Anda di halaman 1dari 79

PENGARUH PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN

FUNGSIONAL BERBASIS TEPUNG TORBANGUN PADA IBU


YANG MENDAPAT KONSELING MENYUSUI TERHADAP
PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DAN PERTUMBUHAN BAYI

TETTY HERTA DOLOKSARIBU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan Fungsional Berbasis Tepung


Torbangun pada Ibu yang Mendapat Konseling Menyusui terhadap Pemberian
ASI Eksklusif dan Pertumbuhan Bayi adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015

Tetty Herta Doloksaribu


NIM I162100031
RINGKASAN

TETTY HERTA DOLOKSARIBU. Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan


Fungsional Berbasis Tepung Torbangun pada Ibu yang Mendapat Konseling
Menyusui terhadap Pemberian ASI Eksklusif dan Pertumbuhan Bayi.
Dibimbing oleh HIDAYAT SYARIEF, M. RIZAL M. DAMANIK dan SRI
ANNA MARLIYATI.

Pemberian ASI eksklusif merupakan praktek pemenuhan gizi yang paling


ideal untuk bayi sejak lahir hingga umur 6 bulan, namun cakupan di Indonesia
berdasarkan Riskesdas tahun 2013 hanya 30.2%. Faktor ASI belum keluar atau
produksi ASI yang tidak cukup merupakan faktor penghambat yang paling umum
menyebabkan berhentinya praktek pemberian ASI eksklusif. Faktor lainnya
adalah pengetahuan ibu tentang manfaat menyusui yang tidak memadai dan
kurangnya dukungan keluarga. Di sisi lain, ibu menyusui membutuhkan zat-zat
gizi yang lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui pada
golongan umur yang sama. Namun, hasil survei konsumsi makanan individu di
Indonesia tahun 2014 menunjukkan bahwa sebanyak 50% dari kelompok umur
ibu menyusui dengan konsumsi energi <70% AKG dan sebanyak 33.8% dengan
konsumsi protein <80% AKG.
Hingga saat ini pengembangan produk makanan tambahan untuk ibu
menyusui berbasis bahan pangan lokal yang memiliki fungsi laktagogum atau
dapat meningkatkan sekresi dan produksi ASI belum dilakukan. Tanaman
torbangun atau bangun-bangun (Coleus amboinicus (Lour.) merupakan tanaman
pangan yang secara turun-temurun oleh masyarakat suku Batak dari Sumatera
Utara disajikan sebagai sayur atau sop untuk ibu pasca melahirkan dengan tujuan
untuk meningkatkan laju sekresi dan produksi ASI. Tujuan penelitian ini adalah
mengembangkan produk makanan tambahan fungsional untuk ibu menyusui
berbasis tepung torbangun dan mengkaji pengaruh pemberiannya pada ibu yang
mendapat konseling menyusui terhadap pemberian ASI eksklusif dan
pertumbuhan bayi.
Penelitian ini terdiri dari 3 tahap, yaitu: 1) pembuatan tepung torbangun;
2) pengembangan produk makanan tambahan fungsional untuk ibu menyusui
berbasis tepung torbangun; 3) pemberian makanan tambahan fungsional berbasis
tepung torbangun kepada ibu menyusui yang mendapat konseling menyusui
menggunakan produk yang dikembangkan pada tahap 2.
Pada tahap ke-1, dihasilkan tepung torbangun dengan rendemen sebesar
8.03±0.29%, kadar air 8.79±0.04%, total flavonoid sebesar 1.02±0.08 mgQE/g
dan kandungan kaempferol sebesar 9.64 mg/100g. Kaempferol derivatif juga
terdapat pada tepung torbangun yang dihasilkan.
Pada tahap ke-2, bahan pangan yang digunakan untuk pengembangan
produk adalah tepung torbangun, tepung jagung, isolat protein kedelai, susu skim
bubuk dan tepung gula. Formulasi bahan didasarkan pada angka tambahan
kalori dan protein per hari bagi ibu menyusui dan porsi per 1 kali penyajian
mendekati serbuk sereal komersial. Tepung daun torbangun yang digunakan
adalah 9.6 g (F1); 10.8 g (F2); dan 12 g (F3). Formula F1, F2 dan F3 masing-
masing diolah menjadi produk dalam bentuk serbuk siap saji. Uji organoleptik
produk dilakukan oleh 40 orang panelis konsumen yaitu ibu menyusui bayi umur
hingga 6 bulan. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa formulasi bahan yang
dilakukan pada pembuatan produk tidak menyebabkan perbedaan yang signifikan
terhadap rerata kesukaan panelis yang meliputi warna, aroma, rasa, tekstur dan
overall produk (p>0.05). Nilai rerata kesukaan panelis terhadap produk F1, F2 dan
F3 baik dari segi warna, rasa, aroma, tekstur dan overall produk berada di atas
kategori 2 dari 3 skala penilaian. Produk F3 dengan persentase penerimaan
panelis terhadap warna, rasa, aroma, tekstur dan overall, masing-masing diatas
95% dipilih untuk diintervensikan dan dianalisis lebih lanjut. Produk F3 per 100 g
mengandung energi sebesar 376 kkal dan protein sebesar 12.15 g, dengan indeks
daya serap air sebesar 3.06 dan daya larut dalam air sebesar 76.96%. Pengujian
mikrobiologi menunjukkan bahwa produk F3 negatif untuk bakteri E.coli,
Salmonella dan S.aureus, dengan nilai angka lempeng total masih dalam batas
toleransi menurut SNI 01–4270–1996.
Pada tahap ke-3, subyek penelitian adalah 20 orang ibu hamil pada trimester
ke-3 yang diikuti hingga melahirkan. Pemberian makanan tambahan dilakukan
selama 30 hari dimulai pada hari ke-2 setelah melahirkan. Subyek penelitian
dialokasikan secara random ke dalam 2 kelompok perlakuan, yaitu kelompok
intervensi (n=10) diberikan produk makanan tambahan yang mengandung tepung
torbangun (FT) dan kelompok kontrol (n=10) diberikan produk tanpa tepung
torbangun (F0). Seluruh subjek penelitian diberikan konseling menyusui dengan
frekuensi 2 kali sebelum melahirkan dan 3 kali selama pemberian makanan
tambahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konseling menyusui secara
signifikan meningkatkan skor pengetahuan dan sikap responden tentang ASI
eksklusif pada masing-masing kelompok perlakuan. Pada kelompok intervensi,
rerata skor pengetahuan dari 59.1±22.4 menjadi 94.1±6.9, rerata skor sikap dari
65.8±11.4 menjadi 94.1±8.8 (p<0.05). Pada kelompok kontrol, rerata skor
pengetahuan dari 75.0±11.8 menjadi 94.4±7.2, rerata skor sikap dari 75.0±14.4
menjadi 94.4±11.0 (p<0.05). Pemberian makanan tambahan fungsional berbasis
tepung torbangun berpengaruh signifikan terhadap waktu yang lebih singkat untuk
mencapai kembali berat badan lahir bayi, yaitu 5.1±1.4 hari untuk kelompok
intervensi sedangkan kelompok kontrol 7.0±2.4 hari (p<0.05). Selama waktu
pemberian makanan tambahan, keberhasilan praktek pemberian ASI eksklusif
pada kelompok intervensi adalah 90% sedangkan pada kelompok kontrol adalah
80%.

Kata kunci: ASI, bayi, ibu menyusui, konseling, torbangun


SUMMARY

TETTY HERTA DOLOKSARIBU. The effects of the torbangun flour-based


supplementary food feeding for mothers who received breastfeeding counselling
towards exclusive breasfeeding practice and infant’s growth. Supervised by
HIDAYAT SYARIEF, M. RIZAL M. DAMANIK and SRI ANNA MARLIYATI.

Exclusive breasfeeding practice is the most ideal practice to fulfill infant’s


nutrients from birth to the age of 6 month, however based on the data from
Riskesdas in 2013, Indonesia only covers 30.2% of the exclusive breastfeeding
practice. The reason of mothers do not produce breastmilk or do not have enough
breastmilk is the most common cause of exclusive breastfeeding cessation.
Another reason is that mothers do not have enough knowledge regarding the
benefits of breastfeeding and mothers have lack of family support to practice
breastfeeding. On the other hand, breastfeeding mothers need more nutrients
compare to non-breastfeeding mothers at the same age. However, the Indonesian
individual food consumption survey in 2014 showed that 50% of the age group of
breastfeeding mothers consume energy less than 70% RDA and as much as 33.8%
consume protein less than 80% RDA.
Until the present time, the development of supplementary food product for
breastfeeding mothers using a local food with lactogogum that can improve milk
secretion or production has not been done. Torbangun plant or Bangun-bangun
(Coleus amboinicus (Lour.) is a crops that has been served as vegetables for post-
partum mothers from generation to generation in Batak tribes in North Sumatera,
to improve breastmilk secretion or production. The aim of the study was to
develop a torbangun flour-based supplementary functional food product for
breastfeeding mothers and to assess the effect of product developed intervention
to breastfeeding mothers who received breastfeeding counselling towards
exclusive breastfeeding practice and infant’s growth.
The study was devided into 3 stages: 1) preparation of torbangun flour; 2)
the development of torbangun flour-based supplementary functional food product
for breastfeeding mothers; 3) the supplementary feeding to breastfeeding mothers
who received breastfeeding counselling using torbangun flour-based product
developed at the stage 2.
At the first stage, preparation of torbangun flour, was produced with a yield
of 8.03±0.29%, moisture of 8.79±0.04%, total flavonoids of 1.02±0.08 mgQE/g
and the content of kaempferol by 9.64 mg/100g. Kaempferol derivatives are also
contained in produced torbangun flour.
At the second stage, the ingredients used for product development were
torbangun flour, corn flour, isolated soy protein, skimmed milk powder and
powdered sugar. The formulations of ingredients for product development, was
based on the additional numbers of calories and protein per day needed by
breastfeeding mothers. The use of torbangun flour are 9.6 g (F1); 10.8 g (F2); and
12 g (F3). Formula F1, F2 and F3 respectively processed into products in powder
ready to serve form. The organoleptic tests of carried out by 40 panelists
comprising of mothers breastfeding mother with babies up to 6 months of age.
The organoleptic tests of carried out by 40 panelists comprising of mothers
breastfeding mother with babies up to 6 months of age. The panelists preference
by organoleptic test of F1, F2 and F3 products based on colour, taste, flavour,
texture and overall was not significantly different (p>0.05). Most panelist (>95%)
preferred and could accept the F3 product, which was added with 12 g torbangun
flour. Therefore, this product was choosen and analyze further. The F3 product
contained 376 kcal of energy in 100 g with water absorption index at 3.06 and
the water solubility of 76.96%. Microbiological analyzes test showed that F3
was negative for E.coli, Salmonella and S.aureus, while the value of total plate
count was still within tolerance.
At the third stage, the subjects were 20 pregnant women in their third
trimester and were monitored until delivery and were given supplementary food
for 30 days starting on the second day after delivery. Single blind andomized
controlled trial was used to group subjects into intervention group (n=10) that was
given supplementary food containing torbangun flour, and control group (n=10)
with no torbangun flour. All subjects were given breastfeeding counselling 2
times before delivery and 3 times during supplementary food was given. The
study showed that breastfeeding counseling significantly increased the knowledge
and attitude of respondents on exclusive breastfeeding. In the intervention group,
the average score of knowledge increased from 59.1±22.4 to 94.1±6.9 (p<0.05),
while the average score of attitude increased from 65.8±11.4 to 94.1±8.8 (p<0.05).
In control group, the average score of knowledge increased from 75.0±11.8 to
94.4±7.2 (p<0.05), while the average score of attitude increased from 75.0±14.4 to
94.4±11.0 (p<0.05). Supplementary food containing torbangun flour significantly
caused shorter time in regaining infant’s birth weight. The average time was
5.1±1.4 days for intervention group, while the control group was 7.0±2.4 days
(p<0.05). The success rate of exclusive breastfeeding practice in the intervention
group was 90%, while in the control group was 80%.

Keywords: breastmilk, breastfeeding mothers, counselling, torbangun


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN
FUNGSIONAL BERBASIS TEPUNG TORBANGUN PADA IBU
YANG MENDAPAT KONSELING MENYUSUI TERHADAP
PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DAN PERTUMBUHAN BAYI

TETTY HERTA DOLOKSARIBU

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Gizi Manusia

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof Dr Ir Made Astawan, MS

Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS

Penguji pada Sidang Promosi :Dr dr Trihono, MSc

Prof Dr Ir Made Astawan, MS


PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul,
“Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan Fungsional Berbasis Tepung
Torbangun pada Ibu yang Mendapat Konseling Menyusui terhadap Pemberian
ASI Eksklusif dan Pertumbuhan Bayi”.
Penghargaan yang tidak ternilai dan terima kasih yang sangat tulus penulis
sampaikan kepada komisi pembimbing, Prof Dr Ir Hidayat Syarief, MS, Prof drh
M.Rizal M.Damanik, MRepSc PhD, dan Dr Ir Sri Anna Marliyati, MS atas
bimbingan, arahan, bantuan dan motivasi yang diberikan kepada penulis dalam
menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof Dr
Ir Hardinsyah dan Prof Dr Ir Sugiyono, MAppSc sebagai penguji pada prelim
lisan, Prof Dr Ir Aida Vitayala S.Hubeis, MSc dan Dr Ir Budi Setiawan, MS
sebagai pembahas pada kolokium, Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS sebagai penguji
luar komisi pada ujian tertutup, Prof Dr Ir Made Astawan, MS sebagai penguji
luar komisi pada ujian tertutup dan pada sidang promosi, Dr dr Trihono, MSc
sebagai penguji pada sidang promosi, atas koreksi dan saran yang berharga dan
bermanfaat pada penulisan disertasi ini.
Terima kasih kepada Kepala Badan PPSDM Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI, Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan, Ketua Jurusan
Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan atas ijin dan kesempatan yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor di Sekolah
Pascasarjana IPB.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana
IPB, Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB, Ketua Departemen Gizi Masyarakat,
Ketua Program Studi Ilmu Gizi Manusia, Guru Besar dan Dosen pada Program
Studi Ilmu Gizi Manusia, atas dukungan, fasilitas, wawasan keilmuan dan proses
pembelajaran selama penulis menempuh pendidikan Program Doktor di Sekolah
Pascasarjana IPB. Terima kasih kepada Pengelola dan Staf serta seluruh Civitas
Akademika di lingkungan IPB yang telah banyak membantu dan memberikan
pelayanan yang baik selama penulis menjadi mahasiswa.
Terima kasih kepada Kementerian Pendidikan RI atas bantuan dana
penelitian melalui Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN)
Penelitian Strategis IPB, Pimpinan Yayasan Supersemar atas bantuan dana
disertasi dan kepada Pimpinan PT Kediri Matahari Corn Mills atas bantuan bahan
penelitian.
Terima kasih kepada Camat Kecamatan Rancabungur, Kepala Desa di desa
Bantar Jaya, desa Bantar Sari, desa Cimulang dan desa Pasir Gaok, Kepala
Puskesmas Bantar Jaya, dokter, para bidan di desa dan di Puskesmas, Tenaga
Pengelola Gizi, staf Puskesmas atas ijin, fasilitas dan kerja sama selama penelitian
berlangsung. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh responden atas
waktu dan partisipasi aktif selama penelitian berlangsung.
Terima kasih kepada Ibu Hj NA Sinaga yang telah memberikan fasilitas
lahan di desa Cijeruk untuk penanaman torbangun. Terima kasih kepada staf dan
teknisi di Laboratorium Pilot Plan SEAFAST Center IPB, laboratorium Departemen
Gizi IPB, laboratorium Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB dan laboratorium
Biotek BBPT Serpong.
Terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman seperjuangan pada
Program Doktor Mayor Ilmu Gizi Manusia, khususnya GMA 2010; bu Ainia, bu
Betty, pak Dadi, pak Muksin, pak Nur Rahman, pak Slamet; terima kasih atas
persahabatan, dukungan dan kebersamaan sejak awal perkuliahan hingga tahap
akhir dari penyelesaian pendidikan Program Doktor, sungguh menjadi suatu
kenangan yang tak terlupakan. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada GMA 2011, bu Trini, bu Yuni, bu Nurul dan secara khusus untuk
sahabatku bu Made Darawati. Rasa terima kasih atas kebersamaan dengan GMA
2009, bu Dewi, bu Iskari, bu Hidayah, bu Katrin, pak Ali, pak Arifasno dan pak
Mansur. Kepada senior bu Dr Tiurma Sinaga, terima kasih atas motivasi dan
kalimat “formula hitungan jam” yang selalu memberi semangat, “hayo semangat,
tinggal 3 jam lagi akan jadi doktor” .
Rasa hormat dan ungkapan terima kasih yang sangat khusus untuk orang
tuaku, Bapak M. Doloksaribu (Alm) dan Ibu T. Pangaribuan atas didikan, kasih
sayang, motivasi dan doa yang selalu dipanjatkan untuk keberhasilan penulis.
Terima kasih juga disampaikan kepada ito, kakak dan adikku serta keluarga besar
Oppu Hasahatan Doloksaribu untuk dukungan dan doanya. Terima kasih juga
kepada keluarga besar mertua, B.Simanjuntak (Alm.) dan M.Sitohang (Almh.)
atau Oppu Melda Simanjuntak.
Ungkapan terima kasih yang tak terhingga untuk suamiku M.Simanjuntak
dan ke-3 putri kami, Ester, Ecclesya dan Elishia atas ijin, doa, pengorbanan serta
pengertian terhadap kesibukan penulis selama menempuh pendidikan S3.
Terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang namanya tidak
disebutkan dalam tulisan ini akan tetapi telah mendukung dan membantu penulis,
baik secara langsung maupun tidak langsung sejak masa perkuliahan, penelitian
sampai tersusunnya disertasi ini.
Penulis menyadari disertasi ini masih belum sempurna. Namun demikian,
semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya bidang kajian tanaman torbangun maupun gizi manusia.

Bogor, Agustus 2015


Tetty Herta Doloksaribu
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv


DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xiv
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Hipotesis Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 5
2 TINJAUAN PUSTAKA 6
Manfaat Pemberian ASI Eksklusif 6
Keadaan dan Masalah Pemberian ASI Eksklusif 7
Daun Torbangun sebagai Laktagogum 9
Peran Konseling terhadap Pemberian ASI Eksklusif 13
Kerangka Pikir Penelitian 16
3 METODE 18
Tahapan Penelitian 18
Waktu dan Tempat Penelitian 18
Bahan dan Alat 18
Pengolahan dan Analisis Data 21
Pertimbangan Etika 21
4 KANDUNGAN GIZI, TOTAL FLAVONOID DAN SENYAWA
KAEMPFEROL PADA TEPUNG TORBANGUN 22
Pendahuluan 22
Metode 23
Hasil dan Pembahasan 26
Simpulan 27
5 PENGEMBANGAN PRODUK MAKANAN TAMBAHAN FUNGSIONAL
UNTUK IBU MENYUSUI BERBASIS TEPUNG TORBANGUN 28
Pendahuluan 28
Metode 29
Hasil dan Pembahasan 30
Simpulan 34
6 PENGARUH PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN BERBASIS
TEPUNG TORBANGUN DAN KONSELING MENYUSUI TERHADAP
PERTUMBUHAN BAYI DAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF 35
Pendahuluan 35
Metode 36
Hasil dan Pembahasan 39
Simpulan 46
7 PEMBAHASAN UMUM 47
Implikasi Hasil Penelitian 51
8 SIMPULAN DAN SARAN 52
Simpulan 52
Saran 52
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL

1 Komposisi zat gizi daun torbangun 9


2 Studi tentang torbangun sebagai laktagogum pada manusia 11
3 Studi tentang torbangun sebagai laktagogum pada hewan coba 12
4 Mekanisme laktagogum dari tumbuhan 13
5 Kandungan gizi tepung torbangun (% berat basah) 26
6 Berat molekul kaempferol dan beberapa turunanannya 27
7 Hasil analisis kualitatif kaempferol dan derivatifnya pada tepung
torbangun menurut fase pelarut 27
8 Kandungan gizi bahan untuk pengembangan protein (% berat basah) 31
9 Komposisi bahan menurut jenis formula (%) 31
10 Persentase penerimaan panelis terhadap produk (%) 32
11 Nilai modus dan persentase panelis menurut penilaian terhadap produk 32
12 Nilai rerata kesukaan panelis terhadap produk 32
13 Kandungan gizi, sifat fisik, mikrobiologi produk F3 33
14 Komposisi bahan dari produk makanan tambahan FT dan F0 (%) 38
15 Karakteristik subjek dan keluarga 39
16 Persentase jawaban benar tentang pengetahuan ASI eksklusif (%) 40
17 Persentase jawaban benar tentang sikap terhadap ASI eksklusif (%) 41
18 Perubahan skor pengetahuan dan sikap tentang ASI eksklusif 42
19 Kontribusi energi dan protein terhadap tambahan AKG ibu menyusui 42
20 Antropometri bayi saat lahir dan pada akhir PMT ibu 43
21 Frekuensi dan durasi bayi menyusu selama PMT ibu menyusui 45

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 17


2 Tahap pelaksanaan penelitian 19
3 Tahap pembuatan produk makanan tambahan ibu menyusui 20
4 Penempatan perlakuan (jenis PMT) pada subyek penelitian 21
5 Tahap pembuatan tepung torbangun 24
6 Rerata waktu untuk mencapai kembali berat badan ≥BBL 44
DAFTAR LAMPIRAN

1 Keterangan lolos kaji etik penelitian 58


2 Foto tanaman torbangun, tepung torbangun dan produk PMT 59
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif merupakan praktek


pemberian makanan yang paling ideal untuk bayi sejak lahir hingga usia 6 bulan.
Pemberian ASI eksklusif menjadi salah satu strategi global untuk meningkatkan
pertumbuhan, perkembangan, kesehatan dan kelangsungan hidup bayi (WHO
2003, 2011). Pentingnya pemberian ASI eksklusif hingga 6 bulan pertama
kehidupan bayi, sebagai penentu status gizi, morbiditas, dan mortalitas anak telah
diakui dan didokumentasikan dalam berbagai literatur (Duijts 2009). Pemberian
ASI eksklusif yang tidak optimal dapat mengakibatkan 10% beban penyakit pada
balita di negara berpenghasilan rendah dan menengah (Black et al. 2008).
Pemberian ASI eksklusif diperkirakan dapat mencegah 13% kematian balita per
tahun, utamanya akibat diare dan pneumonia (Jones et al. 2003).
ASI eksklusif memiliki banyak keunggulan dan manfaat baik dari aspek
gizi, aspek imunologis, aspek psikologis, aspek kecerdasan, aspek ekonomis, dan
aspek penundaan kehamilan, akan tetapi cakupannya di berbagai negara termasuk
Indonesia masih rendah. Menurut laporan UNICEF (2011), hanya 32.6% dari
136.7 juta bayi yang dilahirkan di seluruh dunia yang mendapat ASI secara
eksklusif hingga 6 bulan. Survei nasional kesehatan anak-anak pada tahun 2007 di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa dari 75% anak-anak yang pernah diberi
ASI, hanya 16.8% yang mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan (Jessica et al.
2011). Al-Shabab et al. (2010) mengungkapkan bahwa di Kanada dari 90.3% bayi
yang pernah diberi ASI hanya 13.8% yang mendapat ASI eksklusif selama 6
bulan. Studi kohort prospektif terhadap 220 pasangan ibu dan bayi yang sehat
sejak lahir sampai 6 bulan di Brasil oleh Santo et al. (2007) menunjukkan
kelangsungan pemberian ASI eksklusif pada akhir bulan pertama kehidupan
adalah 54% dan hanya 6.6% hingga 6 bulan. Kajian Agho et al. (2011) terhadap
658 bayi umur kurang dari 6 bulan di Negeria menunjukkan hanya 7.1% yang
mendapat ASI eksklusif pada umur 5 bulan. Pemberian ASI eksklusif hingga 6
bulan berdasarkan Malaysia Third National Health and Morbidity Survey 2006
(NHMS III) adalah 14.5% (Tan 2011).
Di Indonesia, persentase bayi yang memperoleh ASI eksklusif berfluktuasi.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada tahun 2007 menunjukkan
bahwa cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai 6 bulan adalah 28.6%,
turun menjadi 24.3% pada tahun 2008, dan hanya 15.3% berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2010, sedangkan cakupan berdasarkan
Riskesdas tahun 2013 masih 30.2% (Kemenkes 2010a, 2010b, 2013). Sasaran
pemberian ASI eksklusif yang ingin dicapai pada akhir tahun 2025, sesuai dengan
Gerakan Nasional Sadar Gizi dalam rangka pentingnya 1000 hari pertama
kehidupan adalah paling sedikit 50% (Bappenas 2012).
Berbagai faktor penyebab berhentinya praktek pemberian ASI eksklusif,
faktor terkait dengan ibu, bayi dan lingkungan. Namun faktor penghambat yang
paling umum menyebabkan gagal pemberian ASI eksklusif sebelum 6 bulan
pertama kehidupan adalah faktor ASI belum keluar atau produksi ASI yang tidak
2

cukup (Gatti 2008; Hurley 2008; Hauck 2011; Kent et al. 2012; Turkyilmaz et al.
2011; Veghari 2011). Faktor lainnya adalah pengetahuan ibu tentang manfaat
menyusui yang tidak memadai dan kurangnya dukungan keluarga. Studi oleh
Hidayat et al. (2010) di Jawa Barat menunjukkan bahwa 32.2% dari 609
responden mengaku telah diberi cairan pralaktal berupa susu formula oleh petugas
kesehatan di rumah bersalin karena ASI belum keluar.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan laju sekresi dan
produksi ASI adalah melalui penggunaan galaktagogum (galactagogue).
Galaktagogum atau laktagogum merupakan obat-obatan atau zat lain yang dapat
membantu inisiasi, mengatur atau meningkatkan laju produksi ASI (ABM 2011).
Sementara itu, untuk sejumlah perilaku yang tidak mendukung pemberian ASI
eksklusif dapat diperbaiki melalui konseling menyusui. Konseling menyusui yang
diberikan sejak kehamilan akan memungkinkan ibu dapat mengantisipasi dan
mengatasi berbagai masalah menyusui yang umum dihadapi ibu sehingga secara
fisik dan psikologis ibu akan siap untuk menyusui bayi yang akan dilahirkannya
secara eksklusif hingga usia 6 bulan (Depkes 2007; Kemenkes 2010a).
Tanaman torbangun atau bangun-bangun (Coleus amboinicus (Lour.)
merupakan tanaman pangan yang memiliki fungsi sebagai laktagogum. Tradisi
mengonsumsi daun torbangun oleh masyarakat suku Batak dari Sumatera Utara
telah berkembang dan dilaksanakan secara turun-temurun. Hingga sekarang tradisi
mengonsumsi daun torbangun oleh ibu pasca melahirkan masih tetap dilakukan
dengan tujuan agar ASI segera keluar dan juga untuk meningkatkan produksi ASI
atau sebagai laktagogum (Damanik et al. 2001, 2006; Damanik 2009).
Fungsi daun torbangun sebagai laktagogum telah dibuktikan oleh sejumlah
penelitian pada manusia dan hewan coba, diantaranya penelitian oleh Santosa
(2001), Damanik et al. (2006), Permana (2008), dan Rumetor (2008). Meskipun
demikian, pemanfaatannya hanya dikalangan masyarakat suku Batak dan bentuk
olahannya masih sangat terbatas yaitu sebagai sayur atau sop. Menurut Rice
(2011), tanaman torbangun sangat potensial untuk dikembangkan baik dari segi
fungsinya sebagai laktagogum maupun dari segi budidaya yang relatif mudah
dengan umur panen yang singkat.
Di sisi lain, ibu menyusui termasuk salah satu target pemberian makanan
tambahan karena membutuhkan zat-zat gizi yang lebih banyak dibandingkan
dengan ibu yang tidak menyusui pada golongan umur yang sama (IOM 1991;
LIPI 2004). Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) bagi bangsa Indonesia,
ibu yang sedang menyusui bayi umur hingga 6 bulan memerlukan tambahan
kecukupan energi sebesar 330 kkal dan tambahan kecukupan protein sebesar 20 g
(Menkes 2013). Tambahan tersebut penting untuk membantu penyembuhan
setelah melahirkan, meningkatkan status gizi dan kesehatan ibu serta mengisi
ulang cadangan zat gizi ibu (Gillespie 1999). Hasil survei konsumsi makanan
individu di Indonesia tahun 2014 menunjukkan bahwa ternyata banyak dari
kelompok umur ibu menyusui dengan konsumsi energi dan protein pada kategori
kurang yaitu sebanyak 50% dengan konsumsi energi <70% dari AKG dan
sebanyak 33.8% dengan konsumsi protein <80% AKG (Kemenkes 2015).
Mengingat bahwa ASI merupakan satu-satunya makanan yang paling ideal untuk
bayi sejak lahir hingga 6 bulan maka perlu diupayakan agar asupan zat gizi ibu
menyusui dapat mencapai AKG. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk hal
tersebut adalah melalui pemberian makanan tambahan.
3

Hingga saat ini pengembangan produk makanan tambahan untuk ibu


menyusui berbasis bahan pangan lokal yang mengandung fungsi laktagogum
belum dilakukan. Produk sejenis ini diharapkan dapat digunakan sebagai pangan
alternatif bagi ibu menyusui untuk memperbaiki asupan energi, protein dan
sekaligus juga untuk meningkatkan sekresi dan produksi ASI karena fungsi
laktagogum dari bahan pangan yang digunakan. Disamping itu, produk tersebut
sekaligus juga dapat mendukung pertumbuhan bayi melalui praktek pemberian
ASI eksklusif karena salah satu faktor penghalang yang umum dalam pemberian
ASI eksklusif adalah sekresi dan produksi ASI yang tidak optimal (Turkyilmaz
2011).

Perumusan Masalah

Pemenuhan gizi yang optimal selama masa 1000 hari pertama kehidupan
sangat penting dan merupakan titik kritis yang menentukan pertumbuhan,
perkembangan, kesehatan dan kelangsungan hidup anak dimasa yang akan datang
(Bappenas 2012). Pemenuhan gizi yang paling sesuai untuk bayi sejak lahir
hingga umur 6 bulan atau selama 180 hari dari gerakan 1000 hari pertama
kehidupan adalah melalui praktek pemberian ASI eksklusif (WHO 2003, 2011).
Meskipun demikian, cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia berdasarkan
Riskesdas tahun 2013 hanya 30.2% (Kemenkes 2013).
Rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif umumnya terkait dengan
masalah ASI belum keluar di minggu pertama pasca melahirkan dan kurangnya
produksi ASI. Daun torbangun mengandung zat yang berfungsi sebagai
laktagogum. Fungsi daun torbangun sebagai laktagogum telah dibuktikan oleh
sejumlah penelitian pada manusia dan hewan coba, namun kajian pemanfaatan
dan pengembangannya menjadi suatu produk pangan fungsional dan sekaligus
sebagai suatu bentuk makanan tambahan bagi ibu menyusui belum dilakukan.
Lutter (1996) mengungkapkan bahwa menyusui merupakan suatu proses
fisiologis dan perilaku yang kompleks tetapi pengaruh aspek fisiologis menyusui
seringkali diuji tanpa memperhitungkan aspek perilaku atau interaksi kedua aspek
tersebut. Demikian juga dengan studi tentang fungsi torbangun sebagai
laktagogum yang telah dilakukan pada manusia, hingga saat ini belum mengikut
sertakan pendekatan dari aspek perilaku menyusui.
Menyusui merupakan sesuatu yang alami, namun menyusui juga merupakan
suatu perilaku yang perlu dipelajari. Oleh karena itu, ibu menyusui harus
mendapat akses dorongan dan bantuan ketrampilan praktis dari konselor terlatih,
mendapat dukungan dari keluarga dan masyarakat serta sistem pelayanan
kesehatan (WHO, 2003).
Berdasarkan uraian di atas, pada penelitian ini dilakukan kajian tentang
pengembangan makanan tambahan berbasis tepung torbangun yang memiliki
fungsi laktagogum untuk ibu menyusui dalam bentuk produk siap saji. Produk
tersebut diintervensikan dengan mengikutsertakan intervensi perilaku pemberian
ASI melalui konseling menyusui.
4

Pertanyaan penelitian ini adalah:


1. Apakah pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun
dan konseling menyusui memberikan pengaruh terhadap pemberian ASI
eksklusif?
2. Apakah pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun
dan konseling menyusui memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan bayi?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengembangkan produk makanan


tambahan fungsional untuk ibu menyusui berbasis tepung torbangun dan mengkaji
pengaruh pemberiannya pada ibu yang mendapat konseling menyusui terhadap
pemberian ASI eksklusif dan pertumbuhan bayi. Adapun tujuan khusus penelitian
ini adalah:
1. Membuat tepung torbangun dan melakukan analisis proksimat, total flavonoid
dan kandungan kaempferol tepung torbangun secara kualitatif dan kuantitatif.
2. Membuat produk makanan tambahan fungsional untuk ibu menyusui berbasis
tepung torbangun dan menganalisis karakteristik organoleptik, kandungan gizi,
sifat fisik, dan mikrobiologinya.
3. Mengkaji pengaruh konseling menyusui terhadap pengetahuan dan sikap ibu
menyusui tentang ASI eksklusif.
4. Mengkaji pengaruh pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung
torbangun pada ibu yang mendapat konseling menyusui terhadap pemberian
ASI eksklusif.
5. Mengkaji pengaruh pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung
torbangun pada ibu yang mendapat konseling menyusui terhadap pertumbuhan
bayi.

Hipotesis Penelitian

1. Konseling menyusui berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap


ibu menyusui tentang ASI eksklusif
2. Pemberian makanan tambahan berbasis tepung torbangun pada ibu yang
mendapat konseling menyusui berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif.
3. Pemberian makanan tambahan berbasis tepung torbangun pada ibu yang
mendapat konseling menyusui berpengaruh terhadap pertumbuhan bayi.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memperkaya kajian ilmiah tentang


pemanfaatan tanaman torbangun. Produk makanan tambahan berbasis tepung
torbangun diharapkan menjadi suatu bentuk pangan alternatif untuk menambah
asupan zat gizi ibu menyusui dan sekaligus juga meningkatkan sekresi dan
produksi ASI karena fungsi laktagogumnya. Hasil penelitian ini juga memiliki
makna strategis untuk mendukung pertumbuhan bayi serta mengatasi stunting
melalui pemberian ASI eksklusif.
5

Disamping itu, pemanfaatan tepung torbangun dalam pengembangan produk


pangan diharapkan menambah nilai ekonomis tanaman torbangun dan sebagai
upaya pelestarian kearifan budaya pemanfaatan torbangun serta memperluas
sasaran pemanfaatan torbangun di luar kalangan masyarakat suku Batak.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi: 1) pembuatan tepung torbangun dan


melakukan analisis proksimat, total flavonoid dan senyawa kaempferol tepung
torbangun; 2) pengembangan produk makanan tambahan fungsional untuk ibu
menyusui berbasis tepung torbangun dan menganalisis karakteristik organoleptik,
kandungan gizi, sifat fisik, dan mikrobiologi produk tersebut; 3) mengkaji
pengaruh pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun
pada ibu yang mendapat konseling menyusui terhadap pemberian ASI eksklusif
dan pertumbuhan bayi.
2 TINJAUAN PUSTAKA

Manfaat Pemberian ASI Eksklusif

Hampir 2/3 dari kematian balita berhubungan langsung atau tidak langsung
dengan masalah kurang gizi dan 2/3 dari kematian tersebut terkait dengan praktek
pemberian makanan yang kurang tepat. WHO dan UNICEF telah menetapkan
suatu strategi global tentang praktek pemberian makanan pada bayi dan anak.
Strategi tersebut merupakan acuan bagi semua negara di dunia dalam rangka
mencapai kesehatan dan tumbuh kembang anak yang optimal. Diuraikan bahwa
praktek pemberian makanan bayi dan anak balita yang baik dan benar adalah
melakukan inisiasi menyusui dini, menyusui bayi secara eksklusif sejak lahir
hingga umur 6 bulan, setelah itu bayi mendapat makanan pendamping ASI dan
meneruskan pemberian ASI hingga umur 2 tahun atau lebih (WHO 2003).
Strategi global tersebut ditindak lanjuti oleh Pemerintah Indonesia melalui
Departemen Kesehatan dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Kesehatan
nomor: 450/MENKES/SK/IV/2004 tentang pemberian ASI secara eksklusif pada
bayi di Indonesia, yaitu sejak lahir sampai bayi berumur 6 bulan (Depkes 2007).
Kemudian, sejak bulan Maret tahun 2012 terbit Peraturan Pemerintah Nomor 33
tentang Pemberian ASI Eksklusif. Di dalam peraturan tersebut diuraikan bahwa
pengaturan pemberian ASI eksklusif bertujuan untuk: 1) menjamin pemenuhan
hak bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif sejak dilahirkan sampai dengan
berumur 6 bulan dengan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya;
2) memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI eksklusif kepada
bayinya; dan 3) meningkatkan peran dan dukungan keluarga, masyarakat,
Pemerintah Daerah, dan Pemerintah terhadap pemberian ASI eksklusif
(Kemenseg 2012).
ASI eksklusif memiliki banyak keunggulan dan manfaat baik dari aspek
gizi, aspek imunologik, aspek psikologi, aspek kecerdasan, ekonomis dan aspek
penundaan kehamilan. ASI merupakan satu-satunya makanan yang secara
kuantitas dan kualitas optimal untuk bayi sejak lahir hingga umur 6 bulan. ASI
juga meningkatkan kesehatan bayi, kecerdasan bayi dan meningkatkan jalinan
kasih sayang ibu dengan bayi (UNICEF 2011).
Pemberian ASI eksklusif hingga 6 bulan sangat menentukan status gizi,
morbiditas dan mortalitas bayi. Kajian Duijts (2009) terhadap 21 studi yang
terdiri dari 16 studi follow-up, 4 studi kasus kontrol dan 1 Randomized Control
Trial menunjukkan bahwa 4 dari 5 studi mengamati adanya efek penurunan
penyakit infeksi pada bayi yang diberi ASI. Sebanyak 6 dari 8 studi menunjukkan
bahwa ASI memiliki efek protektif terhadap infeksi saluran pencernaan,
sedangkan 13 dari 16 studi menyimpulkan bahwa ASI melindungi bayi dari
serangan infeksi saluran pernafasan. Sebanyak 5 studi yang menggabungkan
durasi dan eksklusifitas pemberian ASI mengamati adanya efek “protective
dose/duration-response” terhadap infeksi saluran pencernaan atau terhadap infeksi
saluran pernafasan.
Black (2008) mengungkapkan bahwa pemberian ASI yang kurang optimum
terutama tidak mendapat ASI eksklusif dalam 6 bulan pertama kehidupan dapat
7

mengakibatkan 10% beban penyakit pada balita di negara berpenghasilan rendah


dan menengah. Sementara itu, Jones et al. (2003) menjelaskan bahwa pemberian
ASI secara eksklusif sampai 6 bulan diperkirakan dapat mencegah 13% kematian
balita per tahun, utamanya yang diakibatkan diare dan pneumonia.

Keadaan dan Masalah Pemberian ASI Eksklusif

Pemenuhan gizi yang paling sesuai untuk bayi sejak lahir hingga umur 6
bulan atau selama 180 hari dari gerakan 1000 hari pertama kehidupan adalah
melalui praktek pemberian ASI eksklusif (WHO 2003; 2011). Meskipun
demikian, cakupan pemberian ASI ekslusif masih rendah. Hanya 32.6% bayi
yang dilahirkan di seluruh dunia yang mendapat ASI secara eksklusif hingga 6
bulan (UNICEF 2011). Cakupan tersebut hampir sama dengan keadaan di
Indonesia, yaitu hanya 30.2% (Kemenkes 2013). Pada tahun 2025, WHO
menargetkan minimal 50% bayi di bawah usia 6 bulan mendapatkan ASI
eksklusif.
Berbagai faktor yang menyebabkan terhentinya pemberian ASI eksklusif
sebelum bayi berusia 6 bulan. Faktor yang terkait dengan ibu meliputi umur,
paritas, tingkat pendidikan, status pekerjaan, pengalaman menyusui, pengetahuan
dan sikap tentang ASI, rencana menyusui sebelum melahirkan, keadaaan payudara
dan kesehatan ibu. Faktor yang terkait dengan bayi diantaranya berat badan lahir,
perilaku isapan bayi dan kesehatan bayi. Faktor yang terkait dengan proses laktasi
meliputi inisiasi menyusui dini (IMD), frekuensi dan durasi menyusui serta
pemberian susu formula (Huang 2009).
Hurley et al. (2008) melaporkan bahwa di Amerika Serikat rata-rata durasi
ASI eksklusif adalah 2.1 bulan. Dilaporkan bahwa alasan yang paling umum
untuk berhenti menyusui adalah ASI tidak cukup, ketidaknyamanan atau nyeri
pada payudara, bayi menolak menyusu, ibu kembali bekerja dan adanya penyakit
pada ibu.
Al-Shabab et al. (2010) melaporkan bahwa faktor yang berhubungan negatif
dengan pemberian ASI eksklusif adalah merokok selama hamil, melahirkan
dengan operasi, dirawat di unit perawatan intensif dan status pekerjaaan ibu
sebelum 6 bulan usia bayi. Faktor yang ditemukan berhubungan dengan
peningkatan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan adalah tingkat pendidikan
yang lebih tinggi, tinggal dengan pasangan, sudah pernah menyusui sebelumnya,
indeks massa tubuh (IMT) sebelum hamil dan usia yang lebih tua.
Studi kohort prospektif terhadap 220 pasangan ibu dan bayi yang sehat sejak
lahir sampai 6 bulan di Brasil oleh Santo et al. (2007) menunjukkan bahwa rata-
rata durasi pemberian ASI eksklusif hanya 30 hari. Pada studi ini, hampir
setengah dari ibu mengalami puting lecet yang membuat mereka trauma dan
11.9% bayi telah menerima susu formula ketika masih di rumah sakit. Hasil
regresi Cox menunjukkan bahwa faktor yang terkait dengan penghentian
pemberian ASI eksklusif sebelum 6 bulan adalah ibu masih remaja, pemeriksaan
kehamilan kurang dari 6 kali, penggunaan empeng/dot pada bulan pertama dan
penempelan mulut bayi yang kurang baik pada payudara.
Rata-rata durasi pemberian ASI eksklusif di Xianjiang, China adalah 1.8
bulan. Faktor negatif yang terkait dengan durasi pemberian ASI eksklusif adalah
8

ibu yang akan bekerja setelah melahirkan dan penggunaan dot, sedangkan faktor
positif adalah rencana dan keputusan yang diambil ibu sebelum kelahiran akan
menyusui setelah melahirkan (Xu et al. 2007).
Rendahnya tingkat pemberian ASI ekslusif di Negeria dikaitkan dengan
praktek, ritual dan budaya yang tidak mendukung, pemeriksaan antenatal yang
jarang atau tidak sama sekali (Agho et al. 2011).
Menurut Kemenkes (2011), rendahnya pemberian ASI di Indonesia antara
lain disebabkan kurangnya pengetahuan tentang manfaat ASI, bayi tidak menyusu
segera setelah dilahirkan, ketersediaan konselor menyusui di tempat pelayanan
kesehatan masih sedikit, tempat untuk menyusui atau memerah ASI pada fasilitas
umum dan tempat kerja yang masih kurang serta gencarnya promosi susu formula.
ASI yang belum keluar dan isapan bayi yang belum optimal merupakan
masalah yang paling umum dijumpai pada hari pertama hingga minggu pertama
setelah kelahiran, disamping faktor lainnya seperti pengetahuan ibu tentang
manfaat menyusui yang tidak memadai, kurangnya dukungan dari suami dan
anggota keluarga lainnya (IOM 1991). Studi dengan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif oleh Haider et al. (2010) di Bangladesh menunjukkan bahwa sejumlah
alasan tidak memberikan ASI eksklusif hingga 6 bulan yang disampaikan ibu
maupun anggota keluarga lainnya (ayah dan nenek) adalah anggapan tentang
perlunya bayi minum air dan jus buah serta ASI yang tidak cukup. Bayi dianggap
perlu diberi minum agar hidup dan tidak haus. Bayi menangis dianggap sebagai
indikator ASI yang tidak cukup atau bayi tidak mau menyusu.
Keputusan ibu untuk memberikan ASI eksklusif juga dipengaruhi oleh saran
dan dukungan dari petugas kesehatan. Berdasarkan observasi lapang yang
dilakukan oleh Abba et al. (2010) menunjukkan bahwa praktek yang dilakukan
para petugas kesehatan di beberapa fasilitas pelayanan kesehatan umum termasuk
rumah sakit bersalin di Niger kurang atau tidak mendukung praktek ASI eksklusif.
Observasi yang dilakukan selama jam kerja yaitu dari pukul 8 pagi hingga pukul
14-15 setiap hari selama 82 hari juga memperlihatkan bahwa promosi ASI
eksklusif tampak tidak menjadi prioritas para petugas kesehatan. Para petugas
kesehatan tidak menjelaskan ASI eksklusif secara sistematis kepada ibu, atau
disampaikan tetapi hanya secara garis besar dan tanpa penjelasan. Buruknya lagi,
beberapa petugas kesehatan menganjurkan penggunaan substitusi ASI yang sering
kali dipromosikan di fasilitas kesehatan. Hal ini menyebabkan ibu seringkali
menerima saran yang saling bertentangan.
Li et al. (2008) melaporkan bahwa 3 alasan yang paling sering diberikan
ibu untuk berhenti menyusui antara bulan pertama dan bulan ke-2 adalah bayi
mengalami kesulitan dalam mengisap dan pelekatan tidak sesuai; ASI saja tidak
cukup lagi bagi bayi; dan ASI tidak cukup banyak.
Zuppa et al. (2010) menguraikan bahwa produksi ASI yang menurun dapat
terjadi dalam berbagai keadaan seperti lahir prematur, penyakit pada ibu atau bayi,
pemisahan bayi dengan ibu, relaktasi setelah penghentian yang lama, laktasi tidak
langsung (pengeluaran ASI secara manual atau dengan memompa ASI), gelisah,
lelah dan stres emosional. Produksi ASI dapat ditingkatkan dengan berbagai cara,
seperti dukungan psikologis dan teknik relaksasi (menggunakan buku atau
dukungan audio video), atau penggunaan laktagogum atau galaktagogum.
Program edukasi sebaiknya diberikan kepada ibu menyusui untuk mengatasi
berbagai masalah yang dihadapi ibu seperti peletakan payudara yang tidak tepat,
9

durasi menyusui yang tidak cukup dan pengosongan payudara yang tidak
memadai (Giugliani 2004).

Daun Torbangun sebagai Laktagogum

Laktagogum merupakan obat-obatan atau zat lain yang dapat membantu


inisiasi, mengatur atau meningkatkan laju sintesis ASI. Laktagogum umumnya
digunakan untuk meningkatkan laju produksi ASI yang rendah. Laktagogum
tersedia dalam bentuk sediaan farmasi atau obat maupun laktagogum dari
tumbuhan atau herbal (ABM 2011).
Torbangun merupakan bahan pangan yang memiliki fungsi sebagai
laktagogum. Torbangun atau daun bangun-bangun merupakan sebutan dalam
bahasa Batak untuk tumbuhan Coleus amboinicus Lour. Daun tumbuhan tersebut
secara turun temurun telah dimanfaatkan sebagai sayur atau sup yang disajikan
terutama untuk ibu-ibu yang baru melahirkan dan menyusui. Sayur daun
torbangun yang dikonsumsi oleh ibu pasca melahirkan ditujukan untuk
meningkatkan produksi ASI atau sebagai laktagogum (Damanik et al 2001,
Wahlqvist et al. 2005).
Daun torbangun di dalam tabel komposisi pangan Indonesia disebut sebagai
daun bangun-bangun dan terdapat pada kelompok sayuran dengan komposisi zat
gizi seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi zat gizi daun torbangun

Komposisi zat gizi per 100 g


Zat gizi
Satuan Jumlah
Air g 92.5
Energi kkal 27
Protein g 1.3
Lemak g 0.6
Karbohidrat g 4
Serat g 1
Kalsium mg 279
Fosfor mg 40
Besi mg 13.6
Karoten total ug 13288
Tiamin mg 0.16
Riboflavin mg 0.1
Vitamin C mg 5.1
Sumber: Mahmud et al. (2009)

Terdapat beberapa penelitian tentang pemanfaatan torbangun untuk


meningkatkan produksi air susu atau sebagai laktagogum pada manusia dan
hewan coba (Tabel 2 dan 3). Damanik et al. (2001, 2009) melakukan diskusi
kelompok terfokus (Fokus Group Discussion-FGD) di 3 desa pada kecamatan
yang berbeda di kabupaten Simalungun Sumatera Utara. FGD dilakukan terhadap
60 wanita dari suku Batak yang memiliki pengalaman dalam mengonsumsi daun
torbangun. Berdasarkan FGD tersebut disimpulkan bahwa mengonsumsi sup
10

daun torbangun dipercaya dapat meningkatkan produksi ASI yang ditandai


dengan terasa penuhnya kelenjar susu mereka dan membantu proses pengeluaran
darah kotor setelah melahirkan. Sebagian besar responden menyatakan bahwa sup
daun torbangun dapat dikonsumsi kapan saja dalam jumlah yang tak terbatas
tanpa efek negatif terhadap tubuh dan kondisi kesehatan ibu menyusui. Namun
demikian, daun torbangun umumnya dikonsumsi selama 30-40 hari setelah
melahirkan dengan cara penyajian sebagai berikut :
1. Sebanyak 120-150 gram daun dan batang torbangun yang masih muda dipetik,
kemudian dicuci bersih lalu ditumbuk atau diremas-remas agak kasar, diperas
dan dibuang airnya agar rasa rasa pahit dan langu berkurang.
2. Sementara itu, dipersiapkan air santan kelapa dan daging ayam atau ikan lele
disuwir-suwir (sebagian responden tidak menggunakan santan).
3. Bumbu-bumbu yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, kunyit, kemiri
dan andaliman digiling halus kemudian ditumis lalu santan, kaldu dan daging
ayam atau ikan lele yang sudah dipersiapkan tadi dimasukkan ke bumbu yang
sedang ditumis, dimasak sambil diaduk-aduk hingga mendidih dan diberi
perasan jeruk nipis secukupnya.
4. Sup daun torbangun siap disajikan.
Damanik et al. (2006) melakukan studi tentang efek suplementasi 150
gram daun torbangun dalam bentuk sup yang diberikan dari hari Senin sampai
Sabtu selama 30 hari setelah ibu melahirkan terhadap kuantitas dan kualitas ASI.
Studi tersebut dilakukan di Kabupaten Simalungun diikuti oleh 67 orang subyek
penelitian hingga 2 bulan periode penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
selama 2 minggu terakhir suplementasi (dari hari ke-14 hingga hari ke-28) terjadi
peningkatan volume ASI yang lebih besar pada ibu yang menerima suplementasi
daun torbangun yaitu sebesar 65%, sedangkan kelompok fenugreek dengan dosis
3 kali 1 kapsul per hari dan kelompok Maloco+B12 dengan dosis 3 kali 1 tablet
per hari berurut-urut hanya meningkat sebesar 20% dan 10%. Kapsul Fenugreek
dan tablet Maloco+B12 masing-masing telah umum dikonsumsi oleh ibu
menyusui di Indonesia dan Negara Eropa. Analisis proksimat ASI pada hari ke 8
setelah suplementasi antara kelompok suplementasi daun torbangun dengan
suplementasi tablet Maloco+B12 yang meliputi kadar lemak, protein, air, abu dan
laktosa tidak berbeda secara nyata.
Fungsi daun torbangun untuk meningkatkan produksi ASI atau sebagai
laktagogum didukung oleh sejumlah penelitian pada manusia dan hewan coba.
Santosa (2001) melakukan penelitian terhadap 16 ibu dari suku Batak yang baru
melahirkan yang terbagi ke dalam 4 kelompok perlakuan menunjukkan bahwa
total volume ASI pada kelompok yang mendapat suplementasi 150 gram sayur
daun torbangun yang direbus dan dikonsumsi tiap 2 hari sekali dimulai pada hari
ke-4 sampai ke-24 setelah ibu melahirkan ternyata lebih tinggi dibandingkan
dengan total volume ASI pada ibu dari kelompok lainnya (p<0.05). Total volume
ASI berturut-turut pada kelompok kontrol, kelompok torbangun, kelompok lancar
ASI dan kelompok Moloco+B12 adalah 508.3ml, 749.2ml, 581.1ml dan 548.8 ml.
Data tersebut menunjukkan bahwa jika masing-masing kelompok dibandingkan
dengan kelompok kontrol ternyata kelompok torbangun lebih tinggi sebesar
47.4%, kelompok Lancar ASI lebih tinggi sebesar 14.3% dan kelompok
Moloco+B12 lebih tinggi sebesar 8.0%. Hasil studi tersebut juga menunjukkan
bahwa kadar prolaktin serum antar kelompok perlakuan tidak berbeda nyata.
11

Tabel 2 Studi tentang torbangun sebagai laktagogum pada manusia

Studi Perlakuan Hasil


Santosa Studi terhadap 16 orang ibu dari Total volume ASI kelompok torbangun
(2001) suku Batak yang baru melahirkan lebih tinggi dibandingkan total volume ASI
dibagi menjadi 4 kelompok dari kelompok lainnya. Total volume ASI
perlakuan: 1) kelompok kontrol, pada masing-masing kelompok intervensi
2) kelompok torbangun, 3) dibandingkan kelompok kontrol berurut-
kelompok lancar ASI, dan 4) urut sebagai berikut: kelompok torbangun
kelompok Moloco+B12. lebih tinggi sebesar 47.4%; kelompok
Intervensi setiap 2 hari sekali, lancar ASI lebih tinggi sebesar 14.3% dan
dimulai pada hari ke-4 sampai ke- kelompok Moloco+B12 lebih tinggi sebesar
24 setelah ibu melahirkan. 8.0%. Kadar prolaktin serum antar
Kelompok torbangun diberikan kelompok perlakuan tidak menunjukkan
150 g daun torbangun yang perbedaan yang signifikan (p>0.05).
direbus sebagai sayur.

Damanik Studi tentang efek suplementasi Pada 2 minggu terakhir suplementasi (hari
et al. 150 g daun torbangun dalam ke-14 hingga ke-28) menunjukkan
(2006) bentuk sup terhadap kuantitas dan peningkatan volume ASI kelompok
kualitas ASI. Suplementasi dari torbangun sebesar 65%, kelompok kapsul
hari Senin sampai Sabtu, selama Fenugreek meningkat sebesar 20% dan
30 hari. Subyek penelitian yaitu kelompok tablet Maloco+B12 meningkat
ibu setelah melahirkan sebesar 10%. Kadar lemak, protein, air, abu
dikelompokkan menjadi 3 yaitu dan laktosa ASI pada hari ke-8 setelah
kelompok Maloco+B12 (n=22), intervensi antara ke-3 kelompok perlakuan
kelompok Fenugreek (n=22) dan tidak menunjukkan perberbedaan yang
kelompok Torbangun (n=23). signifikan (p>0.05).

Studi efek ekstrak daun Coleus amboinicus Lour pada hewan coba tikus
putih Wistar melalui pemberian per oral setiap 2 hari sekali sejak 2 hingga 28 hari
setelah melahirkan menunjukkan adanya peningkatan total produksi air susu dan
pertumbuhan anak tikus secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol.
Peningkatan yang lebih tinggi adalah pada kelompok yang menerima dosis
ekstrak 80 g/kg BB dibandingkan dengan kelompok dosis lainnya (20, 40, 60
g/kg BB). Peningkatan produksi air susu diikuti juga oleh peningkatan aktivitas
sel epitel dan meningkatnya metabolisme kelenjar mammae yang terlihat dari
peningkatan kadar DNA dan RNA pada pertengahan laktasi (Silitonga 1993).
Efek laktogogum dari daun torbangun melalui kajian histopatologi dari
kelenjar mammae mencit (Mus musculus) sebagai hewan model dilakukan oleh
Permana (2008). Mencit bunting yang diberi pakan yang mengandung torbangun
5% dalam bentuk sediaan sup yang diberikan pada hari ke-14 kebuntingan hingga
7 hari pasca melahirkan menunjukkan bahwa daun torbangun memiliki efek
laktagogum yang tampak dari peningkatan jumlah alveoli kelenjar mammae yang
aktif setelah diberi sup dibandingkan kontrol.
Hasil penelitian Rumetor (2008) menunjukkan bahwa suplementasi daun
torbangun dalam ransum kambing peranakan Etawah sebanyak 9 g/kg bobot
badan dapat meningkatkan produksi susu sampai 90.14% per hari dan bobot
badan anak yang menyusu pada induk yang mendapat ransum suplementasi daun
torbangun meningkat 46.09%.
12

Tabel 3 Studi tentang torbangun sebagai laktagogum pada hewan coba

Studi Perlakuan Hasil


Silitonga Studi efek ekstrak daun Coleus Total produksi air susu dan pertumbuhan
(1993) amboinicus Lour pada tikus putih anak tikus secara signifikan meningkat
Wistar melalui pemberian per oral dibandingkan kelompok kontrol.
setiap 2 hari sekali sejak 2 hingga Peningkatan yang lebih tinggi adalah pada
28 hari setelah melahirkan. kelompok yang menerima dosis ekstrak 80
g/kg BB dibandingkan dengan kelompok
dosis lainnya (20, 40, 60 g/kg BB).
Peningkatan produksi air susu diikuti juga
oleh peningkatan aktivitas sel epitel dan
meningkatnya metabolisme kelenjar
mammae yang terlihat dari peningkatan
kadar DNA dan RNA pada pertengahan
laktasi

Rumetor Suplementasi daun torbangun produksi susu meningkat sampai 90.14%


(2008) dalam ransum kambing peranakan per hari dan bobot badan anak yang
Etawah sebanyak 9 g/kg bobot menyusu pada induk yang mendapat ransum
badan suplementasi daun torbangun meningkat
46.09%

Permana Mencit (Mus musculus) bunting Daun torbangun memiliki efek laktagogum
(2008) diberi pakan yang mengandung yang tampak dari peningkatan jumlah
torbangun 5% dalam bentuk alveoli kelenjar mammae yang aktif setelah
sediaan sup yang diberikan pada diberi sup dibandingkan kontrol.
hari ke-14 kebuntingan hingga 7
hari pasca melahirkan.

Pengetahuan tentang bagaimana laktagogum dari herbal atau tanaman


berfungsi sebagai laktagogum masih terbatas. Sebaliknya, laktagogum dalam
bentuk sediaan farmasi seperti domperidone dan metoclopramide melalui berbagai
studi eksperimen menunjukkan mekanisme laktagogum melalui pelepasan
hormon prolaktin dengan menghambat reseptor dopamine pada kelenjar pituari
anterior (Anderson and Valdes 2007). Kajian oleh Mortel and Mehta (2013)
terhadap berbagai studi tentang tanaman yang telah umum digunakan sebagai
laktagogum memaparkan mekanisme yang diajukan seperti pada Tabel 4.
13

Tabel 4 Mekanisme laktagogum dari tumbuhan

Nama tumbuhan Mekanisme yang Jenis studi


diajukan
Shatavari Efek estrogenik pada 1 RCT
(Asparagus racemosus) kelenjar mamma; 1 review
aksi steroidal dari
saponin pada tanaman
Torbangun Proliferasi sel sekresi 1 review
(Coleus amboinicus Lour) mamma 1 RCT
1 FGD
Fenugreek Kemungkinan 2 RCT
(Trigonella foenumgraecum) estrogenic; 7 review
merangsang produksi 1 case study
keringat 1 phytochemical assay
1 commentary
Fennel Kemungkinan 1 case report
(Foeniculum Vulgare) estrogenik 2 review
Milk thistle Belum diketahui, 4 review
(Silybum marianum) kemungkinan 1 RCT
estrogenik
Chasteberry Estrogenik (hormone 3 review
(Vitex agnus castus) modulator) 2 phytochemical assay
1 monograph
Goat’s rue Belum diketahui 1 review
(Galega officinalis)

Peran Konseling terhadap Pemberian ASI Eksklusif

Perilaku termasuk faktor yang mempengaruhi kesehatan sehingga intervensi


atau upaya yang ditujukan kepada faktor perilaku sangatlah strategis untuk
membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Agar masyarakat berperilaku
atau mengadopsi suatu perilaku kesehatan termasuk perilaku pemberian ASI
eksklusif diperlukan komunikasi dan pemberian informasi (Notoatmodjo 2007).
Konseling merupakan bentuk komunikasi antar pribadi. Dalam proses
konseling seorang klien yang membutuhkan pertolongan dan seorang konselor
yang memberikan bantuan dan dukungan akan melakukan proses komunikasi 2
arah, sehingga klien mampu untuk memecahkan masalah yang dihadapinya
(Cornelia et al. 2010).
Konseling menyusui merupakan salah satu bentuk bantuan, dorongan dan
dukungan yang ibu perlukan untuk lebih berhasil menyusui. Ketersediaan
konselor menyusui turut mempengaruhi peningkatan keberhasilan pemberian ASI.
Oleh karenanya, pemerintah mengupayakan agar setiap pelayanan kesehatan
terutama di puskesmas dan rumah sakit tersedia konselor menyusui (Depkes 2007;
Kemenkes 2010a).
Untuk mencapai pemanfaatan pemberian ASI eksklusif secara optimal,
Peraturan Pemerintah RI Nomor 33 tahun 2012 tentang pemberian ASI eksklusif
14

Pasal 13 memuat bahwa informasi dan edukasi tentang ASI eksklusif kepada ibu
dan/atau anggota keluarga dari bayi diberikan sejak pemeriksaan kehamilan
sampai dengan periode pemberian ASI eksklusif selesai. Informasi dan edukasi
ASI eksklusif dapat dilakukan melalui penyuluhan, konseling dan pendampingan,
paling sedikit mengenai: 1) keuntungan dan keunggulan pemberian ASI; 2) gizi
ibu, persiapan dan mempertahankan menyusui; 3) akibat negatif dari pemberian
makanan botol secara parsial terhadap pemberian ASI; dan 4) kesulitan untuk
mengubah keputusan untuk tidak memberikan ASI (Kemensekneg 2012).
Haider et al. (2010) merekomendasikan perlunya teknik konseling
digunakan untuk mendukung pemberian ASI eksklusif. Hal ini didasarkan pada
hasil studi dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan di
Bangladesh yang menunjukkan bahwa ada sejumlah pengetahuan, kepercayaan
dan perilaku ibu dan anggota keluarga lainnya khususnya ayah dan nenek yang
tidak mendukung untuk mempraktekkan perilaku menyusui eksklusif. Selanjutnya
diungkapkan bahwa pengetahuan, kepercayaan dan perilaku tersebut dilakukan
karena kurangnya kesadaran tentang manfaat dan risiko jika tidak mempraktekkan
pemberian ASI seperti yang direkomendasikan.
Sebagian besar ibu dapat berhasil menyusui bayinya secara eksklusif jika
mereka memiliki dukungan dan petunjuk tentang praktek menyusui yang benar
dan didukung untuk melakukannya secara benar. Dukungan kepada ibu melalui
konseling dapat meningkatkan prevalensi ASI eksklusif. Di Uganda, intervensi
konseling sebaya (peer counseling) berhasil meningkatkan prevalensi ASI
eksklusif. Pada usia 12 minggu, prevalensi ASI eklusif pada kelompok intervensi
dan kontrol adalah 81.6% dan 43.9% (PR 1.89; 95%CI 1.70-2.11), pada usia 24
minggu yaitu 58.6% dan 15.5% (PR 3.83; 95%CI 2.97-4.95). Konseling
dilakukan dengan mengunjungi ibu sedikitnya 5 kali selama setengah tahun.
Kunjungan pertama dilakukan ketika usia kehamilan ibu 7 bulan. Sisa kunjungan
dijadwalkan pada minggu ke 1, 4, 7 dan 10 setelah melahirkan. Ibu yang
bermasalah dengan menyusui diberikan kunjungan ekstra. Kunjungan ekstra juga
diberikan jika seorang ibu memanggil konselor untuk bantuan tambahan diluar
jadwal atau jika konselor merasakan itu perlu. Konselor sebaya memilih waktu
yang paling sesuai sesuai bagi ibu untuk bertemu. Ibu pada kelompok kontrol
tidak diberikan konseling tetapi dianjurkan untuk datang secara teratur ke klinik
antenatal dan postnatal yang ada di fasilitas kesehatan (Chola et al. 2011).
Jakobsen et al. (2008) melakukan studi intervensi promosi ASI eksklusif
sesuai dengan rekomendasi WHO secara individual kepada ibu di Guinea-Bissau
Afrika Barat. Indikator proses dari studi ini adalah usia pemberian air minum dan
makanan pendamping ASI (MP-ASI) sebagai bagian dari penjelasan bahwa zat
gizi pada ASI adalah cukup hingga bayi berusia 6 bulan. Kelompok intervensi dan
kelompok kontrol masing-masing terdiri dari 857 dan 864 pasangan ibu dengan
bayinya. Hasil studi menunjukkan bahwa pemberian air minum dan MP-ASI
secara signifikan lebih lama pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok
kontrol dengan rasio Hazard pemberian MP-ASI sebesar 0.79 (HR 95%CI:0.70-
0.91).
Studi intervensi konseling gizi kepada ibu dari keluarga miskin di
Kecamatan Darmaga Kabupaten Bogor menunjukkan persentase pemberian ASI
eksklusif sampai 6 bulan yang lebih tinggi pada kelompok perlakuan
dibandingkan kelompok kontrol. Persentase pemberian ASI eksklusif pada
15

kelompok perlakuan berbeda signifikan dengan kelompok kontrol masing-masing


25.8% dan 3.4% serta nilai Odd Rasio sebesar 9.7 (95%CI: 1.134-83.674).
Konseling gizi pada studi ini dilakukan 7 kali yang terdiri dari 2 kali sebelum ibu
hamil yaitu pada usia kehamilan 8 dan 9 bulan serta 5 kali sesudah ibu
melahirkan yaitu pada hari ke-2, hari ke-5, hari ke-10 sampai ke-14, bulan ke-2
dan bulan ke-4 (Nurhayati 2007).
16

Kerangka Pikir Penelitian

Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan merupakan


salah satu strategi global untuk mencapai pertumbuhan, perkembangan, kesehatan
dan kelangsungan hidup bayi yang optimal (WHO 2011). Namun, cakupan dan
durasi pemberian ASI eksklusif masih rendah di berbagai negara termasuk di
Indonesia hanya 30.2% (Kemenkes 2013). Ada berbagai faktor yang
menyebabkan terhentinya pemberian ASI eksklusif sebelum bayi berusia 6 bulan
yaitu faktor yang terkait dengan ibu maupun bayi (Huang 2009). Faktor ASI
belum keluar atau produksi ASI yang tidak mencukupi merupakan alasan utama
dan yang paling umum diberikan oleh ibu untuk memberikan substitusi atau
pengganti ASI sehingga pemberian ASI eksklusif menjadi gagal (Gatti 2008;
Hurley 2008; Hauck 2011; Turkyilmaz et al.2011; Kent et al.2012; Veghari et al.
2011).
Produksi ASI yang menurun dapat terjadi dalam berbagai kondisi fisik,
fisiologis dan psikologis ibu seperti lelah, gelisah, emosional, stress atau penyakit
yang diderita ibu. Produksi ASI yang tidak mencukupi juga dapat terjadi karena
kondisi fisik dan fisiologis bayi, misalnya bayi lesu dan lelah, anatomis oral bayi
seperti bibir sumbing, bayi lahir prematur, atau karena penyakit pada bayi (Zupa
et al. 2010).
Produksi ASI terkait juga dengan refleks pengeluaran ASI. Teknik
pengosongan payudara yang sering dan efektif akan meningkatkan produksi ASI.
Semakin sering bayi menyusu sesuai dengan keinginannya maka semakin banyak
ASI yang diproduksi. Teknik tersebut dapat dikombinasikan dengan dukungan
psikologis bagi ibu dan teknik relaksasi dengan menggunakan buku atau audio
video serta penggunaan laktagogum yang dapat memperlancar dan meningkatkan
produksi ASI (Giugliani 2004).
Menyusui merupakan sesuatu yang alami, namun menyusui juga merupakan
suatu perilaku yang perlu dipelajari. Ibu menyusui perlu mendapatkan akses
bantuan informasi, dukungan dan bimbingan ketrampilan praktis dari konselor
terlatih melalui program konseling. Konseling menyusui yang diberikan sejak
kehamilan akan memungkinkan ibu dapat mengantisipasi dan mengatasi berbagai
masalah menyusui yang umum dihadapi ibu sehingga secara fisik dan psikologis
ibu akan siap untuk menyusui bayi yang akan dilahirkannya secara eksklusif
hingga usia 6 bulan (Depkes 2007; Kemenkes 2010a).Disamping itu, terdapat
sejumlah pengetahuan, kepercayaan dan perilaku yang tidak mendukung untuk
mempraktekkan pemberian ASI secara eksklusif. Dengan konseling menyusui ibu
akan memperoleh informasi manfaat pemberian ASI eksklusif dan risiko jika
tidak mempraktekkannya (Haider et al. 2010).
Ibu menyusui termasuk salah satu target pemberian makanan tambahan
karena membutuhkan zat-zat gizi yang lebih banyak dari ibu yang tidak menyusui.
Tambahan tersebut penting untuk membantu penyembuhan setelah melahirkan,
meningkatkan status gizi dan kesehatan ibu serta mengisi ulang cadangan zat gizi
ibu (IOM 1991; Gillespie 1999).
Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji
pengaruh pemberian produk makanan tambahan berbasis tepung torbangun yang
memiliki fungsi laktagogum dengan intervensi konseling menyusui terhadap
17

pemberian ASI eksklusif dan pertumbuhan bayi. Kerangka pikir penelitian


disajikan pada Gambar 1.

Pertumbuhan bayi

Pemberian
ASI eksklusif

Pengetahuan dan
perilaku tentang ASI Produksi ASI
eksklusif

Sekresi ASI : Laktagogum


Frekuensi, durasi

Konseling Keadaan bayi dan ibu : PMT berbasis


menyusui posisi, pelekatan Tepung Torbangun

Kondisi bayi dan ibu:


fisik, psikologis

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian


3 METODE

Tahapan Penelitian

Tahap pelaksanaan penelitian disajikan pada Gambar 2, tediri dari 3 tahap,


yaitu:
1. Tahap pembuatan tepung torbangun
Tahap pembuatan tepung torbangun diawali dengan penyediaan bahan baku
yaitu penanaman torbangun dan dipanen setelah penanaman 10 minggu.
Tepung torbangun yang dihasilkan dianalisis proksimat, total flavonoid dan
kandungan senyawa kaempferol serta analisis derivatif kaempferol secara
kualitatif. Analisis proksimat meliputi kadar air, protein, lemak, abu dan
karbohidrat.
2. Tahap ke-2 yaitu pengembangan produk makanan tambahan fungsional untuk
ibu menyusui berbasis tepung torbangun seperti pada Gambar 3 dan uji
organoleptik, analisis kandungan gizi, sifat fisik, dan mikrobiologinya.
3. Tahap ke-3 adalah pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung
torbangun kepada ibu menyusui yang mendapat konseling menyusui (Gambar
4).

Waktu dan Tempat Penelitian

Penyediaan bahan baku untuk tahap ke-1 yaitu penanaman torbangun mulai
dilakukan pada Januari 2013. Penanaman torbangun dilakukan di daerah Cijeruk
Kota Bogor. Pembuatan tepung torbangun dilakukan di laboratorium Southeast
Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center IPB.
Analisis proksimat dilakukan di laboratorium Departemen Gizi Masyarakat IPB
dan laboratorium Jasa Analisis Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB,
analisis fitokimia (total flavonoid dan kaempferol) dari tepung torbangun
dilakukan di laboratorium Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB dan laboratorium
Biotek BBPT Serpong.
Tahap ke-2 yaitu pengembangan produk makanan tambahan berbasis tepung
torbangun dilakukan di laboratorium (SEAFAST) Center IPB dan laboratorium
Departemen Gizi Masyarakat IPB. Tahap ke-3 yaitu pemberian makanan
tambahan (PMT) fungsional berbasis tepung torbangun kepada ibu menyusui
yang mendapat konseling menyusui dilaksanakan di 4 desa wilayah kerja
Puskesmas Bantar Jaya, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, yaitu desa
Bantar Jaya, desa Bantar Sari, desa Cimulang dan desa Pasir Gaok.

Bahan dan Alat

Bahan dasar yang digunakan untuk pengembangan produk makanan


tambahan untuk ibu menyusui adalah tepung torbangun, tepung jagung, susu skim
bubuk dan tepung gula. Bahan kimia digunakan untuk analisis proksimat, analisis
fitokimia dan uji mikrobiologi.
Alat yang digunakan meliputi alat-alat untuk formulasi dan pembuatan
produk, alat-alat untuk uji organoleptik, analisis proksimat, analisis fitokimia,
19

analisis sifat fisik, dan analisis mikrobiologi. Pada tahap intervensi digunakan alat
bantu konseling menyusui yaitu alat peraga boneka, model payudara, video IMD
dan buku kecil berisi ringkasan materi konseling menyusui.

Penelitian Tahap 1: Penelitian Tahap 2:


Pembuatan tepung torbangun Pengembangan Produk

Penanaman dan pemanenan Formulasi bahan dan pengolahan:


torbangun daun torbangun tepung jagung, isolat protein kedele,
Pengolahan menjadi tepung susu skim bubuk, tepung gula,
Tepung torbangun

Tepung
torbangun:
3 jenis produk
siap saji
Analisis proksimat dan fitokimia

Uji organoleptik: dipilih 1 produk

1 produk
terpilih

Analisis proksimat, uji sifat fisik dan mikroba

Produk sebagai
makanan tambahan
ibu menyusui

Penelitian Tahap 3
torbangun
Konseling Menyusui dan PMT kepada ibu menyusui

Ibu hamil trimester ke 3: melahirkan Ibu menyusui pada bulan pertama:


Konseling menyusui -PMT: produk 3x sehari
(frekuensi: 2 kali) -Konseling menyusui: 2 kali

Ibu menyusui pada bulan ke-2 sd ke-6:


Konseling menyusui: 1x per bulan

Gambar 2. Tahap pelaksanaan penelitian


20

Tepung jagung dan


isolat protein kedelai

Diadon dengan air (1:4),


dimasak dengan uap (10 menit)

Dikeringkan dengan drum dryer


(3 rpm, T 140 oC)

Lembaran-lembaran tipis

Ditepungkan dan diayak (80 mesh)

Tepung komposit Susu skim bubuk;


Tepung daun torbangun (Tepung jagung, ISP) tepung gula

Pencampuran kering (dry mix)

Produk
siap saji

Gambar 3. Tahap pembuatan produk makanan tambahan ibu menyusui


(Modifikasi Charunuch et al. 2003)
21

Ibu hamil trimester ke-3 di 4 desa wilayah kerja


Puskesmas Bantar Jaya Kecamatan Rancabungur
Kabupaten Bogor

Sesuai kriteria subyek penelitian

dipilih secara random

Kelompok intervensi (n=10): Kelompok kontrol (n=10):


konseling menyusui + PMT konseling menyusui + PMT
berbasis tepung torbangun tanpa tepung torbangun
menyusui

Gambar 4. Penempatan perlakuan (jenis PMT) pada subyek penelitian

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data dilakukan menggunakan program pengolah


data Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS versi 16. Analisis data dilakukan
secara deskriptif dan inferensial. Analisis secara deskriptif untuk data numerik
dilakukan dengan menghitung rerata dan standar deviasi bila berdistribusi normal
atau nilai median dengan nilai minimum dan maksimum bila distribusi data tidak
normal. Analisis deskriptif data kategorik dilakukan dengan menghitung
persentase dari masing-masing kategori data.
Analisis inferensial dengan tingkat signifikansi atau nilai p<0.05 dilakukan
dengan uji beda rerata setelah terlebih dahulu dilakukan uji kenormalan data
menggunakan uji Shapiro-Wilk. Pengujian beda rerata antar kelompok perlakuan
dilakukan dengan uji t independen bila data berdistribusi normal, atau uji Mann-
Whitney bila distribusi data tidak normal. Pengujian beda rerata antara sebelum
dengan sesudah konseling menyusui pada masing-masing kelompok perlakuan
dilakukan dengan uji t berpasangan (paired t test) bila data berdistribusi normal,
atau uji Wilcoxon bila distribusi data tidak normal.

Pertimbangan Etika

Persetujuan etik untuk pelaksanaan tahap ke-3 penelitian ini yaitu kajian
pengaruh pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun
kepada ibu menyusui yang mendapat konseling menyusui terhadap pertumbuhan
bayi dan pemberian ASI eksklusif diperoleh dari Komite Etik Penelitian
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Persetujuan etik diperoleh
dengan Nomor 565/H2.F1/ETIK/2013 tanggal 16 September 2013 (Lampiran 1).
4 KANDUNGAN GIZI, TOTAL FLAVONOID DAN SENYAWA
KAEMPFEROL PADA TEPUNG TORBANGUN

Pendahuluan

Salah satu strategi global untuk mencapai kesehatan dan tumbuh kembang
bayi yang optimal adalah melalui praktek pemberian ASI eksklusif selama 6
bulan sejak bayi lahir. Hingga saat ini, cakupan dan durasi pemberian ASI
eksklusif masih rendah di berbagai negara (WHO 2003, 2011). Berdasarkan
laporan Riskesdas 2013, cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia hanya
30.2 % (Kemenkes 2013).
Sekresi atau produksi ASI yang tidak mencukupi merupakan faktor yang
paling umum yang menyebabkan berhentinya praktek pemberian ASI eksklusif.
ABM (2011) menguraikan bahwa sekresi dan produksi ASI dapat ditingkatkan
melalui penggunaan laktagogum, baik dalam bentuk sediaan farmasi atau obat
maupun laktagogum dari tanaman atau herbal.
Torbangun atau bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour.) merupakan
bahan pangan yang memiliki fungsi laktagogum. Daun torbangun telah
dimanfaatkan oleh masyarakat suku Batak dari Sumatera Utara secara turun-
temurun sebagai laktagogum. Daun torbangun umumnya dikonsumsi sebagai
sayur oleh masyarakat dan secara khusus dikonsumsi oleh ibu segera setelah
melahirkan hingga 30-40 hari pasca melahirkan dengan tujuan untuk
memperlancar dan meningkatkan produksi ASI (Damanik et al. 2001, 2006;
Damanik 2009).
Tradisi mengkonsumsi daun torbangun sebagai laktagogum hingga sekarang
masih terbatas di kalangan suku Batak dengan bentuk olahan sebagai sayur atau
sop. Rice (2011) menguraikan bahwa disamping manfaat daun torbangun sebagai
laktagogum, tanaman torbangun memiliki keunggulan yaitu mudah tumbuh
dengan umur panen yang relatif singkat sehingga sangat potensial untuk
dikembangkan pemanfaatannya.
Pengolahan daun torbangun menjadi tepung torbangun merupakan salah
satu upaya untuk memperluas pemanfaatan torbangun dengan sasaran pengguna
tidak terbatas hanya suku Batak. Selain volume bahan menjadi lebih kecil atau
lebih ringkas dengan daya simpan yang lebih lama dibandingkan dengan
torbangun segar, tepung torbangun diharapkan sebagai bentuk bahan pangan
setengah jadi yang lebih fleksibel untuk pengembangan produk pangan yang lebih
beragam. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Neacsu (2015) bahwa
pengolahan bahan pangan dari tumbuhan khususnya kelompok sayuran menjadi
bentuk tepung akan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan untuk
pengembangan produk yang kaya akan komponen bermanfaat pada bahan pangan
tersebut.
Polya (2003) menguraikan bahwa manfaat fungsional dari berbagai macam
tanaman dikaitkan dengan kandungan komponen bioaktifnya. Sejumlah
penelitian pada manusia dan hewan coba telah membuktikan fungsi daun
torbangun sebagai laktagogum, akan tetapi komponen aktif dari daun torbangun
yang berfungsi sebagai laktagogum belum banyak diketahui (Santosa 2001;
23

Damanik et al. 2006; Permana 2008; Rumetor 2008). Wahlqvist et al.(2005)


menjelaskan bahwa komponen aktif yang terkait dengan efek laktagogum ekstrak
air daun torbangun kemungkinan termasuk kelompok sterol, asam lemak, steroid,
asam organik dan turunannya atau kombinasinya.
Mortel and Mehta (2013) mengungkapkan bahwa pengetahuan tentang
bagaimana mekanisme laktagogum dari herbal atau tanaman masih terbatas
dibandingkan mekanisme laktagogum dalam bentuk sediaan farmasi. Mekanisme
laktagogum daun torbangun yang diajukan berdasarkan studi Silitonga (1993)
adalah melalui peningkatan aktivitas sel epitel kelenjar mammae tikus putih
Wistar, sedangkan Permana (2008) mengungkapkan mekanisme laktagogum
melalui peningkatan jumlah alveoli kelenjar mammae mencit yang aktif.
Kajian berbagai studi eksperimen oleh Anderson and Valdes (2007)
mengungkapkan bahwa mekanisme laktagogum dalam bentuk sediaan farmasi
seperti domperidone dan metoclopramide adalah melalui pelepasan hormon
prolaktin dengan menghambat reseptor dopamine pada kelenjar pituari anterior.
Jayadeepa (2011) melakukan studi dengan teknik in silico untuk membandingkan
mekanisme laktagogum dari domperidone dengan senyawa fitokimia yang
terdapat pada laktagogum herbal. Studi tersebut mengungkapkan bahwa senyawa
fitokimia seperti sesamin, trifoliol dan kaempferol berperan sebagai laktagogum
dengan mengaktifkan reseptor hormon prolaktin. Kaempferol merupakan senyawa
flavonoid golongan flavonol. Oleh karena itu, pada penelitian ini senyawa
kaempferol dianalisis sebagai parameter laktagogum dari tepung torbangun.
Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung rendemen tepung torbangun dan
menganalisis zat gizi, total flavonoid serta kaempferol pada tepung torbangun.

Metode

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan adalah daun torbangun (Coleus amboinicus Lour),
akuades, etanol teknis 95%, HMTL 0.5%, aseton, larutan HCl 25%, etil asetat,
asam glasial 5%, AlCl3 2%, standar kuersetin (0.5 ppm, 1 ppm, 10 ppm, dan 15
ppm), metanol 90%, heksan teknis, kloroform teknis, butanol teknis, fase gerak A
(air:asam format 0.1%), dan fase gerak B (asetonitril:asam format 0.1%).
Alat yang digunakan adalah tea roller, tea steaming, steam blancher, drum
dryer, desikator, oven, neraca, refluks, corong pemisah, kertas saring, rotary
evaporator, spektrofotometer UV-Vis, LC-MS (UPLC-QtoF-MS/MS System)
dengan kolom Symmetry (C18. 5 µm, 4.6 x 150 mm).

Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian dimulai dengan penanaman torbangun, pembuatan
tepung torbangun dan analisis kimia tepung torbangun. Analisis kimia tepung
torbangun terdiri dari analisis proksimat, total flavonoid dan kaempferol.

Pembuatan Tepung Torbangun


Torbangun yang digunakan pada pembuatan tepung diperoleh dari hasil
pemanenan torbangun setelah penanaman 10 minggu (Urnemi 2002). Bagian
tanaman yang digunakan adalah daun yang masih muda atau kira-kira 3 daun dari
ujung tangkai tanaman.
24

Pembuatan tepung torbangun dilakukan dengan memodifikasi pengolahan


secara tradisional pada tahap peremasan dan pemerasan. Tahap pembuatan tepung
torbangun meliputi tahap pencucian, diblansir dengan uap selama 2 menit,
penggulungan dengan tea roller, press dengan alat, pemasakan dengan uap
selama 3 menit, pengeringan dengan drum dryer, dan penepungan (Gambar 5).

Daun torbangun yang muda,


disortir dan dicuci

Diblansir dengan uap


(2 menit)

Digulung dan press

Dimasak dengan uap


(3 menit)

Dikeringkan dengan drum


dryer (3 rpm, T 140)

Ditepungkan dan diayak (80 mesh)

Tepung
torbangun

Gambar 5. Tahap pembuatan tepung torbangun

Analisis Proksimat Tepung Torbangun


Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi makro dari
tepung torbangun, tepung jagung, isolat protein kedelai dan susu skim bubuk.
Analisis proksimat meliputi analisis kadar air (metode oven), kadar abu (metode
pengabuan kering), kadar lemak (metode Soxhlet) dilakukan sesuai dengan SNI
01-2891-1992 (BSN 1992), kadar protein (metode mikro Kjeldahl) sesuai dengan
AOAC 960.52-1961 (AOAC 2010) dan kadar karbohidrat dengan metode by
difference.

Penentuan Total Flavonoid Tepung Torbangun


Total flavonoid diukur berdasarkan metode Chang et al. (2002)
menggunakan uji kolometrik aluminium klorida. Sebelum pengukuran total
flavonoid terlebih dahulu dilakukan ekstraksi tepung torbangun menggunakan
metode BPOM RI (2004) dan persiapan larutan induk.
Ekstraksi tepung torbangun: 5 gram tepung torbangun ditambahkan dengan
50 ml etanol teknis 95%, kemudian didiamkan selama 24 jam. Selanjutnya larutan
25

disaring dan direfluks selama 6 jam pada suhu 90°C. Kemudian larutan disaring
dan dievaporasi dengan rotary evaporator pada suhu 45°C, 85 rpm dan vakum 75
mBar, sehingga dihasilkan ekstrak tepung torbangun.
Pembuatan larutan induk: ekstrak tepung torbangun ditambahkan dengan 1
ml larutan HMTL 0.5%, 20 ml aseton dan 2 ml larutan HCl 25%. Campuran
tersebut dihidrolisis dengan cara direfluks menggunakan pendidih tegak selama 30
menit lalu disaring menggunakan kertas saring. Filtrat yang diperoleh dimasukkan
ke dalam labu takar 100 ml dan ditera dengan aseton. Diambil sebanyak 20 ml
filtrat dan dimasukkan ke dalam corong pemisah lalu dikocok. Ditambahkan 20
ml aquades dan ditera sebanyak 2 kali masing-masing dengan 25 ml dan 20 ml etil
asetat. Fase etil asetat yang diperoleh ditampung dan ditambahkan etil asetat
hingga volume menjadi 50 mL.
Pembuatan larutan sampel: 10 mL larutan induk, ditambahkan 1 ml AlCl3
2%, kemudian ditera dengan asam glasial 5% dalam metanol hingga 25 ml.
Pembuatan blanko berasal dari campuran 1 ml AlCl3 yang ditambahkan dengan
asam glasial 5% dalam metanol hingga volume 25 ml.
Pengukuran total flavonoid dilakukan setelah penambahan AlCl3 2% selama
30 menit dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 425 nm. Total
flavonoid ekstrak tepung torbangun dinyatakan dalam ekivelen kuersetin
(Quercetin Equivalents=QE). Larutan standar yang digunakan adalah kuarsetin
dengan konsentrasi 0.5 ppm, 1 ppm, 10 ppm, 15 ppm.

Penentuan Kaemferol dan Derivatifnya


Penentuan kaempferol dan derivatifnya pada tepung torbangun dilakukan
dengan modifikasi metode Hoberg (1999). Pemisahan dengan kromatografi
menggunakan LC-MS (UPLC-QtoF-MS/MS System) dengan kolom Symmetry
(C18. 5 µm, 4.6 x 150 mm) pada kecepatan aliran 1.0 mL/menit, fase gerak A
(air:asam format 0.1%) serta fase gerak B (asetonitril:asam format 0.1%).
Komponen yang terelusi diukur pada panjang gelombang 370 nm.
Ekstrak tepung daun torbangun yang diperoleh dilarutkan dengan 200 mL
metanol 90%. Setelah itu difraksinasi menggunakan pelarut dengan tingkat
kepolaran yang berbeda, berturut-urut dengan pelarut heksan, kloroform, dan
butanol teknis. Langkah awal difraksinasi dengan pelarut heksan teknis sebanyak
300 ml, kemudian dikocok beberapa kali. Kemudian dimasukkan dalam corong
pisah, diaduk hingga homogen. Selanjutnya difraksinasi dengan menggunakan
pelarut heksan teknis sebanyak 300 ml dan dikocok beberapa kali. Fase heksan
tersebut dipisahkan. Proses fraksinasi diulangi 3 kali, fase heksan disatukan, dan
dikeringkan dengan rotary evaporator menjadi fraksi heksan.
Fase metanol yang diperoleh ditambahkan dengan 100 mL aquadest.
Selanjutnya ditambahkan dengan 300 ml kloroform teknis (destilat) dan dikocok
beberapa kali. Fase kloroform yang diperoleh dipisahkan. Proses fraksinasi
diulangi 3 kali, dan dikumpulkan lalu dikeringkan dengan rotary evaporator
menjadi fraksi kloroform. Langkah ini diulang untuk pelarut butanol. Masing-
masing fase dianalisis dengan volume injeksi 10 µL.

Analisis Data
Data penelitian dianalisis secara deskriptif dan nilai pengukuran yang
diperoleh dinyatakan sebagai nilai rerata dan standar deviasi.
26

Hasil dan Pembahasan

Rendemen dan Kandungan Gizi Tepung Torbangun


Rendemen merupakan berat tepung torbangun yang dihasilkan
dibandingkan berat daun torbangun segar yang digunakan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rerata rendemen tepung torbangun yang diperoleh adalah
8.03±0.29%. Kandungan gizi tepung torbangun berdasarkan hasil analisis
proksimat dalam % berat basah disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Kandungan gizi tepung torbangun (% berat basah)

Komponen Jumlah (%)


Air 8.79±0.04
Abu 7.92±0.01
Lemak 9.17±0.00
Protein 20.91±0.01
Karbohidrat 53.21±0.05

Daun torbangun di dalam Tabel Komposisi Bahan Pangan Indonesia


dikelompokkan pada golongan sayuran. Kadar air daun torbangun segar yang
tertera pada tabel tersebut adalah 92.5% (Mahmud et.al 2009). Bahan pangan
dengan kadar air yang tinggi bersifat mudah rusak (Muchtadi 2013). Pengeringan
daun torbangun segar dengan drum dryer pada penelitian ini mampu mengurangi
kadar air hingga 83.71%. Oleh karena itu, pengolahan daun torbangun segar
menjadi tepung torbangun selain menjadikan tepung torbangun lebih fleksibel
dalam pemanfaatannya pada pembuatan berbagai produk pangan juga dapat
menjadi suatu bentuk alternatif untuk menambah daya simpannya dibandingkan
dengan torbangun segar.

Total Flavonoid Tepung Daun Torbangun


Tepung torbangun pada penelitian ini dibuat dari tanaman torbangun yang
ditanam sendiri untuk memperkecil peluang keberagaman kandungan fitokimia
dari bahan yang digunakan. Chludil et al. (2008) menyatakan bahwa senyawa
fitokimia yang terdapat pada tanaman sangat dipengaruhi oleh umur panen,
kondisi tanah, stress lingkungan baik secara fisik, biologi maupun kimiawi.
Flavonoid merupakan senyawa fenolik yang paling banyak pada tanaman,
dan quersetin merupakan senyawa flavonoid yang paling umum terdapat pada
bahan pangan. Kandungan total flavonoid tepung daun torbangun dengan
kuersetin sebagai standar adalah sebesar 1.02±0.08 mg QE/g. Kandungan total
flavonoid pada tepung torbangun pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan
dengan kandungan flavonoid daun torbangun kering asal Jakarta yang dilaporkan
oleh Khattak et al. (2012) yaitu 0.178±0.7 mg QE/g.

Kandungan Kaempferol Tepung Torbangun


Kaempferol merupakan senyawa flavonoid dengan struktur yang hampir
sama dengan kuersetin dan keduanya merupakan senyawa flavonoid golongan
flavonol yang umum terdapat pada buah dan sayuran (Materska 2008).
27

Kandungan kaempferol tepung torbangun yang diperoleh pada penelitian ini


adalah 9.64 mg/100 g.
Flavonoid pada bahan pangan umumnya terdapat dalam bentuk berikatan
dengan senyawa lain seperti glikosida. Kaempferol derivatif merupakan senyawa
gugus utama kaempferol yang berikatan dengan gugus lainnya (Wildman 2007).
Analisis ekstrak tepung torbangun yang difraksinasi menggunakan pelarut dengan
tingkat kepolaran yang berbeda menggunakan LCMS-MS dapat mendeteksi
adanya kaempferol derivatif dengan memecah senyawa derivatif tersebut menjadi
gugus utama dan gugus lainnya (Cuthbertson et al. 2013). Penentuan kaempferol
dan derivatifnya didasarkan pada berat molekul dari beberapa senyawa yang
termasuk kaempferol dan derivatif seperti pada Tabel 6. Tabel 7 menunjukkan
bahwa tepung torbangun yang dihasilkan pada penelitian ini juga mengandung
kaempferol derivatif. Jayadepa (2011) dengan teknik in silico mensimulasikan
mekanisme domperidone yaitu sediaan farmasi yang digunakan untuk
meningkatkan produksi ASI dengan komponen aktif dari herbal dan beberapa
tanaman yang digunakan sebagai laktagogum. Selanjutnya diuraikan bahwa
kompoen aktif kaempferol pada herbal atau tanaman tersebut memiliki
mekanisme yang mirip dengan domperidone yaitu menghambat reseptor
dopamine pada kelenjar pituari anterior sehingga memicu pelepasan hormon
prolaktin.

Tabel 6 Berat molekul kaempferol dan beberapa turunannya


Kaempferol dan derivat Rumus Massa [M+H]
Molekul (Da) molekul (Da) (Da)
Kaempferol C15H10O6 286.047729 287.055554
Kaempferol 3-O-glucoside (Astragalin) C21H20O11 448.100555 449.108380
Kaempferol 3-glucuronide C21H18O12 462.079834 463.087659
Kaempferitrin C27H30O14 578.163574 579.171399
Kaempferol 3-O-rutinoside C27H30O15 594.158447 595.166272

Tabel 7 Hasil analisis kualitatif kaempferol dan derivatifnya pada tepung


torbangun menurut fase pelarut

Fase pelarut
Kaempferol dan derivatifnya
heksan kloroform butanol air
Kaempferol + + + +
Kaempferol 3-O-glucoside (Astragalin) + + + +
Kaempferol 3-glucuronide + + + +
Kaempferitrin + + + +
Kaempferol 3-O-rutinoside + + + +

Simpulan

Rendemen tepung torbangun pada penelitian ini sebesar 8% dengan kadar


air sekitar 9%, total flavonoid sebesar 1 mgQE/g dan kandungan kaempferol
sebesar 9.64 mg/100 g. Kaempferol derivatif juga terdapat pada tepung torbangun
yang dihasilkan.
5 PENGEMBANGAN PRODUK MAKANAN TAMBAHAN
FUNGSIONAL UNTUK IBU MENYUSUI
BERBASIS TEPUNG TORBANGUN

Pendahuluan

Ibu menyusui membutuhkan zat-zat gizi yang lebih banyak daripada ibu
yang tidak menyusui. Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) bagi bangsa
Indonesia, ibu yang sedang menyusui bayi pada 6 bulan pertama membutuhkan
tambahan energi sebesar 330 kkal dan protein 20 g dibandingkan dengan ibu
yang tidak menyusui, pada golongan umur yang sama (Menkes 2013). Tambahan
tersebut penting untuk membantu penyembuhan setelah melahirkan,
meningkatkan status gizi dan kesehatan ibu serta mengisi ulang cadangan zat gizi
ibu (Gillespie 1999).
Mudjajanto & Sukandar (2007) mengungkapkan bahwa konsumsi energi
dan protein ibu menyusui secara rerata hanya memenuhi 60% dan 87% dari AKG.
Hasil Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) di Indonesia tahun 2014
menunjukkan bahwa banyak dari kelompok umur ibu menyusui yaitu umur 19-55
tahun dengan konsumsi energi dan protein pada kategori kurang. Terdapat
sebanyak 50% dari kelompok umur tersebut dengan konsumsi energi <70% dari
AKG dan sebanyak 33.8% dengan konsumsi protein <80% AKG (Kemenkes
2015). Ibu menyusui dengan konsumsi energi, protein dan zat gizi lainnya pada
kategori kurang, berisiko mengalami deplesi. Mengingat bahwa ASI merupakan
satu-satunya makanan yang paling ideal untuk bayi sejak lahir hingga 6 bulan
maka perlu diupayakan agar asupan zat gizi ibu menyusui dapat mencapai AKG.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk hal tersebut adalah melalui
pemberian makanan tambahan.
Produk makanan tambahan untuk ibu menyusui berbasis bahan pangan
yang memiliki fungsi laktagogum sangat potensial sebagai pangan alternatif bagi
ibu menyusui untuk memperbaiki asupan energi, protein dan sekaligus juga untuk
meningkatkan sekresi dan produksi ASI karena fungsi laktagogum dari bahan
pangan yang digunakan.
Torbangun atau bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour.) merupakan
bahan pangan lokal dari Sumatera Utara yang memiliki fungsi laktagogum.
Fungsi daun torbangun sebagai laktagogum telah dibuktikan oleh sejumlah
penelitian pada manusia (Santosa 2001; Damanik et al. 2006; 2009). Daun
torbangun umumnya diolah menjadi sayur atau sop dan biasanya dikonsumsi
segera setelah ibu melahirkan selama ±30 hari dengan tujuan untuk memperlancar
dan meningkatkan produksi ASI (Damanik et al. 2004; 2006; 2009).
Hingga saat ini, belum ada produk makanan tambahan yang diformulasi
berbasis tepung torbangun untuk ibu yang sedang menyusui. Rice (2011)
mengungkapkan bahwa selain fungsi laktagogum, tanaman torbangun memiliki
keunggulan yaitu mudah tumbuh dengan umur panen yang relatif singkat,
sehingga ketersediaan bahan baku daun torbangun untuk pengembangan produk
relatif mudah untuk diupayakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengembangkan produk makanan tambahan fungsional berbasis tepung
torbangun dalam bentuk produk siap saji untuk ibu menyusui dan menganalisis
29

karakteristik organoleptik, kandungan gizi, sifat fisik dan mikrobiologinya.


Produk tersebut diharapkan menjadi salah satu alternatif variasi olahan torbangun
dengan daya simpan yang lebih lama dan penggunaan yang lebih praktis
dibandingkan hasil olahan tradisional. Keistimewaan lainnya adalah konsumsi
produk tersebut tidak hanya berkontribusi terhadap tambahan asupan zat gizi yang
dibutuhkan oleh ibu menyusui tetapi sekaligus juga dapat mendukung praktek
pemberian ASI eksklusif melalui fungsi laktagogum yang dimilikinya.

Metode

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan untuk pengembangan produk makanan tambahan
untuk ibu menyusui dalam bentuk serbuk siap saji adalah tepung torbangun,
tepung jagung, isolat protein kedelai, susu skim bubuk dan tepung gula. Bahan
kimia digunakan untuk analisis zat gizi dan uji mikrobiologi.
Peralatan yang digunakan adalah peralatan untuk uji organoleptik, peralatan
gelas untuk analisis kimia dan sifat fisik, drum dryer dan disc mill.

Tahapan Penelitian
Penelitian ini dimulai dengan analisis proksimat bahan dasar untuk
pembuatan produk. Tahap selanjutnya meliputi formulasi bahan dasar, pengolahan
menjadi produk, uji organoleptik produk, analisis zat gizi dan pengujian sifat fisik
serta mikrobiologi dari 1 produk terpilih berdasarkan hasil uji organoleptik.

Analisis Proksimat Bahan Dasar


Analisis proksimat dilakukan terhadap tepung torbangun, tepung jagung,
isolat protein kedelai dan susu skim bubuk. Analisis proksimat meliputi analisis
kadar air (metode gravimetri), kadar abu (metode pengabuan kering), kadar lemak
(metode Soxhlet) dilakukan sesuai dengan SNI 01-2891-1992 (BSN 1992), kadar
protein (metode mikro Kjeldahl) sesuai dengan AOAC 960.52-1961 (AOAC
2010) dan kadar karbohidrat dengan metode by difference. Adapun data proksimat
tepung gula diketahui dari Tabel Komposisi Pangan Indonesia (Mahmud et al.
2009).

Formulasi Bahan untuk Pengembangan Produk


Formulasi atau penyusunan komposisi campuran bahan yang digunakan
ditujukan agar secara perhitungan kandungan zat gizi khususnya energi dan
protein dari produk yang dihasilkan dapat mendekati angka tambahan kalori dan
protein per hari bagi ibu menyusui dan porsi per 1 kali penyajian juga mendekati
serbuk sereal komersial. Tahap formulasi untuk pengembangan produk
menggunakan rancangan percobaan, yaitu rancangan acak lengkap dengan 1
faktor (Mattjik & Sumertajaya, 2006). Formulasi dilakukan dengan 1 faktor
perlakuan dengan 3 taraf pelakuan masing-masing 2 ulangan yaitu penggunaan
tepung daun torbangun berturut-urut 9.6 g (F1), 10.8 g (F2) dan 12 g (F3).
Formulasi menggunakan bahan dasar yang sama yaitu tepung jagung, isolat
protein kedelai, susu skim bubuk dan tepung gula.
30

Pengolahan Menjadi Produk


Formula yang disusun F1, F2 dan F3 masing-masing diolah menjadi
bentuk serbuk siap saji. Pengolahan dimulai dari pencampuran tepung jagung dan
isolat protein kedelai secara merata. Selanjutnya dibuat adonan dengan
penambahan air (1:4) dan dimasak dengan uap selama 10 menit Setelah itu
campuran tersebut dikeringkan dengan drum dryer (140oC; 3 rpm). Pengeringan
dengan alat ini akan menghasilkan produk berupa lembaran-lembaran tipis
kemudian ditepungkan dengan disc mill dan diayak dengan ukuran 80 mesh.
Selanjutnya dilakukan pencampuran kering (dry mix) tepung komposit tersebut
dengan susu skim bubuk, tepung gula dan tepung torbangun.

Uji Organoleptik Produk


Uji organoleptik produk dilakukan oleh 40 orang panelis konsumen yaitu
ibu menyusui bayi umur hingga 6 bulan yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas
Bantar Jaya Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor. Uji organoleptik
menggunakan 3 skala hedonik yaitu (1) tidak suka (2) biasa dan (3) suka.

Analisis Produk Terpilih


Berdasarkan pertimbangan hasil uji organoleptik dipilih 1 dari 3 produk
untuk dianalisis lebih lanjut. Analisis produk terpilih meliputi analisis proksimat,
sifat fisik dan uji mikrobiologi. Analisis sifat fisik meliputi daya serap air dan
kelarutan dalam air, sedangkan uji mikroba meliputi angka lempeng total, E. coli,
Salmonella, dan Staphylococcus aureus.

Analisis Data
Data hasil uji organoleptik dianalisis secara deskriptif berdasarkan nilai
modus dan persentase penerimaan panelis terhadap produk. Untuk mengetahui
pengaruh perlakuan terhadap tingkat kesukaan panelis yang meliputi warna, rasa,
aroma, tekstur dan overall produk digunakan uji Kruskal Wallis.

Hasil dan Pembahasan

Kandungan Gizi Bahan untuk Pengembangan Produk


Kandungan gizi dari bahan-bahan yang digunakan dalam pengembangan
produk disajikan pada Tabel 8. Selain pada bahan isolat protein kedelai,
komponen utama yang terdapat pada bahan-bahan yang digunakan untuk
formulasi adalah karbohidrat. Bahan formulasi dengan kandungan protein paling
tinggi adalah isolat protein kedelai. Kadar protein pada susu skim bubuk hanya
setengah dari nilai yang tertera pada daftar komposisi bahan pangan Indonesia
yaitu 35.6% dan tidak sesuai dengan syarat mutu susu menurut SNI 01-2970-
2006 dimana kadar protein pada susu berlemak atau kurang berlemak minimal
23% sedangkan pada susu bebas lemak minimal 30% (Mahmud 1990; DSN
2006).
31

Tabel 8 Kandungan gizi bahan untuk pengembangan produk (% berat basah)


Bahan Air Abu Lemak Protein Karbohidrat
Tepung torbangun 8.79±0.04 7.92±0.01 9.17±0.00 20.91±0.01 53.21±0.05
Tepung jagung 12.31±0.15 0.86±0.01 3.36±0.00 3.86±0.01 79.61±0.16
Susu skim bubuk 3.49±0.03 6.15±0.03 0.20±0.03 17.12±0.12 73.04±0.08
Isolat protein kedelai 6.08±0.02 3.54±0.02 1.93±0.01 70.93±0.11 17.52±0.15
Tepung Gula*) 5.40 0.60 0 0 94
*)
Kandungan gizi berdasarkan Tabel komposisi pangan Indonesia (Mahmud et al. 2009).

Hasil analisis proksimat bahan pada Tabel 8 digunakan sebagai


pertimbangan untuk merancang jumlah bahan yang digunakan pada tahap
formulasi disamping pertimbangan uji coba pengolahan. Jumlah tepung torbangun
yang digunakan untuk setiap formula didasarkan pada nilai rendemen pembuatan
tepung torbangun terhadap jumlah daun torbangun segar yang umum dikonsumsi
per hari di Sumatera Utara yaitu 120-150 g daun torbangun segar (Damanik
2009). Komposisi bahan dari masing-masing formula disajikan pada Tabel 9.
Selanjutnya, formula tersebut diolah menjadi bentuk serbuk siap saji berdasarkan
modifikasi pembuatan serbuk instan minuman sereal berbahan dasar jagung oleh
Charunuch et al. (2003).

Tabel 9 Komposisi bahan menurut jenis formula (%)


Bahan F1 F2 F3
Tepung torbangun 9.7 10.9 12.1
Tepung jagung 29.7 28.5 27.3
Isolat protein kedelai 20.2 20.2 20.2
Susu skim bubuk 10.1 10.1 10.1
Tepung gula 30.3 30.3 30.3
Total 100.0 100.0 100.0

Hasil Uji Organoleptik Produk


Penerimaan konsumen terhadap suatu produk baru merupakan salah satu
faktor yang perlu diperhatikan dari berbagai keunggulan produk tersebut
(Setianingsih at al. 2010). Penerimaan konsumen terhadap produk F1, F2 dan F3
dinilai melalui uji organoleptik untuk mendapatkan 1 produk yang lebih disukai
oleh panelis. Pengujian dilakukan oleh 40 orang panelis konsumen yaitu ibu
menyusui di wilayah kerja Puskesmas Bantar Jaya Kecamatan Rancabungur
Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Uji organoleptik menggunakan 3 skala
hedonik yaitu (1) tidak suka (2) biasa dan (3) suka.
32

Persentase penerimaan panelis terhadap produk dihitung berdasarkan


perbandingan jumlah panelis yang memberikan penilaian skala 2 (biasa) dan skala
3 (suka) terhadap total panelis. Tabel 10 menunjukkan bahwa penerimaan produk
berkisar antara 88% hingga 100%, dan secara keseluruhan (overall)
penerimaannya cukup baik dimana lebih dari 90% panelis dapat menerima ke-3
produk tersebut. Kesukaan panelis terhadap produk secara keseluruhan (overall)
merupakan nilai yang diperoleh peneliti berdasarkan penjumlahan skor penilaian
panelis dengan persentase sebagai berikut : 40% dari skor penilaian warna,
masing-masing 25% dari skor penilaian rasa dan aroma serta 10% dari skor
penilian terhadap tekstur. Persentase warna lebih tinggi karena penerimaan
konsumen terhadap suatu produk makanan seringkali diawali dengan penerimaan
terhadap penampakan atau warnanya.

Tabel 10 Persentase penerimaan panelis menurut jenis produk (%)


Jenis Produk Warna Rasa Aroma Tekstur Overall
Produk F1 100 88 98 95 98
Produk F2 100 98 95 100 100
Produk F3 98 98 98 100 100

Deskripsi warna dari produk yang dihasilkan adalah agak kehijauan dengan
aroma spesifik dari campuran aroma jagung dan torbangun. Tekstur di mulut
halus dengan perpaduan rasa manis dan rasa unik dari torbangun yaitu sedikit
agak pahit. Nilai modus dan persentase panelis menurut penilaian terhadap
warna, rasa, aroma, tekstur dan overall dari masing-masing produk disajikan pada
Tabel 11.

Tabel 11 Nilai modus dan persentase panelis menurut jenis produk


Jenis Warna Rasa Aroma Tekstur Overall
produk Modus (%) Modus (%) Modus (%) Modus (%) Modus (%)
Produk F1 3 (70%) 3 (50%) 3 (68%) 3 (68%) 3 (70%)
Produk F2 3 (60%) 2 (53%) 3 (53%) 3 (60%) 3 (60%)
Produk F3 3 (55%) 3 (70%) 2 (48%) 3 (75%) 3 (62%)

Nilai rerata kesukaan panelis terhadap produk F1, F2 dan F3 baik dari segi
warna, rasa, aroma, tekstur dan overall berada di atas kategori 2 dari 3 skala
penilaian (Tabel 12).

Tabel 12 Nilai rerata kesukaan panelis terhadap produk


Jenis Produk Warna Rasa Aroma Tekstur Overall
Produk F1 2.7±0.5a 2.4±0.7a 2.7±0.5a 2.6±0.6a 2.7±0.6a
Produk F2 2.6±0.5a 2.4±0.6a 2.5±0.6a 2.6±0.5a 2.6±0.5a
Produk F3 2.5±0.6a 2.7±0.5a 2.5±0.6a 2.8±0.4a 2.6±0.5a
Keterangan: Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan
yang signifikan dalam kelompok (p>0.05).
33

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rerata kesukaan panelis terhadap


warna, aroma, rasa, tekstur dan overall produk tidak berbeda signifikan (p>0.05).
Berdasarkan pertimbangan hasil uji organoleptik tersebut maka ke-3 produk
memiliki peluang yang sama untuk terpilih dan dianalisis lebih lanjut meliputi
analisis proksimat, sifat fisik dan uji mikrobiologi. Selanjutnya pemilihan 1
produk dilakukan berdasarkan pertimbangan manfaat laktagogum dari tepung
torbangun. Produk F3 dipilih yaitu produk dengan taraf penambahan tepung
torbangun yang lebih banyak (12 g) dengan persentase penerimaan panelis
terhadap warna, rasa, aroma, tekstur dan overall dari produk tersebut semuanya
berada di atas 95%.

Kandungan Gizi, Sifat Fisik dan Hasil Uji Mikrobiologi Produk F3


Kandungan gizi, sifat fisik dan hasil uji mikrobiologi produk F3
dicantumkan pada Tabel 13. Pada tabel tersebut turut dicantumkan SNI susu
sereal menurut BSN (1996) sebagai pembanding. Susu sereal dipilih sebagai
pembanding karena belum ada SNI produk sejenis produk F3 atau produk yang
menggunakan bahan pangan yang memiliki fungsi laktagogum.

Tabel 13 Kandungan gizi, sifat fisik, mikrobiologi produk F3


Karakteristik yang diuji Satuan Produk F3 SNI susu sereal*)
Kandungan gizi:
Air % b/b 4.36±0.11 maks.3.0
Abu % b/b 2.53±0.04 maks.4
Lemak % b/b 0.73±0.10 min.7
Protein % b/b 12.15±0.03 min. 5
Karbohidrat % b/b 80.23±0.04 min.60.7
Sifat fisik:
Indeks daya serap air - 3.06 -
Daya larut dalam air (%) 76.96 -
Mikrobiologi:
E. coli APM/g negatif maks. <3
Salmonella - negatif negatif
Staphylococus aureus - negatif negatif
Angka lempeng total (koloni/g) <1.0 x 101 maks. 5 x 105
*)
Syarat mutu susu sereal menurut SNI 01–4270–1996 (BSN 1996).

Kandungan energi produk F3 sebesar 376 kkal per 100 g. Kandungan energi
tersebut dihitung berdasarkan kandungan protein, lemak dan karbohidrat produk
F3 yaitu 4 kkal/g protein; 9 kkal/g lemak dan 4 kkal/g karbohidrat. Berdasarkan
AKG, ibu yang sedang menyusui bayi umur hingga 6 bulan memerlukan
tambahan kecukupan energi sebesar 330 kkal dan tambahan kecukupan protein
sebesar 20 g (Menkes 2013). Oleh karena itu, produk F3 dengan porsi sekali
penyajian 33 g dapat berkontribusi terhadap pemenuhan tambahan energi untuk
ibu yang sedang menyusui bayi umur hingga 6 bulan sebesar 38% dan
pemenuhan tambahan protein sebesar 20%.
34

Produk F3 memiliki indeks daya serap air sebesar 3.06 dengan daya larut
dalam air sebesar 76.96%. Komponen bahan pangan yang terutama berkontribusi
terhadap daya serap air adalah pati. Pada produk F3, tepung jagung merupakan
bahan pangan yang terutama berkontribusi terhadap daya serap air dibandingkan
bahan pangan lainnya karena kandungan pati pada jagung yang lebih tinggi
(Marleni 2008).
Pengujian mikrobiologi juga sangat penting pada produk pangan untuk
menjamin keamanannya (Setianingsih at al. 2010). Hasil analisis mikrobiologi
menunjukkan hasil yang negatif untuk bakteri E.coli, Salmonella dan S.aureus.
Nilai angka lempeng total yaitu <1.0 x 101 (koloni/g) masih dalam batas toleransi
yang diizinkan menurut SNI 01–4270–1996 untuk persyaratan serbuk instan yang
terbuat dari susu bubuk dan sereal dengan penambahan bahan makanan lain dan
atau tanpa bahan tambahan makanan yang diizinkan yaitu maks. 5 x 105 koloni/g
(BSN 1996).

Simpulan

Rerata kesukaan panelis terhadap warna, aroma, rasa, tekstur, overall


produk F1, F2 dan F3 tidak berbeda signifikan (p>0.05). Secara umum, hampir
semua panelis dapat menerima produk F1, F2 dan F3 baik dari segi warna, rasa,
aroma, tekstur dan overall. Produk F3 merupakan produk terpilih dengan taraf
penambahan tepung torbangun yang lebih banyak dan persentase penerimaan
panelis terhadap warna, rasa, aroma, tekstur, overall, semuanya diatas 95%. Tiap
100 gram produk F3 memiliki kandungan energi sebesar 376 kkal dan protein
sebesar 12.15 g dengan daya larut dalam air sebesar 75%. Produk F3 aman untuk
dikonsumsi dengan hasil uji negatif untuk bakteri E.coli, Salmonella dan S. aureus
dengan nilai angka lempeng total masih dalam batas toleransi.
6 PENGARUH PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN
BERBASIS TEPUNG TORBANGUN DAN KONSELING
MENYUSUI TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF
DAN PERTUMBUHAN BAYI

Pendahuluan

Pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif merupakan praktek pemberian


makanan yang paling sesuai untuk bayi sejak lahir hingga usia 6 bulan.
Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan merupakan salah satu
strategi global untuk mencapai pertumbuhan, perkembangan, kesehatan dan
kelangsungan hidup bayi yang optimal (WHO 2011).
ASI eksklusif memiliki banyak keunggulan dan manfaat baik dari aspek
gizi, aspek imunologis, aspek psikologis, aspek kecerdasan, aspek ekonomis dan
aspek penundaan kehamilan (Duijts et al. 2009). Meskipun banyak manfaat
pemberian ASI eksklusif, cakupannya yang rendah di berbagai negara termasuk
Indonesia masih menjadi salah satu keprihatinan di bidang gizi masyarakat. Data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 menunjukkan bahwa cakupan
pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai 6 bulan hanya 30.2% (Kemenkes
2013).
Faktor ASI belum keluar atau produksi ASI yang tidak mencukupi
merupakan faktor utama dan yang paling umum untuk memberikan substitusi atau
pengganti ASI sehingga pemberian ASI eksklusif menjadi gagal (Gatti 2008;
Hauck et al. 2011; Hurley et al. 2008; Kent et al. 2012). Studi oleh Hidayat et al.
(2010) di Jawa Barat mengungkapkan bahwa 32.2% dari 609 responden mengaku
telah diberi cairan pralaktal berupa susu formula oleh petugas kesehatan di rumah
bersalin karena ASI belum keluar. Faktor terkait lainnya adalah pengetahuan dan
perilaku di masyarakat yang tidak mendukung untuk mempraktekkan pemberian
ASI eksklusif (Agho et al. 2011; Haider et al. 2010).
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan laju sekresi dan
produksi ASI adalah melalui penggunaan galaktagogum (galactagogue). Definisi
galaktagogum atau laktagogum menurut ABM (2011) adalah obat-obatan atau zat
lain yang dapat membantu inisiasi, mengatur atau meningkatkan laju produksi
ASI. Sementara itu, untuk sejumlah perilaku yang tidak mendukung pemberian
ASI eksklusif dapat diperbaiki melalui konseling menyusui (Depkes 2007).
Tanaman torbangun atau bangun-bangun (Coleus amboinicus (Lour.)
merupakan tanaman pangan yang memiliki fungsi sebagai laktagogum.
Pemanfaatan torbangun masih terbatas di kalangan masyarakat suku Batak. Daun
torbangun umumnya dimasak sebagai sayur atau sop untuk dikonsumsi ibu segera
setelah melahirkan agar produksi ASI meningkat (Damanik et al. 2006; Damanik
2009).
Ibu menyusui membutuhkan zat-zat gizi yang lebih banyak daripada ibu
yang tidak menyusui (LIPI 2004). Namun, belum ada produk yang diformulasi
dan dikembangkan berbasis tepung torbangun menjadi makanan tambahan untuk
ibu menyusui. Padahal tanaman torbangun sangat potensial untuk dikembangkan
baik dari fungsi laktagogumnya, maupun dari sifatnya yang sangat mudah tumbuh
36

dengan umur panen yang singkat (Rice 2011). Oleh karena itu, dikembangkan
produk makanan tambahan bagi ibu menyusui berbasis tepung torbangun dalam
bentuk produk siap saji. Jumlah tepung torbangun yang digunakan dalam
pengembangan produk tersebut setara dengan jumlah daun torbangun segar yang
umum dikonsumsi oleh ibu-ibu dari masyarakat suku Batak pasca melahirkan
(Damanik 2009). Produk tersebut diharapkan menjadi salah satu alternatif variasi
olahan torbangun, lebih tidak mudah rusak dan penggunaan yang lebih praktis
dibandingkan hasil olahan tradisional. Keistimewaan lainnya adalah konsumsi
produk tersebut diharapkan tidak hanya berkontribusi terhadap tambahan asupan
zat gizi yang dibutuhkan oleh ibu menyusui tetapi sekaligus juga dapat
mendukung praktek pemberian ASI eksklusif melalui fungsi laktagogum yang
dimilikinya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pemberian
produk makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun pada ibu
menyusui yang mendapat konseling menyusui terhadap pemberian ASI eksklusif
dan pertumbuhan bayi.

Metode

Desain, Tempat, dan Waktu


Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain single blind
randomized controlled trial, menggunakan 2 kelompok perlakuan yaitu:
1) kelompok subjek yang diberikan konseling menyusui dan produk makanan
tambahan mengandung tepung torbangun, disebut sebagai kelompok intervensi;
2) kelompok subjek yang diberikan konseling menyusui dan produk makanan
tambahan tidak mengandung tepung torbangun, disebut sebagai kelompok
kontrol. Penelitian dilaksanakan di 4 desa wilayah kerja Puskesmas Bantar Jaya
Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor yaitu desa Bantar Sari, Bantar Jaya,
Cimulang dan Pasir Gaok, pada bulan Juli sampai Desember 2013.

Populasi dan Subjek Penelitian


Populasi pada penelitian ini adalah ibu hamil pada trimester ke-3 di 4 desa
wilayah kerja Puskesmas Bantar Jaya Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor.
Subjek penelitian adalah sebagian dari populasi dengan kriteria inklusi, yaitu
umur 20-35 tahun, tidak bekerja formal, kehamilan ke-2 hingga kehamilan ke-5,
tidak menderita penyakit kronis, tidak merokok, persalinan ditolong tenaga
kesehatan. Kriteria eksklusi, bila bayi lahir prematur atau berat badan lahir kurang
dari 2500 g dan persalinan tidak secara normal atau dengan cara operasi caesar.
Jumlah minimal subjek penelitian ditentukan dengan rumus sebagai berikut
(Lemeshow et al. 1990):
σ2
n ≥2 (Z1-α/2 + Z1-β)2

n = jumlah subjek sebagai jumlah ulangan untuk setiap kelompok perlakuan


Z1-α/2 = nilai Z pada uji 2 sisi dengan tingkat kemaknaan (α) 5%=1.96
Z1-β = nilai Z pada kekuatan uji (1-β) 80%=0.842
 = perbedaan rata-rata pemberian ASI eksklusif (µ1-µ2)=80.2 hari
σ = standar deviasi dari rata-rata pemberiaan ASI eksklusif=53.3 hari
(asumsi nilai  dan σ berdasarkan penelitian Nurhayati 2007)
37

Berdasarkan perhitungan dengan rumus tersebut, maka jumlah minimal


subjek untuk setiap kelompok perlakuan adalah sebanyak 7 orang, kemudian
ditambah 3 orang untuk kemungkinan subjek gagal untuk diikuti (loss to follow
up). Total subjek penelitian berjumlah 20 orang.

Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian dimulai dengan mengelompokkan secara random 20
orang subjek penelitian menjadi 2 kelompok yaitu 10 orang sebagai kelompok
intervensi dan 10 orang sebagai kelompok kontrol. Ibu hamil tersebut diikuti
hingga melahirkan.
Seluruh subjek penelitian diberikan konseling menyusui dengan frekuensi 2
kali sebelum melahirkan dan 3 kali selama pemberian makanan tambahan.
Konseling menyusui dilakukan melalui kunjungan rumah dengan durasi 45 menit
per 1 kali pertemuan oleh petugas yang telah mengikuti pelatihan konseling
menyusui metode WHO/UNICEF /Kemenkes 40 jam.
Tahap pemberian makanan tambahan pada subjek dilakukan selama 30 hari
dimulai pada hari ke-2 setelah melahirkan. Desain single blind randomized
controlled trial digunakan untuk menentukan jenis produk makanan tambahan
yang diberikan ke ibu yaitu kelompok intervensi (n=10) mendapat produk yang
mengandung tepung torbangun dan kelompok kontrol (n=10) mendapat produk
tanpa tepung torbangun.

Bahan Intervensi
Bahan intervensi meliputi materi konseling menyusui dan produk makanan
tambahan untuk ibu menyusui. Materi konseling menyusui bersumber dari modul
konseling menyusui metoda WHO/UNICEF/Kemenkes 40 jam (Depkes 2007),
meliputi rekomendasi pemberian ASI, mengapa menyusui penting, bahaya
makanan pralaktal dan susu formula, inisiasi menyusui dini, kolostrum, kaitan
menyusui dengan kesuburan, posisi dan pelekatan, cara mempertahankan
menyusui, ASI tidak cukup dan bayi menangis. Setiap subyek penelitian
mendapat 1 buku kecil yang berisi ringkasan materi konseling sebagai panduan
bagi ibu.
Produk makanan tambahan yang diberikan terdiri dari 2 jenis yaitu produk
makanan tambahan yang mengandung tepung torbangun (FT) dan produk
makanan tambahan tanpa tepung torbangun (F0). Ke-2 produk dibuat dengan
bahan dasar yang sama yaitu tepung jagung, isolat protein kedelai, susu skim
bubuk, gula (Lampiran 2). Komposisi bahan dari produk FT dan produk F0
disajikan pada Tabel 14.
Masing-masing subjek penelitian mendapat 3 kemasan produk makanan
tambahan per hari selama 30 hari sejak hari ke-2 setelah ibu melahirkan. Produk
dikemas dengan bentuk, ukuran dan bahan kemasan yang sama. Produk dikonsumsi
3 kali sehari pada selang waktu makan utama dan pada malam hari sebelum tidur.
Tiap kemasan berisi 33 g produk berupa serbuk siap saji. Produk didistribusikan
ke ibu 2 kali dalam seminggu. Penyajian produk dengan diseduh air matang yang
panas sebanyak 1 gelas (±200 ml) untuk setiap kemasan.
38

Tabel 14 Komposisi bahan dari produk makanan tambahan FT dan F0 (%)

Bahan Produk makanan tambahan


FT F0
Tepung torbangun 12.1 0.0
Tepung jagung 27.3 39.4
Isolat protein kedelai 20.2 20.2
Susu skim bubuk 10.1 10.1
Tepung gula 30.3 30.3
Total 100.0 100.0

Jenis dan Cara Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan adalah data primer meliputi karakteristik subjek dan
keluarga (umur, tinggi badan, paritas, jumlah anak balita dan anggota keluarga,
pendidikan, pekerjaan dan pendidikan suami), karakteristik bayi (jenis kelamin,
tempat lahir), pengetahuan dan sikap ibu tentang ASI eksklusif. Selain data tinggi
badan ibu, semua data tersebut diperoleh melalui wawancara menggunakan
kuesioner oleh enumerator lulusan S1 Gizi yang telah dilatih, sedangkan data
tinggi badan ibu diperoleh melalui pengukuran menggunakan mikrotoa yang
memiliki ketelitian 0.1 cm. Pengukuran pengetahuan dan sikap ibu tentang ASI
eksklusif dilakukan sebelum intervensi konseling menyusui dan setelah konseling
terakhir dengan menggunakan kuesioner yang dimodifikasi dari pre-post test pada
modul Behavior Change Communication for Improved Infant Feeding dan
disesuaikan dengan materi konseling yang diberikan. Kuesioner yang digunakan
terdiri dari 12 pertanyaan pengetahuan tentang ASI, masing-masing dengan 4
pilihan jawaban dan 12 pernyataan sikap tentang ASI, masing-masing dengan 3
pilihan jawaban yaitu: setuju, ragu-ragu atau tidak setuju.
Data antropometri bayi meliputi berat badan, panjang badan dan lingkar
kepala diperoleh melalui pengukuran langsung. Berat badan diukur saat bayi lahir
dan setiap hari selama periode Pemberian Makanan Tambahan (PMT) kepada ibu
dengan timbangan bayi kapasitas 20 kg ketelitian 0.01 kg. Panjang badan diukur
dengan alat pengukur panjang badan bayi dalam posisi berbaring dengan
ketelitian 0.1 cm. Lingkar kepala diukur dengan pita ukur lingkar kepala dengan
ketelitian 0.1 cm. Panjang badan dan lingkar kepala diukur pada saat lahir dan
pada akhir PMT.

Pengolahan dan Analisis Data


Data pengetahuan tentang ASI diolah dengan memberi skor 100 untuk 12
pertanyaan yang dijawab dengan benar oleh subjek penelitian. Pengolahan data
sikap tentang ASI dilakukan dengan memberi skor 100 untuk 12 pernyataan yang
dijawab dengan benar oleh subjek, dimana pilihan jawaban yang benar adalah
“setuju” untuk pernyataan positif dan “tidak setuju” untuk pernyataan negatif.
Pengolahan dan analisis data dilakukan menggunakan program pengolah
data Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS versi 16. Analisis data dilakukan
secara deskriptif dan inferensial dengan tingkat signifikansi atau nilai p<0.05.
Analisis secara deskriptif dilakukan dengan menghitung rata-rata dan standar
39

deviasi untuk data numerik dan persentase untuk data kategorik. Analisis
inferensial dilakukan dengan uji beda rerata setelah terlebih dahulu dilakukan uji
kenormalan data menggunakan uji Shapiro-Wilk.
Rerata skor pengetahuan antara kelompok intervensi dengan kelompok
kontrol, sebelum intervensi konseling dilakukan dengan uji t independen dan pada
akhir intervensi konseling menyusui dengan uji Mann-Whitney. Rerata skor sikap
antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol, sebelum maupun pada
akhir intervensi konseling masing-masing dilakukan dengan uji t independen.
Rerata skor pengetahuan dan sikap tentang ASI eksklusif antara sebelum dengan
sesudah intervensi konseling menyusui pada masing-masing kelompok perlakuan
dilakukan dengan uji Wilcoxon.
Rerata antropometri bayi antar kelompok perlakuan, saat lahir atau sebelum
PMT dan pada akhir PMT dilakukan dengan uji t independen untuk berat badan
dan panjang badan serta uji Mann-Whitney terhadap ukuran lingkar kepala dan
parameter rerata waktu untuk mencapai kembali berat badan bayi ≥BBL pada
akhir PMT ibu.

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Subjek dan Keluarga

Tabel 15 Karakteristik subjek dan keluarga


Kel.intervensi Kel.kontrol
Karakteristik
(n=10) (n=10)
Umur ibu (tahun) 28.5(22;35) a) 27(22;35) a)
Tinggi badan ibu (cm) 151.4±4.7 b) 154.9±5.2 b)
Paritas (orang) 3(2;4) a) 2(1;4) a)
Jumlah anak balita (orang) 2(1;3) a) 1(0;2) a)
Jumlah anggota keluarga (orang) 5.5(4;9) a) 5(4;6) a)
Umur suami (tahun) 34.7±5.1 b) 33.2±6.9 b)
n (%) n (%)
Pendidikan ibu
SD 5(50) 3(30)
SLTP 2(20) 4(40)
SLTA 2(20) 2(20)
PT 1(10) 1(10)
Pendidikan suami
SD 2(20) 0(0)
SLTP 3(30) 4(40)
SLTA 3(30) 5(50)
PT 2(20) 1(10)
Pekerjaan suami
Buruh/tukang/supir 5(50) 4(40)
Karyawan/satpam/guru swasta 4(40) 3(30)
PNS 1(10) 0(0)
Wiraswasta 0(0) 3(30)
Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antar kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol (p>0,05). a) Median (minimum; maksimum), perbedaan antar kelompok dengan uji Mann-
Whitney. b) Rerata±standar deviasi, perbedaan antar kelompok dengan uji t independen
40

Secara umum, karakteristik subjek dan keluarga antara kelompok intervensi


dan kelompok kontrol seperti disajikan pada Tabel 15, tidak berbeda signifikan
(p>0.05). Umur subjek penelitian saat bayi yang dikandungnya lahir, paling muda
adalah 22 tahun dan paling tua 35 tahun. Tinggi badan subjek penelitian berkisar
antara 145.5 cm hingga 164 cm. Subjek penelitian dengan tinggi badan <150 cm
ada sebesar 50% di kelompok intervensi dan sebesar 20% di kelompok kontrol.
Subjek penelitian ini diikuti pada kehamilan trimester ke3 hingga melahirkan.
Kemenkes (2013) menguraikan bahwa wanita hamil dengan tinggi badan <150 cm
termasuk wanita hamil berisiko tinggi. Persentase subjek dengan tinggi badan
<150 cm pada lokasi penelitian ini yang merupakan bagian dari wilayah Provinsi
Jawa Barat sejalan dengan hasil yang diungkapkan pada Riskesdas 2013 yaitu,
Provinsi Jawa Barat termasuk salah satu dari 19 provinsi dengan prevalensi wanita
hamil berisiko tinggi berdasarkan tinggi badan (<150 cm) di atas nasional atau
lebih besar dari 31.3%.

Pengetahuan dan Sikap Ibu tentang ASI Eksklusif


Sebelum intervensi konseling menyusui, ada 3 pertanyaan dengan
persentase jawaban benar kurang dari 50% pada kelompok intervensi (FT), yaitu
pertanyaan nomor 1, 9,11 tentang kapan bayi mulai menyusu; tanda bayi tidak
mendapat ASI yang cukup; dan tanda mulut bayi melekat dengan baik ke
payudara saat menyusui. Pada Tabel 16 terlihat bahwa 3 pertanyaan tersebut juga
merupakan 3 pertanyaan dengan persentase jawaban benar yang rendah pada
kelompok kontrol (F0).

Tabel 16 Persentase jawaban benar tentang pengetahuan ASI eksklusif (%)


Kel. perlakuan (FT) Kel. kontrol (F0)
Topik pertanyaan sebelum sesudah sebelum sesudah
1. Setelah persalinan, kapan bayi mulai menyusu 40 100 67 100
2. Pengertian tentang ASI eksklusif 70 100 89 100
3. Umur bayi diberikan ASI eksklusif 80 100 100 100
4. Makanan yang paling tepat untuk bayi sejak 90 100 89 100
lahir sampai 6 bulan
5. Pemberian kolostrum 70 100 89 100
6. Pemberian cairan atau makanan selain ASI 60 100 89 100
7. Umur bayi diberikan ASI 90 100 89 100
8. Kapan mulai diberikan MP-ASI 80 100 100 100
9. Tanda bayi tidak mendapat ASI yang cukup 0 60 11 56
10. Frekuensi bayi disusui selama sehari 60 100 78 100
11. Tanda mulut bayi melekat dengan baik ke 0 70 0 78
payudara saat menyusu
12. Porsi makan ibu menyusui 70 100 100 100

Jawaban yang paling banyak diberikan oleh subjek penelitian pada


kelompok intervensi dan kelompok kontrol terhadap pertanyaan ‘kapan bayi mulai
menyusu adalah setelah dimandikan. Sedangkan untuk pertanyaan tanda bayi
tidak mendapat ASI yang cukup adalah bayi seringkali menangis; jawaban untuk
tanda mulut bayi melekat dengan baik ke payudara saat menyusui dengan jawaban
mulut bayi menempel di puting. Depkes (2007) menguraikan bahwa segera
setelah persalinan, bayi tidak dimandikan dulu baru diberikan ASI tetapi idealnya
41

bayi segera diberikan ASI melalui proses inisiasi menyusui dini. Tanda yang lebih
obyektif bahwa bayi tidak mendapat ASI yang cukup adalah bayi kencing sedikit
dan pekat, sedangkan tanda mulut bayi melekat dengan baik ke payudara saat
menyusui adalah bibir bawah bayi berputar keluar.
Pada Tabel 17 terlihat bahwa pernyataan sikap dengan persentase jawaban
benar yang sangat rendah yaitu kurang dari 25% pada kelompok intervensi (FT)
maupun kelompok kontrol (F0) adalah pernyataan tentang bayi mulai menyusu
setelah dimandikan dan pernyataan tentang memberi ASI saja ke bayi sampai
umur 6 bulan kemungkinan ibu hamil pada masa tersebut lebih kecil.

Tabel 17 Persentase jawaban benar tentang sikap terhadap ASI eksklusif (%)
Kel. perlakuan (FT) Kel. kontrol (F0)
Topik pernyataan sikap
sebelum sesudah sebelum sesudah
1. Kebutuhan gizi bayi dari lahir sampai umur 100 100 100 100
6 bulan dapat dipenuhi hanya dari ASI saja
2. Setelah persalinan, bayi mulai menyusu 0 100 22 89
setelah dimandikan
3. Kolostrum tidak diberikan 50 90 100 100
4. Makanan tertentu (misalnya madu) 80 100 89 100
diberikan kepada bayi baru lahir
5. Bayi mulai diberi makan setelah umur 6 100 100 100 100
bulan
6. Pemberian ASI eksklusif sampai bayi umur 90 90 56 89
4 bulan
7. ASI diberikan ke anak sampai umur 2 tahun 90 100 100 100
atau lebih
8. Bayi 0-6 bulan sering menangis diberi susu 70 90 56 100
botol sebagai tambahan ASI
9. Bayi disusui sesuai jadwal yang dibuat ibu 70 90 78 89
10. Porsi makan ibu menyusui lebih sedikit 80 100 89 100
supaya tidak gemuk
11. Memberi ASI saja ke bayi sampai umur 6 10 80 11 78
bulan, kemungkinan ibu hamil pada masa
tersebut lebih kecil
12. Bayi yang diberi ASI eksklusif lebih kecil 50 90 89 89
kemungkinannya diare dibandingkan bayi
yang diberi susu botol

Skor pengetahuan dan sikap ibu tentang ASI eksklusif melalui intervensi
konseling menyusui disajikan pada Tabel 18. Sebelum intervensi konseling
menyusui, rerata skor pengetahuan dan skor sikap antara kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol tidak berbeda signifikan (p>0.05). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa konseling menyusui secara signifikan meningkatkan rerata
skor pengetahuan dan sikap responden tentang ASI eksklusif pada masing-masing
kelompok perlakuan. Pada kelompok intervensi, rerata skor pengetahuan dari
59.1±22.4 menjadi 94.1±6.9. rerata skor sikap dari 65.8±11.4 menjadi 94.1±8.8
(p<0.05). Pada kelompok kontrol, rerata skor pengetahuan dari 75.0±11.8 menjadi
94.4±7.2, rerata skor sikap dari 75.0±14.4 menjadi 94.4±11.0 (p<0.05). Pada akhir
intervensi konseling menyusui, rerata skor pengetahuan dan skor sikap antara
kelompok intervensi dengan kelompok kontrol adalah sebanding atau tidak
berbeda signifikan (p>0.05).
42

Studi melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan di


Bangladesh oleh Haider et al. (2010) mendukung hasil penelitian ini, bahwa
teknik konseling dapat meningkatkan pengetahuan dan perilaku ibu dan anggota
keluarga untuk mendukung praktek menyusui eksklusif.

Tabel 18 Perubahan skor pengetahuan dan sikap tentang ASI eksklusif


Kel.Intervensi (n=10) Kel.Kontrol (n=10)
Komponen Nilai p
Rerata±SD Rerata±SD
Pengetahuan
Sebelum 59,1±22,4 75,0±11,8 0,075
Sesudah 94,1±6,9 94,4±7,2 0,893
Perubahan 35,0±22,5 19,4±16,1 0,105
Nilai p dalam kelompok 0,005 0,017
Sikap
Sebelum 65,8±11,4 75,0±14,4 0,148
Sesudah 94,1±8,8 94,4±11,0 0,776
Perubahan 28,3±13,1 19,4±13,8 0,113
Nilai p dalam kelompok 0,005 0,007

Kontribusi Produk terhadap Asupan Energi dan Protein Ibu Menyusui


Jumlah produk yang dikonsumsi oleh subjek penelitian adalah 3 kemasan
per hari. Kepatuhan mengonsumsi produk makanan tambahan dimonitor dengan
wawancara dan observasi terbatas pada saat penimbangan berat badan bayi
melalui kunjungan rumah setiap hari. Kepatuhan mengonsumsi produk sebesar
100%, namun seorang subjek penelitian mengaku pernah 1 kali menyajikan tidak
sesuai dengan anjuran yaitu 1 kemasan yang diperoleh subjek dicampur dengan
adonan bakwan untuk digoreng dan dikonsumsinya.
Produk makanan tambahan dengan tepung torbangun (FT) tiap 100 g
memiliki kandungan energi sebesar 376 kkal dan dan protein sebesar 12 g,
sedangkan produk tanpa tepung torbangun (F0) dengan kandungan energi 369
kkal dan protein 15 g (Tabel 19). Berdasarkan angka kecukupan gizi yang
dianjurkan (AKG) bagi bangsa Indonesia tahun 2013, tambahan energi untuk ibu
menyusui bayi pada 6 bulan pertama adalah 330 kkal dan protein 20 g. Oleh
karena itu, PMT sebanyak 3 kemasan per hari (3 x 33 g) berkontribusi terhadap
pemenuhan tambahan kecukupan energi dan protein ibu masing-masing sebesar
113% dan 59% (produk FT) dan 111% dan 74% (produk F0).

Tabel 19 Kontribusi energi dan protein terhadap tambahan AKG ibu menyusui
Jumlah Kontribusi terhadap
Tambahan (3xukuran saji =3x33 g) tambahan AKG (%)
Komponen
AKG*)
Produk FT Produk F0 Produk FT Produk F0
Energi (kkal) 330 372.2 365.3 113% 111%
Protein (g) 20 11.9 14.9 59% 74%
*) Tambahan zat gizi per hari untuk ibu menyusui bayi 0-6 bulan menurut AKG 2013
43

Karakteristik Bayi
Bayi yang dilahirkan subjek dari kelompok intervensi sebesar 70% berjenis
kelamin laki-laki dan bayi laki-laki yang dilahirkan subjek dari kelompok kontrol
sebesar 50%. Semua bayi lahir dengan penolong persalinan oleh tenaga bidan
namun masih ada 30% bayi dari kelompok intervensi dan 20% bayi dari
kelompok kontrol yang dilahirkan di tempat persalinan yang tidak ideal yaitu di
rumah dan di perjalanan. Kemenkes (2013) menguraikan bahwa proses kelahiran
bayi dihadapkan pada kondisi kritis sehingga sangat diharapkan dilakukan di
fasilitas kesehatan. Tempat yang ideal untuk melahirkan bayi adalah rumah sakit
atau minimal di fasilitas kesehatan lainnya agar bila sewaktu-waktu
membutuhkan penanganan medis darurat maka dapat segera ditangani atau bila
perlu rujukan dapat segera dilakukan.
Rerata berat bayi lahir pada kelompok intervensi adalah 3190 dan pada
kelompok kontrol sebesar 3355 g. Tidak ada bayi lahir pendek (<48 cm) pada
ke-2 kelompok. Rerata lingkar kepala bayi saat lahir pada ke-2 kelompok relatif
sama yaitu sekitar 33 cm. Hasil analisis dengan uji t independen terhadap rerata
ukuran berat badan lahir dan panjang badan lahir serta hasil analisis dengan uji
Mann-Whitney terhadap rerata ukuran lingkar kepala lahir menunjukkan bahwa,
antropometri bayi yang dilahirkan subjek kelompok intervensi dengan kelompok
kontrol tidak berbeda signifikan (p>0.05). Dengan kata lain, sebelum PMT kepada
ibu, ukuran antropometri bayi antara kelompok intervensi dengan kelompok
kontrol adalah sebanding (Tabel 20).

Pengaruh Jenis PMT Ibu terhadap Pertumbuhan Bayi


Mortel dan Mehta (2013) menguraikan beberapa studi tentang efikasi
galaktagogum yang berasal dari herbal diukur berdasarkan parameter
antropometri bayi dan waktu kembali untuk mencapai kembali berat badan lahir
(BBL). Pada penelitian ini, pengaruh produk makanan tambahan yang
mengandung tepung torbangun yang diberikan kepada ibu selama 30 hari terhadap
pertumbuhan bayi didasarkan pada paramater waktu untuk mencapai kembali
BBL dan antropometri bayi pada akhir PMT yaitu berat badan, panjang badan dan
lingkar kepala (Tabel 20).

Tabel 20 Antropometri bayi saat lahir dan pada akhir PMT ibu
Kel.intervensi (n=10) Kel.kontrol (n=10)
Antropometri bayi Nilai p
Rerata±SD Rerata±SD
Berat badan (g)
Saat lahir 3190±369,5 3355±328,7 0,305
Akhir PMT ibu 4470±561,8 4450±392,3 0,927
Panjang badan (cm)
Saat lahir 49,6±1,2 49,3±1,4 0,613
Akhir PMT ibu 54,6±1,5 54,8±1,5 0,808
Lingkar kepala (cm)
Saat lahir 33,5±0,5 33,1±0,9 0,282
Akhir PMT ibu 36,5±1,9 34,8±1,0 0,044
44

Hasil uji statistik terhadap rerata antropometri bayi pada akhir PMT ibu
menunjukkan bahwa produk makanan tambahan yang mengandung tepung
torbangun (FT) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan bayi berdasarkan
parameter lingkar kepala bayi dan waktu yang dibutuhkan untuk peningkatan
kembali berat badan lahir (regain birth weight) (p<0.05).
Setelah bayi lahir, berat badannya akan turun selama beberapa hari, namun
kehilangan berat badan bayi yang berlebihan dan waktu yang lama untuk
mencapai kembali berat badan lahir dapat merupakan indikator kurangnya asupan
ASI (Crossland et al. 2008). Gambar 6 menunjukkan bahwa rerata waktu yang
diperlukan oleh bayi yang ibunya mengonsumsi produk yang mengandung tepung
torbangun (FT) untuk kembali mencapai berat badan ≥BBL lebih singkat yaitu
5.1±1.4 hari, dibandingkan dengan rerata waktu yang diperlukan bayi dari ibu
yang mengonsumsi produk tanpa tepung torbangun (F0) yakni 7.0±2.4 hari
(p<0.05).

3400
3350
3300
3250
3200
3150
3100
3050
3000
1 2 3 4 5 6 7
Intervensi Kontrol

Gambar 6 Rerata waktu untuk mencapai kembali berat badan ≥BBL

Studi oleh Turkyilmaz et al. (2011) juga melaporkan bahwa penggunaan


laktagogum dari tanaman yaitu teh herbal dapat mempersingkat waktu untuk
mencapai kembali berat badan lahir. Studi tersebut menunjukkan bahwa bayi yang
ibunya mengonsumsi teh herbal yang mengandung laktagogum dari tanaman
fenugreek memiliki waktu yang lebih singkat yaitu 6.7±3.2 hari untuk mencapai
kembali berat badan lahir dibandingkan kelompok plasebo dan kontrol masing-
masing 7.3±2.7 hari dan 9.9±3.5 hari (p<0.05). Selanjutnya diuraikan bahwa
meskipun pemberian teh herbal yang mengandung laktagogum tidak dapat
menjelaskan pengaruh langsung terhadap waktu kembali mencapai BBL yang
lebih singkat, tetapi kemungkinan hal tersebut dapat terjadi melalui peningkatan
jumlah ASI pada minggu pertama.
45

Pengaruh Jenis PMT terhadap Frekuensi dan Durasi Bayi Menyusu


Tanaman torbangun memiliki efek laktagogum yaitu dapat meningkatkan
laju sekresi dan produksi ASI (Damanik 2009). Produksi ASI yang meningkat
akan memicu ibu untuk menyusui bayinya sehingga dapat mempengaruhi
frekuensi dan durasi bayi menyusu. Frekuensi dan durasi bayi menyusu selama
PMT ibu disajikan pada Tabel 21.
Pada minggu ke-1 PMT kepada ibu, frekuensi dan durasi bayi menyusu
cenderung lebih sering dan lebih lama pada kelompok yang ibunya mengonsumsi
produk yang mengandung tepung torbangun (FT) dibandingkan bayi pada
kelompok yang ibunya mengonsumsi produk tanpa tepung torbangun (F0).
Selama PMT kepada ibu, durasi bayi menyusu dalam sehari cenderung lebih lama
pada kelompok yang ibunya mengonsumsi produk yang mengandung tepung
torbangun (FT) dibandingkan bayi pada kelompok yang ibunya mengonsumsi
produk tanpa tepung torbangun (F0). Namun, uji beda rerata frekuensi ataupun
durasi bayi menyusu tidak berbeda signifikan antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol (p>0.05).

Tabel 21 Frekuensi dan durasi bayi menyusu selama PMT ibu menyusui
Kel.Intervensi (n=10) Kel.Kontrol (n=10)
Parameter Nilai p
Rerata±SD Rerata±SD
Frekuensi per hari
Minggu ke-1 14.2 ±2.4 13.5±6.7 0.199
Minggu ke-2 14.9±3.2 16.5±9.4 0.880
Minggu ke-3 16.2±4.0 18.2±9.9 0.850
Minggu ke-4 16.2±3.4 18.5±9.6 1.000
Durasi per hari (menit)
Minggu ke-1 182.4 ±61.8 135.3 ±58.2 0.097
Minggu ke-2 174.2 ±75.9 166.3 ±68.3 0.809
Minggu ke-3 180.2 ±67.7 162.4 ±38.7 0.480
Minggu ke-4 168.9 ±62.2 160.5 ±43.4 0.730
Durasi per frekuensi (menit)
Minggu ke-1 13.0 ±4.3 10.4 ±2.4 0.112
Minggu ke-2 11.8 ±4.7 10.9 ±3.2 0.602
Minggu ke-3 11.1 ±3.6 9.9 ±2.5 0.387
Minggu ke-4 10.6 ±3.5 9.7 ±3.0 0.529

Praktek Pemberian ASI Eksklusif


Pemberian ASI eksklusif menurut WHO (2011) adalah tidak memberi bayi
makanan atau minuman lain, termasuk air putih selain menyusui (kecuali obat-
obatan dan vitamin atau mineral tetes; ASI perah juga diperbolehkan). Pada
penelitian ini, keberhasilan praktik pemberian ASI eksklusif sesuai dengan kriteria
WHO pada akhir pemberian makanan tambahan kepada ibu yang mendapat
konseling menyusui adalah sebesar 90% pada kelompok intervensi dan 80% pada
kelompok kontrol. Sisanya yaitu sebanyak 10% bayi dari kelompok intervensi dan
sebesar 20% dari kelompok kontrol gagal mendapatkan ASI eksklusif.
Kegagalan praktek pemberian ASI eksklusif tersebut karena pemberian air
putih atau susu formula pada hari pertama setelah kelahiran bayi atau sebelum
pemberian PMT kepada ibu. Jumlah air putih atau susu formula yang diberikan
kepada bayi kurang lebih 3 sendok teh. Keputusan ibu untuk memberikan air
putih atau susu formula tersebut adalah atas anjuran dari anggota keluarga yang
46

mendampingi ibu pada hari pertama kelahiran bayi. Alasan pemberiannya karena
ASI yang keluar masih sangat sedikit dan bayi sering menangis. Kondisi tersebut
dimaknai sebagai tanda bayi lapar. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh
Haider et al. (2010) bahwa faktor ASI belum keluar atau produksi ASI yang tidak
mencukupi merupakan faktor yang paling umum untuk memberikan substitusi
atau pengganti ASI sehingga pemberian ASI eksklusif menjadi gagal. Persentase
bayi yang gagal mendapat ASI eksklusif pada penelitian ini lebih rendah
dibandingkan dengan studi cross sectional oleh Utari et al. (2013) di 5 desa
wilayah kerja Puskesmas Dramaga Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor yaitu
Desa Ciherang, Sukawening, Dramaga, Sinarsari, dan Neglasari dimana 56.7%
ibu pospartum gagal memberikan ASI eksklusif karena memberikan makanan
pralaktal kepada bayinya.
Pada penelitian ini, persentase pemberian ASI eksklusif yang diuraikan di
atas dapat dipertahankan hingga bayi berumur 6 bulan melalui konseling
menyusui yang diberikan kepada ibu menyusui dengan frekuensi 1 kali per bulan.

Simpulan
Konseling menyusui meningkatkan rerata skor pengetahuan dan sikap ibu
tentang ASI eksklusif secara signifikan. Pemberian makanan tambahan yang
mengandung tepung torbangun kepada ibu menyusui berpengaruh signifikan
terhadap pertumbuhan bayi berdasarkan parameter waktu yang dibutuhkan untuk
peningkatan kembali berat badan lahir (regain birth weight) dan berdasarkan
lingkar kepala bayi. Rerata waktu yang diperlukan oleh bayi yang ibunya
mengonsumsi produk yang mengandung tepung torbangun untuk kembali
mencapai berat badan lahir lebih singkat 2 hari dibandingkan dengan rerata waktu
yang diperlukan bayi yang ibunya mengonsumsi produk tanpa tepung torbangun.
Keberhasilan praktek pemberian ASI eksklusif pada kelompok intervensi lebih
tinggi sebesar 10% dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Program PMT bagi ibu hamil yang telah dilakukan oleh pemerintah
diharapkan dapat dilanjutkan dan diterapkan pada ibu menyusui dengan
memformulasi bahan pangan yang mempunyai khasiat laktagogum seperti
torbangun dan mengaplikasikan intervensinya dengan pendekatan aspek perilaku
melalui konseling menyusui. Produk PMT ini juga dapat dijadikan sebagai
alternatif untuk makanan tambahan bagi ibu menyusui dalam kondisi darurat
seperti bencana alam atau untuk ibu menyusui yang bekerja di luar rumah.
7 PEMBAHASAN UMUM

Pemenuhan gizi yang optimal selama masa 1000 hari pertama kehidupan
sangat penting dan merupakan titik kritis yang menentukan pertumbuhan,
perkembangan, kesehatan dan kelangsungan hidup anak di masa yang akan
datang (Bappenas 2012). Kegagalan menanggulangi masalah gizi pada periode
1000 hari pertama kehidupan akan menyebabkan dampak permanen tidak hanya
pada pertumbuhan fisik, melainkan juga pada kognitif dan peningkatan risiko
penyakit tidak menular di masa dewasa seperti diabetes melitus, hipertensi dan
stroke.
Menurut WHO (2003; 2011), pemenuhan gizi yang paling sesuai untuk bayi
sejak lahir hingga umur 6 bulan atau selama 180 hari dari gerakan 1000 hari
pertama kehidupan adalah melalui praktek pemberian ASI eksklusif. Oleh karena
itu perlu dilakukan berbagai upaya untuk mensukseskan pemberian ASI eksklusif.
Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk mendukung pemberian ASI
eksklusif melalui pemberian makanan tambahan yang mengandung bahan pangan
yang memiliki fungsi laktagogum untuk ibu menyusui, yang diintegrasikan
dengan pendekatan perilaku melalui konseling menyusui.
Rangkaian penelitian yang telah dilakukan terbagi dalam 3 tahap. Pada
tahap pertama dilakukan pembuatan tepung torbangun. Tepung torbangun
merupakan bentuk bahan pangan setengah jadi agar lebih fleksibel untuk
pengembangan produk pangan yang lebih beragam dengan sasaran pengguna
tidak terbatas hanya suku Batak. Rendemen tepung torbangun yang dihasilkan
sebesar 8 %, artinya bahwa tiap 1 kg daun torbangun segar akan menjadi 80 g
tepung torbangun. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pengolahan menjadi tepung
torbangun membuat berat bahan menjadi sangat berkurang sehingga menghemat
ruang dan mempermudah untuk penyimpanan dan pengangkutan. Jumlah daun
torbangun segar yang umum dikonsumsi per hari oleh ibu dari masyarakat suku
Batak pasca melahirkan adalah 120-150 g (Damanik 2009). Berdasarkan nilai
rendemen tersebut, maka 120-150 g torbangun segar setara dengan 9.6-12 g
tepung torbangun.
Kadar air pada bahan pangan mempunyai peran penting terhadap
kerusakannya. Kadar air yang rendah memiliki daya simpan yang lebih lama
(Muchtadi 2013). Kadar air setelah menjadi tepung torbangun sekitar 9%, jauh
menjadi lebih kecil dibandingkan kadar air pada daun torbangun segar yaitu
92.5%. Dengan demikian maka tepung torbangun sebagai bentuk bahan pangan
setengah jadi tidak hanya menjadi lebih fleksibel untuk pengembangan produk
pangan yang lebih beragam tetapi dapat lebih lama disimpan dibandingkan
dengan torbangun segar.
Efek laktagogum dari torbangun berdasarkan studi pada hewan coba oleh
Silitonga (1993) dan Permana (2008) tampak dari peningkatan jumlah alveoli
kelenjar mammae yang aktif dan proliferasi sel sekresi mammae setelah
mengonsumsi sup torbangun. Sementara itu, Jayadepa (2011) dengan teknik in
silico mensimulasikan mekanisme domperidone yaitu sediaan farmasi yang
digunakan untuk meningkatkan produksi ASI dengan komponen aktif dari herbal
dan beberapa tanaman yang digunakan sebagai laktagogum. Selanjutnya diuraikan
48

bahwa kompoen aktif kaempferol pada herbal atau tanaman tersebut memiliki
mekanisme yang mirip dengan domperidone yaitu menghambat reseptor
dopamine pada kelenjar pituari anterior sehingga memicu pelepasan hormon
prolaktin.
Studi yang telah dilakukan tentang laktagogum dari torbangun belum
menyimpulkan komponen bioaktif yang berkontribusi terhadap fungsi laktagogum
torbangun. Polya (2003) menguraikan bahwa manfaat fungsional dari berbagai
macam tumbuhan khususnya kelompok sayuran dikaitkan dengan komponen
bioaktifnya. Pada penelitian ini, kaempferol sebagai senyawa flavonoid dipilih
sebagai parameter komponen aktif pada tepung torbangun. Total flavonoid pada
tepung torbangun yang dihasilkan adalah 1 mgQE/g dan kandungan kaempferol
sebesar 9.64 mg/100 g. Kaempferol derivatif juga terdapat pada tepung torbangun
yang dihasilkan.
Pada penelitian tahap ke-2 telah dilakukan pengembangan produk yang
ditujukan sebagai makanan tambahan bagi ibu menyusui untuk memperbaiki
asupan zat gizi ibu khususnya energi dan protein. Di samping itu, fungsi
laktatogum yang dimiliki tepung torbangun dapat meningkatkan laju sekresi dan
produksi ASI sehingga produk tersebut juga potensial untuk mendukung
pemberian ASI eksklusif karena salah satu faktor yang menjadi penghalang dalam
pemberian ASI eksklusif adalah sekresi dan produksi ASI yang tidak optimal
(Turkilkiyam 2011).
Produk makanan tambahan bagi ibu menyusui berbasis tepung torbangun
memiliki sifat sensori yang dapat diterima oleh panelis. Panelis pada tahap
pengembangan produk ini adalah ibu menyusui bukan dari suku Batak sehingga
produk ini memiliki peluang untuk diterima oleh masyarakat di luar suku Batak.
Tiap 100 g produk mengandung energi 376 kkal dan protein sebesar
12.15%. Ibu yang sedang menyusui bayi usia hingga 6 bulan memerlukan
tambahan angka kecukupan energi sebesar 330 kkal dan tambahan kecukupan
protein 20 gram (Kemenkes 2013). Bila makanan tambahan fungsional yang
dihasilkan ini diberikan sebagai makanan tambahan kepada ibu menyusui dengan
berat per saji 33 g, maka kontribusi produk per saji terhadap pemenuhan tambahan
energi untuk ibu yang sedang menyusui bayi umur hingga 6 bulan sebesar 38%
dan pemenuhan tambahan protein sebesar 20%.
Sifat fisik dari produk makanan tambahan fungsional yang dihasilkan adalah
memiliki indeks daya serap air 3.06 dan daya larut dalam air sebesar 76.96%.
Tepung jagung merupakan bahan pangan yang terutama berkontribusi terhadap
daya serap air dibandingkan bahan formula lainnnya. Kandungan pati tepung
jagung memiliki kemampuan daya serap air yang tinggi (Marleni 2008).
Hasil analisis mikrobiologi menunjukkan hasil yang negatif untuk bakteri
E.coli, Salmonella dan Staphylococus aureus. Nilai angka lempeng total yaitu
<1.0 x 101 (koloni/gram) masih dalam batas toleransi yang diijinkan menurut SNI
01-4270-1996 untuk persyaratan serbuk instan yang terbuat dari susu bubuk dan
sereal yang diijinkan yaitu maks. 5 x 105 koloni/gram (BSN 1996).
Pada penelitian tahap ke-3, telah dilakukan kajian pengaruh pemberian
makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun pada ibu yang mendapat
konseling menyusui terhadap pemberian ASI eksklusif dan pertumbuhan bayi.
Konseling menyusui merupakan salah satu bentuk bantuan, dorongan dan
dukungan yang ibu perlukan untuk lebih berhasil menyusui. Haider et al. (2010)
49

merekomendasikan perlunya teknik konseling digunakan untuk mendukung


pemberian ASI eksklusif. Hal ini didasarkan pada hasil studi dengan pendekatan
kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan di Bangladesh yang menunjukkan bahwa
ada sejumlah pengetahuan, kepercayaan dan perilaku ibu dan anggota keluarga
lainnya khususnya ayah dan nenek yang tidak mendukung untuk mempraktekkan
perilaku menyusui eksklusif. Selanjutnya diungkapkan bahwa pengetahuan,
kepercayaan dan perilaku tersebut dilakukan karena kurangnya kesadaran tentang
manfaat dan risiko jika tidak mempraktekkan pemberian ASI seperti yang
direkomendasikan.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 33 tahun 2012 tentang pemberian ASI
eksklusif Pasal 13 memuat bahwa informasi dan edukasi tentang ASI eksklusif
kepada ibu dan/atau anggota keluarga dari bayi diberikan sejak pemeriksaan
kehamilan sampai dengan periode pemberian ASI eksklusif selesai. Informasi dan
edukasi ASI eksklusif dapat dilakukan melalui penyuluhan, konseling dan
pendampingan, paling sedikit mengenai: 1) keuntungan dan keunggulan
pemberian ASI; 2) gizi ibu, persiapan dan mempertahankan menyusui; 3) akibat
negatif dari pemberian makanan botol secara parsial terhadap pemberian ASI; dan
4) kesulitan untuk mengubah keputusan untuk tidak memberikan ASI
(Kemensekneg 2012).
Pada penelitian ini, seluruh subjek penelitian diberikan konseling menyusui
dengan frekuensi 2 kali sebelum melahirkan yaitu pada saat hamil trimester ke-3
dan 3 kali selama pemberian makanan tambahan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa konseling menyusui signifikan meningkatkan skor pengetahuan dan sikap
responden tentang ASI ekslusif. Kelompok intervensi, rerata skor pengetahuan
dari 59.1±22.4 menjadi 94.1±6.9, rerata skor sikap dari 65.8±11.4 menjadi 94.1±
8.8 (p<0.05). Kelompok kontrol, rerata skor pengetahuan dari 75.0±11.8 menjadi
94.4±7.2, rerata skor sikap dari 75.0±14.4 menjadi 94.4±11.0 (p<0.05).
Komposisi dan jumlah zat gizi dari produk yang dikembangkan yaitu
karbohidrat, protein, dan lemak merupakan zat gizi makro yang sangat penting
kontribusinya terhadap asupan zat gizi khususnya energi dan protein. Di samping
itu, fungsi laktatogum komponen bioaktifnya dapat meningkatkan laju sekresi dan
produksi ASI sehingga dapat mendukung program pemberian ASI eksklusif dan
bayi yang disusui ibu akan bertumbuh secara optimal.
Pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun
berpengaruh signifikan terhadap waktu yang lebih singkat untuk mencapai
kembali berat badan lahir bayi yaitu 5.1±1.4 hari untuk kelompok intervensi
sedangkan kelompok kontrol 7.0±2.4 hari (p<0.05). Hasil penelitian ini didukung
studi oleh Turkyilmaz et al. (2011) tentang penggunaan teh herbal yang
mengandung laktagogum dari tanaman fenugreek. Studi tersebut menunjukkan
bahwa bayi yang ibunya mengonsumsi teh herbal yang mengandung laktagogum
dari tanaman fenugreek memerlukan waktu yang lebih singkat yaitu 6.7±3.2 hari
untuk mencapai kembali berat badan lahir dibandingkan dengan kelompok
plasebo dan kontrol masing-masing 7.3±2.7 hari dan 9.9±3.5 hari (p<0.05).
Selanjutnya diuraikan bahwa pemberian teh herbal yang mengandung laktagogum
tidak dapat menjelaskan pengaruh langsung terhadap waktu kembali mencapai
BBL yang lebih singkat, tetapi hal tersebut kemungkinan dapat terjadi melalui
peningkatan jumlah ASI pada minggu pertama.
50

Pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun pada


studi ini tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap frekuensi dan
durasi menyusui dengan kelompok PMT tanpa torbangun. Namun, secara
substansi, perbedaan rata-rata durasi menyusu per hari pada minggu pertama
adalah 47.1 menit lebih lama pada kelompok PMT torbangun dibandingkan
kelompok tanpa torbangun. Selisih waktu ini kemungkinan dapat dikaitkan
dengan volume dan kandungan ASI sehingga waktu untuk mencapai kembali
berat badan bayi lahir bayi dari ibu yang mendapat makanan tambahan dengan
tepung torbangun menjadi lebih singkat.
Pertumbuhan lingkar kepala paling pesat pada 6 bulan pertama kehidupan,
yaitu dari 34 cm saat lahir menjadi 44 cm pada umur 6 bulan. Manfaat
pengukuran lingkar kepala terbatas pada umur 6 bulan pertama sampai umur 2
tahun karena pertumbuhan otak yang pesat pada periode tersebut. Lingkar kepala
dipakai untuk menaksir pertumbuhan otak (Soetjiningsih 1999). Pada penelitian
ini, pemberian makanan tambahan kepada ibu selama 30 hari menunjukkan
perbedaan lingkar kepala bayi yang signifikan antar kedua kelompok perlakuan
(p<0.05). Bayi yang ibunya mengonsumsi produk dengan tepung torbangun
memiliki lingkar kepala yang lebih besar besar 1.7 cm dari lingkar kepala bayi
yang ibunya mengonsumsi produk tanpa torbangun.
Keberhasilan praktek pemberian ASI ekslusif pada kelompok intervensi
adalah 90% sedangkan pada kelompok kontrol adalah 80%. Sisanya yaitu
sebanyak 10% bayi dari kelompok intervensi dan sebesar 20% dari kelompok
kontrol gagal mendapatkan ASI ekslusif. Penyebab kegagalan praktek pemberian
ASI eksklusif pada penelitian ini adalah karena pemberian air putih atau susu
formula pada hari pertama setelah kelahiran bayi atau sebelum pemberian PMT
kepada ibu. Alasan pemberiannya karena ASI yang keluar masih sangat sedikit
dan bayi sering menangis. Li et al.(2008) melaporkan bahwa alasan yang paling
sering diberikan ibu untuk berhenti menyusui antara bulan pertama dan bulan ke-2
adalah bayi mengalami kesulitan dalam mengisap dan pelekatan tidak sesuai;
ASI saja tidak cukup lagi bagi bayi; dan ASI tidak cukup banyak. Haider et al.
(2010) mengungkapkan bahwa faktor ASI belum keluar atau produksi ASI yang
tidak mencukupi merupakan faktor yang paling umum untuk memberikan
substitusi atau pengganti ASI sehingga terjadi kegagalan dalam pemberian ASI
eksklusif.
Keterbatasan penelitian ini mencakup tidak adanya 2 kelompok kontrol
yang tidak mendapat konseling menyusui. Kelompok perlakuan yang
direncanakan pada awal penelitian terdiri dari 4 kelompok perlakuan masing-
masing dengan 10 orang subjek penelitian. Namun, kelompok perlakuan pada
penelitian ini hanya terdiri dari 2 kelompok yaitu kelompok yang diberikan
produk makanan tambahan dengan tepung torbangun dan kelompok yang
diberikan produk makanan tambahan tanpa tepung torbangun. Ke-2 kelompok
tersebut mendapat konseling menyusui, tidak ada 2 kelompok kontrol yang tidak
mendapat konseling menyusui. Hal ini disebabkan keterbatasan subjek penelitian
dengan kriteria inklusi dan pertimbangan waktu untuk mendapatkan 20 orang
subjek penelitian sebagai 2 kelompok perlakuan yang tidak mendapat konseling
menyusui membutuhkan waktu yang lebih lama.
51

Implikasi Hasil Penelitian

ASI adalah satu-satunya makanan yang mengandung semua zat gizi yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan bayi sejak lahir hingga umur 6 bulan. Penerima
manfaat langsung dari studi ini adalah ibu menyusui dan bayi. Implikasi penelitian
ini tidak hanya manfaat dari sisi gizi dan kesehatan untuk ibu menyusui dan bayi.
Penelitian ini juga memiliki implikasi terhadap perekonomian melalui
peningkatan nilai tambah dari pemanfaatan tanaman torbangun dan nilai ekonomis
dari keberhasilan pemberian ASI eksklusif.
Keberhasilan dari penelitian ini memiliki implikasi terhadap perlunya
kesinambungan kebijakan PMT bagi ibu hamil yang telah dilakukan oleh
pemerintah dilanjutkan dan diterapkan pada ibu menyusui dengan produk yang
mengandung bahan pangan yang mempunyai khasiat laktagogum seperti tepung
torbangun dan mengaplikasikan intervensinya dengan pendekatan aspek perilaku
melalui konseling menyusui.
Produk makanan tambahan yang dihasilkan dari penelitian ini juga dapat
dijadikan alternatif untuk makanan tambahan bagi ibu menyusui dalam kondisi
darurat seperti bencana alam. Bentuk produk siap saji yang dikembangkan pada
penelitian ini juga dapat menjadi suatu alternatif makanan tambahan untuk ibu
menyusui yang bekerja di luar rumah.
Implikasi terhadap penelitian lebih lanjut yaitu perlunya kajian mekanisme
laktagogum dari senyawa fitokimia dari tepung torbangun yang dihasilkan serta
studi lanjut tentang umur simpan produk.
52

8 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Rendemen tepung torbangun pada penelitian ini sebesar 8 % dengan kadar air
sekitar 9 %, total flavonoid sebesar 1 mgQE/g dan kandungan kaempferol
sebesar 9.64 mg/100 g. Kaempferol derivatif juga terdapat pada tepung
torbangun yang dihasilkan.
2. Produk dengan taraf penambahan tepung torbangun 12% dan persentase
penerimaan panelis terhadap warna, rasa, aroma, tekstur, overall dari produk
semuanya diatas 95% dipilih sebagai produk makanan tambahan untuk ibu
menyusui. Tiap 100 gram produk tersebut mengandung energi sebesar 376
kkal dan protein sebesar 12.15 g dengan daya larut dalam air sebesar 75%.
Produk ini aman untuk dikonsumsi berdasarkan uji mikrobiologi.
3. Konseling menyusui meningkatkan secara signifikan rerata skor pengetahuan
dan sikap ibu tentang ASI eksklusif.
4. PMT yang mengandung tepung torbangun kepada ibu menyusui berpengaruh
signifikan terhadap lingkar kepala bayi dan peningkatan kembali berat badan
lahir yaitu lebih singkat 2 hari dibandingkan bayi yang ibunya mengonsumsi
produk tanpa tepung torbangun.
5. Keberhasilan praktek pemberian ASI eksklusif dengan pendekatan aspek
perilaku melalui konseling menyusui dan PMT yang mengandung tepung
torbangun lebih tinggi sebesar 10% dibandingkan dengan pendekatan melalui
konseling menyusui dan pemberian makanan tambahan tanpa tepung
torbangun.

Saran
Kebijakan PMT bagi ibu hamil yang telah dilakukan oleh pemerintah agar
dilanjutkan bagi ibu menyusui untuk mendukung pertumbuhan bayi serta
mengatasi stunting melalui pemberian ASI eksklusif. Produk makanan tambahan
yang disarankan adalah produk yang mengandung bahan pangan yang mempunyai
khasiat laktagogum seperti tepung torbangun, dan diaplikasikan dengan konseling
menyusui.
Subjek penelitian yang telah berhasil mempraktekkan pemberian ASI
eksklusif diharapkan dapat diberdayakan oleh petugas kesehatan sebagai agen
promosi ASI eksklusif. Ibu-ibu tersebut dapat dijadikan sebagai kader ASI
eksklusif di posyandu atau sebagai konselor sebaya (peer counselors).
Produk makanan tambahan yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai
alternatif untuk menambah asupan zat gizi ibu menyusui dan sekaligus juga
meningkatkan sekresi dan produksi ASI bagi ibu menyusui dalam kondisi darurat
seperti bencana alam atau untuk ibu menyusui yang bekerja di luar rumah.
Perlu kajian lebih lanjut tentang mekanisme laktagogum dari senyawa
fitokimia pada tepung torbangun yang dihasilkan dan studi tentang umur simpan
produk yang dihasilkan.
53

DAFTAR PUSTAKA

Abba AM, Koninck MD, Hamelin AM. 2010. A qualitative study of the
promotion of exclusive breastfeeding by health professionals in Niamey,
Niger. Int Breastfeeding J 5:8.
[ABM] Academy of Breastfeeding Medicine Protocol Committee. 2011. ABM
Clinical Protocol #9: Use of Galactogogues in Initiating or Augmenting the
Rate of Maternal Milk Secretion (First Revision). Breastfeeding Medicine
6(1). DOI: 10.1089/bfm.2011.9998.
Agho KE, Dibley M, Odiase JI, Ogbonmwan SM. 2011. Determinants of
exclusive breastfeeding in Nigeria. BMC Pregnancy and Childbirth 11: (2)
1-8.
Al-Sahab B, Lanes A, Feldman M, Tamim H. 2010. Prevalence and predictors of
6-month exclusive breastfeeding among Canadian women: a national
survey. BMC Pediatrics 2010, 10:20.
Anderson PO, Valdés V. 2007. A Critical Review of Pharmaceutical
Galactagogues. Breastfeeding Medicine Volume 2(4): 229-242.
[AOAC] Official Methods of Analysis. 2010. Microchemical Determination of
Nitrogen. AOAC 960.52-1961 (2010). Washington DC: Association of
Official Analytical Chemist.
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2012. Kerangkan
Kebijakan Gerakan Sadar Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama
Kehidupan (1000 HPK). Jakarta: Bappenas.
Black R, Allan LH, Bhutta ZA, Caulfield LE, de Onis M, Ezzati M, Mathers C,
Rivera J. 2008. The maternal and child undernutrition study group: maternal
and child undernutrition: global and regional exposures and health
consequences. Lancet, 371:243-260.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2004.
Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta:BPOM RI
[BSN] Badan Standardisasi Nasional 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman SNI
01-2891-1992. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
_____1996. Susu Sereal. SNI 01-4270-1996. Jakarta: Badan Standardisasi
Nasional.
_____ 2008. Metode Pengujian Cemaran Mikroba dalam Daging, Telur dan Susu
serta Hasil Olahannya. SNI 2897:2008. Jakarta: Badan Standardisasi
Nasional.
Chang CC, Yang MH, Wen HM, Chern JC. 2002. Estimation of total flavonoid
content in propolis by two complementary colorimetric methods. Journal of
Food and Drug Analysis. 10:178-182.
Charunuch C, Boonyasirikool P, Tiengpook C. 2003. Using of extrusion process
for preparation of instant cereal beverage powders based on corn and
soybean. Kasetsart J (Nat Sci) 37:72-83.
Chludi HD, Corbino GB, Leicarh SR. 2008. Soil quality effects on Chenopodium
album flavonoid content and antioxidant potential. Journal of Agricultural
and Food Chemistry. 56:5050-5056.
54

Chola L, Nkonki L, Kankasa C, Nankunda J, Tumwine J, Tylleskar T,


Robberstad B. 2011. Cost of individual peer counselling for the promotion
of exclusive breastfeeding in Uganda. Cost Effectiveness and Resource
Allocation 2011, 9:11. http://www.resource-allocation.com/content/9/1/11
Cornelia, Sumedi E, Nurlita H, Afif I, Ramayulis R, Iwaningsih S, Hartati SAB,
Kresnawan T. 2010. Penuntun Konseling Gizi. Jakarta: PT Abadi.
Crossland DS, Richmond S, Hudson M, Smith K, Abu-Harb M. 2008. Weight
change in the term baby in the first 2 weeks of life. Acta Paediatrica
97(4):425-429. doi:10.1111/j.1651-2227.2008.00685.x.
Cuthbertson et.al. 2013. Accurate mass-time tag library for LC/MS-based
metabolite profilling of medicinal plants. Phytochemistry 91:187-197.
Damanik R, Damanik N, Daulay Z, Saragih S, Hardinsyah. 2001. Tradisi
sukubangsa Batak Simalungun mengkonsumsi daun bangun-bangun (Coleus
amboinicus Lour) untuk meningkatkan produksi ASI. Di dalam: Nuraida N,
Hariyadi RD, editor. Prosiding Seminar Nasional Pangan Tradisional
Basis Bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen; Jakarta, 14 Agustus
2001. Bogor: Pusat Kajian Makanan Tradisional IPB. hlm 344-351.
Damanik R, Wahlqvist ML, Wattanapenpaiboon N. 2006. Lactagogue effects of
Torbangun, a Bataknese traditional cuisine. Asia Pac J Clin Nutr 15(2):
267-274.
Damanik R. 2009. Torbangun (Coleus amboinicus Lour): a Bataknese traditioal
cuisine perceived as lactagogue by Bataknese lactating women in
Simalungun, North Sumatera, Indonesia. J Hum Lac 25(1): 64-72.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 2007. Pelatihan Konseling Menyusui: Panduan
Peserta. Jakarta: Depkes RI.
[DSN] Dewan Standarisasi Nasional. 2006. “Susu bubuk SNI 01-2970-2006”.
Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Duijts L, Ramadhani MK, Moll HA. 2009. Breastfeeding protects against
infectious diseases during infancy in industrialized countries. A systematic
review. Maternal and Child Nutrition (5):199-210.
Gatti L. 2008. Maternal perceptions of insufficient milk supply in breastfeeding.
J Nursing Scholarship 40 (4):355-363.
Gillespie S 1999. Supplementary feeding for women and young children. Human
Development Network, The World Bank.
Giugliani ERJ. 2004. Common problems during lactation and their management.
J de Pediatria 80 (5) supl:147-154.
Haider R, Rasheed S, Sanghvi TG, Hassan N, Pachon H, Islam S, Jalal CSB.
2010. Breastfeeding in infancy: identifying the program-relevant issues in
Bangladesh. Int Breastfeeding J 5 (21):11-12.
Hauck YL, Fenwick J, Dhaliwal SS, Butt J. 2011. A Western Australian Survey of
Breastfeeding Initiation, Prevalence and Early Cessation Patterns. Matern
Child Health J 15:260-268.
Hidayat TS, Hermina, Afriansyah N. 2010. Hubungan konsumsi makanan ibu
selama kehamilan dan pemberian ASI pertama kali setelah
melahirkan.Penelitian Gizi dan Makanan 33(2): 154-160.
Huang YY, Lee JT, Huang CM, Gau ML. 2009. Factors related to maternal
perception of milk supply while in the hospital. J Nurs Res 17: 179-188.
55

Hurley KM, Black MM, Papas MA, Quigg AM. 2008. Variation in breastfeeding
behaviours, perceptions, and experiences by race/ethnicity among a low-
income statewide sample of special supplementation nutrition program for
Women, Infants, and Children (WIC) participants in the United States.
Maternal and Child Nutrition 4:95-105.
[IOM] Institute of Medicine. 1991. Nutrition During Lactation. Washington, DC:
National Academy Press.
Jakobsen MS, Sodemann M, Biai S, Nielsen J, Aaby P. 2008. Promotion of
exclusive breastfeeding is not likely to be cost effective in West Africa. A
randomized intervention study from Guinea-Bissau. Acta Pediatrica.
97:68-75.
Jayadeepa RM. 2011. In Silico Techniques for the Identification of Novel Natural
Compounds for Secreting Human Breast Milk. Webmed Central
Bioinformatics 2011;2(8):WMC002120.
Jessica at el. 2011. Factors Associated With Exclusive Breastfeeding in the
United States. Pediatrics 128:1117–1125.
Jones G, Steketee RW, Black RE, Bhutta ZA, Morris SS, Bellagio CSS. 2003.
How Many Child Deaths Can We Prevent this Year? Lancet 2003; 362: 65–
71
Khattak MMAK, Taher M, Abdulrahman S, Bakar IA, Damanik R, Yahaya A.
2012. Evaluation of phytochemicals and antioxidant concentration in
Torbangun (Ati Ati) Coleus Amboinicus Lour used as breast-milk stimulant.
J Chemical Society of Pakistan, in press.
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan RI. 2010a. Rencana Aksi Pembinaan Gizi
Masyarakat 2010-2014. Jakarta: Kemenkes RI.
__________. 2010b. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Kemenkes RI.
__________. 2011. Sambutan Menteri Kesehatan pada acara temu nasional
konselor menyusui ke I sebagai rangkaian kegiatan Pekan ASI Sedunia
(PAS). Pusat Komunikasi Publik, Sekjen Kemenkes RI.
http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/163-konselor-me.....
__________. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Kemenkes RI.
__________. 2015. Studi diet total: potret pola makan penduduk indonesia saat
ini.” Internet:www.depkes.go.id/article/view/ 15041400003/studi-diet-total-
potret-pola-makan-penduduk-indonesia-saat-ini.html#sthash.mvWXdrEO.dpuf,
Mar. 25, 2015 [Apr. 30, 2015].
[Kemensekneg] Kementerian Sekretaris Negara RI. 2012. Peraturan pemerintah
Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu
Eksklusif.
Kent JC, Prime DK, Garbin CP. 2012. Principles for maintaining or increasing
breast milk production. JOGNN 41: 114-121
Lemeshow S, Hosmer JrDW, Klar J, Lwanga SK. 1990. Adequacy of Sample Size
in Health Studies. New York: John Wiley & Sons.
Li R, Fein SB, Chen J, Strawn LMG. 2008. Why Mothers Stop Breastfeeding:
Mothers' self-reported reasons for stopping during the first year. Pediatrics
122: S69-76
56

[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2004. Prosiding Widya Karya


Nasional Pangan dan Gizi VII. Jakarta: LIPI.
Lutter C, Escamilla RP. 1996. Letter to the Editor: Dichlorodiphenyl
dichloroehtene and insufficient breast milk. American J of Public Health 86
(6):887.
Mahmud MK, Hermana, Zulfianto NA, Apriyantono RR, Ngadiarti I, Hartati B,
Bernadus, Tinexcelly. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Mahmud
MK, Zulfianto NA, editor. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Marleni L, Sugiyono, Kusnandar F. “Effects of pre-treatments prior drying on
young corn kernel instant”. J Teknol. dan Industri Pangan, vol. 19(2),139-
148, 2008.
Materska M. 2008. Quercetin and its determinants: Chemical structure and
bioactivity- A Review. Pol.J.Food Nutr.Sci.58(4):407-413.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan aplikasi SAS
dan Minitab Jilid I. IPB Press.
[Menkes] Menteri Kesehatan RI. 2013. “Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor
75 Tahun 2013 tentang angka kecukupan gizi yang dianjurkan bagi bangsa
Indonesia”.
Mortel M, Mehta SD. 2013. Systematic Review of the Efficacy of Herbal
Galactogogues. J Hum Lact.29(154):152-164.
Muchtadi TR, Sugiyono.2013. Prinsip Proses dan Teknologi Pangan. Bandung:
Alfabeta
Mudjajanto ES, D. Sukandar D. 2007. Food consumption and nutritional status of
brestfeeding mothers and infants. Jurnal Gizi dan Pangan, 2(2), pp.13– 25.
Neacsu M, Vaughan N, Raikos V, Multari S, Duncan GJ, Duthie GG, Russell
WR. 2015. Phytochemical profile of commercially available food plant
powders: their potential role in healthier food reformulations. J Food Chem,
(179):159-69. doi: 10.1016/j.foodchem.2015.01.128.
Notoatmodjo S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nurhayati A. 2007. Pengaruh konseling gizi pada ibu keluarga miskin terhadap
pemberian ASI eksklusif [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Permana Dhani, 2008. Studi hispatologi pengaruh pemberian daun torbangun
(Coleus amboinicus Lour) terhadap produksi susu kelenjar mammae mencit
(Mus musculus) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.
Wildman REC. 2007. Handbook of nutraceuticals and functional foods. USA:
CRC Press.
Polya G. 2003. Biochemical Targets of Plant Bioactive Compounds: A
Pharmacological Reference Guide to Sites of Action and Biological Effects.
USA: CRC Press.
Rice LJ, Brits GJ, Potgieter CJ, Van-Staden J. 2011. Plectranthus: A plant for the
future? South African J of Botany 77 (4):947–959. doi:10.1016/j.sajb.
2011.07.001.
57

Rumetor, SD. 2008. Suplementasi daun bangun-bangun (Coleus Amboinicus


Lour) dan Zink-vitamin E dalam ransum untuk memperbaiki metabolisme
dan produksi susu kambing peranakan Etawah [disertasi]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Santo LCE, De Oliveira LD, Giugliani ERJ. 2007. Factors associated with low
incidence of exclusive breastfeeding for the first 6 months. BIRTH 34
(3):212-219
Santosa CM. 2001. Khasiat konsumsi daun bangun-bangun (Coleus amboinicus,
l) sebagai pelancar sekresi air susu ibu menyusui dan pemacu pertumbuhan
bayi [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Seham SE, Rabie HE, Azza RAM, Rehab SA, Amany AS. 2012. Polyphenolics
content and biological activity of Plectranthus amboinicus (Lour.) spreng
growing in Egypt (Lamiaceae). Phcog J. 4(32).
Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari MP. Analisis sensory untuk industri pangan
dan agro. Bogor-Indonesia: IPB Pres, 2010.
Soetjiningsih, Ranuh G. 1995. Tumbuh kembang anak. Jakarta: Penerbit EGC.
Silitonga M .1993. Efek laktagogum daun jinten (Coleus amboinicus lour) pada
tikus laktasi [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tan K.L. 2011. Factors associated with exclusive breastfeeding among infants
under six months of age in Peninsular Malaysia. International Breastfeeding
Journal, 6(2):1-7. http://www.internationalbreastfeedingjournal.com/content
/6/1/2.
Turkyilmaz C, Onal E, Hirfanoglu IM, Turan O, Koc E, Ergenekon E, Atalay Y.
2011. The Effect of galactagogue herbal tea on breast milk production and
short-term catch-up of birth weight in the first week of life. J Alternative
and Complementary Medicine 2(201) pp. 139–142
[UNICEF] United Nations Children’s Fund. 2011. The State of The World’s
Children. Geneva: UNICEF.
Urnemi 2002. Pengaruh pupuk fosfor dan pupuk herbal pada tiga taraf naungan
terhadap pertumbuhan dan kadar metabolit sekunder tanaman daun Jinten
(Coleus amboinicus Lour) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Utari AP, Roosita K, Damanik MRM. 2013. Pengetahuan gizi, keluhan kesehatan,
kondisi psikologis, dan pola pemberian ASI ibu postpartum. J Gizi Pangan
8(3):187-192.
Veghari G, Mansourian A, Abdollahi A. 2011. Breastfeeding status and some
related factors in northern Iran. Oman Medical J 26(5):316-321.
Wahlqvist ML, Wattanapenpaiboon N, Damanik MRM. 2005. Modified
Nutraceutical Composition. Australia: Australian Patent Office.
[WHO] World Health Organization. 2003. Global Strategy for Infant and Young
Children. Geneva: WHO.
_____. 2011. Exclusive breastfeeding for six months best for babies everywhere.
World Health Organization. Internet:
www.who.int/mediacentre/news/statements/2011/breastfeeding_20110115/en/inde
x.html. Jan. 15, 2011 [May 16, 2014].
Wildman REC. 2007. Handbook of nutraceuticals and functional foods. USA:
CRC Press.
58

Xu F, Binns C, Zheng S, Wang Y, Zhao Y, Lee A. 2007. Determinants of


exclusive breastfeeding duration in Xinjiang, PR China. Asia Pac J Clin
Nutr 16(2):316-321.
Zuppa AA, Sindico P, Orchi C, Chiara C, Cardiello V, Romagnoli C, Catenazzi
P. 2010. Safety and efficacy of galactogogues: substances that induce,
maintain and increase breast milk production. J Pharm Pharmaceut Sci
(www.cspsCanada.org) 13(2) 162 – 174.
59

Lampiran 1 Keterangan lolos kaji etik penelitian


60

Lampiran 2 Tanaman torbangun, tepung torbangun dan produk PMT

Tanaman torbangun Tepung torbangun

Produk PMT tanpa


Produk PMT dengan
tepung torbangun (F0)
tepung torbangun (FT)
61

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tapanuli Utara, pada tanggal


21 Desember 1968 sebagai anak ke delapan dari Bapak
Melanthon Doloksaribu (Alm.) dan Ibu Tiomelia
Pangaribuan. Penulis menikah dengan Maruli Tua
Simanjuntak, SE pada tanggal 4 Juli 1995 dan dikaruniai
tiga putri, yaitu Ester Melani Andreana Simanjutak,
Ecclesya Agata Simanjuntak dan Elishia Anggita
Simanjuntak.

Penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas pada tahun 1987 dari


SMAN 31 Jakarta, meraih Diploma-3 pada tahun 1990 dari Akademi Gizi
Departemen Kesehatan RI di Jakarta. Sejak tanggal 1 Maret 1991, penulis bekerja
sebagai staf pengajar di Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Medan.
Pada tahun 1997-2000, penulis mengikuti tugas belajar (S1) di Jurusan
Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian
Bogor. Pada tahun 2003-2005, mengikuti tugas belajar (S2) di Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia. Pada tahun 2010 mendapat kesempatan tugas
belajar (S3) di Program Studi Ilmu Gizi Manusia Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan S1, S2 dan S3 diperoleh penulis dari
Kementerian Kesehatan RI. Penulis menerima bantuan dana penelitian disertasi
ini melalui Biaya Operasioal Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) Penelitian
Strategis IPB dan dari Yayasan Supersemar.
th
Penulis adalah alumni The 5 South East Asian Nutrition Leadership
Program (SEANLP) tahun 2007, dan tahun 2010 mengikuti Training of the
Trainer (TOT) Food Safety, SEAMEO-TROPMED RCCN di Jakarta. Tahun 2012
mengikuti pelatihan konseling menyusui metoda WHO/UNICEF/KEMENKES
40 Jam di Jakarta.
Publikasi ilmiah selama mengikuti tugas belajar S3 di Sekolah Pascasarjana
IPB, judul “Kebiasaan makan dan aktivitas fisik remaja obes: studi kasus pada
murid SMU Kornita Bogor” diterbitkan pada Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan,
Volume 34, No 2 Desember 2011 (artikel ini merupakan tugas mata kuliah Gizi
Remaja dan Dewasa). Publikasi bagian dari disertasi ini, yaitu (1) judul “The
development of torbangun flour-based functional supplementary food for
breastfeeding mother. diterbitkan pada International Journal of Sciences: Basic
and Applied Research (IJSBAR) (2015) Volume 23, No 1, pp348-355; (2) judul
“Pertumbuhan bayi dan pemberian ASI eksklusif oleh ibu penerima konseling
menyusui dan makanan tambahan torbangun” terbit pada Jurnal Gizi dan Pangan
dan Volume 10, No 2 Juli 2015.

Anda mungkin juga menyukai