PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan mempunyai fungsi penyelenggaraan
pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia, serta penyelenggaraan
penelitian, pengembangan dan penapisan teknologi bidang kesehatan. Undang-Undang
Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah sakit dalam pasal 13 ayat (3) mengamanatkan bahwa
“Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit harus bekerja sesuai dengan standard
profesi, standard pelayanan rumah sakit, menghormati hak pasien dan mengutamakan
keselamatan pasien”.
Diperlukan tenaga kesehatan yang kompeten, mampu berfikir kritis, selalu berkembang
serta memiliki etika profesi yang tinggi sehingga pelayanan kesehatan dapat diberikan
dengan baik, berkualitas dan aman bagi pasien dan keluarganya. Pertumbuhan tenaga
kesehatan di rumah sakit masih belum optimal, karena kurangnya komitmen terhadap
pertumbuhan profesi, kurangnya keinginan belajar terus menerus, dan pengembangan diri
belum menjadi perhatian utama bagi individu tenaga kesehatan dan rumah sakit.
Etika Berasal dari kata Pengertian Etika Disipin Proresi Tenaga kesenatanEtik berasal
dari kata "ethics" yang berarti prinsip moral atau aturan beperilaku, aturan tersebut dihimpun
dalam suatu pedoman yang disebut kode etik. Sedangkan pengertian etika secara umum
Menurut Bertens k (2000) dalam Sumijatun 2011, nilai-nilai dan norma-norma moral yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
kumpulan asas atau nilai moral, yang dimaksud disini adalah "Kode Etik". Ilmu yang
membahas tentang moralitas Etika profesi adalah Sistem dari prinsip-prinsip moral atau
aturan-aturan perilaku yang diterapkan pada suatu profesi. Etika Profesi berarti perilaku yang
diharapkan bagi setiap anggota profesi untuk bertindak dengan kasitas profesionalnya
(Tabbner, 1981). Etika dalam tenaga kesehatan mempunyai peranan penting dalam
menentukan perilaku yang beretika dan dalam pengambilan keputusan etis, apakah suatu
tindakan dilarang, diperlukan, atau diizinkan dalam suatu keadaan yang diperlukan untuk
membuat keputusan etis (Potter & Perry, 2005). Etika dan moral merupakan sumber dalam
merumuskan standar dan prinsip-prinsip yang menjadi penuntun berperilaku serta membuat
keputusan untuk melindungi hak-hak manusia. Etika diperlukan oleh semua profesi, yang
mendasari prinsip-prinsip suatu profesi dan tercermin dalam standar praktek profesi
(Donheny, Cook, Stoper, 1982). Prinsip-Prinsip Moral/Etis dalam mengambil keputusan,
tenaga kesehatan hendaknya senantiasa mendasarkan dan mempertimbangkan pada prinsip-
prinsip moral yang sifatnya universal. Prinsip yang paling dasar adalah: "Hormat terhadap
pribadi manusia".
Istilah disiplin dikembangkan dari latin yaitu ‘disciplina’ (disciples) yang berarti
instruction, teaching. Dijelaskan juga dalam cassella’s new latin dictionary disebutkan juga
body of knowledge that which is touch, learning science. Dalam arti yang lebih luas juga
disebutkan sebagai training, education discipline of boys, of slaves, military training,
discipline, ordered wau of life (Guwandi 2005).
Adapun disiplin profesi pada dasarnya adalah etika yang khusus berlaku bagi orang
atau kelompok orang tertentu yang melakukan praktik profesi tertentui pula, namun dengan
bentuk dan kekuatan sanksi yang lebih tegas disbanding sanksi etika pada umumnya,
meskipun tetap lebih “lunak” dibandingkan sanksi hukum. Sanksi yang diancam oleh suatu
disiplin profesi relative lebih keras dibandingkan sanksi etika pada umumnya, karena sanksi
disiplin berkaitan dengan dapat atau tidaknya pemegang profesi tertentu untuk terus
memegang atau menjalankan profesinya.
Dalam Undang-Undang No 36 tahun 2014 pasal 38 huruf d menyatakan bahwa dalam
menjalankan tugasnya, konsil masing-masing tenaga kesehatan mempunyai wewenang untuk
menetapkan dan memberikan sanksi disiplin profesi tenaga kesehatan. Jika kita merujuk pada
UU No 29 tahun 2004 dapat diketahui bahwa arti disiplin profesi “aturan-aturan dan/atau
ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan”. Dimasukkannya etika profesi
dan disiplin profesi ke dalam suatu Undang-Undang menurut mahkamah harus dipahami
bahwa pembentuk Undang-Undang member penekanan pentingnya etika profesi dan disiplin
profesi untuk dilaksanakan sebagai pedoman bagi perilaku tenaga kesehatan.
Hal yang harus digaris bawahi adalah meskipun etika profesi dan disiplin profesi
dimaksud diatur/dimuat di dalam sebuah Undang-Undang, tidak dapat langsung diartikan
bahwa etika dan disiplin profesi dimaksud memiliki konsekuensi hukum yang sama dengan
norma hukum yang berada di dalam Undang-Undang yang sama. Jika etika profesi dan
disiplin profesi yang diatur dalam suatu Undang-Undang diberi kekuatan berlaku (dan
mengikat) yang sama dengan norma hukum di dalam Undang-Undang, maka konsekuensinya
adalah pelanggaran terhadap etika profesi dan disiplin profesi akan dikenai sanksi hukum,
terutama sanksi pidana dan sanksi perdata, padahal pelanggaran atas etika profesi dan disiplin
profesi hanya dapat dikenai sanksi secara etika pula dan/atau secara administratif. Dengan
kata lain meskipun etika profesi, disiplin profesi, dan norma hukum dimaksud ketiganya
dimuat dalam Undang-Undang yang sama, namun secara normatife tidak dapat saling
meniadakan atau saling menggantikan.
1.2. Tujuan
Adapun tujuan pemantauan etika dan disiplin untuk :
a. Memastikan bahwa seluruh tenaga kesehatan telah menerapkan prinsip etika dan
disiplin profesi.
b. Memastikan bahwa ketidaksesuaian/masalah dapat dikendalikan.
c. Menciptakan pelayanan kesehatan yang baik dan benar, bermutu, professional dan
dapat dipertanggungjawabkan secara etik.
C. Apoteker
1. Dasar hukum yang mengatur pengadaan perbekalan farmasi adalah Permenkes RI
No.72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit dan
beberapa peraturan lain yang mendukung. Hasil kajian yang diperoleh
berdasarkan kajian pustaka adalah pengelolaan kegiatan kefarmasian di Rumah
Sakit pada tahap pengadaan perbekalan farmasi dilakukan IFRS yang dipimpin
oleh apoteker
2. Undang-Undang kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 23 ayat (1) Tenaga
kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Serta pasal
108 ayat (1) mengatur kewenangan seorang tenaga kefarmasian (Apoteker)
3. Landasan hukum keberadaan profesi apoteker di Indonesia dimasukkan sebagai
kelompok tenaga kesehatan adalah UU RI No.36 Tahun 2014 pasal 11 ayat (1)
hurf e tentang kefarmasian dan ayat (6) jenis tenaga kesehatan yang termasuk
dalam kelompok tenaga kefarmasian sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
huruf e terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.
4. Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 15 Ayat (2)
menyebutkan pelayanan mengenai sediaan farmasi khususnya di rumah sakit
harus mengikuti standar pelayanan kefarmasian
5. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 15 ayat (3) UU Nomor 44 Tahun 2009
yakni pengelolaan perbekalan farmasi di Rumah Sakit dilakukan IFRS dengan
menerapkan sistem satu pintu. Sistem satu pintu merupakan suatu kebijakan
dalam bidang kefarmasian dengan ruang lingkup pembuatan formularium Rumah
Sakit, pengadaan perbekalan farmasi, dan pendistribusian perbekalan farmasi di
Rumah Sakit.
D. Rekam Medis
Secara umum informasi rekam medis bersifat rahasia. Sumber hukum yang dapat
dijadikan acuan didalam masalah informasi medis yang menyangkut rekam medis pasien
dicantumkan dalam pasal 48 UU RI No 29 tentang Praktek Kedokteran yaitu mengenai ”
Rahasia Kedokteran ”:
Ayat 1 : Bahwa setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokteran
wajib menyimpan rahasia kedokteran.
Ayat 2 : Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,
Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum, permintaan pasien sendiri atau berdasarkan ketentuan perundang-
undangan.
Proses pelayanan yang diawali dengan identifikasi pasien baik data sosial pasien maupun
perjalanan penyakit, pemeriksaan, pengobatan dan tindakan medis lainnya. Rekam Medis
merupakan catatan (rekaman) yang harus dijaga kerahasiaannya dan terbatas pada tenaga
kesehatan serta pasien, sehingga memberikan kepastian biaya yang harus dikeluarkan.
Dengan kata lain sifat Rekam Medis mencantumkan nilai Administrasi, Legal, Finansial,
Riset, Edukasi, Dokumen, Akurat Informatif dan dapat dipertanggungjawabkan
(ALFRED AIR).
Landasan hukum yang pakai dalam Pelayanan rekam medis :
1. Undang-Undang RI No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
2. Undang-Undang RI No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
3. Undang-Undang RI No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
4. Undang-Undang RI No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
5. Peraturan Pemerintah RI No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
6. Peraturan Pemerintah RI No. 88 tahun 1999 tentang Tata Cara pengalihan
Dokumen Perusahaan ke dalam Mikrofilm atau media lainnya dan Legalisasi.
7. Peraturan Pemerintah RI No.34 tahun 1979 tentang Penyusutan Arsip.
8. Peraturan Pemerintah RI No.10 tahun 1996 tentang Wajib Simpan Rahasia
Kedokteran.
9. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1171/MENKES/PER/VI/2011 tentang
Sistem Informasi RS.
10. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.269/MENKES/PER/III/2008 tentang
Rekam Medis.
11. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/MENKES/PER/III tahun 2008
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
12. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 377/Menkes/SK/III/2007 tentang
Standar Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan.
13. Keputusan Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI
No.78/Yanmed/RS/Umdik/YMU/I/91 tentang Pelayanan Rekam Medis di Rumah
Sakit.
14. Surat Edaran Dirjen Yanmed Depkes RI No. HK.00.06.1.5.01160 tahun 1995
tentang Petunjuk Teknis Pengadaan Formulir Rekam Medis Dasar dan
Pemusnahan Arsip Rekam Medis di Rumah Sakit.
15. Buku Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan PORMIKI, tahun 2008.
16. Buku Petunjuk Pengisian Pengolahan dan Penyajian Data RS, Ditjen Bina
Yanmed Depkes RI, tahun 2005.
17. Buku Petunjuk Teknis Sistem Informasi RS, Ditjen Bina Upaya Kesehatan
Kemkes RI, tahun 2011.
18. Buku Petunjuk Pelaksanaan Indikator Mutu Pelayanan RS, Ditjen Yanmed
Kemkes RI, tahun 2001.
19. Buku Efisiensi Pengelolaan Rumah Sakit Grafik Barber Johnson tahun 1996.
20. Buku Manual Rekam Medis Konsil Kedokteran Indonesia Indonesian Medical
Council, tahun 2006.
E. Radiografer
1. ketentuan Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan, perlu menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang
Standar Profesi Radiografer
2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1014/Menkes/SK/Xl/2008 tentang Standar
Pelayanan Radiologi Diagnostik di Sarana Pelayanan Kesehatan;
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 81 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Pekerjaan Radiografer (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
139)
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 375/Menkes/SK/III/2007 Tentang
Standar Profesi Radiografer;
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1014/Menkes/SK/XI/2008 Tentang
Standar Pelayanan Radiologi Diagnostik di sarana Pelayanan Kesehatan;
6. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 780/Menkes/PER/VIII/2008 Tentang
Penyelengaraan Pelayanan Radiologi;
F. Elektromedis
1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.).01.07/MENKES/314/2020 Tentang standart profesi elektromedis.
2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 45 Tahun 2015 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Elektromedis (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 979);
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun 2015 tentang Pengujian dan
Kalibrasi Alat Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
1197); 7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 371/Menkes/SK/III/2007 tentang
Standar Profesi Ahli Teknisi Elektromedis;
4. ketentuan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dan Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Standar Pelayanan Elektromedik;
5. bahwa Pasal 13 ayat (3) Undang Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit mengamanatkan Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit
harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit,
standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien
dan mengutamakan keselamatan pasien;
6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 371/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar
Profesi Teknisi Elektromedis;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2016 Tentang
Standar Pelayanan Elektromedik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 1995);
2.3. Apoteker
Apoteker adalah suatu profesi yang merupakan panggilan hidup untuk mengabdikan
diri pada kemanusiaan pada bidang kesehatan, membutuhkan ilmu pengetahuan yang tinggi
yang didapat dari pendidikan formal, orientasi primernya harus ditujukan untuk kepentingan
masyarakat.
Ciri- ciri minimal profesi secara umum antara lain sebagai berikut :
1. Profesi merupakan okupasi/pekerjaan berkedudukan tinggi yang terdiri dari para ahli yang
trampil untuk menerapkan peranan khusus dalam masyarakat.
2. Suatu profesi mempunyai kompetensi secara eksklusif terhadap pengetahuan dan
ketrampilan tertentu yang sangat penting bagi masyarakat maupun klien-kliennya secara
individual
3. Pendidikan yang intensif dan disiplin tertentu mengembangkan suatu taraf solidaritas dan
dan eksklusifitas tertentu
4. Berdasarkan penguasaan pengetahuan dan ketrampilan maupun tanggung jawabnya untuk
mempertahankan kehormatan dan pengembangannya, maka profesi mampu
mengembangkan etika tersendiri dan menilai kualitas pekerjaannya.
5. Profesi cenderung mengabaikan pengendalian dari masyarakat maupun klienkliennya
Profesi dipengaruhi oleh masyarakat, kelompok-kelompok kepentigan tertentu maupun
organisasi profesional lainnya, terutama dari segi pengakuan terhadap dirinya
2.5. Radiografer
Radiografer adalah tenaga kesehatan yang diberi tugas, wewenang dantanggung jawab
oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatanradiografi dan imejing di unit
pelayanan kesehatan. Radiografermerupakan tenaga kesehatan yang memberi kontribusi
bidang radiografidan imejing dalam upaya peningkatan kualitas pelayanankesehatan.
(Anonimous,2009).
Sesuai dengan tugas serta kemampuan dan kewenangan (kompetensi) yangdimilikinya,
radiografer mempunyai fungsi yang strategis sebagai salahsatu pengelola penyelenggaraan
pelayanan kesehatan dibidang radiologidi antaranya adalah sebagai berikut :
1. Mengerti dan memahami visi dan misi organisasi tempat kerja danorganisasi profesi serta
selalu berusaha agar visi dan misi tersebutdapat terlaksana dengan berupaya melaksanakan
tugas dengan sebaik-baikna, baik sebagai anggota profesi, anggota
akademis maupunsebagai bagian dari anggota masyarakat.
2. Meningkatkan jaminan kualitas pelayanan radiologi sesuai dengan perkembangan IPTEK
dibidang kedokteran.
3. Meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja bagi penyelenggara pelayanan radiologi
4. Meningkatkan upaya proteksi radiasi untuk mencegah meningkatnyatingkat paparan
radiasi dalam lingkungan sehingga dapatmeningkatkan keselamatan serta kesehatan
masyarakat dan lingkungandari kemungkinan paparan radiasi yang beasal dari alat dan
atausumber radiasi yang dimanfaatkan untuk keperluan kesehatan.
5. Meningkatkan teknik dan prosedur manajemen perlakuan zat radioakifdan atau sumber
radiasi lainya sehingga mampu mencegah ataumengurangi kemungkinan darurat radiasi.
6. Meningkatkan pengawasan, monitoring dan evaluasi pemanfaatan zatradioaktif dan atau
sumber radiasi lainnya sehingga memungkinkanmanfaat radiasi semakin besar
dibandingkan dengan resiko bahayayang ditimbulkan.
7. Meningkatkan pengawasan, monitoring dan evaluasi ketaatan pekerjaradiasi terhadap
teknik dan prosedur kerja dengan zat radioaktif danatau sumber radiasi lainnya sebagai
suatu proses, sehingga tercapai pelayanan yang tepat guna (efektif dan efisien) dan
professional.
8. Meningkatkan upaya jaminan kualitas radiologi termasuk sistem pemeliharaan sarana,
prasarana dan peralatan radiologi sebagai upaya peningkatan kualitas hasil layanan
radiologi dalam bentuk rekam medik radiologi dan Imejing.
9. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya evaluasi pelayanankepada masyarakat
melalui pengadaan kotak saran, angket / kuisionerdalam upaya meningkatkan kualitas
pelayanan radiologi dan mengukurtingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan
yangdilakukan.(Anonimous3,2009)
2.6. Elektromedis
Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional pada
hakekatnya adalah penyelenggaraan upaya kesehatan untuk mencapai kemampuan hidup
sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Untuk
mewujudkan hal tersebut diperlukan upaya yang menyeluruh meliputi peningkatan mutu dan
aksesibilitas terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya. Fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya didirikan untuk menyediakan pelayanan
kesehatan yang bermutu, aman dan bermanfaat bagi masyarakat. Hal ini membutuhkan
dukungan sumberdaya, salah satunya tersedia peralatan kesehatan khususnya peralatan
elektromedik. Perkembangan teknologi dibidang kesehatan memacu perkembangan teknologi
dibidang peralatan elektromedik. Teknologi peralatan yang kian canggih dan kompleks serta
nilai investasinya yang tinggi, membutuhkan pengelolaan yang tepat, agar fungsi,
keselamatan dan keamanan, serta manfaat dapat dioptimalkan secara efektif dan efesien.
Untuk itulah diperlukan pelayanan profesional dibidang pengelolaan alat kesehatan,
khususnya peralatan elektromedik. Pelayanan elektromedik merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan dimana pelayanan ini sebagai supporting pelayanan kesehatan dalam
menjamin mutu, keselamatan dan keamanan dalam penggunaan peralatan elektromedik.
www.peraturan.go.id 2016, No.1995 -7- Kebutuhan akan pelayanan elektromedik pada
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya akan cenderung meningkat
sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan peralatan elektromedik dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Guna memenuhi ketentuan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2014 tentang Tenaga Kesehatan, perlu ditetapkan Standar Pelayanan Elektromedik agar
pelayanan elektromedik disetiap fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya
memiliki keseragaman, bermutu, dapat dipertanggung jawabkan, memenuhi kebutuhan
masyarakat sekaligus memenuhi tuntutan perkembangan pelayanan kesehatan termasuk
perkembangan akreditasi fasilitas pelayanan kesehatan.
Etika adalah suatu norma atau aturan yang dipakai sebagai pedoman dalam berperilaku
di masyarakat bagi seseorang terkait dengan sifat baik dan buruk. Secara etimologis, kata
etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu “Ethikos”yang artinya timbul dari suatu
kebiasaan. Dalam hal ini etika memiliki sudut pandang normatif dimana objeknya adalah
manusia dan perbuatannya.
Profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan ilmu pengetahuan atau keterampilan
khusus sehingga orang yang memiliki pekerjaan tersebut harus mengikuti pelatihan tertentu
agar dapat melakukan pekerjaannya dengan baik.
Kata “profesi” diadaptasi dari bahasa Inggris, yaitu “profession” yang berasal dari
bahasa Latin “professus”. Kedua kata tersebut memiliki arti yang sama, yaitu mampu atau
ahli di bidang tertentu. Sehingga pengertian profesi adalah suatu pekerjaan yang
membutuhkan keahlian tertentu yang didapat dari pendidikan tinggi, dimana umumnya
mencakup pekerjaan mental yang didukung dengan kepribadian dan sikap profesional.
Elektromedik atau dalam istilah luar Biomedical Engineering ( BME ) adalah
penerapan prinsip-prinsip rekayasa dan konsep desain untuk kedokteran dan biologi untuk
tujuan kesehatan ( misalnya diagnostik atau terapeutik ). Teknik Elektromedik di Indonesia
lebih dikenal sebagai ilmu yang berisikan materi-materi teknik peralatan surgery, life support,
diagnose, radiologi, laboratorium, terapi, dan kalibrasi.
Etika profesi elektromedis dapat diartikan sebagai suatu sikap menegakkan aturan-
aturan yang disepakati demi kebaikan manusia, sesuai dengan batasan-batasan dalam
melakukan pekerjaan berdasarkan skill atau keterampilan elektromedis.
Nurstation Swaber
Admin upu
Nurstation
Lab
S waber
Cara berpakaian yang baik selain memberi kesan yang baik, juga sangat membantu
kelancaran pekerjaan karena :
1. Tidak menjadi pusat perhatian akibat tata rias yang terlalu mencolok.
2. Tidak terganggu oleh kalung, cincin, atau kuku yang panjang selama bekerja.
3. Tidak cepat lelah dan dapat berjalan dengan cepat karena sepatu yang memenuhi
syarat.
4. Tidak perlu membenahi rambut yang terurai selama bekerja.
Kewajiban Umum
a. Pasal 1
Setiap perawat gigi Indonesia harus senantiasa menjalankan profesinya secara optimal.
b. Pasal 2
Setiap Perawat Gigi Indonesia wajib menjunjung tinggi norma-norma hidup yang luhur.
c. Pasal 3
Dalam menjalankan profesi, setiap Perawat gigi indonesia tidak dibenarkan melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan Kode Etik.
d. Pasal 4
Setiap Perawat Gigi Indonesia harus memberikan kesan dan keterangan atau pendapat
yang dapat dipertanggung jawabkan.
e. Pasal 5
Setiap Perawat Gigi Indonesia agar menjalin kerja sama yang baik dengan tenaga
kesehatan lainnya.
f. Pasal 6
Setiap Perawat Gigi Indonesia wajib bertindak sebagai motivator dan pendidik
masyarakat.
g. Pasal 7
Setiap Perawat Gigi Indonesia wajib berupaya meningkatkan kesehatan gigi dan mulut
masyarakat dalam bidang promotif, preventive dan kuratif sederhana.
7. Rekam Medis
7.1. Standar Profesi Rekam medis
Sanksi
Pasal 24
Sanksi profesi adalah hukuman yang memaksa ATLM untuk mentaati ketentuan yang
telah disepakati profesi.
Jenis Sanksi
Pasal 25
Sanksi etik adalah sanksi moral berupa;
1. Sanksi ringan berupa peringatan tertulis.
2. Sanksi berat berupa tugas menjalankan pelatihan/pendidikan tertentu sampai
pencabutan hak sebagai profesi atau direhabilitasi.
Pasal 26
Segala sesuatu yang belum di atur dalam kode etik ahli technology laboraturium medik ini
akan di putuskan kemudian oleh dewan pimpinan pusat PATELKI dengan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan etika
BAB