Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pelayanan kesehatan yang baik, bermutu, profesional, dan diterima
pasien merupakan tujuan utama pelayanan rumah sakit. Namun hal ini
tidak mudah dilakukan dewasa ini. Meskipun rumah sakit telah dilengkapi
dengan tenaga medis, perawat, dan sarana penunjang lengkap, masih
sering terdengar ketidak puasan pasien akan pelayanan kesehatan yang
mereka terima.
Pelayanan kesehatan dewasa ini jauh lebih kompleks dibandingkan
dengan beberapa dasawarsa sebelumnya. Beberapa faktor yang mendorong
kompleksitas pelayanan kesehatan pada masa kini antara lain: 1.Semakin
kuat tuntutan pasien/masyarakat akan pelayanan kesehatan bermutu,
efektif, dan efisien, 2. Standar pelayanan kesehatan harus sesuai dengan
kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran, 3. Latar belakang pasien amat
beragam (tingkat pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya), dan 4.
Pelayanan kesehatan melibatkan berbagai disiplin dan institusi.
Situasi pelayanan kesehatan yang kompleks ini seringkali
menyulitkan komunikasi antara pasien dan pihak penyedia layanan
kesehatan. Komunikasi yang baik amat membantu menyelesaikan berbagai
masalah sedangkan komunikasi yang buruk akan menambah masalah
dalam pelayanan kesehatan. Di samping komunikasi yang baik, pelayanan
kesehatan harus memenuhi kaidah-kaidah profesionalisme dan etis. Untuk
menangkal hal-hal yang berpotensi merugikan berbagai pihak yang terkait
dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit dan untuk meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan maka perlu ditingkatkan kemampuan tenaga
kesehatan menyelesaikan masalah-masalah medis dan non-medis di rumah
sakit dan tercipta struktur yang mendukung pelayanan kesehatan secara
profesional dan berkualitas. Salah satu upaya mencapai pelayanan
kesehatan yang bermutu dan profesional di rumah sakit adalah dengan
memenuhi kaidah-kaidah yang tercantum dalam Kode Etik Rumah Sakit
di Indonesia (KODERSI).
Kode Etik Rumah Sakit Indonesia memuat rangkaian nilai-nilai
dan norma-norma moral perumahsakitan Indonesia untuk dijadikan
pedoman dan pegangan bagi setiap insan perumahsakitan yang terlibat
dalam penyelenggaraan dan pengelolaan rumah sakit di Indonesia.
KODERSI merupakan kewajiban moral yang harus ditaati oleh setiap
rumah sakit di Indonesia agar tercapai pelayanan rumah sakit yang baik,
bermutu, profesional dan sesuai dengan norma dan nilai-nilai luhur profesi
kedokteran.

Dalam rangka melengkapi KODERSI maka perlu buat acuan dasar


prosedural dalam bentuk Pedoman Pengorganisasian Komite Etik Rumah
Sakit Umum Rajawali Citra Bantul. Dengan adanya pedoman ini
diharapkan penerapan Kode Etik dalam pelayanan perumahsakitan
menjadi kenyataan sehingga rumah sakit di Indonesia mampu mengemban
misi luhur dalam meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan rakyat
Indonesia.

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Menciptakan keserasian hubungan antar berbagai profesi di
lingkungan rumah sakit sehingga dapat dikembangkan suasana yang
koduktif, bermutu serta menjaga keserasian hubungan antar rumah
sakit dengan masyarakat/pasien.
2. Tujuan khusus
a. Sebagai acuan agar perilaku dokter, perawat dan tenaga penunjang
lainnya dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya dan
berpedoman pada etika-etika yang baku baik perumahsakitan, etika
kedokteran, perawatan maupun etika lainnya.
b. Sebagai upaya mencapai pelayanan kesehatan yang bermutu dan
profesional di rumah sakit
c. Untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan maka perlu
ditingkatkan kemampuan tenaga kesehatan menyelesaikan
masalah-masalah medis dan non-medis di rumah sakit
d. Agar tercipta struktur yang mendukung pelayanan kesehatan secara
profesional dan berkualitas.

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Pedoman Komite Etik rumah sakit meliputi
pengendalian perilaku dokter, perawat dan tenaga penunjang
lainnya agar dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya
dan berpedoman pada etika-etika yang baku baik etika
perumahsakitan, etika kedokteran, perawatan maupun etika
lainnya.

D. Batasan Operasional
1. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang telah
ditentukan dan diatur oleh peraturan perundang undangan Negara
Republik Indonesia. Rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan
merupakan unit sosial ekonomi, harus mengutamakan tugas
kemanusiaan dan mendahulukan fungsi sosialnya.
2. Insan perumahsakitan adalah mereka yang terlibat dalam kegiatan
penyelenggaraan dan pengelolaan rumah sakit.
3. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia adalah rangkuman norma-norma
moral yang telah dikodifikasi oleh PERSI sebagai organisasi profesi
bidang perumahsakitan di Indonesia.
4. Komite Etik Rumah Sakit (KERS) adalah suatu perangkat organisasi
non struktural yang dibentuk dalam rumah sakit untuk membantu
pimpinan rumah sakit dalam melaksanakan KODERSI
5. Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) adalah
organisasi yang menghimpun dan mewakili rumah-rumah sakit di
Indonesia.

E. Landasan Hukum
1. UU RI No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
2. UU RI No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
3. UU RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan.
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1045/MenKes/PER/XI/2006 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit
di Lingkungan Departemen Kesehatan
PELANGGARAN ETIK DI RUMAH SAKIT

Pelayanan rumah akit pada masa kini jauh lebih kompleks disbanding
dengan beberapa dasawarsa sebelumnya. Situasi pelayanan kesehatan yang
kompleks ini seringkali kurang difahami oleh pasien, keluarga dan masyarakat,
dan dokter kesulitan menjelaskan hal ini hingga berakibat munculnya berbagai
keluhan, ketidakpercayaan kepada pemberi jasa pelayanan kesehatan.
Kompleksitas pelayanan rumah sakit ini terkaang akan menimbulkan pelanggaran
etik oleh dokter atau petugas pelayanan rumah sakit.

Dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan tugasnya terikat oleh norma etik yaitu
suatu norma yang terikat dengan nilai-nilai moral menyangkut baik atau buruk
dan pantas atau tidak pantas suatu perbuatan itu dilakukan oleh seorang dokter
atau dokter gigi. Kode etik kedokteran atau kode etik kedokteran gigi adalah
pedoman yang disusun organisasi profesi IDI atau PDGI. Norma etik disusun
untuk mengatur norma perilaku pelaksanaan profesi para dokter atau dokter gigi.
Perbuatan sokter dan dokter gigi dirumah sakit dinilai secara moral adalah buruk
atau tidak pantas dilakukan maka yang bersangkutan dinilai telah melakukan
pelanggaran etik.

Pengaduan terhadap dokter atau dokter gigi yang diduga telah melakukan
pelanggaran etik di rumah sakit dapat diproses oleh komite etik (disiplin) dan
hukum, dan jika terbukti dokter atau dokter gigi tersebut telah melakukan
pelanggaran etik maka direktur rumah sakit dapat berfungsi sebagai eksekutor
dengan cara memberi peringatan secara lisan maupun tertulis terhadap dokter
tersebut. Jika aduan dugaan pelanggaran etik di rumah sakit tidak dapat
diselesaikan secara internal maka pihak rumah sakit dapat mengadukan
perasalahannya ke MKEK IDI MAKERSI PERSI tergantung pada kasusnya.

Disiplin kedokteran sebagai aturan memuat standarisasi dalam menjalankan


profesi kedokteran meliputi:

a. Standar profesi (pendidikan), merupakan batasan kemampuan penguasaan


keilmuan, kemampuan dan sikap professional minimal yang harus
dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan profesionalnya
pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi. Dalam
penjelasan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang nomor 29 tahun 2004
dijelaskan, bahwa standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi adalah
pendidikan profesi yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan sistem pendidikan nasional. Standar
pendidikan profesi dokter dan dokter gigi ditetapkan bersama oleh konsil
kedokteran Indonesia dengan kolegium kedokteran, kolegium kedokteran
gigi, asosiasi rumah sakit pendidikan, yang disahkan oleh konsil
kedokteran Indonesia, sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (2) Undang-
Undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran. Demikian pula
standar pendidikan profesi kedokteran yang dilakukan sesuai dengan
peraturan perunang-undangan yang berkaitan dengan sistem pendidikan,
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 pasal 26
dan penjelasannya.
b. Standar pelayanan, sebagai pedoman yang harus diikuti oleh dokter dan
dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran, sebagaimana
diatur dalam Undang-undang nomor 29 tahun 2004 pasal 44:
1) Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran
wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.
2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibedakan
menurut jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan.
3) Standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri.
c. Standar prosedur operasional, suatu perangkat instruksi atau langkah-
langkah baku yang dipergunakan untuk menyelesaikan suatu kerja rutin,
sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 29 tahun 2004
penjelasan pasal 50. Standar prosedur operasional sebagai langkah yang
benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan
berbagai kegiatan dan fungsi layanan yang dibuat oleh sarana pelayanan
kesehatan berdasarkan standar profesi.
d. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak
memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, pasal 22
ayat (1) (3) Permnkes.
e. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondici tingkat kesehatan fisik
ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat
membahayakan pasien, sebagaimana diatur dalam pasal 29 ayat (3) c UU
No.29/2004 yang menentukan persyaratan untuk memperoleh surat tanda
registrasi dokter dan dokter gigi harus memenuhi persyaratan memiliki
surat keterangan kesehatan fisik dan mental. Hal ini dimaksudkan sebagai
upaya memberikan perlindungan kepada pasien.
Peraturan konsil kedokteran Indonesia Nomor 17/KKI/KEP/VII/2006
tertanggal 24 Agustus 2006 tentang Pedoman Penegakan Disiplin Profesi
Kedokteran telah merumuskan perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam
pelanggaran disiplin kedokteran:
1. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak
memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Pasal 22
ayat (1) (3) Permenkes 1419/2005.
2. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondici tingkat kesehatan fisik
ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat
membahayakan pasien, sebagaimana diatur dalam pasal 29 ayat (3) c
UU No.29/2004 yang menentukan persyaratan untuk memperoleh
surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi harus memenuhi
persyaratan memiliki surat keterangan kesehatan fisik dan mental. Hal
ini dimaksudkan sebagai upaya memberikan perlindungan kepada
pasien.
3. Menyediakan dokter pengganti sementara yang tidak memiliki
kompetensi dan kewenangan yang sesuai atau tidak melakukan
pemberitahuan perihal penggantian tersebut. Oleh karena itu pasal 40
UU No. 29 tahun 2004 mensyaratkan bahwa dokter atau dokter gigi
yang berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus
membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau dokter gigi
pengganti yang mempunyai surat izin praktik (Pasal 40 UU No.
29/2004 dan Pasal 20 ayat (3) (14) Permenkes No. 1419/2005).
4. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan pasien. Pasal 51 huruf a UU No. 29 Tahun 2004
menentukan kewajiban bagi dokter dan dokter gigi untuk memberikan
pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien. Demikian pula pasal 52 c
UU No. 29 Tahun 2004 menentukan pasien dalam menerima
pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai hak mendapatkan
pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis.
5. Dalam pasal 44 ayat (1) dan (2) UU No. 29 Tahun 2004 yang berbunyi
dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik
kedokterannya wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau
kedokteran gigi dengan memperhatikan jenis dan strata pelayanan
kesehatan. Demikian pula pasal 51 a UU No.29 Tahun 2004
menentukan dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran mempunyai kewajiban memberikan pelayanan medis
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta
kenutuhan media pasien.
6. Melakukan perbuatan yang mengakhiri kehidupan pasien atas
permintaan sendiri dan atau keluarganya.
(Fatwa IDI No. 231/PB/4/7/990 dan World Association: Declaation of
Euthanasia) (Madrid, 1987)
7. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau
ketrampilan atau teknologi yang belum diterima atau diluar tata cara
praktik kedokteran yang layak. Artinya ada kewajiban bagi dokter atau
dokter gigi dalam melaksanakan profesinya berdasarkan kompetensi,
sebagaimana Pasal 27 UU No. 29 Tahun 2004 menentukan, bahwa
pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi, untuk
memberikan kompetensi kepada dokter atau dokter gigi, dilaksanakan
sesuai dengan standar pendidikan profesi kedokteran atau dokter gigi.
Sedangkan Pasal 28 UU No. 29 Tahun 2004 menentukan kewajiban
dokter dan dokter gigi mengikuti pendidikan dan pelatihan
berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organiasi profesi dan
lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka
penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran
atau kedokteran gigi. Pasal 27, 28, dan 51 a UU No. 29/2004.
8. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alcohol serta zat adiktif
lainnya.
Dalam Pasal 29 ayat (3) c UU No. 29 Tahun 2004 menentukan untuk
memperoleh surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi harus
memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental. Apalagi dalam UU
No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika dan UU No.5 Tahun 1997
Tentang Psikotropika, mengatur tentang penggunaan narkotika dan
psikotropika, selain untuk kepentingan kedokteran.
9. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan
manusia sebagai subjek penelitian, tanpa memperoleh persetujuan etik
dari lembaga yang diakui pemerintah, kegiatan tersebut telah dilarang
oleh World Medical Association: Deklarasi Helsinki (1964) yang
diamandemen di Venesia (1983).
10. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,
padahal tidak membahayakan dirinya, kecuali ia yakin bahwa ada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya. Dalam Pasal 51d
UU No. 29 Tahun 2004 menyatakan, bahwa dokter atau dokter gigi
dalam melaksanakan praktik kedokteran berkewajiban melakukan
pertolongan darurat atas dasar kemanusiaan, kecuali ia yakin ada orang
lain yang bertugas an mampu melakukannya.
11. Menolak atau menghentikan tanpa alas an, pengobatan terhadap pasien
tanpa alas an yang layak dan sah. Perbuatan tersebut bertentangan
dengan Pasal 51a dan 52c UU No. 29 Tahun 2004 yang mengatur
pelayanan medis harus sesuai dengan standar profesi, standar prosedur
operasional dan kebutuhan medis pasien.
12. Melakukan tindakan medic tanpa memperoleh persetujuan dari pasien
atau keluarga dekat atau wali atau pengampunya. Pasal 45 UU No. 29
Tahun 2004 mengatur tentang tindakan-tindakan dokter dan dokter
gigi harus mendapatkan persetujuan dari pasien atau keluarg, baik
persetujuan secara tertulis maupun tidak tertulis, selanjutnya Pasal 52d
UU No. Tahun 2004 menyatakan pasien mempunyai hak untuk
menolak tindakan medis, demikian pila diatur dalam Permenkes No.
1419/2005 Pasal 17.
13. Menjaga rahasia kedokteran.
Pasal 48 UU No. 29 Tahun 2004 menentukan :
a. Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran;
b. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan
kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum,
permintaan pasien sendiri atau berdasarkan ketentuan perundang-
undangan;
Demikian pula Pasal 51c UU No. 29 Tahun 2004 menentukan
kewajiban dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia,
bahkan Permenkes No. 1419/2005 Pasal 18 dan PP no.10 Tahun
1966 mengatur kewajiban simpan rahasia kedokteran.
14. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai kepada
pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran. Pasal 45
ayat (2) dan (3) menyatakan bahwa persetujuan atas tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap, sekurang-kurangnya mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
c. Alternative tindakan lain dan resikonya
d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan

Demikian pula kewajiban memberikan penjelasan diatur dalam Pasal


52a,b,e UU No. 29 Tahun 2004, menyatakan pasien berhak
mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis,
meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain dan mendapatkan isi
rekam medic, dan diatur pula dalam Pasal 17 Permenkes
No.1419/2005

15. Membuat keterangan medic yang tidak didasarkan kepada hasil


pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan patut. Hal tersebut
diatur dalam kode etik kedokteran.
16. Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medic.
UU No.29 Tahun 2004 Pasal 51d menyatakan, bahwa melakukan
pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin
ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya. Demikian
pula diatur dalam kode etik kedokteran.
17. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda registrasi atau Surat Ijin
Praktik dan atau sertifikat kompetensi yang tidak sah. Hal tersebut
melanggar UU No.29 Tahun 2004 Pasal 36 yang berbunyi setiap
dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di
Indonesia wajib mempunyai surat izin praktik.
18. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang
diperlukan MKDKI untuk pemeriksaan atas dugaan pelanggaran
disiplin
Perkonsil No. 16/KKI/PER/VII/2006 Pasal 3 ayat (5) tentang tata cara
penanganan kasus dugaan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
oleh MKDKI dan MKDKI-P.
19. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya
UU No. 20 Tahun 2003 Tentang sistem pendidikan nasional mengatur
larangan penggunaan gelar akademik atau profesi yang bukan haknya.
Demikian pula kode etik kedokteran mengatur tentang penggunaan
gelar akademik.
20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan etika profesi.
Perbuatan tersebut diatas sudah diatur dalam UU No. 22 tahun 1997
Tentang narkotika dan UU No.5 Tentang psikotropika.
21. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan
yang tidak sesuai dengan ketentuan, sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan dan etika profesi. Pasal 51 UU No. 23
tahun 1992 Tentang Kesehatan, menyatakan bahwa dalam keadaan
darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan janinnya
dapat dilakukan tindakan medis tertentu dengan pertimbangan:
a. Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya
tindakan tersebut;
b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi
serta berdasarkan pertimbangan ahli;
c. Dengan perseujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau
keluarganya;
d. Pada saran kesehatan tertentu
22. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medic,
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika
profesi.
Pasal 46 UU No. 29 Tahun 2004 mengatur kewajiban dokter dan
dokter gigi membuat rekam medis. Demikianlah pula diatur dalam
Permenkes No.1419/2005 Pasal 16.
Seluruhnya ada 28 butir bentuk pelanggaran disiplin kedokteran dalam
perkonsil Nomor 17/KKI/KEP/VIII/2006, Tentang Pedoman
Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran.

Anda mungkin juga menyukai