Anda di halaman 1dari 20

KARAKTERISTIK DAN DAYA TERIMA BUBUR INSTAN CAMPURAN

TEPUNG KECAMBAH JAGUNG, TEPUNG TEMPE


DAN TEPUNG WORTEL SEBAGAI MAKANAN
PENDAMPING ASI

Proposal Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan


Diploma IV Kesehatan Bidang Gizi

Diajukan oleh:

Ulfa Syakira NIM : P07121320077

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES ACEH
JURUSAN GIZI PROGRAM STUDI D-IV GIZI
BANDA ACEH
TAHUN 2023

1
KARAKTERISTIK DAN DAYA TERIMA BUBUR INSTAN CAMPURAN
TEPUNG KECAMBAH JAGUNG, TEPUNG TEMPE
DAN TEPUNG WORTEL SEBAGAI MAKANAN
PENDAMPING ASI

ABSTRAK

Latar Belakang: Bayi yang mendekati usia 6-24 bulan membutuhkan makanan pendamping
ASI untuk membantu ASI memenuhi kebutuhan nutrisi hariannya. Sebagai makanan
pendamping ASI, dianjurkan untuk menggunakan makanan lokal yang padat gizi dan berbahan
dasar biji-bijian seperti jagung, tempe dan wortel. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui sifat dan daya terima tepung instan yang dicampur dengan tepung jagung, tepung
tempe dan tepung wortel sebagai suplemen ASI.
Metode: Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan rancangan acak lengkap
yang terdiri dari tiga faktor dengan dua perlakuan yaitu bubuk instan dicampur tepung dedak
jagung, tepung tempe dan tepung tempe wortel dengan perbandingan 50%:40%:10% dan
55%:40%:5%. Campuran tersebut dibuat berdasarkan kecukupan nutrisi yang dibutuhkan bayi
usia 7 hingga 12 bulan. Partisipan dalam penelitian ini adalah 30 bayi berusia 7 hingga 12 bulan
yang didampingi oleh ibunya. Kemudian kita uji dengan tes sensorik. Metode analisis data
menggunakan independent t-test.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada uji organoleptik terhadap warna, rasa dan
tekstur, bubuk instan yang paling disukai adalah campuran 55% tepung dedak jagung, 40%
tepung tempe dan 10% tepung wortel. Namun, wangi dari kedua bedak instan tersebut kurang
disukai. Berdasarkan hasil analisis, tidak ada perbedaan warna maupun komposisi antara kedua
bedak instan tersebut.

Kata Kunci : makanan pendamping ASI, tepung kecambah jagung, tepung tempe, tepung wortel,
uji daya terima

ABSTRAK

Background: Infants approaching 6-24 months of age require complementary foods to help
breast milk meet their daily nutritional needs. As a complementary food, it is recommended to
use local foods that are nutrient-dense and grain-based such as corn, tempeh and carrots. The
purpose of this study was to determine the properties and acceptability of instant flour mixed
with corn flour, tempe flour and carrot flour as a breast milk supplement.
Methods: This type of research is an experimental study with a complete randomized design
consisting of three factors with two treatments, namely instant powder mixed with corn bran
flour, tempeh flour and carrot tempeh flour in the ratio of 50%:40%:10% and 55%:40%:5%.
The mixture was made based on the nutritional adequacy needed by infants aged 7 to 12
months. The participants in this study were 30 infants aged 7 to 12 months who were

2
accompanied by their mothers. Then we tested with sensory tests. The data analysis method
used independent t-test.
Results: The results showed that in the organoleptic test of color, taste and texture, the most
preferred instant powder was a mixture of 55% corn bran flour, 40% tempe flour and 10%
carrot flour. However, the fragrance of both instant powders was less favorable. Based on the
analysis, there was no difference in color or composition between the two instant powders.

Keywords: complementary food, corn sprout flour, tem flour

3
DAFTAR ISI

Halaman

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................... 5


A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 5
B. Tujuan .................................................................................................................................... 7
1. Tujuan Umum ....................................................................................................................... 7
2. Tujuan Khusus ...................................................................................................................... 7
C. Manfaat ................................................................................................................................. 7
1. BAB I PENDAHULUAN ..................................................... Error! Bookmark not defined.
2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................... Error! Bookmark not defined.
3. BAB III METODE PENELITIAN ....................................... Error! Bookmark not defined.
4. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................. Error! Bookmark not defined.
5. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................... Error! Bookmark not defined.
C. Bagian Penutup ...................................................................... Error! Bookmark not defined.
1. Daftar Pustaka ......................................................................... Error! Bookmark not defined.
2. Daftar Lampiran...................................................................... Error! Bookmark not defined.
3. Daftar Ralat ............................................................................. Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA ................................................................ Error! Bookmark not defined.

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah gizi pada anak balita masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Data terbaru dari Global Nutrition Report (2014) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki
masalah gizi yang kompleks karena faktor malnutrisi atau malnutrisi. Kekurangan gizi dapat
menyebabkan pertumbuhan terhambat atau perawakan kurus pada anak, bayi mudah terkena
penyakit terutama penyakit infeksi, dan menurunkan kecerdasan anak.
Berdasarkan data terakhir Survei Kesehatan Dasar Indonesia (RISKESDAS), prevalensi
gizi buruk pada tahun 2013 sebesar 19,60%, meningkat 17,90% dari data tahun 2010. Angka
BBLR masih 11,5%, angka underweight 17,9%, angka stunting 13,6%, angka stunting 35,6%,
dan angka overweight 12,2%. Prevalensi anak kurus dan gemuk hampir sama yaitu masing-
masing 13,3% dan 14,0%. Dengan angka tersebut, Indonesia memasuki era pajak berganda. Di
satu sisi masih banyak anak kurus dan kecil akibat gizi buruk, di sisi lain masih banyak anak
obesitas (Atmarita, 2010).
Kekurangan gizi berdampak sangat negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan
anak di kemudian hari. Anak yang kurang gizi lebih cenderung tumbuh dengan kecerdasan
rendah, yang dapat menyebabkan rendahnya pendidikan dan produktivitas, lebih mudah sakit
dan lebih rentan terhadap penyakit menular. Tindakan untuk mengurangi prevalensi gizi buruk
harus dimulai dengan perawatan prenatal dan gizi ibu segera sebelum kelahiran dan dilanjutkan
sampai anak berusia dua tahun.
Gizi buruk dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti ketersediaan pangan yang terbatas dan
pendapatan yang rendah. Oleh karena itu, makanan lokal yang mudah didapat dan padat gizi
digunakan dalam bentuk makanan pendamping ASI padat gizi yang dapat memenuhi kebutuhan
gizi bayi. Salah satu suplemen nutrisi alternatif ASI yang memenuhi kriteria tersebut adalah
suplemen nutrisi berbahan dasar biji-bijian instan.
Saat ini sudah banyak makanan bayi siap pakai (cepat saji) yang bisa Anda dapatkan
dengan mudah di toko, apotik bahkan warung makan, namun sayangnya harga makanan
tersebut relatif tinggi dan kandungan gizinya kalah dibandingkan (dalam gram yang sama) . )

5
hingga hidangan yang dicampur dengan resep lokal. Selain itu, ketika keluarga tergolong
miskin, dikhawatirkan keluarga akan menghemat makanan agar makanan tidak cepat habis.
Dalam hal ini, makanan yang diberikan terlalu sedikit atau terlalu banyak, tidak sesuai dosis
yang dianjurkan. Hal ini bahkan tidak mencukupi kebutuhan gizi bayi (MB, 2010).
Makanan pendamping ASI dapat berupa biskuit bayi, makanan bayi atau buah-buahan.
Biasanya suplemen makanan bayi instan dibuat dari campuran tepung beras, susu skim, gula
halus dan minyak sayur. Untuk menambah kandungan nutrisinya, bahan-bahan tersebut dapat
diganti dengan makanan sumber protein dan vitamin A. Sebagian besar makanan suplemen ASI
di Indonesia terbuat dari biji-bijian atau tepung biji-bijian. Bahan yang digunakan antara lain
beras, beras merah, jagung, terigu atau tepung beras, tepung beras merah, tepung terigu, dan
tepung jagung. Jagung merupakan bahan pangan lokal yang jarang dikonsumsi oleh sebagian
besar masyarakat dan sebenarnya memiliki potensi besar untuk diolah lebih lanjut sebagai
suplemen ASI.
Di Indonesia, jagung merupakan makanan pokok terpenting kedua setelah beras. Produksi
jagung di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 18,51 juta ton sekam kering. Pemanfaatan bahan
baku jagung yang melimpah tersebut bertujuan untuk mengolahnya menjadi berbagai produk,
salah satunya tepung jagung. Tepung jagung juga cukup tinggi proteinnya, 6-18 gram per 100
gram. Zat gizi lebih banyak dibutuhkan dari makanan tambahan terutama untuk memenuhi
energi, zat besi, seng dan vitamin A (Widodo, 2008).
Jagung mengandung vitamin A, B1, B3, B9, C dan E. Selain itu, jagung mengandung zat
besi, protein, kalium dan magnesium yang bermanfaat bagi kesehatan anak kecil. Jagung juga
merupakan sumber alami asam lemak omega-6 yang bermanfaat untuk perkembangan otak pada
anak kecil (Lalage, 2013).

B. Rumusan Masalah
Dengan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian adalah: Bagaimana sifat
dan daya terima tepung instan yang dicampur dengan bungkil dedak jagung, bungkil tempe dan
bungkil wortel sebagai suplemen ASI untuk anak usia 7 sampai 12 bulan?

6
C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui karakteristik dan daya terima bubuk instan campuran tepung kecambah
jagung, tepung tempe, dan tepung wortel sebagai makanan pendamping ASI.

2. Tujuan Khusus

Untuk memperkirakan kandungan suatu zat gizi makanan pendamping ASI untuk anak 7-
12 bulan.

D. Manfaat

1. Menginformasikan kepada masyarakat tentang keragaman produk.

2. Kami berusaha melakukan diversifikasi bahan makanan dari tepung jagung, tepung tempe dan
tepung wortel.
3. Upaya diversifikasi makanan pendamping dengan sumber daya lokal.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI)

Menurut Badan Standar Nasional (2005), Makanan Tambahan Air Susu Ibu (MP ASI)
adalah makanan bergizi yang diberikan kepada bayi sesuai dengan peraturan SNI, yaitu. H.
Bayi usia 6 bulan, diberikan selain ASI. ke atas atau berdasarkan indikasi medis sampai anak
berusia 24 tahun, satu bulan untuk mencapai gizi yang cukup. Standar ini mencakup
persyaratan komposisi dan mutu bahan tambahan makanan bubuk instan, bahan tambahan
makanan, pengotor, cara uji dan pengambilan sampel, higiene, pengemasan dan pelabelan.
Sedangkan suplemen bubuk instan adalah suplemen makanan yang telah diolah sehingga dapat
langsung dikonsumsi hanya dengan penambahan air minum atau cairan lain yang sesuai.
Kalaupun diberikan MPASI, ASI harus menjadi makanan utama bayi selama tahun
pertama dan makanan penting selama tahun kedua. Menyusui harus dua tahun atau lebih. Tidak
ada makanan lain yang dapat memberi bayi zat anti infeksi yang ideal seperti ASI (Widodo,
2008).
ASI adalah makanan terbaik untuk bayi. Namun, seiring dengan bertambahnya usia
bayi, kandungan nutrisi ASI tidak lagi mencukupi kebutuhan nutrisi bayi yang sedang tumbuh.
Menyusui saja hanya memenuhi sekitar 60-70% kebutuhan bayi. Oleh karena itu bayi dalam
ASI harus mendapat makanan pendamping ASI (Sudaryanto, 2014).
Seiring bertambahnya usia bayi, bertambahnya usia bayi, serta berat dan
ukuran bayi bertambah, kebutuhan energi, protein, dan zat gizi lainnya meningkat. Jika
bayi tidak mendapatkan makanan pada saat dibutuhkan, maka pertumbuhan bayi akan
melambat. Pengenalan makanan padat adalah transisi dari susu ke biji-bijian yang
sangat halus. Pada usia 4-6 bulan, bayi sudah siap menerima makanan non cair, karena
gigi sudah tumbuh dan lidah sudah tidak menolak makanan semi padat. Kecernaan pati
di perut juga lebih baik. Bayi mengeluarkan lebih banyak air liur dan juga
menghasilkan lebih banyak enzim amilase. Sehingga bayi siap menerima makanan
selain ASI (Marmi, 2013).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006), anak usia 6-12
bulan harus mendapat asupan gizi harian terutama energi dan protein dalam makanan

8
pendamping ASI lokal yaitu 250 kalori, 6-8 gram.Protein. Kandungan gizi untuk bayi
usia 6-12 bulan adalah 650 kalori dan 16 gram protein. Padahal kandungan ASI adalah
400 kalori dan 10 gram protein. Kemudian kebutuhan suplemen ASI adalah 250 kalori
dan 6 gram protein.
Beberapa persyaratan pemberian makanan pendamping ASI di bawah ini yang perlu

diperhatikan menurut DepKes RI (2006):

1. Bahan makanan mudah diperoleh


2. Mudah diolah
3. Harga terjangkau
4. Dapat diterima sasaran dengan baik
5. Kandungan zat gizi memenuhi kecukupan gizi sasaran
6. Mutu protein dapat memacu pertumbuhan fisik (Protein Efficiency Ratio/PER
lebih besar atau sama dengan 70% mutu casein, setara dengan > 1,75)
7. Jenis makanan pendamping ASI disesuaikan dengan umur sasaran
8. Bebas dari kuman penyakit, pengawet, pewarna, dan racun

Memenuhi nilai sosial, ekonomi, budaya, dan agama

Selain itu, Sudaryanto (2014) menjelaskan syarat makanan pendamping ASI yang baik
sebagai berikut:

1. Sehat dan diolah secara higienis. Tidak mengandung bahan kimia berbahaya,

dan nyaman (tidak terlalu panas, pedas, asin, dan bau amis). Makanan harus

bebas dari kuman penyakit, pewarna, pengawet, pewarna, dan racun.

Pertumbuhan dan perkembangan bayi sangat rentan terhadap pengaruh kuman

penyakit dan bahan tambahan makanan (zat aditif). Zat tambahan yang

umumnya berupa bahan kimia harus dijauhkan dari makanan bayi.

2. Bahan makanan yang mudah diperoleh. Makanan tambahan bayi hanya terdiri

9
dari satu atau beberapa bahan saja. Ini karena sistem pencernaan bayi yang

belum siap untuk menerima bermacam-macam makanan. Bahan makanan jenis

sayuran dan sumber karbohidrat yang berbeda-beda untuk beberapa daerah.

Walaupun telah banyak pusat perbelanjaan yang menjual barang-barang impor,

penggunaan bahan makanan lokal akan lebih menjamin kesegaran dan

merupakan bentuk ketahanan pangan yang baik.

3. Masih segar. Bahan makanan pendamping ASI harus memenuhi standar higienis

baik dalam bentuk bahan mentah ataupun cara pengolahannya.

4. Mudah diolah. Pengolahan makanan pendamping ASI sebaiknya tidak terlalu

lama, tetapi teksturnya cukup lembut untuk pencernaan bayi yang baru

mengenal makanan pendamping ASI. Bahan yang mudah diolah tentu akan

memudahkan orangtua menyiapakan makanan pendamping ASI untuk anaknya.

Persyaratan mutu MP-ASI menurut Bagian 1 Badan Standarisasi Nasional


SNI 01-7111.1-2005 yang berlaku untuk makanan pendamping ASI adalah zat gizi
yang terkandung di dalam makanan pendamping ASI harus dapat terbawa ASI untuk
memenuhi kebutuhan gizi. dari masing-masing . kelompok usia bentuk dan struktur
Makanan bubuk instan dapat berbentuk bubuk, serpih, kristal atau butiran.
Menambahkan cairan menghasilkan remah halus bebas gumpalan yang dapat
diumpankan dengan sendok.
Kepadatan energi setidaknya 0,8 kkal per gram produk yang dapat dimakan.
Kandungan protein minimal 8 gram per seratus gram dan maksimal 22 gram per seratus
gram serta kualitas protein minimal 70% kasein normal. Jika ditambahkan sukrosa,
fruktosa, glukosa, sirup glukosa atau madu, jumlah karbohidrat tambahan dari sumber
tersebut maksimal 30 gram per seratus gram dan kandungan serat maksimal 5 gram per
seratus gram. kandungan minimal 6 gram per seratus gram, maksimal 15 gram per
seratus gram.

10
Vitamin yang harus disertakan dalam bahan tambahan makanan bubuk instan
adalah vitamin A, D dan C, dan dapat ditambahkan juga vitamin lainnya. Mineral yang
dibutuhkan adalah natrium (Na), kalsium (Ca), besi (Fe), seng (Zn) dan yodium (I),
dan mineral lain seperti selenium dapat ditambahkan sesuai kebutuhan.
Bahan tambahan makanan yang dilarang dalam bentuk bubuk suplemen gizi
instan tidak boleh mengandung bahan pengawet, pemanis buatan, atau pewarna
sintetis. Dan bahan tambahan makanan yang diperbolehkan dalam pembuatan
suplemen gizi bubuk instan adalah pengemulsi lecithin dan digliserida, pengatur
keasaman natrium bikarbonat dan kalsium karbonat, antioksidan alfa-tokoferol dan L-
ascorbyl palmitate, perasa ekstrak vanili dan vanilin serta penguat rasa. Ekstrak ragi,
enzim, pengembang amonium karbonat dan amonium hidrogen. Semua bahan
tambahan makanan ini dapat digunakan secukupnya dalam batas penggunaan
maksimum dan karena proses pembuatan yang baik.

B. Pembuatan Makanan Pendamping ASI


Menurut Badan Standar Nasional (2005), bahan yang digunakan harus berkualitas baik,
bersih, aman dan cocok untuk bayi dan anak usia 6 bulan sampai 24 bulan. dan
pengolahannya harus sesuai dengan cara pembuatan makanan bayi dan anak. Selain itu, zat
gizi yang terkandung dalam sediaan bubuk instan harus dapat diangkut bersama ASI untuk
menjamin kecukupan pasokan zat gizi pada kelompok umur masing-masing.
Selain itu, komponen utama dan bahan lain dari suplemen nutrisi bubuk instan dan
produknya tidak boleh disinari. Syarat mutu suplemen gizi bubuk instan adalah gizi yang
dikandungnya harus mampu menyeimbangkan ASI untuk memberikan dukungan gizi yang
cukup bagi kelompok usia yang sesuai, dan dapat berbentuk bubuk atau serpihan.
Kemudian ditambahkan ke dalam cairan, menciptakan bubur yang halus dan bebas
gumpalan yang dapat disuapkan dengan sendok.
Bahan-bahan yang dipilih untuk menyiapkan makanan pendamping harus mudah didapat
(banyak dapat ditemukan di kebun keluarga atau pasar terdekat), murah, paling sering
dikonsumsi (karena menjadi bagian dari makanan orang tua dan orang dewasa keluarga),
dan sebaiknya campuran resep lokal. . (Arisman, 2010).

11
C. Kecambah Jagung

Menurut Nauli (2013), kecambah adalah suatu bentuk pertumbuhan biji kacang-kacangan dan
biji-bijian sebelum menjadi tunas atau tanaman baru. Selama proses perkecambahan,
metabolisme terjadi di dalam biji. Proses metabolisme ini meningkatkan suplai nutrisi gabah
dibandingkan dengan suplai nutrisi benih sebelum berkecambah.

Tejasari (2005) juga menambahkan bahwa perkecambahan meningkatkan aktivitas enzim


fitase. Enzim menghidrolisis asam fitat untuk melepaskan inostinol dan ortofosfat. Jadi, proses
bertunas bisa dilakukan dengan harapan bisa menambah protein dan lemak. Juga, molekul
asam amino yang berkecambah lebih kecil dari biji yang tidak berakar.

Nauli (2013) mengutip Suhendra (2009) mencatat bahwa perubahan pola makan yang
disebabkan oleh perkecambahan dapat digunakan untuk meningkatkan nilai gizi makanan atau
produk olahan. Pangan dengan nilai gizi tinggi merupakan salah satu tujuan dari pengolahan
pangan. Konsumen juga lebih memilih makanan dengan nilai gizi tinggi, memberikan
keuntungan finansial bagi produsen.

Menurut Aminah dan Santosa (2014), perkecambahan dapat lebih meningkatkan nilai
gizi jagung dan kacang-kacangan. Kedua bahan mengandung sistem enzim yang
diperlukan untuk perkecambahan. Ghavided dan Prakash (2007), Mugendi (2010),
Kumar, 2008, Rusydi dan Azrina (2012) menunjukkan bahwa perkecambahan
mengurangi senyawa penghambat nutrisi seperti tanin dan fitat. El-Adawy (2004) juga
melaporkan peningkatan bioavailabilitas vitamin dan mineral dalam biji kecambah.
Demikian pula, No (2002) dan Kaushik (2010) melaporkan bahwa kadar kalsium,
tembaga, mangan, seng, ribolavin, niasin, dan asam askorbat meningkat selama
perkecambahan.

D. Tempe

Tempe adalah makanan yang terbuat dari biji kedelai atau bahan lain yang diproses
dengan cara memfermentasikan ragi yang disebut tempe. Melalui proses fermentasi ini,
biji kedelai dipecah menjadi senyawa sederhana yang mudah dicerna. Umumnya
masyarakat Indonesia mengkonsumsi tempe sebagai pendamping nasi. Dalam
perkembangannya, tempe diolah dan disajikan dalam berbagai makanan siap saji yang

12
diolah dan dijual dalam kemasan. Misalnya keripik tempe merupakan salah satu contoh
makanan tempe yang populer dan banyak dijual di pasaran (BSN 2012).

Jamur yang tumbuh pada kedelai menghidrolisis senyawa kompleks menjadi senyawa
sederhana yang mudah dicerna manusia. Umumnya tempe berwarna putih karena
adanya kapang yang membentuk dan merekatkan biji kedelai menjadi satu konsistensi
yang padat. Perubahan sifat kedelai yang terjadi selama fermentasi memberikan rasa
dan aroma yang khas pada tempe. Berbeda dengan tahu, tempe rasanya sedikit asam
(Erlina, 2013).

Sedangkan menurut Astawan (2009), tempe yang berkualitas baik memiliki ciri-ciri warna
putih bersih merata di permukaannya, teksturnya homogen dan padat, serta memiliki rasa, bau
dan aroma yang khas dari tempe. Kualitas tempe yang buruk ditandai dengan permukaan yang
basah, tekstur yang gembur, bercak hitam, bau amoniak dan alkohol, serta beracun.

Komposisi gizi tempe dari segi protein, lemak dan karbohidrat hampir tidak berubah
dibandingkan kedelai. Namun karena adanya enzim pencernaan yang dihasilkan oleh tempe,
maka protein, lemak dan karbohidrat pada tempe lebih mudah dicerna tubuh dibandingkan pada
kedelai. Oleh karena itu, tempe sangat baik diberikan kepada semua umur (dari bayi sampai
lansia) sehingga dapat disebut sebagai makanan untuk segala umur (Joe, 2011).

Tempe tinggi serat, kalsium, vitamin B, vitamin A, D, E, K, seng dan zat besi. Kandungan
antioksidan flavonoid paling tinggi dibandingkan produk kedelai lainnya. Tubuh membutuhkan
antioksidan flavonoid untuk menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas pencegah tumor
atau kanker, misalnya (BSN 2012).

Menurut Murni (2013), manfaat tempe bagi tubuh antara lain tempe digunakan sebagai bahan
makanan alternatif yang memiliki fungsi ganda yaitu sebagai sumber nutrisi tubuh dan bahan
makanan kesehatan. Spesies kapang yang terlibat dalam fermentasi tempe tidak menghasilkan
racun (toksin), tetapi sebaliknya mampu melindungi tempe dari racun aflatoksin dari kapang
yang dihasilkannya. Proses fermentasi tempe mampu meningkatkan aktivitas dan jumlah
superoksida dismutase, salah satu enzim antioksidan yang melindungi tubuh dari serangan
radikal bebas oksigen tak terkendali, yaitu kanker.

Tempe memiliki kekuatan hipokolesterolemia, yaitu kemampuan menurunkan kadar kolesterol


sehingga mampu mencegah penyakit degeneratif seperti jantung koroner, stroke, dan kanker.
Efek hipokolesterolemia tempe, atau potensi tempe untuk menurunkan kolesterol, telah banyak

13
diuji. Konsumsi 200 g tempe setiap hari dapat mencegah peningkatan kolesterol. Namun tempe
yang dikonsumsi tidak diolah dengan cara digoreng karena kolesterol makanan juga dapat
disintesis di dalam tubuh dari lemak jenuh pada makanan yang digoreng (Murni, 2013).

E. Tepung Wortel

Tepung wortel merupakan produk kalengan yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk
memperpanjang umur simpan, memudahkan penyimpanan dan transportasi, memperluas
cakupan pasar dan dapat dengan mudah diolah menjadi produk lain. Produksi tepung wortel
meningkatkan penggunaan wortel, terutama sebagai sumber provitamin A dan pewarna
makanan. Tepung wortel bisa ditambahkan ke makanan bayi, saus, sup dan sebagai bahan kue,
antara lain.

Tepung wortel merupakan produk olahan wortel segar yang merupakan produk setengah jadi.
Dalam bentuk tepung, umur simpan lebih lama, pengangkutan lebih mudah dan penggunaan
lebih lanjut lebih mudah daripada dalam bentuk segar. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Deviurianty (2011) menemukan bahwa tepung wortel memiliki daya simpan yang lama yaitu
6-8 bulan dengan kadar air <8% (Amiruddin, 2013).

F. Daya Terima

Menurut Soekardo (1985) yang dikutip oleh Gultom (2013), menilai akseptabilitas
menggunakan metode hedonis eksperimen sensori meliputi warna, bau, rasa dan tekstur.
Evaluasi sensorik, juga disebut evaluasi sensorik atau evaluasi sensorik, adalah metode
evaluasi yang paling sederhana. Evaluasi sensori banyak digunakan dalam mengevaluasi
kualitas produk pertanian dan makanan. Jenis penilaian ini sangat populer karena dapat
dilakukan secara cepat dan langsung. Terkadang penilaian ini dapat mengarah pada penelitian
yang sangat teliti, karena sifat subyektif makanan lebih umum disebut karakteristik
organoleptik atau sensorik, karena penilaian didasarkan pada stimulasi sensorik organ sensorik.
Uji penerimaan meliputi uji preferensi (hedonik) dan uji kualitas hedonis. Dalam uji hedonik,
panelis diminta untuk menunjukkan tanggapan pribadinya terhadap derajat preferensi produk.
Tingkat preferensi ini disebut skala hedonis, yang dapat diperluas atau ditambahkan tergantung
pada area skala yang diinginkan. Kemudian analisis data pada skala hedonik diubah menjadi
skala numerik dan dilakukan analisis statistik.

14
G. Uji Organoleptik

Menurut Gultom (2013) mengutip Soekarno (1985), evaluasi sensori atau disebut juga dengan
evaluasi sensori atau sensory evaluation adalah metode evaluasi yang sudah lama ada dan
masih sangat umum digunakan. Metode penilaian ini banyak digunakan karena dapat dilakukan
secara cepat dan langsung. Dalam beberapa kasus, evaluasi sensorik bahkan lebih akurat
daripada pengukur yang paling sensitif. Penerapan evaluasi sensorik dalam praktiknya disebut
tes sensorik, yang dilakukan dengan menggunakan metode tertentu. Tes menyediakan data
untuk analisis lebih lanjut menggunakan metode statistik. Menurut Rahayu (1998) yang dikutip
oleh Febrina (2012), sistem evaluasi sensorik dibakukan dan digunakan di laboratorium
sebagai alat evaluasi. Evaluasi sensori juga digunakan sebagai metode dalam penelitian produk
dan pengembangan produk. Dalam hal ini, prosedur evaluasi memerlukan standarisasi yang
baik tentang bagaimana observasi dan analisis data dilakukan.

Pada tes indrawi digunakan indera penglihatan, penciuman, rasa, raba dan pendengaran. Panel
diperlukan untuk melakukan evaluasi sensorik saat mengevaluasi kualitas atau karakteristik
sensorik barang. Panel bertindak sebagai instrumen atau alat. Panitia ini terdiri dari orang atau
kelompok yang bertugas menilai kualitas barang. Anggota panel disebut panelis.

Tes hedonis atau tes preferensi adalah salah satu jenis tes penerimaan. Dalam tes ini, panelis
diminta untuk memberikan suka dan tidak suka pribadi mereka selain suka dan tidak suka.
Tingkat kesenangan ini disebut skala hedonis, misalnya: "Saya sangat suka", "Saya sangat
suka", "Saya suka", "Saya suka", "Saya suka", "Saya suka", "Saya suka", "Saya suka sedikit",
"Saya suka sesuatu", "Saya tidak suka". Saya benar-benar tidak menyukainya, saya benar-benar
tidak menyukainya. Dalam hedonic test, peserta tes diminta untuk memberikan jawaban
pribadinya apakah mereka menyukai produk tersebut atau tidak. Skala hedonik dapat diperluas
atau diubah sesuai dengan keinginan peneliti.

H. Panelis

Menurut Gultom (2013), ada enam jenis panelis dalam evaluasi sensori, yaitu panelis individu,
panelis terbatas, panelis terlatih, panelis cukup terlatih, panelis tidak terlatih, dan panelis
konsumen. Perbedaan keenam panelis tersebut didasarkan pada keahlian mereka dalam
melakukan evaluasi sensorik.

15
1. Panelis individu

Panelis individu adalah individu yang berkualifikasi tinggi dengan tingkat sensitivitas khusus
yang sangat tinggi yang diperoleh melalui kecerdasan atau praktik yang sangat sensitif. Peserta
individu sangat akrab dengan sifat, peran dan penggunaan materi yang akan dinilai dan
menguasai metode analisis sensorik dengan sangat baik. Keuntungan menggunakan panelis ini
adalah sensitivitas tinggi, distorsi yang dapat dihindari, dan evaluasi yang efisien. Untuk
mengenali penyimpangan kecil dan mengidentifikasi penyebabnya, panelis individu biasanya
dikerahkan.

2. Panelis Terbatas

Panelis terbatas 3-5 orang dengan sensitivitas tinggi untuk menghindari hal ini. Panelis ini
sangat akrab dengan unsur-unsur evaluasi sensorik dan akrab dengan metode pengolahan dan
pengaruh bahan baku terhadap hasil.

3. Panelis Terlatih

Panelis terlatih terdiri dari 15-25 orang dengan kepekaan yang baik. Untuk menjadi panelis
terlatih, Anda harus melalui seleksi dan latihan. Panelis ini dapat menilai beberapa rangsangan,
sehingga tidak terlalu spesifik.

4. Panelis terlatih dengan tepat

Beberapa panelis terlatih terdiri dari 15-25 orang yang sebelumnya telah terlatih dalam
pengetahuan fitur tertentu. Sejumlah panelis terlatih dapat dipilih Lingkaran terbatas
mengambil sampel data terlebih dahulu. Sebaliknya, informasi yang sangat dipalsukan tidak
boleh dimasukkan dalam keputusan.

5. Panelis yang tidak terlatih

Panelis tidak terlatih terdiri dari 25 orang awam yang dapat dipilih berdasarkan suku, status
sosial dan pendidikan. Orang uji yang tidak terlatih hanya diizinkan untuk mengidentifikasi
fitur sensorik sederhana, mis. B. Karakteristik yang disukai, tetapi tidak boleh digunakan dalam
tes diskriminasi. Panelis yang tidak terlatih biasanya adalah orang dewasa dengan campuran
panelis laki-laki yang sama dengan panelis perempuan.

16
6. Panel Konsumen

Panel konsumen terdiri dari 30-100 orang, tergantung target pemasaran produk. Panelis ini
memiliki karakteristik yang sangat umum dan dapat ditentukan berdasarkan individu atau
kelompok tertentu.

I. Kerangka Konsep

Bayi berusia antara 6 hingga 24 bulan membutuhkan makanan pendamping ASI


untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya sehari-hari. Suplemen menyusui yang
direkomendasikan berasal dari makanan yang tersedia secara lokal, padat nutrisi, dan berbasis
biji-bijian. Jagung, tempe dan wortel merupakan bahan pangan lokal yang melimpah dan
mudah ditemukan serta sangat cocok untuk kebutuhan gizi bayi.

Quick powder terbuat dari campuran tepung jagung, tepung tempe dan tepung wortel yang
telah ditambahkan susu skim. Campuran tersebut dibuat berdasarkan kecukupan nutrisi yang
dibutuhkan bayi usia 6 hingga 12 tahun Sebulan. Kemudian dilakukan studi karakteristik dan
untuk mengetahui daya terima bubuk instan dilakukan uji organoleptik terhadap rasa, aroma,
warna dan tekstur bubuk.

Selanjutnya, kerangka konseptual penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut Konsekuensi:

17
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen, menggunakan rancangan
penelitian acak lengkap, yang terdiri atas tiga faktor yaitu tepung kecambah jagung, tepung tempe, dan
tepung wortel dengan 2 perlakuan campuran tepung kecambah jagung, tepung tempe, dan tepung wortel,
dengan simbol I1 dan I2.

B. Lokasi Dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian


Penelitian pembuatan bubuk instan dilakukan di Laboratorium Gizi, Fakultas XXX Sedangkan
pelaksanaan uji daya terima bubuk instan dilakukan di Desa XXX

3.2.2 Waktu Penelitian

Penilitian dilakukan pada bulan XX sampai dengan bulan XX

3.1 Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah bubuk instan yang terbuat dari campuran tepung kecambah jagung dengan
komposisi 50% dan 55%, 40% untuk tepung tempe, dan 10% dan 5% untuk tepung wortel.

3.2 Definisi operasional

1. Karakteristik adalah sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu, dalam hal ini karakteristik
organoleptik meliputi rasa, warna, aroma dan tekstur.
2. Daya terima adalah tingkat kesukaan panelis terhadap bubuk instan campuran tepung kecambah
jagung, tepung tempe, dan tepung wortel meliputi indikator warna, tekstur, aroma, dan rasa yang
dilakukan pada bayi berumur 7-12 bulan didampingi ibunya.
3. Warna adalah corak yang dihasilkan oleh bubuk instan campuran tepung kecambah jagung, tepung
tempe, dan tepung wortel yang dirasakan secara subyektif oleh indera penglihatan.

18
4. Rasa adalah daya terima terhadap bubuk instan campuran tepung kecambah jagung, tepung tempe,
dan tepung wortel yang dirasakan secara subyektif oleh indra pengecap.
5. Aroma adalah bau khas yang dihasilkan bubuk instan campuran tepung kecambah jagung, tepung
tempe, dan tepung wortel yang dibedakan oleh indra pencium.
6. Tekstur adalah konsistensi dari bubuk instan campuran tepung kecambah jagung, tepung tempe,
dan tepung wortel yang diukur secara subyektif oleh indra pengecap.

19
DAFTAR PUSTAKA

https://123dok.com/document/zwkwnrvz-karakteristik-terima-instan-campuran-
kecambah-sebagai-makanan-pendamping.html

20

Anda mungkin juga menyukai