Anda di halaman 1dari 8

TUGAS MATA KULIAH PENYAKIT TROPIK

Disusun Oleh :
Kelompok 6
Tuti Yuinatun 25010113120033
Nurlaila 25010113120062
Zuyyinatul Mualifah 25010113120164
Deni Lestari 25010113120191
Zahrotul Mahmudati 25010113130347
Miranti Puspitasari 25010113140331
Yunita Amilia 25010113140354

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI DAN PENYAKIT TROPIK


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016

A. PENGENDALIAN PENYAKIT
Pencegahan mengacu pada tujuan pengobatan yang mempromosikan, untuk melestarikan,
dan untuk memulihkan kesehatan ketika terganggu, dan untuk meminimalkan penderitaan
dan kesusahan (Gidey & Sc 2005)

Pencegahan, dalam arti sempit, berarti mencegah perkembangan keadaan patologis.


Dalam arti yang lebih luas, mencakup semua langkah-definitif terapi antara mereka yang
membatasi perkembangan penyakit pada setiap tahap nya saja (Clark DW, 1967).

Pencegahan adalah mengambil suatu tindakan yang diambil terlebih dahulu sebelum
kejadian, dengan didasarkan pada data/keterangan yang bersumber dari hasil analisis
epidemiologi atau hasil pengamatan/penelitian epidemiologi (Nasry, 2006).

Pencegahan penyakit masal adalah kemampuan untuk melindungi kesehatan penduduk


melalui administrasi intervensi kritis dalam menanggapi keadaan darurat kesehatan
masyarakat untuk mencegah perkembangan penyakit di antara mereka yang terkena atau
berpotensi terkena ancaman kesehatan masyarakat. Kemampuan ini meliputi penyediaan
sesuai tindak lanjut dan monitoring efek samping, serta pesan komunikasi risiko untuk
mengatasi masalah kesehatan msyarakat. (Definition & Tasks n.d.).

Pencegahan penyakit adalah tindakan yang ditujukan untuk mencegah, menunda,


mengurangi, membasmi, mengeliminasi penyakit dan kecacatan, dengan menerapkan
sebuah atau sejumlah intervensi yang telah dibuktikan efektif (Murti 2010).

B. TINGKAT PENCEGAHAN PENYAKIT

1. Tingkat Pencegahan Primer

Tingkat pencegahan primer adalah suatu upaya untuk memodifikasi faktor risiko
atau mencegah berkembangnya faktor risiko, sebelum dimulainya perubahan
patologis, dilakukan pada tahap suseptibel dan induksi penyakit, dengan tujuan
mencegah atau memnunda kejadian baru suatu penyakit.

Tingkat pencegahan primer berkaitan dengan pencegahan primoridal dan reduksi


kerugian. Pencegahan primordial merupakan strategi pencegahan penyakit dengan
menciptakan lingkungan yang dapat mengeliminasi faktor risiko, sehingga tidak
diperlukan intervensi preventif lainnya. Contoh: (1) Program eliminasi global cacar,
sehingga tidak diperlukan imunisasi cacar; (2) Penciptaan lingkungan bersih
sehingga tidak diperlukan pengabutan nyamuk Aedes agypti; (3) Program eliminasi
garam dari semua makanan yang jika tercapai sangat efektif untuk mencegah
hipertensi.
Reduksi kerugian (harm reduction) adalah program yang bertujuan untuk mereduksi
kerugian kesehatan pada populasi, meskipun mungkin tidak mengubah perilaku.
Sebagai contoh, pada tahun 1990an sejumlah kota di AS melakukan eksperimen
berupa program penukaran jarum (needle exchange program). Dalam program itu
jarum bekas pengguna obat intravena ditukar dengan jarum bersih yang diberikan
gratis oleh pemerintah kota. Tujuan program adalah memperlambat penyebaran HIV,
meskipun tidak menurunkan dan bahkan bisa mendorong peningkatan
penyalahgunaan obat. Argumen yang dikemukakan untuk membenarkan strategi
tersebut, kerugian yang dialami oleh penerima lebih rendah jika menggunakan jarum
bersih. Program seperti itu menjadi kontroversial jika sebagian masyarakat
memandang dana publik telah digunakan untuk mendukung aktivitas/ perilaku yang
tidak sehat.

Pencegahan tingkat pertama (primer) secara garis besar dapat berupa pencegahan
umum dan pencegahan khusus. Pencegahan umum dimaksudkan untuk
mengadakan pencegahan pada masyarakat umum, contohnya pendidikan kesehatan
masyarakat dan kebersihan lingkungan. Sedangkan pencegahan khusus ditujukan
pada orang-orang yang mempunyai risiko dengan melakukan imunisasi, misalnya
imunisasi terhadap diftheri, pertusis, tetanus, polio, dan hepatitis. (Budiarto, 2003)
2. Tingkat Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan pada fase


penyakitasimtomatis, tepatnya pada tahap preklinis, terhadap timbulnya gejala-gejala
penyakit secara klinis melalui deteksi dini (early detection). Jika deteksi tidak
dilakukan dini dan terapi tidak diberikan segera maka akan terjadi gejala klinis yang
merugikan. Deteksi dini penyakit sering disebut “skrining”. Skrining adalah
identifikasi yang menduga adanya penyakit atau kecacatan yang belum diketahui
dengan menerapkan suatu tes, pemeriksaan, atau prosedur lainnya, yang dapat
dilakukan dengan cepat. Tes skrining memilah orang-orang yang tampaknya
mengalami penyakit dari orang-orang yang tampaknya tidak mengalami penyakit.
Tes skrining tidak dimaksudkan sebagai diagnostik. Orang-orang yang ditemukan
positif atau mencurigakan dirujuk ke dokter untuk penentuan diagnosis dan
pemberian pengobatan yang diperlukan (Last, 2001).

Skrining yang dilakukan pada subpopulasi berisiko tinggi dapat mendeteksi dini
penyakit dengan lebih efisien daripada populasi umum. Tetapi skrining yang
diterapkan pada populasi yang lebih luas (populasi umum) tidak hanya tidak efisien
tetapi sering kali juga tidak etis. Skrining tidak etis dilakukan jika tidak tersedia obat
yang efektif untuk mengatasi penyakit yang bersangkutan, atau menimbulkan trauma,
stigma, dan diskriminasi bagi individu yang menjalani skrining. Sebagai contoh,
skrining HIV tidak etis dilakukan pada kelompok risiko tinggi jika tidak tersedia obat
antiviral yang efektif, murah, terjangkau oleh individu yang ditemukan positif
mengidap HIV. Selain itu skrining HIV tidak etis dilakukan jika hasilnya
mengakibatkan individu yang ditemukan positif mengalami stigmatisasi, pengucilan,
dan diskriminasi pekerjaan, asuransi kesehatan, pendidikan, dan berbagai aspek
kehidupan lainnya.

Deteksi dini pada tahap preklinis memungkinkan dilakukan pengobatan segera


(prompt treatment) yang diharapkan memberikan prognosis yang lebih baik tentang
kesudahan penyakit daripada diberikan terlambat. Tabel berikut menyajikan contoh
penyakit dan pencegahan sekunder.

Tabel Penyakit dan pencegahan sekunder

Penyakit Pencegahan Sekunder


Penyakit menular seksual Kultur rutin bakteriologis untuk infeksi asimtomatis

pada kelompok risiko tinggi

Sifilis Tes serologis rutin untuk infeksi preklinis pada

kelompok risiko tinggi

Hipertensi klinis Skrining tekanan darah tinggi

Kanker leher rahim Hapusan Pap

Kanker payudara Skrining deangan mammografi

Kanker kolon Sigmoidoskopi atau kolonoskopi untuk mendeteksi

kanker dini atau lesi pra-kanker

HIV/AIDS ELISA atau WESTERN blot rutin untuk kelompok

risiko tinggi

Hepatitis B Immunoglobulin hepatitis B untuk neonatus dari ibu

dengan HbsAg positif, dan orang-orang yang belum

pernag diimunisasi dan terpapar oleh virus hepatitis B

Contoh :

• Pada ibu hamil yang sudah terdapat tanda – tanda anemia diberikan tablet Fe dan
dianjurkan untuk makan makanan yang mengandung zat besi

• Mencari penderita dalam masyarakat dengan jalan pemeriksaan . Misalnya


pemeriksaan darah, rontgent paru.

• Mencari semua orang yang telah berhubungan dengan penderita penyakit


menular (contact person) untuk diawasi agar bila penyakitnya timbul dapat
segera diberikan pengobatan.

• Melaksanakan skrining untuk mendeteksi dini kanker.


• Menemukan penderita secara aktif pada tahap dini. Kegiatan ini meliputi :

1) Pemeriksaan berkala pada kelompok populasi tertentu seperti pegawai


negeri, buruh/ pekerja perusahaan tertentu, murid sekolah dan mahasiswa
serta kelompok tentara, termasuk pemeriksaan kesehatan bagi calon
mahasiswa, calon pegawai, calon tentara serta bagi mereka yang
membutuhkan surat keterangan kesehatan untuk kepentingan tertentu;

2) Penyaringan (screening) yakni pencarian penderita secara dini untuk


penyakit yang secara klinis belum tampak gejala pada penduduk secara
umum atau pada kelompok risiko tinggi ;

3) Surveilans epidemiologi yakni melakukan pencatatan dan pelaporan sacara


teratur dan terus-menerus untuk mendapatkan keterangan tentang proses
penyakit yang ada dalam masyarakat, termasuk keterangan tentang
kelompok risiko tinggi.

Selain itu, pemberian pengobatan dini pada mereka yang dijumpai menderita atau

pemberian kemoprofilaksis bagi mereka yang sedang dalam proses patogenesis

termasuk mereka dari kelompok risiko tinggi penyakit menular tertentu.

3. Tingkat Pencegahan Tersier

Pencegahan ini dilakukan setelah penanganan sistem dengan berbagai strategi


pencegahan sekunder. Pencegahan tersier difokuskan pada perbaikankembali kearah
sistem stabilitas secara optimal. Tujuan utamanya adalah memperkuat daya tahan
tubuh, mencegah agar tidak mengalami kecacatan, serta mencegah penyakit muncul
kembali (masa rehabilitasi). Upaya pencegahan tingkat ketiga ini dapat dilakukan
dengan:
1) Memaksimalkan fungsi organ yang cacat
2) Membuat protesa ekstremitas akibat amputasi, dan
3) Mendirikan pusat-pusat rehabilitasi medik (Budiarto, 2003).

Contoh pencegahan tersier adalah rehabilitasi penyakit jantung

Sesuai dengan konsep rehabilitasi dini maka bagi penderita pasca serangan jantung
dan pasca bedah jantung tanpa komplikasi akan dilaksanakan program latihan sedini
mungkin. Penderita akan didatangi tim rehabilitasi untuk menjelaskan maksud
latihan yuang akan dilaksanakan.
Pada pelaksanaanya dirumah sakit program latihan ini dilakukan pada hari ke 2 dan
ke 3 dengan memberikan jenis latihan ringan dengan dibantu oleh instruktur sehingga
disebut sebagai latihan pasif (passive exercise program) yang akan dilanjutkan
dengan latihan secara aktif oleh penderita sendiri berupa kegiatan senam ditempat
tidur, dikursi, latihan lengan dan tangkai yang tujuannya untuk mencegah terjadinya
berbagai penyakit akibat posisi tidur yang lama. Latihan dilanjutkan di ruang rawat
berupa latihan jalan di ruangan, keluar ruangan serta dilanjutkan dengan berlatih di
ruang gymnasium dengan tetap melakukan pengawasan terhadap perubahan nadi,
tekanan darah serta keluhan pernafasan (hemodinamik) dari penderita dan khusus di
ruang gymnasium dilakukan monitoring perubahan rekaman elektrokardiografi jarak
jauh (tele monitor). Penilaian ini amat bermanfaat dalam menentukan respons latihan
terhadap penderita, sebelum dipulangkan ke rumah dilakukan tes evaluasi
kemampuan fisik penderita dengan mempergunakan treadmill (jentera lari)
selanjutnya bagi penderita setelah dipulangkan ke rumah. Semua jenis latihan ini
dikenal sebagai program latihan rehabilitasi fase 1.

Program latihan bagi penderita selanjutnya setelah dipulangkan dari rumah sakit
merupakan program latihan Fase II yang dilaksanakan paling sedikit selama 1-2
bulan, berupa latihan dengan meningkatkan program secara bertahap dengan
berpedoman kepada hasil treadmill yang telah dilaksanakan.

Latihan Fase II ini mencakup latihan penafasan, latihan ketahanan, latihan alat serta
latihan relaksasi yang sebaiknya dilaksanakan secara bersama-sama dengan penderita
lain di ruangan (indoor programme) yang telah dipersiapkan dengan berbagai
perlengkapan di bawah pengawasan ketat dari dokter rehabilitasi dan staf.

Penilaian terhadap hasil latihan ini sangat bermanfaat bagi penentuan ramalan
perjalanan penyakti (jantung) dan penderita selanjutnya serta untuk menilai perlukah
dilaksanakan intervensi operative terhadap penderita. Selama menjalani program fase
II ini terhadap penderita dilaksanakan upaya-upaya rehabilitasi lainya berupa
penilaian terhadap kondisi gizi, psikologis, masalah psikologis dsb, serta
memberikan bimbingan khusus terhadap hal-hal di atas melalui kegiatan pendidikan
terhadap penderita dan keluarga (patient and family aducation) secara group.

Pada akhirnya latihan fase II ini dilaksanakan lagi pengujian ulang kemampuan fisik
pendertita dengan tes treadmil atau tes ergocycle (sepeda statis) guna penyusunan
program selanjutnya (fase III). Program latihan fase III adalah merupakan program
latihan lanjutan bagi penderita yang dilaksanakan selama 3 s/d 6 bulan pasca
serangan jantung.

Latihan disini merupakan program pemantapan terhadap latihan fase II. Karena
merupakan latihan lanjutan Fase III ini dilaksanakan di tempat yang lebih luas dan
terbuka sehingga disebut sebagai program out door. Disini penderita dilatih secara
lebih mendalam guna persiapan mereka untuk sendiri di rumah, karena sesudah
latihan III ini biasanya penderita sudah diizinkan untuk kembali bekerja ke
pekerjaannya semula atau pekerjaan barunya (return to work) dan berlatih di rumah
sendiri (program rehabilitasi fase IV) atau bergabung dengan klub-klub jantung yang
berada di lokasi perumahan masing-masing. (pjnhk.go.id)

DAFTAR PUSTAKA

Bhisma, Murti. Riwayat Alamiah Penyakit.


http://fk.uns.ac.id/static/materi/Riwayat_Alamiah_Penyakit_-
_Prof_Bhisma_Murti.pdf diunduh pada tanggal 23 Maret 2016

Budiarto, Eko dan Dewi Anggraeni. 2003. Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta: EGC.

Clark DW, MacMahon B. Preventive medicine. Boston, MA: Little, Brown & Co, 1967

Definition, C. & Tasks, P., Mass prophylaxis. , pp.479–492.

Gidey, G. & Sc, M., 2005. Introduction to Public Health.

Murti, B., 2010. Riwayat alamiah penyakit. , pp.1–8.

Ryadi, slamet & T. Wijayanti. 2010. Dasar-Dasar Epidemiologi. Jakarta :Salemba Medika.

www.pjnhk.go.id/index.php/pelayanan/88-konsep-rehabilitasi-jantung

Anda mungkin juga menyukai