Anda di halaman 1dari 6

GUNUNG TIDAR

Gunung Tidar terletak di tengah Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah berada pada
ketinggian 503 mdpl dan luas 70.1 Hektar. Gunung Tidar menjadi kawasan resapan air di
Kota Magelang dan Gunung Tidar menjadi hutan kota yang rindang dengan sebagian besar
pohon pinus dan berdasarkan penelitian dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
kurang lebih ada 111 jenis flora (tanaman) yang tumbuh serta menjadi tempat hidup
berbagai fauna (satwa) seperti ular, tupai, burung, monyet ekor panjang, dan banyak lagi.
Gunung Tidar memenuhi kriteria sebagai Fungsi Kebun Raya yaitu konservasi,
penetilitan, pendidikan, wisata, dan jasa lingkungan. Oleh sebab itu, Gunung Tidar
ditetapkan sebagai Kebun Raya di Kota Magelang berdasarkan KEPUTUSAN WALIKOTA
NOMOR 031/035/112 TAHUN 2021 tentang Penetapan Lokasi Kebun Raya Daerah Kota
Magelang.
Berdasarkan informasi sejarah Gunung Tidar berasal dari kata Mukti dan Kadadar,
Mukti memiliki arti bahagia, berpangkat, sukses dalam hidup sedangkan Kadadar diartikan
sebagai dididik, ditempa dan diuji. Sehingga Mukti dan Kadadar mempunyai arti siapa yang
ingin hidup bahagia, berpangkat dan meraih kesuksesan dalam hidup harus dididik, ditempa
dan diuji agar menjadi pribadi yang mumpuni dan tangguh.
Gunung Tidar ini juga sering disebut dengan wisata religi. Yang mana didalamnya
terdapat beberapa tempat bersejarah yang dapat di kunjungi oleh masyarakat, diantaranya :

1. Maqom Kyai Sepanjang


Berdasarkan informasi yang beredar
kyai sepanjang adalah tombak yang di
gunakan Syekh Subakir untuk mengalahkan Jin
Jahat Penguasa Gunung Tidar. Sama seperti
yang telah dijelaskan oleh narasumber kami
ketika berkunjung ke Gunung Tidar
(23/01/2022), Bapak Slamet Memek (Sesepuh
Abdi Dalem).
2. Tugu "SA"
Dalam ilmu alam bahwa terjadinya
alam semesta di awali dengan adanya
ledakan, kemudian ledakan tersebut
menghasilkan serpihan-serpihan dan salah
satunya dinamakan bumi. Serpihan tersebut
memiliki beberapa sisi tajam yang saling
menghujam satu sama lain saling mengikat
dan membentuk gunung-gunung, sehingga
lapisan Bumi menjadi lebih tenang.
Dalam tafsir Al-Quran Surah an-Naba' ayat 6-7 disebutkan bahwa Allah SWT
menjadikan bumi sebagai hamparan dan gunung-gunung sebagi pasaknya, wawasan
tentang bumi dan gunung dalam ayat tersebut adalah lengkap, meliputi aspek ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
Gunung Tidar secara geografis terletak di tengah Pulau Jawa, maka penyebutan
Gunung Tidar sebagai Pakuning Tanah Jawa cukup logis dalam kerangka berfikir masyarakat
awam.
Sebagai tetenger maka dibangun monumen Tugu "SA" dengan empat sisi, tiga sisi
ada penulisan huruf jawa "SA" dan satu sisi simbol Garuda Pancasila. Makna huruf "SA"
Sapa, Salah, Selen artinya barang siapa yang melakukan kesalahan akan menerima akibatnya
dan Garuda Pancasila adalah lambang negara dan Pancasila sebagai pilar ideologis Negara
Indonesia. Selain itu, Tugu “SA” ini juga sering disebut dengan Pakuning Tanah Jawa.

3. Maqom Syekh Subakir (Maulana Muhammad Al-Baqir)


Satu dari lima fungsi Kebun Raya yaitu
wisata, Kebun Raya Gunung Tidar memiliki
daya tarik wisata yaitu Maqom (Petilasan)
yang kini menjadi objek berkembangnya
wisata budaya dan spiritual di kota Magelang
dan sudah di kunjungi oleh wisatawan lokal
maupun wisatawan luar daerah, yaitu Syekh
Subakir. Beliau memiliki nama asli Maulana
Muhammad Al-Baqir. Yaitu salah satu ulama
Walisongo periode pertama yang dikirim
kesultanan Turki Ustmaniyyah. Syekh Subakir dikirim ke Tanah Jawa untuk menyebarkan
agama Islam. Dia merupakan ulama besar yang telah menumbal tanah Jawa dari pengaruh
negatif makhluk halus saat awal penyebaran ajaran agama Islam di Nusantara. Sebelum
Syekh Subakir menyebarkan ajaran agama Islam ke Nusantara, beliau terlebih dahulu
membersihkan tempat-tempat angker yang ada di tanah Jawa menggunakan senjata pusaka
berupa tombak yang kemudian diberi nama Kiai Sepanjang.
4. Maqom Ismoyojati (Mbah Semar)
Pada zaman Kerajaan Tarumanegara di Jawa
Barat sekitar abad ke 4 M, hiduplah seorang
biksu yang bernama Inana Badra. Setelah
Kerajaan Tarumanegara mengalami keruntuhan,
Inana Badra kemudian melakukan perjalanan
spiritual, ia berjalan ke arah Jawa Tengah,
hingga akhirnya sampailah di gunung Srandil
Cilacap. Di Gunung Srandil, ia berdiam sebagai
seorang biksu yang hidup dengan pernuh
penghayatan spiritual dan kebatinan. Ketika di
Gunung Srandil inilah, Biksu ini melihat ada sebuah gunung kecil yang bercahaya, dan
dikelilingi oleh beberapa gunung besar yang letaknya jauh di arah timur dari gunung srandil
itu. Biksu ini kemudian mencari keberadaan tempat ini. Setelah berjalan ke arah timur
akhirnya sampailah pada tempat yang ia cari, di sebuah bukit bercahaya itu. Biksu itu lalu
menaiki bukit tersebut dan melakukan “Tapak Brata” duduk di sebuah batu “Kemloso” (Batu
datar terhampar). Bukit ini kemudian diberina nama “Gumuk Lintang” yang berarti gunung
kecil yang bercahaya seperti bintang. Di kemudian hari gumuk itu dinamai Gunung Tidar.
Biksu Inana Badra tinggal dan mesanggrah di gumuk lintang tersebut, terkadang ia
juga mesanggrah di Bukit Balak dekat Gunung Merbabu. Ia bertapa hingga “Moksha”,
menghilang lenyap bersama raganya, lalu ia hidup di alam yang tak nampak dan menjadi
Ratuning Dahnyang di Tanah Jawa. Biksu Inana Badra yang hidup di alam kamoksan ini
kemudian hari disebut dengan nama Semar atau Semar Bodroyono.
Pada zaman selanjutnya Semar selalu berpindah-pindah tempat, tidak hanya di
gumuk lintang saja. Beberapa tempat dianggap sebagai pesanggrahan dari Ki Semar antara
lain Alas Purwo (Banyuwangi), Alas Ketonggo (Ngawi), Gunung Lawu, serta Gunung Srandil
di Cilacap.
Ki Semar juga sering menitis pada seseorang. Pada zaman Medang Kamulan di Jawa
Tengah ia menitis pada abdi dalem yang disebut sebagai Ki Sampar Angin, lalu berikutnya
kepada Ki Sampar Sukma. Pada zaman Majapahit, Ki Semar menitis kepada seorang abdi
bernama Sapu Angin dan Sapu Jagad. Ketika Majapahit diperintah oleh Prabu Brawijaya,
semar menitis pada abdi yang bernama Sabdo Palon dan Noyogenggong. Kedua abdi inilah
yang selalu memberikan masukan ataupun saran pada Raja agar bertindak sesuai
kebenaran.
5. Raden Pangeran Purbaya
Ada tiga versi mengenai siapakah
Pangeran yang dimaksud, karena gelar
Pangeran Purboyo ada di tiga daerah
berbeda yakni Mataram, Banten dan
Kartasura. Namun jika ditarik garis lurus
geografis dan wilayah kekuasaan,
Pangeran Purboyo dari Mataramlah yang
paling mendekati. Pangeran Purbaya dari
Mataram adalah putra dari Panembahan
Senopati yang lahir dari istri putri Ki Ageng Giring.
Raja jin yang ingin merebut desa di Hutan Kedu milik Mataram masih kuat
kekuatannya. Alhasil, makhluk buruk rupa itu membunuh Kiai Keramat dan Nyai Bogem.
Raden Purbaya pun sontak menyusun strategi melawan yang pada akhirnya memicu nama
Magelang.
Raden Purbaya adalah putera raja Kesultanan Mataram atau biasa dikenal dengan
nama Panembahan Senopati. Sebelumnya, sang raja ingin memperluas daerah kekuasaan
Mataram yang saat itu semakin maju.
Hutan Kedu menjadi pilihan yang pas menurut Panembahan Senopati. Diutuslah
sang putera untuk mengambil alih wilayah tersebut dari raja jin penguasa hutan itu. Dengan
berbekal tombak Kiai Pleret, raja jin hampir kalah jika ia tidak kabur.
Setelah raja jin tidak pernah kembali, dibangunlah sebuah permukiman di hutan
tersebut. Di desa yang sejuk itu orang berdatangan untuk menetap. Seperti Kiai Keramat
dan Nyai Bogem.
Raden Purbaya yang mengetahui hal itu langsung melapor ke Kiai Keramat. Namun
naas, pasangan suami istri itu tewas akibat melawan raja jin. Karena semakin banyak korban
yang berjatuhan, anak Panembahan Senopati itu mengutus Tumenggung Mertoyudo.
Tak lama kemudian, Tumenggung Mertoyudo dan dua prajurit langsung melacak
keberadaan raja jin. Mereka melihat makhluk jahat itu di bawah sebuah pohon yang besar.
Namun, usaha mereka sia-sia lantaran ketahuan oleh raja jin yang sudah pasti sakti itu.
Akhirnya karena terdesak, lelaki utusan Raden Purbaya itu langsung melawan raja jin
dengan sekuat tenaga. Namun naas, Tumenggung Mertoyudo sudah tewas saat Raden
Purbaya datang untuk menyusulnya.
orang terdekatnya ikut terkena imbasnya. Ia langsung mempercepat penangkapan
raja jin dan meminta bantuan para prajuritnya.
Ia mengutus prajuritnya untuk membuat lingkaran untuk mengepung raja jin yang
berada di tengah hutan. Raden Purbaya menyebutnya Strategi Gelang. Nama strategi itulah
yang kemudian mengawali nama Magelang.
6. Gardu Pandang Taman Elang Jawa dan Monumen Tanah Air Satu Bangsa.
Wahana baru yang ada di Kebun Raya Gunung Tidar diantaranya yaitu Gardu
Pandang Taman Elang Jawa Gunung Tidar dan Monumen Tanah Air Satu Bangsa. Untuk
mencapai puncak Gunung Tidar, para pengunjung harus melewati ribuan anak tangga.
Meski begitu, papan petunjuk informasi bagi pengunjung mudah ditemui. Dari gardu
pandang ini para pengunjung bisa melihat matahari terbit jika cuaca sedang cerah, dan juga
melihat keelokan Gunung Merbabu dan Merapi dari lokasi yang sama. Setelah Gardu
Pandang Taman Elang Jawa, Monumen Tanah Air Satu Bangsa juga banyak mengambil
perhatian dari para pengunjung.
Pada Tanggal 9 September 2017 Kota Magelang ditunjuk sebagai tuan rumah Hari
Olahraga Nasional (HAORNAS) ke XXXIV Mengusung Tema "OLAHRAGA MENYATUKAN
KITA". Kota Magelang menjadi titik finish Tim Touring Gowes Pesona Nusantara yang terdiri
dari para atlet dan pesepeda professional yang menempuh jarak lebih dari 5000 km dari
Titik 0 di Sabang, Aceh hingga ke Magelang, Jawa Tengah, dengan Misi menggelorakan
Gerakan Ayo Olahraga.
Pada tiap etape Tim Gowes Pesona Nusantara mengambil tanah dan air dari daerah
setempat yang kemudian dibawa ke magelang sebagai titik tempat finishnya, lalu tanah dan
air yang di ambil der dicampur menjadi satu sebagai simbol kecintaan sebangsa dan setanah
air.
Sebagai wujud tanda terima kasih Pemerintah Daerah Kota Magelang karena sudah
terpilih sebagai tuan rumah Hari Olahraga Nasional ke XXXIV, dibangunlah "Monumen
Tanah Air Satu Bangsa"

FILOSOFI
Nama Tanah Air Satu Bangsa
mengandung makna, yaitu Tanah Air
Ribuan pulau di Indonesia yang
membentang dari Sabang sampai
Merauke.
Satu Bangsa Keberagaman suku
bangsa, agama, ras, adat istiadat, budaya
dan bahasa. Meskipun berbeda-berbeda
tetapi tetap satu dalam bingkai NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia)
7. Tiang Bendera Puncak Gunung Tidar.
Tiang Puncak Gunung Tidar
ini memiliki sejarah dalam
perjuangan bangsa. Pada zaman
peperangan, di Puncak Tidar telah
terpancang sebuah tiang bendera,
tempat bendera Jepang sehari-
harinya dikibarkan mulai pukul 06.00
pagi.
Pada tanggal 25 September
1945 melalui ajakan dari pejuang yang bernama Pak Suroso, seluruh rakyat Magelang
berduyun-duyun menuju Puncak Tidar untuk melaksanakan Pengibaran Bendera Merah
Putih yang pertama kalinya.
Tepat pada pukul 05.00 pagi, Bendera Merah Putih dikibarkan dan diiringi lagu
Merah Putih, seluruh masyarakat yang ada di Puncak Tidar pun terharu tak bisa menahan air
mata. Penuh rasa haru dan bangga karena untuk pertama kalinya Bendera Merah Putih
berkibar di Puncak Tidar. Tiba-tiba, meletuslah senjata api memecahkan kesunyian Lembah
Tidar di pagi itu. Peperangan antara pasukan Jepang dan rakyat Magelang pun tak dapat
terelakan, banyak rakyat Magelang yang tewas saat itu.
Dan seperti itulah asal mula adanya Tiang Bendera Puncak Gunung Tidar yang dapat
kita kunjungi hingga saat ini.

Anda mungkin juga menyukai