Anda di halaman 1dari 16

PEMERIKSAAN NEUROLOGI

( GCS ,ROM , REFLEK , SYARAF GRANIAL )

Mata Kuliah :Kep .Intensif

Dosen Pegampu :

Disusun oleh

Kelompok 3

Andika Gustiara Utami 1902022

Chintya Acita Salyas

Ivania Airelneldi 1902035

Liza Oktaria 1902036

Ratu Suri Mutiara Manandi

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SYEDZA SAINTIKA

PADANG 2022
A. GCS
a. Pengertian GCS
Skala Koma Glasgow adalah skala neurologi yang dapat digunakan untuk menilai
tingkat kesadaran. Skala ini umumnya digunakan untuk menilai kesadaran setelah
cedera kepala. Ada tiga komponen yang dinilai dalam skala ini yaitu mata, verbal,
dan motorik.
GCS (glasgow coma scale) adalah skala yang dipakai untuk mengetahui tingkat
kesadaran. Dulu, skala ini digunakan pada orang yang mengalami cedera kepala.
Namun, saat ini, GCS juga digunakan untuk menilai tingkat kesadaran seseorang.

b. Macam –Macam tingkat kesadaran


1. Composmentis, yaitu kondisi seseorang yang sadar sepenuhnya, baik terhadap
dirinya maupun terhadap lingkungannya dan dapat menjawab pertanyaan yang
ditanyakan pemeriksa dengan baik.
2. Apatis, yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan acuh tak acuh terhadap
lingkungannya.
3. Delirium, yaitu kondisi seseorang yang mengalami kekacauan gerakan, siklus
tidur bangun yang terganggu dan tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi
serta meronta-ronta.
4. Somnolen yaitu kondisi seseorang yang mengantuk namun masih dapat sadar
bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti akan tertidur kembali.
5. Sopor, yaitu kondisi seseorang yang mengantuk yang dalam, namun masih
dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri,
tetapi tidak terbangun sempurna dan tidak dapat menjawab pertanyaan dengan
baik.
6. Semi-coma yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons
terhadap pertanyaan, tidak dapat dibangunkan sama sekali, respons terhadap
rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi refleks kornea dan pupil masih baik.
7. Coma, yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, memberikan respons
terhadap pertanyaan, tidak ada gerakan, dan tidak ada respons terhadap
rangsang nyeri.memberikan pertolongan darurat medis.
c. Pemeriksaan Glasgosw Coma Scale (GCS)
a. Nilai tingkat kesadaran GCS orang dewasa
Berikut nilai acuan dalam penilaian GCS pada orang dewasa:
1. Eye (respon membuka mata)

(4) : spontan atau membuka mata dengan sendirinya tanpa dirangsang

(3) : dengan rangsang suara, ddilakukan dengan menyuruh pasien untuk


membuka mata)

(2) : dengan memberikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari

(1) : tidak ada respon meskipun sudah dirangsang.

2. Verbal (respon verbal atau ucapan)

(5) : orientasi baik, bicaranya jelas

(4) : bingung, berbicara mengacau (berulang-ulang), disorientasi tempat dan


waktu

(3) : mengucapkan kata-kata yang tidak jelas

(2) : suara tanpa arti (mengerang

(1) : tidak ada respon

3. Motorik (gerakan)

(6) : mengikuti perintah pemeriksa

(5) : melokalisir nyeri, menjangkau dan menjauhkan stimulus saat diberi


rangsang nyeri

(4) : withdraws, menghindar atau menarik tubuh untuk menjauhi stimulus saat
diberi rangsang nyeri

(3) : flexi abnormal, salah satu tangan atau keduanya menekuk saat diberi
rangsang nyeri

(2) : extensi abnormal, salah satu tangan atau keduanya bergerak lurus
(ekstensi) di sisi tubuh saat diberi rangsang nyeri
(1) : tidak ada respon

b. Nilai tingkat kesadaran GCS pada bayi dan anak

Berikut nilai acuan dalam penilaian GCS pada bayi/anak:

1. Eye (respon membuka mata)

(4) : spontan

(3) : membuka mata saat diperintah atau mendengar suara

(2) : membuka mata saat ada rangsangan nyeri

(1) : tidak ada respon

2. Verbal (respon verbal)

(5) : berbicara mengoceh seperti biasa

(4) : menangis lemah

(3) : menangis karena diberi rangsangan nyeri

(2) : merintih karena diberi rangsangan nyeri

(1) : tidak ada respon

3. Motorik (gerakan)

(6) : bergerak spontan

(5) : menarik anggota gerak karena sentuhan

(4) : menarik anggota gerak karena rangsangan nyeri

(3) : fleksi abnormal

(2) : ekstensi abnormal

(1) : tidak ada respon


d. Cara menghitung nilai GCS dan intrepretasi hasilnya

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E-V-
M dan selanjutnya nilai GCS tersebut dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi atau
GCS normal adalah 15 yaitu E4V5M6 , sedangkan yang terendah adalah 3 yaitu
E1V1M1 Berikut beberapa penilaian GCS dan interpretasinya terhadap tingkat
kesadaran :

Nilai GCS (15-14) : Composmentis

Nilai GCS (13-12) : Apatis

Nilai GCS (11-10) : Delirium

Nilai GCS (9-7) : Somnolen

Nilai GCS (6-5) : Sopor

Nilai GCS (4) : Semi-coma

Nilai GCS (3) : Coma

e. Cara Meningkatkan GCS

Penurunan GCS dapat terjadi karena cedera yang terjadi pada kepala. Untuk
meningkatkan nilai GCS dibutuhkan beberapa tindakan seperti:

1. Pemberian Obat
Obat diberikan untuk mencegah kerusakan pada organ otak setelah terjadi
kecelakaan. Obat yang diberikan dapat berupa:
 Obat Diuretik
Digunakan untuk mengurangi jumlah cairan dalam lapisan tissur dan
meningkatkan pengeluaran urin. Obat diuretik diberikan untuk seseorang
dengan cedera kepala untuk mengurangi tekanan yang terjadi dalam otak.
 Obat Anti Kejang
Seseorang yang mengalami cedera kepala ringan sampai berat mungkin
mengalami kejang selama minggu pertama setelah kecelakaan. Obat anti
kejang mungkin diberikan untuk menghidari resiko kerusakan lebih buruk
pada otak yang diakibatkan karena kejang.
2. Operasi
Operasi darurat mungkin dilakukan untuk mengurangi risiko kerusakan
tambahan pada jaringan otak.
3. Rehabilitasi
Kebanyakan orang yang mengalami kecelakaan otak mungkin akan
membutuhkan rehabilitasi. Pasien perlu belajar kembali hal-hal dasar seperti
berjalan dan berbicara. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuannya
dalam melakukan aktifitas harian.
B. ROM
a. Pengertian ROM
Pemeriksaan Range of Motion (ROM) digunakan untuk mengevaluasi lingkup
gerak sendi. Pemeriksaan ini sering digunakan dalam evaluasi masalah
neuromuskuloskeletal, seperti femoroacetabular impingement (FAI), rheumatoid
arthritis, stroke, ataupun cedera ekstremitas.
Pemeriksaan ROM dilakukan dengan menggerakkan sendi, seperti fleksi dan
ekstensi, sebagaimana ditentukan oleh jenis sendi, permukaan artikularnya, otot
regional, tendon, ligamen, dan kontrol fisiologis gerakan melintasi sendi. Lingkup
gerak adalah luasnya gerakan suatu sambungan, diukur dalam derajat
lingkaran.[1-3].
Pemeriksaan ROM dapat diukur oleh pemeriksa secara visual ataupun
menggunakan goniometer. Ada dua jenis goniometer. Jenis pertama adalah
menggunakan goniometer universal dan menskalakan ROM secara manual. Jenis
yang kedua adalah menggunakan aplikasi goniometri pada ponsel pintar.
b. Teknik ROM
Teknik pemeriksaan Range of Motion (ROM) meliputi pemeriksaan
menggunakan goniometer universal, twin axis electrogoniometer, gravity
goniometer atau inclinometer, software atau smartphone-based goniometer, dan
arthodial goniometer.
Persiapan
Pemeriksaan Range of Motion (ROM) tidak memerlukan persiapan khusus. Pasien
diedukasi mengenai prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan dan diberikan
penjelasan, kemudian minta informed consent. Pemeriksa menentukan jenis
goniometer yang digunakan, serta menentukan cara pemeriksaan apakah secara
aktif, pasif, atau aktif asistif.
c. Pedoman klinis pemeriksaan Range of Motion (ROM)
adalah mengukur derajat gerak sendi untuk mengevaluasi adanya gangguan gerak
akibat kondisi neuromuskular. Pemeriksaan ROM dilakukan dengan goniometer.
Ada beberapa macam goniometer, yaitu goniometer universal, twin axis
electrogoniometer, gravity goniometer atau inclinometer, software atau
smartphone-based goniometer, dan arthodial goniometer.
Pemeriksaan ROM sering dilakukan untuk evaluasi masalah
neuromuskuloskeletal, seperti femoroacetabular impingement (FAI),
osteoarthritis, rheumatoid arthritis, stroke, ataupun cedera ekstremitas.
Indikasi pemeriksaan Range of Motion (ROM) adalah untuk memeriksa lingkup
gerak sendi, utamanya dalam mendiagnosis masalah neuromuskuloskeletal. Selain
itu, pemeriksaan ini digunakan juga untuk tujuan pengobatan, mengevaluasi
gerakan sendi secara rutin, dan membuat orthosis.
d. Indikasi
Range of Motion ditentukan oleh faktor muskular dan osteoartikular. Gerak yang
terbatas menandakan adanya gangguan dalam sistem ini. Pemeriksaan ROM,
dikombinasikan dengan pemeriksaan muskuloskeletal lain, akan membantu dalam
mendiagnosis dan menentukan derajat fungsi atau gangguan sendi pasien.
Goniometri memperlihatkan keterbatasan sendi pada busur gerak, tetapi tidak
mengidentifikasi disfungsi.
e. Komplikasi
Komplikasi pemeriksaan Range of Motion (ROM) umumnya terjadi karena
pengukuran dengan teknik yang salah. Hal ini bisa menyebabkan hasil
pengukuran tidak akurat yang dapat berdampak pada perawatan pasien, ataupun
menyebabkan cedera iatrogenik.
Kesalahan pada pengukuran menyebabkan perubahan dalam kesejajaran
goniometer. Goniometer dapat membantu dalam pengambilan keputusan klinis
mengenai manajemen, pemantauan pasca intervensi, dan membandingkan efikasi
perawatan yang berbeda. Kesalahan pengukuran karena teknik yang salah dapat
membuat kesalahan terkait pengobatan pasien pula.
Selain dari itu, kesalahan teknik juga bisa menyebabkan cedera iatrogenik, seperti
fraktur pada pasien dengan osteoporosis, ataupun menyebabkan cedera otot dan
neurovaskular.
f. Kontraindikasi pemeriksaan Range of Motion (ROM)
adalah pada pasien yang diketahui mengalami dislokasi sendi, fraktur yang tidak
sembuh, pasca tindakan bedah jika gerakan diketahui akan mengganggu
penyembuhan, dan osteoporosis berat dimana gerakan dapat menyebabkan cedera
iatrogenik.
Selain dari itu, pemeriksaan ROM dapat dilakukan namun perlu berhati-hati pada
kondisi di mana terdapat infeksi atau inflamasi di sekitar sendi, nyeri derajat berat
yang diperparah dengan gerakan, dan hipermobilitas atau instabilitas sendi.

g. Edukasi pasien pada pemeriksaan Range of Motion (ROM)


adalah menjelaskan tujuan, cara dan risiko pemeriksaan. Pemeriksaan ROM
bertujuan menilai fungsi sendi yang dapat membantu penegakan diagnosis
ataupun evaluasi terapi. Pemeriksaan ini juga bisa digunakan sebagai intervensi,
yaitu pada ROM exercise.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara mengukur sudut gerak sendi menggunakan
goniometer. Secara umum, pemeriksaan ROM aman dan jarang menimbulkan
komplikasi jika dilakukan dengan teknik yang tepat. Risiko dari pemeriksaan ini
adalah kesalahan pada pengukuran dan cedera iatrogenik seperti fraktur atau
dislokasi akibat teknik yang salah.
Sebelum melakukan pemeriksaan, dokter sebaiknya mendemonstrasikan prosedur
yang akan dilakukan. Minta pasien untuk mengikuti gerakan seperti yang
didemonstrasikan, serta menghentikan gerakan bila mulai timbul nyeri.
C. Reflek

Refleks adalah jawaban terhadap suatu perangsangan. Semua gerakan reflektorik merupakan
gerakan yang bangkit untuk penyesuaian diri, baik untuk menjamin ketangkasan gerakan
volunter maupun membela diri. Gerakan refleks pada manusia terjadi secara otomatis atau
tidak disadari yang timbul akibat adanya rangsangan.

Refleks pada manusia dibedakan menjadi tiga terdiri dari refleks fisiologis, patologis dan
primitif. Pemeriksaan refleks fisiologis rutin dilakukan untuk mengevaluasi fungsi
sensorimotor pada tubuh. Hasil pemeriksaan dapat memberikan hasil normal, meningkat
(hiperefleks), menurun (hiporefleks) atau tidak ada refleks.

Pemeriksaan refleks fisiologis


1. Refleks Biseps
 Fleksikan lengan klien pada bagian siku hingga 450 dengan telapak tangan menghadap ke
bawah.
 Letakan ibu jari anda ke di fosa antekubital di dasar tendon biseps dan jari-jari lain anda di
atas tendon biseps.
 Pukul ibu jari anda dengan refleks hammer.
Pemeriksaan Refleks Biseps | Medical Dictionary

2. Refleks Triseps
 Letakan lengan penderita di atas lengan pemeriksa.
 Tempatkan lengan bawah penderita dalam posisi antara fleksi dan ekstensi.
 Minta klien untuk merilekskan lengan bawah.
 Raba triseps untuk memastikan bahwa otot tidak tegang.
Pukul tendo triseps yang lewat fosa olekrani dengan refleks hammer

3. Refleks Patela

 Minta klien duduk dengan tungkai bergantung di tempat tidur atau kursi atau minta klien
berbaring terlentang dan sokong lutut dalam posisi fleksi 900
 Raba daerah tendo patela.
 Satu tangan meraba paha penderita bagian distal, tangan yang lain memukulkan relfleks
hammer pada tendo patela.
4. Refleks brakioradialis
 Letakkan lengan bawah penderita di atas lengan bawah pemeriksa.
 Tempatkan lengan bawah klien dalam posisi antara fleksi dan ekstensi sedikit pronasi
 Minta klien untuk merilekskan lengan bawahnya
 Pukul tendo brakialis pada radius bagian distal dengan menggunakan ujung datar refleks
hammer.

5. Refleks achilles
 Minta klien untuk mempertahankan posisi, seperti pada pengujian patela.
 Dorsifleksikan pergelangan kaki klien dengan memegang jari-jari kaki dengan telapak
tangan anda dan naikkan ke atas.
 Pukul tendon achilles tepat di atas tumit pada maleolus pergelangan.

6. Refleks superfisialis (abdominalis)


 Minta klien berdiri atau berbaring terlentang.
 Tekan kulit abdominal dengan gagang refleks hammer di atas batas lateral otot-otot rektus
abdominal ke arah bagian garis tengah.
 Ulangi pengujian ini pada masing-masing kuadran abdominal.

Pemeriksaan refleks patologis. Refleks patologis adalah refleks-refleks yang tidak dapat
ditemukan pada orang yang sehat, kecuali bayi dan anak kecil. Refleks-refleks patologik yang
sering diperiksa diantaranya babinski, hoffman, dan tromner.

1. Refleks babinski (plantar)


 Gunakan benda yang memiliki ketajaman sedang, seperti ujung hammer atau kunci.
 Goreskan ujung benda tadi pada telapak kaki klien bagian lateral, dimulai ujung telapak
kaki belakang terus ke atas dan berbelok sampai pada ibu jari.

2. Refleks hoffmann
 Mintalah klien berbaring terlentang atau duduk dengan santai.
 Tangan klien dipegang pada pergelangan dan jari-jarinya disuruh fleksi atau entengkan.
 Jari tengah penderita kita jepit diantara telunjuk dan jari tengah kita.
 Dengan ibu jari kita gores kuat ujung jari tengah klien.

3. Refleks tromner
 Minta klien berbaring terlentang atau duduk.
 Tangan klien kita pegang pada pergelangan dan jari-jarinya disuruh fleksi
 Jari tangan penderita kita jepit di antara telunjuk dan jari tengah (ibu jari) kita
 Dengan jari tengah kita mencolek-colek ujung jari klien.

Pemeriksaan refleks primitif adalah gerakan feflektorik yang bangkit secara fisiologis pada
bayi dan tidak ditemukan pada anak yang sudah besar dan orang dewasa. Bila ditemukan
pada orang dewasa maka menandakan kemunduran fungsi susunan saraf pusat. Refleks-
refleks pada primit adalah refleks menetek, snout reflex, refleks grasp, refleks glabella dan
refleks palmomental

1. Refleks Snout
 Stimulasi klien dengan melakukan perkusi pada bibir atas.
 Refleks positif (+) bila bibir atas dan bawah menjungur atau kontraksi otot-otot di sekitar
bibir atau dibawah hidung.

2. Refleks Rooting (menghisap)


 Stimulasi klien dengan memberikan sentuhan pada bibir/menyentuh sesuatu benda pada
bibir.
 Refleks positif jika stimulasi tersebut menimbulkan gerakan bibir, rahang bawah seolah-
olah menetek.

3. Pemeriksaan refleks menggenggam (grasp reflex)


 Stimulasi dengan penekanan pada tempat jari pemeriksa pada telapak tangan klien.
 Refleks positif jika tangan klien mengepal.
4. Refleks glabella
 Lakukan stimulasi dengan pukulan singkat pada glabella atau sekitar supraorbitalis
 Refleks positif bila terdapat konstraksi singkat pada kedua otot orbikularis okuli. Pada lesi
perifer nervus fasialis, refleks ini berkurang atau negatif, sedangkan pada sindrom
parkinson refleks ini meninggi. Pusat refleks terletak di Pons.

5. Refleks palmomental
 Stimulasi dengan gorean ujung pensil/gagang refleks hammer terhadap kulit telapak tangan
bagian tenar.
 Refleks positif bila terdapat konstraksi pada muskulus mentalis dan orbikularis oris
ipsilateral

Saraf kranial berperan besar dalam menunjang fungsi pancaindra dan gerakan otot.
Tugasnya dalam menerima rangsangan dan menyampaikan informasi dari otak ke bagian
tubuh lain, terutama di area kepala, membuat saraf ini begitu penting dalam menunjang
aktivitas sehari-hari.
D. Syaraf Kranial

Berbagai Fungsi dari Saraf Kranial

Setiap saraf kranial ditandai dengan angka Romawi yang disusun berdasarkan lokasinya,
yaitu dari bagian depan sampai ke bagian belakang otak. Umumnya, fungsi saraf kranial
dikelompokan berdasarkan fungsi sensorik dan fungsi motorik.

Untuk mengetahui lebih jauh, berikut ini adalah penjelasan mengenai jenis dan fungsi saraf
kranial:

Saraf I: saraf olfaktori

Saraf olfaktori bertugas untuk membawa rangsangan bau dari indra penciuman atau hidung
ke otak. Kerusakan pada saraf kranial ini bisa mengakibatkan penurunan kemampuan untuk
mencium dan merasakan makanan.

Saraf II: saraf optik

Saraf kranial ini berperan dalam meneruskan rangsangan dari retina ke otak. Sama halnya
dengan saraf olfaktori, kerusakan pada saraf optik akan mengakibatkan penurunan
kemampuan melihat, baik pada salah satu mata maupun keduanya, tergantung lokasi saraf di
mata yang mengalami kerusakan.

Saraf III: saraf okulomotor

Saraf okulomotor berperan sebagai fungsi motorik mata, yaitu mengatur respons pupil ketika
menangkap cahaya, membuka kelopak mata, dan menggerakkan bola mata ke arah batang
hidung, tengah atas, serta pinggir atas dan bawah.
Kelainan saraf ini dapat menyebabkan pandangan kabur, penglihatan ganda atau diplopia,
mata juling, atau ptosis.

Saraf IV: saraf troklear

Saraf yang mengendalikan otot oblik superior mata, yaitu otot yang berfungsi untuk
menggerakkan mata ke tengah bawah. Gangguan pada saraf troklear dapat memicu terjadinya
penglihatan ganda atau berbayang dan mata juling.

Saraf V: saraf trigeminal

Saraf trigeminal memiliki fungsi sensorik maupun motorik. Fungsi sensorik saraf ini adalah
merasakan sensasi di kulit kepala, wajah, dan leher atas. Apabila saraf trigeminal mengalami
gangguan, Anda akan kesulitan merasakan sensasi, seperti rasa nyeri, panas, dingin,
sentuhan, dan tekanan.

Sedangkan, fungsi motorik berperan dalam mengendalikan gerakan otot pada bagian telinga,
rahang, dan mulut. Kerusakan pada saraf ini dapat mengganggu fungsi mengunyah, sehingga
penderitanya akan kesulitan untuk makan.

Saraf VI: saraf abdusen

Saraf yang bertanggung jawab dalam mengoperasikan otot rektus lateral, yaitu otot yang
menggerakkan bola mata ke arah telinga atau pinggir mata. Ketika saraf ini terganggu,
kemungkinan Anda bisa mengalami diplopia dan mata juling.

Saraf VII: saraf fasialis

Saraf ini berperan dalam mengontrol gerakan menutup mata dan ekspresi wajah, menerima
rangsangan rasa pada lidah, serta merangsang produksi air mata dan air liur.

Kelumpuhan saraf fasialis disebut juga Bell’s palsy. Kondisi ini ditandai dengan salah satu
sisi wajah terkulai, mulut miring ke salah satu sisi wajah, dan kelopak mata tidak bisa
menutup.
Saraf VIII: saraf vestibulokoklear

Saraf ini bertanggung jawab atas indra pendengaran, keseimbangan tubuh, dan postur tubuh.
Masalah pada saraf kranial ini dapat menyebabkan tinitus, tuli, vertigo, dan penyakit
Meniere.

Saraf IX: saraf glosofaringeal

Saraf kranial ini berhubungan dengan lidah, tenggorokan, dan salah satu dari kelenjar ludah,
yaitu kelenjar parotis. Mencicipi dan menelan makanan akan sulit dilakukan apabila saraf
glosafaringeal bermasalah.

Saraf X: saraf vagus

Ada beragam fungsi saraf vagus, mulai dari mengatur gerakan pita suara, jantung, paru-paru,
hingga organ pencernaan, seperti lambung dan usus. Selain itu, saraf ini juga
merangsang kelenjar endokrin untuk menghasilkan hormon yang mendukung proses
metabolisme tubuh.

Adanya gangguan pada saraf vagus dapat membuat suara menjadi serak, sulit untuk menelan,
gangguan pencernaan, bahkan sesak napas dan gangguan jantung.

Saraf XI: saraf aksesori

Saraf aksesori bertugas dalam mengontrol otot pada leher untuk menggerakkan leher dan
bahu. Kerusakan saraf ini membuat otot leher dan otot punggung melemah atau bahkan
lumpuh.

Saraf XII: saraf hipoglosal

Terakhir adalah saraf hipoglosal yang bertanggung jawab pada otot di lidah. Gangguan pada
saraf ini bisa menyebabkan Anda mengalami afasia dan disfagia, serta meningkatkan
risiko tersedak.

Penting diketahui bahwa gangguan yang menimpa saraf kranial dapat disebabkan oleh
berbagai faktor dan gejalanya pun tergantung lokasi kerusakan dan saraf apa yang terdampak.
Berikut ini adalah beragam penyebab kelainan saraf kranial:
 Stroke
 Cedera kepala, misalnya akibat kecelakaan lalu lintas
 Infeksi dan tumor di otak, pancaindra, atau pada wajah maupun leher
 Kelainan pembuluh darah, yaitu aneurisma atau vaskulitis
 Penyakit tertentu, seperti diabetes maupun hipertensi tak terkontrol, multiple
sclerosis, sarkoidosis, atau penyakit lupus
 Paparan zat beracun, misalnya keracunan insektisida

Melihat beragam fungsi saraf kranial di atas, kerusakannya tentu akan berdampak pada
kualitas hidup sehari-hari. Oleh karena itu, jika Anda mengalami gejala yang berhubungan
dengan saraf kranial, segera periksakan diri ke dokter agar mendapat pengobatan yang tepat
dan mencegah kerusakan yang lebih luas.

Anda mungkin juga menyukai