SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN
FUNGSIONAL BERBASIS TEPUNG TORBANGUN PADA IBU
YANG MENDAPAT KONSELING MENYUSUI TERHADAP
PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DAN PERTUMBUHAN BAYI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Gizi Manusia
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof Dr Ir Made Astawan, MS
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul,
“Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan Fungsional Berbasis Tepung
Torbangun pada Ibu yang Mendapat Konseling Menyusui terhadap Pemberian
ASI Eksklusif dan Pertumbuhan Bayi”.
Penghargaan yang tidak ternilai dan terima kasih yang sangat tulus penulis
sampaikan kepada komisi pembimbing, Prof Dr Ir Hidayat Syarief, MS, Prof drh
M.Rizal M.Damanik, MRepSc PhD, dan Dr Ir Sri Anna Marliyati, MS atas
bimbingan, arahan, bantuan dan motivasi yang diberikan kepada penulis dalam
menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof Dr
Ir Hardinsyah dan Prof Dr Ir Sugiyono, MAppSc sebagai penguji pada prelim
lisan, Prof Dr Ir Aida Vitayala S.Hubeis, MSc dan Dr Ir Budi Setiawan, MS
sebagai pembahas pada kolokium, Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS sebagai penguji
luar komisi pada ujian tertutup, Prof Dr Ir Made Astawan, MS sebagai penguji
luar komisi pada ujian tertutup dan pada sidang promosi, Dr dr Trihono, MSc
sebagai penguji pada sidang promosi, atas koreksi dan saran yang berharga dan
bermanfaat pada penulisan disertasi ini.
Terima kasih kepada Kepala Badan PPSDM Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI, Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan, Ketua Jurusan
Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan atas ijin dan kesempatan yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor di Sekolah
Pascasarjana IPB.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana
IPB, Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB, Ketua Departemen Gizi Masyarakat,
Ketua Program Studi Ilmu Gizi Manusia, Guru Besar dan Dosen pada Program
Studi Ilmu Gizi Manusia, atas dukungan, fasilitas, wawasan keilmuan dan proses
pembelajaran selama penulis menempuh pendidikan Program Doktor di Sekolah
Pascasarjana IPB. Terima kasih kepada Pengelola dan Staf serta seluruh Civitas
Akademika di lingkungan IPB yang telah banyak membantu dan memberikan
pelayanan yang baik selama penulis menjadi mahasiswa.
Terima kasih kepada Kementerian Pendidikan RI atas bantuan dana
penelitian melalui Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN)
Penelitian Strategis IPB, Pimpinan Yayasan Supersemar atas bantuan dana
disertasi dan kepada Pimpinan PT Kediri Matahari Corn Mills atas bantuan bahan
penelitian.
Terima kasih kepada Camat Kecamatan Rancabungur, Kepala Desa di desa
Bantar Jaya, desa Bantar Sari, desa Cimulang dan desa Pasir Gaok, Kepala
Puskesmas Bantar Jaya, dokter, para bidan di desa dan di Puskesmas, Tenaga
Pengelola Gizi, staf Puskesmas atas ijin, fasilitas dan kerja sama selama penelitian
berlangsung. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh responden atas
waktu dan partisipasi aktif selama penelitian berlangsung.
Terima kasih kepada Ibu Hj NA Sinaga yang telah memberikan fasilitas
lahan di desa Cijeruk untuk penanaman torbangun. Terima kasih kepada staf dan
teknisi di Laboratorium Pilot Plan SEAFAST Center IPB, laboratorium Departemen
Gizi IPB, laboratorium Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB dan laboratorium
Biotek BBPT Serpong.
Terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman seperjuangan pada
Program Doktor Mayor Ilmu Gizi Manusia, khususnya GMA 2010; bu Ainia, bu
Betty, pak Dadi, pak Muksin, pak Nur Rahman, pak Slamet; terima kasih atas
persahabatan, dukungan dan kebersamaan sejak awal perkuliahan hingga tahap
akhir dari penyelesaian pendidikan Program Doktor, sungguh menjadi suatu
kenangan yang tak terlupakan. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada GMA 2011, bu Trini, bu Yuni, bu Nurul dan secara khusus untuk
sahabatku bu Made Darawati. Rasa terima kasih atas kebersamaan dengan GMA
2009, bu Dewi, bu Iskari, bu Hidayah, bu Katrin, pak Ali, pak Arifasno dan pak
Mansur. Kepada senior bu Dr Tiurma Sinaga, terima kasih atas motivasi dan
kalimat “formula hitungan jam” yang selalu memberi semangat, “hayo semangat,
tinggal 3 jam lagi akan jadi doktor” .
Rasa hormat dan ungkapan terima kasih yang sangat khusus untuk orang
tuaku, Bapak M. Doloksaribu (Alm) dan Ibu T. Pangaribuan atas didikan, kasih
sayang, motivasi dan doa yang selalu dipanjatkan untuk keberhasilan penulis.
Terima kasih juga disampaikan kepada ito, kakak dan adikku serta keluarga besar
Oppu Hasahatan Doloksaribu untuk dukungan dan doanya. Terima kasih juga
kepada keluarga besar mertua, B.Simanjuntak (Alm.) dan M.Sitohang (Almh.)
atau Oppu Melda Simanjuntak.
Ungkapan terima kasih yang tak terhingga untuk suamiku M.Simanjuntak
dan ke-3 putri kami, Ester, Ecclesya dan Elishia atas ijin, doa, pengorbanan serta
pengertian terhadap kesibukan penulis selama menempuh pendidikan S3.
Terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang namanya tidak
disebutkan dalam tulisan ini akan tetapi telah mendukung dan membantu penulis,
baik secara langsung maupun tidak langsung sejak masa perkuliahan, penelitian
sampai tersusunnya disertasi ini.
Penulis menyadari disertasi ini masih belum sempurna. Namun demikian,
semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya bidang kajian tanaman torbangun maupun gizi manusia.
DAFTAR GAMBAR
Latar Belakang
cukup (Gatti 2008; Hurley 2008; Hauck 2011; Kent et al. 2012; Turkyilmaz et al.
2011; Veghari 2011). Faktor lainnya adalah pengetahuan ibu tentang manfaat
menyusui yang tidak memadai dan kurangnya dukungan keluarga. Studi oleh
Hidayat et al. (2010) di Jawa Barat menunjukkan bahwa 32.2% dari 609
responden mengaku telah diberi cairan pralaktal berupa susu formula oleh petugas
kesehatan di rumah bersalin karena ASI belum keluar.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan laju sekresi dan
produksi ASI adalah melalui penggunaan galaktagogum (galactagogue).
Galaktagogum atau laktagogum merupakan obat-obatan atau zat lain yang dapat
membantu inisiasi, mengatur atau meningkatkan laju produksi ASI (ABM 2011).
Sementara itu, untuk sejumlah perilaku yang tidak mendukung pemberian ASI
eksklusif dapat diperbaiki melalui konseling menyusui. Konseling menyusui yang
diberikan sejak kehamilan akan memungkinkan ibu dapat mengantisipasi dan
mengatasi berbagai masalah menyusui yang umum dihadapi ibu sehingga secara
fisik dan psikologis ibu akan siap untuk menyusui bayi yang akan dilahirkannya
secara eksklusif hingga usia 6 bulan (Depkes 2007; Kemenkes 2010a).
Tanaman torbangun atau bangun-bangun (Coleus amboinicus (Lour.)
merupakan tanaman pangan yang memiliki fungsi sebagai laktagogum. Tradisi
mengonsumsi daun torbangun oleh masyarakat suku Batak dari Sumatera Utara
telah berkembang dan dilaksanakan secara turun-temurun. Hingga sekarang tradisi
mengonsumsi daun torbangun oleh ibu pasca melahirkan masih tetap dilakukan
dengan tujuan agar ASI segera keluar dan juga untuk meningkatkan produksi ASI
atau sebagai laktagogum (Damanik et al. 2001, 2006; Damanik 2009).
Fungsi daun torbangun sebagai laktagogum telah dibuktikan oleh sejumlah
penelitian pada manusia dan hewan coba, diantaranya penelitian oleh Santosa
(2001), Damanik et al. (2006), Permana (2008), dan Rumetor (2008). Meskipun
demikian, pemanfaatannya hanya dikalangan masyarakat suku Batak dan bentuk
olahannya masih sangat terbatas yaitu sebagai sayur atau sop. Menurut Rice
(2011), tanaman torbangun sangat potensial untuk dikembangkan baik dari segi
fungsinya sebagai laktagogum maupun dari segi budidaya yang relatif mudah
dengan umur panen yang singkat.
Di sisi lain, ibu menyusui termasuk salah satu target pemberian makanan
tambahan karena membutuhkan zat-zat gizi yang lebih banyak dibandingkan
dengan ibu yang tidak menyusui pada golongan umur yang sama (IOM 1991;
LIPI 2004). Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) bagi bangsa Indonesia,
ibu yang sedang menyusui bayi umur hingga 6 bulan memerlukan tambahan
kecukupan energi sebesar 330 kkal dan tambahan kecukupan protein sebesar 20 g
(Menkes 2013). Tambahan tersebut penting untuk membantu penyembuhan
setelah melahirkan, meningkatkan status gizi dan kesehatan ibu serta mengisi
ulang cadangan zat gizi ibu (Gillespie 1999). Hasil survei konsumsi makanan
individu di Indonesia tahun 2014 menunjukkan bahwa ternyata banyak dari
kelompok umur ibu menyusui dengan konsumsi energi dan protein pada kategori
kurang yaitu sebanyak 50% dengan konsumsi energi <70% dari AKG dan
sebanyak 33.8% dengan konsumsi protein <80% AKG (Kemenkes 2015).
Mengingat bahwa ASI merupakan satu-satunya makanan yang paling ideal untuk
bayi sejak lahir hingga 6 bulan maka perlu diupayakan agar asupan zat gizi ibu
menyusui dapat mencapai AKG. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk hal
tersebut adalah melalui pemberian makanan tambahan.
3
Perumusan Masalah
Pemenuhan gizi yang optimal selama masa 1000 hari pertama kehidupan
sangat penting dan merupakan titik kritis yang menentukan pertumbuhan,
perkembangan, kesehatan dan kelangsungan hidup anak dimasa yang akan datang
(Bappenas 2012). Pemenuhan gizi yang paling sesuai untuk bayi sejak lahir
hingga umur 6 bulan atau selama 180 hari dari gerakan 1000 hari pertama
kehidupan adalah melalui praktek pemberian ASI eksklusif (WHO 2003, 2011).
Meskipun demikian, cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia berdasarkan
Riskesdas tahun 2013 hanya 30.2% (Kemenkes 2013).
Rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif umumnya terkait dengan
masalah ASI belum keluar di minggu pertama pasca melahirkan dan kurangnya
produksi ASI. Daun torbangun mengandung zat yang berfungsi sebagai
laktagogum. Fungsi daun torbangun sebagai laktagogum telah dibuktikan oleh
sejumlah penelitian pada manusia dan hewan coba, namun kajian pemanfaatan
dan pengembangannya menjadi suatu produk pangan fungsional dan sekaligus
sebagai suatu bentuk makanan tambahan bagi ibu menyusui belum dilakukan.
Lutter (1996) mengungkapkan bahwa menyusui merupakan suatu proses
fisiologis dan perilaku yang kompleks tetapi pengaruh aspek fisiologis menyusui
seringkali diuji tanpa memperhitungkan aspek perilaku atau interaksi kedua aspek
tersebut. Demikian juga dengan studi tentang fungsi torbangun sebagai
laktagogum yang telah dilakukan pada manusia, hingga saat ini belum mengikut
sertakan pendekatan dari aspek perilaku menyusui.
Menyusui merupakan sesuatu yang alami, namun menyusui juga merupakan
suatu perilaku yang perlu dipelajari. Oleh karena itu, ibu menyusui harus
mendapat akses dorongan dan bantuan ketrampilan praktis dari konselor terlatih,
mendapat dukungan dari keluarga dan masyarakat serta sistem pelayanan
kesehatan (WHO, 2003).
Berdasarkan uraian di atas, pada penelitian ini dilakukan kajian tentang
pengembangan makanan tambahan berbasis tepung torbangun yang memiliki
fungsi laktagogum untuk ibu menyusui dalam bentuk produk siap saji. Produk
tersebut diintervensikan dengan mengikutsertakan intervensi perilaku pemberian
ASI melalui konseling menyusui.
4
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
Manfaat Penelitian
Hampir 2/3 dari kematian balita berhubungan langsung atau tidak langsung
dengan masalah kurang gizi dan 2/3 dari kematian tersebut terkait dengan praktek
pemberian makanan yang kurang tepat. WHO dan UNICEF telah menetapkan
suatu strategi global tentang praktek pemberian makanan pada bayi dan anak.
Strategi tersebut merupakan acuan bagi semua negara di dunia dalam rangka
mencapai kesehatan dan tumbuh kembang anak yang optimal. Diuraikan bahwa
praktek pemberian makanan bayi dan anak balita yang baik dan benar adalah
melakukan inisiasi menyusui dini, menyusui bayi secara eksklusif sejak lahir
hingga umur 6 bulan, setelah itu bayi mendapat makanan pendamping ASI dan
meneruskan pemberian ASI hingga umur 2 tahun atau lebih (WHO 2003).
Strategi global tersebut ditindak lanjuti oleh Pemerintah Indonesia melalui
Departemen Kesehatan dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Kesehatan
nomor: 450/MENKES/SK/IV/2004 tentang pemberian ASI secara eksklusif pada
bayi di Indonesia, yaitu sejak lahir sampai bayi berumur 6 bulan (Depkes 2007).
Kemudian, sejak bulan Maret tahun 2012 terbit Peraturan Pemerintah Nomor 33
tentang Pemberian ASI Eksklusif. Di dalam peraturan tersebut diuraikan bahwa
pengaturan pemberian ASI eksklusif bertujuan untuk: 1) menjamin pemenuhan
hak bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif sejak dilahirkan sampai dengan
berumur 6 bulan dengan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya;
2) memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI eksklusif kepada
bayinya; dan 3) meningkatkan peran dan dukungan keluarga, masyarakat,
Pemerintah Daerah, dan Pemerintah terhadap pemberian ASI eksklusif
(Kemenseg 2012).
ASI eksklusif memiliki banyak keunggulan dan manfaat baik dari aspek
gizi, aspek imunologik, aspek psikologi, aspek kecerdasan, ekonomis dan aspek
penundaan kehamilan. ASI merupakan satu-satunya makanan yang secara
kuantitas dan kualitas optimal untuk bayi sejak lahir hingga umur 6 bulan. ASI
juga meningkatkan kesehatan bayi, kecerdasan bayi dan meningkatkan jalinan
kasih sayang ibu dengan bayi (UNICEF 2011).
Pemberian ASI eksklusif hingga 6 bulan sangat menentukan status gizi,
morbiditas dan mortalitas bayi. Kajian Duijts (2009) terhadap 21 studi yang
terdiri dari 16 studi follow-up, 4 studi kasus kontrol dan 1 Randomized Control
Trial menunjukkan bahwa 4 dari 5 studi mengamati adanya efek penurunan
penyakit infeksi pada bayi yang diberi ASI. Sebanyak 6 dari 8 studi menunjukkan
bahwa ASI memiliki efek protektif terhadap infeksi saluran pencernaan,
sedangkan 13 dari 16 studi menyimpulkan bahwa ASI melindungi bayi dari
serangan infeksi saluran pernafasan. Sebanyak 5 studi yang menggabungkan
durasi dan eksklusifitas pemberian ASI mengamati adanya efek “protective
dose/duration-response” terhadap infeksi saluran pencernaan atau terhadap infeksi
saluran pernafasan.
Black (2008) mengungkapkan bahwa pemberian ASI yang kurang optimum
terutama tidak mendapat ASI eksklusif dalam 6 bulan pertama kehidupan dapat
7
Pemenuhan gizi yang paling sesuai untuk bayi sejak lahir hingga umur 6
bulan atau selama 180 hari dari gerakan 1000 hari pertama kehidupan adalah
melalui praktek pemberian ASI eksklusif (WHO 2003; 2011). Meskipun
demikian, cakupan pemberian ASI ekslusif masih rendah. Hanya 32.6% bayi
yang dilahirkan di seluruh dunia yang mendapat ASI secara eksklusif hingga 6
bulan (UNICEF 2011). Cakupan tersebut hampir sama dengan keadaan di
Indonesia, yaitu hanya 30.2% (Kemenkes 2013). Pada tahun 2025, WHO
menargetkan minimal 50% bayi di bawah usia 6 bulan mendapatkan ASI
eksklusif.
Berbagai faktor yang menyebabkan terhentinya pemberian ASI eksklusif
sebelum bayi berusia 6 bulan. Faktor yang terkait dengan ibu meliputi umur,
paritas, tingkat pendidikan, status pekerjaan, pengalaman menyusui, pengetahuan
dan sikap tentang ASI, rencana menyusui sebelum melahirkan, keadaaan payudara
dan kesehatan ibu. Faktor yang terkait dengan bayi diantaranya berat badan lahir,
perilaku isapan bayi dan kesehatan bayi. Faktor yang terkait dengan proses laktasi
meliputi inisiasi menyusui dini (IMD), frekuensi dan durasi menyusui serta
pemberian susu formula (Huang 2009).
Hurley et al. (2008) melaporkan bahwa di Amerika Serikat rata-rata durasi
ASI eksklusif adalah 2.1 bulan. Dilaporkan bahwa alasan yang paling umum
untuk berhenti menyusui adalah ASI tidak cukup, ketidaknyamanan atau nyeri
pada payudara, bayi menolak menyusu, ibu kembali bekerja dan adanya penyakit
pada ibu.
Al-Shabab et al. (2010) melaporkan bahwa faktor yang berhubungan negatif
dengan pemberian ASI eksklusif adalah merokok selama hamil, melahirkan
dengan operasi, dirawat di unit perawatan intensif dan status pekerjaaan ibu
sebelum 6 bulan usia bayi. Faktor yang ditemukan berhubungan dengan
peningkatan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan adalah tingkat pendidikan
yang lebih tinggi, tinggal dengan pasangan, sudah pernah menyusui sebelumnya,
indeks massa tubuh (IMT) sebelum hamil dan usia yang lebih tua.
Studi kohort prospektif terhadap 220 pasangan ibu dan bayi yang sehat sejak
lahir sampai 6 bulan di Brasil oleh Santo et al. (2007) menunjukkan bahwa rata-
rata durasi pemberian ASI eksklusif hanya 30 hari. Pada studi ini, hampir
setengah dari ibu mengalami puting lecet yang membuat mereka trauma dan
11.9% bayi telah menerima susu formula ketika masih di rumah sakit. Hasil
regresi Cox menunjukkan bahwa faktor yang terkait dengan penghentian
pemberian ASI eksklusif sebelum 6 bulan adalah ibu masih remaja, pemeriksaan
kehamilan kurang dari 6 kali, penggunaan empeng/dot pada bulan pertama dan
penempelan mulut bayi yang kurang baik pada payudara.
Rata-rata durasi pemberian ASI eksklusif di Xianjiang, China adalah 1.8
bulan. Faktor negatif yang terkait dengan durasi pemberian ASI eksklusif adalah
8
ibu yang akan bekerja setelah melahirkan dan penggunaan dot, sedangkan faktor
positif adalah rencana dan keputusan yang diambil ibu sebelum kelahiran akan
menyusui setelah melahirkan (Xu et al. 2007).
Rendahnya tingkat pemberian ASI ekslusif di Negeria dikaitkan dengan
praktek, ritual dan budaya yang tidak mendukung, pemeriksaan antenatal yang
jarang atau tidak sama sekali (Agho et al. 2011).
Menurut Kemenkes (2011), rendahnya pemberian ASI di Indonesia antara
lain disebabkan kurangnya pengetahuan tentang manfaat ASI, bayi tidak menyusu
segera setelah dilahirkan, ketersediaan konselor menyusui di tempat pelayanan
kesehatan masih sedikit, tempat untuk menyusui atau memerah ASI pada fasilitas
umum dan tempat kerja yang masih kurang serta gencarnya promosi susu formula.
ASI yang belum keluar dan isapan bayi yang belum optimal merupakan
masalah yang paling umum dijumpai pada hari pertama hingga minggu pertama
setelah kelahiran, disamping faktor lainnya seperti pengetahuan ibu tentang
manfaat menyusui yang tidak memadai, kurangnya dukungan dari suami dan
anggota keluarga lainnya (IOM 1991). Studi dengan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif oleh Haider et al. (2010) di Bangladesh menunjukkan bahwa sejumlah
alasan tidak memberikan ASI eksklusif hingga 6 bulan yang disampaikan ibu
maupun anggota keluarga lainnya (ayah dan nenek) adalah anggapan tentang
perlunya bayi minum air dan jus buah serta ASI yang tidak cukup. Bayi dianggap
perlu diberi minum agar hidup dan tidak haus. Bayi menangis dianggap sebagai
indikator ASI yang tidak cukup atau bayi tidak mau menyusu.
Keputusan ibu untuk memberikan ASI eksklusif juga dipengaruhi oleh saran
dan dukungan dari petugas kesehatan. Berdasarkan observasi lapang yang
dilakukan oleh Abba et al. (2010) menunjukkan bahwa praktek yang dilakukan
para petugas kesehatan di beberapa fasilitas pelayanan kesehatan umum termasuk
rumah sakit bersalin di Niger kurang atau tidak mendukung praktek ASI eksklusif.
Observasi yang dilakukan selama jam kerja yaitu dari pukul 8 pagi hingga pukul
14-15 setiap hari selama 82 hari juga memperlihatkan bahwa promosi ASI
eksklusif tampak tidak menjadi prioritas para petugas kesehatan. Para petugas
kesehatan tidak menjelaskan ASI eksklusif secara sistematis kepada ibu, atau
disampaikan tetapi hanya secara garis besar dan tanpa penjelasan. Buruknya lagi,
beberapa petugas kesehatan menganjurkan penggunaan substitusi ASI yang sering
kali dipromosikan di fasilitas kesehatan. Hal ini menyebabkan ibu seringkali
menerima saran yang saling bertentangan.
Li et al. (2008) melaporkan bahwa 3 alasan yang paling sering diberikan
ibu untuk berhenti menyusui antara bulan pertama dan bulan ke-2 adalah bayi
mengalami kesulitan dalam mengisap dan pelekatan tidak sesuai; ASI saja tidak
cukup lagi bagi bayi; dan ASI tidak cukup banyak.
Zuppa et al. (2010) menguraikan bahwa produksi ASI yang menurun dapat
terjadi dalam berbagai keadaan seperti lahir prematur, penyakit pada ibu atau bayi,
pemisahan bayi dengan ibu, relaktasi setelah penghentian yang lama, laktasi tidak
langsung (pengeluaran ASI secara manual atau dengan memompa ASI), gelisah,
lelah dan stres emosional. Produksi ASI dapat ditingkatkan dengan berbagai cara,
seperti dukungan psikologis dan teknik relaksasi (menggunakan buku atau
dukungan audio video), atau penggunaan laktagogum atau galaktagogum.
Program edukasi sebaiknya diberikan kepada ibu menyusui untuk mengatasi
berbagai masalah yang dihadapi ibu seperti peletakan payudara yang tidak tepat,
9
durasi menyusui yang tidak cukup dan pengosongan payudara yang tidak
memadai (Giugliani 2004).
Damanik Studi tentang efek suplementasi Pada 2 minggu terakhir suplementasi (hari
et al. 150 g daun torbangun dalam ke-14 hingga ke-28) menunjukkan
(2006) bentuk sup terhadap kuantitas dan peningkatan volume ASI kelompok
kualitas ASI. Suplementasi dari torbangun sebesar 65%, kelompok kapsul
hari Senin sampai Sabtu, selama Fenugreek meningkat sebesar 20% dan
30 hari. Subyek penelitian yaitu kelompok tablet Maloco+B12 meningkat
ibu setelah melahirkan sebesar 10%. Kadar lemak, protein, air, abu
dikelompokkan menjadi 3 yaitu dan laktosa ASI pada hari ke-8 setelah
kelompok Maloco+B12 (n=22), intervensi antara ke-3 kelompok perlakuan
kelompok Fenugreek (n=22) dan tidak menunjukkan perberbedaan yang
kelompok Torbangun (n=23). signifikan (p>0.05).
Studi efek ekstrak daun Coleus amboinicus Lour pada hewan coba tikus
putih Wistar melalui pemberian per oral setiap 2 hari sekali sejak 2 hingga 28 hari
setelah melahirkan menunjukkan adanya peningkatan total produksi air susu dan
pertumbuhan anak tikus secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol.
Peningkatan yang lebih tinggi adalah pada kelompok yang menerima dosis
ekstrak 80 g/kg BB dibandingkan dengan kelompok dosis lainnya (20, 40, 60
g/kg BB). Peningkatan produksi air susu diikuti juga oleh peningkatan aktivitas
sel epitel dan meningkatnya metabolisme kelenjar mammae yang terlihat dari
peningkatan kadar DNA dan RNA pada pertengahan laktasi (Silitonga 1993).
Efek laktogogum dari daun torbangun melalui kajian histopatologi dari
kelenjar mammae mencit (Mus musculus) sebagai hewan model dilakukan oleh
Permana (2008). Mencit bunting yang diberi pakan yang mengandung torbangun
5% dalam bentuk sediaan sup yang diberikan pada hari ke-14 kebuntingan hingga
7 hari pasca melahirkan menunjukkan bahwa daun torbangun memiliki efek
laktagogum yang tampak dari peningkatan jumlah alveoli kelenjar mammae yang
aktif setelah diberi sup dibandingkan kontrol.
Hasil penelitian Rumetor (2008) menunjukkan bahwa suplementasi daun
torbangun dalam ransum kambing peranakan Etawah sebanyak 9 g/kg bobot
badan dapat meningkatkan produksi susu sampai 90.14% per hari dan bobot
badan anak yang menyusu pada induk yang mendapat ransum suplementasi daun
torbangun meningkat 46.09%.
12
Permana Mencit (Mus musculus) bunting Daun torbangun memiliki efek laktagogum
(2008) diberi pakan yang mengandung yang tampak dari peningkatan jumlah
torbangun 5% dalam bentuk alveoli kelenjar mammae yang aktif setelah
sediaan sup yang diberikan pada diberi sup dibandingkan kontrol.
hari ke-14 kebuntingan hingga 7
hari pasca melahirkan.
Pasal 13 memuat bahwa informasi dan edukasi tentang ASI eksklusif kepada ibu
dan/atau anggota keluarga dari bayi diberikan sejak pemeriksaan kehamilan
sampai dengan periode pemberian ASI eksklusif selesai. Informasi dan edukasi
ASI eksklusif dapat dilakukan melalui penyuluhan, konseling dan pendampingan,
paling sedikit mengenai: 1) keuntungan dan keunggulan pemberian ASI; 2) gizi
ibu, persiapan dan mempertahankan menyusui; 3) akibat negatif dari pemberian
makanan botol secara parsial terhadap pemberian ASI; dan 4) kesulitan untuk
mengubah keputusan untuk tidak memberikan ASI (Kemensekneg 2012).
Haider et al. (2010) merekomendasikan perlunya teknik konseling
digunakan untuk mendukung pemberian ASI eksklusif. Hal ini didasarkan pada
hasil studi dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan di
Bangladesh yang menunjukkan bahwa ada sejumlah pengetahuan, kepercayaan
dan perilaku ibu dan anggota keluarga lainnya khususnya ayah dan nenek yang
tidak mendukung untuk mempraktekkan perilaku menyusui eksklusif. Selanjutnya
diungkapkan bahwa pengetahuan, kepercayaan dan perilaku tersebut dilakukan
karena kurangnya kesadaran tentang manfaat dan risiko jika tidak mempraktekkan
pemberian ASI seperti yang direkomendasikan.
Sebagian besar ibu dapat berhasil menyusui bayinya secara eksklusif jika
mereka memiliki dukungan dan petunjuk tentang praktek menyusui yang benar
dan didukung untuk melakukannya secara benar. Dukungan kepada ibu melalui
konseling dapat meningkatkan prevalensi ASI eksklusif. Di Uganda, intervensi
konseling sebaya (peer counseling) berhasil meningkatkan prevalensi ASI
eksklusif. Pada usia 12 minggu, prevalensi ASI eklusif pada kelompok intervensi
dan kontrol adalah 81.6% dan 43.9% (PR 1.89; 95%CI 1.70-2.11), pada usia 24
minggu yaitu 58.6% dan 15.5% (PR 3.83; 95%CI 2.97-4.95). Konseling
dilakukan dengan mengunjungi ibu sedikitnya 5 kali selama setengah tahun.
Kunjungan pertama dilakukan ketika usia kehamilan ibu 7 bulan. Sisa kunjungan
dijadwalkan pada minggu ke 1, 4, 7 dan 10 setelah melahirkan. Ibu yang
bermasalah dengan menyusui diberikan kunjungan ekstra. Kunjungan ekstra juga
diberikan jika seorang ibu memanggil konselor untuk bantuan tambahan diluar
jadwal atau jika konselor merasakan itu perlu. Konselor sebaya memilih waktu
yang paling sesuai sesuai bagi ibu untuk bertemu. Ibu pada kelompok kontrol
tidak diberikan konseling tetapi dianjurkan untuk datang secara teratur ke klinik
antenatal dan postnatal yang ada di fasilitas kesehatan (Chola et al. 2011).
Jakobsen et al. (2008) melakukan studi intervensi promosi ASI eksklusif
sesuai dengan rekomendasi WHO secara individual kepada ibu di Guinea-Bissau
Afrika Barat. Indikator proses dari studi ini adalah usia pemberian air minum dan
makanan pendamping ASI (MP-ASI) sebagai bagian dari penjelasan bahwa zat
gizi pada ASI adalah cukup hingga bayi berusia 6 bulan. Kelompok intervensi dan
kelompok kontrol masing-masing terdiri dari 857 dan 864 pasangan ibu dengan
bayinya. Hasil studi menunjukkan bahwa pemberian air minum dan MP-ASI
secara signifikan lebih lama pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok
kontrol dengan rasio Hazard pemberian MP-ASI sebesar 0.79 (HR 95%CI:0.70-
0.91).
Studi intervensi konseling gizi kepada ibu dari keluarga miskin di
Kecamatan Darmaga Kabupaten Bogor menunjukkan persentase pemberian ASI
eksklusif sampai 6 bulan yang lebih tinggi pada kelompok perlakuan
dibandingkan kelompok kontrol. Persentase pemberian ASI eksklusif pada
15
Pertumbuhan bayi
Pemberian
ASI eksklusif
Pengetahuan dan
perilaku tentang ASI Produksi ASI
eksklusif
Tahapan Penelitian
Penyediaan bahan baku untuk tahap ke-1 yaitu penanaman torbangun mulai
dilakukan pada Januari 2013. Penanaman torbangun dilakukan di daerah Cijeruk
Kota Bogor. Pembuatan tepung torbangun dilakukan di laboratorium Southeast
Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center IPB.
Analisis proksimat dilakukan di laboratorium Departemen Gizi Masyarakat IPB
dan laboratorium Jasa Analisis Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB,
analisis fitokimia (total flavonoid dan kaempferol) dari tepung torbangun
dilakukan di laboratorium Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB dan laboratorium
Biotek BBPT Serpong.
Tahap ke-2 yaitu pengembangan produk makanan tambahan berbasis tepung
torbangun dilakukan di laboratorium (SEAFAST) Center IPB dan laboratorium
Departemen Gizi Masyarakat IPB. Tahap ke-3 yaitu pemberian makanan
tambahan (PMT) fungsional berbasis tepung torbangun kepada ibu menyusui
yang mendapat konseling menyusui dilaksanakan di 4 desa wilayah kerja
Puskesmas Bantar Jaya, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, yaitu desa
Bantar Jaya, desa Bantar Sari, desa Cimulang dan desa Pasir Gaok.
analisis sifat fisik, dan analisis mikrobiologi. Pada tahap intervensi digunakan alat
bantu konseling menyusui yaitu alat peraga boneka, model payudara, video IMD
dan buku kecil berisi ringkasan materi konseling menyusui.
Tepung
torbangun:
3 jenis produk
siap saji
Analisis proksimat dan fitokimia
1 produk
terpilih
Produk sebagai
makanan tambahan
ibu menyusui
Penelitian Tahap 3
torbangun
Konseling Menyusui dan PMT kepada ibu menyusui
Lembaran-lembaran tipis
Produk
siap saji
Pertimbangan Etika
Persetujuan etik untuk pelaksanaan tahap ke-3 penelitian ini yaitu kajian
pengaruh pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun
kepada ibu menyusui yang mendapat konseling menyusui terhadap pertumbuhan
bayi dan pemberian ASI eksklusif diperoleh dari Komite Etik Penelitian
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Persetujuan etik diperoleh
dengan Nomor 565/H2.F1/ETIK/2013 tanggal 16 September 2013 (Lampiran 1).
4 KANDUNGAN GIZI, TOTAL FLAVONOID DAN SENYAWA
KAEMPFEROL PADA TEPUNG TORBANGUN
Pendahuluan
Salah satu strategi global untuk mencapai kesehatan dan tumbuh kembang
bayi yang optimal adalah melalui praktek pemberian ASI eksklusif selama 6
bulan sejak bayi lahir. Hingga saat ini, cakupan dan durasi pemberian ASI
eksklusif masih rendah di berbagai negara (WHO 2003, 2011). Berdasarkan
laporan Riskesdas 2013, cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia hanya
30.2 % (Kemenkes 2013).
Sekresi atau produksi ASI yang tidak mencukupi merupakan faktor yang
paling umum yang menyebabkan berhentinya praktek pemberian ASI eksklusif.
ABM (2011) menguraikan bahwa sekresi dan produksi ASI dapat ditingkatkan
melalui penggunaan laktagogum, baik dalam bentuk sediaan farmasi atau obat
maupun laktagogum dari tanaman atau herbal.
Torbangun atau bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour.) merupakan
bahan pangan yang memiliki fungsi laktagogum. Daun torbangun telah
dimanfaatkan oleh masyarakat suku Batak dari Sumatera Utara secara turun-
temurun sebagai laktagogum. Daun torbangun umumnya dikonsumsi sebagai
sayur oleh masyarakat dan secara khusus dikonsumsi oleh ibu segera setelah
melahirkan hingga 30-40 hari pasca melahirkan dengan tujuan untuk
memperlancar dan meningkatkan produksi ASI (Damanik et al. 2001, 2006;
Damanik 2009).
Tradisi mengkonsumsi daun torbangun sebagai laktagogum hingga sekarang
masih terbatas di kalangan suku Batak dengan bentuk olahan sebagai sayur atau
sop. Rice (2011) menguraikan bahwa disamping manfaat daun torbangun sebagai
laktagogum, tanaman torbangun memiliki keunggulan yaitu mudah tumbuh
dengan umur panen yang relatif singkat sehingga sangat potensial untuk
dikembangkan pemanfaatannya.
Pengolahan daun torbangun menjadi tepung torbangun merupakan salah
satu upaya untuk memperluas pemanfaatan torbangun dengan sasaran pengguna
tidak terbatas hanya suku Batak. Selain volume bahan menjadi lebih kecil atau
lebih ringkas dengan daya simpan yang lebih lama dibandingkan dengan
torbangun segar, tepung torbangun diharapkan sebagai bentuk bahan pangan
setengah jadi yang lebih fleksibel untuk pengembangan produk pangan yang lebih
beragam. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Neacsu (2015) bahwa
pengolahan bahan pangan dari tumbuhan khususnya kelompok sayuran menjadi
bentuk tepung akan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan untuk
pengembangan produk yang kaya akan komponen bermanfaat pada bahan pangan
tersebut.
Polya (2003) menguraikan bahwa manfaat fungsional dari berbagai macam
tanaman dikaitkan dengan kandungan komponen bioaktifnya. Sejumlah
penelitian pada manusia dan hewan coba telah membuktikan fungsi daun
torbangun sebagai laktagogum, akan tetapi komponen aktif dari daun torbangun
yang berfungsi sebagai laktagogum belum banyak diketahui (Santosa 2001;
23
Metode
Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian dimulai dengan penanaman torbangun, pembuatan
tepung torbangun dan analisis kimia tepung torbangun. Analisis kimia tepung
torbangun terdiri dari analisis proksimat, total flavonoid dan kaempferol.
Tepung
torbangun
disaring dan direfluks selama 6 jam pada suhu 90°C. Kemudian larutan disaring
dan dievaporasi dengan rotary evaporator pada suhu 45°C, 85 rpm dan vakum 75
mBar, sehingga dihasilkan ekstrak tepung torbangun.
Pembuatan larutan induk: ekstrak tepung torbangun ditambahkan dengan 1
ml larutan HMTL 0.5%, 20 ml aseton dan 2 ml larutan HCl 25%. Campuran
tersebut dihidrolisis dengan cara direfluks menggunakan pendidih tegak selama 30
menit lalu disaring menggunakan kertas saring. Filtrat yang diperoleh dimasukkan
ke dalam labu takar 100 ml dan ditera dengan aseton. Diambil sebanyak 20 ml
filtrat dan dimasukkan ke dalam corong pemisah lalu dikocok. Ditambahkan 20
ml aquades dan ditera sebanyak 2 kali masing-masing dengan 25 ml dan 20 ml etil
asetat. Fase etil asetat yang diperoleh ditampung dan ditambahkan etil asetat
hingga volume menjadi 50 mL.
Pembuatan larutan sampel: 10 mL larutan induk, ditambahkan 1 ml AlCl3
2%, kemudian ditera dengan asam glasial 5% dalam metanol hingga 25 ml.
Pembuatan blanko berasal dari campuran 1 ml AlCl3 yang ditambahkan dengan
asam glasial 5% dalam metanol hingga volume 25 ml.
Pengukuran total flavonoid dilakukan setelah penambahan AlCl3 2% selama
30 menit dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 425 nm. Total
flavonoid ekstrak tepung torbangun dinyatakan dalam ekivelen kuersetin
(Quercetin Equivalents=QE). Larutan standar yang digunakan adalah kuarsetin
dengan konsentrasi 0.5 ppm, 1 ppm, 10 ppm, 15 ppm.
Analisis Data
Data penelitian dianalisis secara deskriptif dan nilai pengukuran yang
diperoleh dinyatakan sebagai nilai rerata dan standar deviasi.
26
Fase pelarut
Kaempferol dan derivatifnya
heksan kloroform butanol air
Kaempferol + + + +
Kaempferol 3-O-glucoside (Astragalin) + + + +
Kaempferol 3-glucuronide + + + +
Kaempferitrin + + + +
Kaempferol 3-O-rutinoside + + + +
Simpulan
Pendahuluan
Ibu menyusui membutuhkan zat-zat gizi yang lebih banyak daripada ibu
yang tidak menyusui. Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) bagi bangsa
Indonesia, ibu yang sedang menyusui bayi pada 6 bulan pertama membutuhkan
tambahan energi sebesar 330 kkal dan protein 20 g dibandingkan dengan ibu
yang tidak menyusui, pada golongan umur yang sama (Menkes 2013). Tambahan
tersebut penting untuk membantu penyembuhan setelah melahirkan,
meningkatkan status gizi dan kesehatan ibu serta mengisi ulang cadangan zat gizi
ibu (Gillespie 1999).
Mudjajanto & Sukandar (2007) mengungkapkan bahwa konsumsi energi
dan protein ibu menyusui secara rerata hanya memenuhi 60% dan 87% dari AKG.
Hasil Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) di Indonesia tahun 2014
menunjukkan bahwa banyak dari kelompok umur ibu menyusui yaitu umur 19-55
tahun dengan konsumsi energi dan protein pada kategori kurang. Terdapat
sebanyak 50% dari kelompok umur tersebut dengan konsumsi energi <70% dari
AKG dan sebanyak 33.8% dengan konsumsi protein <80% AKG (Kemenkes
2015). Ibu menyusui dengan konsumsi energi, protein dan zat gizi lainnya pada
kategori kurang, berisiko mengalami deplesi. Mengingat bahwa ASI merupakan
satu-satunya makanan yang paling ideal untuk bayi sejak lahir hingga 6 bulan
maka perlu diupayakan agar asupan zat gizi ibu menyusui dapat mencapai AKG.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk hal tersebut adalah melalui
pemberian makanan tambahan.
Produk makanan tambahan untuk ibu menyusui berbasis bahan pangan
yang memiliki fungsi laktagogum sangat potensial sebagai pangan alternatif bagi
ibu menyusui untuk memperbaiki asupan energi, protein dan sekaligus juga untuk
meningkatkan sekresi dan produksi ASI karena fungsi laktagogum dari bahan
pangan yang digunakan.
Torbangun atau bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour.) merupakan
bahan pangan lokal dari Sumatera Utara yang memiliki fungsi laktagogum.
Fungsi daun torbangun sebagai laktagogum telah dibuktikan oleh sejumlah
penelitian pada manusia (Santosa 2001; Damanik et al. 2006; 2009). Daun
torbangun umumnya diolah menjadi sayur atau sop dan biasanya dikonsumsi
segera setelah ibu melahirkan selama ±30 hari dengan tujuan untuk memperlancar
dan meningkatkan produksi ASI (Damanik et al. 2004; 2006; 2009).
Hingga saat ini, belum ada produk makanan tambahan yang diformulasi
berbasis tepung torbangun untuk ibu yang sedang menyusui. Rice (2011)
mengungkapkan bahwa selain fungsi laktagogum, tanaman torbangun memiliki
keunggulan yaitu mudah tumbuh dengan umur panen yang relatif singkat,
sehingga ketersediaan bahan baku daun torbangun untuk pengembangan produk
relatif mudah untuk diupayakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengembangkan produk makanan tambahan fungsional berbasis tepung
torbangun dalam bentuk produk siap saji untuk ibu menyusui dan menganalisis
29
Metode
Tahapan Penelitian
Penelitian ini dimulai dengan analisis proksimat bahan dasar untuk
pembuatan produk. Tahap selanjutnya meliputi formulasi bahan dasar, pengolahan
menjadi produk, uji organoleptik produk, analisis zat gizi dan pengujian sifat fisik
serta mikrobiologi dari 1 produk terpilih berdasarkan hasil uji organoleptik.
Analisis Data
Data hasil uji organoleptik dianalisis secara deskriptif berdasarkan nilai
modus dan persentase penerimaan panelis terhadap produk. Untuk mengetahui
pengaruh perlakuan terhadap tingkat kesukaan panelis yang meliputi warna, rasa,
aroma, tekstur dan overall produk digunakan uji Kruskal Wallis.
Deskripsi warna dari produk yang dihasilkan adalah agak kehijauan dengan
aroma spesifik dari campuran aroma jagung dan torbangun. Tekstur di mulut
halus dengan perpaduan rasa manis dan rasa unik dari torbangun yaitu sedikit
agak pahit. Nilai modus dan persentase panelis menurut penilaian terhadap
warna, rasa, aroma, tekstur dan overall dari masing-masing produk disajikan pada
Tabel 11.
Nilai rerata kesukaan panelis terhadap produk F1, F2 dan F3 baik dari segi
warna, rasa, aroma, tekstur dan overall berada di atas kategori 2 dari 3 skala
penilaian (Tabel 12).
Kandungan energi produk F3 sebesar 376 kkal per 100 g. Kandungan energi
tersebut dihitung berdasarkan kandungan protein, lemak dan karbohidrat produk
F3 yaitu 4 kkal/g protein; 9 kkal/g lemak dan 4 kkal/g karbohidrat. Berdasarkan
AKG, ibu yang sedang menyusui bayi umur hingga 6 bulan memerlukan
tambahan kecukupan energi sebesar 330 kkal dan tambahan kecukupan protein
sebesar 20 g (Menkes 2013). Oleh karena itu, produk F3 dengan porsi sekali
penyajian 33 g dapat berkontribusi terhadap pemenuhan tambahan energi untuk
ibu yang sedang menyusui bayi umur hingga 6 bulan sebesar 38% dan
pemenuhan tambahan protein sebesar 20%.
34
Produk F3 memiliki indeks daya serap air sebesar 3.06 dengan daya larut
dalam air sebesar 76.96%. Komponen bahan pangan yang terutama berkontribusi
terhadap daya serap air adalah pati. Pada produk F3, tepung jagung merupakan
bahan pangan yang terutama berkontribusi terhadap daya serap air dibandingkan
bahan pangan lainnya karena kandungan pati pada jagung yang lebih tinggi
(Marleni 2008).
Pengujian mikrobiologi juga sangat penting pada produk pangan untuk
menjamin keamanannya (Setianingsih at al. 2010). Hasil analisis mikrobiologi
menunjukkan hasil yang negatif untuk bakteri E.coli, Salmonella dan S.aureus.
Nilai angka lempeng total yaitu <1.0 x 101 (koloni/g) masih dalam batas toleransi
yang diizinkan menurut SNI 01–4270–1996 untuk persyaratan serbuk instan yang
terbuat dari susu bubuk dan sereal dengan penambahan bahan makanan lain dan
atau tanpa bahan tambahan makanan yang diizinkan yaitu maks. 5 x 105 koloni/g
(BSN 1996).
Simpulan
Pendahuluan
dengan umur panen yang singkat (Rice 2011). Oleh karena itu, dikembangkan
produk makanan tambahan bagi ibu menyusui berbasis tepung torbangun dalam
bentuk produk siap saji. Jumlah tepung torbangun yang digunakan dalam
pengembangan produk tersebut setara dengan jumlah daun torbangun segar yang
umum dikonsumsi oleh ibu-ibu dari masyarakat suku Batak pasca melahirkan
(Damanik 2009). Produk tersebut diharapkan menjadi salah satu alternatif variasi
olahan torbangun, lebih tidak mudah rusak dan penggunaan yang lebih praktis
dibandingkan hasil olahan tradisional. Keistimewaan lainnya adalah konsumsi
produk tersebut diharapkan tidak hanya berkontribusi terhadap tambahan asupan
zat gizi yang dibutuhkan oleh ibu menyusui tetapi sekaligus juga dapat
mendukung praktek pemberian ASI eksklusif melalui fungsi laktagogum yang
dimilikinya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pemberian
produk makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun pada ibu
menyusui yang mendapat konseling menyusui terhadap pemberian ASI eksklusif
dan pertumbuhan bayi.
Metode
Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian dimulai dengan mengelompokkan secara random 20
orang subjek penelitian menjadi 2 kelompok yaitu 10 orang sebagai kelompok
intervensi dan 10 orang sebagai kelompok kontrol. Ibu hamil tersebut diikuti
hingga melahirkan.
Seluruh subjek penelitian diberikan konseling menyusui dengan frekuensi 2
kali sebelum melahirkan dan 3 kali selama pemberian makanan tambahan.
Konseling menyusui dilakukan melalui kunjungan rumah dengan durasi 45 menit
per 1 kali pertemuan oleh petugas yang telah mengikuti pelatihan konseling
menyusui metode WHO/UNICEF /Kemenkes 40 jam.
Tahap pemberian makanan tambahan pada subjek dilakukan selama 30 hari
dimulai pada hari ke-2 setelah melahirkan. Desain single blind randomized
controlled trial digunakan untuk menentukan jenis produk makanan tambahan
yang diberikan ke ibu yaitu kelompok intervensi (n=10) mendapat produk yang
mengandung tepung torbangun dan kelompok kontrol (n=10) mendapat produk
tanpa tepung torbangun.
Bahan Intervensi
Bahan intervensi meliputi materi konseling menyusui dan produk makanan
tambahan untuk ibu menyusui. Materi konseling menyusui bersumber dari modul
konseling menyusui metoda WHO/UNICEF/Kemenkes 40 jam (Depkes 2007),
meliputi rekomendasi pemberian ASI, mengapa menyusui penting, bahaya
makanan pralaktal dan susu formula, inisiasi menyusui dini, kolostrum, kaitan
menyusui dengan kesuburan, posisi dan pelekatan, cara mempertahankan
menyusui, ASI tidak cukup dan bayi menangis. Setiap subyek penelitian
mendapat 1 buku kecil yang berisi ringkasan materi konseling sebagai panduan
bagi ibu.
Produk makanan tambahan yang diberikan terdiri dari 2 jenis yaitu produk
makanan tambahan yang mengandung tepung torbangun (FT) dan produk
makanan tambahan tanpa tepung torbangun (F0). Ke-2 produk dibuat dengan
bahan dasar yang sama yaitu tepung jagung, isolat protein kedelai, susu skim
bubuk, gula (Lampiran 2). Komposisi bahan dari produk FT dan produk F0
disajikan pada Tabel 14.
Masing-masing subjek penelitian mendapat 3 kemasan produk makanan
tambahan per hari selama 30 hari sejak hari ke-2 setelah ibu melahirkan. Produk
dikemas dengan bentuk, ukuran dan bahan kemasan yang sama. Produk dikonsumsi
3 kali sehari pada selang waktu makan utama dan pada malam hari sebelum tidur.
Tiap kemasan berisi 33 g produk berupa serbuk siap saji. Produk didistribusikan
ke ibu 2 kali dalam seminggu. Penyajian produk dengan diseduh air matang yang
panas sebanyak 1 gelas (±200 ml) untuk setiap kemasan.
38
deviasi untuk data numerik dan persentase untuk data kategorik. Analisis
inferensial dilakukan dengan uji beda rerata setelah terlebih dahulu dilakukan uji
kenormalan data menggunakan uji Shapiro-Wilk.
Rerata skor pengetahuan antara kelompok intervensi dengan kelompok
kontrol, sebelum intervensi konseling dilakukan dengan uji t independen dan pada
akhir intervensi konseling menyusui dengan uji Mann-Whitney. Rerata skor sikap
antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol, sebelum maupun pada
akhir intervensi konseling masing-masing dilakukan dengan uji t independen.
Rerata skor pengetahuan dan sikap tentang ASI eksklusif antara sebelum dengan
sesudah intervensi konseling menyusui pada masing-masing kelompok perlakuan
dilakukan dengan uji Wilcoxon.
Rerata antropometri bayi antar kelompok perlakuan, saat lahir atau sebelum
PMT dan pada akhir PMT dilakukan dengan uji t independen untuk berat badan
dan panjang badan serta uji Mann-Whitney terhadap ukuran lingkar kepala dan
parameter rerata waktu untuk mencapai kembali berat badan bayi ≥BBL pada
akhir PMT ibu.
bayi segera diberikan ASI melalui proses inisiasi menyusui dini. Tanda yang lebih
obyektif bahwa bayi tidak mendapat ASI yang cukup adalah bayi kencing sedikit
dan pekat, sedangkan tanda mulut bayi melekat dengan baik ke payudara saat
menyusui adalah bibir bawah bayi berputar keluar.
Pada Tabel 17 terlihat bahwa pernyataan sikap dengan persentase jawaban
benar yang sangat rendah yaitu kurang dari 25% pada kelompok intervensi (FT)
maupun kelompok kontrol (F0) adalah pernyataan tentang bayi mulai menyusu
setelah dimandikan dan pernyataan tentang memberi ASI saja ke bayi sampai
umur 6 bulan kemungkinan ibu hamil pada masa tersebut lebih kecil.
Tabel 17 Persentase jawaban benar tentang sikap terhadap ASI eksklusif (%)
Kel. perlakuan (FT) Kel. kontrol (F0)
Topik pernyataan sikap
sebelum sesudah sebelum sesudah
1. Kebutuhan gizi bayi dari lahir sampai umur 100 100 100 100
6 bulan dapat dipenuhi hanya dari ASI saja
2. Setelah persalinan, bayi mulai menyusu 0 100 22 89
setelah dimandikan
3. Kolostrum tidak diberikan 50 90 100 100
4. Makanan tertentu (misalnya madu) 80 100 89 100
diberikan kepada bayi baru lahir
5. Bayi mulai diberi makan setelah umur 6 100 100 100 100
bulan
6. Pemberian ASI eksklusif sampai bayi umur 90 90 56 89
4 bulan
7. ASI diberikan ke anak sampai umur 2 tahun 90 100 100 100
atau lebih
8. Bayi 0-6 bulan sering menangis diberi susu 70 90 56 100
botol sebagai tambahan ASI
9. Bayi disusui sesuai jadwal yang dibuat ibu 70 90 78 89
10. Porsi makan ibu menyusui lebih sedikit 80 100 89 100
supaya tidak gemuk
11. Memberi ASI saja ke bayi sampai umur 6 10 80 11 78
bulan, kemungkinan ibu hamil pada masa
tersebut lebih kecil
12. Bayi yang diberi ASI eksklusif lebih kecil 50 90 89 89
kemungkinannya diare dibandingkan bayi
yang diberi susu botol
Skor pengetahuan dan sikap ibu tentang ASI eksklusif melalui intervensi
konseling menyusui disajikan pada Tabel 18. Sebelum intervensi konseling
menyusui, rerata skor pengetahuan dan skor sikap antara kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol tidak berbeda signifikan (p>0.05). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa konseling menyusui secara signifikan meningkatkan rerata
skor pengetahuan dan sikap responden tentang ASI eksklusif pada masing-masing
kelompok perlakuan. Pada kelompok intervensi, rerata skor pengetahuan dari
59.1±22.4 menjadi 94.1±6.9. rerata skor sikap dari 65.8±11.4 menjadi 94.1±8.8
(p<0.05). Pada kelompok kontrol, rerata skor pengetahuan dari 75.0±11.8 menjadi
94.4±7.2, rerata skor sikap dari 75.0±14.4 menjadi 94.4±11.0 (p<0.05). Pada akhir
intervensi konseling menyusui, rerata skor pengetahuan dan skor sikap antara
kelompok intervensi dengan kelompok kontrol adalah sebanding atau tidak
berbeda signifikan (p>0.05).
42
Tabel 19 Kontribusi energi dan protein terhadap tambahan AKG ibu menyusui
Jumlah Kontribusi terhadap
Tambahan (3xukuran saji =3x33 g) tambahan AKG (%)
Komponen
AKG*)
Produk FT Produk F0 Produk FT Produk F0
Energi (kkal) 330 372.2 365.3 113% 111%
Protein (g) 20 11.9 14.9 59% 74%
*) Tambahan zat gizi per hari untuk ibu menyusui bayi 0-6 bulan menurut AKG 2013
43
Karakteristik Bayi
Bayi yang dilahirkan subjek dari kelompok intervensi sebesar 70% berjenis
kelamin laki-laki dan bayi laki-laki yang dilahirkan subjek dari kelompok kontrol
sebesar 50%. Semua bayi lahir dengan penolong persalinan oleh tenaga bidan
namun masih ada 30% bayi dari kelompok intervensi dan 20% bayi dari
kelompok kontrol yang dilahirkan di tempat persalinan yang tidak ideal yaitu di
rumah dan di perjalanan. Kemenkes (2013) menguraikan bahwa proses kelahiran
bayi dihadapkan pada kondisi kritis sehingga sangat diharapkan dilakukan di
fasilitas kesehatan. Tempat yang ideal untuk melahirkan bayi adalah rumah sakit
atau minimal di fasilitas kesehatan lainnya agar bila sewaktu-waktu
membutuhkan penanganan medis darurat maka dapat segera ditangani atau bila
perlu rujukan dapat segera dilakukan.
Rerata berat bayi lahir pada kelompok intervensi adalah 3190 dan pada
kelompok kontrol sebesar 3355 g. Tidak ada bayi lahir pendek (<48 cm) pada
ke-2 kelompok. Rerata lingkar kepala bayi saat lahir pada ke-2 kelompok relatif
sama yaitu sekitar 33 cm. Hasil analisis dengan uji t independen terhadap rerata
ukuran berat badan lahir dan panjang badan lahir serta hasil analisis dengan uji
Mann-Whitney terhadap rerata ukuran lingkar kepala lahir menunjukkan bahwa,
antropometri bayi yang dilahirkan subjek kelompok intervensi dengan kelompok
kontrol tidak berbeda signifikan (p>0.05). Dengan kata lain, sebelum PMT kepada
ibu, ukuran antropometri bayi antara kelompok intervensi dengan kelompok
kontrol adalah sebanding (Tabel 20).
Tabel 20 Antropometri bayi saat lahir dan pada akhir PMT ibu
Kel.intervensi (n=10) Kel.kontrol (n=10)
Antropometri bayi Nilai p
Rerata±SD Rerata±SD
Berat badan (g)
Saat lahir 3190±369,5 3355±328,7 0,305
Akhir PMT ibu 4470±561,8 4450±392,3 0,927
Panjang badan (cm)
Saat lahir 49,6±1,2 49,3±1,4 0,613
Akhir PMT ibu 54,6±1,5 54,8±1,5 0,808
Lingkar kepala (cm)
Saat lahir 33,5±0,5 33,1±0,9 0,282
Akhir PMT ibu 36,5±1,9 34,8±1,0 0,044
44
Hasil uji statistik terhadap rerata antropometri bayi pada akhir PMT ibu
menunjukkan bahwa produk makanan tambahan yang mengandung tepung
torbangun (FT) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan bayi berdasarkan
parameter lingkar kepala bayi dan waktu yang dibutuhkan untuk peningkatan
kembali berat badan lahir (regain birth weight) (p<0.05).
Setelah bayi lahir, berat badannya akan turun selama beberapa hari, namun
kehilangan berat badan bayi yang berlebihan dan waktu yang lama untuk
mencapai kembali berat badan lahir dapat merupakan indikator kurangnya asupan
ASI (Crossland et al. 2008). Gambar 6 menunjukkan bahwa rerata waktu yang
diperlukan oleh bayi yang ibunya mengonsumsi produk yang mengandung tepung
torbangun (FT) untuk kembali mencapai berat badan ≥BBL lebih singkat yaitu
5.1±1.4 hari, dibandingkan dengan rerata waktu yang diperlukan bayi dari ibu
yang mengonsumsi produk tanpa tepung torbangun (F0) yakni 7.0±2.4 hari
(p<0.05).
3400
3350
3300
3250
3200
3150
3100
3050
3000
1 2 3 4 5 6 7
Intervensi Kontrol
Tabel 21 Frekuensi dan durasi bayi menyusu selama PMT ibu menyusui
Kel.Intervensi (n=10) Kel.Kontrol (n=10)
Parameter Nilai p
Rerata±SD Rerata±SD
Frekuensi per hari
Minggu ke-1 14.2 ±2.4 13.5±6.7 0.199
Minggu ke-2 14.9±3.2 16.5±9.4 0.880
Minggu ke-3 16.2±4.0 18.2±9.9 0.850
Minggu ke-4 16.2±3.4 18.5±9.6 1.000
Durasi per hari (menit)
Minggu ke-1 182.4 ±61.8 135.3 ±58.2 0.097
Minggu ke-2 174.2 ±75.9 166.3 ±68.3 0.809
Minggu ke-3 180.2 ±67.7 162.4 ±38.7 0.480
Minggu ke-4 168.9 ±62.2 160.5 ±43.4 0.730
Durasi per frekuensi (menit)
Minggu ke-1 13.0 ±4.3 10.4 ±2.4 0.112
Minggu ke-2 11.8 ±4.7 10.9 ±3.2 0.602
Minggu ke-3 11.1 ±3.6 9.9 ±2.5 0.387
Minggu ke-4 10.6 ±3.5 9.7 ±3.0 0.529
mendampingi ibu pada hari pertama kelahiran bayi. Alasan pemberiannya karena
ASI yang keluar masih sangat sedikit dan bayi sering menangis. Kondisi tersebut
dimaknai sebagai tanda bayi lapar. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh
Haider et al. (2010) bahwa faktor ASI belum keluar atau produksi ASI yang tidak
mencukupi merupakan faktor yang paling umum untuk memberikan substitusi
atau pengganti ASI sehingga pemberian ASI eksklusif menjadi gagal. Persentase
bayi yang gagal mendapat ASI eksklusif pada penelitian ini lebih rendah
dibandingkan dengan studi cross sectional oleh Utari et al. (2013) di 5 desa
wilayah kerja Puskesmas Dramaga Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor yaitu
Desa Ciherang, Sukawening, Dramaga, Sinarsari, dan Neglasari dimana 56.7%
ibu pospartum gagal memberikan ASI eksklusif karena memberikan makanan
pralaktal kepada bayinya.
Pada penelitian ini, persentase pemberian ASI eksklusif yang diuraikan di
atas dapat dipertahankan hingga bayi berumur 6 bulan melalui konseling
menyusui yang diberikan kepada ibu menyusui dengan frekuensi 1 kali per bulan.
Simpulan
Konseling menyusui meningkatkan rerata skor pengetahuan dan sikap ibu
tentang ASI eksklusif secara signifikan. Pemberian makanan tambahan yang
mengandung tepung torbangun kepada ibu menyusui berpengaruh signifikan
terhadap pertumbuhan bayi berdasarkan parameter waktu yang dibutuhkan untuk
peningkatan kembali berat badan lahir (regain birth weight) dan berdasarkan
lingkar kepala bayi. Rerata waktu yang diperlukan oleh bayi yang ibunya
mengonsumsi produk yang mengandung tepung torbangun untuk kembali
mencapai berat badan lahir lebih singkat 2 hari dibandingkan dengan rerata waktu
yang diperlukan bayi yang ibunya mengonsumsi produk tanpa tepung torbangun.
Keberhasilan praktek pemberian ASI eksklusif pada kelompok intervensi lebih
tinggi sebesar 10% dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Program PMT bagi ibu hamil yang telah dilakukan oleh pemerintah
diharapkan dapat dilanjutkan dan diterapkan pada ibu menyusui dengan
memformulasi bahan pangan yang mempunyai khasiat laktagogum seperti
torbangun dan mengaplikasikan intervensinya dengan pendekatan aspek perilaku
melalui konseling menyusui. Produk PMT ini juga dapat dijadikan sebagai
alternatif untuk makanan tambahan bagi ibu menyusui dalam kondisi darurat
seperti bencana alam atau untuk ibu menyusui yang bekerja di luar rumah.
7 PEMBAHASAN UMUM
Pemenuhan gizi yang optimal selama masa 1000 hari pertama kehidupan
sangat penting dan merupakan titik kritis yang menentukan pertumbuhan,
perkembangan, kesehatan dan kelangsungan hidup anak di masa yang akan
datang (Bappenas 2012). Kegagalan menanggulangi masalah gizi pada periode
1000 hari pertama kehidupan akan menyebabkan dampak permanen tidak hanya
pada pertumbuhan fisik, melainkan juga pada kognitif dan peningkatan risiko
penyakit tidak menular di masa dewasa seperti diabetes melitus, hipertensi dan
stroke.
Menurut WHO (2003; 2011), pemenuhan gizi yang paling sesuai untuk bayi
sejak lahir hingga umur 6 bulan atau selama 180 hari dari gerakan 1000 hari
pertama kehidupan adalah melalui praktek pemberian ASI eksklusif. Oleh karena
itu perlu dilakukan berbagai upaya untuk mensukseskan pemberian ASI eksklusif.
Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk mendukung pemberian ASI
eksklusif melalui pemberian makanan tambahan yang mengandung bahan pangan
yang memiliki fungsi laktagogum untuk ibu menyusui, yang diintegrasikan
dengan pendekatan perilaku melalui konseling menyusui.
Rangkaian penelitian yang telah dilakukan terbagi dalam 3 tahap. Pada
tahap pertama dilakukan pembuatan tepung torbangun. Tepung torbangun
merupakan bentuk bahan pangan setengah jadi agar lebih fleksibel untuk
pengembangan produk pangan yang lebih beragam dengan sasaran pengguna
tidak terbatas hanya suku Batak. Rendemen tepung torbangun yang dihasilkan
sebesar 8 %, artinya bahwa tiap 1 kg daun torbangun segar akan menjadi 80 g
tepung torbangun. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pengolahan menjadi tepung
torbangun membuat berat bahan menjadi sangat berkurang sehingga menghemat
ruang dan mempermudah untuk penyimpanan dan pengangkutan. Jumlah daun
torbangun segar yang umum dikonsumsi per hari oleh ibu dari masyarakat suku
Batak pasca melahirkan adalah 120-150 g (Damanik 2009). Berdasarkan nilai
rendemen tersebut, maka 120-150 g torbangun segar setara dengan 9.6-12 g
tepung torbangun.
Kadar air pada bahan pangan mempunyai peran penting terhadap
kerusakannya. Kadar air yang rendah memiliki daya simpan yang lebih lama
(Muchtadi 2013). Kadar air setelah menjadi tepung torbangun sekitar 9%, jauh
menjadi lebih kecil dibandingkan kadar air pada daun torbangun segar yaitu
92.5%. Dengan demikian maka tepung torbangun sebagai bentuk bahan pangan
setengah jadi tidak hanya menjadi lebih fleksibel untuk pengembangan produk
pangan yang lebih beragam tetapi dapat lebih lama disimpan dibandingkan
dengan torbangun segar.
Efek laktagogum dari torbangun berdasarkan studi pada hewan coba oleh
Silitonga (1993) dan Permana (2008) tampak dari peningkatan jumlah alveoli
kelenjar mammae yang aktif dan proliferasi sel sekresi mammae setelah
mengonsumsi sup torbangun. Sementara itu, Jayadepa (2011) dengan teknik in
silico mensimulasikan mekanisme domperidone yaitu sediaan farmasi yang
digunakan untuk meningkatkan produksi ASI dengan komponen aktif dari herbal
dan beberapa tanaman yang digunakan sebagai laktagogum. Selanjutnya diuraikan
48
bahwa kompoen aktif kaempferol pada herbal atau tanaman tersebut memiliki
mekanisme yang mirip dengan domperidone yaitu menghambat reseptor
dopamine pada kelenjar pituari anterior sehingga memicu pelepasan hormon
prolaktin.
Studi yang telah dilakukan tentang laktagogum dari torbangun belum
menyimpulkan komponen bioaktif yang berkontribusi terhadap fungsi laktagogum
torbangun. Polya (2003) menguraikan bahwa manfaat fungsional dari berbagai
macam tumbuhan khususnya kelompok sayuran dikaitkan dengan komponen
bioaktifnya. Pada penelitian ini, kaempferol sebagai senyawa flavonoid dipilih
sebagai parameter komponen aktif pada tepung torbangun. Total flavonoid pada
tepung torbangun yang dihasilkan adalah 1 mgQE/g dan kandungan kaempferol
sebesar 9.64 mg/100 g. Kaempferol derivatif juga terdapat pada tepung torbangun
yang dihasilkan.
Pada penelitian tahap ke-2 telah dilakukan pengembangan produk yang
ditujukan sebagai makanan tambahan bagi ibu menyusui untuk memperbaiki
asupan zat gizi ibu khususnya energi dan protein. Di samping itu, fungsi
laktatogum yang dimiliki tepung torbangun dapat meningkatkan laju sekresi dan
produksi ASI sehingga produk tersebut juga potensial untuk mendukung
pemberian ASI eksklusif karena salah satu faktor yang menjadi penghalang dalam
pemberian ASI eksklusif adalah sekresi dan produksi ASI yang tidak optimal
(Turkilkiyam 2011).
Produk makanan tambahan bagi ibu menyusui berbasis tepung torbangun
memiliki sifat sensori yang dapat diterima oleh panelis. Panelis pada tahap
pengembangan produk ini adalah ibu menyusui bukan dari suku Batak sehingga
produk ini memiliki peluang untuk diterima oleh masyarakat di luar suku Batak.
Tiap 100 g produk mengandung energi 376 kkal dan protein sebesar
12.15%. Ibu yang sedang menyusui bayi usia hingga 6 bulan memerlukan
tambahan angka kecukupan energi sebesar 330 kkal dan tambahan kecukupan
protein 20 gram (Kemenkes 2013). Bila makanan tambahan fungsional yang
dihasilkan ini diberikan sebagai makanan tambahan kepada ibu menyusui dengan
berat per saji 33 g, maka kontribusi produk per saji terhadap pemenuhan tambahan
energi untuk ibu yang sedang menyusui bayi umur hingga 6 bulan sebesar 38%
dan pemenuhan tambahan protein sebesar 20%.
Sifat fisik dari produk makanan tambahan fungsional yang dihasilkan adalah
memiliki indeks daya serap air 3.06 dan daya larut dalam air sebesar 76.96%.
Tepung jagung merupakan bahan pangan yang terutama berkontribusi terhadap
daya serap air dibandingkan bahan formula lainnnya. Kandungan pati tepung
jagung memiliki kemampuan daya serap air yang tinggi (Marleni 2008).
Hasil analisis mikrobiologi menunjukkan hasil yang negatif untuk bakteri
E.coli, Salmonella dan Staphylococus aureus. Nilai angka lempeng total yaitu
<1.0 x 101 (koloni/gram) masih dalam batas toleransi yang diijinkan menurut SNI
01-4270-1996 untuk persyaratan serbuk instan yang terbuat dari susu bubuk dan
sereal yang diijinkan yaitu maks. 5 x 105 koloni/gram (BSN 1996).
Pada penelitian tahap ke-3, telah dilakukan kajian pengaruh pemberian
makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun pada ibu yang mendapat
konseling menyusui terhadap pemberian ASI eksklusif dan pertumbuhan bayi.
Konseling menyusui merupakan salah satu bentuk bantuan, dorongan dan
dukungan yang ibu perlukan untuk lebih berhasil menyusui. Haider et al. (2010)
49
ASI adalah satu-satunya makanan yang mengandung semua zat gizi yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan bayi sejak lahir hingga umur 6 bulan. Penerima
manfaat langsung dari studi ini adalah ibu menyusui dan bayi. Implikasi penelitian
ini tidak hanya manfaat dari sisi gizi dan kesehatan untuk ibu menyusui dan bayi.
Penelitian ini juga memiliki implikasi terhadap perekonomian melalui
peningkatan nilai tambah dari pemanfaatan tanaman torbangun dan nilai ekonomis
dari keberhasilan pemberian ASI eksklusif.
Keberhasilan dari penelitian ini memiliki implikasi terhadap perlunya
kesinambungan kebijakan PMT bagi ibu hamil yang telah dilakukan oleh
pemerintah dilanjutkan dan diterapkan pada ibu menyusui dengan produk yang
mengandung bahan pangan yang mempunyai khasiat laktagogum seperti tepung
torbangun dan mengaplikasikan intervensinya dengan pendekatan aspek perilaku
melalui konseling menyusui.
Produk makanan tambahan yang dihasilkan dari penelitian ini juga dapat
dijadikan alternatif untuk makanan tambahan bagi ibu menyusui dalam kondisi
darurat seperti bencana alam. Bentuk produk siap saji yang dikembangkan pada
penelitian ini juga dapat menjadi suatu alternatif makanan tambahan untuk ibu
menyusui yang bekerja di luar rumah.
Implikasi terhadap penelitian lebih lanjut yaitu perlunya kajian mekanisme
laktagogum dari senyawa fitokimia dari tepung torbangun yang dihasilkan serta
studi lanjut tentang umur simpan produk.
52
Simpulan
1. Rendemen tepung torbangun pada penelitian ini sebesar 8 % dengan kadar air
sekitar 9 %, total flavonoid sebesar 1 mgQE/g dan kandungan kaempferol
sebesar 9.64 mg/100 g. Kaempferol derivatif juga terdapat pada tepung
torbangun yang dihasilkan.
2. Produk dengan taraf penambahan tepung torbangun 12% dan persentase
penerimaan panelis terhadap warna, rasa, aroma, tekstur, overall dari produk
semuanya diatas 95% dipilih sebagai produk makanan tambahan untuk ibu
menyusui. Tiap 100 gram produk tersebut mengandung energi sebesar 376
kkal dan protein sebesar 12.15 g dengan daya larut dalam air sebesar 75%.
Produk ini aman untuk dikonsumsi berdasarkan uji mikrobiologi.
3. Konseling menyusui meningkatkan secara signifikan rerata skor pengetahuan
dan sikap ibu tentang ASI eksklusif.
4. PMT yang mengandung tepung torbangun kepada ibu menyusui berpengaruh
signifikan terhadap lingkar kepala bayi dan peningkatan kembali berat badan
lahir yaitu lebih singkat 2 hari dibandingkan bayi yang ibunya mengonsumsi
produk tanpa tepung torbangun.
5. Keberhasilan praktek pemberian ASI eksklusif dengan pendekatan aspek
perilaku melalui konseling menyusui dan PMT yang mengandung tepung
torbangun lebih tinggi sebesar 10% dibandingkan dengan pendekatan melalui
konseling menyusui dan pemberian makanan tambahan tanpa tepung
torbangun.
Saran
Kebijakan PMT bagi ibu hamil yang telah dilakukan oleh pemerintah agar
dilanjutkan bagi ibu menyusui untuk mendukung pertumbuhan bayi serta
mengatasi stunting melalui pemberian ASI eksklusif. Produk makanan tambahan
yang disarankan adalah produk yang mengandung bahan pangan yang mempunyai
khasiat laktagogum seperti tepung torbangun, dan diaplikasikan dengan konseling
menyusui.
Subjek penelitian yang telah berhasil mempraktekkan pemberian ASI
eksklusif diharapkan dapat diberdayakan oleh petugas kesehatan sebagai agen
promosi ASI eksklusif. Ibu-ibu tersebut dapat dijadikan sebagai kader ASI
eksklusif di posyandu atau sebagai konselor sebaya (peer counselors).
Produk makanan tambahan yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai
alternatif untuk menambah asupan zat gizi ibu menyusui dan sekaligus juga
meningkatkan sekresi dan produksi ASI bagi ibu menyusui dalam kondisi darurat
seperti bencana alam atau untuk ibu menyusui yang bekerja di luar rumah.
Perlu kajian lebih lanjut tentang mekanisme laktagogum dari senyawa
fitokimia pada tepung torbangun yang dihasilkan dan studi tentang umur simpan
produk yang dihasilkan.
53
DAFTAR PUSTAKA
Abba AM, Koninck MD, Hamelin AM. 2010. A qualitative study of the
promotion of exclusive breastfeeding by health professionals in Niamey,
Niger. Int Breastfeeding J 5:8.
[ABM] Academy of Breastfeeding Medicine Protocol Committee. 2011. ABM
Clinical Protocol #9: Use of Galactogogues in Initiating or Augmenting the
Rate of Maternal Milk Secretion (First Revision). Breastfeeding Medicine
6(1). DOI: 10.1089/bfm.2011.9998.
Agho KE, Dibley M, Odiase JI, Ogbonmwan SM. 2011. Determinants of
exclusive breastfeeding in Nigeria. BMC Pregnancy and Childbirth 11: (2)
1-8.
Al-Sahab B, Lanes A, Feldman M, Tamim H. 2010. Prevalence and predictors of
6-month exclusive breastfeeding among Canadian women: a national
survey. BMC Pediatrics 2010, 10:20.
Anderson PO, Valdés V. 2007. A Critical Review of Pharmaceutical
Galactagogues. Breastfeeding Medicine Volume 2(4): 229-242.
[AOAC] Official Methods of Analysis. 2010. Microchemical Determination of
Nitrogen. AOAC 960.52-1961 (2010). Washington DC: Association of
Official Analytical Chemist.
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2012. Kerangkan
Kebijakan Gerakan Sadar Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama
Kehidupan (1000 HPK). Jakarta: Bappenas.
Black R, Allan LH, Bhutta ZA, Caulfield LE, de Onis M, Ezzati M, Mathers C,
Rivera J. 2008. The maternal and child undernutrition study group: maternal
and child undernutrition: global and regional exposures and health
consequences. Lancet, 371:243-260.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2004.
Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta:BPOM RI
[BSN] Badan Standardisasi Nasional 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman SNI
01-2891-1992. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
_____1996. Susu Sereal. SNI 01-4270-1996. Jakarta: Badan Standardisasi
Nasional.
_____ 2008. Metode Pengujian Cemaran Mikroba dalam Daging, Telur dan Susu
serta Hasil Olahannya. SNI 2897:2008. Jakarta: Badan Standardisasi
Nasional.
Chang CC, Yang MH, Wen HM, Chern JC. 2002. Estimation of total flavonoid
content in propolis by two complementary colorimetric methods. Journal of
Food and Drug Analysis. 10:178-182.
Charunuch C, Boonyasirikool P, Tiengpook C. 2003. Using of extrusion process
for preparation of instant cereal beverage powders based on corn and
soybean. Kasetsart J (Nat Sci) 37:72-83.
Chludi HD, Corbino GB, Leicarh SR. 2008. Soil quality effects on Chenopodium
album flavonoid content and antioxidant potential. Journal of Agricultural
and Food Chemistry. 56:5050-5056.
54
Hurley KM, Black MM, Papas MA, Quigg AM. 2008. Variation in breastfeeding
behaviours, perceptions, and experiences by race/ethnicity among a low-
income statewide sample of special supplementation nutrition program for
Women, Infants, and Children (WIC) participants in the United States.
Maternal and Child Nutrition 4:95-105.
[IOM] Institute of Medicine. 1991. Nutrition During Lactation. Washington, DC:
National Academy Press.
Jakobsen MS, Sodemann M, Biai S, Nielsen J, Aaby P. 2008. Promotion of
exclusive breastfeeding is not likely to be cost effective in West Africa. A
randomized intervention study from Guinea-Bissau. Acta Pediatrica.
97:68-75.
Jayadeepa RM. 2011. In Silico Techniques for the Identification of Novel Natural
Compounds for Secreting Human Breast Milk. Webmed Central
Bioinformatics 2011;2(8):WMC002120.
Jessica at el. 2011. Factors Associated With Exclusive Breastfeeding in the
United States. Pediatrics 128:1117–1125.
Jones G, Steketee RW, Black RE, Bhutta ZA, Morris SS, Bellagio CSS. 2003.
How Many Child Deaths Can We Prevent this Year? Lancet 2003; 362: 65–
71
Khattak MMAK, Taher M, Abdulrahman S, Bakar IA, Damanik R, Yahaya A.
2012. Evaluation of phytochemicals and antioxidant concentration in
Torbangun (Ati Ati) Coleus Amboinicus Lour used as breast-milk stimulant.
J Chemical Society of Pakistan, in press.
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan RI. 2010a. Rencana Aksi Pembinaan Gizi
Masyarakat 2010-2014. Jakarta: Kemenkes RI.
__________. 2010b. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Kemenkes RI.
__________. 2011. Sambutan Menteri Kesehatan pada acara temu nasional
konselor menyusui ke I sebagai rangkaian kegiatan Pekan ASI Sedunia
(PAS). Pusat Komunikasi Publik, Sekjen Kemenkes RI.
http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/163-konselor-me.....
__________. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Kemenkes RI.
__________. 2015. Studi diet total: potret pola makan penduduk indonesia saat
ini.” Internet:www.depkes.go.id/article/view/ 15041400003/studi-diet-total-
potret-pola-makan-penduduk-indonesia-saat-ini.html#sthash.mvWXdrEO.dpuf,
Mar. 25, 2015 [Apr. 30, 2015].
[Kemensekneg] Kementerian Sekretaris Negara RI. 2012. Peraturan pemerintah
Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu
Eksklusif.
Kent JC, Prime DK, Garbin CP. 2012. Principles for maintaining or increasing
breast milk production. JOGNN 41: 114-121
Lemeshow S, Hosmer JrDW, Klar J, Lwanga SK. 1990. Adequacy of Sample Size
in Health Studies. New York: John Wiley & Sons.
Li R, Fein SB, Chen J, Strawn LMG. 2008. Why Mothers Stop Breastfeeding:
Mothers' self-reported reasons for stopping during the first year. Pediatrics
122: S69-76
56
RIWAYAT HIDUP