Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rumah Sakit
2.1.1 Definisi Rumah Sakit
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit, Rumah sakit merupakan Rumah Sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna
yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pelayanan
Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif. Sedangkan menurut WHO tahun 2021, rumah sakit adalah
bagian integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan
pelayanan paripurna (komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan
pencegahan penyakit (preventif) kepada masyarakat. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan No. 3 Tahun 2020, Rumah Sakit di Indonesia dapat didirikan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau swasta. Tujuan didirikannya rumah sakit
sendiri adalah untuk mempermudah akses masyarakat dalam mendapatkan
pelayanan kesehatan, memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap
keselamatan pasien, sumber daya manusia di rumah sakit dan masyarakat dan
lingkungan.

2.1.2 Asas dan Tujuan Rumah Sakit


Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit, rumah sakit diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan didasarkan
kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, persamaan hak dan anti
diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai
fungsi sosial. Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan untuk:
1. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
2. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan
Rumah Sakit dan sumber daya manusia di Rumah Sakit
3. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan Rumah Sakit.
4. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia
di rumah sakit dan Rumah Sakit.
2.1.3 Tugas Pokok dan Fungsi Rumah Sakit
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah
Sakit menyebutkan bahwa Rumah Sakit memiliki tugas memberikan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna. Adapun fungsi Rumah Sakit meliputi:
1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan
standar pelayanan Rumah Sakit.
2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai dengan kebutuhan
medis.
3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penampisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
2.1.4 Jenis-jenis Rumah Sakit
Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 30 Tahun 2019 Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit menyebutkan
bahwa Rumah Sakit dikategorikan menjadi dua, yaitu:
1. Rumah Sakit Umum Rumah Sakit Umum adalah Rumah Sakit yang memberikan
pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Rumah Sakit Umum
diklasifikasikan menjadi Rumah Sakit Umum Kelas A, B, C dan D. Rumah Sakit
Umum Kelas D dibagi lagi menjadi Rumah Sakit Umum Kelas D dan Kelas D
pertama.
2. Rumah Sakit Khusus Rumah Sakit Khusus adalah Rumah Sakit yang
memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu
berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit atau kekhususan
lainnya.
Sedangkan berdasarkan pengelolaannya, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit menyebutkan bahwa Rumah Sakit
dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Rumah Sakit Publik
Rumah Sakit Publik dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
badan hukum yang bersifat nirlaba.
2. Rumah Sakit Privat
Rumah Sakit Privat dapat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang
berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero.
3. Rumah Sakit Pendidikan
Rumah Sakit dapat ditetapkan sebagai Rumah Sakit pendidikan setelah
memenuhi syarat standar rumah sakit pendidikan. Rumah Sakit Pendidikan
ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan Menteri yang membidangi
urusan pendidikan. Rumah Sakit pendidikan merupakan Rumah Sakit yang
menyelenggarakan pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang
pendidikan profesi kedokteran, pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan
pendidikan tenaga kesehatan lainnya.

2.1.5 Klasifikasi Rumah Sakit


Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan
fungsi rujukan, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30 tahun
2019 Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit menyebutkan bahwa Rumah
Sakit umum dan Rumah Sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan kriteria bangunan
dan prasarana, kemampuan pelayanan, sumber daya manusia, dan peralatan.
1. Klasifikasi Rumah Sakit umum terdiri atas:
a. Rumah Sakit umum kelas A, merupakan Rumah Sakit umum yang
memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 250 (dua ratus lima puluh) buah.
Rumah sakit umum kelas A memiliki kemampuan pelayanan medik spesialis
dan subspesialis. Minimal mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik 4 spesialis dasar, 5 penunjang medik spesialis, 12 spesialis lain selain
spesialis dasar, dan 13 subspesialis.
b. Rumah Sakit umum kelas B, merupakan Rumah Sakit umum yang
memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 200 (dua ratus) buah. Rumah
sakit umum kelas B memiliki kemampuan pelayanan medik spesialis dan
subspesialis. Minimal mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik
paling sedikit 4 spesialis dasar, 4 penunjang medik spesialis, 8 spesialis lain
selain spesialis dasar, dan 2 subspesialis dasar. Dalam rangka meningkatkan
fasilitas dan kemampuan pelayanan mediknya, penambahan pelayanan paling
banyak 2 spesialis lain selain spesialis dasar, 1 penunjang medik spesialis, 2
pelayanan medik subspesialis dasar, dan 1 subspesialis lain selain subspesialis
dasar. Jika di satu wilayah administratif provinsi tidak terdapat Rumah Sakit
umum kelas A, Rumah Sakit umum kelas B dapat menambah pelayanan
mediknya paling banyak 3 spesialis lain selain spesialis dasar, 1 penunjang
medik spesialis, dan 9 pelayanan medik subspesialis berupa pelayanan medik
subspesialis dasar dan/atau subspesialis lain selain subspesialis dasar.
Penambahan pelayanan medik harus tetap mempertimbangkan akses terhadap
pelayanan kesehatan kelas Rumah Sakit diatasnya yang berada antar wilayah
administratif, dilaksanakan setelah mendapatkan rekomendasi dari dinas
kesehatan daerah provinsi setempat.
c. Rumah Sakit umum kelas C, merupakan Rumah Sakit umum yang
memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 100 (seratus) buah. Rumah sakit
umum kelas C memiliki kemampuan pelayanan medik spesialis. Minimal
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik 4 spesialis dasar dan 4
penunjang medik spesialis. Dalam rangka meningkatkan fasilitas dan
kemampuan pelayanan mediknya, penambahan pelayanan paling banyak 3
pelayanan medik spesialis lain selain spesialis dasar, dan 1 penunjang medik
spesialis. Jika di satu wilayah administratif kabupaten/kota tidak terdapat
Rumah Sakit umum kelas B, Rumah Sakit umum kelas C dapat menambah
pelayanan mediknya paling banyak 7 spesialis lain selain spesialis dasar dan 1
penunjang medik spesialis. Penambahan pelayanan medik harus tetap
mempertimbangkan akses terhadap pelayanan kesehatan kelas Rumah Sakit
diatasnya yang berada antar wilayah administratif, dilaksanakan setelah
mendapatkan rekomendasi dari dinas kesehatan daerah provinsi setempat.
d. Rumah Sakit umum kelas D, terdiri atas:
1) Rumah Sakit umum kelas D
2) Rumah Sakit umum kelas D pratama, diselenggarakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Rumah Sakit umum kelas D merupakan Rumah Sakit umum yang
memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 50 (lima puluh) buah. Rumah
sakit umum kelas D memiliki kemampuan pelayanan medik spesialis kecuali
Rumah Sakit umum kelas D pratama. Minimal mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 spesialis dasar. Dalam rangka
meningkatkan fasilitas dan kemampuan pelayanan mediknya, penambahan
pelayanan paling banyak 1 pelayanan medik spesialis dasar dan 1 penunjang
medik spesialis. Jika di satu wilayah administratif kabupaten/kota tidak
terdapat Rumah Sakit umum kelas C, Rumah Sakit umum kelas D dapat
menambah pelayanan mediknya paling banyak 2 spesialis dasar dan 1
penunjang medik spesialis. Penambahan pelayanan medik harus tetap
mempertimbangkan akses terhadap pelayanan kesehatan kelas Rumah Sakit
diatasnya yang berada antar wilayah administratif, dilaksanakan setelah
mendapatkan rekomendasi dari dinas kesehatan daerah provinsi setempat.
2. Klasifikasi Rumah Sakit khusus terdiri atas:
a. Rumah Sakit khusus kelas A
Rumah Sakit khusus yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 100
(seratus) buah dengan fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialis
dan subspesialis sesuai kekhususanya, serta pelayanan medik spesialis dasar
dan spesialis lain yang menunjang kekhususannya secara lengkap. Ketentuan
tersebut dikecualikan untuk Rumah Sakit khusus gigi dan mulut.
b. Rumah Sakit khusus kelas B
Rumah Sakit khusus yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 75
(tujuh puluh lima) buah dengan fasilitas dan kemampuan pelayanan medik
spesialis dan subspesialis sesuai kekhususanya, serta pelayanan medik
spesialis dasar dan spesialis lain yang menunjang kekhususannya yang
terbatas. Ketentuan tersebut dikecualikan untuk Rumah Sakit khusus gigi dan
mulut.
c. Rumah Sakit khusus kelas C
Rumah Sakit khusus yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 25
(dua puluh lima) buah dengan fasilitas dan kemampuan pelayanan medik
spesialis dan subspesialis sesuai kekhususanya, serta pelayanan medik
spesialis dasar dan spesialis lain yang menunjang kekhususannya yang
minimal. Rumah sakit ini hanya untuk Rumah Sakit khusus ibu dan anak.

2.1.6 Akreditasi Rumah Sakit


2.1.6.1 Definisi Akreditasi Rumah Sakit
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun
2017 tentang Akreditasi Rumah Sakit merupakan pengakuan terhadap mutu
pelayanan Rumah Sakit, setelah dilakukan penilaian bahwa Rumah Sakit telah
memenuhi Standart Akreditasi. Selain itu sebagai pedoman yang berisi tingkat
pencapaian yang harus dipenuhi oleh Rumah Sakit dalam meningkatkan mutu
pelayanan dan keselamatan pasien.
2.1.7.2 Tujuan Akreditasi Rumah Sakit
Pengaturan akreditasi bertujuan untuk :
1. Meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit dan melindungi keselamatan pasien
Rumah Sakit.
2. Meningkatkan perlindungan bagi masyarakat, sumber daya manusia di Rumah
Sakit dan Rumah Sakit sebagai institusi.
3. Mendukung program Pemerintah di bidang kesehatan; dan
4. Meningkatkan profesionalisme Rumah Sakit Indonesia di mata Internasional
2.1.7.3 Manfaat Akreditasi Rumah Sakit
Manfaat dari dilaksanakannya akreditasi Rumah Sakit:
1. Meningkatkan kepercayaan masyarakat bahwa Rumah Sakit menitik beratkan
sasarannya pada keselamatan pasien dan mutu pelayanan.
2. Menyediakan lingkungan kerja yang aman dan efisien sehingga staf merasa puas.
3. Mendengarkan pasien dan keluarga pasien, serta menghormati hak-hak pasien
dan melibatkan pasien dan keluarganya sebagai mitra dalam proses pelayanan.
4. Menciptakan budaya mau belajar dari laporan insiden keselamatan pasien.
5. Membangun kepemimpinan yang mengutamakan kerja sama demi terciptanya
kepemimpinan yang berkelanjutan untuk meraih kualitas dan keselamatan pasien
pada semua tingkatan.
2.1.7.4 Pelaksanaan Akreditasi Rumah Sakit
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56
Tahun 2017 mengenai Akreditasi Rumah Sakit, menyebutkan bahwa setiap Rumah
Sakit wajib terakreditasi, dan akreditasi dilakukan secara berkala paling sedikit
setiap 3 (tiga) tahun, dan paling lama setelah beroperasi 2 (dua) tahun sejak
memperoleh izin operasional untuk pertama kali. Akreditasi rumah sakit dibagi atas
akreditasi nasional dan akreditasi internasional. Dimana rumah sakit wajib
mengikuti akreditasi tingkat nasional. Bagi rumah sakit yang akan mengikuti
akreditasi internasional, maka harus terlebih dahulu mendapatkan akreditasi tingkat
nasional. Adapun dalam pelaksaan akreditasi nasional dan internasional yaitu :

1. Akreditasi Nasional Rumah sakit wajib mengikuti akreditasi nasional (pasal 3).
Penyelenggaraan akreditasi nasional meliputi persiapan akreditasi,
pelaksanaan akreditasi dan kegiatan pasca akreditasi.
a. Persiapan akreditasi diantaranya meliputi standar dan penilaian mandiri
(self assessment), serta workshop atau bimbingan. Penilaian mandiri
merupakan proses penilaian penerapan standar pelayanan Rumah Sakit
dengan menggunakan instrumen akreditasi,bertujuan untuk mengukur
kesiapan dan kemampuan Rumah Sakit dalam rangka survei akreditasi
yang dilakukan oleh rumah sakit yang akan menjalani proses akreditasi.
Bimbingan merupakan proses pembinaan rumah sakit dalam rangka
meningkatkan kinerja dalam mempersiapkan survei akreditasi. Bimbingan
dilakukan oleh pembimbing akreditasi dari lembaga independen pelaksana
akreditasi yang akan melakukan akreditasi.pembimbing akreditasi
merupakan tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan
dalam membimbing rumah sakit untuk mempersiapkan akreditasi.
b. Pelaksanaan akreditasi meliputi survei akreditasi dan penetapan status
akreditasi. Survei akreditasi merupakan penilaian untuk mengukur
pencapaian dan cara penerapan standar elayanan rumah sakit. Survei
dilakukan oleh seorang surveior akreditasi dari lembaga independen
pelaksana akreditasi. Di Indonesia sendiri akreditasi rumah sakit di nilai oleh
Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) yang mana standart dari penilaian
yang saat ini berlaku adalah Standart Nasional Akreditasi Rumah Sakit
(SNARS) edisi 1. Hasil akreditasi dibagi menjadi 2 yaitu Rumah Sakit Non
Pendidikan dan Rumah Sakit pendidikan yang didalamnya terdapat 5
tingkatan yaitu tidak lulus, tingkat dasar, tingkat madya, tingkat utama, dan
tingkat paripurna. Standart yang harus dipenuhi terdiri dari 18 bab yang
terbagi atas 3 garis besar yaitu sasaran keselamatan pasien, standart
pelayanan berfokus pasien dan standart menejemen rumah sakit.
c. Kegiatan pasca akreditasi dilakukan salam bentuk survei verifikasi. Survei
verifikasi hanya dilakukan oleh lembaga independen pelaksana akreditasi
yang melakukan akreditasi yang melakukan penetapan status akreditasi
terhadap rumah sakit. Survei verifikasi ini bertujuan mempertahankan
dan/atau meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit sesuai dengan
rekomendasi dari surveior. Pelaksanaan pasca akreditasi diatur oleh
lembaga independen pelaksana akreditasi.
2. Akreditas Internasional : Rumah sakit yang sudah mendapatkan akreditasi
internasional wajib melaporkan status akreditasinya kepada menteri.
Penyelenggara akreditasi internasional hanya dapat dilakukan oleh lembaga
independen penyelenggara akreditasi yang sudah terakreditasi oleh
Internasional Society for Quality in Health Care (ISQua).

2.2 Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)


2.2.1 Definisi Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah sakit diselenggarakan berasaskan
pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas,
manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan
dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial. Rumah Sakit mempunyai
tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna (Permenkes,
2016).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun
2016, instalasi farmasi merupakan unit pelaksana fungsional yang menyelenggarakan
seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit. Instalasi farmasi berada
dibawah pimpinan seorang Apoteker dan bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan
kefarmasian yang mencakup penyelenggaraan pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai, pelayanan farmasi klinik dan manajemen
mutu dan bersifat dinamis dapat direvisi sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga
mutu.
2.2.2.Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)
Pelayanan farmasi Rumah Sakit dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit
merupakan tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian
dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan Kefarmasian adalah
suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan
dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien. Selain itu sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang utuh dan berorientasi
kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi
klinik yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat yang meliputi :
1. Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh
kegiatan pelayanan kefarmasian yang optimal dan profesional serta sesuai
prosedur dan etik profesi.
2. Melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien.
3. Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai guna memaksimalkan efek terapi dan
keamanan serta meminimalkan risiko.
4. Melaksanakan komunikasi, edukasi dan informasi (KIE) serta memberikan
rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien.
5. Berperan aktif dalam komite farmasi dan terapi.
6. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan pelayanan
kefarmasian;
7. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan
formularium Rumah Sakit.
Dengan kebijakan pengelolaan sistem satu pintu, Instalasi Farmasi sebagai satu-
satunya penyelenggara Pelayanan Kefarmasian, sehingga Rumah Sakit akan
mendapatkan manfaat dalam hal:
1. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
2. Standarisasi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
3. Penjaminan mutu Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai.
4. Pengendalian harga Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai.
5. Pemantauan terapi Obat
6. Penurunan risiko kesalahan terkait penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (keselamatan pasien).
7. Kemudahan akses data Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang akurat.
8. Peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit dan citra Rumah Sakit.
9. Peningkatan pendapatan Rumah Sakit dan peningkatan kesejahteraan
pegawai.

2.2.3 Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)


Instalasi Farmasi Rumah Sakit berfungsi sebagai unit pelayanan dan unit
produksi. Unit pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan yang bersifat manajemen
(non klinik) dan non manajemen (klinik). Pelayanan yang tidak memerlukan interaksi
langsung dengan profesional kesehatan lain.
IFRS juga berfungsi sebagai pelayanan non manajamen (Klinik) yang
merupakan pelayanan yang memerlukan interaksi langsung dengan pasien atau
profesional kesehatan lainnya. Fungsi ini berorientasi pasien sehingga membutuh kan
pemahaman yang lebih luas tentang aspek yang berkaitan dengan penggunaan obat
dan penyakitanya serta menjunjung tinggi etika dan perilaku sebagai unit yang
menjalankan asuhan kefarmasian yang handal dan profesional.

2.3 Komite Farmasi dan Terapi (KFT)


Komite Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan
komunikasi antara para staf medis dengan farmasi sehingga anggotanya terdiri dari
para dokter yang mewakili spesialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil
dari farmasi rumah sakit, serta tenaga kesehatan lainnya. Ketua komite farmasi dan
terapi dipilih dari dokter yang ada jika ada ahli Farmakologi klinik maka sebagai
ketua. Sekretaris Apoteker dari IFRS. Mengadakan rapat secara teratur sedikitnya 2
(dua) bulan sekali. Untuk RS besar 1(satu) bulan sekali.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
Pedoman Organisasi Rumah Sakit, Komite/Tim Farmasi dan Terapi merupakan salah
satu Komite/Tim yang ada di rumah sakit yang menyelenggarakan fungsi tertentu di
rumah sakit sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.
Tugas Komite/Tim Farmasi dan Terapi diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit,
diantaranya adalah melakukan seleksi dan evaluasi obat yang akan masuk dalam
Formularium Rumah Sakit dan memberikan rekomendasi kepada direktur/kepala
rumah sakit mengenai kebijakan penggunaan obat di rumah sakit. Anggota
Komite/Tim Farmasi dan Terapi terdiri dari dokter yang mewakili semua spesialisasi
yang ada di rumah sakit, apoteker instalasi farmasi, serta tenaga kesehatan lainnya
apabila diperlukan.

2.3.1 Tugas Komite Farmasi dan Terapi


a) Menyusun program kerja yang akan dilakukan yang disetujui oleh direktur;
b) Mengembangkan kebijakan tentang penggunaan obat di rumah sakit;
c) Melakukan seleksi dan evaluasi obat yang akan masuk dalam formularium rumah
sakit;
d) Mengembangkan standar terapi;
e) Mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan obat;
f) Melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan obat yang rasional;
g) Mengkoordinir penatalaksanaan reaksi obat yang tidak dikehendaki;
h) Mengkoordinir penatalaksanaan kesalahan penggunaan obat (medication error);
i) Menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan obat di rumah sakit.

2.3.2 Peran Anggota Komite Farmasi dan Terapi


Peranan ketua/sekretaris Komite/Tim Farmasi dan Terapi bertindak sebagai
motor penggerak dalam berbagai macam aktivitas Komite/Tim Farmasi dan Terapi.
Peranan ketua dalam Komite/Tim Farmasi dan Terapi:
a) Memimpin Komite/Tim Farmasi dan Terapi.
b) Mengkoordinasi kegiatan Komite/Tim Farmasi dan Terapi.
c) Mengkoordinasi seluruh yang dibutuhkan dalam penyusunan formularium rumah
sakit.
Peran sekretaris dalam Komite/Tim Farmasi dan Terapi:
a) Mengajukan agenda yang akan dibahas.
b) Pemberian usulan pokok bahasan rapat.
c) Pencatatan dan penyiapan rekomendasi Komite/Tim Farmasi dan Terapi.
d) Penyusunan kajian jika diperlukan.
e) Komunikasi keputusan Komite/Tim Farmasi dan Terapi terhadap tenaga
kesehatan lain.
f) Menetapkan jadwal pertemuan.
g) Mencatat hasil keputusan.
h) Melaksanakan keputusan.
i) Membuat formularium berdasarkan kesepakatan.
Peran apoteker dalam Komite/Tim Farmasi dan Terapi:
a) Analisis dan diseminasi informasi ilmiah, klinis, dan farmakoekonomi yang
terkait dengan obat atau kelas terapi yang sedang ditinjau.
b) Evaluasi penggunaan obat dan menganalisis data.

2.4 Panitia Pengendalian Infeksi Rumah Sakit


Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) adalah upaya untuk mencegah
dan meminimalkan terjadinya infeksi pada pasien, petugas, pengunjung, dan
masyarakat sekitar fasilitas pelayanan kesehatan.
Pedoman PPI di Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan
kualitas pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan, sehingga melindungi sumber
daya manusia kesehatan, pasien dan masyarakat dari penyakit infeksi yang terkait
pelayanan kesehatan. Sasaran Pedoman PPI di Fasilitas Pelayanan Kesehatan disusun
untuk digunakan oleh seluruh pelaku pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan yang
meliputi tingkat pertama, kedua, dan ketiga.
Ruang lingkup program PPI meliputi kewaspadaan isolasi, penerapan PPI
terkait pelayanan kesehatan (Health Care Associated Infections/HAIs) berupa langkah
yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya HAIs (bundles), surveilans HAIs,
pendidikan dan pelatihan serta penggunaan anti mikroba yang bijak. Disamping itu,
dilakukan monitoring melalui Infection Control Risk Assesment (ICRA), audit dan
monitoring lainya secara berkala. Dalam pelaksanaan PPI, Rumah Sakit, Puskesmas,
Klinik, Praktik Mandiri wajib menerapkan seluruh program PPI sedangkan untuk
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, penerapan PPI disesuaikan dengan pelayanan
yang di lakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tersebut.

2.5 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai
2.5.1 Pemilihan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72
Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, pemilihan
merupakan suatu kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan
dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan tersebut didasarkan
atas:
a) Formularium dan standar pengobatan atau pedoman diagnosa dan terapi
b) Standar sediaan farmasi, alat kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai yang telah
ditetapkan
c) Pola penyakit
d) Efektifitas dan keamanan
e) Pengobatan berbasis bukti
f) Mutu
g) Harga
h) Ketersediaan di pasar

2.5.2. Perencanaan
Mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72
tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, dijelaskan
bahwa perencanaan kebutuhan merupakan suatu kegiatan untuk menentukan jumlah
dan periode pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat
jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien.
Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan obat dengan
menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan dan dasar-dasar
perencanaan yang telah ditentukan, antara lain menggunakan metode konsumsi dan
epidemiologi serta disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Pedoman perencanaan
harus mempertimbangkan yaitu:
a. Anggaran yang tersedia
b. Penetapan prioritas
c. Sisa persediaan
d. Data pemakaian periode yang lalu
e. Waktu tunggu pemesanan
f. Rencana pengembangan.
Berikut Tahapan dalam perencanaan, yakni:
1. Tahap pemilihan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan Tahap ini untuk
menentukan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang sangat diperlukan
sesuai dengan kebutuhan, dengan prinsip dasar menentukan jenis sediaan farmasi
dan perbekalan kesehatan yang akan digunakan atau dibeli.
2. Tahap perhitungan kebutuhan perbekalan farmasi Tahap ini untuk menghindari
masalah kekosongan obat atau kelebihan obat. Dengan koordinasi dari proses
perencanaan dan pengadaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan
diharapkan perbekalan farmasi yang dapat tepat jenis, tepat jumlah dan tepat
waktu. Metode yang biasa digunakan dalam perhitungan kebutuhan obat, yaitu:
a. Metode konsumsi
Secara umum metode konsumsi menggunakan konsumsi sediaan farmasi
dan perbekalan kesehatan individual dalam memproyeksikan kebutuhan yang
akan datang berdasarkan analisa data konsumsi obat tahun sebelumnya.
Keunggulan metode konsumsi adalah data yang dihasilkan akurat, tidak
memerlukan data penyakit dan standar pengobatan kekurangan dan kelebihan
obat kecil. Sedangkan Kelemahan metode konsumsi adalah tidak dapat
diandalkan sebagai dasar penggunaan obat dan perbaikan preskripsi, tidak
memberikan gambaran morbiditas.
Pendekatan yang dilakukan sebelum merencanakan dengan metode
konsumsi adalah:
1. Melakukan evaluasi berupa rasionalitas pola pengobatan, perbekalan farmasi,
data stock, distribusi dan penggunaan perbekalan farmasi periode lalu serta
Pengamatan kecelakaandan kehilangan perbekalan farmasi
2. Estimasi jumlah kebutuhan perbekalan farmasi periode mendatang dengan
memperhatikan perubahan populasi cakupan pelayanan, Perubahan pola
morbiditas, dan Perubahan fasilitas pelayanan.
3. Penerapan perhitungan meliputi Penetapan periode konsumsi, Perhitungan
penggunaan tiap jenis sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan periode lalu
dan koreksi terhadap kecelakaan dan kehilangan, stock-out dan perhitungan
lead time untuk menentukan safety stock.
b. Metode Epidemiologi / Morbiditas
Memperkirakan kebutuhan obat berdasarkan jumlah kehadiran pasien,
waktu tunggu pasien (lead time), kejadian penyakit yang umum, dan pola
perawatan standar dari penyakit yang ada. Pendekatan yang dilakukan sebelum
merencanakan adalah:
1. Menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani
2. Menentukan jumlah kunjungan berdasarkan frekuensi penyakit.
3. Penyiapan standar pengobatan yang diperlukan.
4. Menghitung perkiraan kebutuhan.
Data yang perlu dipersiapkan untuk perhitungan metode morbiditas yaitu:
1. Perkiraan jumlah populasi
2. Menetapkan pola morbiditas penyakit
3. Masing-masing penyakit pertahun untuk seluruh populasi pada kelompok
umur yang ada.
4. Frekuensi kejadian masing-masing penyakit pertahun untuk seluruh populasi
pada kelompok umur yang ada.
5. Menghitung jenis, jumlah, dosis, frekuensi dan lama pemberian obat
menggunakan pedoman pengobatan yang ada
6. Menghitung jumlah yang harus diadakan untuk tahun anggaran yang akan
datang
Menurut (Rahmawati dan Santosa, 2015), dari Kedua metode tersebut
memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan diantara lain :
Tabel 2. 1 Kekurangan dan Kelebihan Metode Konsumsi dan Metode Epidemologi

Metode Konsumsi Metode Epidemiologi

Kelebihan : Kekurangan :
 Tidak membutuhkan data morbiditas dan  Data konsumsi tidak dibutuhkan
standar pengobatan  Dapat digunakan untuk pengkajian pola
 Perhitungan lebih sederhana pengobatan
 Dapat diandalkan jika pencatatan baik  Mendorong melakukan pencatatan
morbiditas

Kekurangan : Kekurangan :
 Data konsumsi obat kontak dengan pasien  Perlu waktu dan tenaga yang banyak
sulit  Ada penyakit yang tidak tercatat
 Tidak dapat menjadikan dasar pengkajian  Pola penyakit tidak sama, khusus wabah
penggunaan obat dan variasi obat lebih luas
 Tidak dapat diandalkan apabila terjadi
perubahan pola penyakit

c. Evaluasi Perencanaan
Berikut metode yang digunakan didalam mengevaluasi perencanaan,
untuk meningkatkan efektivitas dan efesiensi anggaran :
1. Analisa ABC (Always, Better, Control/Pareto Analysis)
Untuk menentukan jumlah item obat dari yang akan direncanakan
pengadaannya berdasarkan prioritas. Analisa ABC mengelompokkan item obat
berdasarkan kebutuhan dananya, yakni:
1) Kelompok A: Adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana
pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 70% dari jumlah dana
obat keseluruhan.
2) Kelompok B: Adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana
pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar20%.
3) Kelompok C: Adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana
pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar10% dari jumlah dana obat
keseluruhan
Untuk menentukan kelompok A,B dan C ada beberapa langkah, yakni :
1. Hitung jumlah dana yang dibutuhkan untuk masing-masing obat dengan cara
mengalikan kuantum obat dengan harga obat.
2. Tentukan peringkat mulai dari yang terbesar dananya sampai yang terkecil.
3. Hitung persentasenya terhadap total dana yang dibutuhkan dan akumulasi
persennya. Obat kelompok A termasuk dalam akumulasi 70%, Obat kelompok
B termasuk dalam akumulasi >70% s/d 90% (menyerap dana ± 20%) dan Obat
kelompok C termasuk dalam akumulasi > 90% s/d 100% (menyerap dana
±10%)

2. Analisa VEN
Analisis perencenaan menggunakan semua jenis perbekalan farmasi yang
tercantum dalam daftar yang dikelompokkan ke dalam 3 bagian sebagai berikut :
1. Kelompok V (Vital) adalah kelompok obat yang sangat utama (pokok/vital) antara
lain : obat penyelamat jiwa, obat untuk pelayanan kesehatan pokok, obat untuk
mengatasi penyakit penyebab kematian terbesar, dibutuhkan sangat cepat, tidak
dapat digantikan obat lain.
2. Kelompok E (Essensial) adalah kelompok obat yang bekerja kausal yaitu obat
yang bekerja pada sumber penyebab penyakit, tidak untuk mencegah kematian
secara langsung/kecacatan.
3. Kelompok N (Non Essensial) merupakan obat penunjang yaitu obat yang kerjanya
ringan dan biasa digunakan untuk menimbulkan kenyamanan atau untuk
mengatasi keluhan ringan. Penggolongan obat sistem VEN dapat digunakan
penyesuaian rencana kebutuhan obat dengan alokasi dana yang tersedia
denganmengutamakan kelompok vital terlebih dahulu agar tidak terjadi
kekosongan obat. Dalam penentuan kriteria perlu mempertimbangakn kebutuhan
masing-masing spesialisasi. Kriteria yang disusun dapat mencakup berbagai aspek
antara lain: Klinis, konsumsi, target kondisi dan biaya. Langkah-langkah
menentukan VEN yaitu menyusun kriteria menentukan VEN, Menyediakan data
pola penyakit dan Standar pengobatan.

2.5.3 Pengadaan
Mengacu Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun
2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Pengadaan adalah
suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan perencanaan kebutuhan.
Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan, jumlah, dan waktu yang tepat
dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu. Pengadaan merupakan
kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari pemilihan, penentuan jumlah yang
dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode pengadaan,
pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan proses pengadaan,
dan pembayaran.
Guna memastikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai sesuai dengan mutu dan spesifikasi yang dipersyaratkan maka jika proses
pengadaan dilaksanakan oleh bagian lain di luar Instalasi Farmasi harus melibatkan
tenaga kefarmasian.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai sebagai berikut :
Bahan baku Obat harus disertai Sertifikat Analisa.
1. Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet (MSDS)
2. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus
mempunyai Nomor Izin Edar dan
3. Expired date minimal 2 (dua) tahun kecuali untuk Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai tertentu (vaksin, reagensia, dan
lainlain) atau pada kondisi tertentu yang dapat dipertanggung jawabkan.
Proses pengadaan dilakukan melalui beberapa cara :
1. Pembelian langsung pada PBF resmi
2. Program pemerintah
3. Sumbangan/Hibah/Droping
4. Konsinyasi
Rumah sakit harus memiliki mekanisme pengadaan untuk mencegah
kekosongan stok obat yang secara normal tersedia di rumah sakit dan mendapatkan
obat saat instalasi farmasi tutup. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Sakit, pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dapat
dilakukan melalui :
1. Pembelian Bagi Rumah Sakit Pemerintah, pembelian sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai harus sesuai dengan ketentuan pengadaan
barang dan jasa yang berlaku. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelian
adalah:
a. Ketersediaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai,
yang meliputi kriteria umum dan kriteria mutu obat
b. Persyaratan pemasok
c. Penentuan waktu pengadaan dan keadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
bahan medis habis pakai.
2. Produksi sediaan farmasi
Instalasi farmasi dapat memproduksi sediaan tertentu jika:
a. Sediaan farmasi tidak ada dipasaran
b. Sediaan farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri
c. Sediaan farmasi dengan formula khusus
d. Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil/ repacking
e. Sediaan farmasi untuk penelitian
f. Sediaan farmasi yang tidak stabil dalam penyimpanan/harus dibuat baru
(recenter paratus).
g. Sediaan yang dibuat di rumah sakit harus memenuhi persyaratan mutu dan
terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan pelayanan di rumah sakit tersebut.
3. Sumbangan/ Dropping/ Hibah
Instalasi farmasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap
penerimaan dan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai yang diperoleh dari sumbangan/ dropping/ hibah. Seluruh kegiatan penerimaan
sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang diperoleh dari
sumbangan/ dropping/ hibah harus disertai dengan dokumen administrasi yang
lengkap dan jelas. Instalasi farmasi dapat memberikan rekomendasi kepada pimpinan
rumah sakit untuk mengembalikan atau menolak sumbangan sumbangan/ dropping/
hibah sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang tidak
bermanfaat bagi kebutuhan pasien rumah sakit.

2.5.4 Penerimaan
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun
2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, penerimaan
merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah, mutu,
waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak atau surat pesanan dengan
kondisi fisik yang diterima. Semua dokumen terkait penerimaan barang harus
tersimpan dengan baik. Pada saat penerimaan obat sebaiknya dilakukan dengan teliti
hal ini disebabkan karena pengantaran obat dapat mengakibatkan kerusakan pada
sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan. Sehingga dibutuhkan Standart Operasional
dalam proses penerimaan, yakni :
1. Periksa keabsahan faktur meliputi nama dan alamat Pedagang Besar Farmasi
(PBF) serta tanda tangan penanggung jawab dan stempel PBF.
2. Mencocokkan faktur dengan obat yang datang meliputi jenis dan jumlah serta
nomor batch sediaan.
3. Memeriksa kondisi fisik obat meliputi kondisi wadah dan sediaan serta tanggal
kadaluwarsa. Bila rusak maka obat dikembalikan dan minta diganti.
Setelah selesai diperiksa, faktur ditandatangani dan diberi tanggal serta
distempel. Faktur yang asli diserahkan kepada sales sedang salinan faktur disimpan
sebagai arsip.
2.5.5 Penyimpanan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72
Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, setelah barang
diterima di instalasi farmasi perlu dilakukan penyimpanan sebelum dilakukan proses
pendistribusian. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan dari
sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai sesuai dengan
persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi
persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi dan
penggolongan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai.
Komponen yang harus diperhatikan dalam hal penyimpanan antara lain:
a. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan obat diberi label yang
jelas dan terbaca yang memuat nama, tanggal pertama kemasan obat dibuka,
tanggal kadaluwarsa dan peringatan khusus
b. Elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan kecuali untuk
kebutuhan klinis yang penting
c. Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit perawatan pasien dilengkapi
dengan pengaman, harus diberi label yang jelas dan disimpan pada area yang
dibatasi ketat (restricted) untuk mencegah penatalaksanaan yang kurang hati-hati;
Sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang dibawa oleh
pasien harus disimpan secara khusus dan dapat diidentifikasikan
d. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan barang lainnya
yang dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi.
Instalasi farmasi harus dapat memastikan bahwa sediaan farmasi disimpan
secara benar dan diinspeksi secara periodik. Sediaan farmasi, alat kesehatan dan
bahan medis habis pakai yang harus disimpan secara terpisah, antara lain yaitu:
a. Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan diberi tanda
khusus bahan berbahaya.
b. Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi penandaan untuk
menghindari kesalahan pengambilan jenis gas medis.
c. Penyimpanan tabung gas medis yang telah kosong harus terpisah dari tabung gas
yang masih ada isinya.
d. Penyimpanan tabung gas medis di ruangan harus menggunakan tutup demi
menjaga keselamatan.
Metode penyimpanan obat dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk
sediaan, dan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dan
disusun secara alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expred First Out (FEFO)
dan First In First Out (FIFO) disertai dengan sistem informasi manajemen.
Penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang
memiliki penampilan dan penamaan yang mirip (LASA) tidak ditempatkan secara
berdekatan dan harus diberi penandaan khusus untuk mencegah terjadinya kesalahan
dalam pengambilan obat. Rumah sakit harus dapat menyediakan lokasi untuk
penyimpanan obat emergency untuk kondisi kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan
harus mudah diakses dan terhindar dari penyalahgunaan serta pencurian. Pengelolaan
obat emergency harus dapat menjamin:
a. Jumlah dan jenis obat sesuai daftar obat emergensi yang telah ditetapkan
b. Tidak boleh bercampur dengan persediaan obat untuk kebutuhan lain
c. Bila dipakai untuk keperluan emergency harus segera diganti
d. Dilakukan pengecekan secara berkala apakah ada yang kadaluarsa
e. Dilarang dipinjam untuk kebutuhan lain.
Menurut (Binfar, 2010) di dalam melakukan penyimpanan, Rumah sakit harus
memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
1. Penyiapan sarana penyimpanan
Adapun sarana yang minimal sebaiknya tersedia meliputi :
a. Gedung dengan luas 300 m2 - 600 m2
b. Kendaraan roda dua dan roda empat, dengan jumlah 1-3 unit,
c. Komputer + Printer dengan jumlah 1-3 unit, Telepon & Facsimile dengan
jumlah 1 unit
d. Sarana penyimpanan:
- Rak : 10-15 unit
- Pallet : 40-60 unit
- Lemari : 5-7 unit
- Lemari Khusus : 1 unit
- Cold chain (medical refrigerator)
- Cold Box
- Cold Pack Generator
e. Sarana Administrasi Umum: Brankas, MesinTik, dan Lemari arsip.
f. Sarana Administrasi Obat dan Perbekalan Kesehatan: Kartu Stok, Kartu
Persediaan Obat, Kartu Induk Persediaan Obat, Buku harian Pengeluaran
Barang, SBBK (Surat Bukti Barang Keluar), LPLPO (Laporan Pemakaian dan
Laporan Permintaan Obat), Kartu Rencana Distribusi, Lembar bantu
penentuan proporsi stok optimum.
2. Pengaturan tata ruang
Untuk mendapatkan kemudahan dalam penyimpanan, penyusunan, pencarian
dan pengawasan obat, maka diperlukan pengaturan tata ruang gudang dengan baik.
Pengaturan tata ruang selain harus memperhatikan kebersihan dan menjaga gudang
dari kebocoran dan hewan pengerat juga harus diperhatikan ergonominya. Faktor-
faktor yang perlu dipertimbangkan dalam merancang gudang adalah sebagai berikut:
a. Kemudahan bergerak
- Gudang jangan menggunakan sekat-sekat karena akan membatasi pengaturan
ruangan. Jika digunakan sekat, perhatikan posisi dinding dan pintu untuk
mempermudah gerakan.
- Berdasarkan arah arus penerimaan dan pengeluaran obat, ruang gudang dapat
ditata berdasarkan sistem yaitu Arus garis lurus, Arus U, dan Arus L
- Sirkulasi udara yang baik Salah satu faktor penting dalam merancang gudang
adalah adanya sirkulasi udara yang cukup di dalam ruangan gudang. Idealnya
adalah ada AC. jika tidak ada AC, Alternatif lain adalah menggunakan kipas
angin/ventilator/rotator. Perlu adanya pengukur suhu di ruangan penyimpanan
obat dan dilakukan pencatatan suhu.
b. Rak dan Pallet Penempatan rak yang tepat dan penggunaan pallet akan dapat
meningkatkan sirkulasi udara dan pemindahan obat. Penggunaan pallet
memberikan keuntungan :
- Sirkulasi udara dari bawah dan perlindungan terhadap banjir, serangan
serangga (rayap)
- Melindungi sedlaan dari kelembaban
- Memudahkan penanganan stok
- Dapat menampung obat lebih banyak
- Pallet lebih murah dari pada rak
c. Kondisi penyimpanan khusus
- Vaksin dan serum memerlukan Cold Chain khusus dan harus dilindungi dari
kemungkinan putusnya aliran listrik (harus tersedianya generator).
- Narkotika dan bahan berbahaya harus disimpan dalam lemari khusus dan
selalu terkunci sesuai dengan peraturan yang berlaku.
- Bahan-bahan mudah terbakar seperti alkohol, eter dan pestisida harus
disimpan dalam ruangan khusus, sebaiknya disimpan di bangunan khusus
terpisah dari gudang induk.
d. Pencegahan kebakaran
Perlu dihindari adanya penumpukan bahan-bahan yang mudah terbakar
seperti dus, karton dan lain-lain. Alat pemadam kebakaran harus diletakkan pada
tempat yang mudah dijangkau dan dalam jumlah yang cukup. Contohnya tersedia
bak pasir, tabung pemadam kebakaran, karung goni, galah berpengait besi.
3. Penyusunan obat
Penyusunan Stok Obat Obat disusun menurut bentuk sediaan dan alfabetis.
Untuk memudahkan pengendalian stok maka dilakukan langkahlangkah sebagai
berikut:
a. Gunakan prinsip First Expired date First Out (FEFO) dan First In First Out
(FIFO) dalam penyusunan obat yaitu obat yang masa kadaluwarsanya lebih
awal atau yang diterima lebih awal harus digunakan lebih awal sebab umumnya
obat yang datang lebih awal biasanya juga diproduksi lebih awal dan umurnya
relatif lebih tua dan masa kadaluwarsanya mungkin lebih awal.
b. Penyimpanan sediaan Farmasi dan perbekalan kesehatan, yang penampilan dan
penamaan yang mirip (LASA, Look Alike Sound Alike/NORUM (Nama Obat
Rupa Ucapan Mirip) tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi penandaan
khusus untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan Obat.
c. Susun obat dalam kemasan besar di atas pallet secara rapi dan teratur. Untuk
obat kemasan kecil dan jumlahnya sedikit disimpan
d. Gunakan lemari khusus untuk menyimpan narkotika dan psikotropika.
e. Simpan obat yang stabilitasnya dapat dipengaruhi oleh temperatur, udara,
cahaya dan kontaminasi bakteri pada tempat yang sesuai. Perhatikan untuk obat
yang perlu penyimpanan khusus.
f. Cantumkan nama masing-masing obat pada rak dengan rapi.
g. Apabila persediaan obat cukup banyak, maka biarkan obat tetap dalam box
masing-masing.
4. Pengamatan mutu obat
Mutu obat yang disimpan di ruang penyimpanan dapat mengalami perubahan
balk karena faktor fisik maupun kimiawi yang dapat diamati secara visual. Jika dari
pengamatan visual diduga ada kerusakan yang tidak dapat ditetapkan dengan cara
organoleptik, harus dilakukan sampling untuk pengujian laboratorium. Tanda-tanda
perubahan mutu obat :
a. Tablet : terjadinya perubahan warna, bau atau rasa, Kerusakan berupa noda,
berbintik-bintik, lubang, pecah, retak dan atau terdapat benda asing, jadi bubuk
dan lembab, Kaleng atau botol rusak, sehingga dapat mempengaruhi mutu obat
b. Kapsul : perubahan warna isi kapsul, kapsul terbuka, kosong, dan rusak atau
melekat satu dengan lainnya
c. Tablet salut : pecah-pecah, terjadi perubahan warna, basah dan lengket satu dengan
yang lainnya, dan kaleng atau botol rusak sehingga menimbulkan kelainan fisik
d. Cairan : menjadi keruh atau timbul endapan, konsistensi berubah, warna atau rasa
berubah, dan botol-botol plastik rusak atau bocor
e. Salep : warna berubah, Pot atau tube rusak atau bocor, dan bau berubah

f. Injeksi : kebocoran wadah (vial, ampul), terdapat partikel asing pada serbuk Injeksi,
larutan yang seharusnya jernih tampak keruh atau ada endapan dan warna larutan
berubah.

2.5.6 Pendistribusian
Mengacu Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 tahun
2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, distribusi merupakan
suatu rangkaian kegiatan dalam rangka menyalurkan atau menyerahkan sediaan
farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dari tempat penyimpanan sampai
kepada unit pelayanan atau pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis,
jumlah dan ketepatan waktu pemberian. Rumah sakit harus menentukan sistem
distribusi yang dapat menjamin terlaksananya pengawasan dan pengendalian sediaan
farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai di unit pelayanan. Sistem
pendistribusian di unit pelayanan dapat dilakukan dengan cara :
1. Sistem persediaan lengkap di ruangan (floor stock)
a. Pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
(BMHP) untuk persediaan di unit pelayanan farmasi rawat jalan disiapkan dan
dikelola oleh instalasi farmasi
b. Sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP yang disimpan di unit pelayanan
farmasi harus dalam jenis dan jumlah yang sangat dibutuhkan
c. Pendistribusian dilaksanakan di jam kerja pelayanan obat di unit pelayanan
farmasi rawat jalan
d. Setiap hari dilakukan serah terima kembali pengelolaan obat floor stock kepada
petugas farmasi
e. Apoteker harus menyediakan informasi, peringatan dan kemungkinan interaksi
obat pada setiap jenis obat yang disediakan di floor stock.
f. Sistem Resep Perorangan Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai berdasarkan Resep perorangan/pasien rawat jalan dan
rawat inap melalui Instalasi Farmasi.
2. Sistem Resep
Perorangan Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai berdasarkan Resep perorangan/pasien rawat jalan dan rawat
inap melalui Instalasi Farmasi
3. Sistem Unit Dose Dispensing (UDD)
Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai berdasarkan Resep perorangan yang disiapkan dalam unit dosis
4. Sistem kombinasi
Sistem pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai bagi pasien rawat inap dengan menggunakan kombinasi 1 + 2
atau 2 + 3 atau 1 + 3. Sistem distribusi Unit Dose Dispensing (UDD) sangat
dianjurkan untuk pasien rawat inap mengingat dengan sistem ini tingkat
kesalahan pemberian Obat dapat diminimalkan sampai kurang dari 5%
dibandingkan dengan sistem floor stock atau Resep individu yang mencapai
18%.
5. Sistem One Day Dose Dispensing (ODDD)
Penyediaan obat dalam sistem ini dilakukan oleh instalasi farmasi pada
pasien rawat inap yang dikemas atau disiapkan dalam dosis tunggal untuk
pemakaian sehari (24 jam). berikut merupakan kelebihan dan kekurangan sistem
ODDD (Siregar, 2004).

2.5.7 Pemusnahan
Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai yang tidak dapat digunakan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi
standar atau ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin
edar berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau berdasarkan
inisiasi sukarela oleh pemilik izin edar (voluntary recall) dengan tetap memberikan
laporan kepada Kepala BPOM. Sedangkan penarikan alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Menteri.
Pemusnahan dilakukan untuk sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai diantaranya apabila:
a. Produk tidak memenuhi persyaratan mutu
b. Telah kadaluwarsa
c. Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau
kepentingan ilmu pengetahuan
d. Dicabut izin edarnya.
Tahapan pemusnahan untuk sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai yang masuk dalam kriteria diatas diantaranya yaitu:
1. Membuat daftar sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
yang akan dimusnahkan
2. Menyiapkan Berita Acara Pemusnahan (BAP)
3. Mengkoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan kepada pihak
terkait; serta
4. Menyiapkan tempat pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan
serta peraturan yang berlaku.
Fasyankes dapat melakukan pengolahan secara insinerasi (diselesaikan di
dalam fasyankes) dan non-insinerasi. Pengolahan internal dilaksanakan dengan
metode non-insinerasi terhadap limbah farmasi dengan cara mengubah bentuk dari
bentuk semula ke dalam bentuk lain sedemikian sehingga tidak dapat digunakan
maupun disalahgunakan. Pengolahan non-insinerasi dapat dilakukan dengan
menggunakan disinfeksi kimia atau termal (autoclave/microwave) yang selanjutnya
dilakukan pengangkutan oleh pengelola sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (KEMENKES, 2020).

2.5.8 Pengendalian
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan danpenggunaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. Pengendalian
penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dapat
dilakukan oleh Instalasi Farmasi harus bersama dengan Komite/Tim Farmasi dan
Terapi di Rumah Sakit. Tujuan pengendalian persediaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai adalah untuk:
a. Penggunaan Obat sesuai dengan Formularium Rumah Sakit
b. Penggunaan Obat sesuai dengan diagnosis dan terapi
c. Memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan
kekurangan/kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, dan kehilangan serta
pengembalian pesanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai.
Cara untuk mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,dan
Bahan Medis Habis Pakai adalah:
1. Melakukan evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slow moving);
2. Melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalam waktu tiga bulan
berturut-turut (death stock);
3. Stok opname yang dilakukan secara periodik dan berkala

2.5.9 Administrasi
Administrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan untuk
memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu. Kegiatan administrasi terdiri
dari:
1. Pencatatan dan Pelaporan Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan
pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan, pendistribusian,
pengendalian persediaan, pengembalian, pemusnahan dan penarikan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. Pelaporan dibuat secara
periodik yang dilakukan Instalasi Farmasi dalam periode waktu tertentu
(bulanan, triwulanan, semester atau pertahun). Jenis-jenis pelaporan yang dibuat
menyesuaikan dengan peraturan yang berlaku. Pencatatan dilakukan untuk:
a. Persyaratan Kementerian Kesehatan/BPOM
b. Dasar akreditasi Rumah Sakit
c. Dasar audit Rumah Sakit
d. Dokumentasi farmasi. Pelaporan dilakukan sebagai komunikasi antara level
manajemen, penyiapan laporan tahunan yang komprehensif mengenai
kegiatan di Instalasi Farmasi dan laporan tahunan.
2. Administrasi Keuangan
Apabila Instalasi Farmasi harus mengelola keuangan maka perlu
menyelenggarakan administrasi keuangan. Administrasi keuangan merupakan
pengaturan anggaran, pengendalian dan analisa biaya, pengumpulan informasi
keuangan, penyiapan laporan, penggunaan laporan yang berkaitan dengan semua
kegiatan Pelayanan Kefarmasian secara rutin atau tidak rutin dalam periode
bulanan, triwulanan, semesteran atau tahunan.
3. Administrasi Penghapusan
Administrasi penghapusan merupakan kegiatan penyelesaian terhadap
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak
terpakai karena kadaluwarsa, rusak, mutu tidak memenuhi standar dengan cara
membuat usulan penghapusan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai kepada pihak terkait sesuai dengan prosedur yang berlaku.

2.6. Pelayanan Farmasi Klinik


2.6.1 Pengkajian Resep
Pengkajian dan pelayanan resep merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam
penyiapan obat (dispensing) yang meliputi penerimaan, pengkajian resep,
pemeriksaan ketersediaan produk, penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai, telaah obat, dan penyerahan disertai pemberian informasi.
Kegiatan pengkajian resep dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah terkait obat sebelum obat disiapkan. Sedangkan pelayanan
resep bertujuan agar pasien mendapatkan obat dengan tepat dan bermutu. Pengkajian
dan pelayanan resep dilakukan oleh apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Dalam
pengkajian resep tenaga teknis kefarmasian diberi kewenangan terbatas hanya dalam
aspek administratif dan farmasetik.

2.6.2 Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat


Penelusuran riwayat penggunaan merupakan suatu kegiatan mendapatkan
informasi yang akurat mengenai seluruh obat dan sediaan farmasi lain, baik resep
maupun non resep yang pernah atau sedang digunakan pasien. Kegiatan ini dilakukan
dengan cara mewawancarai pasien, keluarga/pelaku rawat (care giver) dan
dikonfirmasi dengan sumber data lain, contoh: daftar obat di rekam medis pada
admisi sebelumnya, data pengambilan obat dari Instalasi Farmasi, obat yang dibawa
pasien.
Tujuan dari penelusuran riwayat penggunaan obat adalah untuk mendeteksi
terjadinya diskrepansi (perbedaan) sehingga dapat mencegah duplikasi obat ataupun
dosis yang tidak diberikan (omission), mendeteksi riwayat alergi obat, mencegah
terjadinya interaksi obat dengan obat atau obat dengan makanan/herbal/food
supplement, mengidentifikasi ketidakpatuhan pasien terhadap rejimen terapi obat dan
mengidentifikasi adanya medication error, contoh: penyimpanan obat yang tidak
benar, salah minum jenisobat, dosis obat. Penelusuran riwayat penggunaan obat
dilaksanakan oleh apoteker.

2.6.3 Rekonsiliasi Obat


Rekonsiliasi obat adalah proses mendapatkan dan memelihara daftar semua
obat (resep dan nonresep) yang sedang pasien gunakan secara akurat dan rinci,
termasuk dosis dan frekuensi, sebelum masuk RS dan membandingkannya dengan
resep/instruksi pengobatan ketika admisi, transfer dan discharge, mengidentifikasi
adanya diskrepansi dan mencatat setiap perubahan, sehingga dihasilkan daftar yang
lengkap dan akurat. (The Institute for Healthcare Improvement, 2005).
Tujuan dari adanya rekonsiliasi obat agar memastikan informasi yang akurat
tentang obat yang digunakan pasien, mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak
terdokumentasinya instruksi dokter, mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak
terbacanya instruksi dokter, mencegah kesalahan penggunaan obat (omission,
duplikasi, salah obat, salah dosis, interaksi obat) dan untuk menjamin penggunaan
obat yang aman dan efektif. Manfaat dari rekonsiliasi obat agar pasien terhindar dari
kesalahan penggunaan obat. Rekonsiliasi obat ini dilakukan oleh Apoteker dan
Dokter.

2.6.4 Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini
dan komprehensif yang dilakukan oleh apoteker.
Tujuan dari pelayanan informasi obar agar menyediakan informasi mengenai
obat kepada pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan rumah sakit dan pihak lain di
luar rumah sakit; menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang
berhubungan dengan obat/Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai, terutama bagi Tim Farmasi dan Terapi; menunjang penggunaan obat yang
rasional; membuat kajian obat secara rutin sebagai acuan penyusunan Formularium
Rumah Sakit; membuat kajian obat untuk uji klinik di rumah sakit; mendorong
penggunaan obat yang aman dengan meminimalkan efek yang merugikan dan
mendorong penggunaan obat yang efektif dengan tercapainya tujuan terapi secara
optimal serta efektifitas biaya
Beberapa manfaat dari PIO dapat mempromosikan/peningkatan kesehatan
(Promotif): penyuluhan; CBIA; pencegahan penyakit (preventif): penyuluhan HIV,
TB; penyuluhan imunisasi; penyuluhan terhadap bahaya merokok, bahaya narkotika;
penyembuhan penyakit (kuratif): pemberian informasi obat; edukasi pada saat rawat
inap; pemulihan kesehatan (rehabilitatif): rumatan metadon; program berhenti
merokok.
Sasaran Informasi Obat seperti pasien, keluarga pasien dan atau masyarakat
umum tenaga kesehatan: dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, gizi, bidan, tenaga
teknis kefarmasian, dan lain lain. dan pihak lain: manajemen RS, tim/kepanitiaan
klinik, komite-komite dan lain-lain.
2.6.5 Konseling
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait
terapi obat dari apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya. Tujuan
Pemberian konseling obat bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pasien,
mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya
meningkatkan keamanan penggunaan obat bagi pasien (patient safety).
Manfaat dari konseling agar dapat meningkatkan hubungan kepercayaan
antara apoteker dan pasien; menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien;
membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obat; membantu pasien untuk
mengatur dan menyesuaikan penggunaan obat dengan penyakitnya; meningkatkan
kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan; mencegah atau meminimalkan
masalah terkait obat; meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya
dalam hal terapi; mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan; dan
membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan obat sehingga dapat mencapai
tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien. Konseling
dilaksanakan oleh Apoteker.

2.6.6 Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan
apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi
klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi
obat dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang
rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional
kesehatan lainnya.
Tujuan dari visite yaitu agar meningkatkan pemahaman mengenai riwayat
pengobatan pasien, perkembangan kondisi klinik, dan rencana terapi secara
komprehensif; memberikan informasi mengenai farmakologi, farmakokinetika,
bentuk sediaan obat, rejimen dosis, dan aspek lain terkait terapi obat pada pasien;
memberikan rekomendasi sebelum keputusan klinik ditetapkan dalam hal pemilihan
terapi, implementasi dan monitoring terapi; memberikan rekomendasi penyelesaian
masalah terkait penggunaan obat akibat keputusan klinik yang sudah ditetapkan
sebelumnya.
Manfaat dari visite yaitu untuk meningkatkan komunikasi apoteker, perawat,
dokter, dan tenaga kesehatan lain. Pasien mendapatkan obat sesuai indikasi dan
rejimen (bentuk sediaan, dosis, rute, frekuensi, waktu dan durasi). Pasien
mendapatkan terapi obat yang efektif dengan risiko minimal (efek samping,
kesalahan obat dan biaya).

2.6.7 Pemantauan Terapi Obat (PTO)


Pemantauan Terapi Obat (PTO) adalah kegiatan untuk memastikan terapi obat
yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan dari PTO yaitu meningkatkan
efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
(ROTD), meminimalkan biaya pengobatan dan menghormati pilihan pasien.

2.6.8 Monitoring Efek Samping Obat (MESO)


Monitoring Efek Samping Obat (MESO)/ farmakovigilans yakni kegiatan
mengenai survei efek samping obat (ESO), identifikasi obat pemicu ESO, analisis
kausalitas dan memberikan rekomendasi penatalaksanaannya.
Tujuan dari monitoring efek samping obat yaitu menemukan Efek Samping
Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal dan frekuensinya
jarang; menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang baru
saja ditemukan; mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/
mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya ESO; meminimalkan risiko kejadian
reaksi obat yang tidak dikehendaki; dan mencegah terulangnya kejadian reaksi obat
yang tidak dikehendaki.

2.6.9 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)


Evaluasi penggunaan obat (EPO) adalah proses sistematis dan
berkesinambungan dalam menilai kerasionalan terapi obat melalui evaluasi data
penggunaan obat pada suatu sistem pelayanan dengan mengacu pada kriteria dan
standar yang telah ditetapkan (ASHP). Jenis-jenis Evaluasi Penggunaan Obat:
1) Evaluasi Penggunaan Obat Kuantitatif, contoh: pola peresepan obat, pola
penggunaan obat
2) Evaluasi Penggunaan Obat Kualitatif, contoh: kerasionalan penggunaan
(indikasi, dosis, rute pemberian, hasil terapi) farmakoekonomi, contoh: analisis
Analisis Minimalisasi Biaya, Analisis Efektifitas Biaya, Analisis Manfaat Biaya,
Analisis Utilitas Biaya
Tujuan dari evaluasi penggunaan obat yaitu untuk mendorong penggunaan
obat yang rasional, meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan menurunkan
pembiayaan yang tidak perlu.

2.6.10 Dispensing Sediaan Steril


Dispensing sediaan steril adalah penyiapan sediaan farmasi steril untuk
memenuhi kebutuhan individu pasien dengan cara melakukan pelarutan, pengenceran
dan pencampuran produk steril dengan teknik aseptic untuk menjaga sterilitas sediaan
sampai diberikan kepada pasien. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Sakit, dispensing sediaan steril harus dilakukan di instalasi farmasi dengan teknik
aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas
dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.
Ruang lingkup dispensing sediaan steril meliputi:
1. Pencampuran Obat Suntik non sitostatika (IV admixture) Kegiatan meliputi:
a. Pencampuran sediaan intravena ke dalam cairan infus;
b. Pengenceran sediaan intravena
c. Rekonstitusi sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang
sesuai.
2. Penyiapan Nutrisi Parenteral Merupakan kegiatan pencampuran komponen
nutrisi: karbohidrat, protein, lipid, vitamin dan mineral untuk kebutuhan individu
pasien yang diberikan melalui intravena.
3. Pencampuran Sediaan Sitostatik Merupakan kegiatan pencampuran sediaan obat
kanker untuk kebutuhan individu pasien dan melindungi petugas dan lingkungan
dari paparan zat berbahaya.
4. Dispensing Sediaan Tetes Mata Merupakan kegiatan pencampuran sediaan tetes
mata untuk kebutuhan individu pasien.
Dispensing sediaan steril harus dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan
tujuan :
1) Menjamin sterilitas sediaan
2) Meminimalkan kesalahan pengobatan
3) Menjamin kompatibilitas dan stabilitas
4) Menghindari pemaparan zat berbahaya
5) Menghindari pencemaran lingkungan
6) Meringankan beban kerja perawat
7) Penghematan biaya penggunaan obat

Anda mungkin juga menyukai