Anda di halaman 1dari 4

Nama : Khalisdhia Falah Baldimaron

NIM : 1304620056

Penugasan : Project Citizen

PANCASILA SEBAGAI ALAT POLITIK REZIM PRESIDEN SOEHARTO

Selama kurang lebih 30 tahun, Soeharto membungkap oposisi melalui Pancasila.


Pengesahan Pancasila sebagai Asas Tunggal, istilah mengerikan yang digunakan pada tahun
1980-an untuk mempersempit ruang pergerakan kelompok-kelompok politik yang tidak sejalan
dengan visi dan misi pemerintah saat itu.

Banyak organisasi keagamaan yang menolak keputusan tersebut. Organisasi keagamaan


seperti Nadhlatul Ulama awalnya keberatan. Sementara organisasi mahasiswa seperti Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), yang mendukung berdirinya Orde Baru pada 1966 pun pecah.
Organisasi yang tak sepakat dengan asas tunggal, menyempal menjadi HMI-MPO (Majelis
Penyelamat Organisasi).

Pemakaian Pancasila sebagai alat pemberangusan politik tidak semulus yang terlihat.
Dalam satu bab disertasinya yang kemudian dibukukan, Illiberal Democracy in Indonesia: The
ideology of the family state (2014), David Bourchier menjelaskan kesulitan-kesulitan yang
dialami rezim Orde Baru saat mengklaim Pancasila.

Meskipun sejak 1968 Soeharto menamakan praktik pemerintahannya sebagai “Demokrasi


Pancasila, Pancasila sendiri telah ditafsirkan berulangkali dantidak selalu sejalan dengan visi dan
misi rezim. Ada perjalanan yang tak mulus dari klaim “Demokrasi Pancasila” menuju penataran
P4 yang wajib diikuti semua pelajar dan pegawai negeri sejak awal 1980-an.

David Bourchier menjelaskan Pancasila sebagai wacana oposisi pada era kepemimpinan
Susilo Bambang Yudhoyono, yang semakin dekat dengan kelompok-kelompok Islam konservatif
dan tunduk pada sejumlah fatwa intoleran MUI. Dalam kerangka tersebut, Pancasila berusaha
dibersihkan dari tafsir-tafsir militeristik Orde Baru dengan cara menonjolkan sisi demokrasi dan
kebhinnekaan. Salah satu momentum penting dari adopsi Pancasila sebagai wacana oposisi
adalah pawai yang digelar Aliansi Kebangsaan Kebebasan Beragama dan Menyatakan Pendapat
di Monas pada 1 Juni 2008. Pawai ini dikenal lantaran mendapat serangan dari Front Pembela
Islam.

Studi David Bourchier bersifat lebih luas dari Pancasila. Ia menginterogasi gagasan dan
praktik dari konsep negara integralistik, yang berkembang sejak republik didirikan. Dari model
negara integralistik ini muncullah konsep “kekeluargaan”: masyarakat dan negara diandaikan
sebagai satu entitas yang alamiah dan tak terpisah. Konsekuensinya, negara integralistik tidak
mengenal yang namamnya demokrasi dan hak asasi manusia.

Walaupun demikian, konsep negara integralistik pun merupakan ideologi impor. Ia tidak
lahir dari budaya suku-suku Nusantara, melainkan dari sarjana-sarjana hukum adat di Belanda—
dan juga di Jerman. Soepomo selaku penggagas negara integralistik di Indonesia, adalah
mahasiswa di Leiden ketika studi-studi hukum adat marak. Pada gilirannya, konsep ini jadi salah
satu fondasi fasisme di Eropa pada 1930-an. Dalam kerangka negara integralistik inilah
Pancasila berhenti menjadi suatu konsensus politik yang mendasari pendirian negara, alih-alih
alat tertib sosial untuk mempromosikan ideologi “kekeluargaan” Orde Baru.

Keputusasaan Soeharto, upaya-upaya menerapkan konsep Pancasila kadang berbalik


menjadi kritik atas kekuasaan Soeharto. Hambatan terbesar Soeharto tak lain adalah citra
Sukarno yang terlanjur melekat pada Pancasila. penggantian interpretasi juga dilakukan untuk
merespons kondisi yang sedang panas pada saat itu.

Pada tahun 1968, pemerintah Soeharto membentuk sebuah Laboratorium Pancasila yang
terletak di kampus IKIP Malang. Laboratorium ini dipimpin oleh Letkol Darji Darmodihardjo,
seorang pengacara sekaligus perwira Kodam Brawijaya. Lembaga ini nenpunyai tujuan untuk
membersihkan Pancasila dari interpretasi kiri, khususnya pada sila kedua dan kelima.

Sila kedua sering diartikulasikan sebagai internasionalisme pada zaman soeharto,


sementara kata “keadilan sosial” pada sila kelima sangat terbuka untuk ditafsirkan sebagai
sosialisme. Setelah 1965, ideolog-ideolog Orde Baru sangat berkepentingan, tulis Bourchier,
“menegaskan batasan antara Pancasila dan komunisme yang ‘ateistik’.” Model penafsiran ini
membuat masing-masing sila tersusun bak piramida, dengan sila pertama sebagai sila yang
paling puncak dan pokok.

Pada 1971, sejarawan militer Nugroho Notosusanto mengusulkan Hari Kelahiran


Pancasila yang bertanggal 1 juni dihapus dan diganti oleh Hari Kesaktian Pancasila (1 Oktober).
Alas an Nugroho dikarenakan sebelum Sukarno, Pancasila sudah dikonsepsikan oleh beberapa
pemikir seperti M. Yamin dan Soepomo.

Ketergantungan rezim Soeharto pada modal asing khususnya Jepang mengundang protes
besar dan memuncak hingga terjadi peristiwa Malari pada Januari tahun 1974. Jakarta diguncang
kerusuhan besar menyusul protes mahasiswa atas kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka.

Pada bulan April di tahun yang sama, Soeharto berpidato tentang pentingnya mengadopsi
metode ilmiah untuk menginterpretasikan Pancasila. Peristiwa Malari memaksa Soeharto
merespons sentimen nasionalis, salah satunya dengan mendirikan Yayasan 17 Agustus 1945.
Sejumlah pentolan Partai Nasional Indonesia (PNI) seperti Roeslan Abdulgani diundang
bergabung. Soeharto ingin memacak wajah seorang populis yang memakmurkan rakyat dengan
cara mengadopsi nasionalisme ekonomi.

Pada tahun 1975, demi menghasilkan tafsiran Pancasila yang paling definitif, Soeharto
membentuk Panitia Lima yang beranggotakan Hatta, Achmad Subardjo, Maramis, dan A.G.
Pringgodigdo. Panitia ini menghasilkan suatu rumusan Pancasila, yang justru mengkritik
kebijakan rezim atas kegagalannya menjalankan pasal 33 UUD 1945. Panitia Lima juga
mengkritik kebijakan pembangunan Soeharto yang dalam penuturan Panitia Lima sangat
mengandalkan teknokrat dan melupakan prinsip-prinsip koperasi.

Namun, pada tahun yang sama, rezim mulai memberlakukan kurikulum Pendidikan
Moral Pancasila (PMP) sebagai pengganti Pendidikan Kewarganegaraan dan pendidikan Budi
Pekerti. Tiga tahun kemudian, pada tahun 1978, Soeharto membelokkan kerangka diskusi
Pancasila dari semula sebagai falsafah politik menjadi pedoman berperilaku. Pendidikan P4 pun
diresmikan dan berlaku ke seluruh pelajar dan pegawai pemerintah melalui keputusan MPR no.
II/1978.
Re-definisi Pancasila yang dijadikan sebagai pedoman tingkah laku ini pula yang menjadi
sangat operasional kelak ketika rezim menghadapi perlawanan Islam politik sepanjang dekade
1980-an dan ketika rezim mulai memangkas subsidi dan melakukan deregulasi pada 1988.

Dalam kata-kata Ali Moertopo, operator politik Soeharto dan tsar intelijen pada saat itu,
P4 didesain untuk “mengindonesiakan masyarakat Indonesia.”

Moertopo mengklaim Pancasila digali dari nilai-nilai luhur budaya bangsa. Menurut
Moertopo, bangsa Indonesia tak butuh ideologi politik seperti sosialisme, komunisme,
liberalisme, ideologi agamis, bahkan nasionalisme, seperti yang juga ditekankan Soeharto dalam
pidatonya pada April 1980.

Buntut dari pidato soeharto ini adalah reaksi sejumlah kalangan sipil dan militer yang
menandatangani Petisi 50 pada Mei 1980. Di antara penandatangan petisi adalah A.H. Nasution,
Hoegeng, Ali Sadikin, dan Mohammad Natsir. Mereka menyatakan Soeharto telah
menyalahgunakan Pancasila sebagai “alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya.”

Pidato April itu sebetulnya momentum yang telah dinantikan Soeharto, yang
mendambakan ketertiban sosial sejak 1968. Kecaman Soeharto terhadap “ideologi-ideologi
asing” mencerminkan ketidaksukaannya terhadap kompetisi politik, sebagaimana yang terjadi
pada era "Demokrasi Terpimpin"-nya Sukarno, ketika mobilisasi massa menjadi fenomena
sehari-hari. Kenyataannya, fusi partai-partai politik ke dalam tiga partai besar pada 1971 terbukti
gagal meredam persaingan antar-golongan.

Karena berakhir jadi alat represi politik, Pancasila tak lagi politis. Sejak itu ia jadi
mantra, hafalan, dan etiket sosial yang diujikan tiap semester di sekolah-sekolah. Sejak itu pula
kampus-kampus sibuk dengan diskusi seputar Demokrasi Pancasila, Ekonomi Pancasila hingga,
yang paling absurd dari segalanya, gurauan “sepakbola Pancasila”.

Anda mungkin juga menyukai