Alkisah, sebut saja Manda, ia sedang ditelpon sahabatnya Gio. Perbincangan sangat seru terutama
saat Gio bercerita tentang pekerjaan barunya. Ditengah asyiknya Gio bercerita, tiba-tiba ia
mengucapkan salam.
Manda mengira salam itu dimaksudkan untuk mengakhiri percakapan. Maka, langsung ia menjawab
salam itu, "Wa'alaykumussalam." dan Tuuuut.... Tuuuuttt... percakapan ditelpon berakhir.
2 menit kemudian Gio mengirim pesan ke handphone Manda: “ASDFGHJKL kok dimatiin! Orang gw
baru masuk rumah. Ah, oneng kebangetan !@#$%^&*()”
***
Pernahkah mengalami kejadian seperti cerita di atas? Mengapa hal ini bisa terjadi? Ya, karena kita
melakukan suatu kata kerja yang disebut “komunikasi”, 😂😂😂.
Atau ... misalnya kita sebagai istri pasti pernah setidaknya satu kali seumur hidup dengan wajah
jutek atau datar, ngomong dalam hati “plis dong ngertiin aku”, sedangkan suami kita pasang
tampang bingung setengah mati.
Salah paham atau istilah ngetrennya Miskom sebenarnya bisa jadi bukanlah disebabkan oleh
masalah konten percakapan melainkan dari cara penyampaiannya. Maka di butuhkan bagi kita
sebagai pribadi, sebagai pasangan, sebagai orangtua bahkan sebagai warga masyarakat untuk
belajar cara berkomunikasi produktif, agar tidak mengganggu hal penting yang ingin kita
sampaikan, baik kepada diri sendiri, kepada pasangan hidup kita dan anak-anak kita.
Tantangan terbesar dalam komunikasi adalah mengubah pola komunikasi diri kita sendiri. Bisa jadi
selama ini kita tidak menyadari bahwa komunikasi diri kita termasuk komunikasi yang tidak
produktif.
Kata-kata anda itu membawa energi, maka pilihlah kata-kata anda, ganti kata-kata negatif menjadi
kata-kata positif dan rasakan energinya. Misalnya,...
Kata Masalah gantilah dengan Tantangan
Kata Susah gantilah dengan Menarik
Kata Aku tidak tahu gantilah Ayo kita cari tahu
Ketika berkomunikasi dengan orang dewasa lain, maka awali dengan kesadaran bahwa “aku dan dia”
adalah 2 individu yang berbeda dan terima hal itu.
Pasangan kita atau orang lain tumbuh dan berkembang pada lingkungan yang berbeda dengan kita,
belajar pada kelas yang berbeda, mengalami hal-hal yang berbeda dan banyak lagi hal lainnya.
Maka da 2 hal mendasar yang perlu difahami saat berkomunikasi dengan orang dewasa :
1. Frame of Reference (FoR) dan Frame of Experience (FoE) pasangan atau orang lain boleh jadi
berbeda dengan kita.
FoR adalah cara pandang, keyakinan, konsep dan tata nilai yang dianut seseorang. Bisa
berasal dari pendidikan ortu, buku bacaan, pergaulan, prinsip, doktrinasi dll.
FoE adalah serangkaian kejadian yang dialami seseorang, yang dapat membangun emosi
dan sikap mental seseorang.
FoE dan FoR inilah yang mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu pesan/informasi
yang datang kepadanya.
Jadi jika pasangan atau orang lain memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda atas
sesuatu, ya wajar, karena FoE dan FoR nya memang berbeda.
Maka... disinilah pentingnya Komunikasi, karena tujuan komunikasi adalah untuk MEMBAGIKAN
yang kutahu kepadamu, sudut pandangku agar kau mengerti, dan demikian pula SEBALIKnya.
Komunikasi yang baik akan membentuk FoE/FoR ku dan FoE/FoR mu ==> FoE/FoR KITA
Sehingga ketika datang informasi akan dipahami secara sama antara kita dan pasangan kita, ketika
kita menyampaikan sesuatu, pasangan akan menerima pesan kita itu seperti yang kita inginkan.
Komunikasi menjadi bermasalah ketika menjadi MEMAKSAKAN pendapatku kepadamu, harus kau
pakai sudut pandangku dan singkirkan sudut pandangmu.
Bagaimana bila kondisi emosi kita atau orang lain tidak stabil?
Bila Emosi kita dan pasangan atau orang dewasa lain yang kita ajak bicara sedang tinggi, jeda
sejenak, redakan dulu ==> agar Nalar kita, pasangan kita atau partner bicara kita bisa berfungsi
kembali dengan baik.
Ketika Emosi berada di puncak amarah, Nalar berada di titik terendahnya, sesungguhnya TIDAK ADA
komunikasi disana, tidak ada sesuatu yang dibagikan; yang ada hanya suara yang bersahut-sahutan,
saling tindih berebut benar.
Maka ada beberapa kaidah yang dapat membantu meningkatkan efektivitas dan produktivitas
komunikasi kita dan pasangan atau dengan orang dewasa lainnya :
3. Kaidah 7-38-55
Albert Mehrabian menyampaikan bahwa pada komunikasi yang terkait dengan perasaan dan sikap
(feeling and attitude)
Aspek verbal (kata-kata) itu hanya 7% memberikan dampak pada hasil komunikasi, Intonasi suara
(38%) dan bahasa tubuh (55%).
Bila pasangan atau parnter bicara kita mengatakan "Aku jujur. Sumpah berani mati!" namun
matanya kesana-kemari tak berani menatap, nada bicaranya mengambang maka pesan apa yang
tertangkap? Kata-kata atau bahasa tubuh dan intonasi yang lebih kita percayai?
Nah, demikian pula pasangan atau partner bicara kita dalam menilai pesan yang kita sampaikan,
mereka akan menilai kesesuaian kata-kata, intonasi dan bahasa tubuh kita. Lebih- lebih lagi
keseauaian lisan dan perbuatan kita 😁😁😁
Sebagaimana yang disampaikan sebelumny berkomunikasi dengan anak-anak itu lebih dominan
menggunakan emosi daripada nalar 😊
Anak –anak itu memiliki gaya komunikasi yang unik. Mungkin mereka tidak faham perkataan kita,
tapi mereka tidak pernah salah meng copy. Sehingga ibarat cermin, gaya komunikasi anak-anak kita,
itulah gaya komunikasi kita.
Maka kitalah yang harus belajar gaya komunikasi yang produktif dan efektif dengan anak-anak.
Bukan kita yang memaksa anak-anak untuk memahami gaya komunikasi kita.
Kita pernah menjadi anak-anak, tetapi anak-anak belum pernah menjadi orang dewasa
Jadiii.... sangat wajar kan kalau kita yang harus memahami mereka.
Bagaimana Caranya ?
c. Katakan apa yang kita inginkan, bukan yang tidak kita inginkan
Ingat itulah yang akan melekat pada ingatan mereka
j. Ganti kalimat yang Menolak/Mengalihkan perasaan dengan kalimat yang menunjukkan empati
Sumber bacaan:
Albert Mehrabian, Silent Message : Implicit Communication of Emotions and attitudes, e book,
paperback,2000
Institut Ibu Profesional, Bunda Sayang : Komunikasi Produktif, Gaza Media, 2014
Elly Risman, Yayasan Kita dan buah Hati : Komunikasi Pengasuhan, Kenapa Perlu
Komunikasi?,fanpage facebook, 2018