“MOBILITAS FISIK”
Disusun Oleh :
SARJANA KEPERAWATAN
PAJARAKAN-PROBOLINGGO
2021
LEMBAR PENGESAHAN
“MOBILITAS FISIK”
Hari :
Tanggal :
Genggong ,
1. Anatomi Saraf
II. FISIOLOGI
(Muhammad Purqan Nur.2019) untuk mampu memenuhi
kebutuhan akan aktivitas dan latihan, maka diperlukan serangkaian proses
fisiologis yang kompleks yang melibatkan metabolisme dari sel-sel tubuh
dan terutama sistem lokomotorik yaitu sistem otot dan sistem rangka.
Aktivitas dan pergerakan memerlukan energy.
Energi untuk sel-sel tubuh manusia adalah dalam bentuk Adenosin
Trifosfat (ATP) yang diperoleh dari katabolisme glukosa dalam sel-sel
tubuh. Glukosa akan dipecah menjadi energy dan hal ini terutama
ditentukan oleh suplai oksigen. (Fransisca Noya.2019.)
Ketika oksigen terpenuhi maka glukosa akan melalui katabolisme
aerobik di sitoplasma dan mitokondria sel melalui 4 proses: Glikolisis,
dekarboksilasi oksidatif asam piruvat, siklus asam sitrat, transport elektron
dengan hasil akhir ATP, karbondioksida , dan uap air. Jika oksigen tidak
terpenuhi, maka katabolisme energy akan dilakukan secara anaerobic
dengan produk akhir ATP, asam laktat dan NADH. Namun produksi
ATP dari metabolism anaerobic jauh lebih sedikit dibanding
metabolism aerobic, yaitu sekitar 1/18 kalinya (36 ATP berbanding 12
ATP). (Muhammad Purqan Nur.2019)
Karena oksigen amat penting bagi konservasi energy tubuh, maka
aktivitas dan latihan pada manusia terkait erat dengan kerja sistem
kardiovaskuler, respirasi, dan hematologi untuk penyediaan oksigen dan
pembuangan karbondioksida dan uap air. Beberapa kondisi seperti
anemia, syok hipovolemik, hipertensi, penyakit jantung, dan penyakit
pernapasan dapat mempengaruhi kemampuan aktivitas dari manusia.
(Fransisca Noya.2019). Aktivitas dan latihan adalah proses
gerakan tubuh manusia yang melibatkan sistem lokomotorik yaitu tulang
dan otot. Fisiologis dari Pergerakan Koordinasi gerakan tubuh merupakan
fungsi yang terintegrasi dari sistemskeletal, otot skelet, dan sistem saraf.
Karena ketiga sistem ini berhubungan erat dengan mekanisme pendukung
tubuh, sistem ini dapatdianggap sebagai satu unit fungsional.
Sistem skeletal berfungsi menyokong jaringan tubuh, melindungi
bagian tubuh yang lunak, sebagaitempat melekatnya otot dan tendon,
sebagai sumber mineral dan berperandalam proses hematopoeisis (proses
pembentukan dan perkembangan sel-sel darah).
Sedangkan otot berperan dalam proses pergerakan,memberi bentuk
pada postur tubuh,dan memproduksi panas melalui aktivitaskontraksi otot.
(Potter dan Perry, 2020)
Pengaturan pergerakan dapat dibedakan menjadi gerak yang
disadari atau volunter, dan gerak yang tidak disadari atau involunter atau
yang disebutdengan refleks. Proses gerak yang disadari mekanismenya
melalui jaluryang panjang mulai dari reseptor, saraf sensorik, kemudian
dibawa ke otakuntuk selanjutnya diasosiasi menjadi respons yang akan
dibawa oleh sarafmotorik dan efektor.( Fransisca Noya.2019.)
Sedangkan gerakan refleks atau involunter berjalandengan sangat
cepat dan respons terjadi secara otomatis terhadaprangsangan, tanpa
memerlukan kontrol dari otak.
(Haswita dan Sulistyowati (2018)). Pergerakan merupakan
rangkaian aktivitas yang terintegrasi antara sistem muskuloskeletal dan
sistem persarafan di dalam tubuh.
1. Sistem Muskuloskeletal
Sistem Muskuloskeletal terdiri atas rangka (tulang), otot,
dan sendi. Sistem ini sangat berperan dalam pergerakan dan
aktivitas manusia. Secara umum, rangka memiliki beberapa
fungsi
a. Menyokong jaringan tubuh, termasuk memberi bentuk
pada tubuh (postur tubuh)
b. Melindungi bagian tubuh yang lunak, seperti otak, paru-
paru, hati, medula spinalis.
c. Sebagai tempat ,elekatnya otot dan tendon, termasuk juga
ligamen.
d. Sebagai sumber mineral, seperti garam, fosfat, dan lemak.
e. Berperan dalam proses hematopoiesis (produksi sel
darah).
2. Sistem Persarafan
Secara spesifik, sistem persarafan memilki beberapa fungsi,
yakni sebagai berikut.
a. Saraf aferen (aseptor), berfungsi menerima rangsangan
dari luar kemudia meneruskannya ke susunan saraf pusat.
b. Sel saraf atau neuron, berfungsi membawa impuls dari
bagian tubuh satu ke bagian tubuh lainnya.
c. Sistem saraf pusat (SSP), berfungsi mem[roses impuls dan
kemudia memberikan respons melalui saraf eferen.
d. Saraf eferen, berfungsi menerima respons dari SSP
kemudian meneruskannya ke otot rangka.
III. DEFINISI
Aktivitas fisik (physical activity) dan keterampilan motorik kasar
adalah komponen penting dari lintasan saat ini dan masa depan kesehatan
pada anak-anak (Kara, 2018:1). Aktivitas fisik sering didefinisikan
sebagaia setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang
menimbulkan pengeluaran energy di atas yang menimbulkan pengeluaran
energy di atas nilai-nilai istirahat, aktivitas fisik adalah fenomena yang
rumit yang bermakna dibagi ke dalam kategori berbeda dan tingkat
intensitas yang berbeda (Anna, dkk. 2018:101). Aktivitas fisik memiliki
potensial besar untuk kesejahteraan starting individu dari anak usia dini
(Poitras, dkk. 2018).
Aktivitas fisik aktif juga memiliki potensi untuk meningkatkan
keterampilan dasar (Johnstone, dkk. 2019:60). Aktivitas fisik memiliki
asosiasi positif pada fungsi otak, perkembangan kognitif, dan prestasi
akademik pada anak-anak (Diamond, 2018).
Aktivitas fisik penting untuk kebugaran jasmani karena dapat
meningkatkan kapasitas fungsional tubuh melalui peningkatan konsumsi
oksigen maksimal, komposisi tubuh, kekuatan otot dan daya tahan, dan
fleksibilitas (Pollock, 2017:320).
Aktivitas fisik yang baik yaitu yang dilakukan secara terus
menerus. Apabila aktivitas fisik jarang diterapkan di kehidupan sehari-
hari,maka akn berpengaruh kepada kesehatan jasmani. Dalam bentuk
aktivitas fisik yang menyenangkan maka dapat memberi stimulus terhadap
perkembangan geraknya (Gao, Z.dkk. 2018:15).
Latihan (Exercise) adalah gerakan yang dirancang untuk melatih
atau memperbaiki keterampilan. Demikian juga dikemukakan oleh
Mosston (2019:9) bahwa latihan merupakan gerkana yang pada prinsipnya
memberikan tekanan fisik, tetapi hanya dilakukan seklai/tidak berulang-
ulang (Sarifin, 2017:8). Latihan merupakan bagian dari program latihan
sebgaai training.
Mylsidayu dan Kurniawan (2020:48) menyatakan bahwa latihan
adalah suatu proses penyempurnaan kemampuan berolahraga yang
berisikan materi teori da praktik, menggunakan metode dan aturan
pelaksanaan dengan pendekatan ilmiah, memakai prinsip-prinsip latihan
yang terencana dan teratur sehingga latihan mencapa tepat pada waktunya.
Irianto (2019:1)mengemukakan bahwa latihan adalah proses
sistematis untuk menyempurnakan kualitas kinerja atlet berupa kebugaran,
keterampilan dan kapsitas energi dengan memperhatikan aspek pendidikan
dan menggunakan pendekatan ilmiah. Perencanaan program latihan juga
sangat diperlukan sehingga program latihan didasarkan pada prosedur
yang metodis, sistematis, ilmiah, da well organized (Harsono. 2018:3).
(Adi Sapto, dkk. 2020),
(Menurut Anis, 2018)Kebutuhan aktivitas dan latihan adalah salah
satu bentuk latihan fisik pada seseorang termasuk makan/minum, mandi,
toileting, mobilisasi tempat tidur, berpindah dan ambulasi untuk
memenuhi kebutuhan guna mempertahankan dan meningkatkan kesehatan.
(Menurut iliyana, 2018)Aktivitas sehari-hari ADL merupakan
salah satu bentuk latihan aktif padaseseorang termasuk didalamnya adalah
makan, minum, mandi, toileting, berpakaian, mobilisasi tempat tidur,
berpindah dan ambulasi. Pemenuhan terhadap ADL ini dapat
meningkatkan harga diri serta gambaran diri pada seseorang.
Selain itu ADL merupakan aktifitas dasar yang dapat mencegah
individu tersebut dari suatu penyakit sehingga tindakan yang menyangkut
pemenuhan dalam mendukung pemenuhan ADL pada klien dengan
intoleransi aktifitas harus diprioritaskan
Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk
bergerak secara mudah, bebas dan teratur untuk mencapai suatu tujuan,
yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara mandiri
maupun dengan bantuan orang lain dan hanya dengan bantuan alat
(Widuri, 2018).
Mobilitas adalah proses yang kompleks yang membutuhkan
adanya koordinasi antara sistem muskuloskeletal dan sistem saraf (P.
Potter, 2020). Mobilisasi adalah suatu kondisi dimana tubuh dapat
melakukan kegiatan dengan bebas (Kozier, 2019).
Jadi mobilitas atau mobilisasi adalah kemampuan individu untuk
bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya untuk dapat
melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
Gangguan Mobilitas atau Imobilitas merupakan keadaan di
mana seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang
mengganggu pergerakan (aktivitas), misalnya trauma tulang belakang,
cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas, dan sebagainya
(Widuri, 2018). Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam
gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri (SDKI,
2017:124). Imobilitas atau gangguan mobilitas adalah keterbatasan fisik
tubuh atau satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah
(Nurarif .A.H. dan Kusuma. H, 2018).
Derajat kekuatan otot adalah sebagai berikut:(Menurut Nisa,2018)
IV. ETIOLOGI
Menurut (Tim Pokja DPP PPNI,2017), faktor penyebab terjadinya
gangguan mobilitas fisik yaitu karena :
a. Kerusakan integritas struktur tulang
b. Perubahan metabolisme
c. Penurunan kendali otot
d. Penurunan massa otot
e. Penurunan kekuatan otot
f. Kekakuan sendi
g. Gangguan muskuloskeletal
h. Gangguan neuromuskular
i. Nyeri
Menurut Mubarak dkk (2018:308), mobilitas seseorang dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya :
a) Gaya hidup
Mobilitas seseorang dipengaruhi oleh latar belakang budaya,
nilai- nilai yang dianut, serta lingkungan ia tinggal (masyarakat).
Sebagai contoh : wanita jawa, tabu bagi mereka melakukan aktivitas
yang berat. Orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki
kemampuan mobilitas yang kuat. Sebaliknya, ada orang yang
mengalami gangguan mobilitas (sakit) karena adat dan budaya tertentu
dilarang untuk beraktivitas.
b) Ketidakmampuan
(Muhammad Purqan Nur.2019). Kelemahan fisik dan mental akan
menghalangi seseorang untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
Secara umum, ketidakmampuan terbagi menjadi dua macam, yakni
ketidakmampuan primer disebabkan oleh penyakit atau trauma.
Sementara ketidakmampuan sekunder terjadi akibat dapak dari
ketidakmampuan primer (misal kelemahan otot dan tirah baring).
Penyakit-penyakit tertentu dan kondisi cedera akan berpengaruh
terhadap mobilitas.
c) Tingkat energi
Energi dibutuhkan untuk banyak hal, salah satunya mobilisasi.
Dalam hal ini, energi yang dimiliki masing-masing individu bervariasi.
Agar seseorang dapat melakukan mobilitas dengan baik, dibutuhkan
energi yang cukup. Disamping itu, ada kecenderungan seseorang untuk
menghindari stressor guna mempertahankan kesehatan fisik dan
psikologis.
d) Usia
(Muhammad Purqan Nur.2019). Usia berpengaruh terhadap
kemampuan seseorang dalam melakukan mobilisasi. Karena terdapat
perbedaan kemampuan mobilitas pada tingkat usia yang berbeda. Hal
ini dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan
dengan perkembangan usia.
e) Sistem neuromuskular
Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular,
meliputi otot, skeletal, sendi, ligamen, tendon, kartilago, dan saraf.
V. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (2017) batasan
karakterisktik meliputi, gejala mayor dan gejala minor, yaitu:
Tanda dan Gejala Minor
1) Subjektif
Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas.
2) Objektif
Kekuatan otot menurun.
Rentang gerak (ROM) menurun.
b. Tanda dan Gejala Mayor
1) Subjektif
Enggan melakukan pergerakan.
Nyeri saat bergerak.
Merasa cemas saat bergerak.
2) Objektif
Sendi kaku.
Gerakan tidak terkoordinasi.
Gerakan terbatas.
Fisik lemah.
VI. PATOFISIOLOGI
(Potter dan Perry, 2020). Neuromuskular berupa sistem otot, skeletal,
sendi, ligamen, tendon, kartilago, dan saraf sangat mempengaruhi
mobilisasi. Gerakan tulang diatur otot skeletal karena adanya kemampuan
otot berkontraksi dan relaksasi yang bekerja sebagi sistem pengungkit.
Tipe kontraksi otot ada dua, yaitu isotonik dan isometrik. Peningkatan
tekanan otot menyebabkan otot memendek pada kontraksi isotonik.
Selanjutnya, pada kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan
tekanan otot atau kerja otot tetapi tidak terjadi pemendekan atau gerakan
aktif dari otot, misalnya menganjurkan pasien untuk latihan kuadrisep.
Gerakan volunter merupakan gerakan kombinasi antara kontraksi
isotonik dan kontraksi isometrik. Perawat harus memperhatikan adanya
peningkatan energi, seperti peningkatan kecepatan pernapasan, fluktuasi
irama jantung, dan tekanan darah yang dikarenakan pada latihan isometrik
pemakaian energi meningkat.
Hal ini menjadi kontraindikasi pada pasien yang memiliki penyakit
seperti infark miokard atau penyakit obstruksi paru kronik. Kepribadian
dan suasana hati seseorang digambarkan melalui postur dan gerakan otot
yang tergantung pada ukuran skeletal dan perkembangan otot skeletal.
Koordinasi dan pengaturan kelompok otot tergantung tonus otot dan
aktivitas dari otot yang berlawanan, sinergis, dan otot yang melawan
gravitasi. Tonus otot sendiri merupakan suatu keadaan tegangan otot yang
seimbang.
Kontraksi dan relaksasi yang bergantian melalui kerja otot dapat
mempertahankan ketegangan. Immobilisasi menyebabkan aktivitas dan
tonus otot menjadi berkurang. Rangka pendukung tubuh yang terdiri dari
empat tipe tulang, seperti panjang, pendek, pipih, dan irreguler disebut
skeletal. Sistem skeletal berfungsi dalam pergerakan, melindungi organ
vital, membantu mengatur keseimbangan kalsium, berperan dalam
pembentukan sel darah merah (Potter dan Perry, 2020).
Pengaruh imobilisasi yang cukup lama akan terjadi respon
fisiologis pada sistem otot rangka. Respon fisiologis tersebut berupa
gangguan mobilisasi permanen yang menjadikan keterbatasan mobilisasi.
Keterbatasan mobilisasi akan mempengaruhi daya tahan otot sebagai
akibat dari penurunan masa otot, atrofi dan stabilitas. Pengaruh otot akibat
pemecahan protein akan mengalami kehilangan masa tubuh yang
terbentuk oleh sebagian otot.
Oleh karena itu, penurunan masa otot tidak mampu
mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan kelelahan. Selain itu, juga
terjadi gangguan pada metabolisme kalsium dan mobilisasi sendi. Jika
kondisi otot tidak dipergunakan atau karena pembebanan yang
kurang, maka akan terjadi atrofi otot.
Otot yang tidak mendapatkan pembebanan akan meningkatkan
produksi Cu, Zn. Superoksida Dismutase yang menyebabkan kerusakan,
ditambah lagi dengan menurunya catalase, glutathioneperoksidase, dan
mungkin Mn, superoksida dismutase, yaitu sistem yang akan
memetabolisme kelebihan ROS. ROS menyebabkan peningkatan
kerusakan protein, menurunnya ekspresi myosin, dan peningkatan espresi
komponen jalur ubiquitine proteolitik proteosome.
Jika otot tidak digunakan selama beberapa hari atau minggu, maka
kecepatan penghancuran protein kontraktil otot (aktin dan myosin) lebih
tinggi dibandingkan pembentukkannya, sehingga terjadi penurunan
protein kontraktil otot dan terjadi atrofi otot.
Terjadinya atrofi otot dikarenakan serabut-serabut otot tidak
berkontraksi dalam waktu yang cukup lama sehingga perlahan akan
mengecil dimana terjadi perubahan antara serabut otot dan jaringan
fibrosa. Tahapan terjadinya atrofi otot dimulai dengan berkurangnya tonus
otot. Hal ini myostatin menyebabkan atrofi otot melalui penghambatan
pada proses translasi protein sehingga menurunkan kecepatan sintesis
protein. NF-κB menginduksi atrofi dengan aktivasi transkripsi dan
ubiquinasi protein.
Jika otot tidak digunakan menyebabkan peningkatan aktivitas
transkripsi dari NF-κB. Reactive Oxygen Species (ROS) pada otot yang
mengalami atrofi. Atrofi pada otot ditandai dengan berkurangnya protein
pada sel otot, diameter serabut, produksi kekuatan, dan ketahanan
terhadap kelelahan. Jika suplai saraf pada otot tidak ada, sinyal untuk
kontraksi menghilang selama 2 bulan atau lebih, akan terjadi
perubahan degeneratif pada otot yang disebut dengan atrofi
degeneratif.
Pada akhir tahap atrofi degeneratif terjadi penghancuran serabut
otot dan digantikan oleh jaringan fibrosa dan lemak. Bagian serabut otot
yang tersisa adalah membran sel dan nukleus tanpa disertai dengan protein
kontraktil. Kemampuan untuk meregenerasi myofibril akan menurun.
Jaringan fibrosa yang terjadi akibat atrofi degeneratif juga memiliki
kecenderungan untuk memendek yang disebut dengan kontraktur
(Kandarian (dalam Rohman, 2019)).
Menurut (Sitti Maryam Bachtiar.2018.) proses terjadinya gangguan
aktivitas tergantung dari penyebab gangguan yang terjadi. Ada tiga hal
yang dapat menyebabkan gangguan tersebut, diantaranya adalah :
1. Kerusakan Otot
Kerusakan otot ini meliputi kerusakan anatomis maupun fisiologis
otot. Otot berperan sebagai sumber daya dan tenaga dalam proses
pergerakan jika terjadi kerusakan pada otot, maka tidak akan terjadi
pergerakan jika otot terganggu. Otot dapat rusak oleh beberapa hal
seperti trauma langsung oleh benda tajam yang merusak kontinuitas
otot. Kerusakan tendon atau ligament, radang dan lainnya.
2. Gangguan pada skelet
Rangka yang menjadi penopang sekaligus poros pergerakan dapat
terganggu pada kondisi tertentu hingga mengganggu pergerakan atau
mobilisasi. Beberapa penyakit dapat mengganggu bentuk, ukuran
maupun fungsi dari sistem rangka diantaranya adalah fraktur, radang
sendi, kekakuan sendi dan lain sebagainya.
VIII. PENATALAKSANAAN
(Potter & Perry, 2020), penatalaksanaan mobilitas fisik dapat dilakukan
dengan Latihan Range Of Motion (ROM)
1) Latihan range of motion (ROM)
adalah latihan yang dilakukan mempertahankan atau memperbaiki
tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara
normal dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot
(Potter & Perry, 2020).
Latihan ROM pasif adalah latihan ROM yang di lakukan pasien
dengaN bantuan perawat pada setiap-setiap gerakan. Indikasi latihan
pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan
keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan beberapa atau semua
latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total atau
pasien dengan paralisis ekstermitas total. (Potter & Perry, 2020)
Latihan ROM aktif adalah Perawat memberikan motivasi, dan
membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendi secara
mandiri sesuai dengan rentang gerak sen di normal. Hal ini untuk
melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara
menggunakan otot-ototnya secara aktif . Sendi yang digerakkan pada
ROM aktif adalah sendi di seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari
kaki oleh klien sendiri secara aktif. (Potter & Perry, 2020)
Latihan ROM dapat menimbulkan perasaan yang meny enangk an
bagi lans ia dan m engalihk an pikiran lansia dari hal-hal yang dapat
mengganggu kemampuannya melakukan mobilitas fisik.(Hermina
Desiane Hastini Uda.dkk.2020.)
2) Pencegahan primer
(Suprayitna Marthilda, dkk. (2020).)Pencegahan primer merupakan
proses yang berlangusng sepanjang kehidupan dan episodic. Sebagai
suatu proses yang berlangsusng sepanjang kehidupan, mobilitas dan
aktifitas tergantung pada sistem muskuloskeletal , kardiovaskuler,
pulmonal. Sebagai suatu pross episodic pencegahan primer diarahkan
pada pencegahan masalah-masalah yang dapat timbul akibat
imobilitas atau ketidakefektifan.
a. Hambatan terhadap latihan
b. Pengembangan program latihan
c. Keamanan
3) Pencegahan Sekunder
(Muhammad Purqan Nur.2019) Spiral menurun yang terjadi akibat
eksaserbasi akut dari imobilitas dapat dikurangi atau dicegah dengan
intervensi keperawatan. Keberhasan intervensi berasal dari suatu
pengertian tetang berbagai faktor yang menyebabkan atau turut
berperan terhadap imobilitas dan penurunan. Pencegahan sekunder
memfokuskan padapemeliharaan fungsi dan pencegahan komplikasi.
IX. KOMPLIKASI
Menurut Garrison (2018), Gangguan mobilitas fisik jika tidak
ditangani dapat menyebabkan masalah komplikasi, yaitu:
1. Pembekuan Darah
yang mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh
menyebabkan penimbunan cairan daan pembengkaan. Kemudian,
juga menyebabkan embolisme paru yaitu sebuah bekuan yang
terbentuk dalam satu arteri yang mengalir ke paru.
2. Dekubitus.
Bagian yang biasa mengalami memar adalah pinggul,
pantat, sendi kaki dan tumit. Bila memar ini tidak dirawat akan
menjadi infeksi. Komplikasi ulkus dekubitus dapat dicegah
dengan meningkatkan peran keluarga dan meningkatkan
pengetahuan keluarga dalam pencegahan ulkus dekubitus perlu
dilaksankan sosialisasi dan penyuluhan dari tenaga kesehatan.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh keluarga dalam
upaya pencegahan ulkus dekubitus antara lain, meningkatkan status
gizi, mencegah adanya tekanan eksternal dengan memberikan
kasur anti dekubitus, kekuatan akibat gesekan reposisi, serta
menghindari kelembaban kulit. (Dodik Arso Wibowo1, Bagaswara
Dwi Saputra.2019.)
3. Atropi dan kekakuan sendi juga menjadi salah satu komplikasi
dari gangguan mobilitas fisik. Hal itu disebabkan karena kurang
gerak dan mobilisasi.
4. Komplikasi lainnya, seperti disritmia, peningkatan tekanan intra
cranial, kontraktur, gagal nafas, dan kematian. (Muhammad Purqan
Nur.2019)
a) Lokasi
b) Intensitas
c) Kualitas dan karakteristik
T : Time : waktu kapan terjadinya.
4) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat kesehatan yang diderita klien berhubungan dengan
penyakit saat ini atau mungkin dapat dipengaruhi atau
mempengaruhi penyakit yang diderita klien saat ini.
5) Riwayat penyakit keluarga
Riwayat kesehatan keluarga dihubungan dengan
kemungkinan hanya penyakit keturunan, kecenderungan alergi
dalam satu keluarga, dan penyakit yang menular akibat kontak
langsung maupun tidak langsung antara anggota keluarga.
6) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik merupakan tindakan berkelanjutan yang
dapat mengidentifikasikan berbagai macam data yang
dibutuhkan perawat sebagai data dasar klien. Teknik
pemeriksaan fisik ini bisa digunakan secara keseluruhan ataupun
tidak tergantung bagian tubuh yang dilakukan pemeriksaan.
Adapun alat yang digunakan saat melakukan pemeriksaan fisik
yaitu : sarung tangan, meteran, masker, sudip lidah, lidi kapas,
peniti steril, penggaris, timbangan, penlight, stetoskop, snellen
chart, spinomanometer, gelas spesimen, reflek hamer, otoskop,
oftalmoskop, cairan lubrikan, nasal speculum, dan disposable,
vagina spekulum.
Ada empat teknik pemeriksaan fisik yang biasa digunakan
antara lain : inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
Pemeriksaan fisik ini bertujuan mengumpulkan data tentang
status kesehatan klien, status mental, penampilan sikap, tinggi
badan, berat badan, dan tanda-tanda vital, meliputi: tekanna
darah, nadi, suhu, dan frekuensi pernafasan.(Hidayati Rahma.
2019)
7) Pola-pola fungsi kesehatan
Tipologi 11 pola kesehatan fungsional : (Novieastari Enie,
dkk. 2020)
a. Pola persepsi kesehatan-manajemen kesehatan
Mendeskripsikan pelaporan diri pasien mengenai
kesehatan dan kesejahteraan, cara pasien mengelola
kesehatan (misal, frekuensi kunjungan ke fasilitas
pelayanan kesehatan, kepatuhan terapi di rumah),
pengetahuan praktik kesehatan preventif.
b. Pola nutrisi metabolik
Mendeskripsikan pola asupan makan dan minum
harian/mingguan pasien (misal, preferensi atau retriksi
makanan, diet khusus, nafsu makan), berat badan aktual,
penurunan atau peningkatan berat badan.
c. Pola eliminasi
Mendeskripsikan pola fungsi ekskresi (misal, buang
air besar, buang air kecil, dan keringat).
d. Pola aktivitas-latihan
Mendeskripsikan pola latihan, aktivitas, waktu
luang, dan rekreasi, kemampuan untuk melakukan
aktivitas harian
e. Pola tidur-istirahat
Mendeskripsikan pola tidur, istirahat, dan relaksasi.
f. Pola persepsi-kognitif
Mendeskripsikan pola sensori, persepsi, edukasi
bahasa, memori, kemampuan membuat keputusan.
g. Pola persepsi diri-konsep diri
Mendeskripsikan pola konsep diri pasien dan
persepsi diri (misal, konsep/harga diri, pola emosional,
citra tubuh).
h. Pola peran-hubungan
Mendeskripsikan pola keterikatan dan hubungan
peran pasien.
i. Pola seksualitas-reproduksi
Mendeskripsikan pola kepuasan dan ketidakpuasan
pasien terhadap pola seksualitas, pola reproduksi pasien,
masalah pra-menopause dan pasca-menopause.
j. Pola koping-toleransi stres
Mendeskripsikan kemampuan pasien dalam
mengelola stres, respon koping sebelumnya, sumber
dukungan, keefektifan pola koping dengan toleransi
stres.
k. Pola nilai-keyakinan
Mendeskripsikan pola nilai keyakinan (termasuk
praktik spiritual), dan tujuan yang memandu pilihan atau
keputusan pasien.
B. Diagnosa Keperawatan
(Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, Edisi I Cetakan III
(Revisi). 2017).
Diagnosa keperawatan merupakan hasil perumusan
berdasarkan respon dari individu, keluarga dan komunitas pada
masalah kesehatan pada resiko masalah kesehatan atau pada proses
kehidupan. Diagnosis keperawatan merupakan bagian vital dalam
menentukan asuhan keperawatan yang sesuai untuk membantu
klien mencapai kesehatan yang optimal.
Diagnosa keperawatan merupakan hasil perumusan
berdasarkan respon dari individu, keluarga dan masyarakat
mengenai masalah-masalah kesehatan yang aktual dan potensial
yang dialami oleh klien. Diagnosa keperawatan yang dirumuskan
oleh perawat, didasarkan dari pengalaman dan pengetahuan guna
mencegah, menurunkan dan mengubah keadaan status kesehatan
klien. Penetapan diagnosa keperawatan berdasarkan analisis serta
interprestasi data melalui pengkajian keperawatan yang aktual dan
kemungkinan terjadi yang dilakukan dalam wewenang perawat.
Perumusan diagnosa keperawatan meliputi beberapa
komponen penting, yaitu: problem (P), Etiologi (E), Sign dan
symptom (S). Seorang perawat pada saat merumuskan diagnosa
keperawatan didasarkan pada masalah yang dialamai klien.
Problem atau masalah merupakan gambaran dari keadaan klien
agar perawat secara tepat dapat memberikan tindakan keperawatan.
(Irman Ode, dkk. 2020).
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien dengan masalah
gangguan aktivitas latihan :
1) Gangguan mobilitas fisik
2) Intoleransi aktivitas
C. Perencanaan
Tahap perencanaan keperawatan merupakan sebuah proses
perencanaan dalam menyusun intervensi yang bertujuan mencegah,
mengurangi dan meminimalkan masalah-masalah yang dialami
oleh klien. Proses intervensi ini merupakan bagian ketiga dalam
proses keperawatan. Perawat tentunya perlu dibekali oleh
pengetahuan dan keterampilan yang baik dalam menyusun atau
membuat rencana keperawatan. Pengetahuan dan keterampilan
meliputi pengetahuan mereka dalam menilai kekuatan dan
kelemahan klien, kepercayaan dan nilai yang dianut klien, peran
dan kolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lain, kemampuan
dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, melakukan
strategi keperawaan serta dokumentasi keperawatan dan
kemampuan bekerjasama dengan tenaga kesehatan yang lain.
Sebelum membuat rencana keperawatan, seorang perawat
sangat perlu mengkaji kembali data-data klien meliputi pengkajian
pada waktu klien pertama kali masuk rumah sakit, perumusan
diagnose keperawatan pada saat masuk rumah sakit, keluhan utama
klien yang menjadi alasan klien masuk rumah sakit, pemeriksaan
penunjang , pemeriksaan fisik dan pengkajian riwayat lesehatan.
Langkah-langkah dalam perencanaan keperawatan
meliputi: penentuan prioritas diagnosis, penentuan tujuan dan hasil
yang diharapkan, dan penentuan rencana tindakan. Tipe instruksi
perawat dalam merencanakan tindakan meliputi tipe diagnostik,
tipe terapeutik, tipe penyuluhan, dan tipe rujukan. (Irman Ode, dkk.
2020).
intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah
ialah :
1. Gangguan Mobilitas Fisik (D.0054) : (SIKI,2017)
1) Dukungan ambulasi
2) Dukungan mobilisasi
3) Dukungan kepatuhan program pengobatan
4) Dukungan perawatan diri
5) Dukungan perawatan diri : BAB/BAK
6) Dukungan perawatan diri : Berpakaian
7) Dukungan perawatan diri : Makan/Minum
8) Dukungan perawatan diri : Mandi
9) Edukasi latihan fisik
10) Edukasi teknik ambulasi
11) Edukasi teknik transfer
12) Konsultasi via telefon
13) Lakukan otogenik
14) Manajemen energi
15) Manajemen lingkungan
16) Manajemen mood
17) Manajemen nutrisi
18) Manajemen nyeri
19) Manajemen medikasi
20) Manajemen program latihan
21) Manajemen sensasi perifer
22) Pemantauan neurologis
23) Pemberian obat
24) Pemberian obat intravena
25) Pembidaian
26) Pencegahan jatuh
27) Pencegahan luka tekan
28) Pengaturan posisi
29) Pengekangan fisik
30) Perawatan kaki
31) Perawatan sirkulasi
32) Perawatan tirah baring
33) Perawatan traksi
34) Promosi berat badan
35) Promosi kepatuhan program latihan
36) Promosi latihan fisik
37) Teknik latihan penguat otot
38) Teknik latihan penguat sendi
39) Terapi aktivitas
40) Terapi pemijatan
41) Terapi relaksasi otot progresif
Kriteria hasil (SLKI,2017)
1) Mobilitas fisik
Kriteria hasil SA ST
1) Pergerakan Ekstermitas 2 5
2) Kekuatan Otot 2 5
3) Rentang Gerak ROM 2 5
4) Nyeri 2 5
5) Kecemasan 2 5
6) Kaku Sendi 2 5
7) Gerakan Tidak Terkoordinasi 2 5
8) Gerakan Terbatas 2 5
9) Kelemahan Fisik 2 5
1) Toleransi aktivitas
Kriteria hasil SA ST
1) Frekuensi nadi 2 5
2) Sentrasi oksigen 2 5
3) Kemudahan dalam melakukan aktivitas 2 5
sehari-hari
4) Kecepatan berjalan 2 5
5) Jarak berjalan 2 5
6) Kekuatan tubuh bagian atas 2 5
7) Kekuatan tubuh bagian bawah 2 5
8) Toleransi dalam menaiki tangga 2 5
9) Keluhan lelah 2 5
10) Dispnea saat aktivitas 2 5
11) Dispnea setelah aktivitas 2 5
12) Perasaan lemah 2 5
2 5
13) Aritmia saat aktivitas 2 5
14) Aritmia setelah aktivita
DAFTAR PUSTAKA
Adi Sapto, supriyadi, dkk. (2020). Model-model Exercise Dan Aktivitas Fisik
Untuk Kebugaran Jasmani Anak SD. Malang: Wineka Media.
Adek, Suci Ramadhani. 2020.asuhan keperawatan keluarga pada lansia ny. N
dengan kasus asam urat serta penerapan latihan rentang gerak sendi
(rom) untuk menurunkan nyeri sendi di rw 5 kelurahan jati kecamatan
padang timur.Diploma thesis, Universitas Andalas.
http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/59292
Agusrianto, Rantesigi Nirya. 2020. Penerapan Latihan Range Of Motion
(ROM) Pasif terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Ekstermitas pada
Pasien dengan kasus stroke. LPPM Akademi Keperawatan Yapenas 21
Maros. Vol 2, No 2 Agustus 2020
Chih-Yen Chiang et al.,. Data Collection and Analysis Using Wearable Sensors
for Monitoring Knee Range of Motion after Total Knee
Arthroplasty.Sensors 2018,17,418; doi:10.3390/s17020418
Liza Puspa Dewi, Maria Astrid, Sudibyo Supardi. 2020. Analisis Pengaruh
Latihan Rentang Gerak Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Dan
Aktivitas Perawatan Diri Pasien Stroke Di RSUD Kota Depok.
Marisa Dewi Erna. 2020. Motivasi Pelaksanaan Latihan ROM pada Pasien
Stroke. Vol 8, No 1 Tahun 2020.
Potter&Perry.2020. .Buku Ajar Fundamental Keperawatan:Jakarta. Widuri.dkk