Petronella Zaman Hindia Belanda. Dipelopori oleh rumah sakit Petronella sebagai rumah sakit
yg tertua dan terbesar, maka pada kuadran pertama abad XX mulai dirintis dan dikembangkan
beberapa rumah sakit zending Petronella di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Yogyakarta,
termasuk di Wonosari Gunungkidul.
Kondisi saat itu yg penuh dengan tantangan dan keterbatasan sarana prasarana
menyebabkan rumah sakit Petronella dan Zending Petronella menghadapi tugas yg sangat
berat karena keterbatasan dokter, perawat, peralatan , ruang rawat inap, obat,transportasi,
komunikasi dan pendanaan. Zending Petronella di Gunungkidul menghadapi banyak kendala
sehingga dokter dan staf terus bekerja dengan penuh perjuangan dan siap melayani, terlebih
pada saat Gunungkidul mengalami wabah Pathek , Pes, Kwasiorkor (kurang Protein), HO,
Marasmus (kurang Kalori) dan Penyakit Kulit. Pelayanan kesehatan terus dilakukan dengan
cara merawat dan memberikan obat-obatan secara insidentil .
Balai Pengobatan Zending Petronela berupaya memperkenalkan cara pengobatan
model negara barat kepada penduduk pribumi Gunungkidul yang jumlahnya besar.
Keterbatasan dokter , peralatan medis, ruang perawatan, perawat yang berpengalaman dan
terdidik menjadi kendala saat itu. Jaman itu, dimulai penyelidikan dengan mikroskop yang dapat
menentukan penyakit yang umum terjadi di masyarakat seperti malaria, desentri dan penyakit
lainnya . Ketersediaan Obat yang terbatas juga menjadi kendala saat itu. Obat diibaratkan
seperti “ setetes air“ bagi penduduk pribumi yang jumlahnya ratusan ribu orang.
Balai Pengobatan Zending Petronella Wonosari Gunungkidul yang menjadi cikal bakal
RSUD Wonosari saat ini. (Foto : Dok. RS Bethesda )
Menghadapi situasi kesehatan masyarakat pribumi saat itu, dr. H.S. Pruys (pimpinan
Petronella Pusat / Induk di Kota Yogyakarta) berupaya mendirikan rumah sakit pembantu
dengan mengadakan kerjasama bersama Pemerintah Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1912.
Upaya yang ditempuh oleh dr.H.S. Pruys ternyata tidak semuanya disetujui oleh pemerintah
kolonial belanda saat itu. Alasan tidak disetujuinya itu karena “kondisi rentan“ artinya
penanganan penyembuhan terhadap masyarakat dilakukan oleh tenaga-tenaga yang tidak
mempunyai wewenang sepenuhnya (profesional). Selain itu keadaan ekonomi rakyat dan
kekurangan tenaga kesehatan akan berpengaruh pada pelayanan medis yang “tidak optimal
“ kepada rakyat . Tantangan tersebut justru memotivasi dr.H.S. Pruys untuk mewujudkan cita-
citanya.
Prof. Snijders, guru besar ilmu pengobatan tropik dari Universitas Amsterdam setelah
mengadakan kunjungan kepada rumah sakit Zending di Pulau Jawa membuat analisa bahwa
keberadaan rumah sakit dan balai pengobatan zending makin menarik dan mantap . Hal ini
disebabkan karena Zending inilah yang paling dekat berhubungan dengan rakyat pribumi
(rakyat jajahan Kolonialisme Belanda). Pada akhirnya para dokter di Semua Zending Petronella
di jawa berusaha dengan sungguh-sungguh menjalani panggilan hidup mereka . Mereka
membaur dan bersatu dengan kaum pribumi . Mereka hidup bersama rakyat dengan tata
lingkungan hidup rakyat pribumi. Selain itu suasana rumah sakit zending disesuaikan dengan
tata hidup lingkungan rakyat sehingga tidak menimbulkan gangguan ketertiban.
Balai Pengobatan Zending Petronella Wonosari akhirnya pada jaman akhir pendudukan
Jepang dan awal kemerdekaan Republik Indonesia dipindahkan ke Balai Pengobatan di Dusun
Jeruksari Wonosari. Pemindahan tersebut berdasarkan data arsip tertulis yang diperoleh
dari kantor Arsip Nasional Republik Indonesia yang diperoleh keterangan bahwa Balai
Pengobatan Klinik Wonosari ditutup sejak tanggal 1 Desember 1948. Penutupan itu
diikuti dengan pemindahan Balai Pengobatan Zending Petronella Wonosari ke Jeruksari
saat ini. Bersadarkan kesepakatan dan pertimbangan khusus maka hari Lahir RSUD
Wonosari ditetapkan pada tanggal 24 Desember 1948.