KEPUTUSAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK “PONDOK TJANDRA”
NOMOR: 158/SK/RSIA-PT/VI/2014
TENTANG
Menimbang :
a. bahwa penugasan klinis staf kesehatan lainnya merupakan upaya efisien di Rumah
Sakit Ibu dan Anak “Pondok Tjandra”, terkait pelayanan Rumah Sakit;
b. bahwa penugasan klinis staf kesehatan lainnya terlaksana dengan baik, perlu kebijakan
Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak “Pondok Tjandra”, sebagai dasar penugasan
klinis staf kesehatan lainnya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam a dan b, perlu
ditetapkan dengan Keputusan Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak “Pondok Tjandra”.
Mengingat :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2009, tentang Praktek
Kedokteran.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009, tentang Rumah Sakit.
3. Kepmenkes Nomor: 81/MENKES/SK/I/2004, tentang Pedoman Penyusunan
Perencanaan Sumber Daya Manusia Kesehatan
4. Kepmenkes Nomor: 369//MENKES/SK/III/2007, tentang Standar Profesi Bidan
5. Kepmenkes Nomor: 370//MENKES/SK/III/2007, tentang Standar Profesi Ahli
Teknologi Laboratorium Kesehatan
6. Kepmenkes Nomor: 374//MENKES/SK/III/2007, tentang Standar Profesi Gizi
7. Kepmenkes Nomor: 375//MENKES/SK/III/2007, tentang Standar Profesi Radiografer
3
8. Permenkes Nomor: 1796/MENKES/Per/VIII/2011, tentang Registrasi Tenaga
Kesehatan
9. Permenkes Nomor: 1438/MENKES/Per/IX/2010, tentang Standar Pelayanan
Kedokteran
10. Keputusan Nomor: SK 002/RSBPT/IX/2013, Tahun 2013 tentang Struktur Organisasi
Rumah Rumah Sakit Ibu dan Anak “Pondok Tjandra”.
11. Keputusan Nomor: SK 001/YHB/VIII/2012 tentang Penetapan Direktur Rumah Sakit
Ibu dan Anak “Pondok Tjandra”.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
Keempat : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan apabila di kemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan dalam penetapan ini akan diadakan
perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Sidoarjo
Pada tanggal : 09 Juni 2014
Direktur,
Rumah Sakit Ibu dan Anak “Pondok Tjandra”,
4
Lampiran
Keputusan Direktur RSIA “Pondok Tjandra”
Nomor : 158/SK/RSIA-PT/VI/2014
Tanggal : 09 Juni 2014
KEBIJAKAN UMUM
KEBIJAKAN KHUSUS
1. Izin, pendidikan, pelatihan dan pengalaman dari staf professional kesehatan lainnya
digunakan untuk menyusun penugasan kerja klinis.
2. Proses mengindahkan peraturan perundangan yang relevan.
Direktur,
Rumah Sakit Ibu dan Anak “Pondok Tjandra”,
5
KPS – 16.b
6
RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK
Instalasi terkait : Semua unit pelayanan Rumah Sakit Ibu dan Anak
Pondok Tjandra
8
KPS – 16.c
KEPUTUSAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK “PONDOK TJANDRA”
NOMOR: 160/SK/RSIA-PT/VI/2014
TENTANG
Menimbang :
d. bahwa panduan penugasan klinis staf kesehatan lainnya merupakan upaya efisien di
Rumah Sakit Ibu dan Anak “Pondok Tjandra”, terkait pelayanan Rumah Sakit;
e. bahwa panduan penugasan klinis staf kesehatan lainnya terlaksana dengan baik, perlu
kebijakan Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak “Pondok Tjandra”, sebagai dasar
penugasan klinis staf kesehatan lainnya;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam a dan b, perlu
ditetapkan dengan Keputusan Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak “Pondok Tjandra”.
Mengingat :
12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2009, tentang Praktek
Kedokteran.
13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009, tentang Rumah Sakit.
14. Kepmenkes Nomor: 81/MENKES/SK/I/2004, tentang Pedoman Penyusunan
Perencanaan Sumber Daya Manusia Kesehatan
15. Kepmenkes Nomor: 369//MENKES/SK/III/2007, tentang Standar Profesi Bidan
16. Kepmenkes Nomor: 370//MENKES/SK/III/2007, tentang Standar Profesi Ahli
Teknologi Laboratorium Kesehatan
17. Kepmenkes Nomor: 374//MENKES/SK/III/2007, tentang Standar Profesi Gizi
18. Kepmenkes Nomor: 375//MENKES/SK/III/2007, tentang Standar Profesi Radiografer
10
19. Permenkes Nomor: 1796/MENKES/Per/VIII/2011, tentang Registrasi Tenaga
Kesehatan
20. Permenkes Nomor: 1438/MENKES/Per/IX/2010, tentang Standar Pelayanan
Kedokteran
21. Keputusan Nomor: SK 002/RSBPT/IX/2013, Tahun 2013 tentang Struktur Organisasi
Rumah Rumah Sakit Ibu dan Anak “Pondok Tjandra”.
22. Keputusan Nomor: SK 001/YHB/VIII/2012 tentang Penetapan Direktur Rumah Sakit
Ibu dan Anak “Pondok Tjandra”.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
Keempat : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan apabila di kemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan dalam penetapan ini akan diadakan
perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Sidoarjo
Pada tanggal : 09 Juni 2014
Direktur,
Rumah Sakit Ibu dan Anak “Pondok Tjandra”,
11
Lampiran
Keputusan Direktur RSIA “Pondok Tjandra”
Nomor : 160/SK/RSIA-PT/VI/2014
Tanggal : 09 Juni 2014
A. PENDAHULUAN
Instalasi Farmasi Rumah Sakit adalah suatu departemen atau unit atau bagian di
suatu rumah sakit yang berada di bawah pimpinan seorang apoteker dan dibantu oleh
beberapa orang apotekeryang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan kompeten secara profesional, dan merupakan tempat atau fasilitas
penyelenggaraan yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian
yang ditujukan untuk keperluan rumah sakit itu sendiri (Siregar dan Amalia, 2004).
Kegiatan pada instalasi ini terdiri dari pelayanan farmasi minimal yang meliputi
perencanaan, pengadaan, penyimpanan perbekalan farmasi, dispensing obat berdasarkan resep
bagi penderita rawat inap dan rawat jalan, pengendalian mutu, pengendalian distribusi
pelayanan umum dan spesialis, pelayanan langsung pada pasien serta pelayanan klinis yang
merupakan program rumah sakit secara keseluruhan (Siregar dan Amalia, 2004).
Menurut Kepmenkes No. 1197/Menkes/SK/X/2004 fungsi Instalasi Farmasi rumah
sakit adalah sebagai tempat pengelolaan perbekalan farmasi serta memberikan pelayanan
kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan.
Kesehatan dan gizi merupakan faktor penting karena secara langsung berpengaruh
terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM). Untuk itu, diperlukan upaya peningkatan
status gizi masyarakat melalui perbaikan gizi, baik dalam lingkup keluarga maupun pelayanan
gizi individu yang sedang dirawat di Rumah Sakit (RS). Pelayanan gizi di RS merupakan hak
setiap orang dan memerlukan pedoman agar tercapai pelayanan yang bermutu. Pelayanan
bermutu yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dibidang kesehatan. Misalnya
terapi gizi medis yang merupakan kesatuan dari asuhan medis, asuhan keperawatan dan
12
asuhan gizi hendaknya senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan (Direktorat Gizi Masyarakat, 2003)
Sesuai dengan keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 1333/Menkes/SK/XII/1999,
maka pelayanan gizi Rumah Sakit (PGRS) adalah salah satu dari 20 pelayanan wajib RS.
PGRS adalah kegiatan pelayanan gizi di Rumah Sakit untuk memenuhi kebutuhan gizi
masyarakat, baik rawat inap maupun rawat jalan, untuk kepentingan metabolisme tubuh,
dalam rangka upaya preventif, kuratif , rehabilitatif maupun promotif. Instalasi gizi merupaka
organ fungsional dalam jajaran direktorat penunjang dan pendidikan dengan kegiatan pokok
yang meliputi penyelenggaraan makanan, asuhan gizi rawat inap, asuhan gizi rawat jalan dan
penelitian pengembangan gizi terapan (Aritonang, 2009).
Ruang lingkup kegiatan manajemen asuhan gizi meliputi sub instalasi Pelayanan Gizi
Ruang Rawat (PGRR) dan Subinstalasi pendidikan, penyuluhan, Konsultasi dan Rujukan Gizi
(PPKR). Sedangkan peran ahli gizi dalam penyelenggaraan makanan sangat diperlukan antara
lain dalam penentuan kecukupan gizi, perencanaan menu, hingga menentukan indikator mutu.
Selain itu, juga melakukan pengawasan kualitas dan kuantitas makanan sesuai mutu dan
spesifikasi, serta menganalisis harga makanan (Aritonang, 2009).
Proses pelayanan gizi rawat inap dan rawat jalan terdiri atas empat tahap, yaitu : 1)
Assesment atau pengkajian gizi; 2) Perencanaan pelayanan gizi dengan menetapkan tujuan
dan strategi; 3) Implementasi pelayanan gizi sesuai rencana; 4) Monitoring dan evaluasi
pelayanan gizi (Almatsier, 2004).
Pelayanan gizi di rumah sakit menduduki tempat yang sama penting dengan pelayanan
lain seperti pelayanan pengobatan, perawatan medis dan sebagainya yang diberikan untuk
penyembuhan penyakit. Bentuk pelayanan gizi rumah sakit akan bergantung pada tipe rumah
sakit, macam pelayanan spesialistis yang diberikan di rumah sakit tersebut (Moehji, 2003).
13
Radiografer adalah tenaga kesehatan yang diberi tugas, wewenang dan tanggung
jawab oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan radiografi dan imejing di unit
Pelayanan Kesehatan. Radiografer merupakan tenaga kesehatan yang memberi kontribusi
bidang radiografi dan imejing dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan.
Radiografer lebih banyak di dayagunakan dalam upaya pelayanan kesehatan rujukan
dan penunjang, utamanya pelayanan kesehatan yang menggunakan peralatan / sumber yang
mengeluarkan radiasi pengion dan non pengion. Saat ini radiografer di dalam menerapkan
kompetensinya masih difokuskan pada pelayanan radiologi, yaitu meliputi pelayanan
kesehatan bidang radiodiagnostik, imejing, radioterapi dan kedokteran nuklir.
Dalam menjalankan tugasnya baik secara mandiri maupun dalam satu tim dengan
tenaga kesehatan lainnya (Dokter, Dokter Spesialis, Dokter Spesialis Radiologi, Dokter
Kedokteran Nuklir, dll ) memberikan pelayanan kesehatan bidang radiasi kepada masyarakat
umum maupun ilmiah sesuai dengan tugas dan fungsinya sebatas kewenangan yang di landasi
oleh Etika Profesi.
1. Kewenangan Apoteker
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, apoteker memiliki kewenangan sebagai berikut.
1. Berhak melakukan pekerjaan kefarmasian (Permenkes No.922 tahun 1993,
Kepmenkes No. 1332 tahun 2002, Kepmenkes N0. 1027 tahun 2004, serta batasan
pekerjaan kefarmasian UU No. 23 tahun 1992).
2. Berwenang menjadi penanggung jawab pedagang besar farmasi penyalur obat
dan/atau bahan baku obat (Permenkes No. 1191 tahun 2002 pasal 7).
3. Berhak menjalankan peracikan (pembuatan atau penyerahan obat-obatan untuk
maksud-maksud kesehatan} Obat (Reglement DVG St. 1949 NCL228 pasal 56 dan
UU Obat Keras/St. No. 419 tgl 22 Desember 1949 pasal 1).
4. Berwenang menyelenggarakan apotek di suatu tempat tertentu setelah mendapat surat
izin apotek dari menteri (PP No.25 tahun 1980 pasal 3; Permenkes N0. 922 tahun
1991 pasal 1 dan Kepmenkes No. 1332 tahun 2002).
5. Berwenang menjadi penanggung jawab produksi di in- dustri farmasi obatjadi dan
bahan baku obat (SK Menkes No.245 tahun 1990).
14
6. Berwenang menjadi penanggung jawab usaha industri obat tradisional {Permenkes
M0246 tahun 1990 pasal 8).
7. Berwenang menjadi penanggung jawab pengawasan mutu di industri farmasi obat jadi
dan bahan baku obat (SK Menkes No.245 tahun 1990).
8. Berwenang menyalurkan dan menerima obat keras melalui pedagang besar farmasi
atau apotek {Permenkes Nc-.918 tahun 1993 pasal 16).
9. Melakukan masa bakti apoteker di sarana kesehatan pemerintah atau sarana kesehatan
lain, seperti sarana kesehatan milik BUMN/BUML, industri farmasi (pabrik obat dan
bahan bahan obat}, industri obat tradisional, industri kosmetika, industri makanan dan
minuman, apotek di luar ibukota negara, pedagang besar farmasi, rumah sakit,
pendidikan tinggi dan menengah bidang farmasi milik swasta (sebagai pengajar), atau
di lembaga penelitian dan pengembangan (sebagai peneliti). (Permenkes No.149 tahun
1998)
10. Mendapat surat penugasan jika sudah melengkapi persyaratan administratif
2. Kewajiban Apoteker
Pelayanan gizi yang lengkap umumnya diselenggarakan di rumah sakit tipe A, tipe B
dan beberapa rumah sakit tipe C terdiri dari :
1) Penyediaan, pengelolaan dan penyaluran makanan bagi pasien, baik makanan biasa
maupun makanan diet
2) Pelayanan gizi di ruang perawatan, terutama untuk melayani pasien yang memerlukan
makanan khusus atau diet khusus
3) Pelayanan konsultasi gizi, baik bagi penderita rawat jalan maupun penderita rawat tinggal
4) Berbagai kegiatan penelitian untuk mengembangkan teknologi penyembuhan penyakit
melalui pengaturan makanan dan aspek-aspek lain dari pelayanan gizi; dan
5) Pendidikan bagi tenaga paramedis terutama yang bertugas di ruang perawatan bertalian
dengan kegiatan pelayanan gizi di ruang perawatan (Moehji, 2003).
Dalam aplikasinya, para ahli gizi bisa menerapkan beberapa model pelayanan gizi,
yang bisa diaplikasikan di rumah sakit maupun masyarakat, namun tidak semua model
pelayanan tersebut sudah standar. Minimal ada 3 model yang dipakai atau dikembangkan di
institusi pelayan kesehatan yaitu sebagai berikut :
Pertama, model yang sebenarnya tidak dianjurkan dimaa setiap profesi (Dokter, perawat,
Ahli gizi/Dietisen) menangani pasiennya masing-masing tanpa ada hubungan dan koordinasi
antar profesi. Ahli gizi menyiapkan makanan pasien sesuai pemahamannya tanpa ada
informasi mengenai keadaan pasien yang akurat dari dokter, perawat, maupun profesi lain
yang terkait.
16
Kedua, model pelayanan gizi yang kurang lebih serupa dengan model pertama, tetapi bentuk
pelayanan dilakukan oleh tim yang dikenal dengan Nutrition Support Team (NST), yang
terdiri dari dokter, perawat, pharmacist (ahli obat-obatan) dan dietetion/ahli gizi. Pada model
kedua ini juga belum ada koordinasi antara masing-masing profesi dalam satu pelayanan bagi
pasien, namun mereka telah menerapkan pelayanan terstandar yang dikerjakan dalam satu
tim. Salah satu kelemahan dari model kedua ini adalah banyaknya profesi yang harus terlibat
dalam satu pelayanan pasien. Pelayanan semacam ini umumnya diterapkan di rumah saki
yang memiliki sumberdaya manusia cukup banyak. Model ini juga sudah menerapkan proses
asuhan gizi secara tim, yang dikenal dengan istilah Nutritional Care Process (NCP).
Ketiga, model yang banyak direkomendasikan, dimana aplikasi pelayanan gizi dilaksanakan
dalam satu tim, dengan melibatkan dokter, perawat dan dietisen/ahli gizi. Keterlibatan
masing-masing profesi dalam pelayanan ini benar-benar maksimal dan terjadi koordinasi
antar profesi, sehingga dalam memutuskan bentuk pelayanan yang akan diberikan kepada
pasien memiliki tujuan yang sama
Dari model ketiga tersebut muncul pola kerjasama atau kolaborasi antara tenaga gizi,
dokter dan perawat dalam suatu teamwork yang seharusnya diterapkan bagi pasien . Ciri
kerjasama antar kelompok kerja ini dalam menyelesaikan masalah klien adalah : koordinasi,
saling berbagi, kompromi, interrelasi, saling ketergantungan atau interdependensi serta
kebersamaan. Dengan demikian, diantara semua profesi harus mempunyai satu kesatuan
komitmen dan kemampuan serta tanggung jawab dalam merespon masalah kesehatan (Bakri,
2010).
Ahli gizi dan ahli madya gizi, sebagai pekerja profesional harus memiliki persyaratan
seperti berikut :
1) Memberikan pelayanan kepada masyarakat yang bersifat khusus atau spesialis
2) Melalui jenjang pendidikan yang menyiapkan tenaga professional
3) Keberadaannya diakui dan diperlukan oleh masyarakat
4) Mempunyai kewenangan yang disyahkan atau diberikan oleh pemerintah
5) Mempunyai peran dan fungsi yang jelas dan terukur
6) Memiliki organisasi profesi sebagai wadah
7) Memiliki etika ahli gizi
8) Memiliki standar praktek
9) Memiliki standar pendidikan yang mendasarinya dan mengembangkan profesi
sesuai dengan pelayanan
10) Memiliki standar berkelanjutan sebagai wahana pengembangan kompetensi
17
Pada dasarnya, terdapat beberapa peran ahli gizi di Rumah Sakit diantaranya adalah :
1) Pelaku tatalaksana/asuhan/pelayanan gizi klinik
2) Pengelola tatalaksana/asuhan/pelayanan gizi di rumah sakit
3) Penyuluh/konsultan gizi
4) Pengelola sistim penyelenggaraan makanan rumah sakit
5) Berpartisipasi bersama tim kesehatan dan lintas sektoral
6) Pelaku praktik kegizian yang bekerja secara professional dan etis
7) Pelaksana peneitian gizi
18
(Shortcourse, seminar/symposium/work shop), kemitraan dengan profesi lain khususnya tim
asuhan gizi juga perlu ditingkatkan sehingga kegiatan asuhan gizi lebih optimal dijalankan.
Untuk memudahkan para ahli gizi dalam memahami tentang kode etik profesi gizi,
dapat ditarik tentang essensi yang terkandung dari masing-masing kewajiban yang ada,
dengan menggunakan kata kunci sebagai berikut :
1. Kewajiban terhadap Klien :
Ahli gizi, sepanjang waktu menjalankan profesinya, senantiasa berusaha untuk :
a. Memeihara dan meningkatkan status gizi klien, baik dalam lingkup institusi
pendidikan gizi maupun dalam masyarakat umum
b. Menjaga kerahasiaan klien/masyarakat
c. Menghormati, menghargai, tidak mendiskriminasikan
d. Memberikan pelayanan gizi yang prima
e. Memberikan informasi yang tepat, jelas, dan apabila tidak mampu, senantiasa
berkonsultasi.
2. Kewajiban terhadap Masyarakat :
Ahli gizi, sepanjang waktu menjalani profesinya, senantiasa berusaha untuk :
a. Melindungi masyarakat dari informasi yang keliru, dan mengarahkan kepada
kebenaran
b. Melakukan pengawasan pangan dan gizi
19
i. Benar-benar melaksanakan tugas pelayanan gizi
Dimensi Kompetensi
1. Mampu melakukan tugas per tugas (task skills). Contoh : Mampu melakukan
pengambilan sampel dan memindahkan biakan secara aseptik.
2. Mampu mengelola sejumlah tugas yang berbeda dalam melaksanakan pekerjaan (task
management skills). Contoh : Mampu melakukan pengambilan sampel dan
memindahkan biakan secara aseptik.
3. Mampu menanggapi kelainan dan kerusakan dalam pekerjaan sehari-hari (contingency
management skills). Contoh : Sedang memindahkan biakan, gas habis. Menggunakan
lampu spiritus untuk sterilisasi ose.
4. Mampu mengahadapi tanggung jawab dan harapan dari lingkungan kerja termasuk
bekerjasama dengan orang lain (Job role Environment Skills). Contoh : Biakan
tumpah, menangani tumpahan (didisinfeksi) sehingga tidak membahayakan dirinya
dan orang lain / lingkungan.
5. Mampu mentransfer kompetensi yang dimiliki dalam setiap situasi yang berbeda
/situasi yang baru/ tempat kerja yang baru (transfer skills/adaptation skills). Contoh :
Memindahkan biakan bakteri dalam safety cabinet.
22
9. Merancang dan melaksanakan penelitian dalam bidang laboratorium kesehatan.
Ruang Lingkup
23
Tanggung jawab Radiografer secara umum adalah menjamin terselenggaranya pelayanan
kesehatan bidang radiologi / radiografi dengan tingkat keakurasian dan keamanan yang
memadai.
Tugas Radiografer
Didalam bidang pelayanan radiologi tugas Radiografer dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Di bidang Radiodiagnostik
Melakukan pemeriksaan secara radiografi pada organ tubuh sesuai dengan permintaan
pemeriksaan radiologi yang hasilnya digunakan untuk menegakkan diagnosa oleh dokter
spesialis radiologi. Hasil pemeriksaan radiografi ditentukan dan atau dipengaruhi oleh
faktor eksposi, teknik pemeriksaan, teknik prosesing film, kualitas cairan prosesing dan
kualitas peralatan yang digunakan. Untuk dapat menghasilkan tampilan radiografi yang
dapat dinilai maka semua faktor – faktor tersebut diatas dapat dipahami, di mengerti dan
dilakukan dengan baik dan benar oleh Radiografer.
b. Pemasangan wedge serta lain sebagainya.
Dengan demikian radiogrfer harus mampu secara professional membaca dan
menerjemahkan/meninterpretasi satus/ rekam medik terapi radiasi sehingga tidak terjadi
kesalahan teknis. Begitu pula mampu memanipulasi peralatan pesawat/sumber radiasi
yang semakin canggih, serta pemakaian alat bantu terapi radiasi dan yang terpenting
adalah merasa empati kepada pasien yang dilakukan penyinaran, sehingga dapat
memberikan informasi mengenai penyinaran yang dilakukan dan selalu bertanggung
jawab terhadap setiap besarnya dosis radiasi yang diberikan kepada pasien.
c. Bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja dengan Radiasi
Melakukan prosedur kerja dengan zat radioaktif atau sumber radiasi lainnya, karena
sebagian besar radiogrfer adalah petugas proteksi radiasi ( PPR ) maka bertugas untuk
melakukan upaya tindakan proteksi radiasi dalam rangka meningkatkan kesehatan dan
keselamatan kerja bagi pekerja radiasi, pasien dan lingkungan.
d. Pengelolaan Sarana dan Prasarana Peralatan Radiologi
Mutu pelayanan kesehatan bidang radiologi tidak saja ditentukan oleh kualitas sumber
daya manusia penyelenggara pelayanan, tetapi juga sangat ditentukan oleh kualitas
sarana, prasarana dan peralatan yang digunakan, oleh sebab itu kemampuan radiografer
dalam mengelola khususnya memelihara sarana, prasarana dan peralatan radiologi dalam
batas kewenangannya sangat menentukan kualitas hasil layanan yang diberikan.
Pemeliharaan tersebut meliputi pemeliharaan kontak film screen, viewing Box, safe Light
24
untuk kerja otomatis prosesing film, kebersihan pesawat, yang semuanya tercakup dalam
upaya dan tindakan Quality Assurance radiology.
e. Pengembangan Diri
Melakukan pengembangan profesionalisme secara terus–menerus melalui pendidikan
formal dan atau non formal, pendidikan dan pelatihan ilmiah secara berkala dan
berkelanjutan sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki dan atau disiplin ilmu lainnya
yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan radiologi, seminar,
workshop dan lain sebagainya baik di dalam maupun diluar negeri.
Fungsi Radiografer
E. DAFTAR PUSTAKA
Direktur,
Rumah Sakit Ibu dan Anak “Pondok Tjandra”,
26