Anda di halaman 1dari 15

HIV dan AIDS

HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh dengan
menginfeksi dan menghancurkan sel CD4. Jika makin banyak sel CD4 yang hancur, daya tahan tubuh
akan makin melemah sehingga rentan diserang berbagai penyakit.
HIV yang tidak segera ditangani akan berkembang menjadi kondisi serius yang disebut AIDS
(acquired immunodeficiency syndrome). AIDS adalah stadium akhir dari infeksi HIV. Pada tahap
ini, kemampuan tubuh untuk melawan infeksi sudah hilang sepenuhnya.

Penularan HIV terjadi melalui kontak dengan cairan tubuh penderita, seperti darah, sperma,
cairan vagina, cairan anus, serta ASI. Perlu diketahui, HIV tidak menular melalui udara, air,
keringat, air mata, air liur, gigitan nyamuk, atau sentuhan fisik.
HIV adalah penyakit seumur hidup. Dengan kata lain, virus HIV akan menetap di dalam tubuh
penderita seumur hidupnya. Meski belum ada metode pengobatan untuk mengatasi HIV, tetapi
ada obat yang bisa memperlambat perkembangan penyakit ini dan dapat meningkatkan harapan
hidup penderita.
HIV dan AIDS di Indonesia
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI tahun 2019, terdapat lebih dari 50.000 kasus infeksi
HIV di Indonesia. Dari jumlah tersebut, kasus HIV paling sering terjadi pada heteroseksual,
diikuti lelaki seks lelaki (LSL) atau homoseksual, pengguna NAPZA suntik (penasun), dan
pekerja seks.
Sementara itu, jumlah penderita AIDS di Indonesia cenderung meningkat. Di tahun 2019,
tercatat ada lebih dari 7.000 penderita AIDS dengan angka kematian mencapai lebih dari 600
orang.
Akan tetapi, dari tahun 2005 hingga 2019, angka kematian akibat AIDS di Indonesia terus
mengalami penurunan. Hal ini menandakan pengobatan di Indonesia berhasil menurunkan angka
kematian akibat AIDS.
Gejala HIV dan AIDS
Kebanyakan penderita mengalami flu ringan pada 2–6 minggu setelah terinfeksi HIV. Flu bisa
disertai dengan gejala lain dan dapat bertahan selama 1–2 minggu. Setelah flu membaik, gejala
lain mungkin tidak akan terlihat selama bertahun-tahun meski virus HIV terus merusak
kekebalan tubuh penderitanya, sampai HIV berkembang ke stadium lanjut menjadi AIDS.
Pada kebanyakan kasus, seseorang baru mengetahui bahwa dirinya terserang HIV setelah
memeriksakan diri ke dokter akibat terkena penyakit parah yang disebabkan oleh melemahnya
daya tahan tubuh. Penyakit parah yang dimaksud antara lain diare kronis, pneumonia,
atau toksoplasmosis otak.
Penyebab dan Faktor Risiko HIV dan AIDS
Penyakit HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus atau HIV, sesuai dengan nama
penyakitnya. Bila tidak diobati, HIV dapat makin memburuk dan berkembang menjadi AIDS.
Penularan HIV dapat terjadi melalui hubungan seks vaginal atau anal, penggunaan jarum suntik,
dan transfusi darah. Meskipun jarang, HIV juga dapat menular dari ibu ke anak selama masa
kehamilan, melahirkan, dan menyusui.
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan adalah sebagai berikut:

 Berhubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan dan tanpa menggunakan pengaman


 Menggunakan jarum suntik bersama-sama
 Melakukan pekerjaan yang melibatkan kontak dengan cairan tubuh manusia tanpa
menggunakan alat pengaman diri yang cukup
Lakukan konsultasi ke dokter bila Anda menduga telah terpapar HIV melalui cara-cara di atas,
terutama jika mengalami gejala flu dalam kurun waktu 2–6 minggu setelahnya.
Pengobatan HIV dan AIDS
Penderita yang telah terdiagnosis HIV harus segera mendapatkan pengobatan berupa terapi
antiretroviral (ARV). ARV bekerja mencegah virus HIV bertambah banyak sehingga tidak
menyerang sistem kekebalan tubuh.
Pencegahan HIV dan AIDS
Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghindari dan meminimalkan
penularan HIV:

 Tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah


 Tidak berganti-ganti pasangan seksual
 Menggunakan kondom saat berhubungan seksual
 Menghindari penggunaan narkoba, terutama jenis suntik
 Mendapatkan informasi yang benar terkait HIV, cara penularan, pencegahan, dan
pengobatannya, terutama bagi anak remaja

Upaya Pencegahan Penyakit Reproduksi


Salah satu bagian tubuh manusia yang rawan akan serangan penyakit atau kelainan adalah organ
reproduksi. Kelainan atau penyakit reproduksi ini bisa disebabkan berbagai faktor, baik bakteri,
virus, jamur, maupun karena disfungsi organ reproduksi lantaran adanya zat-zat kimia yang
masuk ke dalam tubuh.
Penyakit reproduksi sendiri adalah berbagai jenis penyakit yang terjadi pada organ-organ
reproduksi. Organ-organ reproduksi wanita meliputi sel telur, ovarium, tuba fallopi, uterus, dan
vagina. Sedangkan organ reproduksi pria terdiri dari sperma, testis, epididymis, vas derens,
uretra, dan penis.
Penyebaran penyakit reproduksi ini dapat diakibatkan oleh penularan dari orang tua yang
terinfeksi ke anaknya, transfusi darah, gaya hidup yang buruk seperti seks bebas dan jarum
suntik obat terlarang atau narkoba. Lalu bagaimana upaya pencegahan penyakit reproduksi ini?
Agar ini tidak menjadi ancaman bagi kesehatan tubuh, maka perlu menjaga kesehatan organ-
organ tersebut dengan baik agar terhindar dari penyakit dan kelainan organ reproduksi.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab utama dari penyebaran penyakit-penyakit organ
reproduksi manusia, seperti kurangnya kebersihan organ reproduksi dan gaya hidup yang buruk
(seks bebas dan penggunaan narkoba). Untuk mencegah itu, ada beberapa cara yang bisa
dilakukan, diantaranya:

 Penggunaan celana dan celana dalam yang berbahan dasar lembut, mudah menyerap
keringat dan tidak ketat.
 Membersihkan organ reproduksi hingga benar-benar bersih setelah buang air kecil dan
besar.
 Mengganti celana secara rutin dalam sehari.
 Memotong rambut pada daerah organ reproduksi untuk menghindari kuman.
 Bagi wanita, disaat menstruasi dianjurkan mengganti pembalut secara rutin agar darah
yang terkumpul tidak menyebabkan tumbuhnya kuman.
 Hindari penggunaan sabun pembersih daerah kewanitaan secara rutin agar tidak
menghilangkan bakteri baik dalam vagina, sehingga jamur dapat tumbuh.
 Berolahraga dan mengonsumsi buah dan sayur sangat baik untuk kesehatan.

Disamping itu, gaya hidup yang buruk seperti seks bebas dan penggunaan narkoba juga dapat
berdampak buruk bagi organ reproduksi manusia. Karenanya penting bagi kita untuk menjaga
pergaulan dan memilih lingkungan yang baik agar tidak terjebak dalam seks bebas dan narkoba.
Bijaklah dalam menggunakan internet dengan tidak mengakses gambar dan video porno yang
secara tidak langsung akan mempengaruhi diri kamu untuk melakukan kegiatan buruk seperti
seks bebas.
Gonore
Kencing nanah atau gonore adalah salah satu penyakit menular seksual. Penyakit ini dapat dialami
oleh siapa saja, baik pria maupun wanita, meski umumnya dialami oleh pria. Gonore biasanya terjadi
di bagian tubuh yang hangat dan lembap, seperti kelamin, anus, atau tenggorokan.
Gonore umumnya tidak menimbulkan gejala, terutama pada wanita. Namun, jika tidak ditangani
dengan tepat, gonore dapat menimbulkan komplikasi yang serius, seperti radang panggul pada
wanita, serta epididimitis pada pria. Oleh karena itu, pengobatan gonore harus dilakukan secara
tepat dan segera.
Penyebab dan Gejala Gonore
Gonore disebabkan oleh infeksi bakteri yang menular melalui hubungan intim, termasuk seks
oral (lewat mulut) dan seks anal (lewat anus). Seseorang lebih berisiko terkena gonore jika
melakukan hubungan seksual yang tidak aman, misalnya sering berganti pasangan seks dan tidak
menggunakan kondom.
Gonore dapat terjadi pada siapa saja, tetapi gejala yang muncul pada pria dan wanita berbeda.
Gejala pada pria berupa keluarnya nanah dari penis dan sakit saat buang air kecil. Sedangkan
pada wanita, gonore bisa menimbulkan keputihan yang terus-menerus dan perdarahan di luar
masa menstruasi.
Gonore juga dapat terjadi pada bayi akibat tertular dari ibunya selama proses persalinan. Bayi
yang terkena gonore dapat mengalami keluhan berupa mata kemerahan dan mengeluarkan nanah.
Pengobatan dan Pencegahan Gonore
Pengobatan utama penyakit gonore adalah dengan pemberian antibiotik. Perlu diingat bahwa
pasangan seksual penderita juga perlu diobati, karena kemungkinan besar juga menderita gonore.
Seperti disebutkan di atas, penyakit ini menular melalui hubungan intim. Oleh sebab itu, cara
mencegah penyakit ini adalah dengan melakukan hubungan seksual yang aman, seperti
menggunakan kondom dan tidak bergonta-ganti pasangan seks.
Sifilis
Raja singa atau sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh bakteri. Gejala sifilis
diawali dengan munculnya luka yang tidak terasa sakit di area kelamin, mulut, atau dubur.
Luka atau ulkus pada area kelamin yang menjadi gejala sifilis (sipilis) sering kali tidak terlihat
dan tidak terasa sakit sehingga tidak disadari oleh penderitanya. Meski begitu, pada tahap ini,
infeksi sudah bisa ditularkan ke orang lain.
Tanpa penanganan yang cepat dan tepat, sifilis dapat merusak otak, jantung, dan organ lain. Pada
ibu hamil, infeksi juga berbahaya karena dapat menyebabkan kondisi janin tidak normal, bahkan
kematian pada bayi. Oleh karena itu, kondisi ini perlu didiagnosis dan diobati sedini mungkin.
Penyebab dan Gejala Sifilis
Sifilis disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema pallidum yang menyebar melalui hubungan
seksual dengan penderita raja singa. Bakteri penyebab sifilis juga bisa menyebar melalui melalui
kontak fisik dengan luka di tubuh penderita.
Gejala sipilis digolongkan sesuai dengan tahap perkembangan penyakitnya. Tiap jenis sifilis
memiliki gejala yang berbeda. Berikut adalah penjelasannya:

 Sifilis primer
Sifilis jenis ini ditandai dengan luka (chancre) di tempat bakteri masuk.
 Sifilis sekunder
Sifilis jenis ini ditandai dengan munculnya ruam pada tubuh.
 Sifilis laten
Sifilis ini tidak menimbulkan gejala, tetapi bakteri ada di dalam tubuh penderita.
 Sifilis tersier
Sifilis ini dapat menyebabkan kerusakan otak, saraf, jantung, atau organ lain.
Pengobatan dan Pencegahan Sifilis
Pengobatan siflis akan lebih efektif jika dilakukan pada tahap awal. Selama masa pengobatan,
penderita dianjurkan untuk tidak melakukan hubungan seks, sampai dokter memastikan infeksi
sudah sembuh.
Sifilis dapat dicegah dengan perilaku seks yang aman, yaitu setia pada satu pasangan seksual dan
menggunakan kondom setiap berhubungan intim. Selain itu, pemeriksaan atau skrining terhadap
penyakit sifilis ini juga perlu dilakukan secara rutin pada orang-orang yang berisiko tinggi
mengalami penyakit ini.
Herpes Genital (Herpes Simplex)
Herpes kelamin atau herpes genital adalah penyakit menular seksual pada pria dan wanita, yang
ditandai dengan luka lepuh di area kelamin. Namun, herpes genital juga terkadang tidak menimbulkan
gejala apa pun sehingga kondisi ini sering tidak disadari oleh penderitanya.
Herpes genital atau herpes kelamin adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus. Penyakit
ini paling sering menular melalui hubungan seks dengan orang yang terinfeksi virus ini. Selain
itu, herpes genital juga dapat menular dari ibu hamil ke janinnya.
Herpes pada bayi juga bisa terjadi ketika bayi dicium oleh orang yang memiliki luka lepuhan
akibat herpes di mulutnya.
Gejala dan Komplikasi Herpes Genital
Herpes genital sering kali tidak menimbulkan gejala. Jika muncul, keluhannya adalah luka lepuh
di area kelamin yang disertai rasa sakit dan gatal. Gejala ini bisa kambuh beberapa kali dalam
setahun. Namun, seiring terbentuknya sistem kekebalan tubuh terhadap virus herpes, frekuensi
kekambuhannya akan berkurang.
Jika dibiarkan, herpes genital atau herpes kelamin dapat menyebabkan komplikasi lain yang
berbahaya. Selain penyakit menular seksual lain, seperti HIV, penderita herpes genital juga dapat
terkena peradangan pada ujung usus besar (rektum) atau kandung kemih.
Pengobatan dan Pencegahan Herpes Genital
Penderita herpes genital perlu diberikan obat antivirus. Pemberian obat ini bertujuan untuk
memperpendek lama kemunculan gejala dan mencegah penularan penyakit ini kepada orang lain.
Pencegahan herpes genital adalah dengan melakukan hubungan seksual yang aman, misalnya
dengan tidak bergonta-ganti pasangan. Jika Anda pernah mengalami herpes genital, bicarakan
kondisi ini dengan pasangan dan sarankanlah ia untuk menjalani pemeriksaan agar dapat segera
diobati jika tertular.
Keputihan
Keputihan adalah kondisi ketika lendir kental atau cairan bening keluar dari vagina. Keputihan
merupakan cara alami tubuh untuk menjaga kebersihan, kelembapan, serta untuk melindungi
organ intim wanita dari infeksi.
Ketika seorang wanita mengalami keputihan, cairan yang diproduksi kelenjar vagina dan leher
rahim akan keluar membawa sel mati dan bakteri. Hal tersebut merupakan proses alami agar
vagina tetap bersih sekaligus terlindung dari infeksi.
Keputihan normal terjadi pada wanita yang masih mengalami menstruasi. Pada ibu hamil,
keputihan mungkin akan lebih sering terjadi akibat perubahan hormon. Ketika wanita memasuki
masa menopause, keputihan akan mulai berkurang.
Penyebab Keputihan
Keputihan terbagi menjadi dua, yakni keputihan normal dan keputihan tidak normal (abnormal).
Berikut ini adalah penjelasan dari keduanya:
Keputihan normal
Keputihan adalah kondisi normal yang dialami oleh setiap wanita. Jumlah, warna, dan tekstur
keputihan yang dialami setiap wanita dapat berbeda-beda, mulai dari keputihan yang kental dan
lengket, hingga keputihan yang bening dan berair.
Keputihan normal terjadi setidaknya 6 bulan sebelum wanita mengalami menstruasi untuk
pertama kalinya. Kondisi ini dipengaruhi oleh perubahan hormon di dalam tubuh. Keputihan
juga normalnya keluar saat wanita menerima rangsangan seksual, sedang menyusui, atau
mengalami stres.
Selain itu, keputihan juga bisa terjadi pada bayi baru lahir. Terkadang, keputihan pada bayi baru
lahir juga disertai dengan sedikit darah. Hal ini terjadi ketika bayi terlalu banyak terpapar oleh
hormon ibu saat masih di dalam kandungan. Namun, keputihan ini umumnya akan menghilang
setelah bayi berusia 2 minggu.
Keputihan tidak normal
Keputihan yang tidak normal dapat disebabkan oleh infeksi jamur, bakteri, atau parasit. Infeksi
pada keputihan abnormal terbagi menjadi dua jenis, yakni infeksi tidak menular dan infeksi
menular.
Penyebab keputihan dari infeksi tidak menular misalnya akibat vaginosis bakterialis dan
candidiasis. Sementara itu, keputihan dari infeksi menular umumnya disebabkan oleh penyakit
menular seksual (PMS), seperti chlamydia, trikomoniasis, dan gonore.
Selain infeksi, keputihan juga bisa menjadi tanda kanker pada rahim atau leher rahim (serviks).
Ada beberapa faktor yang dapat membuat seorang wanita rentan terserang infeksi vagina dan
mengalami keputihan, antara lain:

 Mengonsumsi pil KB dan obat kortikosteroid


 Menderita penyakit diabetes
 Berhubungan seksual tanpa kondom dan sering berganti pasangan
 Memiliki daya tahan tubuh lemah, misalnya akibat penyakit HIV & AIDS
 Mengalami iritasi di dalam atau sekitar vagina
 Menipisnya dinding vagina akibat menopause
 Terlalu sering membersihkan area kewanitaan dengan sabun yang mengandung parfum
dan sabun antiseptik
Gejala Keputihan
Keputihan yang tergolong normal dapat terlihat dari ciri-ciri cairan yang keluar dari vagina,
antara lain:

 Tidak berwarna atau berwarna putih


 Tidak berbau atau tidak mengeluarkan bau menyengat
 Meninggalkan bercak kekuningan di celana dalam
 Memiliki tesktur cairan yang dapat berubah tergantung siklus menstruasi

Sedangkan pada keputihan yang tidak normal, tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:

 Cairan keputihan berbeda warna, bau, atau tekstur dari biasanya


 Cairan keputihan keluar lebih banyak dari biasanya
 Keluar darah di luar jadwal haid

Keputihan yang abnormal tersebut dapat disertai dengan keluhan:

 Gatal di area kewanitaan


 Nyeri di panggul
 Nyeri saat buang air kecil
 Rasa terbakar di sekitar vagina

Perubahan warna pada cairan keputihan dapat menjadi tanda dari kondisi tertentu, seperti
dijelaskan di bawah ini:

 Keputihan berwarna coklat atau disertai bercak darah bisa disebabkan oleh siklus
menstruasi yang tidak teratur, atau bisa juga merupakan tanda dari kanker pada rahim
atau leher rahim
 Keputihan berwarna hijau atau kekuningan dan berbuih dapat disebabkan oleh
penyakit trikomoniasis
 Keputihan berwarna kelabu atau kekuningan dapat disebabkan oleh gonore
 Keputihan berwarna putih dan kental dapat disebabkan oleh infeksi jamur pada vagina
 Keputihan berwarna putih, abu-abu, atau kuning, serta disertai dengan bau amis, dapat
disebabkan oleh penyakit vaginosis bakterialis
 Keputihan berwarna merah muda bisa disebabkan oleh peluruhan lapisan rahim yang
terjadi setelah melahirkan
Kapan harus ke dokter
Waspadai jika cairan keputihan mengalami perubahan warna, tekstur, dan bau. Kondisi ini dapat
menjadi tanda keputihan yang berbahaya atau tidak normal, yang bisa disebabkan oleh infeksi
atau kelainan organ reproduksi. Keputihan dengan ciri seperti itu dapat menjadi tanda penyakit
kelamin wanita.
Lakukan pemeriksaan ke dokter jika Anda mengalami keputihan dengan tanda dan gejala yang
tidak normal seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Terlebih, jika gejala tidak kunjung
membaik setelah menjalani perawatan mandiri di rumah.
Diagnosis Keputihan
Untuk menentukan apakah keputihan bersifat normal atau tidak normal, dokter akan menanyakan
gejala yang dialami, siklus menstruasi, dan riwayat hubungan seksual. Selanjutnya, dokter akan
melakukan pemeriksaan panggul untuk memeriksa kondisi organ reproduksi wanita, seperti
vagina, serviks, dan rahim.
Keputihan yang tidak normal umumnya sudah dapat dideteksi pada pemeriksaan awal. Namun,
dokter dapat menganjurkan pasien untuk menjalani pemeriksaan tambahan agar diagnosis lebih
pasti, seperti:

 Tes pH, untuk memeriksa tingkat keasaman lendir vagina dan mendeteksi tanda infeksi
pada vagina
 Pemeriksaan sampel cairan vagina, untuk mendeteksi keberadaan jamur, bakteri, atau
parasit yang menyebabkan keputihan
 Tes infeksi menular seksual, untuk mendeteksi tanda atau gejala dari infeksi menular
seksual, seperti gonore, chlamydia, dan trikomoniasis
 Pap smear, untuk mendeteksi kelainan pada jaringan leher rahim (serviks)

Pengobatan Keputihan
Keputihan yang normal tidak memerlukan penanganan medis secara khusus. Kondisi ini bisa
diatasi dengan membersihkan area kewanitaan menggunakan air secara rutin, untuk
menghilangkan lendir atau cairan.
Sedangkan cara mengatasi keputihan abnormal tergantung pada penyebabnya, misalnya dengan
pemberian obat, seperti:
 Antibiotik, seperti clindamycin, untuk menghilangkan bakteri penyebab keputihan.
Antibiotik tersedia dalam bentuk pil atau krim oles.
 Antijamur, seperti fluconazole, clotrimazole, dan miconazole, untuk mengatasi infeksi
jamur yang menyebabkan keputihan. Obat ini tersedia dalam bentuk krim atau gel yang
dioleskan di bagian dalam vagina.
 Metronidazole atau tinidazole, untuk mengatasi keputihan yang disebabkan oleh parasit
penyebab penyakit trikomoniasis. Obat ini hanya bisa didapatkan dengan resep dokter.
Selain dengan obat-obatan dari dokter, keputihan juga bisa diatasi dengan obat keputihan
tradisional. Namun, penggunaan obat-obatan tradisional tersebut harus dikonsultasikan dengan
dokter terlebih dahulu.
Sementara bila keputihan yang dialami merupakan tanda dari kanker rahim, dokter dapat
menganjurkan operasi pengangkatan rahim (histerektomi).
Komplikasi Keputihan
Keputihan yang tergolong tidak normal dapat menimbulkan berbagai komplikasi medis. Jika
tidak diobati, beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat keputihan abnormal adalah:
 Infeksi dan peradangan pada organ reproduksi
 Toxic shock syndrome
 Polip serviks
 Kemandulan
 Kehamilan ektopik
 Komplikasi kehamilan, seperti kelahiran prematur dan berat badan lahir rendah

Pencegahan Keputihan
Langkah utama untuk mencegah keputihan abnormal adalah menjaga kebersihan area
kewanitaan agar terhindar dari risiko infeksi. Cara yang bisa dilakukan yaitu:
 Bersihkan vagina menggunakan sabun dan air hangat dari arah depan ke belakang setelah
buang air kecil atau besar dan berhubungan seks, untuk mencegah bakteri dari dubur
masuk ke dalam vagina
 Gunakan celana dalam berbahan katun untuk menjaga kelembapan pada area kewanitaan,
dan jangan memakai celana dalam yang terlalu ketat
 Hindari penggunaan sabun atau produk kewanitaan yang mengandung parfum, karena
dapat mengganggu keseimbangan bakteri baik pada vagina
 Jaga kebersihan vagina selama menstruasi dengan mengganti pembalut setidaknya setiap
3–5 jam sekali
 Ganti celana dalam dan pantiliners secara rutin
 Gunakan kondom setiap berhubungan seks dan hindari berganti pasangan seksual agar
terhindar dari risiko infeksi menular seksual
 Lakukan pemeriksaan kesehatan vagina secara rutin ke dokter, setidaknya 1 tahun sekali
Epididimitis
Epididimitis adalah peradangan epididimis yang umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri dan
ditandai dengan pembengkakan buah zakar. Kondisi ini dapat terjadi pada pria dalam berbagai
usia, tetapi paling sering pada kelompok usia 19–35 tahun.
Epididimis adalah tabung yang menyambungkan testis dengan vas deferens, yaitu saluran akan
membawa sperma ke penis. Fungsi epididimis adalah sebagai tempat pematangan sperma. Selain
itu, epididimis juga dapat berkontraksi untuk mendorong sperma keluar saat ejakulasi.
Saat terjadi epididimitis, peradangan menyebabkan bengkak dan nyeri pada epididimis. Kondisi
ini biasanya akan membaik dengan antibiotik. Namun, jika terlambat ditangani, peradangan
dapat menyebar hingga ke testis (epididymo-orchitis).
Penyebab Epididimitis
Epididimitis dapat disebabkan oleh penyakit infeksi atau penyakit noninfeksi. Berikut ini adalah
penjelasannya:
Penyakit infeksi
Jenis penyakit infeksi yang menyebabkan epididimitis antara lain:
 Infeksi menular seksual, seperti chlamydia dan gonore
 Infeksi virus, misalnya Adenovirus, Enterovirus, dan Influenza
 Infeksi bakteri Escherichia coli (E. coli)
 Infeksi oportunistik, seperti cryptococcus dan cytomegalovirus pada penderita HIV
 TBC (tuberkulosis)
 Gondongan
Penyakit noninfeksi
Meski umumnya disebabkan oleh infeksi, epididimitis juga dapat disebabkan oleh penyakit
noninfeksi, seperti:
 Pembesaran prostat
 Refluks urine, yaitu kondisi ketika urine mengalir ke epididimis yang umumnya terjadi
akibat meregangkan tubuh secara berlebihan atau mengangkat barang berat
 Torsio testis
 Cedera di area selangkangan
 Penyakit Behçet
 Komplikasi operasi pada kelamin, misalnya vasektomi
 Penggunaan kateter urine dalam jangka panjang
 Efek samping obat amiodarone
Faktor risiko epididimitis
Ada sejumlah faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang terkena epididimitis, yaitu:
 Berhubungan intim dengan penderita penyakit menular seksual tanpa menggunakan
kondom
 Memiliki riwayat infeksi menular seksual, pembesaran prostat, atau infeksi saluran kemih
 Pernah menjalani prosedur medis pada saluran urine, prostat, atau kandung kemih
 Memiliki kelainan pada saluran kemih
 Tidak disunat
Gejala Epididimitis
Berikut ini adalah beberapa gejala yang dapat dialami oleh penderita epididimitis:
 Kelainan pada skrotum, seperti bengkak, terasa hangat, dan merah
 Nyeri, biasanya pada salah satu testis dan muncul bertahap
 Nyeri atau rasa tidak nyaman di perut bagian bawah atau panggul
 Sering buang air kecil
 Sakit saat buang air kecil
 Ujung penis mengeluarkan cairan atau nanah
 Terdapat darah pada sperma
 Pembesaran kelenjar getah bening di pangkal paha
 Demam
Kapan harus ke dokter
Segera lakukan pemeriksaan ke dokter jika mengalami keluhan di atas, terutama jika muncul
nyeri di testis yang tidak hilang setelah 4 hari. Dengan memeriksakan diri ke dokter sejak dini,
risiko komplikasi akibat epididimis dapat dihindari.
Diagnosis Epididimitis
Dokter akan menanyakan gejala dan riwayat penyakit pasien, kemudian melakukan pemeriksaan
fisik untuk melihat tanda-tanda epididimitis pada penis dan testis. Bila diperlukan, dokter akan
melakukan pemeriksaan colok dubur untuk mendeteksi gangguan di kelenjar prostat.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan oleh dokter adalah:
 Tes darah dan urine, untuk memeriksa keberadaan infeksi pada saluran kemih.
 Pemeriksaan sampel cairan yang keluar dari penis, untuk mendeteksi kemungkinan
penyakit menular seksual.
 Ultrasound (USG) Doppler, untuk memeriksa kelancaran aliran darah di testis atau
mendeteksi torsio testis.
Pengobatan Epididimitis
Penanganan epididimitis bertujuan untuk mengatasi infeksi dan meredakan gejala yang dialami
pasien. Metode pengobatannya, antara lain:
Obat-obatan
Pada epididimitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri, dokter akan meresepkan antibiotik,
seperti ceftriaxone, doxycycline, atau levofloxacin. Antibiotik tersebut dikonsumsi selama 1–2
minggu. Jika infeksinya adalah infeksi menular seksual, pasangan pasien juga harus
mengonsumsi antibiotik
Pasien umumnya membaik dalam 2–3 hari setelah mengonsumsi antibiotik. Namun, penting
untuk diingat bahwa antibiotik harus dikonsumsi sampai habis meskipun gejala sudah mereda.
Setelah antibiotik habis pun, disarankan untuk melakukan pemeriksaan ke dokter untuk
memastikan bahwa infeksi sudah benar-benar hilang.
Selain antibiotik, dokter juga dapat meresepkan obat pereda nyeri dan radang, seperti ibuprofen
atau paracetamol.
Bedah
Jika telah terbentuk abses (kumpulan nanah) di epididimis, dokter akan melakukan prosedur
bedah untuk mengeluarkan nanah tersebut. Pada epididimitis yang parah, dokter mungkin akan
menjalankan epididimektomi atau operasi pengangkatan saluran epididimis.
Selain untuk memperbaiki epididimis, bedah juga dapat dilakukan untuk memperbaiki saluran
kemih yang tidak normal dan memicu terjadinya epididimitis.
Perawatan mandiri
Pasien dapat melakukan upaya sederhana di rumah untuk membantu meredakan nyeri, seperti:
 Menyanggahkan kaki ke tempat yang lebih tinggi dari badan saat berbaring agar skrotum
terangkat dan tidak tertekan
 Menggunakan celana yang bisa menopang skrotum
 Mengompres skrotum dengan air dingin
 Tidak mengangkat beban berat
 Tidak berhubungan intim sampai sembuh
Komplikasi Epididimitis
Jika dibiarkan tidak tertangani, epididimitis dapat berlangsung dalam jangka panjang (kronis)
dan menimbulkan beberapa komplikasi berikut:
 Abses (infeksi bernanah) pada skrotum
 Kematian jaringan di testis (testicular infarction) akibat kekurangan darah
 Orchitis, yaitu peradangan pada testis yang dapat menyebar dari epididimis
 Robeknya lapisan kulit skrotum
 Hipogonadisme (kekurangan hormon testosteron)
 Gangguan kesuburan
Pencegahan Epididimitis
Cara untuk mencegah epididimitis adalah dengan menghindari faktor yang dapat meningkatkan
risiko terserang epididimitis, yaitu:
 Melakukan hubungan seks yang aman, yaitu dengan menggunakan kondom dan tidak
berganti-ganti pasangan
 Memeriksakan diri ke dokter jika memiliki riwayat penyakit yang berisiko memicu
epididimitis
 Berkonsultasi dengan dokter mengenai perlunya konsumsi antibiotik sebelum menjalani
operasi
 Melakukan sunat jika belum

Anda mungkin juga menyukai