Anda di halaman 1dari 2

Pengertian NASAKOM: Singkatan, Sejarah, Tujuan, Siapa Pencetusnya?

Singkatan NASAKOM adalah kepanjangan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, yang
mewarnai sejarah pemerintahan Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin tahun 1959 hingga
1965. Lantas, apa pengertian NASAKOM, tujuan, dan siapa pencetusnya? NASAKOM
dicetuskan oleh sang proklamator, Ir. Sukarno. Meskipun baru dikenal luas menjelang
berakhirnya dekade 1950-an, namun konsep ini sudah terpikirkan jauh sebelum Bung Karno
menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) pertama sejak 17 Agustus 1945. Konsep
NASAKOM kemudian diusulkan Sukarno pada Februari 1956. Konsep ini oleh Bung Karno
disebut sebagai tiga pilar utama Demokrasi Terpimpin dalam pemerintah Republik Indonesia,
yaitu pilar Nasionalis, pilar Agama, dan pilar Komunis.

Sejarah NASAKOM: Nasionalisme, Agama, Komunisme Gagasan tiga pilar utama sudah
terbersit dalam pikiran Sukarno sejak 1926, atau pada tahun yang sama ketika Bung Karno
mendeklarasikan berdirinya Partai Nasional Indonesia (PNI). Mengenai embrio NASAKOM,
Sukarno menulisnya dalam surat kabar Soeoleh Indonesia Moeda edisi 1926: “Dengan jalan
yang kurang sempurna, kita mencoba membuktikan bahwa paham Nasionalisme, Islamisme, dan
Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain,” tulis
Sukarno. “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, inilah asas-asas yang dipegang teguh oleh
pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi rohnya
pergerakan-pergerakan di Asia. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia kita ini,”
tambahnya. Pada masa pergerakan nasional kala itu, dalam pikiran Sukarno, ada 3 aliran politik
yang bisa dijadikan sebagai pilar utama kekuatan rakyat beserta wadah atau organisasi yang bisa
menaungi masing-masing tiga pilar tersebut. Terlebih, di Pemilu 1955, partai-partai politik yang
mewakili tiga ideologi besar itu menjadi pemenangnya, yakni PNI, Masyumi dan Nahdlatul
Ulama (NU), serta PKI.

Pilar pertama adalah golongan nasionalis yang diwakili Indische Partij (IP). IP sendiri adalah
organisasi pergerakan yang dibentuk pada 1912 oleh Tiga Serangkai yakni Tjipto
Mangoenkoesoemo, Douwes Dekker, dan Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara.
Pilar kedua adalah kelompok agamis yang diwakili oleh umat Islam sebagai golongan agama
terbesar. Menurut Sukarno, Sarekat Islam (SI) yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto layak
menjadi representasi kalangan agama ini. Pilar ketiga adalah Marxisme yang saat itu sepatutnya
diemban oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Kala itu, komunisme belum menjadi ideologi
terlarang, begitu pula dengan PKI yang terbentuk belum terlalu lama. Pada 1926 itu pula,
menjelang pergantian tahun baru 1927, PKI melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial
Hindia Belanda di Sumatera Barat. Namun, aksi tersebut bisa digagalkan dan tokoh-tokoh
komunis sempat menjadi incaran pemerintah kolonial.
Alasan Penerapan NASAKOM dan Tujuannya Konsep tiga pilar utama yang sempat terabaikan
kembali didengungkan Sukarno setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada 1956. Alasan dan
tujuan Bung Karno saat itu adalah karena menilai sistem Demokrasi Parlementer tidak cocok
untuk negara Indonesia. Zulfikri Suleman dalam Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik
Bung Hatta (2010) menuliskan, menurut Sukarno, Demokrasi Parlementer melindungi sistem
kapitalisme karena parlemen dikuasai oleh kaum borjuis dan tidak akan bisa memakmurkan
rakyat. “Di dalam Demokrasi Parlementer, tiap-tiap orang bisa menjadi raja, tiap-tiap orang bisa
memilih, tiap-tiap orang bisa dipilih, tiap-tiap orang bisa memupuk kekuasaan untuk
menjatuhkan menteri-menteri dari singgasananya,” beber Sukarno.

Sebagai pengganti Demokrasi Parlementer, Sukarno menawarkan sistem pemerintahan baru yang
disebutnya Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin ini, lanjut Bung Karno, berpondasi
kepada tiga pilar utama yang dimiliki bangsa Indonesia, yaitu Nasionalisme, Agama, dan
Komunisme atau NASAKOM. Hanya saja, tidak semua kalangan sepakat dengan sistem
Demokrasi Terpimpin beserta NASAKOM ala Sukarno itu. Salah satunya adalah Wakil Presiden
RI, Mohammad Hatta. Rosihan Anwar dalam In Memoriam: Mengenang yang Wafat (2002)
mengungkapkan, NASAKOM berarti bekerja sama dengan PKI dan Hatta kurang cocok dengan
itu.
Bagi Hatta, Demokrasi Terpimpin membuat kekuasaan negara kian terpusat kepada sosok
presiden, dan itulah yang kemudian terjadi. Seperti diungkapkan Syafii Maarif melalui buku
Demokrasi dan Nasionalisme: Pengalaman Indonesia (1996), Hatta kemudian mundur dari wakil
presiden karena Sukarno semakin otoriter.
Sistem Demokrasi Terpimpin akhirnya diterapkan juga, begitu pula dengan konsep NASAKOM.
Sukarno menyatukan tiga kekuatan politik terbesar di Indonesia kala itu untuk memperkuat
posisinya sebagai presiden. Sukarno bahkan menyatakan bahwa NASAKOM merupakan
perwujudan Pancasila dan UUD 1945 dalam politik. Dalam pidatonya pada peringatan
HariKkemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1961, Bung Karno menegaskan: “Siapa yang setuju
kepada Pancasila, harus setuju kepada NASAKOM; siapa yang tidak setuju kepada NASAKOM,
sebenarnya tidak setuju kepada Pancasila,” lantang Sukarno dikutip dari Sejarah Perjumpaan
Kristen dan Islam di Indonesia (2004) karya Jan S. Aritonang. “Sekarang saya tambah: Siapa
setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945, harus setuju kepada NASAKOM; Siapa tidak setuju
kepada NASAKOM, sebenarnya tidak setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945,” lanjutnya.
Terjadinya peristiwa berdarah Gerakan 30 September (G30S) 1965 membuat kepemimpinan
Sukarno mulai digoyang. G30S PKI merupakan awal runtuhnya rezim Orde Lama yang dipimpin
Presiden Sukarno. Setelah kekuasaan Sukarno benar-benar terkikis dan kepemimpinan negara
mulai diambil-alih oleh Soeharto, segala hal yang berbau komunis menjadi terlarang. Penerapan
NASAKOM pun berakhir, begitu pula dengan sistem Demokrasi Terpimpin.

Anda mungkin juga menyukai