Anda di halaman 1dari 34

MEMAHAMI KOMPONEN NERACA: LIABILITAS & EKUITAS

(TEMU 6)

KELOMPOK 6

Rois Rendiyansyah (26)

I Dewa Ayu Maniek Sugiantari (27)

Adriel Baringim Lombardi Montana Siahaan (28)

Muhamad Ivo Nizar Ramadhani (30)

PROGAM STUDI SARJANA AKUNTANSI

KELAS A2

TAHUN AJARAN 2022/2023


PETA KONSEP

Komponen Neraca :
LIABILITAS & EKUITAS

LIABILITAS EKUITAS

Kewajiban (liabilitas) = hutang


3 Karakteristik utama: Ekuitas adalah hak
masa kini yang timbul dari peristiwa 1) Pengorbanan manfaat residual atas aktiva
masa lalu, penyelesaiannya ekonomi perusahaan setelah
diharapkan megankibatkan arus 2) Keharusan sekarang dikurangi semua
keluar dari sumber daya perusahaan untuk mentransfer aset
3) Timbul akibat transaksi kewajiban.
yang mengandung manfaat
ekonomi. masa lalu

LIABILITAS

Pengakuan Pengukuran Penilaian Pelunasan Penyajian

Kewajiban harus diakui Kewajiban


Pengukur yang paling Penilaian kewajiban Pelunasan adalah tindakan
sebagai kewajiban apabila disajikan dalam
objektif untuk pada saat tertentu atau upaya yang sengaja
memenuhi empat kriteria neraca atas
menentukan kos adalah penentuan dilakukan oleh kesatuan usaha
umum, yaitu: dasar urutan
kewajiban pada saat jumlah rupiah yang untuk memenuhi kewajiban
1) Memenuhi definisi suatu kelancarannya
terjadinya adalah harus dikorbankan pada saatnya dan dalam
kewajiban sejalan dengan
penghargaan seandainya pada saat kondisi normal usaha sehingga
2) Dapat diukur penyajian aset.
kesepakatan dalam tersebut kewajiban suatu usaha bebas dari
3) Relevan
transaksi tersebut harus dilunasi. kewajiban tersebut.
4) Dapat diandalkan

EKUITAS

Komponen Ekuitas Tujuan Penyajian


Pemegang Saham Ekuitas

Modal setoran dipecah menjadi Menyediakan informasi


modal saham sebagai modal yuiridis
kepada yang berkepentingan
dan modal setoran tambahan dan
komponen lain yang merefleksi tentang efesiensi dan
transaksi pemilik. kepengurusan
I. Liabilitas

A. Pengertian

Kewajiban merupakan hutang masa kini yang timbul dari peristiwa masa lalu,
penyelesaiannya diharapkan megankibatkan arus keluar dari sumber daya perusahaan yang
mengandung manfaat ekonomi. (paragraph 62), IAI (1994)

Kewajiban adalah pengorbanan manfaat ekonomi di masa depan yang mungkin


timbul karena kewajiban suatuan usaha pada saat ini untuk menyerahkan aktiva atau
memberikan jasa kepada satuan-satuan usaha lain di masa depan sebagai hasil dari peristiwa
masa lalu. (FASB, SFAC NO. 6)

Masih dengan makna yang sama, IASC mendefinisikan liabilitas sebagai kewajiban
kini perusahaan yang timbul dari peristiwa masa lalu, yang penyelesaiannya diharapkan
mengakibatkan arus keluar dari sumber daya perusahaan yang mengandung manfaat
ekonomi.

Definisi liabilitas juga dikemukakan dalam Statement of Accounting Concepts No. 4,


Australian Accounting Standards Borads (AASB) yang menyatakan, liabilitas adalah
pengorbanan masa depan atas potensi jasa atau manfaat ekonomi masa depan yang wajib
dilakukan entitas saat ini kepada entitas lain sebagai akibat dari transaksi masa lalu atau
peristiwa masa lalu lainnya.

Dari definisi yang dikemukakan di atas, definisi dari FASB digunakan sebagai basis
pembahasan karena cukup lengkap secara semantik, yang artinya telah mencakupi berbagai
gagasan atau kata kunci yang terkandung dalam beberapa definisi kewajiban oleh sumber-
sumber yang lain. Adapun Kewajiban mempunyai tiga karakteristik utama, yaitu:
1. Pengorbanan manfaat ekonomi
Untuk dapat disebut sebagai kewajiban, suatu objek harus memuat suatu tugas (duty)
atau tanggung jawab (responsibility) kepada pihak lain yang mengharuskan kesatuan usaha
untuk melunasi, menunaikan, atau melaksanakannya dengan cara mengorbankan manfaat
ekonomik yang cukup pasti di masa datang. Pengorbanan manfaat ekonomik diwujudkan
dalam bentuk transfer atau penggunaan aset kesatuan usaha. Saat pengorbanan manfaat
ekonomik dapat ditentukan atas dasar kejadian tertentu atau atas permintaan pihak lain (on
demand).
2. Keharusan sekarang untuk mentransfer aset
Untuk dapat disebut sebagai kewajiban, suatu pengorbanan ekonomik masa datang
harus timbul akibat keharusan (obligations atau duties) sekarang. Pengertian "sekarang"
(present) dalam hal ini mengacu pada dua hal, yaitu waktu dan adanya. Waktu yang
dimaksud adalah tanggal pelaporan (neraca) yang berartii pada tanggal neraca kalau perlu
atau kalau dipaksakan (secara yuridis, etis, atau rasional) pengorbanan sumber ekonomik
harus dipenuhi karena keharusan untuk itu telah ada. Pengertian kewajiban mencakupi
keharusan- keharusan sebagai berikut:
a) Keharusan kontraktual (contractual atau legally enforceable obligations), yaitu
keharusan yang timbul akibat perjanjian atau peraturan hukum yang di dalamnya
kewajiban bagi suatu kesatuan usaha dinyatakan secara eksplisit atau implisit dan
mengikat. Kewajiban ini muncul karena aspek hukum sebagai lingkungan eksternal yang
tidak dapat dihindari dan yang dapat memaksakan secara hukum untuk memenuhinya.
Penghindaran kewajiban dari keharusan kontraktual menimbulkan sanksi atau hukuman
(penalty).
b) Keharusan konstruktif atau bentukan (constructive obligations), yaitu keharusan yang
timbul akibat kebijakan kesatuan usaha dalam rangka menjalankan dan memajukan
usahanya untuk memenuhi apa yang disebut praktik usaha yang baik (best business
practices) atau etika bisnis (business ethics) dan bukan untuk memenuhi kewajiban
yuridis. Kebijakan tersebut, menimbulkan kewajiban karena kesatuan usaha sengaja
memberi, mengkontruksi, atau membentuk hak bagi pihak lain tanpa harus melalui
perjanjian tertulis yang disepakati kedua pihak.
c) Keharusan demi keadilan (equitable obligations), yaitu keharusan yang ada sekarang
yang menimbulkan kewajiban bagi perusahaan semata-mata karena panggilan etis atau
moral daripada karena peraturan hukum atau praktik bisnis yang sehat. Keharusan ini
muncul dari tugas kepada pihak lain untuk melaksanakan sesuatu yang dianggap wajar,
adil, dan benar menurut hati nurani dan rasa keadilan.
d) Keharusan bergantung atau bersyarat (contingent obligations), yaitu keharusan
pemenuhan (jumlah rupiah atau jadi tindaknya dipenuhi) tidak pasti karena bergantung
pada kejadian masa datang atau terpenuhinya syarat-syarat tertentu di masa datang.
Keharusan sekarang merupakan karakteristik dari kewajiban. Keempat keharusan
tersebut merupakan keharusan sekarang yang memenuhi kriteria kewajiban. Untuk keharusan
kontraktual, konstruktif, dan demi keadilan, pengorbanan sumber ekonomi masa datang pada
umumnya dianggap cukup pasti, karena kesepakatan telah dicapai sehingga sudah jelas
jumlah dan waktu pengorbanannya. Untuk keharusan bergantung, pengorbanan sumber
ekonomi masa datang belum pasti.
3. Timbul akibat transaksi masa lalu
Transaksi masa lalu yang dimaksud di sini adalah transaksi yang menimbulkan
keharusan sekarang telah terjadi. Sebagai contoh, karena perusahaan memperoleh pinjaman
bank (dengan kontrak), keharusan sekarang berupa keharusan kontraktual timbul pada akhir
periode akuntansi berupa pokok pinjaman dan bunga yang menuntut pengorbanan sumber
ekonomi masa datang (suatu saat setelah akhir periode tersebut). Untuk mengetahui transaksi
atau kejadian yang dapat disebut sebagai transaksi atau kejadian masa lalu yang menenuhi
definisi kewajiban, perlu dipahami konsep hak-kewajiban tak bersyarat. Konsep ini
menyatakan bahwa walaupun kontrak telah ditandatangani, salah satu pihak tidak mempunyai
kewajiban apapun sebelum pihak lain memenuhi apa yang menjadi hak pihak lain. Jadi,
konsep hak-kewajiban tak bersyarat menyatakan “tidak ada hak tanpa kewajiban dan
sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak." Secara teknis, konsep ini diartikan bahwa hak
atau kewajiban timbul bila salah satu pihak telah berbuat sesuatu (to perform). Kontrak-
kontrak semacam ini dikenal dengan nama kontrak saling mengimbangi tak bersyarat
(unconditionally offsetting contracts) atau kontrak eksekutori (fexecutory contracts).
Selain ketiga karakteristik tersebut, FASB menyebutkan beberapa karakteristik
pendukung yang menegaskan adanya kewajiban tetapi tidak membatalkan suatu objek untuk
disebut sebagai kewajiban. Karakteristik-karakteristik pendukung tersebut, meliputi:
a) Keharusan membayar kas
Pelunasan kewajiban pada umumnya dilakukan dengan pembayaran kas. Adanya
pengeluaran kas merupakan hal penting untuk mengaplikasi definisi kewajiban karena
dua hal yaitu, sebagai bukti adanya suatu kewajiban dan sebagai pengukur atribut atau
besarnya kewajiban yang cukup objektif.
b) Identitas terbayar jelas
Bila identitas terbayar sudah jelas, hal tersebut hanya menguatkan bahwa kewajiban
memang ada tetapi untuk menjadi kewajiban identitas terbayar tidak harus dapat
ditentukan pada saat keharusan terjadi. Artinya, untuk menjadi kewajiban pada akhir
tahun, pada saat itu identitas terbayar tidak harus diketahui.
c) Berkekuatan hukum
Pada umumnya, keharusan suatu entitas untuk mengorbankan manfaat ekonomi akibat
klaim yuridis yang mempunyai kekuatan memaksa. Adanya daya paksa yuridis hanya
menunjukkan bahwa kewajiban tersebut memang ada dan dapat ditimbulkan secara secara
yuridis material.
B. Pengakuan
Pengakuan mengikuti aturan standar dari SFAC 5 yang menyatakan bahwa suatu
kewajiban harus diakui sebagai kewajiban apabila memenuhi empat kriteria umum, yaitu:

1) Memenuhi definisi suatu kewajiban


2) Dapat diukur
3) Relevan
4) Dapat diandalkan
Pada prinsipnya, kewajiban diakui pada saat keharusan telah mengikat akibat
transaksi yang sebelumnya telah terjadi. Mengikatnya suatu keharusan harus dievaluasi atas
dasar kaidah pengakuan (recognition rules). Kam (1990) membedakan antara kaidah
pengakuan dan kriteria pengakuan. Kriteria pengakuan lebih berkaitan dengan pedoman
umum dalam rangka memenuhi karakteristik kualitatif informasi sehingga elemen statemen
keuangan hanya dapat diakui bila kriteria definisi, keterpautan, keterandalan, dan keterukuran
dipenuhi. Kaidah pengakuan merupakan prosedur aplikasi untuk menandai adanya elemen
dan saat dipenuhinya kriteria pengakuan umum. Dalam hal kewajiban, kaidah pengakuan
berkaitan dengan saat atau apa yang menandai bahwa kewajiban telah mengikat sehingga
suatu kewajiban dapat diakui (dibukukan). Kam mengajukan empat kaidah pengakuan untuk
menandai pengakuan kewajiban, yaitu:

a) Ketersediaan dasar hukum


Kaidah ini terkait dengan kualitas keterandalan dan keberpautan informasi.
Ketersediaan dasar hukum yang menimbulkan daya paksa hanya merupakan karakteristik
pendukung definisi kewajiban tadi. Jadi, kaidah ini tidak mutlak sehingga kewajiban juga
dapat diakui bila terdapat bukti substantif hanya keharusan konstruktif atau demi kedilan.

b) Keterterapan konsep dasar konservatisma


Kaidah ini merupakan penjabaran teknis kriteria keterandalan. Implikasi dianutnya
konsep konservatisma adalah rugi dapat segera diakui tetapi tidak demikian dengan untung.
Ini berarti kewajiban dapat diakui segera sedangkan aset tidak.

c) Ketertentuan substansi ekonomik transaksi


Substansi suatu transaksi dapat memicu pencatatan seluruh kewajiban yang timbul
ketika transaksi terjadi meskipun secara yuridis/kontraktual kewajiban baru akan mengikat
secara berkala pada saat keharusan sekarang timbul. Dalam hal ini, kewajiban dapat atau
bahkan harus diakui jika secara substantif sewaguna tersebut sebenarnya adalah pembelian
angsuran.

d) Keterukuran nilai kewajiban


Keterukuran merupakan salah satu syarat untuk mencapai kualitas keterandalan
informasi. Oleh karena itu, adanya kepastian mengenai jumlah rupiah dapat memicu
diakuinya suatu kewajiban. Jika pengukuran suatu pos kewajiban bersifat sangat subjektif dan
arbitrer, pada umumnya pos tersebut tidak diakui.

Yang menjadi masalah teknis adalah kapan keempat kaidah di atas dipenuhi. Hal ini
berkaitan dengan penentuan saat pengakuan kewajiban. Hendriksen dan Van Breda
menunjukkan saat–saat untuk mengakui kewajiban yaitu:

a) Pada saat penandatanganan kontrak bila pada saat itu hak dan kewajiban telah mengikat.
Dalam hak kontrak eksekutori, pengakuan menunggu sampai salah satu pihak
memanfaatkan/menguasai manfaat yang diperjanjikan atau memenuhi kewajibannya.
b) Bersamaan dengan pengakuan biaya jika barang dan jasa yang menjadi biaya belum
dicatat sebagai aset sebelumnya.
c) Bersamaan dengan pengakuan aset. Kewajiban timbul ketika hak untuk menggunakan
barang dan jasa diperoleh.
d) Pada akhir perioda karena penggunaan asas akrual melalui proses penyesuaian.
Pengakuan ini menimbulkan pos utang atau kewajiban akruan.
Keempat kaidah tersebut di atas sebagai bukti teknis dan ketentuan saat pencatatan
pada umumnya mudah diidentifikasi dan diterapkan untuk keharusan kontraktual, konstruktif,
dan demi keadilan.

➢ Pengakuan Kewajiban Bergantung


Untuk keharusan bergantung (khususnya rugi bergantung yang menimbulkan
kewajiban), kaidah pengakuan keempat (keterukuran nilai kewajiban) dan pasti setidaknya
pengorbanan sumber ekonomik masa datang akan terjadi menimbulkan masalah pengakuan.
Oleh karena itu, diperlukan ketentuan yang lebih tegas untuk mengakui kewajiban yang
berkaitan dengan rugi bergantung. FASB memberi contoh keadaan-keadaan kebergantungan
rugi yang berpotensi memicu pengakuan kewajiban sebagai berikut (SFAS No. 5, prg 4):
1) Ketertagihan piutang usaha.
2) Keharusan berkaitan dengan jaminan produk san kerusakan produk.
3) Risiko rugi atau kerusakan fasilitas kesatuan usaha akibat kebakaran, ledakan, dan bahaya
lainnya.
4) Ancaman pengambilalihan aset oleh pemerintah.
5) Persengketaan yang meberatkan atau menunggu keputusan.
6) Klaim atau pungutan yang telah diajukan/dikenakan atau yang mungkin terjadi.
7) Risiko rugi akibat bencana yang ditanggung perusahaan oleh perusahaan asuransi
kerugian dan kecelakaan dan perusahaan reasuransi.
8) Jaminan terhadap utang pihak lain.
9) Keharusan bank komersial dalam ikut standby letter of credit.
10) Perjanjian untuk membeli kembali piutang atau aset yang terkait yang telah dijual.
C. Pengukuran
Pengakuan dilakukan setelah suatu kewajiban terukur dengan cukup pasti. Terjadinya
kewajiban pada umumnya disertai dengan pemerolehan aset atau timbulnya biaya.
Pemerolehan aset dapat berupa penguasaan barang dagangan atau aset non-moneter lainnya
yang terjadi dari transaksi pembelian. Pemerolehan aset dapat juga berupa kas yang terjadi
dari transaksi peminjaman (penerbitan obligasi) atau penerimaan uang muka untuk barang
atau jasa. Oleh karena itu, pengukur yang paling objektif untuk menentukan kos kewajiban
pada saat terjadinya adalah penghargaan kesepakatan dalam transaksi tersebut. Penghargaan
sepakatan suatu kewajiban merefleksi nilai setara tunai atau nilai sekarang kewajiban, yaitu
jumlah rupiah pengorbanan sumber ekonomik seandainya kewajiban dilunasi pada saat
terjadinya. Dengan demikian, basis pencatatan kewajiban adalah nilai setara tunai bukan nilai
nominal utang.
1. Kewajiban dalam pembelian kredit
Dasar pengukuran aset yang paling objektif adalah kos tunai (cash cost) atau kos tunai
implisit (implied cash cost). Hal ini dikarenakan kewajiban merupakan bayangan cermin aset,
pengukurannya juga mengikuti pengukuran aset.
Misalnya suatu perusahaan menandatangani kontrak pembelian mesin. Perusahaan
menyepakati harga kontrak mesin Rp1.600.000 dan dibayar dalam delapan kali angsuran tiap
akhir triwulan sebesar Rp200.000 tanpa menyebutkan adanya bunga secara eksplisit. Dalam
kasus ini, sebenarnya harga nominal (kontrak) tersebut melebihi kos tunai implisit (jumlah
rupiah yang diperlukan seandainya pembelian dilakukan secara tunai). Kalau mesin tersebut
dapat diperoleh juga dari toko yang sama dengan harga tunai Rp 1.465.000 maka jumlah
rupiah ini kos tunai implisit sedangkan selisih sebesar Rp 135.000 adalah setara dengan
bunga dan harus dibebankan terhadap pendapatan selama jangka waktu kontrak. Bunga ini
akhirnya akan menjadi biaya yang sesungguhnya terjadi atau nyata dan bukan bunga
hipotetis. Dengan demikian, secara konseptual kewajiban harus diakui pada saat transaksi
sebagai berikut:
Mesin Rp1.465.000
Utang Usaha Rp1.465.000
Secara teknis pembukuan, dapat saja jumlah rupiah bunga dicatat untuk kepentingan internal
dan jumlah utang dicatat sebesar nominalnya sebagai berikut:
Mesin Rp1.465.000
Bunga Tangguhan Rp 135.000
Utang Usaha Rp1.600.000
2. Diskon dan premium utang obligasi
Nilai nominal atau jatuh tempo utang obligasi sering dianggap sebagai jumlah rupiah
kesepakatan pada saat penerbitan obligasi baik bagi penerbitmaupun kreditor. Dasar
pengukuran demikian sebenarnya tidak tepat. Untuk suatu kontrak utang dengan ketentuan
pembayaran bunga periodik dan pokok pinjaman pada akhir jangka kontrak, pengukuran
jumlah rupiah (kos) utang dan aset untuk dasar pencatatan pertama kali yang tepat adalah kos
tunai implisit.
3. Makna harga efektif obligasi
Segera setelah transaksi terjadi maka “kesepakatan” dalam hubungannya dengan
obligasi tersebut mulai menunjukkan makna yang sebenarnya. Kalau kos terutang dan aset
dicatat sebesar nominal pada saat terjadinya, maka kos tersebut tersaji lebih (overstated).
Dalam hal ini, selisih nominal dengan penghargaan sepakatan merupakan diskon obligasi.
Bagi penerbit obligasi, perhitungan biaya bunga menjadi tidak lengkap apabila tidak
memperhitungkan bunga periodik dan akumulasi diskon. Jumlah rupiah utang obligasi setiap
saat sebelum jatuh tempo akan terlalu besar apabila dinyatakan sebesar nominalnya.
4. Diskon obligasi
Diskon obligasi yang belum diamortisasi bukan merupakan suatu rugi, karena aset
yang diperoleh sebelumnya tidak ada yang berkurang atau menguap (dissipation). Diskon
obligasi juga bukan aset karena tidak ada pengeluaran yang mengakibatkan bertambahnya
aset fisis sebesar jumlah rupiah diskon tersebut. Jika demikian, simpulan yang pasti adalah
bahwa diskon utang obligasi pada waktu penerbitan adalah suatu jumlah rupiah debit yang
menunjukkan biaya bunga yang harus dibayar pada tanggal jatuh tempo. Dengan demikian,
diskon tersebut harus dilaporkan dalam neraca sebagai pengurang nilai nominal utang
obligasi.
5. Premium obligasi
Sejalan dengan penalaran tentang makna diskon obligasi yang dilandasi konsep dasar
penghargaan sepakatan, dapat disimpulkan bahwa premium yang dibayarkan investor untuk
obligasi merupakan unsur dari jumlah rupiah utang perusahaan. Mengartikan premium
obligasi sebagai "pendapatan tangguhan" (deferred income) jelas tidak tepat karena secara
konseptual pendapatan atau laba tidak timbul dari proses pemerolehan utang. Pendapatan
hanya timbul dari kegiatan pembentukan pendapatan. Atas dasar konsep kontinuitas usaha,
premium obligasi yang belum diamortisasi adalah benar-benar merupakan utang dan jumlah
amortisasi periodik adalah merupakan penyesuai terhadap biaya bunga dan bukannya
merupakan elemen pendapatan. Tanpa penyesuaian ini, biaya bunga periodik akan menjadi
tersaji lebih.
6. Kewajiban moneter dan nonmoneter
Kewajiban dapat bersifat moneter maupun nonmoneter. Kewajiban moneter adalah
kewajiban yang pengorbanan sumber ekonomik masa datangnya berupa kas dengan jumlah
rupiah dan saat yang pasti (baik jumlah tunggal maupun beberapa pembayaran secara
berkala). Secara konseptual, pada saat terjadinya, kewajiban moneter diukur atas dasar nilai
diskonan pembayaran kas masa datang (discount ed future cash outflows). Hal ini berlaku
khususnya untuk kewajiban moneter jangka panjang. Untuk kewajiban moneter jangka
pendek, kewajiban dapat diukur atas dasar nilai nominal (face value) berdasarkan konsep
dasar materialitas.
Kewajiban nonmoneter adalah keharusan untuk menyediakan barang dan jasa dengan
jumlah dan saat yang cukup pasti yang biasanya timbul karena penerimaan pembayaran di
muka untuk barang dan jasa tersebut. Bila pembayaran di muka penuh, kewajiban
nonmoneter diukur atas dasar pembayaran tersebut yang menunjukkan harga yang disepakati
untuk barang dan jasa.
D. Penliaian
Penilaian kewajiban pada saat tertentu adalah penentuan jumlah rupiah yang harus
dikorbankan seandainya pada saat tersebut kewajiban harus dilunasi. Dengan kata lain,
penilaian adalah penentuan nilai sekarang kewajiban. Atribut Penilaian Menurut FASB

a. Nilai pasar sekarang (current market value)


b. Nilai pelunasan neto (net settlement value)
c. Nilai diskunan aliran kas masa datang (discounted value of future cash flows)
E. Pelunasan

Pelunasan adalah tindakan atau upaya yang sengaja dilakukan oleh kesatuan usaha
untuk memenuhi kewajiban pada saatnya dan dalam kondisi normal usaha sehingga suatu
usaha bebas dari kewajiban tersebut. Pelunasan biasanya merupakan pemenuhan secara
langsung kepada pihak yang berpiutang. Pelunasan menjadikan kewajiban tersebut terhapus,
tiada, atau lenyap secara langsung (kewajiban langsung didebit). Kebanyakan kewajiban
dipenuhi secara langsung dengan pembayaran tunai. Beberapa kewajiban dipenuhi dengan
pentransferan aset atau penyediaan jasa oleh kesatuan usaha kepada kesatuan usaha lainnya.
Beberapa kewajiban menjadi batal atau kesatuan usaha menjadi bebas dari kewajiban karena
pengampunan sebagian/seluruhnya, kompromi, penimbulan/pengakuan kewajiban
baru/pengganti, pengambil-alihan kewajiban oleh pihak lain, atau keadaan khusus misalnya
dalam kasus restrukturisasi utang. Bila kewajiban menjadi terhapus lantaran berbagai
transaksi atau kejadian, maka dapat dikatakan bahwa keharusan sekarang mengalami
pembebasan atau pembatalan.

Pelunasan secara langsung disebut juga pelunasan secara yuridis karena kewajiban
kepada pihak yang berpiutang secara yuridis terhapus melalui transaksi langsung yang benar-
benar terjadi (misalnya pembayaran tunai secara langsung). Pada saat pembayaran, pengutang
atau debitur secara yuridis bebas dari kewajiban dan secara teknis/administratif dan tuntas
dapat mendebit utangnya. Pelunasan secara tidak langsung terjadi apabila kesatuan usaha
melakukan tindakan yang mengarah ke pelunasan misalnya dengan pembentukan dana
khusus untuk pelunasan, baik dikelola sendiri atau melalui wali amanat (trust agency).

FASB memberi pedoman tentang saat pelenyapan kewajiban. FASB menentukan


kriteria penghapusan suatu kewajiban dalam SFAC No. 76 (prg. 3) sebagai berikut:

a) Debitur membayar/melunasi kreditor dan bebas dari semua keharusan yang berkaitan
dengan utang. Pelunasan ini meliputi pemerolehan kembali sekuritas utang yang beredar
di pasar modal, tanpa memperhati kan apakah sekuritas utang tersebut dibatalkan
(cancelled) atau ditahan sementera sebagai obligasi treasuri (treasury bonds).
b) Debitur telah dibebaskan secara hukum dari statusnya sebagai penanggung utang
(obligor) utama baik oleh keputusan pengadilan maupun oleh kreditor dan dapat
dipastikan (probable) bahwa debitur tidak akan diharuskan untuk melakukan pembayaran
di masa datang yang berkaitan dengan utang dengan penjaminan dalam bentuk apapun.
c) Debitur menaruh kas atau aset lainnya yang tidak dapat ditarik kembali dalam suatu
perwalian yang semata-mata digunakan untuk pelunasan pembayaran bunga serta pokok
suatu pinjaman tertentu dan sangat kecil kemungkinan bagi debitur untuk diharuskan lagi
melakukan pembayaran di masa datang yang berkaitan dengan pinjaman tersebut.
Ketentuan di atas telah diganti oleh ketentuan dalam SFAS No. 125 karena ketentuan
di atas didasarkan atas pendekatan bahwa dalam serangkaian transaksi, tiap aset atau
kewajiban merupakan komponen yang tidak dapat dipecah-pecah. FASB mengganti
ketentuan di atas dengan menghapus ketentuan (c) dan merevisi ketentuan (b) melalui SFAS
No. 125. FASB menetapkan bahwa suatu kewajiban dapat dikatakan lenyap kalau salah satu
dari kondisi berikut dipenuhi (prg. 16):

a) Debitur membayar kreditor dan terbebaskan dari keharusan yang melekat pada
kewajiban. Membayar kreditor mencakupi penyerahan kas, aset finansial lain, barang,
atau jasa, atau penebusan sekuritas utang oleh debitur untuk menghapus utang atau untuk
menahannya sebagai utang obligasi treasuri.
b) Debitur telah dibebaskan secara hukum dari statusnya sebagai penanggung utang utama
baik oleh keputusan pengadilan maupun oleh kreditor.

➢ Transfer Aset Finansial

Untuk melunasi kewajiban, suatu entitas dapat mentransfer aset finansial, barang, atau
jasa. Pada umumnya, bila kewajiban telah dilunasi dengan mentransfer secara penuh kas,
barang, atau jasa ke debitur, maka pada saat itu pelunasan dianggap tuntas. Debitur tidak lagi
terlibat dengan aset atau kreditor secara finansial. Pelunasan kewajiban dengan aset finansial
juga dapat bersifat tuntas bila penyerahan aset finansial bersifat tak bersyarat dan dianggap
sebagai penjualan. Artinya, aset finansial dianggap dijual secara tunai dan kas yang diterima
seketika itu pula dianggap untuk melunasi kewajiban.

Lain halnya jika pelunasan kewajiban dilakukan dengan transfer aset finansial yang
menimbulkan keterlibatan berlanjut pentrasfer dengan aset transferan atau tertransfer. Dalam
hal ini, kewajiban tidak lenyap secara tuntas atau ada kewajiban baru yang berkaitan dengan
aset transferan. Keterlibatan berlanjut akan menimbulkan masalah konseptual apakah transfer
diperlakukan sebagai penjualan aset (sebagian atau seluruhnya) atau sebagai pinjaman
berjaminan. Perlakuan yang berbeda mempunyai konsekuensi yang berbeda pula terhadap
akuntansi bagi pentrasfer dan tertransfer, Oleh karena itu, diperlukan kriteria untuk
menentukan apakah perlakuan yang tepat (sebagai penjualan atau penjaminan) untuk transfer
aset finansial baik bagi pentransfer maupun tertransfer. Secara umum, transfer aset dianggap
sebagai penjualan apabila pentransfer menyerahkan penguasaan (control) atas aset finansial
tersebut dan menerima aset lain sebagai penghargaan atas aset finansial tersebut.

➢ Pelunasan Sebelum Jatuh Tempo

Dalam pelunasan sebelum jatuh tempo, utang tersebut harus dilunasi dengan harga
pasarnya sehingga terdapat selisih antara nilai bawaan dan nilai penebusan. Perlakuan seperti
ini sejalan dengan 35 APBO No. 4 yang menggariskan sebagai berikut (prg. 20):

Selisih antara harga penarikan (pemerolehan) kembali dan nilai bawaan neto utang yang
dilunasi harus diakui pada periode penarikan dan dilaporkan dalam statemen laba-rugi
sebagai untung atau rugi dan dipisahkan dengan pos untung atau rugi lainnya…. untung
atau rugi tidak selayaknya diamortisasi untuk periode-periode di masa mendatang.

APB dan FASB menentukan bahwa untuk pelunasan dengan atau tanpa pendanaan
sebenarnya sama. Ketentuan APB dan FASB di atas berlaku baik untuk penarikan kembali
utang dengan atau tanpa pendanaan. Terdapat tiga perlakuan alternatif untuk selisih yaitu:

a) Selisih diamortisasi selama sisa umur semula utang yang ditarik kembali
b) Selisih diamortisasi selama umur utang baru yang diterbitkan
c) Selisih diakui pada saat penarikan dan dilaporkan di statemen laba-rugi tahun
bersangkutan

➢ Uang Terkonversi

Utang terkonversi atau konvertibel (convertible debt) merupakan salah satu instrumen
finansial. Sekuritas utang semacam ini biasanya mempunyai status sebagai kewajiban dan
ekuitas sekaligus. Artinya, pemegang instrumen mempunyai hak istimewa untuk mengubah
status utang menjadi ekuitas setiap saat selama hak tersebut masih berlaku (belum habis).

Contoh yang paling sering dijumpai dalam praktik adalah obligasi terkonversi
(conuertible bond). Obligasi terkonversi pada umumnya diterbitkan untuk menarik para
investor karena mereka dapat menggeser risiko atau mengubah status sekuritas menjadi lebih
menguntungkan. Hendriksen dan van Breda (1991, hlm. 688) menunjukkan bahwa obligasi
terkonversi biasanya mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1) Tingkat bunga nominal jauh di bawah tingkat bunga pasar untuk obligasi biasa yang
setara.
2) Harga konversi yang ditetapkan lebih tinggi dari harga pasar saham biasa.
3) Harga konversi tidak pernah menurun selama masa hak konversi kecuali karena
penyesuaian yang diperlukan akibat pengambilan hak yang melekat pada saham biasa
seperti dalam hal terjadi pemecahan saham atau saham dividen.
Karena bersifat kewajiban dan ekuitas, masalah pada saat pengakuan adalah apakah
harga penerbitan obligasi harus dipecah menjadi porsi yang merepresentasi utang obligasi
(masuk kewajiban) dan porsi yang merepresentasi hak konversi (masuk ekuitas sebagai
modal setoran) atau harga penerbitan tidak dipecah dan utang terkonversi dianggap utang
semata-mata. Pendukung alokasi berargumen bahwa karena utang terkonversi mengandung
sifat utang dan ekuitas, kedua komponen harus diakui secara terpisah. Pandangan ini
didasarkan atas pemikiran sebagai berikut:

a) Hak konversi mempunyai nilai ekonomi sehingga tidak berbeda dengan sifat hak opsi
atau waran. Oleh karena itu, nilai tersebut harus dilaporkan secara terpisah dengan nilai
utang sejalan dengan perlakuan hak opsi atau waran. Analogi dengan goodwill, nilai hak
konversi secara logis juga harus dipisahkan. Bila tidak dipisahkan, akan terjadi
inkonsistensi per lakuan akuntansi.
b) Pada saat penerbitan hak konversi atau nilai utang obligasi biasa (tanpa hak konversi)
dapat diukur secara cukup andal sehingga tidak ada kesuli tan teknis untuk
mengimplementasi pemisahan tersebut. Nilai informa sional pemisahan jauh lebih penting
dari masalah kepraktisan sehingga kepraktisan tidak relevan sebagai basis penolakan
pemisahan.
c) Tujuan penerbitan utang terkonversi yang sebenarnya adalah pendanaan dengan ekuitas.
Sifat utang semata-mata untuk melindungi investor dari keadaan buruk yang dapat
menimpa perusahaan (dalam likuidasi, utang diprioritaskan).
Sementara itu, pendukung utang semata-mata mengajukan argumen sebaliknya. Dasar pikiran
yang melandasi perlakuan sebagai utang semata-mata dapat dikemukakan sebagai berikut:

a) Utang obligasi terkonversi merupakan sekuritas hibrida sehingga harus dipandang sebagai
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (inseparability of the debt and the conversion
option).
b) Penilaian hak konversi akan bersifat subjektif karena ketidakterpisahan kedua komponen
(utang dan hak konversi).
Jadi, ketidakterpisahan dan kepraktisan menjadi landasan pikiran untuk memperlakukan
utang terkonversi semata-mata sebagai utang. Hal inilah yang menjadi basis opini APB yang
memandang nilai obligasi dan hak konversi sebagai satu kesatuan.

➢ Pembebasan Substantif

Bila telah dicapai saat sehingga debitur tidak perlu lagi melakukan pembayaran di
masa datang yang berkaitan dengan pinjaman tersebut, maka pada saat tersebut secara
substantif debitur sudah bebas dari kewajiban sehingga dapat mengakui kewajiban dan aset
dalam perwalian meskipun utang belum jatuh waktu. Demikian juga, bila debitur membentuk
dana pelunasan utang obligasi, pada saat debitur sudah tidak perlu lagi membayar atau
menyetor kas ke dana tersebut karena kas yang telah disetor dan pendapatan (aliran kas) dari
dana tersebut sudah pasti akan cukup untuk menutup utang pada saat jatuh tempo, maka pada
saat itu kewajiban debitur secara substantif dianggap lenyap meskipun kewajiban belum jatuh
tempo. Jadi, pada saat tidak ada lagi keharusan membayar, telah terjadi pembebasan
substantif.

Dalam standar SFAS No 125, FASB menegaskan bahwa pada saat terjadi
pembebasan substantif, kewajiban tidak dapat dihapus karena kejadian tersebut tidak
memenuhi karakteristik atau kriteria kritis sebagai berikut (paragraf 220):

a) Debitur tidak dengan sendirinya menjadi bebas dari kewajiban secara hukum hanya
lantaran perusahaan menempatkan aset ke dalam suatu perwalian.
b) Untuk pelunasan kewajiban, sumber dana tidak dibatasi hanya dari dana yang
ditempatkan dalam perwalian. Bahwa perusahaan secara substantif mempunyai
kemampuan untuk melunasi utang (dengan seluruh asetnya) tidak dengan sendirinya
utang tersebut dapat dihapus.
c) Kalau ternyata aset dalam perwalian melebihi apa yang diperlukan untuk membayar
pokok dan bunga pinjaman, debitur dapat menggunakan kelebihan tersebut.
d) Kreditor ataupun agennya bukan merupakan pihak yang terikat kontrak pembentukan
dana pembebasan utang.
e) Debitur tidak menyerahkan kendali atas manfaat aset karena manfaat aset tersebut masih
melekat pada debitur meskipun debitur telah telah mengawankuinya sementara itu
kreditor juga tidak mengakuinya sebagai aset sehingga praktis aset tersebut masih
dikuasai oleh debitur.
F. Penyajian

Secara umum, kewajiban disajikan dalam neraca atas dasar urutan kelancarannya
sejalan dengan penyajian aset. PSAK No. 1 (pasal 39) menegaskan bahwa aset lancar
disajikan menurut urutan likuiditas, sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh
tempo. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pembaca untuk mengevaluasi likuiditas
perusahaan. Dari segi urutan perlindunganan dan jaminan, utang yang dijamin pada
umumnya disajikan lebih dahulu untuk menunjukkan bahwa jika terjadi likuidasi utang
tersebut harus dibayar lebih dahulu. Dari sudut urutan perlindungan, kewajiban disajikan
lebih dulu dari ekuitas.

PSAK No. 1 menentukan bahwa semua kewajiban yang tidak memenuhi kriteria
sebagai kewajiban jangka pendek harus diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka panjang.
Suatu kewajiban diklasifikasi sebagai kewajiban jangka pendek jika diperkirakan akan
diselesaikan dalam jangka waktu satu siklus operasi akuntansi atau dalam jangka waktu dua
belas bulan dari tanggal neraca.

Walaupun memenuhi kriteria di atas, suatu kewajiban tetap dapat diklasifikasi sebagai
kewajiban jangka panjang bila kewajiban tersebut tidak akan dilunasi tetapi didanai kembali
atau diperbarui. Paragraf 47 menyebutkan bahwa kewajiban berbunga jangka panjang tetap
diklasifikasi sebagai kewajiban jangka panjang, walaupun kewajiban tersebut akan jatuh
tempo dalam jangka waktu dua belas bulan sejak tanggal neraca, apabila:

a) Kesepakatan awal perjanjian pinjaman untuk jangka waktu lebih dari dua belas bulan
b) Perusahaan bermaksud membiayai kembali kewajibannya dengan pendanaan jangka
panjang
c) Maksud tersebut pada huruf (b) didukung dengan perjanjian pembiayaan kembali atau
penjadwalan kembali pembayaran yang resmi disepakati sebelum laporan keuangan
disetujui.

Penyajian utang jangka panjang yang jatuh tempo dalam kewajiban lancar akan
mempengaruhi likuiditas. Oleh karena itu, syarat di atas diperlukan agar kewajiban jangka
pendek tidak diklasifikasi sebagai utang jangka panjang. Standar akuntansi yang berkaitan
dengan berbagai jenis kewajiban dan kontrak biasanya menetapkan hal-hal yang harus
diungkapkan. Dalam hal sewaguna misalnya, jumlah pembayaran minimum masa datang
untuk sewaguna operasi harus diungkapkan. Dalam SFAS No. 47 misalnya, FASB memberi
pedoman ten tang pengungkapan untuk keharusan pembelian takbersyarat jangka panjang dan
pinjaman dan saham tertebus jangka panjang.

II. Ekuitas
A. Pengertian

Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) atau PSAK (2002) pasal 49, ekuitas adalah
hak residual atas aktiva perusahaan setelah dikurangi semua kewajiban. Berbagai sumber
yang lain mendefinisi ekuitas yang tidak berbeda denagn definisi menurut IAI. Ekuitas
didefinisikan sebagai hak residual untuk menunjukkan bahwa ekuitas bukan kewajiban. Ini
berarti ekuitas bukan pengorbanan sumber ekonomik masa datang. Karena didefinisi atas
dasar asset dan kewajiban, nilai ekuitas juga bergantung pada bagaimana asset dan kewajiban
diukur.

B. Komponen ekuitas pemegang saham


Dari segi riwayat terjadinya dan sumbernya, ekuitas pemegang saham diklasifikasi
atas dasar dua komponen penting yaitu modal setoran dan laba ditahan.

Ekuitas Pemegang
Saham

Modal Setoran Laba Lain-lain


ditahan

Modal Modal setoran


Yuridis lain

a.Penerbitan saham a.Premium modal a.Laba rugi


baru saham b.Dividen
b.Kapitalisasi laba b.Penjualan saham c. Rekapitalisasi
ditahan treasuri d.defisit
c. Dividen saham c. Penyerapan defisit e.koreksi
d.Konversi obligasi d.Deklarasi dividen f. perubahan
atau saham likuidasi akuntansi

Ekuitas Pemegang Saham dan Komponennya

Modal Setoran

1) Modal Yuridis
2) Modal Setoran Lain

Modal Bentukan atau Laba Ditahan

1) Laba atau rugi (dari statement laba rugi)

2) Dividen

3) Rekapitalisasi

4) Defisit

5) Koreksi

6) Perubahan akuntansi

C. Tujuan penyajian ekuitas

Pengungkapan informasi ekuitas pemegang saham akan sangat dipengaruhi oleh


tujuan penyajian informasi tersebut kepada pemakai statement keuangan. Pada umumnya,
tujuan pelaporan informasi ekuitas pemegang saham adalah menyediakan informasi kepada
yang berkepentingan tentang efesiensi dan kepengurusan manajemen (Suwardjono 2005).

Untuk memenuhi tujuan tersebut, informasi yang harus disampaikan tentang ekuitas
pemegang saham tersebut minimal adalah :

1) Sumber ekuitas pemegang saham beserta riwayatnya.


2) Peraturan yuridis yang membatasi pembagian dividen dan pengambilan modal setoran
kepada pemegang saham.
3) Prioritas beberapa golongan pemegang saham atau pemegang ekuitas lainnya.

D. Perbedaan Modal Setoran Dan Laba Ditahan


Laba ditahan pada dasarnya terdiri dari akumulasi laba yang disetorkan dari akun
ringkasan pendapatan. Ketika laba ditahan ditutup dengan laba ditahan, laba ditahan secara
efektif diintegrasikan ke dalam komponen ekuitas sah pemegang saham. Selain modal
disetor, laba ditahan mewakili beberapa hak atas jumlah penuh aset daripada hak atas jenis
aset tertentu. Oleh karena itu, laba ditahan harus digabungkan dengan modal disetor untuk
mengukur semua hak pemegang saham atas aset.
Dari perspektif manajemen keuangan, laba ditahan merupakan indikator daya laba
dan harus selalu dipisahkan dari modal disetor, bahkan jika modal dibentuk dengan
menjumlahkan jumlah akhir. Perbedaan ini juga signifikan secara hukum. Hal ini karena
modal disetor merupakan sejumlah besar uang yang harus dipelihara untuk memberikan
perlindungan kepada entitas lain. Dana ini hanya dapat ditarik pada saat likuidasi dalam
Rupee yang secara sah dapat digunakan untuk pembagian dividen. Badan hukum memiliki
lima jenis modal, dengan mengacu pada pengertian modal, jenis-jenis modal adalah:

➢ Akun penambahan modal

Akun peningkatan ekuitas dapat dibagi menjadi dua jenis: laba ditahan dan modal
disetor. Kedua akun ini, yang akan dijelaskan kemudian dalam laporan perubahan ekuitas,
merupakan elemen peningkatan modal.

➢ Modal disetor

Modal disetor adalah jumlah yang disetor oleh pemegang saham, dan modal disetor
dapat dikelompokkan menjadi dua: Modal saham adalah jumlah nominal saham yang
beredar. Agio / Saham Disagio adalah selisih antara simpanan pemegang saham dan nilai
nominal saham. Kenyamanan adalah perbedaan di atas nominal dan ketidaknyamanan adalah
perbedaan di bawah nominal.

➢ Penghasilan

Pandangan ‘Pendapatan’ adalah laba suatu entitas yang memberikan nilai tambah bagi
perusahaan selama periode posting. Dalam hal ini, pendapatan merupakan laba ditahan dan
digunakan untuk menumbuhkan entitas sehingga dapat memperluas aktivitasnya.

Akun pengurangan saham

Ini adalah kebalikan dari akun peningkatan modal, dan akun pengurangan modal
memiliki dua akun: akuisisi dan pengeluaran pribadi. Kedua akun pengurang ini muncul
sebagai pengurang ekuitas dengan saldo nominal di bagian debet laporan.

➢ koleksi Pribadi

Jika perseroan tersebut sudah berbentuk perseroan, ‘swasta’ hanya dapat dibuat tertutup jika
disetujui oleh Dewan Komisaris.

➢ pengeluaran/pengeluaran
Biaya/pengeluaran adalah semua biaya yang dikeluarkan oleh suatu usaha untuk
kegiatan usahanya dalam menghasilkan barang atau jasa. Dalam laporan ekuitas, beban dan
pendapatan tidak dilaporkan secara langsung, tetapi dalam bentuk laporan laba rugi.

Perbedaan antara modal dan laba ditahan

Sangat penting untuk membedakan antara dua unsur keadilan. Dalam hal administrasi
keuangan, laba ditahan berfungsi sebagai indikator daya laba, sehingga meskipun modal
dibentuk dengan menjumlahkan jumlah akhir, laba ditahan harus dipisahkan dari modal
disetor.

Pembedaan ini sah karena modal disetor merupakan dana dasar yang harus
dipertahankan untuk melindungi pihak lain dan kelebihannya adalah jumlah rupiah yang
tersedia secara sah untuk pembagian dividen.

➢ modal hukum

Sebagai sekutu laba ditahan, modal disetor dibagi antara modal wajib dan modal
disetor lainnya. Modal wajib timbul melalui ketentuan hukum yang mensyaratkan sejumlah
Rupee tertentu yang harus dimiliki untuk melindungi pihak lawan. Bentuk dari aturan ini
adalah adanya nilai par atau minimum. Besarnya modal dasar tergantung pada karakteristik
surat berharga (nominal, nominal/tidak bernilai riil, nominal/tidak bernilai riil).

➢ Perubahan modal

Tujuan utama dari rekayasa akuntansi berbayar adalah untuk secara jelas memisahkan
perubahan karena transaksi operasional. Berikut adalah berbagai sumber yang dapat
mengubah modal setoran Anda pada berbagai masalah teoretis:

➢ Pemesanan saham

Pada saat perusahaan didirikan atau melakukan penawaran publik perdana,


perusahaan telah menetapkan apa yang disebut modal dasar. Dengan autorisasi tersebut
perusahaan akan mencetak sertifikat saham. Bila saham telah terjual dan pembeli telah
membayar penuh kesepakatannya, sertifikat saham akan diserahkan kepada pembeli.
Berdasar konsep kesatuan usaha, jumlah rupiah yang diterima perusahaan akan menimbulkan
atau diimbangi dengan modal setoran.

Pada umumnya investor yang berminat membeli saham perusahaan harus memesan
terlebih dahulu saham yang dibeli dengan harga yang sesuai. Yang menjadi masalah adalah
apakah jumlah rupiah saham pesanan tersebut telah dapat diakui sebagai modal setoran?
Jumlah rupiah saham pesanan dapat diakui sebagai modal setoran hanya apabila memenuhi
dua syarat, yaitu tidak dapat dibatalkan, dan pelunasan tidak terlalu lama.

E. Modal Yuridis

Modal yuridis timbul karena ketentuan hukum yang mengharuskan bahwa harus ada
sejumlah rupiah yang harus dipertahankan dalam rangka perlindungan terhadap pihak lain.
Bentuk ketentuan hukum ini adalah bahwa saham harus mempunyai nilai nominal atau nilai
minimum yang dinyatakan untuk menunjukkan hak yuridis. Modal yuridis merupakan jumlah
rupiah "minimal" yang harus disetor oleh investor sehingga membentuk modal yuridis.

Akuntansi menganggap pengungkapan modal yuridis tersebut tidak penting karena


akuntasi lebih menekankan pada jumlah rupiah yang benar benar disetor pemegang saham
sebagai jumlah rupiah kontrak antara perseroan dengan pemegang saham. Dalam hal
perusahaan berjalan terus, pengungkapan modal yuridis kemudian akan berfungsi semata-
mata untuk menunjukan batas jumlah aset yang dapat didistribsikan kepada pemegang saham
baik dalam bentuk dividen maupun likuidasi modal dan dianggap hal ini memberi informasi
terhadap batas perlindungan bagi kreditor.

Besarnya Modal Yuridis


Dalam hal saham bernilai nominal (par stock), modal yuridis dapat sama dengan
jumlah yang dikenal dengan nama modal saham (capital stock). Modal saham merupakan
batas tanggungjawab pemegang saham dan batas kerugian pribasi yang harus ditanggung
pemegang saham. Artinya, dalam hal terjadi likuidasi pemegang saham tidak dapat menuntut
pembagian kekayaan atas dasar modal yang disetor (kecuali ada sisa untuk itu).

F. Modal setoran lain

Nominal saham sering dianggap bukan merupakan harga efektif saham sehingga
secara akuntansi penentuan nilai nominal saham sebenarnya tidak bermakna ekonomik.
Dalam hal tertentu, nilai nominal saham lebih merupakan alat untuk pemerataan distribusi
pemilikan daripada untuk menunjukan nilai salaham itu sendiri. Karena tidak bermakna
ekonomi, saham dapat diterbitkan tanpa nilai nominal. Ada dua alasan penerbitan saham
tanpa nilai nominal yaitu:

a) Pasal 42 undang-undang no 1 tahun 1995 menetapkan bahwa saham tanpa nilai nominal
tidak dapat diterbitkan. Ketentuan ini sebenarnya dimaksudkan untuk menentukan modal
yuridis. Nilai nominal merupakan jumlah rupiah minimal yang harus disetor investor
sehingga membentuk modal yuridis.
b) Dalam hal ini, Patton dan Littleton (1970) menegaskan bahwa perseroan merupakan
kesatuan usaha maupun kesatuan hukum. Sifat ganda ini menjadikan akuntansi
mempunyai fungsi ganda pula yaitu menyajikan data ekonomi sekaligus mencerminkan
aspek yuridis yang sebenarnya. Fungsi ganda ini menimbulkan masalah pelaporan ekuitas
pemegang saham karena konsep kesatuan usaha dan konsep hukum sangat berbeda. Dari
segi hukum ada tendesi untuk memandang ekuitas pemegang saham sebagai jumlah
rupiah tertentu yang menjadi batas penarikan kembali dana yang ditanamkan oleh
pemegang saham tanpa memperhatikan setoran yang sesungguhnya. Dari segi akuntansi,
yang menganut substansi dari pada bentuk, memandang ekuitas pemegang saham adalah
seluruh jumlah yang secara ekonomi tertanam diperusahaan termasuk laba ditahan.
G. Perubahan Modal Setoran

Tujuan utama dari perekayasaan akuntansi modal setoran ini adalah untuk
membedakan secara tegas antara perubahan akibat transaksi operasi dan perubahan akibat
transaksi operasi. Dalam kenaikan modal setoran, pembedaan ini bermanfaat untuk mencegah
memperlakukan kenaikan akibat modal sebagai laba sehingga timbul kesan adanya jumlah
yang tersedia untuk pembagian dividen. Berbagai sumber yang dapat mengubah modal
setoran dengan berbagai masalah teoretisnya adalah:

1) Pemesanan Saham
Pada umumnya, investor yang berminat membeli saham perusahaan harus memesan
lebih dahulu saham yang akan dibeli dengan harga sesuai dengan kesepakatan pada saat
pemesanan. Secara konseptual, ekuitas pemegang saham bersifat seperti kewajiban. Oleh
karena itu, jumlah rupiah saham pesanan dapat diakui sebagai modal setoran hanya apabila
kedua syarat berikut dipenuhi:
a) Jumlah rupiah yang disepakati dalam pemesanan merupakan klaim yuridis bagi
perusahaan terhadap pemesan dan tidak dapat dibatalkan.
b) Harga pemesanan tersebut akan ditagih penerbit dalam perioda yang cukup pasti dan
tidak terlalu lama.

2) Obligasi Terkonversi
Perusahaan menerbitkan obligasi dengan karekteristik bahwa obligasi tersebut dapat
ditukarkan dengan saham biasa atas kehendak pemegang obligasi dalam perioda konversi
tertentu. Kalau hak tukar tersebut digunakan (exercised), yang terjadi adalah perubahan status
kewajiban menjadi modal setoran. Masalah teoretisnya adalah menentukan jumlah rupiah
yang dapat dianggap sebagai modal setoran schingga modal saham dan kelebihan diatas
modal saham (kalau ada) dapat ditentukan. Dalam hal ini, ada dua nilai yang dapat digunakan
sebagai basis kapitalisasi yaitu:
a) Nilai buku (book value) atau nilai bawaan (carrying value) obligasi pada saat penukaran.
b) Harga pasar obligasi atau harga pasar saham (mana yang paling obyektif).

3) Saham Prioritas Terkonversi


Pengukuran jumlah rupiah yang harus diakui sebagai modal setoran dapat
menggunakan cara seperti pada obligasi terkonversi. Dengan pendekatan pertama, nilai
nominal saham prioritas premium/diskon ditransfer ke modal pemegang saham dan
premium/diskon modal pemegang saham biasa. Pendekatan kedua, jika ada selisih antara
harga pasar baik saham biasa maupun saham prioritas, selisih tersebut harus dikompensasi ke
atau dari laba ditahan. Pendekatan ini mengisyaratkan diterimanya konsep kesatuan usaha
karena laba ditahan dianggap sebagai ekuitas perusahaan yang terpisah atau independen. Ini
berarti harga pasar saham biasa yang diperhitungkan dianggap tidak merefleksi hak yang
melekat pada laba ditahan. Setelah konversi berarti perusahaan menjadi bebas dari kewajiban
membayar dividen secara tetap. Ini berarti likuiditas perusahaan bertambah dan akan
mengurangi risiko pemegang saham biasa. Penggunaan harga pasar juga pararel dengan
transaksi pertukaran untuk potensi jasa atau aset yang tidak sejenis (dissimilar) yang
menggunakan harga pasar sebagai dasar penentuan cost-nya.
4) Dividen Saham
Dividen saham distribusi dividen dalam bentuk saham yang sejenis dengan saham
yang mula-mula diterbitkan. Bila distribusi dividen saham tidak disertai dengan kapitalisasi
laba ditahan, dividen saham akan menyerupai pemecahan saham (stock split).

a) Karakteristik Dividen Saham


Dari sudut pandang kesatuan usaha, dividen saham bukan merupakan pembagian laba
karena tidak ada penurunan aset perusahaan atau kenaikan utang perusahaan. Hal ini
berbeda dengan dividen kas jelas merupakan pendapatan bagi penerima karena ada
transfer kemakmuran ke pemegang saham.
b) Kapitalisasi Atas Dasar Nilai Nominal
Kalau tujuan penyajian informasi modal pemegang saham adalah untuk menunjukkan
modal yuridis (legal capital), kapitalisasi dividen saham haruslah hanya sebesar nilai
nominal atau nyataannya. Jumlah ini sebesarnya merupakan jumlah minimal yang harus
dikapitalisasi untuk memenuhi ketentuan yuridis.
c) Kapitalisasi Atas Dasar Harga Saham
Dividen saham dapat dipandang sebagai pengganti dividen kas karena dividen saham
mempunyai nilai. Nilai tersebut diukur atas dasar harga saham. Dengan demikian, harga
pasar merupakan dasar yang tepat untuk menentukan kapitalisasi.

5) Hak Beli Saham, Opsi, dan Waran

➢ Hak Beli Saham

Hak beli saham adalah hak yang diberikan bagi pemegang saham lama untuk membeli
sejumlah saham saham (proporsional dengan pemilikan). Hal ini biasanya dimaksudkan
untuk mempertahankan pemilikan pemegang saham lama. Pada umumnya hak beli saham
umurnya tidak lama dan harga beli saham dengan hak beli tersebut. biasanya lebih rendah
dari harga pasar saham bersangkutan. Oleh karena itu, hak beli saham sering dianggap
mempunyai harga pasar sehingga timbul pendapat bahwa hak beli tersebut dikapitalisasi.

➢ Opsi Saham

Opsi saham biasanya digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan loyalitas dan
motivasi karyawan dengan menjadikan mereka pemilik perusahaan dan untuk menambah
penghasilan karyawan (sebagai kompensasi tambahan). Banyaknya saham yang dapat dibeli
dan harga opsi dapat ditentukan pada saat hak opsi diberikan atau bergantung pada beberapa
kejadian di masa mendatang seperti pertumbuhan perusahaan dan perubahan harga saham.

➢ Opsi Saham Non Imbalan

Jika opsi saham tersebut non imbalan, harga saham atau harga pengambilan
ditentukan sama dengan harga saham pada saat opsi diberikan. Dengan demikian pada saat
tersebut karyawan dianggap tidak menerima manfaat atau penghasilan tambahan karena
karyawan akan membayar jumlah yang sama dengan jumlah yang harus dibayar oleh non
karyawan untuk saham bersangkutan di pasar saham.

➢ Opsi Saham Imbalan


Jika program opsi saham tidak memenuhi kriteria sebagai opsi saham non imbalan,
tentunya opsi saham tersebut merupakan opsi saham imbalan. Misalnya saja, opsi saham
ditawarkan hanya kepada para eksekutif tertentu bukan pada seluruh karyawan.

➢ Waran

Dalam PSAK No. 41. IAI mendefinisikan Waran sebagai efek yang diterbitkan oleh
suatu perusahaan yang memberi hak kepada pemegangnya untuk memesan saham dari
perusahaan tersebut pada harga dan jangka waktu tertentu (pasal 03). Pemegang waran dapat
membeli sejumlah saham dengan mengembalikan waran tersebut dan membayar sejumlah
uang kas tertentu. Waran berbeda dengan hak beli saham dan opsi saham dalam beberapa
aspek yaitu:
a) Waran diterbitkan oleh perusahaan sedangkan hak beli saham diterbitkan oleh investor
(baik individual maupun institusional)
b) Jangka waktu opsi waran biasanya lebih lama (dapat tahunan) dari pada jangka waktu
opsi hak beli saham
c) Waran dijual atau diterbitkan kepada umum (bukan kepada pemegang saham atau
karyawan perusahaan) dan biasanya hal ini menjadi syarat bagi pembeli
d) Saham dijual dengan harga tertentu atau tunai (tidak gratis)
e) Harga pembelian saham total (harga waran plus tambahan kas)
f) pada saat pengambilan opsi biasanya melebihi harga pasar saham pada saat waran
ditawarkan
g) Bila hak opsi tidak diambil kos waran tidak dapat ditarik kembali oleh pemengang waran
h) Waran dapat diterbitkan menyertai penerbitan surat utang (obligasi)

Jika waran diambil, jumlah rupiah yang melekat pada waran dikapitalisasi ke modal
saham dan agio saham (bila ada). Jika waran tidak diambil sampai masa opsi berakhir, jumlah
rupiah dicatat sebagai waran tetap diperlakukan sebagai modal setoran lain.

H. Penurunan Modal Setoran

Modal setoran tidak akan berkurang kecuali ada pembayaran atau pembagian dividen
yang dapat dikategorikan sebagai dividen likuidasi atau penarikan kembali saham yang
beredar secara permanen. Semua transaksi yang berkaitan dengan oenarikan kembali saham
atau likuidasi modal tidak ada kaitannya dengan untung atau rugi. Dengan kata lain, untung
atau rugi tidak timbul dari transaksi penarikan kembali saham. Perlakuan atas saham yang
ditarik kembali harus sejalan dengan sifatnya sebagai ekuitas pemegang saham.

Jika saham bersangkutan dapat diterbitkan kembali, saham dengan jumlah rupiah
besar yang dibayarkan untuk penarikan kembali tersebut harus diperlakukan sebagai kontrak
modal setoran dan laba ditahan bukannya sebagai aset. Jika saham bersangkutan tidak dapat
diterbitkan kembali (dianggap dilunasi), jumlah rupiah yang dibayarkan harus dibebankan ke
modal saham sampai sejumlah yang mula-mula dikredit, sisanya kemudian dibebankan ke
premium modal saham sampai sejumlah yang tidak melebihi bagian premium yang mula-
mula dikredit,jika masih terdapat sisa maka kelebihan tersebut harus dibebankan ke laba
ditahan. Jika terjadi untung dalam penebusan saham tersebut maka untung tersebut harus
dikredit ke premium modal saham karena jumlah tersebut pada hakikatnya mempunyai
karakteristik seperti kontribusi modal dalam bentuk donasi atau pembebasan utang.

Pembelian kembali saham beredar oleh perseroan sebenarnya bermakna penarikan


aset yang diinvestasikan oleh pemegang saham bersangkutan. Akibatnya, struktur modal
berubah sesuai dengan jumlah aset yang ditarik kembali tersebut. Akan tetapi karena
perlakuan akhir terhadap saham yang ditebus kembali tersebut mungkin tidak pasti maka
perlu dibuat ketentuan tentang perlakuan sementara terhadap saham yang ditarik kembali.

Saham Treasuri

Transaksi yang jelas akan mengurangi modal setoran adalah penarikan kembali saham
untuk sementara menjadi saham treasuri. Beberapa alasan perusahaan melakukan penarikan
kembali saham sebagai saham treasuri adalah :

1) Saham tersebut akan diterbitkan kemabali kepada karyawan dalam program opsi
saham dan
2) Saham tersebut akan digunakan untuk membeli perusahaan lain dalam transksi
penggabungan usaha.
Masalah teoritis yang melekat pada transaksi saham treasuri adalah penentuan jumlah
rupiah yang harus dianggap sebagai pengurangan modal setoran dan laba ditahan; dan
pengungkapan pengaruhnya terhadap modal yuridis bila saham treasuri dijual kembali.
Mengenai hal ini, ada dua pendekatan atau konsep yang dapat diterapkan yaitu konsep satu
transaksi dan dua transaksi.
Konsep Satu Transaksi

Konsep ini disebut juga dengan metode kos karena jumlah rupiah total yang
dibayarkan dianggap seakan-akan merupakan kos pembelian saham treasuri. Disebut satut
ransaksi karena pembelian saham treasuri dan penjualannya kembali dianggap sebagai satu
transaksi. Artinya, pembelian dan penjualan dianggap sebagai kesatuan transksi untuk
mencapai tujuan yang diinginkan dengan transaksi saham treasuri tersebut. Jika saham
treasuri dijual kembali dengan harga diatas kos maka selisihnya akan menambah agio saham
atau mengurangi disagio saham. Namun jika dijual di bawah kos maka terdapat tiga alternatif
pengakuan, yaitu :

(1) Memperlakukan selisih sebgai pengembalian modal setoran dan karenanya harus didebut
ke premium atau diskon saham yang sekelas; Dasar pemikiran hal ini adalah bahwa
substansi lebih penting dari bentuk. Substansi transaksi saham treasuri adlaah transfer
antara pemegang saham yang satu ke yang lain dengan perusahaan sebgai agen dan
cacah saham yang beredar tidak berubah.
(2) Jumlah rupiah selisih dipecah secara proporsional atas dasar modal saham dan agio
saham sebelum penarikan saham treasuri; Landasan utama perlakuan ini adalah peraturan
hukum yang mengahruskan modal saham dipertahankan keutuhannya. Jumlah yang
berkaitan dengan agio saham dibebankan ke agio saham tetapi yang berkaitan dengan
modal saham dibebankan ke laba ditahan.
(3) Membebankan seluruh selisih ke laba ditahan. Alasan perlakuan ini semata-mata
kepraktisan dan konservatismen. Sedangakan alasan teoritisnya adalah bahw jika
pembelian dan penjualan dianggap sebagai satu transaksi maka esensi selisih tersebut
adalah disrtibusi aset (semacam dividen) kepada beberapa pemegang saham secara
selektif.
Konsep Dua Transaksi

Dengan konsep ini, pemerolehan kembali saham sebagai saham treasuri dianggap
sebagai likuidasi ekuitas pemegang saham sedangkan penjualan kembali saham treasuri
dianggap sebagai penerbitan saham baru. Konsep ini disebut dengan penedekatan nominal
karena harga penarikan atau penjualan, dikompensasi ke modal setoran lain seluruhnya atau
sebatas porsi modal setoran lain mula-mula dan selisihnya dikompensasi ke laba ditahan.
I. Perubahan Laba Ditahan

Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi besarnya laba ditahan (jika ada
pemisahan antara transaksi modal dan transaksi operasi), yaitu : laba/rugi periodik dan
pembagian dividen. Laba yang dipindahkan dari akun laba-rugi adalah laba yang merupakan
selisih seluruh elemen transaksi operasi dalam arti luas yang disebut laba komprehensif.
Transaksi lain yang dapat mempengaruhi laba ditahan adalah transaksi yang tergolong dalam
transaksi modal seperti yang diuraikan dalam pembahasan perubahan modal setoran diatas.
Pengaruh beberapa transaksi di atas langsung dimasukkan dalam laba ditahan dan tidak
melalui statemen laba-rugi periode terjadinya transaksi tersebut karena transaksi tersebut
merupakan transaksi modal. Terdapat beberapa hal lain yang dapat menyebabkan laba
ditahan dalam suatu periode berubah selain karenan transaksi modal tetapi karena transaksi
khusus, yaitu :

1) Penyesuaian periode lalu,


2) Koreksi kesalahan dalam laporan keuangan sebelumnya
3) Pengaruh perubahan akuntansi
4) Kuasi-reorganisasi

J. Penyajian Model Pemegang Saham


Dalam terjadi defisit urutan penyajian menggambarkan urutan penyerapan rugi
sedangkan dalam kondisi likuidasi urutan penyajian menggambarkan urutan perlindungan
yuridis bagi para penyedia dana dalam hal terjadi likuidasi.

Urutan Penyerapan Rugi

Urutan penyerapan biaya, rugi, dan rugi luar biasa dapat digambarkan sebagai berikut:

1) Pendapatan kotor. Pos ini menyerap semua biaya dan rugi dan debit/ beban yang berasal
dari transaksi nonpemilik.
2) Laba bersih. Hal ini akan terjadi pendapatan kotor tidak cukup untuk menutup semua kos
terhabiskan baik yang berasal dari konsumsi manfaat maupun hilangnya manfaat. Bila
digunakan pendekatan laba komprhensif, laba bersih akan menjadi laba konprehensif.
3) Laba ditahan. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila laba bersih perioda berjalan tidak
cukup untuk menyerap suatu rugi tertentu atau rugi luar biasa.
4) Premium modal saham. Bagian modal ini baru dapat menyerap rugi kalau laba ditahan
dan laba ditahan telah habis untuki menyangga suatu rugi. Dengan kata lain, modal saham
harus tetap dijaga keutuhannya sampai premium modal saham benar-benar telah habis.
5) Modal saham. Bila keutuhan modal yuridis telah terpengaruh secara substansial.
Kebijakan untuk melakukan kuasi-reorganisasi atau bahkan likuidasi perusahaan mungkin
diperlukan.
Urutan Menerima Distribusi Aset

1) Karyawan dan pemerintah. Pihak ini dapat dipandang sebagi kreditor yang diprioritaskan
yaitu karyawan dengan hak atas gaji dan pemerintah dengan hak atas pajak terhutang.
2) Kreditor berjaminan. Pihak ini adalah pemegang obligasi atau kreditor lain yang haknya
dijamin dengan hak sita atas aset tertentu.
3) Kreditor takberjaminan. Pihak ini terdiri atas pada kreditor yang tidak dijamin terrefleksi
dalam utang usaha atau utang wesel baik jangka panjang maupun jangka pendek.
4) Pemegang saham prioritas. Pihak ini dilindungi oleh laba ditahan sebagai penyangga
modal saham yuridis.
5) Pemegang saham biasa. Pihak ini merupakan pemegang hak atas sisa kekayaan yang
berarti bahwa pemegang saham biasa harus menanggung lebih dahulu rugi defisit.
Laba Komprehensif

Perubahan akibat transaksi operasi atau transaksi nonpemilik harus dibedakan dan
dipisahkan secara tegas dengan perubahan akibat transaksi pemilik, semua perubahan akibat
transaksi operasi harus dilaporkan melalui statemen laba – rugi.

Masalah teoritis dalam hal ini adalah pos pos mana saja yang disajikan melalui
statement laba rugi dan pos pos mana saja yang dilaporkan melalui statemen laba ditahan.
Dalam hal ini ada dua pendekatan yang dianut yaitu kinerja sekarang atau normal dan semua
termasuk atau surplus bersih.

Laba Kinerja Sekarang

1) Laba harus mengukur efisiensi penggunaan sumber ekonomik untuk periode berjalan
sehingga laba harus bebas dari hal hal yang mengaburkan efisiensi.
2) Laba merupakan pengukur kinerja manajemen.
3) Laba harus dapat digunakan untuk melakukan perbandingan antarprioda dna atar
perusahaan secara bermakna.
4) Karena fiksasi fungsional pembaca statemen laba – rugi yang hanya melihat angka akhir,
pemasukan pos pos luar biasa dalam statemen laba rugi dapat menyestkan pemakai.
Laba Semua – Termasuk

Yang diperhitungkan sebagai laba dan disajikan melalui statemen laba rugi adalah
semua pos akibat transaksi nonpemilik. Pendekatan ini dilandasi oleh konsep dasar
kontinuitas usaha yang memandang statemen laba – rugi merupakan penggalan aliran operasi
(pendapatan dan biaya) dalam jangka panjang. Untuk dapat memprediksi kemampuan melaba
jangka panjang, statemen laba – rugi tidak dapat berdiri sendiri tetapi harus disajikan sebagai
rangkaian statemen laba – rugi sepanjang umur perusahaan. Dengan demikian laporan laba –
rugi periodik harus memuat pos pos yang tidak normal atau luar biasa.

Alasan Mendasar

Patton dan Littleton (1970) mengajukan argumen mendasar dalam mendukung


pendekatan laba semua termasuk yaitu konsep pemanfaatan aset. Konsep ini memandang
bahwa manajemen mengelola aset sebagai satu kesatuan.

K. Penyajian Laba Komprehensif

Dengan dianutnya pendekatan laba semua-termasuk atau laba komprehensif,


masalahnya adalah bagaimana menyajikan komponen-komponen pembentuk laba
komprehensif dan bagaimana penyajian dalam statmen laba-rugi.

Komponen-Komponen Pembentuk Statemen Laba-Rugi

1) Seksi operasi utama (major operating activities section) :


a. Penjualan atau pendapatan
b. Kos barang terjual
c. Biaya penjualan
d. Biaya administratif atau umum
2) Seksi operasi tambahan (secondary or auxiliary activities section) :
a. Pendapatan lainnya dan untung
b. Biaya lainnya dan rugi
3) Pajak penghasilan (income taxes)
4) Operasi hentian / taklanjutkanan (discontinued operations)
5) Pos-pos luar biasa / ekstraordiner (extraordinary items)
6) Pengaruh kumulatif perubahan prinsip akuntansi
7) Pengaruh kumulatif perubahan estimate / taksiran
8) Perubahan ekuitas nonpemilik lainnya termasuk pos-pos penerobos
Komponen 6) dan 7) juga dikategori sebagai komponen perubahan ekuitas nonpemilik
dan keduanya disebut pengaruh kumulatif perubahan akuntansi atau penyesuaian kumulatif
akuntansi sehingga pos-pos selain yang masuk kategori ini dengan perubahan ekuitas
nonpemilik lainnya. Karena komponen 1) sampai 8) semuanya masuk dalam statement laba-
rugi, angka bersih yang diperoleh disebut dengan laba komprehensif. Tujuan
dimasukkannya komponen 8) dalam statement laba-rugi adalah untuk mencegah
penyembunyian atau penghilangan secara diskresioner pos-pos laba atau rugi tertentu dari
statement laba-rugi. Dengan kata lain, tujuannya adalah mencegah penyalahgunaan (abuse).

Komponen 6) dan 7) dikeluarkan dari laba bersih dan dilaporkan sebagai perubahan
ekuitas nonpemilik dan angka bersih yang diperoleh dari komponen 1) sampai 5) disebut
dengan laba perioda (earnings) dan laba bersih setelah komponen 6) dan 7) disebut laba
perioda bersih (nett earnings). Bila terjadi rugi, laba komprehensif menjadi rugi
komprehensif. Laba komprehensif dapat disebut pula perubahan ekuitas nonpemilik total.

Terdapat dua pendekatan penyusunan statement laba-rugi yaitu:

1. Pendekatan satu-statement
untuk menyajikan komponen 1) sampai 8), menyajikan kedelapan komponen tersebut
dalam satu statement yang disebut statement laba-rugi dan laba-rugi komprehensif.
2. Pendekatan dua-statement
memisahkan pelaporan komponen 1) sampai 7) dalam statement labarugi (statement of
income) dan menyajikan pengaruh komponen 8 terhadap laba perioda bersih dalam
statement laba-rugi komprehensif.
Dengan pendekatan semua-termasuk, FASB memperluas cakupan laba yang meliputi
pula apa yang sebelumnya disebut pos-pos penerobos (bypassing items). Pos-pos penerobos
adalah pos-pos yang dilaporkan langsung dalam statement laba ditahan tanpa melalui
statement laba-rugi. Contoh pos-pos ini antara lain adalah laba menahan/penahan atau laba
fluktuasi harga belum terealisasi dan penyesuaian penjabaran mata uang asing. Selain itu,
FASB juga mengantisipasi adanya pos-pos lain yang mempresentasi perubahan ekuitas
nonpemilik yang harus dilaporkan melalui statement laba-rugi.
KESIMPULAN

Bila debitur membentuk dana pelunasan utang obligasi, pada saat debitur sudah tidak
perlu lagi membayar atau menyetor kas ke dana tersebut karena kas yang telah disetor dan
pendapatan (aliran kas) dari dana tersebut sudah pasti akan cukup untuk menutup utang pada
saat jatuh tempo, maka pada saat itu kewajiban debitur secara substantif dianggap lenyap
meskipun kewajiban belum jatuh tempo.

Ekuitas Pemegang Saham dan Komponennya Modal Setoran

1. Modal Yuridis
2. Modal Setoran Lain
Modal Bentukan atau Laba Ditahan
a. Laba atau rugi (dari statement laba rugi)
b. Dividen
c. Rekapitalisasi
d. Defisit
e. Koreksi
f. Perubahan akuntansi

Tujuan penyajian ekuitas Pengungkapan informasi ekuitas pemegang saham akan


sangat dipengaruhi oleh tujuan penyajian informasi tersebut kepada pemakai statement
keuangan.

Modal disetor Modal disetor adalah jumlah yang disetor oleh pemegang saham, dan
modal disetor dapat dikelompokkan menjadi dua: Modal saham adalah jumlah nominal
saham yang beredar. Berbagai sumber yang dapat mengubah modal setoran dengan berbagai
masalah teoretisnya adalah: Pemesanan Saham Pada umumnya, investor yang berminat
membeli saham perusahaan harus memesan lebih dahulu saham yang akan dibeli dengan
harga sesuai dengan kesepakatan pada saat pemesanan.

Hak Beli Saham, Opsi, dan Waran Hak Beli Saham Hak beli saham adalah hak
yang diberikan bagi pemegang saham lama untuk membeli sejumlah saham saham
(proporsional dengan pemilikan). Waran berbeda dengan hak beli saham dan opsi saham
dalam beberapa aspek yaitu:

a. Waran diterbitkan oleh perusahaan sedangkan hak beli saham diterbitkan oleh investor
(baik individual maupun institusional)
b. Jangka waktu opsi waran biasanya lebih lama (dapat tahunan) dari pada jangka waktu
opsi hak beli saham
c. Waran dijual atau diterbitkan kepada umum (bukan kepada pemegang saham atau
karyawan perusahaan) dan biasanya hal ini menjadi syarat bagi pembeli
d. Saham dijual dengan harga tertentu atau tunai (tidak gratis)
e. Harga pembelian saham total (harga waran plus tambahan kas)
f. pada saat pengambilan opsi biasanya melebihi harga pasar saham pada saat waran
ditawarkan
g. Bila hak opsi tidak diambil kos waran tidak dapat ditarik kembali oleh pemengang waran
h. Waran dapat diterbitkan menyertai penerbitan surat utang (obligasi)

Jika saham bersangkutan tidak dapat diterbitkan kembali (dianggap dilunasi), jumlah
rupiah yang dibayarkan harus dibebankan ke modal saham sampai sejumlah yang mula-mula
dikredit, sisanya kemudian dibebankan ke premium modal saham sampai sejumlah yang tidak
melebihi bagian premium yang mula-mula dikredit,jika masih terdapat sisa maka kelebihan
tersebut harus dibebankan ke laba ditahan.

Beberapa alasan perusahaan melakukan penarikan kembali saham sebagai saham


treasuri adalah :

1. Saham tersebut akan diterbitkan kemabali kepada karyawan dalam program opsi
saham dan
2. Saham tersebut akan digunakan untuk membeli perusahaan lain dalam transksi
penggabungan usaha.
DAFTAR PUSTAKA

Suwardjono. (2005). Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan Edisi 3.


Yogyakarta: BPFE-YOGYAKARTA.

Anda mungkin juga menyukai