juga dapat dilakukan untuk lebih meyakinkan
keberadaan kandungan trans-anetol di dalam ekstrak biji adas. Analisis secara
kuantitatif dapat dilakukan dengan menggunakan standar eksternal anetol (Leal et
al. 2011; Alam et al. 2019). Kuantifikasi kandungan anetol tersebut dapat dilakukan
dengan menggunakan beberapa alat seperti GC-MS, HPLC (High Performance
Liquid Chromatography), dan GC-FID (GC dengan Flame Ionization Detector
(Fiori et al. 2002; Leal et al. 2011; Alam et al. 2019).
Terdapat beberapa komponen senyawa lain yang diduga berpotensi dalam
meningkatkan produksi susu di dalam penelitian ini,. Senyawa-senyawa tersebut
seperti asam palmitat dan asam linoleat (Piantoni et al. 2013; Whelan dan Fritsche
2013). Asam palmitat (C16H32O2) diketahui merupakan asam lemak jenuh yang
ditemukan dengan kuantitas terbanyak pada lemak susu. Asam palmitat yang
didapatkan dari sumber pangan diketahui dapat meningkatkan lemak susu dan
digunakan sebagai sumber energi untuk proses produksi air susu (Piantoni et al.
2013; Mathews et al. 2016). Hasil penelitian Piantoni et al. (2013) menunjukkan
bahwa pada sapi yang diberikan pakan dengan suplementasi asam palmitat
sebanyak 2% menunjukkan adanya peningkatan produksi air susu dan peningkatan
konsentrasi lemak susu. Peningkatan produksi air susu tersebut diduga disebabkan
karena adanya peningkatan asupan energi per hari akibat dari pemberian
suplementasi. Selanjutnya, adanya peningkatan konsentrasi lemak susu diduga
disebabkan karena semakin meningkatnya asam palmitat pada pakan menyebabkan
meningkatnya asam lemak bebas pada plasma (Piantoni et al. 2013).
Asam linoleat (C18H32O2) merupakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang
(PUFA/polyunsaturated fatty acids) yang umumnya banyak didapatkan dari
konsumsi pangan. Asam linoleat dapat dirubah melalui proses elongasi dan
desaturasi menjadi senyawa bioaktif PUFA lainnya yaitu gamma-asam linolat dan
asam arakidonat. Asam arakidonat kemudian dapat dirubah menjadi senyawa
bioaktif eicosanoid seperti prostaglandin dan leukotrient (Whelan dan Fritsche
2013). Suprayogi et al. (2013) menjelaskan bahwa pada daun katuk terdapat
kandungan senyawa PUFA yang merupakan prekursor dalam biosintesis senyawa
eicosanoid prostaglandin. Melalui aksi prostaglandin dan aksi hormon steroid yang
dihasilkan pada pemberian daun katuk selama masa laktasi, maka dapat
menstimulasi aktivitas sintesis air susu di sel kelenjar mammae.

Karakteristik Sampel

Karakteristik sampel awal sebelum perlakuan pada penelitian ini disajikan


pada Tabel 8. Rata rata berat badan awal induk dan anak (n=6) ditimbang pada pagi
hari sebelum diberikan perlakuan di hari ke-3 laktasi. Jumlah anak yang digunakan
sudah disesuaikan, yakni sebanyak 6 anak per induk. Rata-rata berat awal sebelum
intervensi dari keseluruhan induk tikus laktasi adalah 227.21±33.17 g dan anak
43

tikus adalah 7.98±1.07 g/anak. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan pada berat awal induk dan anak antar kelompok
perlakuan (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa induk tikus yang diberi perlakuan
dan anaknya sudah dalam kondisi setara.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa nilai persentase standar deviasi
terhadap rata-rata pada berat awal induk dalam penelitian ini masih dinilai tinggi,
yaitu pada kelompok N mencapai 18% dan pada kelompok EA1 mencapai 22%.
Oleh karena itu, pemilihan sampel induk laktasi dengan berat badan awal yang
seragam dan nilai standar deviasi yang lebih kecil perlu dipertimbangkan untuk
penelitian selanjutnya, sehingga data hasil intervensi bisa lebih baik untuk dianalisis.

Tabel 8 Karakteristik awal sebelum perlakuan


Karakteristik N EA1 EA2 EA3
Berat badan 217.67 ± 39.52a 231.33 ± 51.51a 230.67 ± 14.02a 229.17 ± 22.35a
induk (g)
Berat anak 7.30 ± 0.95a 8.07 ± 1.16a 8.37 ± 1.01a 8.17 ± 1.09a
(g/anak)
Keterangan: nilai merupakan rata-rata ± SD, N: akuades, EA1: ekstrak biji adas dosis 88.75 mg/kg BB, EA2:
ekstrak biji adas dosis 177.50 mg/kg BB, EA3: ekstrak biji adas dosis 355.00 mg/kg, huruf yang
berbeda dalam baris yang sama menunjukkan berbeda signifikan (p<0.05).

Mahmood et al. (2012) menunjukkan bahwa terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan saat melakukan pengukuran produksi air susu pada induk, diantaranya
adalah jumlah anak per induk dan interval waktu pemisahan antara induk dan anak
tikus. Jumlah anak per kandang disesuaikan dengan tujuan untuk memaksimalkan
potensi anak sehingga dapat menyusu pada induk tanpa adanya persaingan yang
ketat antar anak dalam satu induk. Semakin banyak jumlah anak yang menyusu
pada induk, maka dapat menyebabkan jumlah air susu yang diterima oleh setiap
anak akan semakin sedikit. Beberapa penelitian yang mengukur variabel produksi
air susu menggunakan jumlah anak sebanyak 6 anak per induk (Mahmood et al.
2012; Lin et al. 2017). Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan penyesuaian
jumlah ana tikus sebanyak 6 ekor per induk.
Waktu pemisahan diantara induk dan anak harus dilakukan dalam waktu yang
cukup sehingga air susu yang terakumulasi di kelenjar air susu dapat diukur secara
akurat (Mahmood et al. 2012). Waktu pemisahan tersebut umumnya dilakukan
antara 4 sampai 6 jam. Waktu pemisahan anak tikus dengan induk tikus dalam
penelitian ini dilakukan selama 4 jam. Hal ini dikarenakan dalam waktu tersebut
sudah dinilai cukup untuk bisa mengukur produksi air susu yang terakumulasi
(Roosita 2003; Lin et al. 2017).

Hormon Laktogenik pada Induk Tikus Laktasi

Hormon laktogenik merupakan beberapa jenis hormon yang terlibat dalam


berbagai proses produksi air susu di kelenjar air susu (mammary gland). Hormon
laktogenik yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi triiodotironin (T3),
tetraiodotironin (T4), dan prolaktin. Hasil analisis terhadap konsentrasi hormon
laktogenik pada serum darah induk tikus laktasi disajikan pada Gambar 10, Gambar
11, dan Gambar 12.
44

Konsentrasi Triiodotironin (T3) pada Serum Darah Tikus Laktasi


Hasil analisis menunjukkan bahwa konsentrasi T3 pada serum darah induk
tikus tidak berbeda signifikan antar kelompok perlakuan pada minggu ke-1, minggu
ke-2, dan minggu ke-3 selama waktu pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian ekstrak etanol biji adas pada taraf yang berbeda tidak menunjukkan
konsentrasi T3 pada serum darah tikus laktasi yang berbeda signifikan dengan
kelompok kontrol di setiap minggu laktasi (Gambar 10).

N EA1 EA2 EA3


2.04
3 1.80 2.47 2.20 2.29
±0.79a 1.96
±0.89a ±0.12a ±0.39a
Konsentrasi T3 (ng/mL)

±0.73a 2.29 1.90 ±0.36a


1.93 2.18 ±0.57a 1.93
2,5 ±0.11a ±0.14a 1.77 ±0.40a
±0.29a
±0.29a
2

1,5

0,5

0
minggu ke-1 minggu ke-2 minggu ke-3
Periode laktasi
Gambar 10 Konsentrasi triiodotironin (T3) pada serum darah tikus laktasi
Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Roosita (2003) yang menunjukkan
bahwa terdapat penurunan konsentrasi T3 selama waktu pengamatan setelah adanya
pemberian nutrasetikal galohgor pada tikus laktasi. Nilai rata-rata konsentrasi
hormon T3 pada induk tikus yang diberikan nutrasetikal galohgor pada hari ke-21
laktasi signifikan lebih rendah (0.3635 ng/ml) dibandingkan dengan kontrol (0.5918
ng/ml). Penurunan T3 ini diduga disebabkan karena meningkatnya aktifitas hormon
T3 di kelenjar air susu sehingga dapat memaksimalkan produksi air susu pada tikus.
Penelitian pada sapi perah juga menunjukkan bahwa konsentrasi T3 memiliki nilai
yang lebih rendah pada kelompok sapi yang memiliki jumlah produksi air susu yang
lebih tinggi (Gueorguiev 1999).
Konsentrasi T3 sebagian besar didapatkan dari hasil perubahan T4 dengan
bantuan enzim 5’–deiodinase. Proses pembentukkan hormon tiroid tersebut (T3 dan
T4) memerlukan mineral iodium (Neville et al. 2002). Kandungan iodium dalam
makanan yang dikonsumsi merupakan salah satu sumber iodium yang didapatkan
oleh tubuh. Kekurangan asupan iodium dalam tubuh dapat menyebabkan
konsentrasi hormon tiroid berapa dibawah kadar normalnya (hipotiroid). Tucker
(2000) juga menambahkan bahwa kondisi hipotiroid dalam tubuh dapat diperparah
dengan meningkatnya sekresi iodium melalui air susu selama kondisi laktasi. Hal
tersebut menunjukkan bahwa asupan iodium harus diperhatikan untuk mencapai
jumlah yang cukup selama masa laktasi. Namun, kecukupan asupan iodium induk
tikus dalam penelitian ini masih belum dianalisis secara lebih mendalam. Oleh
karena itu, dalam penelitian selanjutnya perlu dipertimbangkan mengenai analisis
terhadap status asupan iodium yang dikonsumsi oleh induk.
45

Konsentrasi Tetraiodotironin (T4) pada Serum Darah Tikus Laktasi


Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan konsentrasi T4
pada serum darah induk tikus yang signifikan antar kelompok perlakuan pada
minggu ke-1 dan minggu ke-2 laktasi (Gambar 11). Namun, pada minggu ke-3
laktasi terdapat perbedaan yang signifikan dari konsentrasi T4 di kelompok EA2.
Konsentrasi T4 di kelompok kontrol (32.81±2.46 ng/ml) dan EA1 (32.99±5.53
ng/ml) memiliki nilai yang signifikan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok
EA2 (40.16±2.24 ng/ml) (p<0.05). Pemberian ekstrak biji adas pada tikus laktasi
dengan dosis yang lebih tinggi (177.50 mg/kg BB dan 355.00 mg/kg BB) cenderung
menghasilkan nilai konsentrasi T4 yang lebih tinggi dibandingkan pada pemberian
dengan dosis yang lebih rendah dan kelompok kontrol di minggu ke-3 laktasi.

N EA1 EA2 EA3


60 46.32
33.46 ±6.84a 37.23
43.52
Konsentrasi T4 (ng/ml)

40.11 ±14.87a 43.41 ±13.73a


50 ±3.28a 34.63 ±3.88a 40.37 40.16
±5.38a b 37.45
±9.49a ±3.07a 32.99 ±2.24
32.81 ±5.53a ±3.04ab
40 a
±2.46

30

20

10

0
minggu ke-1 minggu ke-2 minggu ke-3
Periode laktasi
Gambar 11 Konsentrasi tetraiodotironin (T4) pada serum darah tikus laktasi

Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Roosita (2003) yang menunjukkan
bahwa terdapat penurunan konsentrasi T4 setelah pemberian nutrasetikal galohgor
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pemberian nutrasetikal galohgor diketahui
secara signifikan dapat menurunkan konsentrasi serum T4 di hari ke-7 laktasi, ke-
14 laktasi, dan ke-21 laktasi dengan nilai masing masing yaitu 8.32, 9.07, dan 7.26
ng/ml. Hasil tersebut juga didukung oleh hasil penelitian pada sapi perah yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara konsentrasi T4 dengan
produksi air susu pada setiap masa laktasi. Konsentrasi T4 ditemukan lebih rendah
pada sapi dengan produksi susu yang lebih tinggi (Gueorguive 1999).
Rendahnya konsentrasi T4 pada serum darah induk selama masa laktasi
diduga karena adanya peningkatan aktifitas perubahan T4 menjadi T3 di kelenjar
mammae dibandingkan di organ lainnya. Kondisi ini memungkinkan konsentrasi
hormon tiroid di kelenjar mammae berada dalam kondisi yang normal (euthyroid
state) selama masa laktasi, meskipun kondisi hipotiroid dapat terjadi di dalam
serum darah atau organ lainnya. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya prioritas
metabolisme di kelenjar mammae untuk produksi susu (Tucker 2000).
T4 juga diketahui memiliki fungsi penting dalam meningkatkan kepekaan
kelenjar air susu terhadap hormon pertumbuhan (growth hormone) dan prolaktin
selama masa laktasi. Hasil penelitian Capuco (1999) menunjukkan bahwa
46

pemberian T4 bersamaan dengan prolaktin dan hormon pertumbuhan pada induk


tikus laktasi dapat meningkatkan berat anak sebesar 13% dibandingkan dengan
kontrol hipotiroid dan meningkat sebesar 18% dibandingkan tikus yang hanya
menerima hormon prolaktin dan hormon pertumbuhan saja.

Konsentrasi Prolaktin pada Serum Darah Tikus Laktasi


Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan
dari konsentrasi prolaktin pada serum darah induk tikus antar kelompok perlakuan
di minggu ke-1, ke-2, dan ke-3 (Gambar 12). Meskipun terlihat adanya peningkatan
pada kelompok EA1 dan EA2 dibandingkan dengan kontrol, namun hasil ini
menunjukkan bahwa ekstrak biji adas tidak memberikan efek yang bermakna
terhadap konsentrasi prolaktin tikus.
Hasil ini berbeda dengan penelitian Honarvar et al. (2013) yang menunjukkan
bahwa pemberian serbuk biji adas pada ibu menyusui menunjukkan adanya
peningkatan konsentrasi prolaktin yang signifikan dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Penelitian pada mencit betina dewasa juga menunjukkan bahwa terdapat
peningkatan hormon prolaktin yang signifikan setelah adanya pemberian ekstrak
etanol biji adas (Sadeghpour et al. 2015).

N EA1 EA2 EA3


35
20.16 22.60
Konsentrasi prolaktin (ng/L)

18.13
30 19.28 ±10.31a ±9.81a ±7.21a
20.54 ±7.51a 20.93 22.21 20.79
±4.76a ±2.82a ±2.28a 19.56 ±4.59a 20.63
25 ±290a ±1.36a 16.40
15.75 ±3.03a
20 ±1.93a

15

10

0
minggu ke-1 minggu ke-2 minggu ke-3
Periode laktasi
Gambar 12 Konsentrasi prolaktin pada serum darah tikus laktasi
Beberapa peneliti menduga bahwa biji adas dapat meningkatkan produksi susu
karena adanya kandungan fitoestrogennya. Fitoestrogen adalah golongan senyawa
kimia pada tumbuhan yang memiliki aksi seperti estrogen. Kandungan fitoestrogen
menyebabkan timbulnya aktifitas estrogenik. Tabares et al. (2014) menduga bahwa
estrogen dapat meningkatkan ekspresi gen prolaktin melalui dua kemungkinan
mekanisme. Mekanisme pertama adalah fitoestrogen dapat terikat di reseptor
estrogen intraseluler di sel laktrotopik pituitari, yang selanjutnya dapat
menyebabkan peningkatan prolaktin dan peningkatan sekresi air susu. Mekanisme
kedua adalah fitoestrogen dapat menghambat suatu mekanisme yang dihasilkan
oleh adanya aktifasi reseptor dopamin di sel laktotropik anterior pituitati. Dopamin
diketahui sebagai salah satu senyawa inhibitor dari hormon prolaktin (Tabares et al.
2014).
47

Kandungan senyawa fitoestrogen yang diduga terdapat pada biji adas adalah
flavonoid dan anetol (Tabares et al. 2014; Rifqiyati dan Wahyuni 2016). Anetol
merupakan salah satu kelompok fitoestrogen dengan struktur yang menyerupai
dopamin. Anetol diduga berkompetisi dengan dopamin pada sisi reseptornya,
sehingga menghambat aksi anti-sekretori dari dopamin terhadap prolaktin
(Badgujar et al. 2014). Namun dalam penelitian ini, hormon prolaktin pada
pemberian ekstrak etanol biji adas tidak terlihat menunjukkan hasil yang signifikan
meningkat dibandingkan dengan kontrol. Hal ini diduga berkaitan dengan data
sebelumnya yang menunjukkan bahwa kandungan senyawa anetol yang masih
belum terekstrak secara maksimal di dalam ekstrak etanol biji adas.
Forinash et al. (2012) menyebutan bahwa hormon prolaktin merupakan
hormon kunci dalam proses produksi air susu pada ibu menyusui. Hormon prolaktin
memiliki berbagai macam fungsi di kelenjar air susu seperti menunjang
perkembangan kelenjar dan sintesis air susu (Freeman et al. 2000). Beberapa hasil
penelitian pada tanaman yang diduga dapat meningkatkan produksi air susu
menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dari hormon prolaktin. Bako et
al. (2008) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan hormon prolaktin dan
produksi susu yang signifikan setelah pemberian ekstrak etil asetat biji rosela pada
tikus laktasi. Hasil penelitian lainnya oleh Kusuma et al. (2017) menunjukkan
bahwa terdapat peningkatan hormon prolaktin dan produksi susu yang signifikan
setelah adanya pemberian daun ubi jalar (200 g/hari) pada ibu menyusui.
Namun, tidak semua hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang
sejalan antara peningkatan produksi air susu dan hormon prolaktin. Hasil penelitian
Ogweje et al. (2019) menunjukkan adanya peningkatan produksi air susu pada
induk setelah pemberian Vitamin C tidak ditunjang dengan adanya peningkatan
yang signifikan dari hormon prolaktin. Namun, peningkatan produksi air susu
tersebut lebih disebabkan karena adanya peningkatan hormon oksitosin. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa kandungan senyawa dari bahan yang diberikan pada
tikus laktasi dapat mempengaruhi berbagai mekanisme peningkatan produksi air
susu pada tikus. Pemberian fraksi etil asetat daun torbangun juga menunjukkan
bahwa peningkatan produksi air susu yang signifikan tidak disertaii dengan data
serum hormon prolaktin yang meningkat secara signifikan. Namun, terdapatnya
peningkatan ekspresi gen dari reseptor hormon prolaktin di kelenjar mammae pada
kelompok yang diberikan ekstrak (Iwansyah et al. 2019).

Gambaran Darah pada Induk Tikus Laktasi

Darah memiliki berbagai macam fungsi seperti menjaga temperatur tubuh,


menjaga tingkat pH normal di dalam jaringan, mengatur volume cairan di dalam
sistem sirkulasi, media transportasi enzim dan hormon, dan fungsi pertahanan tubuh
terhadap mikroorganisme atau benda-benda asing (Ashton 2013). Darah juga
memiliki fungsi utama dalam membawa zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh.
Dalam kondisi meyusui, fungsi darah yang normal ini sangat dibutuhkan untuk
menunjang transportasi zat gizi dan oksigen yang memadai sehingga dapat
menunjang proses sintesis air susu secara optimal (Roosita 2003).
Gambaran darah yang dianalisis pada penelitian ini adalah jumlah eritrosit,
hemoglobin, hematokrit, dan leukosit. Hasil analisis gambaran darah induk
48

disajikan pada Tabel 9. Hasil analisis menunjukkan bahwa setelah 21 hari


pengamatan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada konsentrasi eritrosit,
hemoglobin, hematokrit, dan leukosit antar kelompok perlakuan.

Tabel 9 Gambaran darah induk tikus pada setiap kelompok perlakuan


Kelompok Eritrosit Hemoglobin Hematokrit Leukosit
(106/mm3) (g/dL) (%) (103/mm3)
N 6.79±0.42a 15.48±1.07a 43.65±3.08a 8.35±3.46a
a a a
EA1 6.55±0.54 14.63±0.68 42.38±2.51 10.55±1.47a
a a a
EA2 6.30±0.96 13.65±2.65 38.98±6.13 8.55±2.76a
EA3 6.90±0.69a 14.68±1.43a 41.55±3.33a 8.93±3.47a
Kadar normal 7.00 - 11.00 11.60 – 16.00 37.60 – 51.00 5.00 – 13.00
Keterangan: nilai merupakan rata-rata ± SD, N: akuades, EA1: ekstrak biji adas dosis 88.75 mg/kg BB, EA2:
ekstrak biji adas dosis 177.50 mg/kg BB, EA3: ekstrak biji adas dosis 355.00 mg/kg, huruf yang
sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda signifikan (p>0.05).

Kadar eritrosit pada semua pelakuan diketahui tidak berbeda signifikan antar
kelompok perlakuan dan nilai tersebut masih berada dibawah kadar normal untuk
setiap kelompok perlakuan (Tabel 9). Nilai normal untuk parameter jumlah eritrosit
adalah 7 x 106/mm3 sampai 11 x 106/mm3 (Douglas dan Wardrop 2010). Hasil ini
sejalan dengan penelitian Roosita et al. (2003) yang juga menunjukkan bahwa
kadar eritrosit pada kelompok tikus laktasi yang diberikan nutrasetikal galohgor
(bahan galaktogoum) selama 21 hari laktasi tidak berbeda signifikan dengan
kelompok kontrol. Konsentrasi ertirosit memiliki nilai yang masih berada dibawah
kadar normal yaitu berkisar antara 6.130±0.25 106/mm3 pada kelompok perlakuan
galohgor dan 5.377±0.25 pada kelompok kontrol.
Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol biji adas tidak dapat
meningkatkan jumlah eritrosit pada tikus laktasi. Hal ini berbeda dengan penelitian
Mansouri et al. (2015) yang menunjukkan bahwa pada pemberian ekstrak etanol
biji adas dengan dosis 250 mg/kg BB selama 30 hari pada tikus jantan secara
signifikan dapat meningkatkan sel darah merah. Hal ini diduga karena adanya
perbedaan kondisi fisiologis pada tikus dan lama intervensi yang berbeda.
Kadar hemoglobin tikus diketahui tidak berbeda signifikan antar kelompok
perlakuan (Tabel 9). Semua tikus pada kelompok perlakuan memiliki kadar
hemoglobin yang masih berada pada kisaran yang normal. Kisaran kadar normal
untuk parameter kadar hemoglobin adalah 11.6 g/dL sampai 16 g/dL (Douglas dan
Wardrop 2010). Hasil ini juga sejalan dengan penelitian Mansouri et al. (2015) yang
menunjukkan bahwa pada pemberian ekstrak etanol biji adas pada konsentrasi yang
berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan
ekstrak dengan kelompok kontrol. Hemoglobin merupakan komponen pembawa
oksigen di dalam sel darah. Oleh karena itu, ketersediaanya dalam konsentrasi yang
normal sangat diperlukan untuk menunjang kesehatan tubuh.
Kadar hematokrit induk tikus pada penelitian ini tidak berbeda signifikan
antar kelompok perlakuan dan masih berada pada kisaran rentang yang normal
(Tabel 9). Kisaran normal untuk parameter jumlah hematokrit adalah 37.6% sampai
51% (Douglas dan Wardrop 2010). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Bahar
(2011) yang juga menunjukkan bahwa pemberian fraksi daun kelor pada tikus
laktasi tidak menunjukkan perbedaan nilai hematokrit yang signifikan dengan
kelompok kontrol. Hematokrit merupakan istilah yang digunakan untuk
49

menyatakan jumlah sel darah merah dalam 100 ml darah. Kadar hematokrit dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kondisi asupan cairan tubuh, adanya
pendarahan, dan kondisi anemia.
Nilai leukosit tikus kelompok perlakuan tidak berbeda signifikan dengan
kelompok kontrol dan masih berada pada batasan nilai normal (Tabel 9). Kisaran
normal jumlah leukosit pada tikus yaitu berkisar 5x103/mm3 sampai 13x103/mm3
(Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Bahar
(2011) yang juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan
pada nilai leukosit setelah adanya pemberian fraksi daun kelor pada tikus laktasi.
Leukosit atau sel darah putih memiliki fungsi utama dalam sistem pertahanan tubuh
dengan cara melindungi tubuh dari berbagai penyakit infeksi dan substansi
substansi toksis (Al-Dulaimi et al. 2018).

Produksi Susu pada Induk Tikus Laktasi

Produksi susu induk dalam penelitian ini dianalisis secara tidak langsung
yaitu melalui selisih berat badan anak tikus antara sebelum dan setelah menyusu
pada induk tikus. Metode perhitungan produksi susu ini telah banyak dilakukan
pada penelitian sebelumnya yang juga menganalisis efek sumber laktagogoum
terhadap produksi air susu (Roosita 2003; Mahmood et al. 2012; Lin et al. 2017).
Suprayogi et al. (2015) menunjukkan bahwa selisih berat badan sebelum dan
sesudah menyusui memiliki korelasi yang positif dengan volume susu. Perubahan
berat pada anak tikus pada masa sebelum sapih diduga merupakan akibat dari
kuantitas dan kualitas air susu yang dikonsumsi anak selama menyusu pada induk.
N EA1 EA2 EA3
6
Produksi susu induk tikus (g/hari)

0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

Hari laktasi ke-


Keterangan: nilai merupakan rata-rata ± SD, K: akuades, EA1: ekstrak biji adas dosis 88.75 mg/kg
BB, EA2 : ekstrak biji adas dosis 177.50 mg/kg BB, EA3 : ekstrak biji adas dosis 355.00 mg/kg.
Gambar 13 Produksi air susu induk pada setiap hari pengamatan
50

Rata-rata produksi susu induk disajikan dari hari ke-3 laktasi sampai hari ke-
21 laktasi pada Gambar 13. Hal ini dilakukan untuk mengetahui produksi susu
sampai waktu masa sapih tikus. Produksi susu pada setiap hari laktasi diketahui
mengalami fluktuatif, namun terlihat adanya trend yang meningkat sampai hari ke-
19 laktasi. Kondisi produksi susu yang tidak linier atau mengalami fluktuatif juga
ditemukan pada hasil penelitian Koko et al. (2019) dan Mahmood et al. (2012) yang
menunjukkan bahwa grafik produksi susu terhadap hari laktasi tidak bersifat linier.
Hal ini diduga disebabkan adanya pengaruh variasi biosintesis air susu selama masa
laktasi (Koko et al. 2019).
Produksi susu pada keseluruhan kelompok perlakuan juga diketahui
mengalami penurunan pada hari ke-21 laktasi (Gambar 13). Hal tersebut diduga
karena semakin mendekatinya masa sapih, yakni pada hari ke-21 laktasi, maka
produksi susu induk semakin berkurang. Frekuensi menyusu anak tikus pada induk
juga berkurang, dan anak tikus sudah siap untuk megkonsumsi pakan dengan
tesktur yang padat. Seiring dengan meningkatnya usia anak tikus, maka kebutuhan
zat gizi akan semakin meningkat. Peningkatan kebutuhan ini dapat dipenuhi melalui
pakan yang tersedia untuk dikonsumsi (Mahmood et al. 2012; Sengupta 2013;
Koko et al. 2019).
Hasil uji ANOVA terhadap produksi susu pada setiap hari pengamatan
menunjukkan bahwa rata-rata produksi susu pada setiap hari pengamatan tidak
berbeda signifikan antar kelompok perlakuan. Meskipun secara statistik tidak
berbeda signifikan, namun dapat diamati bahwa produksi susu induk tikus pada
kelompok EA1, EA2, dan EA3 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok
kontrol (N) (Gambar 13).
Hasil analisis rata-rata produksi susu secara keseluruhan disajikan pada Tabel
10. Rata-rata produksi susu sampai hari ke-21 laktasi menunjukkan tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan. Namun demikian, rata-rata
produksi susu pada kelompok perlakuan ekstrak biji adas (EA1, EA2, dan EA3)
memiliki rata-rata produksi susu yang relatif lebih tinggi dibandingkan kontrol (N).

Tabel 10 Rata-rata produksi susu induk pada setiap kelompok perlakuan


Kelompok perlakuan Rata-rata sampai hari Rata-rata sampai hari
laktasi ke-15 (g/hari) laktasi ke-21 (g/hari)
N 1.65±0.45a 2.03±0.25a
EA1 2.67±0.68b 2.86±0.72a
ab
EA2 2.34±0.71 2.89±0.64a
EA3 1.95±0.59ab 2.56±0.53a
Keterangan: nilai merupakan rata-rata ± SD, K: akuades, EA1: ekstrak biji adas dosis 88.75 mg/kg
BB, EA2 : ekstrak biji adas dosis 177.50 mg/kg BB, EA3 : ekstrak biji adas dosis 355.00 mg/kg,
huruf yang berbeda dalam kolom yang sama adalah berbeda signifikan (α<0.05).

Tabel 10 menunjukkan bahwa perbedaan rata-rata produksi susu yang


signifikan antar kelompok perlakuan terlihat jika dianalisis sampai hari ke-15
laktasi (p<0.05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kelompok EA1
memiliki rata-rata produksi susu yang signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok kontrol sampai hari ke-15 laktasi. Secara umum sampai hari ke-15 laktasi,
ekstrak biji adas dengan dosis terendah memberikan efek yang lebih baik
dibandingkan kelompok kontrol. Hasil penelitian ini menduga bahwa dosis
51

pemberian ekstrak etanol biji pada tikus laktasi relatif lebih baik pada dosis yang
terkecil, yaitu 88.75 mg/kg BB, dibandingkan kelompok kontrol.
Rata-rata produksi susu pada pemberian ektrak etanol biji adas yang relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol diduga disebabkan adanya kandungan
senyawa yang terekstrak. Meskipun kandungan senyawa anetol tidak terdeteksi,
terdapat kandungan senyawa lain pada ekstrak etanol biji adas yang diduga dapat
menunjang peningkatan produksi susu. Kandungan senyawa tersebut meliputi
flavonoid, fenol, tanin, saponin, dan asam lemak. Rifqiyati dan Wahyuni (2019)
menyatakan bahwa flavonoid merupakan salah satu jenis senyawa yang diduga
dapat meningkatkan produksi air susu pada tanaman adas. Mohanty et al. (2014)
dalam hasil penelitiannya menjelaskan bahwa beberapa golongan fitokimia seperti
polifenol, saponin, dan tanin diduga memiliki efek yang positif dalam membantu
meningkatkan produksi air susu. Sementara itu, ekstrak biji adas juga dianalisis
memiliki kandungan asam lemak yang diduga dapat menunjang peningkatan
produksi air susu. Diantara kandungan asam lemak tersebut adalah asam palmitat.
Asam palmitat dalam bahan pangan diketahui dapat meningkatkan lemak susu dan
digunakan sebagai sumber energi untuk proses produksi air susu (Piantoni et al.
2013).
Hasil analisis pada Tabel 10 juga menunjukkan bahwa lama waktu pemberian
intervensi diduga dapat mempengaruhi hasil produksi susu. Hasil analisis produksi
susu pada kelompok intervensi sampai hari ke-15 laktasi menunjukkan terdapat
perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol, sedangkan hasil analisis
produksi susu sampai hari ke-21 laktasi tidak berbeda nyata dengan kelompok
kontrol. Hasil ini menduga bahwa lama waktu pemberian ekstrak etanol biji adas
relatif lebih baik diberikan hanya sampai hari ke-15 laktasi. Hasil ini serupa dengan
penelitian Hossainzadeh et al. (2013a) yang menunjukkan bahwa pemberian biji
jintan hitam secara signifikan dapat meningkatkan produksi susu setelah hari ke-15
laktasi.

Pertumbuhan Anak Tikus

Pertumbuhan merupakan proses pertambahan ukuran tubuh. Proses tumbuh


pada anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adanya faktor
konsumsi. Pada masa sebelum sapih dimulai, pertumbuhan anak sangat bergantung
pada asupan air susu yang diperoleh dari induk. Mahmood et al. (2012) dalam hasil
penelitiannya menjelaskan bahwa anak yang memiliki pertumbuhan cepat dapat
disebabkan oleh kuantitas konsumsi air susu pada anak tersebut lebih banyak
dibandingkan dengan anak yang memiliki pertumbuhan yang lambat. Pertumbuhan
anak tikus diketahui dipengaruhi oleh jumlah anak dalam satu induk. Namun, dalam
penelitian ini jumlah anak sudah disesuaikan dengan jumlah yang sama antar
kelompok sebelum pemberian bahan intervensi dilakukan yaitu sebanyak 6 ekor
anak per induk.
Pertumbuhan anak dalam penelitian ini dianalisis dari hasil berat badan anak
tikus selama 21 hari pengamatan. Gambar 14 menunjukkan bahwa grafik rata-rata
berat anak tikus memiliki pola linier yang menunjukkan bahwa rata-rata berat badan
anak tikus semakin meningkat dari hari pengamatan ke-3 sampai hari ke-21 laktasi,
baik itu pada kelompok EA1 (R2 = 0.9989), EA2 ( R2 = 0.9982), EA3 (R2 = 0.9989),
52

dan kontrol (R2 = 0.999). Hasil uji dengan ANOVA menunjukkan bahwa rata-rata
berat badan anak tikus pada setiap hari pengamatan tidak berbeda signifikan antar
kelompok perlakuan. Namun, Gambar 14 menunjukkan bahwa peningkatan berat
badan anak tikus yang diberikan ekstrak etanol biji adas pada kelompok EA1 relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol, EA2, dan EA3.

45 N EA1 EA2 EA3

40

35

30
Berat anak tikus (g)

25

20

15

10

0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

Hari laktasi ke-


Keterangan: nilai merupakan rata-rata ± SD (n=6), N: akuades, EA1: ekstrak biji adas dosis 88.75
mg/kg BB, EA2 : ekstrak biji adas dosis 177.50 mg/kg BB, EA3 : ekstrak biji adas dosis 355.00
mg/kg.
Gambar 14 Berat badan anak tikus pada setiap hari pengamatan

Perubahan berat badan anak tikus selanjutnya dianalisis dari hasil selisih berat
badan awal sampai hari ke-15 laktasi dan sampai hari ke-21 laktasi. Perubahan berat
badan ini disajikan pada Tabel 11. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa setelah
pemberian bahan intervensi sampai hari ke-21 laktasi, perubahan berat badan anak
tikus tidak berbeda signifikan antar kelompok perlakuan (p>0.05). Namun
demikian, dari hasil selisih berat menunjukkan bahwa perubahan berat anak tikus
pada kelompok EA1 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (Tabel 11).

Tabel 11 Rata-rata pertambahan berat badan anak tikus laktasi pada kelompok
perlakuan
Kelompok Pertambahan berat badan Pertambahan berat badan
perlakuan sampai hari ke-15 laktasi sampai hari ke-21 laktasi
(g/tikus) (g/tikus)
N 16.99±3.16a 25.68±4.69a
EA1 18.23±2.23a 28.11±5.54a
a
EA2 16.17±1.37 25.69±6.82a
EA3 16.22±3.23a 24.25±5.74a
Keterangan: nilai merupakan rata-rata ± SD (n=6), N: akuades, EA1: ekstrak biji adas dosis 88.75 mg/kg
BB, EA2: ekstrak biji adas dosis 177.50 mg/kg BB, EA3: ekstrak biji adas dosis 355.00 mg/kg,
huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan berbeda signifikan (p<0.05).
53

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol biji adas
tidak menyebabkan adanya perubahan berat badan anak tikus yang signifikan
dibandingkan kontrol. Hasil ini juga didukung oleh data produksi susu yang
membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan setelah pemberian
ekstrak etanol biji adas pada hari ke-21 laktasi. Perubahan berat badan anak pada
masa awal kehidupannya atau sebelum masa sapih diduga merupakan hasil
pengaruh dari kuantitas dan kualitas air susu yang dihasilkan oleh induk (Okasha et
al. 2008). Hasil penelitian Suprayogi et al. (2015) mengenai pemberian daun katuk
pada tikus laktasi juga menunjukkan bahwa peningkatan berat badan anak tikus
pada masa laktasi diduga disebabkan oleh adanya peningkatan produksi susu induk.
Adanya senyawa aktif yang dikonsumsi anak melalui susu induk juga dapat
mempengaruhi perubahan berat badan anak (Suprayogi et al. 2015). Namun, dalam
penelitian ini kualitas air susu yang dihasilkan induk tikus tidak dianalisis secara
mendalam.
Tabel 11 juga menunjukkan bahwa terdapat satu kelompok yaitu EA1 yang
memiliki perubahan berat badan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok kontrol, meskipun nilai tersebut tidak berbeda signifikan secara statistik
antara kelompok perlakuan. Hasil ini sejalan dengan data produksi susu yang telah
disebutkan sebelumnya yang menunjukkan bahwa produksi susu induk relatif lebih
tinggi pada kelompok EA1 dibandingkan kelompok N (kontrol). Hasil penelitian
ini menduga bahwa pemberian ekstrak etanol dengan dosis terkecil yaitu 88.75
mg/kg BB memberikan hasil perubahan berat badan yang relatif lebih baik
dibandingkan kelompok lainnya. Namun, hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut
untuk mengevaluasi kembali jumlah dosis yang lebih sesuai sehingga dapat
mencapai peningkatan berat badan yang signifikan dibandingkan kontrol.

6 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada ekstrak etanol biji adas terdapat
kandungan flavonoid, fenol, tanin, saponin, dan steroid. Kandungan senyawa
dengan luas area tertinggi hasil analisis kromatogram dengan GC-MS adalah asam
lemak oleat, linoleat, dan palmitat.
Secara keseluruhan hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan pada konsentrasi hormon T3, T4 dan prolaktin tikus
laktasi antar kelompok perlakuan. Perbedaan hanya terjadi pada minggu ke-3
laktasi yaitu nilai hormon T4 pada kelompok N dan EA1 signifikan lebih rendah
dibandingkan kelompok EA2. Gambaran darah pada induk laktasi juga tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan.
Gambaran hemoglobin, hematokrit, dan leukosit induk masih berada pada rentang
normalnya, sedangkan gambaran eritrosit pada semua kelompok perlakuan masih
berada dibawah rentang normal.
Rata-rata produksi susu setelah pemberian ekstrak etanol biji adas sampai hari
ke 21 laktasi menunjukkan tidak berbeda signifikan antar kelompok perlakuan.
54

Namun, rata-rata produksi susu pada kelompok EA1, EA2, dan EA3 menunjukkan
nilai yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Rata-rata
produksi susu menunjukkan hasil yang berbeda signifikan sampai hari ke-15
laktasi, yaitu produksi susu pada kelompok EA1 signifikan lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol. Pertumbuhan anak tikus tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan. Namun demikian, terdapat
satu kelompok yaitu EA1 yang memiliki nilai perubahan berat badan tertinggi
dibandingkan kelompok lainnya.

Saran

Perlu dilakukan analisis lebih lanjut mengenai besarnya pemberian dosis


yang efektif sehingga dapat meningkatkan produksi susu induk yang signifikan
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Alternatif penggunaan pelarut ekstraksi
lain perlu dilakukan guna menambah informasi mengenai potensi biji adas sebagai
bahan laktagogum. Penggunaan tikus laktasi dengan berat badan awal yang
memiliki nilai standar deviasi lebih kecil di setiap kelompok perlakuan disarankan
untuk digunakan dalam penelitian selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abodunrin T, Uhuegbu C, Olugbuyiro J. 2015. Phytochemical Analysis of Leaf-


Extracts from Eight Tropical Trees: Prospects for Environmentally-Friendly
Dye Compounds for Smart Windows. IJSER. 6 (3) : 682-698.
Al-Dulaimi K, Banks J, Chandran, V, Tomeo-Reyes I, Nguyen Thanh, K. 2018.
Classification of white blood cell types from microscope images: Techniques
and challenges. Di dalam Méndez-Vilas A. (Ed.) Microscopy Science: Last
Approaches on Educational Programs and Applied Research. Spain (ES) :
Formatex Research Center.
Al-Sudany NM, Al-Oubaidei SR, Abdul-Jabbar OQ. 2014. Histological study of
fennel’s (Foeniculum vulgare) effect on female rats’ mammary glands. Med
J Islamic World Acad Sci. 22 (2): 76-84.
Alam P, Abdel-Kader MS, Al-qarni MH, Zaatout HH, Ahamad SR, Shakeel F. 2019.
Chemical composition of fennel seed extract and determination of fenchone
in commercial formulations by GC–MS method. J Food Sci Technol. 56 (5) :
2395-2403
Ashton N. 2013. Physiology of red and white blood cells. AnEAsthe Intensive Care
Med. 14(6): 261–266. doi:10.1016/j.mpaic.2013.03.001
Badgujar SB, Patel VV, Bandivdekar AH. 2016. Foeniculum vulgare Mill: A
Review of Its Botany, Phytochemistry, Pharmacology, Contemporary
Application, and Toxicology. Biomed Res Int. 2014: 1-32. doi.
10.1155/2014/842674
55

Bako IG, Mabrouk MA, Abubakar MS, Mohammed A. 2013. Lactogenic study of
the ethyl-acetate fraction of Hibiscus sabdariffa linn seed on pituitary
prolactin level of lactating albino rats. International Journal of Applied
Research in Natural Products. 60 (2) : 30-37.
Bahar NW. 2011. Pengaruh pemberian ekstrak dan fraksi daun katuk (sauropus
androgynus (l.) Merr) terhadap gambaran hematologi pada tikus putih laktasi
[Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Ballard. 2013. Human milk composition: nutrient and bioactive factors. Pediatr
Clin North Am. 60 (1): 49-74. Doi.10.1016/j.pcl.2012.10.002
Bargah RK. 2015. Preliminary test of phytochemical screening of crude ethanolic
and aqueous extract of Moringa pterygospermae. J. Pharmacognosy
Phytother. 4 (1): 7-9.
Bano S, Ahmad N, Sharma AK. 2016. Phytochemical investigation and evaluation
of anti-microbial and anti-oxidant activity of Foeniculum vulgare (fennel). Int
J Pharm Sci Res. 7 (7) : 3010-314.
Bazzano AN, Hofer R, Thibeau S, Gillispie V, Jacobs M, Theall KP. 2016. A
review of herbal and pharmaceutical galactagogues for breast-feeding.
Ochsner J. 16 (4): 511-524.
Beyazen A, Dessalegegn E, Mamo W. 2017. Phytochemical screening, antioxidant
and antimicrobial activities of seeds of Foeniculum vulgare (ensilal). World
J Pharm Sci. 5(3): 198-208
Bhaisare DB, Thyagarajan D, Punniamurthy N, Churchil RR, Ranganathan V. 2014.
Phytochemical analysis of four herbal seed extract and their use in poultry
ration. J Poult Sci. 2(2): 34-47.
Borellini F, Oka T, 1989. Growth control and differentiation on mammary epithelial
cells. Env Health Persptv. 80:85-89.
Brown CRL, Dodds L, Legge A, Bryanton J, Semenic S. 2014. Factors influencing
the reasons why mothers stop breastfeeding. Can J Public Health.105(3):179-
185.
Brown JE. 2011. Nutrition Through the Life Cycle. America (US) : Wadsworth
Brower M, Grace M, Kotz CM, Koya V. 2015. Comparative analysis of growth
characteristics of Sprague Dawley rats obtained from different sources. Lab
Anim Res. 3 (4) : 166-173.
Cai X, Wardlaw T, Brown DW. 2012. Global trens in exclusive breasfeeding. Int
Breastfeed J. 7 (12) : 1-5. Doi. 10.1186/1746-4358-7-12.
Capuco AV, Kahl S, Jack LJ, Bishop JO, Wallace H. 1999. Prolactin and growth
hormone stimulation of lactation in mice requires thyroid hormones. Pro Soc
Exp Biol Med. 221(4):345-51.
Colegate SM, Molyneux RJ. 2008. Bioactive natural products: detection, isolation,
and structural determination – 2 nd Edition. Boca Raton (US): CRC Press
Damanik R, Wahlqvist ML, Wattanapenpaiboon N. 2006. Lactagogue effects of
Torbangn, a Bataknese traditional cuisine. Asia Pac J Clin Nutr. 15 (2):267-
274.
Damayanti A, Setyawan E. 2012. Essential oil extraction of fennel seed
(foeniculum vulgare) using steam distillation. Int J Sci Eng. 3(2):12-14.
Devi K, Vanithakumari G, Anusya S, Mekala N, Malini N, Elango V. 1985. Effect
of foeniculum vulgare seed extract on mammary glands and oviducts of
ovariectomised rats. Ancient Sci Life. 2 (2): 129-132
56

Di Pierro F, Callegari A, Carotenuto D, Tapia MM.2008. Clinical efficacy, safety


and tolerability of BIO-C (micronized Silymarin) as a galactagogue. Acta
Biomed. 79(3):205-10.
Dimri G, Band H, Band V. 2005. Mammary epithelial cell transformation: insights
from cell culture and mouse models. Breast Cancer Res. 7:171-179.
Doi.10.1186/bcr1275
Douglas JW, Wardrop KJ. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology 6th ed. Wiley-
Blackwell. 852-887
Dua A, Garg G, Mahajan R.2013. Polyphenols, flavonoids and antimicrobial
properties of methanolic extract of fennel (Foeniculum vulgare Miller). Eur
J Exp Bio. 3(4):203-208
Fiori J, Hudaib M, Valgimigli L, Gabbanini S, Cavrini V. 2002. Determination of
trans-anethole in Salvia sclarea essential oil by liquid chromatography and
GC-MS. J Sep Sci.
Firdaus, Rimbawan, Marliyati SA, Roosita K. 2014. Peran nutrasetikal galohgor
dalam mempertahankan berat badan dan menurunkan glukosa darah pada
tikus diabetes yang diinduksi streptozotocin. Jurnal aplikasi teknologi pangan.
5 (3) : 83 – 88. 25 (1) : 703-709.
Freeman ME, Kanyicska B, Lerant A, Nagy G. 2000. Prolactin: structure, function,
and regulation of secretion. Physiol Rev. 80 (4) : 1524 – 1585.
Forinash AB, Yancey AM, Barnes KN, Myles TD. 2012. The Use of Galactogogues
in the Breastfeeding Mother. Ann Pharmacother.46 (10): 1392-1404. doi.
10.1345/aph.1R167
Gabay MP. 2002. Galactogogues: Medications That Induce Lactation. J Hum Lact.
18(3):274-279. doi.10.1177/089033440201800311
Ghassemi V, Kheirkhah M, Samani LN, Vahedi M. 2014. The Effect of Herbal Tea
Containing Fennel Seed on Breast Milk Sufficiency Signs and Growth
Parameters of Iranian Infants. Shiraz E-Med J. 15 (4): doi.
10.17795/semj22262.
Gueorguiev IP. 1999. Thyroxine and triiodothyronine concentrations during
lactation in dairy cows. Ann Zootech. 48:477-480.
Gupta M, Shawn B. 2011. Double-Blind Randomized Clinical Trial for Evaluation
of Galactogogue Activity of Asparagus racemosus Willd. Iran J Pharm
Res.10 (1): 167-172
Hasanah M. 2004. Perkembangan teknologi budidaya adas (Foeniculum vulgare
Mill). J Lit Pert. 23 (4) : 139-144.
Hendrich HJ. 2000. History, strains and models : The laboratory rat. 3-16.
Doi.10.1015/b978-012426400-7.50040-6.
Hennighausen L, Robinson GW. 2005. Information networks in the Mammary
gland. Mol Cell Biol. 6 : 715-725. doi:10.1038/nrm1714
Hassiotou F, Geddes D. 2013. Anatomy of the human mammary gland: Current
status of knowledge Clin Anat. 26(1):29-48. doi: 10.1002/ca.22165.
Honarvar F, Tadayon M, Afshari P. 2013. The effect of foeniculum vulgare on
serum prolactin level. IJOGI. 16(65:18-24
Hosseinzadeh H, Tafaghodi M, Mosavi MJ, Taghiabadi E. 2013a.
Effect of aqueous and ethanolic extracts of Nigella sativa seeds on milk prod
uction in rats. J Acupunct Meridian Stud. 6(1):18-23.
doi: 10.1016/j.jams.2012.07.019
57

Hosseinzadeh H, Tafaghodi M, Abedzadeh S, Taghiabadi E. 2013b.


Effect of aqueous and ethanolic extracts of Pimpinella anisum L. seeds on m
ilk productionin rats. J Acupunct Meridian Stud. 7(4):211-6.
doi: 10.1016/j.jams.2013.10.004
Iwansyah AC, Damanik RM, Kustiyah L, Hanafi M. 2017. Potensi fraksi etil asetat
daun torbangun (Coleus ambilicus L.) dalam meningkatkan produksi susu,
bobot badan induk, dan anak tikus. JGP. 12 (1): 61-68.
doi.10.25182/jgp.2017.12.1.61-68.
Iwansyah AC, Damanik RM, Kustiyah L, Hanafi M. 2019. The Ethyl Acetate
Fraction of Torbangun (Coleus amboinicus L.) Leaves Increasing Milk
Production With Up-Regulated Genes Expression of Prolactin Receptor. J
Tropical Life Sci. 9 (2) : 147-154. Doi:10.11594/jtls.09.02.03
Jager R1, Pappas L, Schorle H. 2008. Lactogenic differentiation of HC11 cells is
not accompanied by downregulation of AP-2 transcription factor genes. BMC
Res Notes. 23:1-29. doi: 10.1186/1756-0500-1-29
Javan R, Javadi B, Feyzabadi Z. 2017. Breastfeeding: a review of its physiology
and galactogogue plants in view of traditional persian medicine. Breastfeed
Med. 12(7):401-409. D oi: 10.1089/bfm.2017.0038.
Jurk K, Kehrel BE. 2005. Platelets : Physiology and biochemsitry. seminars in
thrombosis and hemostasis. 31(4) : 381-391.
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas).
Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI
_______________________________. 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas).
Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI
_______________________________. 2018. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas).
Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI
Khan M, Musharaf S. 2014. Foeniculum vulgare Mill. A Medicinal Herb. J Med
Plant Res. 4 (6): 46-54. doi: 10.5376/mpr.2014.04.000
Koko BK, Konan AB, Kouacou FKA, Djetounan JMK, Amonkan AK. 2019.
Galactagogue Effect of Euphorbia hirta (EuphorbiaceEA) Aqueous Leaf
Extract on Milk Production in Female Wistar Rats. J Biosc Med. 7 : 51-65.
Doi. 10.4236/jbm.2019.79006 S
Kominiarek MA, Rajan P. 2016. Nutrition recommendations in pregnancy and
lactation. Med Clin North Am. 100 (6) : 1199-1215. Doi.1199–1215.
doi:10.1016/j.mcna.2016.06.004.
Kooti W, Morandi M, Ali-Akbari S, Sharafi-Ahzazi N, Asasi-Samani M, Ashtary-
Larky D. 2015. Therapeutic and pharmacological potential of Foeniculum
vulgare Mill: a review. J HerbMed Pharmacol. 4(1): 1-9.
Kusuma IC, Setiani O, Umaroh, Pramono N, Widyawati MN, Kumorowulan. 2017.
Sweet potato (ipomoea batatas l.) Leaf: its effect on prolactin and production
of breast milk in postpartum mothers. Belitung Nurs J. 3 (2) : 95-201.
Lanigan J, Singhal A. 2010. Early nutrition and long term health : a practice
approach. Proc Nutr Soc. 68: 422–429. doi:10.1017/S002966510999019X
Leal PF, Almeida TS, Prado GHC, Prado JM, Meireles MAA. 2011. Extraction
Kinetics and Anethole Content of Fennel (Foeniculum vulgare) and Anise
Seed (Pimpinella anisum) Extracts Obtained by Soxhlet, Ultrasound,
Percolation, Centrifugation, and Steam Distillation. Sep Sci Technol. 46:
1848–1856. Doi. 10.1080/01496395.2011.572575
58

Lin M, Wang N, Yao B, Zhong Y, Lin Y, You T. 2017. Quercetin improves


postpartum hypogalactia in milk‐deficient mice via stimulating prolactin
production in pituitary gland. Phytother Res. 32 (8):1511-1520.
doi.10.1002/ptr.6079
Mahmood A, Omar MN, Ngah N. 2012. Galactagogue effects of Musa x paradisiaca
flower extract on lactating rats. Asian Pac J Trop Med. 5 (11) 882-886. Doi
10.1016/S1995-7645(12)60164-3.
Mansouri E, Kooti W, Bazvand M, Ghasemi B M, Amirzargar A, Afrisham
R, Afzalzadeh MR, Ashtary-Larky D, Jalali N. 2015. The Effect of Hydro-
Alcoholic Extract of Foeniculum vulgare Mill on Leukocytes and
Hematological Tests in Male Rats. J Nat Pharm Prod. 10(1) :18396
Marasco L. 2006. The impact of thyroid dysfunction on lactation. Breasfeeding. 25
(2): 9-12.
Marinov V, Valcheva-Kuzmanova S. 2015. Review on the pharmacological
activities of anethole. Scr Sci Pharm. 2 (2): 14-19. Doi.
10.14748/ssp.v2i2.1141
Mathews AT, Rico JE, Sprenkle NT, Lock AL, McFadden JW. 2016. Increasing
palmitic acid intake enhances milk production and prevents glucose-
stimulated fatty acid disappearance without modifying systemic glucose
tolerance in mid-lactation dairy cows. JDairy Sci. 99:8802–8816Doi.
10.3168/jds.2016-11295
McManaman JL, Neville MC. 2003. Mammary physiology and milk secretion. Adv
Drug Deliv Rev. 55 (5) :629–641. doi.10.1016/S0169-409X(03)00033-4
Mohanty I, Senapati MR, Jena D, Behera PC. 2014. Ethnoveterinary importance of
herbal galactogogues - a review. Vet World. 7(5): 325-330.
Doi.10.14202/vetworld.2014.
Moberg KU, Prime DK. 2013. Oxytocin effects in mothers and infants during
breastfeeding. Infant. 9 (6) : 201-206.
Mortel M, Mehta SD. 2013. Systematic review of the efficacy of herbal
galactogogues. J Hum Lact. 29(2): 154–162. doi.
10.1177/0890334413477243
Nair AB, Jacob S. 2016. A simple practice guide for dose conversion between animals
and human. Journal of Basic Clinical Pharmacology. 7(2):27-31.doi:
10.4103/0976-0105.177703.
Nagy M, Tofana M, Socagi SA, Pop AV, Bors MD, Farcas A, Moldvan O. 2014.
Total Phenolic, Flavonoids and Antioxidant Capacity of Some Medicinal and
Aromatic Plants. Food Sci Technol. 71 (2): 209-210. Doi.
10.15835/buasvmcn-fst:10639
Neville MC, Morton J, Umemura S. 2001. Lactogenesis : The transtition from
pregnancy to lactation. Pediatr Clin North Am. 48 (1) : 35 – 51. Doi.
10.1016/S0031-3955(05)70284-4
Neville MC1, McFadden TB, Forsyth I. 2002. Hormonal regulation of mammary
differentiation and milk secretion. J Mammary Gland Biol Neoplasia.
7(1):49-66
Nikolic LI, Vukovic NDS, Bugarinovic SM, Plecas DV. 2016. Platelet
(trombocytes)- the other recognized functions. Hospital pharmacology. 3 (3) :
447-453.
59

Nikinmaa M. 2011. Red Blood Cell Function. In: Farrell AP (ed.), Encyclopedia of
Fish Physiology: From Genome to Environment. San Diego (US): Academic
Press.
Nuratmi B, Sundari D, Astuti Y. 1998.Pengaruh buah adas (Foeniculum vulgare
Mill.) terhadap pertumbuhan janin tikus putih. Med litbang ed khusus. 3 (3):
29-31
Okasha MAM, Abu Bakar MS, Bako IG. 2008. Study of the effect of aqueous
Hibiscus Sabdariffa Linn seed extract on serum prolactin level. 22 (4): 575-
583.
Piantoni P, Lock AL, Allen M. 2013. Palmitic acid increased yields of milk and
milk fat and nutrient digestibility across production level of lactating cows. J.
Dairy Sci. 96 :1–12. Doi. 10.3168/jds.2013-6680
Pooja S, Vidyasagar. 2016. Phytochemical screening for secondary metabolites of
Opuntia dillenii Haw. J Med Plants Studies. 4(5): 39-43
Prabasiwi P, Fikawati S, Syafiq A. 2015. Exclusive breasfeeding and perception of
insufficient milk supply. J Kes Masy Nas. 9 (3) : 282-287.
Raguinidin PF, Dans LF, King JF. 2014. Moringa oleifera as a Galactagogue.
Breastfeeding med. 9( 6): 323-324. DOI: 10.1089/bfm.2014.0002
Renjie L, Zhenhong L, Shidi S. 2010. GC-MS analysis of fennel essential oil and
its effect on microbiology growth in rats’ intestine. Afr J Microbiol
Res. :1319–1323
Rifqiyati N, Wahyuni. 2019. Fennel (Foeniculum vulgare) leaf infusion effect on
mammary gland activity and kidney function of lactating rats. Nusantara
Bioscinece. 11 (1) : 101-105. Doi. 10.13057/nusbiosci/n110117
Rifqiyati N, Sulisiyawati, Sunaini. 2016. Pengaruh ekstrak etanol daun adas
(Foeniculum vulgare mill.) pada induk tikus (rattus norvegicus) masa laktasi
terhadap pertumbuhan anak. Integrates Lab Journal. 4 (2) : 199-205.
Roger K. 2011. Blood : physiology and circulation. New York (US) : Britannica
Educational Publishing.
Roosita K. 2003. Efek jamu galohgor pada involusi uterus dan produksi air susu
tikus putih (Rattus sp.) [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Roosita K. 2014. Peranan ß-karoten dan nutrasetikal galohgor dalam proliferasi,
diferensiasi, dan ekspresi gen sel epitel usus (CMT-93) dan sel kelenjar
mammae (HC11) [Disertasi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor
Ross JA, Kasum CM. 2002. DIETARY FLAVONOIDS: Bioavailability, Metabolic
Effects, and Safety. Nutrition. 22 (1): 19-34. Doi.
10.1146/annurev.nutr.22.111401.144
Sadeghpour N, Khaki NA, Najafpour A, Dolatkhak H, Montaseri A. 2015. Study
of Foeniculum vulgare (Fennel) Seed Extract Effects on Serum Level of
Estrogen, Progesterone and Prolactin in Mouse. Crescent J Med Biol Sci. 2
(1) : 23-27
Sari IP. 2003. Daya laktagogum jamu uyup-uyup dan ekstrak daun katu (Sauropus
androgynus merr.) Pada glandula ingluvica merpati. M Farmasi Ind. 14(1):
265-269. 2003
Saxena M, Saxena J, Nema R, Singh D, Gupta A. 2013. Phytochemistry of medical
plants. J Pharmacogn Phytochem. 1 (6): 168-182.
Sengupta P. 2013. The laboratory rat: Relating its age with human’s. Int J Prev Med
4 (6) :624-30.
60

Shah AH, Qureshi S, Ageel AM. 1991. Toxicity studies in mice of ethanol extracts
of Foenic&n vulgare fruit and Ruta chalepensis EArial parts. J
Ethnopharmacol. 34:167-I 12.
Shanti RV, Jumari, Izzati M.2014. Studi Etnobotani Pengobatan Tradisional untuk
Perawatan Wanita di Masyarakat Keraton Surakarta Hadiningrat.
Biosaintifika. 6 (2):85-93.1Doi.10.15294/biosaintifika.v6i2.3101
Simundic AM, Blaton V, Mozina B. 2009. New Trends In Classification, Diagnosis
And Management Of Thyroid Diseases. Zagreb (CRO) : Medicinska Naklada
Sirotkin AV, Harrath AH. 2014. Phytoestrogens and their effects. Eur J Pharmacol.
15;741:230-6. doi: 10.1016/j.ejphar.2014.07.057.
Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan
Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Press.
Suprayogi A, Kusumorini N, Arita SAD. 2015. Fraksi heksana daun katuk sebagai
obat untuk memperbaiki produksi susu, penampilan induk, dan anak tikus. J
Veteriner. 16 (1): 88-95.
Soka S, Alam H, Stefiani, Boenjamin N, Agustina TW, Suhartono MG. Effect of
Sauropus androgynus Leaf Extracts on the Expression of Prolactin and
Oxytocin Genes in Lactating BALB/C Mice. J Nutrigenet Nutrigenomics.
3:31–36. Doi.10.1159/000319710
Stuebe AM, Meltzer-Brody S, Pearson B, Pedersen C, Grewen K. 2015. Maternal
Neuroendocrine serum levels in exclusively breastfeeding mothers.
Breastfeeding med. 10 (4) : 197-202. Doi.10.1089/bfm.2014.0164.
Petrus AJA. 2013. Sauropus androgynus (L.) Merrill-A Potentially Nutritive
Functional Leafy-Vegetable. Asian J Chem 25 (17). 9425-9433.
Tabares FP, Jaramillo JVB, Ruiz-Cortes ZT. 2014. Pharmacological Overview of
Galactogogues. Vet Med Int. 2014:1-20. doi.10.1155/2014/602894
Tambunan YS. 2016. Uji toksisitas akut ekstrak etanol buah adas manis
(Foeniculum vulgare mill.) Pada mencit [Skripsi]. Sumatera Utara (ID) :
Universitas Sumatera Utara
Tucker HA. 2000. Hormonal regulation of milk synthesis. J Dairy Sci. 83:874–884
Turkyılmaz C, Onal E, Hirfanoglu IM, Turan O, Koç E, Ergenekon E, Atalay Y.
The effect of galactagogue herbal tea on breast milk production and short-
term catch-up of birth weight in the first week of life. J Altern Complement
Med. 17(2):139-42. doi: 10.1089/acm.2010.0090.
Twomey L, Wallace RG, Gummins PM, Degryse B, Sheridan S, Harrison M,
Moyna N, Meade-Murphy G, Navasiolava N, Custaud MA, et al. 2018.
Platelet: from formation to function [internet]. [diunduh 2019 Jan 17].
Tersedia pada: https://www.intechopen.com/books/homeostasis-an-
integrated-vision/platelets- from-formation-to-function
Usman H, Abdurahman FI, Usman A. Qualitative phytochemical screening and in
vitro antimicrobial effects of methanol stem bark extract of ficus thonningii
(moraceEA). Afr J Trad. 6 (3) :289 – 295.
Vinod KS, Raghuveer I, Alok S Himanshu G. 2010. Phytochemical investigation
and chromatographic evaluation of the ethanolic extract of whole plant extract
of Dendrophthoe falcata (L.F.). Ettingsh. Int J Pharm Sci Res. 1:39-45
61

Victoria CG, Adair L, Caroline F, Hallal PC, Martorell R, Richter L, Sachdev HS.
2008. Maternal and child undernutrition: a consequences for adult health and
human capital. Lancet. 371: 340–57. Doi.10.1016/S0140-6736(07)61692-4
Visvader JE, Stingl J. 2014. Mammary stem cells and the differentiation hierarchy:
current status and perspectives. Genes Dev. 28(11):1143-58. doi:
10.1101/gad.242511.114
Wahba HE, Ibrahim ME, Mohamed MA. 2018. Comparative Studies of the
Constituents of Fennel Essential Oils extracted from Leaves and Seeds with
Those Extracted from Waste Plants after Harvest. J Mater Environ Sci. 9 (7):
2174-2179
Westfall. 2003. Galactagogue herbs: a qualitative study and review. Canadian
Journal of Midwifery Research and Practice. 2 (2) : 1-6.
Whelan J, Fritsche K. 2013. Linoleic acid. Adv Nutr. 4 (3) : 311-312
WHO [World Health Organization]. 2009. Infant and Young Child Feeding.
Perancis (FR) : WHO Library Cataloguing-in-Publication Data.
______________________________. 2014. Global Nutrition Targets 2025:
Breastfeeding policy brief [internet]. [diunduh 2018 Nov 2]. Tersedia pada :
http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/149022/WHO_NMH_NHD
_14.7_eng.pdf?ua=1
Yabes-Almirante C, Lim CHTN. 1996. Effectiveness of natalac as galactogoue.
JPMA. 71 (3):265-272
Zakaria, Hadju V, As’as S, Bahar B. Pengaruh pemberian ekstrak daun kelor
terhadap kuantitas dan kualitas air susu ibu (asi) pada ibu menyusui bayi 0-6
bulan. J MKMI. 12 (3) : 161-169
Ziska SE, Bhattacharjee M, Herber RL, Qasba PK, Vonderhaar BK. 1988. Thyroid
hormone regulation of α-lactalbumin: differential glycosylation and
messenger ribonucleic acid synthesis in mouse mammary glands.
Endocrinology. 123 (5) : 2242 – 2248. Doi: 10.1210/endo-123-5-2242
Zuppa AA. Sindico P, Orchi C, Carducci C, Cardiello V, Romagnoli C. 2010.
Safety and efficacy of galactogogues: substances that induce, maintain and
increase breast milk production. J Pharm Pharm Sci.13(2):162-74
LAMPIRAN
63

Lampiran 1 Hasil identifikasi biji adas


64

Lampiran 2 Prosedur analisis prolaktin

Siapkan semua reagen, larutan standar, dan sampel di suhu


ruang

Masukkan strip ke dalam frame

Masukkan 50μl standar ke dalam sumusan microplate


standar, kemudian tambahkan 50μl streptavidin-HRP.
Campur larutan secra merata

Masukkan 40μl sampel ke dalam sumusan microplate


sampel, lalu kemudian tambahkan 10μl anti-PRL antibody,
dan 50μl streptavidin-HRP. Campur larutan secara merata

Tutup microplate dan inkubasi selama 60 menit pada suhu


37°C

Buka penutup microplate, lalu cuci dengan buffer sebanyak


5 kali. Rendam microplate dengan minimal 0.35 mL buffer
selama 30 detik - 1 menit untuk 1 kali cucian. Keringkan
microplate

Tambahkan 50μL Substrate Solution A ke setiap sumuran

Tambahkan 50μL Substrate Solution B ke setiap sumuran

Tutup microplate dan inkubasi selama 10 menit pada suhu


37 °C di ruang gelap

Tambahkan 50μL Stop Solution ke setiap sumuran. Terjadi


perubahan warna dari biru menjadi kuning

Baca microplate pada panjang gelombang 450 nm dalam


jangka waktu 10 menit setelah penamahan Stop Solution
65

Lampiran 3 Prosedur analisis T3

Siapkan semua reagen, larutan standar, dan sampel di suhu


ruang

Masukkan strip ke dalam frame

Masukkan 50μl standar ke dalam sumuran microplate


standar (jangan tambahkan antibodi)

Masukkan 40μl sampel ke dalam sumusan microplate


sampel, lalu kemudian tambahkan 10μl anti-TGF-B1
antibody, dan tambahkan 50μl streptavidin-HRP ke dalam
sampel dan standar. Campur larutan secara merata

Tutup microplate dan inkubasi selama 60 menit pada suhu


37°C

Buka penutup microplate, lalu cuci 5 kali dengan buffer.


Rendam microplate dengan minimal 0.35 mL buffer selama
30 detik sampai 1 menit untuk 1 kali cucian. Keringkan
microplate

Tambahkan 50μL Substrate Solution A ke setiap sumuran.


Inkubasi selama

Tambahkan 50μL Substrate Solution B ke setiap sumuran

Tutup microplate dan inkubasi selama 10 menit pada suhu


37 °C di ruang gelap

Tambahkan 50μL Stop Solution ke setiap sumuran. Terjadi


perubahan warna dari biru menjadi kuning

Baca microplate pada panjang gelombang 450 nm dalam


jangka waktu 10 menit setelah penamahan Stop Solution
66

Lampiran 4 Prosedur analisis T4

Siapkan semua reagen, larutan standar, dan sampel di suhu


ruang

Masukkan strip ke dalam frame

Masukkan 50μl standar ke dalam sumuran microplate


standar (jangan tambahkan antibodi)

Masukkan 40μl sampel ke dalam sumusan microplate


sampel, lalu kemudian tambahkan 10μl anti-T4 antibody,
dan tambahkan 50μl streptavidin-HRP ke dalam sampel dan
standar. Campur larutan secara merata

Tutup microplate dan inkubasi selama 60 menit pada suhu


37°C

Buka penutup microplate, lalu cuci 5 kali dengan buffer.


Rendam microplate dengan minimal 0.35 mL buffer selama
30 detik sampai 1 menit untuk 1 kali cucian. Keringkan
microplate

Tambahkan 50μL Substrate Solution A ke setiap sumuran.


Inkubasi selama

Tambahkan 50μL Substrate Solution B ke setiap sumuran

Tutup microplate dan inkubasi selama 10 menit pada suhu


37 °C di ruang gelap

Tambahkan 50μL Stop Solution ke setiap sumuran. Terjadi


perubahan warna dari biru menjadi kuning

Baca microplate pada panjang gelombang 450 nm dalam


jangka waktu 10 menit setelah penamahan Stop Solution
67

Lampiran 5 Persetujuan etik


68

Lampiran 6 Hasil kromatogram ekstrak biji adas dengan menggunakan GCMS

Komponen senyawa hasil pembacaan GC-MS

RT
Nama SI Area % Area
(menit)
Gliserin 6.51 96 942119 5.15
Sikloheksanamin 8.57 80 513425 2.81
4H-Piran-4-on 9.85 93 204351 1.12
1-Deoksi-d-arabitol 10.72 82 494200 2.70
Benzofuran 11.05 90 149004 0.81
2-Metoksi-4-vinilfenol 12.64 87 39878 0.22
Dietil ftalat 16.48 88 183476 1.00
Asam miristat 18.28 92 68362 0.37
Kafein 19.59 91 119683 0.65
9-Tetradekanal 20.30 84 90411 0.49
Asam palmitoleat 20.39 93 108408 0.59
Asam palmitat 20.48 94 3036482 16.59
Metil 9-cis,11-trans-oktadekadienoat 21.89 90 101017 0.55
Asam 9-Oktadekenoat, metil ester 21.94 90 224648 1.23
Asam linoleat 22.26 92 1904628 10.41
Asam oleat 22.32 92 9707512 53.04
Asam stearat 22.48 87 189108 1.03
Bis(2-etilheksil) ftalat 26.06 88 62765 0.34
E,E,Z-1,3,12-Nonadekatrien-5,14-diol 27.50 82 161297 0.88
Total 18300774 100.00
Keterangan : SI = similarity index,, RT : retention time.
69

Lampiran 7 Dokumentasi penelitian

Serbuk biji adas Proses pencampuran serbuk


dengan pelarut etanol (1:10 b/v)

Filtrat hasil ekstraksi maserasi Hasil ekstrak


berulang

Pemberian ekstrak dengan menggunakan


Kondisi anak tikus yang
sonde lambung pada induk tikus laktasi
dipisahkan dari induk tikus

Anak tikus sedang menyusu Tahap akhir (eutanasia) dan


pada induk tikus pengambilan darah
70

Lampiran 8 Hasil uji SPSS

Hasil uji berat awal

ANOVA
BB_induk_awal
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 743.125 3 247.708 .202 .894
Dalam Kelompok 24556.833 20 1227.842
Total 25299.958 23

ANOVA
BB_anak_awal
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 4.136 3 1.379 1.247 .319
Dalam Kelompok 22.108 20 1.105
Total 26.243 23

Hasil analisis hormon laktogenik

ANOVA
T3_minggu1
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 1.054 3 .351 1.344 .307
Dalam Kelompok 3.139 12 .262
Total 4.193 15

ANOVA
T3_minggu2
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok .263 3 .088 .295 .828
Dalam Kelompok 3.563 12 .297
Total 3.826 15

ANOVA
T3_minggu3
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok .581 3 .194 1.116 .381
Dalam Kelompok 2.081 12 .173
Total 2.662 15
71

ANOVA
T4_minggu1
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 366.637 3 122.212 1.588 .244
Dalam Kelompok 923.326 12 76.944
Total 1289.962 15

ANOVA
T4_minggu2
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 178.115 3 59.372 .784 .526
Dalam Kelompok 909.142 12 75.762
Total 1087.257 15

ANOVA
T4_minggu3
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 154.140 3 51.380 4.039 .034
Dalam Kelompok 152.647 12 12.721
Total 306.787 15

T4_minggu3
Duncan
Subset for alpha = 0.05
kode 1 2
1 32.8100
2 32.9925
4 37.4475 37.4475
3 40.1600
Sig. .105 .303

ANOVA
prolaktin_minggu1
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 17.482 3 5.827 .253 .858
Dalam Kelompok 276.767 12 23.064
Total 294.249 15

ANOVA
prolaktin_minggu2
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 18.046 3 6.015 .175 .911
Dalam Kelompok 413.091 12 34.424
Total 431.137 15
72

ANOVA
prolaktin_minggu3
Signifikans
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F i
Antar kelompok 125.426 3 41.809 1.039 .411
Dalam Kelompok 483.079 12 40.257
Total 608.504 15

Hasil uji gambaran darah induk

ANOVA
leukosit
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 15.188 3 5.063 .492 .692
Dalam Kelompok 205.752 20 10.288
Total 220.940 23

ANOVA
eritrosit
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 1.290 3 .430 .918 .450
Dalam Kelompok 9.368 20 .468
Total 10.658 23

ANOVA
hemoglobin
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 10.141 3 3.380 1.265 .313
Dalam Kelompok 53.445 20 2.672
Total 63.586 23

ANOVA
hematokrit
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 69.952 3 23.317 1.448 .259
Dalam Kelompok 322.007 20 16.100
Total 391.958 23
73

Hasil uji produksi susu

ANOVA
RataRata_ASI_15
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 3.532 3 1.177 3.162 .047
Dalam Kelompok 7.447 20 .372
Total 10.979 23

RataRata_ASI_15
Duncan
Subset untuk alfa = 0.05
Kode 1 2
1 1.6554
4 1.9503 1.9503
3 2.3376 2.3376
2 2.6687
Signifikansi .081 .067

ANOVA
RataRata_ASI21
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 2.848 3 .949 2.994 .055
Dalam Kelompok 6.343 20 .317
Total 9.191 23

Hasil uji pertumbuhan anak


ANOVA
perubahan_Berat_21_
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 46.087 3 15.362 .465 .710
Dalam Kelompok 661.243 20 33.062
Total 707.330 23

ANOVA
perubahan_Berat_15
Jumlah kuadrat df Rerata kuadrat F Signifikansi
Antar kelompok 30.794 3 10.265 .676 .577
Dalam Kelompok 303.749 20 15.187
Total 334.543 23
74

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 4 Juli 1994 dan merupakan putri
pertama dari Moch. Karnen (Alm.) dan Tiroh. Penulis menempuh pendidikan
sekolah dasar di SDN 1 Sukadana dari tahun 1999 sampai 2005, sekolah menengah
pertama di SMPN 1 Waled pada tahun 2005-2008, sekolah menengah atas di
SMAN 1 Babakan pada tahun 2008-2011. Penulis melanjutkan studi ke Institut
Pertanian Bogor pada tahun 2011 melalui jalur SNMPTN Undangan (Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri jalur undangan) di program studi Ilmu
Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). Selama
menjadi mahasiswa program sarjana, penulis menerima beasiswa BIDIKMISI.
Penulis meraih gelar sarjana pada tahun 2015 dengan judul skripsi Hubungan antara
Konsumsi Pangan dan Frekuensi ISPA dengan Status Gizi pada Balita Peserta
Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI).
Penulis pernah mengikuti program pertukaran pelajar di program studi
Nutrition and Dietetics, Chulalongkorn University Thailand, pada pada tahun 2016.
Penulis pernah bekerja di Puslitbang Gizi, Bogor, sebagai enumerator pada Studi
Kohort Tumbuh Kembang Anak dari tahun 2016 sampai 2017. Penulis kemudian
melanjutkan studi ke Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program
Studi Ilmu Gizi pada tahun 2017. Selama masa studi, penulis menerima beasiswa
dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) melalui jalur Afirmasi penerima
Bidikmisi.
Penulis aktif pada beberapa kegiatan akademik maupun non-akedemik
selama menjadi mahasiswa pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah
menjadi asisten praktikum mata kuliah Metode Penelitian Gizi pada tahun
2017/2018. Penulis aktif di ogranisasi mahasiswa pascasarjana Bogor Science Club
Institut Pertanian Bogor pada Tahun 2017/2018 sebagai anggota pada divisi
Reseach and Development. Penulis juga aktif di organisasi Pengurus LPDP IPB
sebagai sekretarus umum II pada periode 2018/2019. Penulis mendapatkan dana
penelitian tesis dari LPDP dengan judul tesis Efek Ekstrak Etanol Biji Adas pada
Tikus Laktasi terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Tikus.

Anda mungkin juga menyukai