PRAKTIK KLINIK 2
STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 3
CONJUNGTIVITIS
Dosen Pembimbing:
Ns. Nita Arisanti Yulanda, M. Kep
Disusun Oleh:
Sri Asparnita Elisa
I1031191016
A. Konsep Penyakit
1. Definisi
Menurut American Academy Of Ophthalmology dalam Meriyani, H.,
(2013), konjungtivitis adalah yang secara umum dapat disebabkan oleh
infeksi bakteri atau virus, gangguan imun, gangguan mekanik, maupun
neoplastic.
Konjungtivitis adalah proses inflamasi akibat infeksi atau non-infeksi
pada conjungtiva yang ditandai dengan dilatasi vascular, infiltrasi
seluler, dan eksudasi (Meriyani, H.,2020).
2. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, konjungtivitis dibagi menjadi konjungtivitis
infeksi dan noninfeksi. Pada konjungtivitis infeksi, penyebab tersering
adalah virus dan bakteri, sedangkan pada kelompok non-infeksi
disebabkan oleh alergi, reaksi toksik, dan inflamasi sekunder lainnya.
Konjungtivitis juga dapat dikelompokkan berdasarkan waktu yaitu akut
dan kronik. Pada kondisi akut, gejala terjadi hingga empat minggu,
sedangkan pada konjungtivitis kronik, gejala lebih dari empat minggu.
Konjungtivitis sering terjadi bersama atau sesudah infeksi saluran napas
dan umumnya terdapat riwayat kontak dengan pasien konjungtivitis
viral. Penyebaran virus umumnya terjadi melalui tangan, peralatan mandi
yang digunakan bersama, bantal kepala yang digunakan bersama atau
kontak dengan alat pemeriksaan mata yang terkontaminasi ( Sitompul,
R,. 2017).
3. Patofisiologi
Mikroorganisme (virus,bakteri,jamur), bahan alergen iritasi
menyebabkan kelopak mata terinfeksi sehingga kelopak mata tidak dapat
menutup dan membuka sempurna.karena mata menjadi kering sehingga
terjadi iritasi menyebabkan konjungtivitis. Pelebaran pembulu darah
disebabkan karena adanya peradangan ditandai dengan konjungtivita dan
skelera yang merah, edema, rasa nyeri dan adanya sekret mukopurulen
(Silverman, 2010).
Konjungtivitis merupakan penyakit mata eksternal yang diderita oleh
masyarakat, ada yang bersifat akut atau kronis. Gejala yang muncul
tergantung dari factor penyebab konjungtivitis dan factor berat ringannya
penyakit yang diderita oleh pasien. Pada konjungtivitis yang akut dan
ringan akan sembuh sendiri dalam waktu 2 minggu tanpa pengobatan.
Namun ada juga yang berlanjut menjadi kronis, dan bila tidak mendapat
penanganan yang adekuat akan menimbulkan kerusakan pada kornea
mata atau komplikasi lain yang sifatnya local atau sistemik.
Konjungtiva karena lokasinya terpapar pada banyak mikroorganisme dan
factor lingkungan lain yang mengganggu. Beberapa mekanisme
melindungi permukaan mata dari substansi luar. Pada film air mata,
unsure berairnya mengencerkan materi infeksi, mucus menangkap debris
dan kerja memompa dari pelpebra secara tetap menghanyutkan air mata
ke duktus air mata dan air mata mengandung substansi antimikroba
termasul lisozim. Adanya agen perusak, menyebabkan cedera pada epitel
konjungtiva yang diikuti edema epitel, kematian sel dan eksfoliasi,
hipertrofi epitel atau granuloma. Mungkin pula terdapat edema pada
stroma konjungtiva (kemosis) dan hipertrofi lapis limfoid stroma
(pembentukan folikel).
Sel-sel radang bermigrasi dari stroma konjungtiva melalui epitel
kepermukaan. Sel-sel kemudian bergabung dengan fibrin dan mucus dari
sel goblet, embentuk eksudat konjungtiva yang menyebabkan
perlengketan tepian palpebra saat bangun tidur. Adanya peradangan pada
konjungtiva ini menyebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh konjungtiva
posterior, menyebabkan hoperemi yang tampak paling nyata pada forniks
dan mengurang kearah limbu Pada hiperemi konjungtiva ini biasanya
didapatkan pembengkakan dan hipertrofi papilla yang sering disertai
sensasi benda asing dan sensasi tergores, panas, atau gatal. Sensai ini
merangsang sekresi air mata. Transudasi ringan juga timbul dari
pembuluh darah yang hyperemia dan menambah jumlah air mata.
Adanya peradangan pada konjungtiva ini menyebabkan dilatasi
pembuluh-pembuluh mata konjungtiva posterior, menyebabkan hiperemi
yang tampak paling nyata pada formiks dan mengurang kearah limbus.
Pada hiperemi konjungtiva ini biasanya didapatkan pembengkakan dan
hiperteropi papilla yang sering disertai sensai benda asing dan sensasi
tergores, panas atau gatal. Sensasi ini merangsang sekresi air mata.
Transudasi ringan juga timbul dari pembuluh darah yang hiperemi dan
menambah jumlah air mata (More 2009).
PATHWAY
Menginfeksi konjungtiva
Permebilitas sel
Iskemik saraf
optik
Terdapat
secret
Gangguan persepsi Ulkus kornea
mukropurule
sensori: penglihatan
n
4. Tanda dan gejala
Beberapa tanda dan gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri akut
adalah onsetyang akut dari kemerahan, rasa mengganjal,perih dan timbul
secret; mengenai kedua matameskipun biasanya satu mata terinfeksi 1-2
hari sebelum mata yang lain; pada saat bangun tidur kelopak mata sering
lengket dan susah untuk membuka mata akibat sekret yang menumpuk;
hiperemi konjungtiva yang difus; sekret pada awalnya berair mirip
konjungtivitis viral tetapi kemudan menjadi mucopurulent (Kanski, J. J.,
2007).
Konjungtivitis bakteri akut hampir selalu sembuh sendiri. Tanpa diobati,
infeksi dapat berlangsung selama 10-14 hari,sedangkan jika diobati
memadai berlangsung1-3 hari, kecuali konjungtivitis stafilokokus(yang
dapat berlanjut menjadi blefaro konjungtivitis dan memasuki fasekronis
(Abdurrauf, 2016).
Gejala konjungtivitis viral biasanya ringan, dapat sembuh sendiri dan
tidak disertai penurunan tajam penglihatan sehingga dapat ditatalaksana
di pelayanan kesehatan primer. Meskipun demikian, terdapat kasus yang
bersifat mengancam penglihatan sehingga perlu segera dirujuk ke rumah
sakit atau dokter spesialis mata untuk tata laksana ebih lanjut.
Konjungtivitis viral sangat menular sehingga pasien perlu mendapat
edukasi agar tidak menjadi sumber infeksi bagi lingkungannya (
Sitompul, R,. 2017).
Penyebab tersering konjungtivitis akut adalah virus. Infeksi virus tertentu
cenderung mengenai konjungtiva misalnya pharyngoconjunctival fever
sedangkan virus lainnya lebih sering menginfeksi kornea misalnya virus
herpes simpleks.
Konjungtivitis virus meliputi konjungtivitis adenovirus, konjungtivitis
herpes simpleks, konjungtivitis herpes-zooster, konjungtivitis pox virus,
konjungtivitis miksovirus, konjungtivitis paramiksovirus, dan
Konjungtivitis Arbovirus (Sitompul,R,. 2017).
Tanda-tanda penting konjungtivitis adalah hiperemia, mata berair,
eksudasi, pseudoptosis, hipertrofi papilar, kemosis, folikel,
pseudomembran dan membran, granuloma dan adenopati pre-aurikular,
berikut tanda-tanda tersebut.
1) Hiperemia konjungtiva, hiperemia merupakan tanda paling jelas pada
kejadian konjungtivitis. Warna kemerahan pada konjungtiva paling jelas
terlihat di forniks dan akan semakin berkurang kearah limbus, karena
dilatasi pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior.
2) Mata berair (Epifora), sekresi air mata yang terjadi pada konjungtivitis
diakibatkan oleh adanya sensasi benda asing, sensasi
terbakar, sensasi tergores, atau oleh rasa gatal. Transudasi ringan juga
timbul dari pembuluh-pembuluh yang hiperemik dan menambah jumlah
air mata
3)Eksudasi, pada hampir semua jenis konjungtivitis ditemukan banyak
kotoran mata pada palpebra terutama saat bangun tidur. Eksudat yang
banyak, berlapis-lapis, amorf dan menyebabkan palpebra saling melekat
menandakan konjungtivitis bakteri atau klamidia
4) Pseudoptosis, adalah keadaan turunnya palpebra superior karena
adanya infiltrasi sel radang ke muskulus Muller
5) Hipertrofi
papilar, adalah reaksi konjungtiva non-spesifik yang terjadi karena
konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus dibawahnya oleh serabut-
serabut halus. Eksudat radang mengumpul diantara serabut-serabut dan
membentuk tonjolan-tonjolan (papil) konjungtiva.
6) Kemosis, adalah edema yang terjadi pada stroma konjungtiva.
Kemosis konjungtiva biasanya lebih mengarah pada konjungtivitis
alergika, namun dapat juga timbul pada konjungtivitis Gonokokus atau
Meningokokus akut dan terutama terjadi pada konjungtivitis Adenoviral.
7) Hipertrofifolikel, merupakan suatu
hiperplasia limfoid lokal didalam lapisan limfoid konjungtiva dan
biasanya mempunyai sebuah pusat germinal.
(8) Pseudomembran dan Membran, merupakan
hasil dari proses eksudatif. Proses eksudatif terjadi akibat adanya bakteri
yang menyerang konjungtiva sehingga menyebabkan proses inflamasi.
Sel-sel inflamasi seperti neutrofil, basofil, eosinofil, limfosit dan sel
plasma menyerang bakteri tersebut dan bercampur dengan fibrin dan
mukus yang diekresikan oleh sel goblet sehingga membentuk eksudat
konjungtiva.
9) Granuloma,
adalah lesi makrofag epithelium berupa nodul kecil yang merupakan
reaksi peradangan lokal dari suatu jaringan tubuh. Granuloma
konjungtiva selalu mengenai stroma dan paling sering berupa kalazion
10) Adenopati Preaurikular,
merupakan salah satu tanda penting dari konjungtivitis, yakni merupakan
sebuah nodul pada area preaurikular yang dapat tampak jelas pada
sindrom okuloglandular Parinaud dan jarang pada keratokonjungtivitis
epidemika. Nodul preaurikuler dapat terasa nyeri jika ditekan (Vaughan
& Asbury, 2009, Lestari, A,Z,B.,2018).
5. Pemeriksaan penunjang
a. Diagnostik
Ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
laboratorium. Pada pemeriksasan klinik di dapat adanya hiperemia
konjungtiva, sekret atau getah mata dan edema
konjungtiva(Sitompul,R.,2017).
b. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis konjungtivitis
viral memiliki sensitivitas 89% dan spesifisitas 94% untuk adenovirus.
Tes tersebut dapat mendeteksi virus penyebab konjungtivitis dan
mencegah pemberian antibiotik yang tidak diperlukan. Deteksi antigen
dapat mencegah lebih dari satu juta kasus penyalahgunaan antibiotik dan
menghemat sampai 429 USD setiap tahunnya. Akurasi diagnosis
konjungtivitis viral tanpa pemeriksaan laboratorium kurang dari 50% dan
banyak terjadi salah diagnosis sebagai konjungtivitis bakteri.Meskipun
demikian, pemeriksaan laboratorium sangat jarang dilakukan karena
deteksi antigen belum tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan primer.
Sementara itu, kultur dari sekret konjungtiva memerlukan waktu tiga hari
sehingga menunda terapi (Sitompul,R,.2017)
6. Penatalaksanaan
Terapi empiris Chlamydia conjunctivitis meliputi pemberian topikal
salep tetrasiklin dan eritromisin atau tetrasiklin sistemik/oral 250 mg 4
kali sehari selama 2 minggu. Terapi empiris terutama untuk penderita
yang menunggu konfirmasi diagnosis dari pemeriksaan penunjang.
Menurut WHO, penanganan Chlamydia conjunctivitis dirangkum
menjadi strategi SAFE, yang meliputi Surgery for trichiasis, Antibiotics
for active disease, Facial hygiene, dan Environmental improvement.
Pembedahan hanya untuk mengangkat entropion dan trichiasis serta
mempertahankan complete lid closure dengan prinsip rotasi tarsal
bilamellar. Antibiotik diberikan pada penderita ataupun keluarganya,
bahkan komunitas di sekitarnya untuk menekan penyebaran infeksi.
Pilihan utama antibiotik untuk Chlamydial conjunctivitis adalah
azithromisin dosis tunggal 20 mg/kgBB. Pilihan antibiotic alternatif
antara lain eritromisin 500 mg 2 kali sehari selama 14 hari atau
doksisiklin 100 mg 2 kali sehari selama 10 hari. Pilihan antibiotic untuk
neonatus yaitu eritromisin oral 50 mg/ kgBB/hari dibagi 4 kali sehari
selama 10–14 hari. Untuk ibu hamil, azithromisin cukup aman dan
efektif; doksisiklin merupakan kontraindikasi, khususnya pada trimester
kedua dan ketiga. Pilihan alternatif adalah amoksisilin 500 mg oral 3 kali
sehari selama 7 hari (Sakina,A.,2019).
Untuk konjungtivitis bakteri dapat diberikan antibiotik tunggal
sebelum dilakukan pemeriksaan mikrobiologi, seperti Kloramfenikol,
Gentamisin, Tobramisin, Eritromisin dan Sulfa. Apabila pengobatan
yang diberikan tidak memberikan hasil setelah pemberian 3-5 hari, maka
pengobatan dihentikan dan ditunggu hasil dari pemeriksaan
mikrobiologinya. Apabila dari pemeriksaan mikrobiologi ditemukan
jenis mikroorganisme (kuman) penyebab, maka pengobatan yang
diberikan disesuaikan. Namun apabila mikroorganisme (kuman)
penyebab tidak ditemukan dalam pemeriksaan, maka diberikan
pengobatan antibiotik spektrum luas dalam bentuk tetes mata tiap jam
atau salep mata 4-5 kali sehari. Pada umumnya penggunaan antibiotik
spektrum luas efektif pada pengobatan konjungtivitis bakteri, tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam pencapaian penyembuhan klinis antara
antibiotik topikal spektrum luas. Beberapa faktor yang memengaruhi
pemilihan antibiotik adalah ketersediaan, alergi pasien, resistensi dan
biaya (Vaughan, 2009; Budiono, 2012; Azari, 2013; Lestari,2018).
Untuk konjungtivitis virus pengobatan umumnya bersifat simtomatik,
sedangkan antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder. Hindari pemakaian steroid topikal kecuali terjadi radang yang
hebat dan kemungkinan infeksi virus Herpes Simpleks telah dieliminasi.
Pada konjungtivitis virus akut yang disebabkan oleh Adenovirus dapat
sembuh dengan sendiri, sehingga pengobatan yang diberikan hanya
dengan bersifat suportif, yakni berupa kompres, pemberian astringen dan
lubrikasi. Pada kasus yang berat, untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik dan
steroid topikal. Namun perlu diperhatikan untuk penggunaan antibiotik
yang terlalu sering dapat meyebabkan resistensi. Dan penggunaan obat
tetes mata antibiotik dapat meningkatkan resiko penyebaran infeksi ke
mata lainnya dari penggunayang terkontaminasi. Untuk menghilangkan
rasa nyeri juga diberikan analgesik. Apabila terjadi komplikasi berupa
ulkus kornea, perlu dilakukan debridement dengan cara mengoleskan
salep pada ulkus dengan swab kapas kering, tetesi obat antivirus dan
tutup selama 24 jam (Vaughan, 2009; Budiono, 2012; Azari, 2013;
Lestari,2018).
7. Komplikasi
Konjungtivitis bakteri akut dapat menimbulkan komplikasi jika tidak
ditangani secara tepat. Komplikasi yang dapat timbul seperti keratitis,
ulkus kornea dan uveitis yangdapat menyebabkankebutaan. Ulserasi
korneadapat terjadi pada infeksi N. kochii, N.meningitides, H. aegyptius,
S. aureus, dan M.catarrhalis.Bahkan pada kasus konjungtivitis meninges
dapat berakhir menjadi sepsis dan meningitis yang mengancam jiwa
karena konjungtiva merupakan gerbang masuk meningokokus ke dalam
darah dan meninges (Vaughan, D. dan Asbury, T.,2015; Abdurrauf, M,.
2017).
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
1). Jenis kelamin
Kasus konjungtivitis dan gangguan lain pada konjungtiva ditemukan
sebanyak 73% kasus, dengan 47% kasus pada laki-laki dan 53% kasus
pada perempuan (chamidah et al, 2015).
2). Usia
Conjungtivitis dapat menyerang seluruh kelompok umur, akut maupun
kronis, serta disebabkan oleh berbagai faktor baik eksogen maupun
endogen ( mahendra et al, 2017).
Salah satu kompilkasi konjungtivitis pada bayi yang menyebabkan
kebutaan pada sekitar 10.000 bayi setiap tahun di dunia. Melalui “The
Right to Sight Global Initiative for the Elimination of Avoidable
Blindness” tahun 2020 (manoppo et al, 2019).
b. Riwayat Kesehatan
1). Keluhan utama
Nyeri, rasa ngeres (seperti ada pasir dalam mata), gatal, panas
dan kemerahan disekitar mata, epipora mata dan sekret, banyak keluar
terutama pada konjungtiva, purulen / Gonoblenorroe.
c). Spiritual
Tidak konsentrasi dalam beribadah bahkan jarang beribadah.
c. Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan umum
1). Keadaan umum
• Kesadaran umum: composmentis; GCS: 15
• Tekanan darah: hipertensi/ meningkat
• Nadi: menurun/ normal
• Suhu: meningkat/ normal
• RR: meningkat/ normal
2). Kepala
Rongga Mulut dan Lidah :pernafasan menggunakan mulut dan hidung, mukosa
bibir baik
3). Leher
4). Dada
5). Jantung
6). Punggung
7). Genetalia
Anus bersih
9). Ekstermitas
Tidak terdapat kelemahan otot (Mulyani, 2018 dan chairunisa, 2019 dalam
Paramitha, 2020).
d. Pemeriksaan diagnostic
1). Pemeriksaan tajam penglihatan
2). Pemeriksaan dengan uji konfrontasi, kampimeter dan perimeter (sebagai
alat pemeriksaan pandangan).
3). Pemeriksaan dengan melakukan uji fluoresein (untuk melihat adanya
efek epitel kornea).
4). Pemeriksaan dengan melakukan uji festel (untuk mengetahui letak
adanya kebocoran kornea).
5). Pemeriksaan oftalmoskop
6). Pemeriksaan dengan slitlamp dan loupe dengan sentolop (untuk melihat
benda menjadi lebih besar disbanding ukuran normalnya).
7). Pemeriksaan secara langsung dari kerokan atau getah mata setelah bahan
tersebut dibuat sediaan yang dicat dengan pegecatan gram atau giemsa dapat
dijumpai sel-sel radang polimorfonuklear. Pada konjungtivitis yang
disebabkan alergi pada pengecatan dengan giemsa akan didapatkan sel-sel
eosinofil.
Analisa Data
No Data focus Etiologi masalah
.
1 Ds: Agen Nyeri
- Klien mengeluh nyeri pencedera akut
Do: fisiologis (
- Klien tampak meringis Inflamasi)
- Bersikap protektif (posisi
menghindari nyeri)
1. Diagnosa Keperawatan
1. Agen pencedera fisiologis (mis. Inflamasi, iskemia, neoplasa)
Berhubungan dengan Nyeri akut (D.00770). Kategori: psikologis,
subkategori: nyeri dan kenyamanan hal:172
2. Perubahan struktur/ bentuk tubuh (mis. Amputasi, trauma, luka
bakar, obesitas, jerawat) berhubungan dengn Gangguan citra tubuh
(D.0083). Kategori: psikologis, subkategori: integritas ego hal: 186
3. Gangguan penglihatan berhubungan dengan Gangguan persepsi
sensori (D.0085). Kategori: psikologis, subkategori: integritas ego
hal: 179
4. Kurang terpapar informasi berhubungan dengan ansietas (D.0080).
Kategori: psikologis, subkategori: integritas ego hal 180
4 ansietas Setelah dilakukan Tindakan keperawatan Promosi Kesehatan (I12471) hal: 378
(D.0080) b.d selama 3x24 jam diharapkan tingkat a. Observasi
kurang ansietas pasien menurun. - Identifikasi status literasi
terpapar Kriteria hasil: Kesehatan pada kontak perdana
informasi Tingkat ansietas (L.09093) hal: 132 - Identifikasi gaya belajar pasien
Verbalisasi kebingungan 5 b. Terapeutik
Verbalisasi khawatir 5 - Ciptakan lingkungan yang
akibat kondisi yang mendukung agar pasien agar
dihadapi pasien tidak merasa malu
Perilaku gelisah 5 dan/atau terstigmatisasi
Perilaku tegang 5 - Gunakan Teknik komunikasi
yang tepat dan jelas
- Gunakan Bahasa yang
sederhana
- Gunakan Bahasa yang mudah
dimengerti
- Gunakan Teknik komunuikasi
yang memperhatikan aspek
budaya, usia, dan gender.
c. Edukasi
- Anjurkan bertanya jika terdapat
informasi yang kurang jelas.