Anda di halaman 1dari 24

Ringkasan Mata Kuliah Korupsi :

TINDAK PIDANA KORUPSI


“Power tend to corrupt and absolut power corrupts absolutely”

Pengantar

Mengawali tulisan perihal kurupsi, ungkapan usang yang dikemukakan oleh Lord
Action bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut
cenderung korupsi absolut senagaja dikutip untuk mengingatkan bahwa kekuasaan
sangat rentan terhadap korupsi. Bahkan empat tipe korupsi yang dikemukakan oleh
Piers Beirne dan James Messerschmidt semuanya berkaitan erat dengan
kekuasaan. Keempat tipe tersebut adalah :

a. Political bribery

Termasuk kekuasaan di bidang legislatif sebagai badan pembentuk undang –


undang, secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena
dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berkaitan dengan
aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha berharap anggota yang duduk di
parlemen dapat membuat aturan yang menguntungkan mereka.

b. Political kicback

Kegiatan – kegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan


antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang untuk
mendatangkan banyak uang bagi pihak – pihak yang bersangkutan.

c. Election fraud,

Korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilihan umum.

d. Corrupt campaign practices

Praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas negara maupun uang negara oleh
calon yang sedang memegang kekuasaan negara.
2

Terlepas dari rentannya kekuasaan terhadap korupsi, saat ini ketika


memasuki abad ke-21 visi masyarakat internasional termasuk Indonesia terdapat
kesepakatan untuk saling bekerjasama dalam pemberantasan praktek – praktek
korupsi. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya deklarasi pemberantasan
korupsi di Lima, Peru pada tanggal 7 11 September 1997 dalam konferensi anti
korupsi yang dihadiri oleh 93 negara.

Deklarasi yang kemudian dikenal dengan Declaration of 8 th International


Conference against corruption diyakini bahwa korupsi mengerori tatanan moral
masyarakat., mengingkari hak – hak sosial dan ekonomi dari kalangan kurang
mampu dan lemah. Demikian pula korupsi dianggap menggerogoti demokrasi,
merusak aturan hukum yang merupakan dasar dari setiap masyarakat,
memundurkan pembangunan dan menjauhkan masyarakat dari manfaat persaingan
bebas dan terbuka, khususnya bagi kalangan kurang mampu.

Konferensi tersebut juga mempercayai bahwa memerangi korupsi adalah


urusan setiap orang dari setiap masyarakat. Memerangi korupsi mencakup pula
mempertahankan dan memperkuat nilai – nilai etika dalam semua masyarakat.
Karena itu sangat penting untuk menumbuhkan kerjasama diantara pemerintah,
masyarakat sipil, dan pihak usaha swasta. Peran dari masyarakat sipil adalah untuk
menghilangkan resistensi yang muncul dari pihak – pihak yang menyukai status quo
dan untuk memobilisasi masyarakat umum untuk melakukan reformasi guna
memberantas korupsi.

Perkembangan berikutnya, melalui Ad Hoc Committee For The Negotiation Of


The United Nation Conventions Against Corruption sejak tanggal 1 Oktober 2003
lebih kurang 107 negara telah menyetujui korupsi sebagai transnational crime.
Indonesia termasuk salah satu negara yang telah menyetujui Convention Against
Corruption yang diselenggarakan di Wina tersebut. Ulasan selanjutnya akan
membahas pengertian korupsi dan perkembangan peraturan yang menyangkut
pemberantasan korupsi sejak tahun 1957.

Pengertian Korupsi

Dilihat dari segi peristilahan, kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio
atau menurut Webster Student Dictionary adalah corruptus. Selanjutnya disebutkan
bahwa corruptio itu berasal dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih
tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa du Eropa seperti Inggris:
corruption, corrupt; Perancis corruption, dan Belanda corruptie (korruptie). Dapat
diduga istlah korupsi berasal dari bahasa Belanda ini yang kemudian diadopsi ke
dalam bahasa Indonesia “korupsi”.
3

Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan,


ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata
atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti dapat dibaca dalam The
Lexicon Webster Dictionary: corruption (L. Corruptio (n-) The act of corrupting or the
state of being corrupt;putrefactive decomposition. Putrid matter; moral perversion;
depravity, perversion of integrity; corrupt or dishonest proceeding, bribery;

perversion from a state of purity; debasement, as of a language; a debased


from of a word”.

Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata
bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam kamus Umum
Bahasa Indonesia “ Korupsi adalahperbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang sogok dan sebagainya.

Di Malaysia terdapat juga peraturan antikorupsi. Akan tetapi di Malaysia tidak


dugunakan kata korupsi melainkan kata peraturan “ anti kerakusan”. Sering pula
malaysia menggunakan istilah resuab yang tentulah berasal dari bahasa Arab
(riswab). Menurut kamu Arab-Indonesia riswab artinya sama dengan korupsi.
Dengan pengertian korupsi secara harafiah itu dapat ditarik suatu kesimpulan,
bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah sangat luas artinya. Seperti
disimpulkan dalam Encyclopedia Americana, korupsi itu adalah suatu hal yang
bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa.

Dengan demikian, pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah


korupsi bermacam-macam pula, dan artinya sesuai pula dari segi mana kita
mendekati masalah itu. Pendekatan sosiologi misalnya, seperti hal yang dilakukan
oleh Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain
artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif, begitu pula dengan politik
ataupun ekonomi. Misalnya Alatas memasukkan nepotisme sebagai kelompok
korupsi dalam klasifikasinya memasang keluarga atau teman pada posisi
pemerintahan tanpa memenuhi syarat untuk itu. Tentunya hal seperti ini sangat
sukar dicari normanya dalam hukum pidana.

Begitu pula Mubyarto menyorot korupsi dan penyuapan dari segi politik dan
ekonomi yang mengutip pendapat Smith sebagai berikut.

Of the whole corruption in Indonesia appears to present more of a recurring political


problem than a economic one. It undermines the legitimacy of the government in the
eyes of the young, educated elite and most civil servant. Corruption reduces support
for the government among eliles at the province and regency level. (Secara
keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik dari
pada ekonomi.
4

Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah dimana generasi muda, kaum elite


terdidik dan pegawai negeri pada umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada
pemerintah dari kelompok elite di tingkat propinsi dan kabupaten).

Meluasnya kejahatan korupsi di Indonesia telah terjadi sejak orde lama dan
mencapai puncaknya pada masa Orde Baru. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari
latar belakang munculnya beberapa peraturan tentang pemberantasan korupsi.
Setelah KUHP dirasakan tidak mampu lagi menjerat pelaku kejahatan korupsi,
peraturan perundangan yang menjadi dasar penanggulangan kejahatan ini telah silih
berganti. Upaya perbaikan yang menyangkut perumusan delik, perluasan perbuatan,
perluasan subyek delik, maupun hukum acara agar mampu menjangkau pelaku
korupsi telah dilakukan.

Peraturan Penguasa Perang Pusat

Pada tanggal 14 Maret 1957 seluruh wilayah Indonesia termasuk semua perairan
teritorialnya dinyatakan dalam keadaan darurat perang (Staat Oorlog van Beleg)
melalui Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 1957. selanjutnya pada tanggal 17
Desember 1957 dengan Keputusan Presiden Nomor 225 Tahun 1957 keadaan
perang tersebut dicabut kembali dan seketika itu pula dinyatakan dalam keadaan
perang. Dengan Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1957 ternyata Keputusan
presiden Nomor 225 Tahun 1957 disahkan oleh DPR, sehingga dengan demikian
keadaan perang diseluruh wilayah Republik Indonesia termasuk semua teritorial
perairannya itu tetap berlaku sampai satu tahun sejak disahkannya dengan undang-
undang (lihat Undang-Undang Nomor 74 1957).

Sehubungan dengan peryantaan keadaan perang telah disahkan menjadi


undang-undang, maka penguasa perang seperti yang disebutkan dalam Pasal 7
ayat (2) Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 mempunyai kekuasaan untuk
membuat peraturan-peraturan. Diantara sekian banyak peraturan yang dibuat oleh
penguasa perang tersebut terdapat Peraturan Penguasa Militer tanggal 9 April 1957
Nomor Prt/PM/06/1957, tanggal 27 Mei 1957 Nomor Prt/PM/03/1957. dan tanggal 1
Juli 1957 Nomor Prt/011/PM/1957.

Pertimbangan dari peraturan yang pertama diatas (9 April 1957 Nomor


Prt/PM/06/1957) menyatakan antara lain: Bahwa berhubung tidak adanya
kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan
keuangan dan perekonomian negara, yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi,
perlu segera menetapkan suatu tata cara kerja untuk dapat menerobos kemacetan
dalam usaha-usaha memberantas korupsi dan seterusnya.
5

Berdasarkan pertimbangan tersebut, dapat diketahui adanya usaha untuk


pertama kali memakai istilah ‘korupsi’ sebagai istilah hukum dan memberi batasan
pengertian korupsi sebagai berikut, Perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan
dan perekonomian negara.

Dalam kaitan dengan berlakunya Pasal 60 Undang-Undang Nomor 74 Tahun


1957 tentang Keadaan bahaya, ketiga peraturan penguasa militer tersebut diatas
menurut hukum pada tanggal 17 April 1958 akan tidak berlaku lagi, maka diganti
dengan peraturan pemberantasan Korupsi Prn Penguasa Perang Pusat Nomor Prtl
Peperpul 013/1958 yang ditetapkan dan diumumkan pada tanggal 16 April 1958
dalam Berita Negara Nomor 40/1958. pertimbangan peraturan ini, khususnya pada
butir a dinyatakan, “Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang menyangkut
keuangan negara atau daerah atau badan hukum yang mempergunakan modal dan
atau keloggaran-kelanggaran lainnya dari masyarakat misalnya bank, wakaf dan
lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan si pembuatan pidana, perlu
diadakan tambahan berupa peraturan pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan
yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi.

Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa pembuat peraturan


masih berusaha memperbaiki dan menambah peraturan yang terdahulu agar lebih
efektif dalam memberantas korupsi. Fokus dari peraturan ini adalah bentuk khusus
dari perbuatan korupsi, yaitu menyangkut keuangan negara atau daerah atau badan
hukum lain yang mempergunakan modal dan atau keloggaran yang lain dari
masyarakat. Hal ini dapat dimengerti karena pada saat pembuatan peraturan itu
(sekitar 1957 – 1958) sedang ramai-ramainya pengambilalihan dan pengurusan
perusahaan-perusahaan milik Belanda menjadi perusahaan Negara. Dari
pertimbangan itu pula dapat ditarik kesimpulan bahwa KUHP saja tidaklah cukup
untuk menampung segala masalah yang timbul berhubungan dengan perbuatan
yang merugikan keuangan itu.

Kemudian peraturan tersebut di atas diberlakukan untuk wilayah hukum


Angkatan Laut dengan surat keputusan kepala staf Angkatan laut Nomor Z/1/1/7,
Tanggal 17 April 1958 (Berita Negara Nomor 42 Tahun 1958). Menarik dari
ketentuan peraturan penguasa perang pusat (Angkatan Darat dan Laut) tersebut
adalah tentang pengertian korupsi yang tersebut pada bagian I Pasal 1 yang
dijabarkan pada pasal 2 dan pasal 3. dalam pasal-pasal tersebut ditentukan bahwa
perbuatan korupsi terdiri atas perbuatan korupsi pidana dan perbuatan korupsi
lainnya (pasal 1).

Dalam penjelasan pasal tersebut dapat diketahui bahwa perbuatan korupsi pidana
adalah sebagai berikut :
6

a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan


atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian
negara atau daerah atau merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan
kelonggaran – kelonggaran masyarakat.

b. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan


atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau suatu badan dan yang dilakukan
dengan menyalagunakan jabatan atau kedudukan.

c. Kejahatan – kejahatan tercantum dalam pasal 40 sampai dengan pasal 50


peraturan penguasa perang pusat ini dalam pasal 209, pasal 210, pasal 418, pasal
419 dan pasal 420 KUHP (pasal 2).

Batasan pengertian perbuatan korupsi dalam perkembangan selanjutnya


unsur – unsur perbuatan korupsi diambil alih oleh undang – undang yang lahir
kemudian sebagai unsur delik dengan perbaikan redaksi serta penambahan delik-
delik dari KUHP. Bila ditinjau dari apa yang tercantum pada penjelasan sub a
tersebut diatas, maka unsur pertama dari korupsi adalah dengan atau karena
melakukan kejahatan atau pelanggaran. Sedangkan unsur kedua yaitu,
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung
atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah
atau merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau
badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran
masyarakat.

Berdasarkan kedua unsur tersebut, pembuat peraturan tidak menjelaskan


kejahatan atau pelanggaran macam apa yang dimaksud. Dengan demikian batasan
korupsi menjadi sangat luas yang penting adalah membawa akibat memperkaya diri
dan seterusnya.

Sementara yang dimaksud dengan korupsi pidana oleh Peraturan Penguasa


Perang Pusat ini dijelaskan dalam Pasal 3 sebagai berikut:

a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan


melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah atau
merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara
atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-
kelonggaran dari masyarakat.

b. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan


melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang
dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
7

Berdasarkan pasal tersebut, yang menjadi pertanyaan penting ialah apakah yang
dimaksud oleh pembuat peraturan dengan perkataan melawan hukum.

Apakah ini terjemahan dari istilah onrechmating menurut hukum perdata


ataukah wederreshtelijk menurut hukum pidana? Apabila melawan hukum sebagai
terjemahan dari onrechmatige, maka disitu dianggap sebagai perbuatan perdata,
bukan sebagai perbuatan pidana. Namun demikian unsur melawan hukum tidak
dimaksudkan sebagai inrechtmating, tetapi memiliki pengertian formal
wederrechtelijk dan materiaal wederrechtelijk.

Perlu dijelaskan bahwa melawan hukum adalah salah satu unsur mutlak dari
perbuatan pidana. Biasanya unsur tersebut tidak perlu dinyatakan secara eksplisit
dalam suatu rumusan delik. Apabila kata melawan hukum dimasukkan dalam
rumusan delik, maka konsekuensinya unsur tersebut harus dibuktikan oleh jaksa
penuntut umum dalam persidangan. Kata melawan hukum yang terdapat dalam
suatu rumusan delik memberikan makna melawan hukum khusus. Selain melawan
hukum khusus, kata melawan hukum mempunyai tiga makna lainnya. Pertama,
melawan hukum umum dalam pengertian melawan hukum sebagai elemen atau
unsur perbuatan pidana. Kedua, melawan hukum formal dan yang ketiga adalah
melawan hukum material sebagaimana tersebut diatas.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Dari permulaan dapat diketahui bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat


tentang pemberantasan korupsi hanya bersifat darurat, temporer dan berlandaskan
pada undang-undang Keadaan Bahaya. Dalam keadaan normal peraturan itu perlu
dicabut dan jika masih dibutuhkan adanya peraturan tindak pidana korupsi sebagai
bagian dari hukum pidana khusus, perlu disusun dalam bentuk suatu undang-
undang. Undang-undang yang dimaksudkan adalah Undang-Undang Nomor 24
(PRP) 1960 tentang Pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi.

Pada awalnya, Undang-Undang Nomor 24 (PRP) 1960 berbentuk Peraturan


Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang kemudian disahkan menjadi Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Semua Undang-Undang Darurat
dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang sudah ada
sebelum Tanggal 1 Januari 1961 menjadi Undang-Undang.

Definisi perbuatan pidana korupsi menurut undang-undang tersebut


dirumuskan dalam Pasal 1 menyatakan: Pertana, Tindakan seseorang yang dengan
atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri
8

atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung
merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan
keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah

atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran


dari negara atau masyarakat.

Kedua, Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan
atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan dan yang
dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

Ketiga, Kejahatan tercantum dalam Pasal 17 dan Pasal 21 Peraturan ini dan dalam
Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.

Apabila dicermati, rumusan delik dalam Undang-Undang Nomor 24 (PRP) 1960


tidak banyak berbeda dengan peraturan penguasa perang tersebut diatas.
Perumusan perbuatan korupsi pidana pasal 1 sub a (pertama) ternyata hanya
mengambil alih peraturan sebelumnya dengan redaksi yang sepenuhnya sama,
hanya saja perbuatan diganti dengan kata tindakan, karena undang-undang tersebut
memakai istilah “tindak pidana” bukan “perbuatan pidana”. Kemudian rumusan
langsung atau tidak langsung merugiukan keuangan negara dan seterusnya diganti
dengan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

Pada sub c (ketiga) ditunjuk kejahatan yang tercantum dalam pasal 41 sampai 50
Peraturan Penguasa Perang Pusat, dan Pasal-Pasal KUHP yang dimaksud adalah
pasal 209, 210, 418 dan 420 KUHP. Pasal-pasal tersebut berkaitan dengan
penyuapan baik yang aktif (active amkoping), maupun yang pasif (passive
omkoping). Kejahatan yang dipandang korupsi tetapi tidak dimasukkan dalam
undang-undang tersebut adalah pasal 415 KUHP tetang penggelapan oleh pegawai
negeri. Mungkin pembuat peraturan tersebut memandang bahwa kejahatan seperti
itu sudah terangkum dalam sub a, seperti telaj diuraikan di depan. Penggelapan oleh
pegawai negeri termasuk kejahatan yang sudah barang tentu merugikan keuangan
atau perekonomin negara. Permasalahannya apakah orang itu memperkaya diri
atau orang lain atau suatu badan dengan perbuatan penggelapan itu.

Perumusan sub c (ketiga) ini pun tercantum dalam Undang-Undang (PRP) Nomor
24 tahun 1960, dengan mengganti pasal 40 sampai 50 peraturan Penguasa Perang
Pusat menjadi pasal 17 dan 21, sesuai dengan apa yang terdapat dalam undang-
undang tersebut. Selain itu juga dimasukkan pasal-pasal KUHP yang bertalian
dengan suap menyuap dan diperluas, sehingga meliputi pula pasal-pasal 1415, 416,
417, 423, 425, 435 KUHP.
9

Memang ini menjadi kekurangan Peraturan Penguasa Perang Pusat karena


penggelapan oleh pegawai negeri benar merupakan bentuk inti korupsi disamping
masalah suap menyuap (209, 210, 418, 419, dan 420). Demikian pula dengan pasal
423, dan pasal 425 merupakan bentuk extortion yang disebut knevelary.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi.

Berbagai ketentuan undang-undang nomor 24 tahun 1960 dalam perkembangannya


dirasakan tidak mampu untuk menyelamatkan keuangan dan perekonomian negara.
Oleh karena itu perlu diganti dengan undang-undang baru tentang pemberantasan
korupsi yang meliputi ketentuan-ketentuan tentang pengusutan, penuntutan, dan
pemeriksaan tindak pindana korupsi. Unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam
undang-undang nomor 24 tahun 1960 tidak lagi dapat menjerat perbuatan-perbuatan
yang merugikan keuangan dan perekonomian negara serta pelaksanaan
pembangunan nasional.

Hal ini diakibatkan unsur tindak pidana korupsi mensyaratkan adanya suatu
kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Jelas
hal ini bertentangan dengan perasaan keadilan masyarakat. Dalam kenyataannya
banyak perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, tidak
selamanya didahului oleh suatu kejahatan atau pelanggaran. Perbuatan-perbuatan
yang sesungguhnya bersifat koruptif tidak dapat dipidana berdasarkan undang-
undang nomor 24 tahun 1960.

Atas dasar tersebut, undang-undang nomor 24 tahun 1960 kemudian diganti dengan
Undang-Undang nomor 3 tahun 1971. rumusan tindak pidana korupsi menurut
undang-undang nomor 3 tahun 1971 mencakup perbuatan-perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan secara melawan hukum
yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat merugikan keuangan negara
dan perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka bahwa perbuatan
tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Rumusan sebagaimana tersebut diatas mensyaratkan bentuk kesalahan pro parte


dolus pro parte culpa. Artinya, bentuk kesalahan disini tidak hanya disyaratkan
adanya kesengajaan, tetapi cukup adanya kealpaan berupa patut disangka dapat
merugikan keuangan atau perekonomian negara, sudah dapat menjerat pelaku.
Rumusan seperti ini mudah dalam hal pembuktian. Demikian pula dengan sarana
melawan hukum, baik mengandung pengertian melawan hukum formil maupun
materil, memudahkan pembuktian perbuatan yang dapat dihukum, yaitu
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan. Jelas sekali bahwa
rumusan seperti itu lebih mudah untuk membuktikan telah terjadi tindak pidana
10

korupsi dari pada memenuhi ketentuan untuk membuktikan lebih dahulu adanya
kejahatan atau pelanggaran sebagaimana yang disyaratkan oleh undang-undang
nomor 24 tahun 1960.

Secara tegas perbuatan korupsi menurut Undang-Undang Momor 3 Tahun 1971


dirumuskan sebagai berikut:

a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya


diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau
diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.

b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

c. Barangsiapa melaukan kejahatan tercantum dalam pasal-pasal 209, 210,


387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423 dab 435 KUHP.

d. Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti
dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu
wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi
hadiah atau janji dianggap melekay pada jabatan atau kedudukan itu.

e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya,
seperti yang tersebut dalam pasal-pasal 418, 419 dan 420 KUHP, tidak melaporkan
pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.

f. Barang siapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan


tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e pasal ini.

Dari rumusan tersebut diatas jelaslah bahwa undang-undang nomor 3 tahun


1971 lebih progresif bila dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya.
Beberapa catatan perihal progresif dari undang-undang tersebut adalah: Pertama,
unsur melawan hukum tindak pidana korupsi dirumuskan sedemikian rupa hingga
meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan, baik secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara
dan perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka bahwa perbuatan
tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
11

Kedua, undang-undang tersebut tidak lagi mensyaratkan adanya kejahatan


atau pelanggaran seperti undang-undang sebelumnya. Ketiga, terdapat tambahan
pasal 387 dan pasal 399 KUHP. Keempat, adanya ancaman pidana terhadap orang
yang menerima pemberian atau janji seperti tersebut padal pasal 418, 419 dan 420
KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib. Kelima
atau yang terakhir adalah percobaan dan permufakatan jahat disamakan dengan
pelaku.

Selain itu perlu dicatat bahwa dalam undang-undang tersebut terdapat


perluasan pengertian pegawai negeri. Dalam pasal 2, pengertian pegawai negeri
meliputi juga orang-orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau
daerah atau yang menerima gaji atau upah dari suatu badan/badan hukum yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan hukum lain yang
mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.

Latar belakang dicantumkannya perluasan pengertian pegawai negeri adalah


karena berdasarkan pengalaman-pengalaman selama ini, orang-orang bukan
pegawai negeri menurut pengertian hukum administrasi, dengan menerima tugas
tertentu dari suatu badan negara atau badan yang menerima bantuan dari negara,
dapat pula melakukan perbuatan-perbuatan korupsi atau perbuatan tercela seperti
tersebut diatas.

Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi.

Bola salju yang tengah digulirkan pasca runtuhnya rezim orde baru pada
tahun 1998, salah satunya diantaranya adalah mewujudkan pemerintahan yang
bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Hal ini sebagai dampak bahwa perbuatan
korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar. Dampak selanjutnya
adalah timbulnya krisis di berbagai bidang kehidupan. Oleh sebab itu, upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan
diintensifkan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan
masyarakat.

Atas dasar tersebut, Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu diganti, karena dirasakan sudah tidak
lagi memadai untuk menghadapi canggihnya modus operansi perbuatan korupsi.
Diharapkan undang-undang yang baru mampu memenuhi dan mengantisipasi
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan
memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta
masyarakat pada umumnya.
12

Rumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun


1999 adalah sebagai berikut :

1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan


memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, (pasal 2).

2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara (Pasal 3).

3. Melakukan perbuatan pidana menurut pasal 209, 210, 387, 388, 515, 416,
417, 418, 419, 420, pasal 423, pasal 425, pasal 435 (Pasal 5 s.d 12)

4. Setiap orang yang memberikan hadia atau janji kepada pegawai negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan
atau kedudukan tersebut (Pasal 13).

5. Setipa orang yang melanggar ketentuan Undang – Undang yang secara


tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang – Undang
tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang
– Undang ini (Pasal 14).

6. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan


jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidanakan dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal
14.

7. Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan


bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana
korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi
sebagaimana dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14.

8. Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pasal 3,


pasal 5 sampai dengan pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 18.

Selain memperluas pengertian perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai


korupsi, undang – undang juga menegaskan bahwa pengembalian kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya
pelaku tindak pidana korupsi (Pasal 4). Meskipun berlebihan penegasan ini penting
13

karena kerugian keuangan negara merupakan salah satu unsur esensial


dalam perbuatan pidana korupsi. Dengan ketentuan itu, perbuatan pidana korupsi
tidak dihapuskan sekalipun kemudian unsur kerugian negara tidak terbukti di
pengadilan, karena telah dikembalikan oleh tersangka.

Dikatakan berlebihan karena prinsip dalam hukum pidana yang dituntut


adalah perbuatannya, bukan karena soal adanya kerugian. Walaupun demikian
kiranya perlu diberi catatan, apabila pengembalian atas perbuatan yang dinilai
sebagai tindak pidana korupsi itu dikembalikan secara suka rela tanpa adanya unsur
dari luar sebelum perkara itu diketahui oleh publik atau aparat penegak hukum,
maka atas pengembalian secara suka rela tersebut tidak dapat menjadi dasar
penuntutan. Terhadap pengembaian secara suka rela sebelum perkara itu diketahui
publik atau aparat penegak hukum, seharusnya diperlakukan sebagai sifat melawan
hukum dalam fungsi yang negatif.

Adapun pemberatan pidana menurut undang-undang ini selain ancaman


pidana yang lebih berat dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, undang-
undang ini juga sebelumnya, undang-undang ini juga memberikan pemberatan
terhadap hal-hal sebagai berikut:

a. Terhadap perbuatan pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu.


Ancaman pidanya dapat berupa pidana mati. Adapun yang dimaksudkan dengan
keadaan tertentu ialah keadaan dimana negara:

– Ditetapkan dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku

– Terjadi bencana alam nasional

– Pengulangan tindak pidana korupsi dan

– Dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter

b. Apabila oleh undang-undang lain dinyatakan sebagai perbuatan korupsi,


maka diberlakukan undang-undang

c. Percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak


pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama

d. Orang di luar negeri yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau


keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang
sama dengan pelaku

e. Dilakukan dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
14

f. Dalam perkara pidana korupsi selain pidana tambahan sebagaimana


dimaksud dalam KUHP, juga dapat dijatuhkan sebagai pidana tambahan berupa:
pertama, perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana

Korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi


dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
Kedua, pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, dan apabila dalam
tenggang waktu satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap terpidana tidak membayar uang pengganti, maka harta
bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut. Namun apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi
untuk membayar harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti,
maka dipindana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman
maksimum dari pidana pokoknya yang sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Ketiga, penuntutan seluruh atau sebagai perusahaan untuk waktu paling lama satu
tahun. Keempat, pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat
diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Pada tanggal 21 November 2001 melalui Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001


diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan undang-undang tersebut,
tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus
dilakukan secara luar biasa. Hal ini dikarenakan kejahatan korupsi tidak hanya
merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Disamping itu juga terdapat perubahan dan
tambahan menyangkut rumusan perbuatan maupun ketentuan perihal pembuktian.

Jika bersandar pada Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 beberapa pasal


dalam KUHP diambil alih dengan menyebutkan sebagaimana dimaksud dalam
KUHP. Akan tetapi dengan undang-undang yang baru langsung disebutkan
unsurnya, tanpa menyebut KUHP. Persoalan ini menimbulkan silang pendapat
sehubungan dengan adanya asas yang menyatakan apabila terdapat ketentuan
yang sama, maka kepada terdakwa harus dikenakan pidana yang paling ringan. Di
samping itu berkaitan dengan rumusan perbuatan korupsi, undang-undang juga
menambahkan perbuatan gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi. Gratifikasi
15

adalah perbuatan yang dapat berupa pemberian uang, tiket perjalanan,


barang, rabat, komisi, pinjaman penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-
cuma, dan fasilitas lainnya. Adapun perihal pembuktian terdapat perluasan
mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk. Berdasarkan
KUHAP, alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan
keterangan terdakwa. Akan tetapi menurut undang-undang tersebut, bukti petunjuk
juga dapat

diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data
inter change), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan fasimili, dan dari
dokumen yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan
atau di dengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana,
baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Ketentuan lain adalah menyangkut pembuktian terbalik yang bersifat premium


remidium dan sekaligus memgandung sifat prevensi khusus. Pembuktian terbalik
mengandung arti bahwa terdakwalah yang harus membuktikan di pengadilan bahwa
dia tidak melakukan korupsi. Sementara prevensi, khusus ditunjukkan terhadap
pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 atau terhadap
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan


Korupsi

Pemberantasan korupsi yang sudah akut, dirasakan tidak cukup hanya


dengan perluasan perbuatan yang dirumuskan sebagai korupsi serta cara-cara yang
konvensional. Diperlukan metode dan cara tertentu agar mampu membendung
meluasnya korupsi. Salah satu cara ialah dengan menetapkan kejahatan korupsi
sebagai kejahatan luas biasa, sehingga pemberantasannya tidak lagi dapat
dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Oleh karena itu
diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu
badan khusus. Kewenangan badan khusus tersebut bersifat independen serta bebas
dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang
pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta
berkesinambungan.
16

Sebenarnya pembentukan badan khusus tersebut telah diamanatkan oleh


pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun
2001. badan khusus itu selanjutnya disebut dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam pelaksanaan tugasnya badan ini memiliki kewenangan melakukan koordinasi
dan supervisi termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Agar
tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan penegak hukum yang lain seperti
POLRI dan Kejaksaaan,

kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan,


penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi
yang:

1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain


yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum atau penyelenggara negara.

2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan atau

3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar


rupiah).

Berdasarkan undang-undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi:

1. Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan


institusi yang telah ada sebagai “counterpartner” yang kondusif sehingga
pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.

2. Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan


penuntutan

3. Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam
pemberantasan korupsi (trigger mechanism).

4. Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada,
dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan
oleh kepolisian dan atau kejaksaan.
17

Selain itu, dalam upaya pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah


didukung oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara lain :

1. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat
perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang asas pembuktian terbalik.

2. Ketentuan tentang wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dapat


melakukan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap penyelenggara
negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat negara

3. Ketentuan tentang pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi


kepada publik dan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden
Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan
Pemeriksa Keuangan.

4. Ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap anggota


komisi atau pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan korupsi,
dan

5. Ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada anggota Komisi


Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat


independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari
kekuasaan manapun. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari lima
orang yang merangkap sebagai anggota dan semuanya adalah pejabat negara.
Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga
sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap Kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Berdasarkan ketentuan ini maka persyaratan untuk diangkat menjadi anggota


Komisi Pemberantasan Korupsi, selain dilakukan secara transparan dan melibatkan
keikutsertaan masyarakat, juga harus memenuhi persyaratan administratif dan harus
melalui uji kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, yang kemudian dikukuhkan oleh Presiden Republik
Indonesia.
18

Disamping itu untuk menjamin penguatan pelaksanaan tugas dan


wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengangkat Tim Penasehat
yang berasal dari berbagai bidang kepakaran yang bertugas memberikan nasihat
atau pertimbangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedang mengenai
aspek kelembagaan, ketentuan mengenai struktur organisasi Komisi
Pemberantasan Korupsi diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan
masyarakat luas tetap dapat ikut berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah
yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, serta pelaksanaan program
kampanye publik dapat dilakukan secara sistematis dan konsisten, sehingga kinerja
Komisi Pemberantasan Korupsi yang sangat luas dan berat dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi, maka perlu didukung oleh sumber keuangan yang berasal
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam Undang-Undang ini, Komisi
Pemberantasan Korupsi dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara, dan jika
dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Komisi Pemberantasan
Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.

Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan


penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi disamping mengikuti hukum acara yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, juga dalam undang-undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai
ketentuan khusus (lex specialis). Di samping itu, untuk meningkatkan efisienso dan
efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka dalam undang-
undang ini diatur mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di
lingkungan peradilan tindak pidana korupsi di lingkungan peradilan umum, yang
untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pengadilan tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan berwenang


memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh majelis
hakim terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri dan 3 (tiga) orang hakim
ad hoc. Demikian pula dan proses pemeriksaan baik di tingkat banding maupun
tingkat kasasi juga dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 2 (dua) orang
hakim dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Untuk menjamin kepastian hukum, pada tiap
tingkat pemeriksaan ditentukan jangka waktu secara tegas.
Nilai dan Prinsip Anti Korupsi
Dalam berbagai buku dan pembahasan disebutkan bahwa nilai-nilai anti korupsi
berjumlah 9 buah, yaitu :

1.      Kejujuran

Kejujuran berasal dari kata jujur yang dapat di definisikan sebagai sebuah tindakan
maupun ucapan yang lurus, tidak berbohong dan tidak curang. Dalam berbagai buku
juga disebutkan bahwa jujur memiliki makna satunya kata dan perbuatan. Jujur ilah
merupakan salah satu nilai yang paling utama dalam anti korupsi, karena tanpa
kejujuran seseorang tidak akan mendapat kepercayaan dalam berbagai hal,
termasuk dalam kehidupan sosial. Bagi seorang mahasiswa kejujuran sangat
penting dan dapat diwujudkan dalam bentuk tidak melakukan kecurangan akademik,
misalnya tidak mencontek, tidak melakukan plagiarisme dan tidak memalsukan nilai.
Lebih luas, contoh kejujuran secara umum dimasyarakat ialah dengan selalu berkata
jujur, jujur dalam menunaikan tugas dan kewajiban, misalnya sebagai seorang
aparat penegak hukum ataupun sebagai masyarakat umum dengan membaya
pajak.

2.      Kepedulian

Arti kata peduli adalah mengindahkan, memperhatikan dan menghiraukan. Rasa


kepedulian dapat dilakukan terhadap lingkungan sekitar dan berbagai hal yang
berkembang didalamnya.Nilai kepedulian sebagai mahasiswa dapat diwujudkan
dengan berusaha memantau jalannya proses pembelajaran, memantau sistem
pengelolaan sumber daya dikampus serta memantau kondisi infrastruktur di
kampus. Selain itu, secara umum sebagai masyarakat dapat diwujudkan dengan
peduli terhadap sesama seperti dengan turut membantu jika terjadi bencana alam,
serta turut membantu meningkatkan lingkungan sekitar tempat tinggal maupun di
lingkungan tempat bekerja baik dari sisi lingkungan alam maupun sosial terhadap
individu dan kelompok lain.

3.    Kemandirian

Di dalam beberapa buku pembelajaran, dikatakan bahwa mandiri berarti dapat


berdiri diatas kaki sendiri, artinya tidak banyak bergantung kepada orang lain dalam
berbagai hal. Kemandirian dianggap sebagai suatu hal yang penting harus dimiliki
oleh seorang pemimpin, karena tampa kemandirian seseorang tidak akan mampu
memimpin orang lain.

4.    Kedisiplinan

Definisi dari kata disiplin ialah ketaatan atau kepatuhan kepada peraturan.
Sebaliknya untuk mengatur kehidupan manusia memerlukan hidup yang disiplin.
Manfaat dari disiplin ialah seseorang dapat mencpai tujuan dengan waktu yang lebih
efisien. Kedisiplinan memiliki dampak yang sama dngan nilai-nilai antikorupsi lainnya
yaitu dapat menumbuhkan kepercayaan dari orang lain dalam berbagai hal.
Kedisiplinan dapat diwujudkan antara lain dalam bentuk kemampuan mengatur
waktu dengan baik, kepatuhan kepada seluruh peraturan dan ketentuan yang
berlaku, mengerjakan segala sesuatu dengan tepat waktu, dan fokus pada
pekerjaan.

5.    Tanggung Jawab

Kata tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau
terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan dan diperkarakan). Seseorang yang
memiliki tanggung jawab akan memiliki kecenderungan menyelesaikan tugas
dengan lebih baik. Seseorang yang dapat menunaikan tanggung jawabnya sekecil
apa-pun itu dengan baik akan mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Penerapan
nilai tanggung jawab antara lain dapat diwujudkan dalam bentuk belajar dengan
sungguh-sungguh, lulus tepat waktu dengan nilai baik, mengerjakan tugas akademik
dengan baik, menjaga amanah dan kepercayaan yang diberikan.

6.    Kerja Keras

Kerja keras didasari dengan adanya kemauan. Di dalam kemauan terkandung


ketekadan, ketekunan, daya tahan, daya kerja, pendirian keberanian, ketabahan,
keteguhan dan pantang mundur. Bekerja keras merupakan hal yang penting guna
tercapainya hasil yang sesuai dengan target. Akan tetapi bekerja keras akan
menjadi tidak berguna jika tanpa adanya pengetahuan.

7.    Kesederhanaan

Gaya hidup merupakan suatu hal yang sangat penting bagi interaksi dengan
masyarakat disekitar. Dengan gaya hidup yang sederhana manusia dibiasakan
untuk tidak hidup boros, tidak sesuai dengan kemampuannya. Dengan gaya hidup
yang sederhana, seseorang juga dibina untuk memprioritaskan kebutuhan diatas
keinginannya.

8.    Keberanian

Keberanian dapat diwujudkan dalam bentuk berani mengatakan dan membela


kebenaran, berani mengakui kesalahan, berani bertanggung jawab, dan sebagainya.
Keberanian sangat diperlukan untuk mencapai kesuksesan dan keberanian akan
semakin matang jika diiringi dengan keyakinan, serta keyakinan akan semakin kuat
jika pengetahuannya juga kuat.

9.    Keadilan

Berdasarkan arti katanya, adil adalah sama berat, tidak berat sebelah dan tidak
memihak. Keadilan dari sudut pandang bangsa Indonesia disebut juga keadilan
sosial, secara jelas dicantumkan dalam pancasila sila ke-2 dan ke-5, serta UUD
1945. Keadilan adalah penilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai
dengan apa yang menjadi haknya, yakni dengan bertindak proposional dan tidak
melanggar hukum. Keadilan berkaitan erat dengan hak, dalam konsepsi bangsa
Indonesia hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban. Dalam konteks
pembangunan bangsa Indonesia keadilan tidak bersifat sektoral tetapi meliputi
ideologi. Untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Adil dalam
kemakmuran dan makmur dalam keadilan.

Sedangkan prinsip-pronsip anti korupsi, yaitu :

1.    Akuntabilitas

Akuntabilitas adalah kesesuaian antara aturan dan pelaksanaan kerja. Semua


lembaga mempertanggung jawabkan kinerjanya sesuai aturan main baik dalam
bentuk konvensi (de facto) maupun konstitusi (de jure), baik pada level budaya
(individu dengan individu) maupun pada level lembaga. Akuntabilitas publik secara
tradisional dipahami sebagai alat yang digunakan untuk mengawasi dan
mengarahkan perilaku administrasi dengan cara memberikan kewajiban untuk dapat
memberikan jawaban (answerability) kepada sejumlah otoritas eksternal (Dubnik :
2005). Selain itu akuntabilitas publik dalam arti yang lebih fundamental merujuk
kepada kemampuan seseorang terkait dengan kinerja yang diharapkan. (Pierre :
2007). Seseorang yang diberikan jawaban ini haruslah seseorang yang memiliki
legitimasi untuk melakukan pengawasan dan mengharapkan kinerja (Prasojo :
2005). Akuntabilitas publik memiliki pola-pola tertentu dalam mekanismenya, antara
lain adalah akuntabilitas program, akuntablitas proses, akuntailitas keuangan,
akuntabilitas outcome, akuntabilitas hukum, dan akuntabilitas politik (Puslitbang,
2001). Dalam pelaksanaannya, akuntabilitas harus dapat diukur dan
dipertanggungjawabkan melalui mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban
atas semua kegiatan yang dilakukan. Evaluasi atas kinerja administrasi, proses
pelaksanaan, dampak dan manfaat yang diperoleh masyarakat baik secara
langsung maupun manfaat jangka panjang dari sebuah kegiatan.

2.    Transparansi
Prinsip transparansi penting karena pemberantasan korupsi dimulai dari
transparansi dan mengharuskan semua proseskebijakan dilakukan secara terbuka,
sehingga segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh publik. Transparansi
menjadi pintu masuk sekaligus kontrol bagi seluruh proses dinamika struktural
kelembagaan. Dlam bentuk yang paling sederhana, transparansi mengacu pada
keterbukaan dan kejujuran untuk saling menjunjung tinggi kepercayaan (trust)
karena kepercayaan, keterbukaan, dan kejujuran ini merupakan modal awal yang
sangat berharga bagi semua orang untuk melanjutkan hidupnya di masa
mendatang. Dalam prosesnya transparansi dibagi menjadi lima, yaitu :
–       Proses penganggaran,
–       Proses penyusunan kegiatan,
–       Proses pembahasan,
–       Proses pengawasan, dan
–       Proses evaluasi.
Proses penganggaran bersifat bottom up, mulai dari perencanaan, implementasi,
laporan pertanggungjawaban dan penilaian (evaluasi) terhadap kinerja anggaran.
Di dalam proses penyusunan kegiatan atau proyek pembangunan terkait dengan
proses pembahasan tentang sumber-sumber pendanaan (anggaran pendapatan)
dan alokasi anggaran (anggaran belanja).
Proses pembahasan membahas tentang pembutan rancangan peraturan yang
berkaitan dengan strategi penggalangan (pemungutan dana), mekanisme
pengelolaan proyek mulai dari pelaksanaan tender, pengerjaan teknis, pelaporan
finansial dan pertanggungjawaban secara teknis.
Proses pengawasan dalam pelksnaaan program dan proyek pembangunan
berkaitan dengan kepentingan publik dan lebih khusus lagi adalah proyek-proyek
yang diusulkan oleh masyarakat sendiri.
Proses evaluasi ini berlaku terhadap penyelenggaraan proyek dijalankan secara
terbuka dan bukan hanya pertanggungjawaban secara administratif, tapi juga secara
teknis dan fisik dari setiap output kerja-kerja pembangunan.

3.    Kewajaran
Prinsip fairness atau kewajaran ini ditunjukkan untuk mencegah terjadinya
manipulasi (ketidakwajaran) dalam penganggaran, baik dalam bentuk mark up
maupun ketidakwajaran dalam bentuk lainnya. Sifat-sifat prinsip ketidakwajaran ini
terdiri dari lima hal penting komperehensif dan disiplin, fleksibilitas, terprediksi,
kejujuran dan informatif. Komperehensif dan disiplin berarti mempertimbangkan
keseluruhan aspek, berkesinambungan, taat asas, prinsip pembebanan,
pengeluaran dan tidak melampaui batas (off budget). Fleksibilitas artinya adalah
adanya kebijakan tertentu untuk mencapai efisiensi dan efektifitas. Terprediksi
berarti adanya ketetapan dlam perencanaan atas dasar asas value for money untuk
menghindari defisit dalam tahun anggaran berjalan. Anggaran yang terprediksi
merupakan cerminan dari adanya prinsip fairness di dalam proses perencanaan
pembangunan. Kejujuran mengandung arti tidak adanya bias perkiraan penerimaan
maupun pengeluaran yang disengaja yang berasal dari pertimbangan teknis maupun
politis. Kejujuran merupakan bagian pokok dari prinsip fairness. Penerapan sifat
informatif agar dapat tercapainya sistem informasi pelaporan yang teratur dan
informatif. Sistem informatif ini dijadikan sebagai dasar penilaian kinerja, kejujuran
dan proses pengambilan keputusan selain itu sifat ini merupakan ciri khas dari
kejujuran.

4.    Kebijakan
Kebijakan ini berperan untuk mengatur tata interaksi agar tidak terjadi
penyimpangan yang dapat merugikan negara dan masyarakat. Kebijakan anti
korupsi ini tidak selalu identik dengan undang-undang anti korupsi, namun bisa
berupa undang-undang kebebasan mengakses informasi, undang-undang
desentralisasi, undang-undang anti-monopoli, maupun lainnya yang dapat
memudahkan masyarakat mengetahui sekaligus mengontrol terhadap kinerja dan
penggunaan anggaran negara oleh para pejabat negara. Aspek-aspek kebijakan
terdiri dari isi kebijakan, pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, kultur kebijakan.
Kebijakan anti korupsi akan efektif apabila didalamnya terkandung unsur-unsur yang
terkait dengan persoalan korupsi dan kualitas dari isi kebijakan tergantung pada
kualitas dan integritas pembuatnya. Kebijakan yang telah dibuat dapat berfungsi
apabila didukung oleh aktor-aktor penegak kebijakan yaitu kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, pengacara, dan lembaga pemasyarakatan. Eksistensi sebuah kebijakan
tersebut terkait dengan nilai-nilai, pemahaman, sikap, persepsi dan kesadaran
masyarakat terhadap hukum atau undang-undang anti korupsi. Lebih jauh lagi kultur
kebijakan ini akan menentukan tingkat partisipasi masyarakat dalam pemberantasan
korupsi.

5.    KontrolKebijakan
Kontrol kebijakan merupakan upaya agar kebijakan yang dibuat betul-betul efektif
dan mengeliminasi semua bentuk korupsi. Bentuk kontrol kebijakan berupa
partisipasi, evolusi dan reformasi. Kontrol kebijakan partisipasi yaitu melakukan
kontrol terhadap kebijakan dengan ikut serta dalam penyusunan dan
pelaksanaannya. Kontrol kebijakan evolusi yaitu dengan menawarkan alternatif
kebijakan baru yang dianggap lebih layak. Kontrol kebijakan reformasi yaitu
mengontrol dengan mengganti kebijakan yang dianggap tidak sesuai.
Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan berdampak
buruk luar biasa pada hampir seluruh sendi kehidupan. Korupsi telah
menghancurkan sistem perekonomian, sistem demokrasi, sistem politik, sistem
hukum, sistem pemerintahan, dan tatanan sosial kemasyarakatan di negeri ini. Dilain
pihak upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan selama ini belum
menunjukkan hasil yang optimal. Korupsi dalam berbagai tingkatan tetap saja
banyak terjadi seolah-olah telah menjadi bagian dari kehidupan kita yang bahkan
sudah dianggap sebagai hal yang biasa. Jika kondisi ini tetap kita biarkan
berlangsung maka cepat atau lambat korupsi akan menghancurkan negeri ini. Ini
dapat menjadi indikator bahwa nilai-nilai dan prinsip anti korupsi seperti yang telah
diterangkan diatas penerapannya masih sangat jauh dari harapan. Banyak nilai-nilai
yang terabaikan dan tidak dengan sungguh-sungguh dijalani sehingga
penyimpangannya menjadi hal yang biasa.
Tak dapat dipungkiri untuk menanamkan nilai dan prinsip-prinsip anti korupsi perlu
diajarkan sejak dini kepada seluruh masyarakat secara umum. Saat ini sebagain
besar baru terpusat pada golongan tertentu di tempat tertentu. Untuk langkah yang
lebih serius, seharusnya penanaman nilai dan prinsip anti korupsi ini harus di
terapkan bukan hanya di bangku kuliah saja sebagai contohnya, tetapi juga
dilakukan secara merata di berbagai kalangan masyarakat agar hasil yang
didapatkan juga bisa maksimal secara merata.
Yang ironisnya lagi dalam berbagai sistem pemerintahan termasuk di berbagai
lembaga negara praktik korupsi seakan dibiarkan dengan sistem yang menuntun,
bahkan memaksa yang berkepentingan untuk melakukan korupsi. Contoh nyata
sistem perkorupsian itu ialah sistem pemilihan kepala daerah secara langsung oleh
rakyat, yang bernama Korupsi. Sehingga penulis dapat menyebutkan bahwa “Pemilu
merupakan sistem perkorupsian baru yang terselubung menjadi penyakit di
Indonesia”.

SELAMAT MENGERJAKAN TUGAS MANDIRI


SEMOGA SUKSES SELALU, AAMIIN

Anda mungkin juga menyukai