PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinegara Indonesia dan dinegara-negara berkembang lainnya terdapat
lima masalah gizi utama yang masih belum bisa diberantas sampai zaman
sekarang ini salah satunya yaitu Kurang Energi Protein (KEP).
Kurang Energi Protein (KEP) dapat dihindari dengan cara memberikan
pola asup yang sesuai dengan jumlah kalori yang dibutuhkan oleh tubuh.
Parameter pembangunan suatu negara dapat dilihat melalui kualitas sumber
daya manusia (SDM). Faktor gizi memegang peran penting dalam mencapai
SDM berkualitas (Depkes RI, 2005 dalam Pahlevi, 2012).
Salah satu kiat pembangunan nasional adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat yang akan menghasilkan sumber
daya manusia (SDM) yang sehat, cerdas, produktif, memiliki fisik yang tangguh,
dan mandiri. Jumlah penduduk Indonesia sekitar 30% terdiri dari anak-anak
(Marliyati, dkk 2014), sehingga status gizi usia anak sekolah sangat perlu
diperhatikan karena anak sekolah merupakan generasi penerus dan aset
pembangunan suatu bangsa.
Pada anak sekolah pertumbuhaan fisik dan perkembangan intelektual
berlangsung secara pesat, sehingga diperlukan asupan makanan yang cukup
setiap harinya dan status gizi yang baik, guna untuk menunjang tumbuh
kembang anak.
Seorang anak yang sehat dan normal akan tumbuh sesuai dengan
potensi genetik yang dimilikinya (Bryan et al., 2004 dalam Pahlevi, 2012). Bila
anak kekurangan asupan zat gizi, maka pertumbuhan dan perkembangan anak
mengalami penyimpangan dari pola standar.
Dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan oleh para ahli asupan zat
gizi anak sekolah di Indonesia sangat memprihatinkan dan rata-rata berat badan
anak sekolah berada dibawah garis normal.
Anak sekolah usia 6-12 tahun sangat memerlukan perhatian terutama
dalam pemenuhan kebutuhan gizi (Handari dan Siti, 2005 dalam Mutiara, dkk
2014). Jika kecukupan zat gizi siswa, tidak terpenuhi maka ketahanan fisik akan
lemah, sehingga siswa kurang dapat menerima ransangan dari indera dan
meneruskannya ke otak. Hal ini disebabkan karena saraf sensorik dan
1
motoriknya tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya siswa tertinggal jauh dalam
pelajarannya (Ahmadi dan Supriyono, 2004 dalam Noviyani, 2013). Program
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada anak sekolah adalah bertujuan
untuk meningkatkan ketahanan fisik serta status gizi, sehingga dapat mendorong
minat belajar siwa dan kemampuan daya terima otak agar meningkatkan prestasi
siswa dalam belajar.
Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) ialah kegiatan
pemberian makanan kepada peserta didik sekolah dasar dalam bentuk kudapan
yang aman dan bergizi, dengan memperhatikan aspek mutu dan keamanan
pangan (BPMPDKP, 2012 dalam Noviyani, 2013). Cara Pemberian Makanan
Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) menurut Depkes RI (2005) dalam Noviyani
(2013) PMT-AS diberikan paling sedikit tiga kali seminggu selama hari belajar
efektif sembilan bulan.
Berdasarkan Riskesdas Provinsi Sumatera Utara (2007) prevalensi anak
status gizi kurus menurut IMT di kabupaten Serdang Bedagai yaitu pada anak
laki-laki 13,3% dan anak perempuan 8,7%. Hasil data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas, 2010) diketahui bahwa status gizi pada anak umur 6-12 tahun di
Indonesia yaitu prevalensi sangat kurus sebesar 4,6% dan kurus sebesar 7,6%.
Sedangkan data terbaru dari Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa secara
nasional prevalensi kurus (menurut IMT/U) pada anak umur 5-12 tahun adalah
11,2% terdiri dari 4,0% sangat kurus dan 7,2% kurus. Meskipun mengalami
penurunan, Indonesia termasuk diantara 36 negara di dunia yang memberi 90%
konstribusi masalah gizi dunia (Depkes, 2007 dalam Marliyati, dkk 2014). Oleh
karena itu, untuk meningkatkan status gizi anak sekolah diperlukan suatu upaya
yang berdampak positif dalam rangka peningkatan gizi anak sekolah. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan yaitu program Pemberian Makanan Tambahan Anak
sekolah (PMT-AS) yang diberikan dalam bentuk produk cookies.
Cookies merupakan salah satu jenis kue kering yang renyah dan agak
keras dengan rasa yang bermacam-macam, berukuran kecil, dan tipis (Smith,
1972 dalam Tambunan, dkk 2015). Pengolahan cookies biasanya menggunakan
bahan dasar tepung terigu, akan tetapi untuk mengurangi ketergantungan
penggunaan tepung terigu yang mengharuskan negara Indonesia mengimpor
gandum dalam jumlah yang besar, maka sangat dibutuhkan bahan pangan lokal
yang bisa mengganti tepung terigu. Salah satunya yaitu pembuatan produk
2
cookies dengan substitusi bahan-bahan lokal yang terdiri dari tepung labu kuning
dan tepung tempe.
Labu kuning adalah contoh jenis bahan pangan sumber karbohidrat yang
berpotensi diolah menjadi tepung. Menurut Astawan (2004) dalam Tambunan,
dkk (2015) labu kuning merupakan bahan pangan yang kaya akan karbohidrat
75,03% dan β-karoten 180 SI. Akan tetapi labu kuning tidak tahan disimpan
dalam jangka panjang, oleh sebab itu perlu perlakuan untuk mengolah daging
labu kuning menjadi tepung supaya daya simpan menjadi lebih tahan lama.
Tepung yang sudah dihasilkan dapat digunakan dalam pembuatan cookies,
tetapi juga diperlukan penambahan sumber protein dari bahan pangan jenis lain
dikarenakan sumber protein yang terdapat pada tepung labu kuning cukup
rendah sekitar 5% (Tambunan, dkk 2015).
Supaya zat gizi yang terkandung dalam cookies menjadi lebih kompleks
dan untuk meningkatkan nilai protein pada cookies maka ditambahkan sumber
protein dari bahan pangan jenis lain salah satunya yaitu tepung tempe.
Berdasarkan penelitian Marulitua (2013) dalam Tambunan, dkk (2015)
penggunaan tepung tempe yang semakin tinggi maka protein pada cookies
semakin meningkat, namun apabila ditinjau dari segi penilaian organoleptiknya
semakin tinggi penggunaan tepung tempe maka aroma dan rasa cookies yang
dihasilkan kurang disukai panelis.
Berdasarkan hasil penelitian Tambunan, dkk (2015) cookies formulasi
tepung labu kuning dan tepung tempe dengan jumlah perbandingan (55%:15%)
dalam penilaian uji organoleptik produk cookies yang telah dilakukan,
disimpulkan bahwa tingkat kesukaan anak-anak lebih tinggi. Oleh karena itu
maka penulis memilih produk cookies formulasi tersebut untuk diolah. Dalam 100
gr cookies mengandung 500,16 kkal. Sehingga cookies yang dihasilkan,
diharapkan mampu menjadi pangan fungsional dan alternatif untuk menaikan
status gizi anak sekolah.
Menurut survei pendahuluan yang dilakukan oleh penulis di SD Negeri
101929 untuk mengetahui status gizi anak SD kelas 1 sampai 6 maka penulis
melakukan penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan pada
tanggal 20 September dan 28 September 2016. Penulis mengambil salah satu
contoh SD Negeri yang terdapat di kecamatan Perbaungan. Hasil survei yang
sudah dilaksanakan diperoleh prevalensi anak sekolah yang status gizi kurus
3
sebesar 6,8% (439 orang), sehingga perlu dilakukan program penanggulangan
terhadap anak SD Negeri 101929 dengan status gizi kurus.
Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, oleh
sebab itu penulis tertarik untuk meneliti pengaruh pemberian cookies formulasi
tepung labu kuning dan tepung tempe terhadap kenaikan berat badan pada anak
SD negeri 101929 yang status gizi kurus di Kecamatan Perbaungan tahun 2016.
B. Perumusan Masalah
Apakah ada pengaruh pemberian cookies formulasi tepung labu kuning
dan tepung tempe terhadap kenaikan berat badan pada anak SD Negeri 101929
yang status gizi kurus di Kecamatan Perbaungan tahun 2016.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh pemberian cookies formulasi tepung labu kuning
dan tepung tempe terhadap kenaikan berat badan pada anak SD Negeri 101929
yang status gizi kurus di Kecamatan Perbaungan.
2. Tujuan Khusus
a. Menilai status gizi IMT/U anak SD Negeri 101929 di Kecamatan
Perbaungan pada tahun 2016.
b. Menilai kenaikan berat badan sebelum dan sesudah pemberian cookies
formulasi tepung labu kuning dan tepung tempe.
c. Menganalisis pengaruh pemberian cookies formulasi tepung labu kuning
dan tepung tempe terhadap kenaikan berat badan pada anak SD Negeri
101929 yang status gizi kurus di Kecamatan Perbaungan tahun 2016.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis
Untuk dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan serta
keterampilan dalam melaksanakan penelitian pada penulisan skripsi.
4
2. Bagi Anak SD Negeri 101929
Masing-masing siswa yang mengalami status gizi kurus mereka dapat
mengetahui perbedaan berat badan sebelum dan sesudah pemberian
cookies formulasi tepung labu kuning dan tepung tempe.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Status Gizi
1. Pengertian
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk
variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu
(Supariasa, dkk 2002).
Jika tubuh seseorang mengalami kekurangan asupan satu atau lebih
jenis zat gizi yang sangat diperlukan tubuh maka dapat menyebabkan status gizi
kurang dan begitu juga sebaliknya bila tubuh seseorang memperoleh asupan
jenis zat gizi yang berlebihan maka akan mengakibatkan status gizi lebih
sehingga membahayakan serta menimbulkan penyakit.
Status gizi optimal adalah suatu keadaan dimana terjadi keseimbangan
antara pemasukan asupan zat gizi dengan kebutuhan zat gizi yang diperlukan
oleh tubuh untuk melakukan aktifitas fisik sehari-hari.
6
2) Pola Pengasuh Anak
Pola pengasuhan anak meliputi sikap dan pengetahuan ibu ataupun
anggota keluarga lainnya yang berhubungan dalam memberi asuhan kepada
anak seperti memberi makan, merawat, memberikan kasih sayang, menjaga
kesehatan, dan sebagainya guna untuk tumbuh kembang anak secara optimal.
3) Pelayanan Kesehatan Dan Sanitasi Lingkungan
Semakin mudah terjangkau tempat pelayanan kesehatan dan akses
ketersediaan sumber air bersih, maka semakin kecil pulak risiko anak terkena
penyakit maupun menderita kurang gizi.
7
- Perilaku Anak Sehari-hari
Anak yang kekurangan gizi menunjukkan perilaku yang tidak tenang,
cenggeng, mudah tersinggung, dan apatis.
8
3) Biokimia
Pemeriksaan biokimia adalah pemeriksaan dalam bentuk spesimen yang
diuji secara laboratoris. Spesimen tubuh yang digunakan antara lain darah, urine,
tinja serta beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot (Supariasa, dkk 2002).
Pemeriksaan biokimia digunakan untuk menolong dan mendapatkan hasil
pemeriksaan gejala kekurangan gizi yang lebih akurat dan spesifik. Pemeriksaan
ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang ahli.
4) Biofisik
Penilaian status gizi secara biofisik adalah suatu metode penentuan
status gizi dengan melihat kemampuan fungsi dan perubahan struktur dari
jaringan (Supariasa, dkk 2002). Pemeriksaan biofisik digunakan untuk menilai
situasi tertentu seperti tes kemampuan fungsi jaringan meliputi kemampuan
respon jaringan dan adaptasi sikap. Contoh salah satu tes pemeriksaan biofisik
adalah tes adaptasi gelap.
b. Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung
Penilaian status gizi secara tidak langsung dibagi menjadi tiga penilaian
yaitu:
1) Survei Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi dengan
melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Survei konsumsi makanan
dapat digunakan untuk memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat
gizi pada masyarakat, keluarga, maupun individu.
Survei dapat mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat gizi
(Supariasa, dkk 2002).
2) Statistik Vital
Statistik vital adalah suatu metode yang dapat menganalisis data
beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka
kesakitan, dan kematian akibat penyebab tertentu dan data penyebab lainnya
yang berhubungan dengan gizi (Supariasa, dkk 2002).
3) Faktor Ekologi
Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi
sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis, dan lingkungan budaya.
Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti
iklim, tanah, irigasi, dan lain-lain (Supariasa, dkk 2002).
9
4. Penilaian Status Gizi Secara Antropometri
Menurut Supariasa, dkk (2002) ada beberapa indeks antropometri yang
sering digunakan untuk mmenilai status gizi, yaitu:
a. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu parameter antropometri yang memberikan
gambaran massa tubuh (otot dan lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap
perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit
infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang
dikonsumsi. Berat badan merupakan parameter antropometri yang sangat labil,
karena bila keadaan kesehatan seseorang baik dan keseimbangan antara
konsumsi dan kebutuhan zat gizi tubuhnya terpenuhi, maka berat badan
berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya jika keadaan tubuh
seseorang yang abnormal, terdapat dua kemungkinan yang terjadi terhadap
perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang dengan cepat atau
mengalami perkembangan sangat lambat dari keadaan normal.
Oleh karena sifat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks berat
badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi
seseorang pada saat ini.
b. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan parameter antropometri yang menggambarkan
keadaan pertumbuhan. Tinggi badan adalah parameter antropometri yang relatif
kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi seseorang dalam waktu yang
pendek, pengaruh difisiensi zat gizi pada pertumbuhan tinggi badan akan
kelihatan dalam kurun waktu yang relatif lama. Jika keadaan tubuh seseorang
normal, maka tinggi badan tumbuh seiring dengan bertambahnya umur.
c. Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam
keadaan yang normal, perkembangan berat badan sejajar seiring dengan
pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan
indikator yang baik untuk menilai status gizi seseorang pada saat ini (masa
sekarang).
d. Indeks Massa Tubuh Menurut Umur (IMT/U)
Ukuran fisik atau komponen massa tubuh sangat mempengaruhi status
gizi seseorang. Apabila tubuh kekurangan maupun kelebihan asupan zat gizi
10
maka akan berisiko terkena penyakit-penyakit tertentu dan juga dapat
berpengaruh terhadap produktifitas kerja dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1995/Menkes/SK/XII/2010 penilaian status gizi pada anak sekolah menggunakan
Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U), yang dikategorikan menjadi:
1) Sangat kurus : <-3 SD
2) Kurus : -3 SD s/d <- 2 SD
3) Normal : -2 SD s/d 1 SD
4) Gemuk : > 1 SD s/d 2 SD
5) Obesitas : > 2 SD
11
baik dan sesuai terhadap kebutuhan asupan nutrisi yang diperlukan dalam tubuh
anak. Untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya, maka anak
membutuhkan 5 kali waktu makan, yaitu makan pagi (sarapan), makan siang,
makan malam, dan 2 kali makanan selingan (makanan selingan pagi hari dan
sore hari). Makanan selingan pagi hari biasanya dikonsumsi anak ketika jam
istirahat disekolah, pentingnya mengkonsumsi makanan selingan selama
disekolah adalah agar kadar gula tetap terkontrol dengan baik, sehingga
konsentrasi belajar dan aktivitas fisik lainnya tetap terlaksana.
Makanan selingan yang dikonsumsi anak usia sekolah harus mampu
menyumbang energi minimal 300 kkal ke dalam tubuh anak. Setiap golongan
umur pada anak mempunyai tingkat kebutuhan energi yang berbeda-beda, yaitu
golongan umur 10-12 tahun relatif lebih besar daripada golongan umur 4-9 tahun,
karena pertumbuhan dan perkembangan pada masa sekolah akan mengalami
proses percepatan pada umur 10-12 tahun, dimana pertambahan berat badan
per tahunnya sampai 2,5 kg (Pahlevi, 2012).
Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan, dinyatakan
bahwa kebutuhan gizi anak usia sekolah dasar menurut umur adalah sebagai
berikut:
Tabel 1. Angka Kecukupan Gizi (AKG) Rata-Rata Yang Dianjurkan (Per Orang
Per Hari)
Jenis Kelamin Umur Energi (kkal) Lemak (gr)
4-6 tahun 1600 62
Laki-laki 7-9 tahun 1850 72
10-12 tahun 2100 70
4-6 tahun 1600 62
Perempuan 7-9 tahun 1850 72
10-12 tahun 2000 67
Sumber : Angka Kecukupan Gizi, 2013
12
Istimewa Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Timor-
Timor, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya. Caranya dengan memberikan
bantuan dana untuk pembuatan makanan jajanan yang dibuat dari bahan
makanan setempat sehingga dapat memberikan tambahan 15-20% dari
kebutuhan gizi rata-rata anak perhari.
PMT-AS bertujuan untuk meningkatkan ketahanan fisik anak sekolah
sebagai upaya perbaikan gizi dan kesehatan sehingga dapat mendorong minat
dan kemampuan belajar siswa (Dinkes, 2012 dalam Noviyani, 2013).
Program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) ialah
program nasional yang dimulai sejak tahun 1996/1997 yang dilaksanakan secara
lintas sektoral yang terkait dalam forum koordinasi PMT-AS dan mempunyai
dasar hukum INPRES No. 1 tahun 1997 tentang Program Makanan Tambahan
Anak Sekolah. Berdasarkan hasil penelitian kasus, disimpulkan bahwa
pelaksanaan PMT-AS sejak tahun anggaran 1996/1997 sampai dengan tahun
2000, dapat menaikan berat badan juga dapat meningkatkan kehadiran siswa
disekolah, serta memperbaiki gizi dan kesehatan sehingga dapat mendorong
prestasi belajar siswa sekolah dasar.
Hasil penelitian Noviyani (2013) di SD Banyuanyar III kota Surakarta
menunjukkan bahwa intervensi PMT-AS dapat meningkatkan prestasi belajar
siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia dan IPA.
13
menjadi perhatian yaitu warna, tekstur, rasa, aroma, dan kandungan gizi yang
terdapat dalam produk. Semakin lengkap kandungan gizinya maka semakin baik
makanan tersebut untuk dikonsumsi.
Labu kuning selain digunakan sebagai bahan pangan, kandungan gizi
pada labu kuning cukup lengkap yakni karbohidrat, protein, beberapa mineral
seperti kalsium, fosfor, besi serta vitamin yaitu vitamin B dan C, dan serat
(Ranonto, dkk 2015). Daging buahnya yang berwarna kuning atau oranye
menandakan bahwa kandungan karotenoidnya sangat tinggi. Kadar beta karoten
daging buah labu kuning segar adalah 19,9 mg/100g (Gardjito, 2006 dalam
Ranonto, dkk 2015).
14
mengandung beta karoten yang berfungsi sebagai antioksidan (Sinaga, 2011
dalam Ranonto, dkk 2015).
Dicuci bersih
Dihaluskan
Pengayakan 80 mesh
15
D. Formula Tepung Tempe
1. Pengertian Tempe
Tempe merupakan bahan pangan setengah jadi yang dihasilkan dari
proses fermentasi kacang kedelai. Pada proses fermentasi tempe dibutuhkan
inokulum tempe. Tanpa inokulum tempe, kedelai yang difermentasi akan busuk.
Kebanyakan orang menyebut inokulum tempe sebagai starter tempe atau ragi
tempe. Ragi tempe adalah kumpulan spora kapang dan jamur yang digunakan
untuk bahan pembibitan dalam pembuatan tempe.
3. Tepung Tempe
Tepung adalah suatu jenis zat padat yang tersusun dari partikel-partikel
dan mempunyai tingkatan tekstur yang beragam mulai dari butiran halus hingga
sangat halus, tergantung teknik penggilingannya. Tepung banyak dimanfaatkan
16
oleh masyarakat untuk pembuatan kue, mie, roti, dan lain-lain. Tempe dapat
diproses menjadi tepung kemudian bisa kembali diolah untuk memperoleh aneka
produk makanan lainnya.
Tempe
Dihaluskan
Pengayakan 80 mesh
Tepung tempe
Gambar 2. Bagan Pembuatan Tepung Tempe
Sumber : (Wahyudi, 2005 dalam Tambunan, dkk 2015)
17
E. Cookies Formulasi Tepung Labu Kuning Dan Tepung Tempe
1. Pengertian Cookies
Cookies merupakan salah satu jenis kue kering yang renyah dan agak
keras dengan rasa yang bermacam-macam, berukuran kecil, dan tipis (Smith,
1972 dalam Tambunan, dkk 2015).
Cookies atau kue kering adalah suatu jenis makanan ringan yang
digemari oleh seluruh lapisan masyarkat baik dikota, maupun di perdesaan.
Cookies biasanya berbahan dasar tepung terigu. Dalam penelitian ini
penggunaan tepung terigu dalam pengolahan cookies digantikan dengan tepung
labu kuning dan tepung tempe.
18
b. Bahan
Adapun bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan cookies formulasi
tepung labu kuning dan tepung tempe adalah sebagai berikut:
19
d. Pendinginan Dan Pengemasan Cookies
Cookies yang sudah dipanggang, kemudian didinginkan, setelah dingin
cookies yang dihasilkan pun dikemas.
Adonan
20
F. Perbandingan Zat Gizi Pada Cookies Formulasi Tepung Labu Kuning
Dan Tepung Tempe Terhadap Standar Mutu Cookies SNI 01-2973-1992
Per 100 Gram
Tabel 8. Perbandingan Zat Gizi Pada Cookies Formulasi Tepung Labu Kuning
Dan Tepung Tempe Terhadap Standar Mutu Cookies SNI 01-2973-1992
Per 100 Gram
No. Zat Gizi Cookies Formulasi Standar Mutu
Tepung Labu Kuning Cookies
Dan Tepung Tempe SNI 01-2973-1992
1. Kadar air (%) 4,54 5%
2. Kadar abu (%) 1,89 Tidak lebih dari 2%
3. Kadar protein (%) 10,71 Minimal 6%
4. Kadar β-karoten (mg) 9,31 Kandungan standar
β-karoten tidak
ditentukan
Sumber : (Tambunan, dkk 2015)
Dari tabel diatas dinyatakan bahwa cookies formulasi tepung labu kuning
dan tepung tempe layak diproduksi dan dikonsumsi, karena sesuai dengan
standar mutu cookies SNI 01-2973-1992.
21
G. Kerangka Teori
Akar
Krisis Ekonomi, politik, Dan Sosial
Masalah
22
H. Kerangka Konsep
Pemberian Cookies
Formulasi Tepung Labu Kuning
Dan Tepung Tempe
23
I. Definisi Operasional
J. Hipotesis
24
BAB III
METODE PENELITIAN
O1 (X) O2
Keterangan:
O1 : Pengukuran berat badan sampel sebelum pemberian cookies
formulasi tepung labu kuning dan tepung tempe.
X : Pemberian cookies formulasi tepung labu kuning dan tepung
tempe kepada sampel.
O2 : Pengukuran berat badan sampel sesudah pemberian cookies
formulasi tepung labu kuning dan tepung tempe.
25
C. Populasi Dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa yang terdapat di SD
Negeri 101929. Jumlah populasi dalam penelitian ini berjumlah 439 orang.
2. Sampel
Berdasarkan survei pendahuluan yaitu dilaksanakan skrining oleh penulis
dengan cara mengukur berat badan dan tinggi badan seluruh anak SD Negeri
101929, maka sampel yang sesuai kriteria penelitian adalah berjumlah 30 orang.
26
2. Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari pihak sekolah seperti
identitas siswa meliputi nama siswa, jenis kelamin, alamat, dan kelas. Data ini
dikumpulkan dengan cara melihat daftar absensi siswa.
E. Variabel Penelitian
Ada dua jenis variabel dalam penelitian ini yakni variabel bebas
(independent variable) dan variabel terikat (dependent variable).
1. Variabel Bebas (Independent Variable)
Variabel bebas merupakan variabel yang diduga secara langsung
mempengaruhi variabel terikat. Pada penelitian ini yang menjadi variabel bebas
adalah pemberian cookies formulasi tepung labu kuning dan tepung tempe.
2. Variabel Terikat (Dependent Variable)
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi oleh variabel
bebas, yang menjadi variabel terikat pada penelitian ini adalah kenaikan baerat
badan siswa.
F. Prosedur Penelitian
1. Tahap Pertama (Mengumpulkan Data Identitas Siswa)
a. Prosedur Pengumpulan Data Identitas Siswa
Identitas siswa meliputi nama siswa, jenis kelamin, alamat, dan kelas.
Data ini dikumpulkan dengan cara melihat daftar absensi siswa yang didapatkan
dari pihak sekolah.
27
2) Setelah diperoleh hasil data anak SD yang mengalami status gizi
kurus, maka keseluruhannya dijadikan sampel dalam penelitian.
3) Sebelum diberikan intervensi sampel kembali ditimbang berat
badannya, menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,1 kg
dan berat max 150 kg.
28
3) Selanjutnya tepung labu kuning, tepung tempe, dan tepung tapioka
dimasukkan secara perlahan dan diaduk sehingga tercampur merata
dan kalis.
4) Kemudian adonan cookies dicetak dimulai dengan cara membentuk
adonan cookies menjadi lembaran yang sama tebal ±1cm dan
dicetak menggunakan alat cetakan dan disusun diatas loyang untuk
dibakar. Lalu adonan cookies dipanggang dengan menggunakan
oven pada suhu 140oC selama 15-20 menit.
5) Cookies yang sudah dipanggang, kemudian didinginkan, setelah
dingin cookies yang dihasilkan pun dikemas dengan plastik kecil.
29
1) Sampel dikumpulkan disatu ruang kelas yang sama.
2) Peneliti menimbang berat badan sampel menggunakan timbangan
digital dengan ketelitian 0,1 kg dan berat max 150 kg.
3) Setelah dilakukan penimbangan berat badan akhir, kemudian berat
badan awal sebelum pemberian cookies dibandingkan dengan berat
badan akhir pada anak SD sesudah pemberian cookies formulasi
tepung labu kuning dan tepung tempe.
2. Analisis Data
Data yang telah diolah dengan menggunakan komputerisasi kemudian
dianalisis berdasarkan variabel:
a. Analisis Univariat
Analisis univariat adalah untuk menggambarkan masing-masing variabel
yang disajikan dalam distribusi frekuensi dan dianalisis berdasarkan presentase.
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat adalah untuk melihat apakah ada pengaruh pemberian
cookies formulasi tepung labu kuning dan tepung tempe terhadap kenaikan berat
badan pada anak SD Negeri 101929 yang status gizi kurus di Kecamatan
30
Perbaungan tahun 2016. Dilakukan dengan menggunakan uji statistik (uji paired
t-test). Dengan mengambil kesimpulan, jika nilai p < 0,05 maka Ha diterima
artinya ada pengaruh pemberian cookies formulasi tepung labu kuning dan
tepung tempe terhadap kenaikan berat badan pada anak SD Negeri 101929
yang status gizi kurus di Kecamatan Perbaungan tahun 2016.
31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
89 86 100.00%
75 77 73
39
17.08% 17.54% 16.63% 20.27% 19.59% 8.88%
Jumlah Siswa %
32
B. Gambaran Umum Status Gizi Anak SD Negeri 101929
Dibawah ini adalah distribusi hasil skrining status gizi seluruh anak SD
Negeri 101929:
439
344
78.36% 100.00%
2.05% 6.83% 6.83% 6%
9 30 30 26
33
Distribusi Jumlah Sampel Menurut Kelas
100.00%
100.00%
63.33%
36.67%
19
11 30
Laki-laki
Perempuan
Total
34
Dari gambar 9. diketahui bahwa distribusi anak SD Negeri 101929 yang
berstatus gizi kurus berjenis kelamin laki-laki yaitu berjumlah 19 orang (63,33%)
dan berjenis kelamin perempuan yaitu 11 orang (36,67%).
3. Distribusi Sampel Menurut Umur
Hasil pengumpulan data primer dari 30 sampel maka distribusi jumlah
sampel menurut umur dapat dilihat pada gambar 10. dibawah ini:
100.00%
Gambar 10. Distribusi Jumlah Sampel Menurut Umur Anak SD Negeri 101929
35
tepung labu kuning yang dihasilkan setelah melalui proses pengayakan adalah
6,9 kg tepung labu kuning (10%).
2. Tepung Tempe
Tepung tempe diperoleh dari hasil proses pembuatan tepung tempe.
Bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung tempe yaitu jumlah
keseluruhan tempe segar dibutuhkan sebanyak 3 kg dan jumlah tepung tempe
yang dihasilkan setelah melalui proses pengayakan adalah 1,2 kg tepung tempe
(2,5%).
36
Tabel 10. Distribusi Deskriptif Variabel Berat Badan Sampel Sebelum Pemberian
Intervensi Di SD Negeri 101929 Di Desa Simpang Tiga Pekan
Variabel Mean Std. Deviasi Min Max
Berat
badan
sampel
19,67 3,62 14 – 27
sebelum
pemberian
intervensi
Tabel 11. Distribusi Deskriptif Variabel Berat Badan Sampel Sesudah Pemberian
Intervensi Di SD Negeri 101929 Di Desa Simpang Tiga Pekan
Variabel Mean Std. Deviasi Min Max P Value
Berat
badan
sampel
19,96 3,67 14,1 – 27,4 0,000
sesudah
pemberian
intervensi
37
3. Perbedaan Berat Badan Sebelum Dan Sesudah Pemberian Cookies
Formulasi Tepung Labu Kuning Dan Tepung Tempe Kepada
Sampel
Gambaran distribusi deskriptif perbedaan berat badan sebelum dan
sesudah pemberian intervensi kepada sampel di SD Negeri 101929 di desa
Simpang Tiga Pekan, dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 12. Distribusi Deskriptif Variabel Berat Badan Sampel Sebelum Dan
Sesudah Pemberian Intervensi Di SD Negeri 101929 Di Desa Simpang
Tiga Pekan
No. Uraian Berat Badan P Value
Min Max Mean Std.
Deviasi
1. Berat badan
sebelum 14 27 19,67 3,62
intervensi
0,000
2. Berat badan
sesudah 14,1 27,4 19,96 3,67
intervensi
Tabel 13. Distribusi Jumlah Sampel Yang Mengalami Kenaikan Berat Badan
Sesudah Pemberian Intervensi Selama 14 Hari Di SD Negeri 101929
Di Desa Simpang Tiga Pekan
No. Perubahan n %
Berat Badan
Sampel
1. Berat badan naik 30 100
2. Berat badan tetap – –
3. Berat badan turun – –
38
Pada tabel 13. diketahui bahwa distribusi jumlah sampel yang mengalami
kenaikan berat badan sesudah pemberian intervensi selama 14 hari yaitu
berjumlah 30 orang (100%), tidak ada yang mengalami berat badan tetap, dan
juga tidak ada sampel yang mengalami penurunan berat badan. Pada penelitian
ini ternyata Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) berupa
cookies formulasi tepung labu kuning dan tepung tempe yang diberikan kepada
sampel selama 14 hari berturut-turut mampu membantu perbaikan gizi dan dapat
menaikan berat badan anak SD Negeri 101929.
Dalam pemberian cookies formulasi tepung labu kuning dan tepung
tempe yang berjumlah 100 gr kepada setiap sampel, maka telah menyumbang
asupan energi 500,16 kkal per hari. Sehingga jika dihubungkan dengan Angka
Kecukupan Gizi (2013) yang dianjurkan untuk usia anak sekolah menurut
golongan umur dan jenis kelamin sampel dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
40
Distribusi Perubahan Status Gizi Sebelum Dan
Sesudah Pemberian Intervensi Kepada Sampel
100.00%
40.00% 60.00%
12 18 30
Normal
Kurus
Total
Jumlah Sampel %
41
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Status gizi anak SD Negeri 101929 adalah presentase status gizi
obesitas yaitu 26 orang (5,9%), gemuk yaitu 30 orang (6,8%), normal
yaitu 344 orang (78,4%), kurus yaitu 30 orang (6,8%), dan sangat kurus
yaitu 9 orang (2,1%).
2. Penilaian berat badan anak SD Negeri 101929 sebelum intervensi rata-
rata 19,67 kg. Penilaian berat badan anak SD Negeri 101929 sesudah
intervensi rata-rata 19,96 kg. Selisih rata-rata berat badan sebelum dan
sesudah pemberian intervensi cookies formulasi tepung labu kuning dan
tepung tempe sebesar 0,29 kg.
3. Dari hasil uji statistik diperoleh p = 0,000 < 0,05 bahwa ada perbedaan
berat badan sampel sebelum dan sesudah pemberian intervensi secara
signifikan. Ha diterima yaitu ada pengaruh pemberian cookies formulasi
tepung labu kuning dan tepung tempe terhadap kenaikan berat badan
pada anak SD Negeri 101929 yang status gizi kurus di Kecamatan
Perbaungan tahun 2016.
B. Saran
1. Masih tingginya prevalensi masalah gizi pada anak SD Negeri 101929,
maka perlu diupayakan Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah
(PMT-AS). Khususnya untuk anak SD yang mempunyai masalah gizi
dengan menggunakan cookies formulasi tepung labu kuning dan tepung
tempe karena telah mampu menaikkan berat badan anak SD yang
berstatus gizi kurus dan diharapkan untuk diberikan lebih dari 14 hari,
karena walaupun pemberian intervensi sudah dilakukan selama 14 hari
tetapi anak SD Negeri 101929 yang berstatus gizi kurus belum semua
mengalami perubahan status gizi menjadi status gizi normal.
2. Mengingat kelemahan penelitian ini tidak menganalisis asupan makanan
sehari-hari yang dikonsumsi oleh anak SD (sampel), maka disarankan
untuk penelitian lanjutan makanan sehari-hari yang dikonsumsi oleh
sampel supaya dianalisis atau dikontrol serta pemberian makanan
tambahan untuk anak SD yang mempunyai masalah gizi agar
42
dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah yaitu selama 90 hari
berturut-turut yang disebut Hari Makan Anak (HMA).
43
DAFTAR PUSTAKA
44
Rachmawati, Rosi Novita, Ampera Miko. 2016. Karakteristik Organoleptik Biskuit
Berbasis Tepung Labu Kuning (Cucurbita moschata), Tepung Kacang
Koro (Mucuna prurien), dan Tepung Sagu (Metroxilen sago). Indonesian
Journal of Human Nutrition. Poltekkes Kemenkes Aceh. Aceh.
Ranonto, Novrina Rasinta, Nurhaeni, Abd. Rahman Razak. 2015. Retensi
Karoten Dalam Berbagai Produk Olahan Labu Kuning (Cucurbita
moschata Durch). Online Jurnal of Natural Science. Universitas
Tadulako. Palu.
Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010
Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013
Sukardi, Wignyanto, Isti Purwaningsih. 2008. Uji Coba Penggunaan Inokulum
Tempe Dari Kapang Rhizopus oryzae Dengan Substrat Tepung Beras
Dan Ubikayu Pada Unit Produksi Tempe Sanan Kodya Malang. Jurnal
Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Supariasa, I Dewa Nyoman, Bachyar Bakri, Ibnu Fajar. 2008. Penilaian Status
Gizi. EGC. Jakarta.
Susilowati, Enny. 2013. Perbedaan Status Gizi Anak Sekolah Dasar Sebelum
Dan Sesudah Mendapatkan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Di
SDN Plalan I Kota Surakarta. Skripsi. Program Studi S1 Gizi, Universitas
Muhammadiyah. Surakarta.
Tambunan, Krisno, Akhyar Ali and Faizah Hamzah. 2015. Kajian Pemanfaatan
Tepung Labu Kuning (Cucurbita moschata Durch) Dan Tepung Tempe
Dalam Pembuatan Kukis. Jom Faperta. Universitas Riau. Riau.
45