Anda di halaman 1dari 4

Nama: Mahdavikia

Kelas : B (PGSD)
Nim : 1107622045

Pancasila Dijadikan Alat Oleh Politik Setiap Rezim Penguasa nya Antara
Lain Rezim Soekarno, Soeharto, atau Pasca Reformasi Khususnya Jokowi

Pancasila dicetuskan dan ditetapkan sebagai dasar negara dengan tujuan menjadi alat
pemersatu serta pedoman negara Republik Indonesia. Namun, sebagian pihak meyakini rezim
demi rezim menyalahgunakan Pancasila sebagai alat kekuasaan. Pancasila lahir dalam rapat
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Merujuk risalah
rapat BPUPKI, Mohammad Yamin, Soepomo dan Sukarno menyampaikan gagasan tentang
dasar negara Indonesia setelah merdeka. Anggota rapat lantas menyetujui konsep yang diusung
Sukarno lewat pidato menggebu-gebu pada 1 Juni 1945. Kemudian, dibentuk panitia untuk
menindak lanjuti usulan Sukarno hingga Pancasila ditetapkan.
Ria Casmi Arrsa dalam bukunya bertajuk Deideologi Pancasila (2011), menyebut
perdebatan dasar negara Indonesia belum selesai meski sudah merdeka. Terlihat dari rapat-rapat
Dewan Konstituante yang dipenuhi gesekan pandangan. Dewan Konstituante sendiri dibentuk
dari hasil Pemilu 1955 yang bertugas menyusun undang-undang dasar (UUD) baru. pengganti
UUD Sementara tahun 1950. Rapat Dewan Konstituante selalu panas. Fraksi-fraksi partai politik
dan golongan di dalamnya tak pernah bisa mencapai kata sepakat. Sebanyak 52 persen anggota
Konstituante setuju Indonesia tetap menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Di saat yang
sama, 48 persen lainnya memilih Islam sebagai dasar negara.
Sukarno, yang saat itu menjabat sebagai kepala negara, gusar lantaran Dewan
Konstituante tak kunjung mampu menghasilkan UUD yang baru. Dia lalu membubarkan Dewan
Konstituante. Sukarno kemudian menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dia kembali
menerapkan UUD 1945 lalu memulai rezim Demokrasi Terpimpin atau yang kerap disebut
sebagai Orde Lama.
Orde Lama ( Soekarno )
Di masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno mencetuskan konsep Nasakom (Nasionalis,
Agama, Komunis). Dia berupaya merangkul kelompok komunis yang selama periode 1950-an
kerap tidak diajak kelompok nasionalis dan agamis dalam pembentukan kabinet parlementer
padahal memiliki suara keempat terbanyak di DPR. Arrsa menilai konsep Nasakom merupakan
awal membawa Pancasila sebagai alat politik. Semua seolah dipaksa setuju, padahal kala itu
pertentangan kelompok agamis dengan komunis sudah sangat kental di berbagai lapisan
masyarakat. "Dikeluarkannya ajaran Nasakom sama saja dengan upaya untuk memperkuat
kedudukan presiden sebab jika menolak Nasakom sama saja dengan menolak presiden," tulis
Arrsa dalam buku tersebut.
Di masa itu, Sukarno membubarkan Partai Sosialis Indonesia dan partai Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi). Sukarno juga menasbihkan dirinya sebagai kepala negara,
kepala pemerintahan serta panglima angkatan perang. Semua anggota DPR pun ditunjuk
olehnya.

Orde Baru ( Soeharto )


Pada era 1960-an, Arrsa menyebut Pancasila digunakan oleh kelompok anti komunis.
Kelompok itu memakai Pancasila sebagai pembenaran atas pembantaian massal terhadap orang-
orang yang dianggap komunis setelah prahara 1965. Orde Baru melanjutkan kecenderungan
penggunaan Pancasila sebagai alat kekuasaan. Soeharto memberi tafsir tunggal kepada Pancasila.
Ia juga menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang tidak dapat diganggu gugat. "Formulasi yang
dicetuskan oleh Soeharto untuk memberikan tafsir terhadap Pancasila dengan pedoman,
penghayatan, dan pengamalan Pancasila (P4) yang mana eksistensi keberadaan P4 diperkuat
melalui Ketetapan MPR No. II/MPR/1978," ucap Arrsa.
Arrsa menyebut Orde Baru juga mendelegitimasi Sukarno lewat tafsir Pancasila mereka.
Salah satu manuver Orde Baru adalah menggelar Simposium Kebangkitan Semangat 66:
Mendjelajah Tracee Baru di Universitas Indonesia, 6-9 Mei 1966. Simposium menyatakan
Nasakom gagal.
Reformasi
Pada awal reformasi 1998, Arrsa menilai para pemimpin menghindari pembicaraan Pancasila.
Mulai dari B.J. Habibie hingga Megawati jarang tampil untuk menyuarakan nilai-nilai Pancasila
dan penerapannya. Dugaan Arrsa itu dikuatkan lagi oleh pidato Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) pada 1 Juni 2006. SBY mengakui pembahasan Pancasila mulai luput dari
ruang publik sejak Orde Baru runtuh. "Kita merasakan, dalam delapan tahun terakhir ini, di
tengah-tengah gerak reformasi dan demokratisasi yang berlangsung di negeri kita, terkadang
kita kurang berani, kita menahan diri, untuk mengucapkan kata-kata semacam Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Wawasan Kebangsaan, Stabilitas,
Pembangunan, Kemajemukan dan lain-lain," ucap SBY.
"Karena bisa-bisa dianggap tidak sejalan dengan gerak reformasi dan demokratisasi. Bisa-bisa
dianggap tidak reformis," sambungnya.
Pancasila kembali sering didengungkan pada masa pemerintahan Joko Widodo. Pada
2016, Jokowi menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila lewat Keputusan Presiden Nomor
24 tahun 2016. Hari Lahir Pancasila 1 Juni juga ditetapkan sebagai hari libur nasional. Selain itu,
Jokowi juga membentuk Badan Ideologi Pembina Pancasila (BPIP) pada 28 Februari 2018.
Badan itu sah terbentuk dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2018 tentang
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila sebagai landasan.

Stempel Politik ERA ( Joko Widodo )


Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai ada kecenderungan penyalah gunaan
Pancasila sebagai alat politik di berbagai era. Dia berpendapat kecenderungan itu juga terjadi di
era pemerintahan Joko Widodo. Refly berpendapat ada pemisahan antar kelompok masyarakat di
masa pemerintahan Jokowi. Dia menyebut kelompok yang tidak sejalan dengan pemerintah akan
dirundung oleh buzzer atau pendengung di media sosial. Para buzzer, kata dia, akan
menggunakan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI sebagai stempel politik. Kelompok yang tak
sejalan akan dicap tidak Pancasilais. "Itu sudah terjadi sejak zaman Bung Karno, sejak Orde
Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, terutama pada zaman Presiden Jokowi mulai lagi Pancasila
dijadikan stempel, judgement. Misalnya, untuk menilai saya Pancasila bahwa yang lain bukan,"
kata Refly saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (27/5).
Pendapat serupa juga disampaikan pengamat politik Universitas Andalas Asrinaldi. Dia
berpendapat ada kecenderungan Pancasila digunakan sebagai alat penghakiman tetapi bukan di
pengadilan. Asrinaldi melihat penghakiman itu dilakukan terhadap kelompok-kelompok yang
keras mengkritik pemerintah. Lebih khusus, terhadap kelompok beraliran Islam. "Saya pikir itu
jadi justifikasi ya bahwa ini dianggap tidak Pancasilais. Dikait-kaitkan ke sana. Sebenarnya
kalau kita lihat ada label Islam garis keras, radikalisme, barang kali tidak sesuai Pancasila,
tapi kalau hanya kesadaran mereka menjalankan agama kan dijamin Pancasila," ucap Asrinaldi
kepada CNNIndonesia.com, Jumat (28/5).
Terpisah, Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
Antonius Benny Susetyo membantah anggapan-anggapan itu. Dia menegaskan pemerintahan
Jokowi tak pernah menggunakan Pancasila sebagai alat politik kekuasaan. Benny menyampaikan
penggunaan Pancasila sebagai alat pemukul lawan politik terjadi pada Orde Baru. Ia mengenang
perjuangannya menolak penggusuran Kedung Ombo saat Orde Baru hendak membangun waduk
dengan pendanaan Bank Dunia. "Kalau Orde Baru kita ngomong saja enggak bisa apa-apa,
dikejar-kejar. Ketika Kedung Ombo kan alasannya itu. Orang yang menolak pembangunan
Kedung Ombo kan disebut anti pancasila, di-PKI-kan," ucap Benny saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Jumat (28/5).
Dia menyebut keadaan berubah pascareformasi. Menurutnya, saat ini Pancasila telah
kembali menjadi ideologi dan dasar negara, bukan alat politik kekuasaan. Lebih lanjut, Benny
menilai pemerintahan Jokowi juga tak mengotak-atik Pancasila sebagai dasar negara. Dia
menyebut pemerintah tidak pernah menyingkirkan orang-orang yang mengkritik. "Kekhawatiran
itu berlebihan lah. Kenyataannya negara ini demokratis kok. Justru yang ditangkap itu ketika
menyebarkan kebencian, SARA, menyebarkan yang meresahkan publik, itu yang diproses,"
ucapnya.

Anda mungkin juga menyukai