Jadi, mulai hari ini mengaji tiap malam sama Kakek, supaya
Bagus.’’
Apa boleh buat, setiap habis magrib Hepi harus duduk berdua dengan kakeknya untuk memperlacar
kaji. Sementara itu, di sudut surau belakang ada kelompok mengaji anak SD
Yang diajar neneknya dan di satu sudut lagi ada di kelompok SMP yang diajar Bang Ketik. Attar dan
zen ada di kelompok SMP ini Mereka sudah pernah khataman semasa SD. Karena
Itu, mereka hanya mempelajari tambahan tajiwid dan irama membaca Al – Quran yang tujuh jenis.
Zen kerep meledek dia. ‘’Badan anak kota boleh besar, tapi baru bisa alif – ba – ta ,’’ katanya. Attar
Mencoba menghiburnya ‘’Ikut saja khataman seperti kata Kakek, lumayan bisa nammbah
Kawan – kawannya, Hepi mengesampingkan rasa segannya. Biarlah malu sedikit asalkan dapat duit.
Selain itu, dia tidak berani membayangkan apa yang ada di pikiran puti kalua
Orang mati’’.
Tiba salah satu orang kaya di kampung mereka, Datuk Mudo. Dia Punya kedai beras dan hasil bumi
terbesar di pasar, selain bertumpak – tumpak ladang dan sawah. Dia masih belum renta tidak sakit
apa pun, dan aktif bermasyarakat. Hepi sedih dan terkejut sekali karena baru duia hari lalu lelaki
separo baya ini menyelipkan uang ribuan ke tangannya saat dia membawa teh
talua pesanannya. Dia tidak akan pernah lupa Datuk Mudo pelanggan lapau yang paling pemurah
ini Seperti adat kebiasaan,anak – anak Surau Gadang asuhan Kakek diundang untuk membaca Yasin
ke rumah almarhum
atas pasar, sebuah rumah luas berlantai dua Di halamannya terpancang sebuah parabola besar. Ada
pula sebuah Gudang hasil bumi yang dipenuhi kayu manis, cengkih, cabai, dan bawang Di depan
Gudang berderet dua truk terbuka dan tiga timbangan besar dari kuningan. Rombongan anak – anak
ini diterima di tengagh rumah yang lantainya sudah dilapisi hambal tebal dari Mekkah Dinding
rumah ini dipenuhi foto- foto keluarga saat mereka sedang berlibur di Singapura dan umrah di Arab
Saudi. Selain anak – anak, banyak orang lain yang ikut mengaji
Yang dia tidak tahu Namanya tapi sering dia lihat lalu – Lalang
Di pasar atau di jalan kampung ini Di ujung rumah, duduk merunduk dengan kerudung istri
almarhum dan anak – anaknya. Hepi kaget menangkap wajah seseorang yang dia kenal di antara
mereka. Wajah gadis ini pucat dengan mata memerah sedih. ‘’Putri anak almarhum,’’Zen
menjelaskan. Begitu rombongan tuan rumah rumah mempersilakan tamu duduk, Kakek mulai
memimpin anak – anak pengajiannya untuk membuka surat Yasin. Ditamtkan Bersama. Tapi,
Untuk menguasai keadaan. Biasanya di tempat ‘’mengaji orang mati’’ lain, minuman
Air Putih disajikan dengan ceret dan gelas kosong. Kali ini,
Dengungan mengaji mereka Bersama. Bacaan wa’áng sudah pantas nanti ikut khataman,’’ kata
Kakek suatu kali. Hepi mengiakan saja dengan menganggu.
Ada berbagai rupa helat di kampung ini, mulai dari baralek pengulu, batagak kudo – kudo, sampai
sunatan. Sebelumnya Hepi hanya sebagai orang yang mengarak, menonton, atau menikmati dari
jauh. Baru kali ini dia akan ikut diarak. Hepi tidak menyangka acara khataman ini akan me-
Datang dari berbagai penjuru kampung untuk ikut memasak Bersama. Zen mengajak Hepi dan Attar
untuk berkeliling di dapur umum itu ‘’Kalau beruntung kita bisa dapat kudapan gratis, masih
hangat pula.’’ Dia berbisik. Hasrat makan Zen memang di atas rata – rata, sesuai ukuran lingkar
perutnya Dari pagi sudah ada tumpukan kayu bakar dan para
Laki – laki mulai membuat tungku – tungku Agak siang sedikit ada lagi rombongan ibu – ibu datang
membawa bahan yang akan dimasak. Dan mulailah merek semua bekerja sambil mengobrol dan
tertawa riang. Ada yang menumbuk bumbu, ada yang memotong kelapa dan mengumpulkan airnya
di ember, lalu ada pula yang memarut kelapa dengan mesin yang menggerung – gerung Di bagian
sayur – mayar, sekelompok ibu – ibu tampak lincah mencacah kacang Panjang, kacang buncis,
lobak pucuk ubi, rebung, dan Nangka. Adapun pada bagian lauk – pauk tampak bapak- bapak
mencincang daging sapi , mengerat daging ayam, dan mengupas sisik serta memotong – motong
Ikan.
Peracik rempah. Mereka hanya bertiga: satu pemimpin dan dua asisten. Kata Zen, hanya orang
pilihan dan tertentu saja yang dipercaya meramu dan memasukkan bumbu itu ke
Tim peracik ini dikomandoi, tidak lain dan tidak bukan, oleh legenda masak sekampung Mak Tuo Ros.
Demi acara ini dia tangan Ketika tiga anak ini melintas sambil berkata, ‘’Oi,
Mereka.
Sebentar – sebentar Mak Tuo Ros berputar dari kuali ke kuali yang permukaannya mulai
menggelegak membentuk bola- bola santan yang Meletus – letus. Di antara ruap asp dari kancah,
dia menyauk kuah yang berlinang – linang santan, menuangkan ke telapak tangannya beberapa
tetes, menghirupnya, dan mengecap – ngecapkan lidah sambil
Menghirupnya, dan mengecap – ngacapkan lidah sambil memicing – micing mata. Bila ada yang
dirasa kurang dia menaburkan beberapa jumput bumbu dan mengacau kuali. Kayu bakar bergeretak
– geretak di tungku. Uap
Putih membubung dari setiap kancah, mengirim bau wengi masakan yang melelehkan liur Hepi dan
kawan- kawannya. Tapi, pojok dapur umum yang paling menyenangkan bagi tiga anak ini adalah
bagian Penganan dan Pencuci mulut Makanan di sini lekas matang dan ibu – ibu yang menjaganya
Suka memberi. Mereka sibuk memasukkan beras ketan dan santan ke dalam bambu, lalu
menutupnya dengan daun pisang dan dimasak dengan cara memanggangnya di atas tungku
Api yang Panjang. Mereka sedang memasak segala macam lemang ditaruhnya di daun pisang dan
dimasak dengan cara memanggangnya di atas tungku api yang Panjang. Mereka sedang memasak
segala macam lemang ditaruhnya di daun pisang dan dikasihkan ke mereka.
Sepanjang hari.