Anda di halaman 1dari 13

ANALISA SEJARAH KEPERAWATAN JIWA

TREN SERTA ISSUE DALAM KEPERAWATAN JIWA GLOBAL

Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa

Disusun Oleh :

Kelompok IX

Rahmatia 30120118023 K

Apridawati 30120118004 K

M Fery Hidayat 30120118033K

Cris Oktavia Gultom 30120118023K

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN NON REGULER

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS

BANDUNG

2019
A. Sejarah Usaha Kesehatan Jiwa di Indonesia
Diperkirakan bahwa 2-3% dari jumlah penduduk Indonesia menderita gangguan
jiwa berat. Bila separuh dari mereka memelukan peawatan di rumah sakit dan jika
penduduk Indonesia berjumlah 120 juta orang maka berarti bahwa 120 ribu orang
dengan gangguan jiwa berat memerlukan perawatan di rumah sakit. Padahal yang
tersedia sekarang hanya kira-kira 10.000 tempat tidur.
Di Indonesia sejak dulu sudah dikenal adanya gangguan jiwa, misalnya dalam
cerita Mahabrata dan Ramayana dikenal adanya “Srikandi Edan”, Gatot Gaca
Gandrung”. Bagemana para penderita gangguan jiwa diperlakukan pada zaman dahulu
kala di Indonesia tidak diketahui dengan jelas. Bila beberapa tindakan terhadap
penderita gangguan jiwa sekarang dianggap sebagai warisan dari nenek moyang kita,
maka kita dapat membayangkan sedikit banagaimana kiranya paling sedikit sebagian
dari jumlah penderita gangguan jiwa itu ditangani pada jaman dulu. Adapun tindakan
yang dimaksud adalah dipasung, dirantai atau diikat lalu ditempatkan tersendiri
dirumah atau di hutan (bila sifat gangguan jiwanya berat dan membahayakan). Bila
tidak berbahaya, dibiarkan berkeliharan di desa sambal mencari makanan dan menjadi
tontonan masyarakat malahan ada kalanya diperlakukan sebagai orang sakit, mbah wali
atau medium (perantara antara roh dan manusia).
1. Zaman colonial
Sebelum ada rumah skit jiwa di Indonesia, para gangguan jiwa ditampung di RS
sipil atau RS militer di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Yang ditampung pada
umumnya penderita gangguan jiwa berat. Ternyata tempat RS yang disediakan
tidak cukup. Tahun 1862 pemerintah Hindia Belanda mengadakan sensus terhadap
penderita gangguan jiwa di Pulau Jawa dan Madura, hasilnya ada kira-kira 600 orag
penderita gangguan jiwa di pilau Jawa dan Madura, 200 orang lagi di daerah-daerah
lain. Keadaan demikian untuk penguasa pada waktu itu sudah ada cukup asalan
untuk membangun RS Jiwa. Maka pada tanggal 1 Juli 1882, dibangun Rumah sakit
Jiwa pertama di Bogor, kemudian berturut-turut RSJ Lawang (23 Juni 1902), RSJ
Magelang (1923) dan RSJ Sabang (1927). RSJ ini tergolong RS besar dan
menampung penderita gangguan jiwa menahun yang memerlukan perawatan lama.
Pemerintah Hindia Belanda mengenal 4 macam tempat perawatan penderita
psikiatri, yaitu:
a. Rs Jiwa (kranzinningengestichten)
Di Bogor, Magelang, Lawang, dan sabang, RSJ terus penuh, sehingga terjadi
penumpukan pasien di RS sementara, tempat tahanan sementara kepolisian dan
penjara-penjara. Maka dibangunlah “annexinrichtingen” pada Rs Jiwa yang
sudah ada seperti di Semplak (Bogor) tahun 1931 dan pasuruan (dekat
Lawang)tahun 1932.
b. RS Sementara (Doorgangshuizen)
Tempat penampungan sementara bagi pasien psikotik yang akut, dipulangkan
setelah sembuh, yang perlu perawatan lebih lama di kiri ke RS Jiwa yang
didirikan di Jakarta, Semarang, Manado, dan Medan.
c. Rumah Perawatan (Veerplegtehuiizen)
Berfungsi sebagai RS Jiwa tetapi dikepalai seorang perawat berijazah dibawah
pengawasan dokter umum.
d. Koloni
Tempat penampungan pasien psikiatri yang sudah tenang, pasien dpat bekerja
dalam bidang pertanian serta tinggal di rumah penduduk, tuan rumah diberi
uang kos, dan masi berada dibawah pengawasan.
Rumah-rumah semacam ini dibangn jauh dari kota dan masyarakat umum.
Perawatan bersifat isolasi dan penjagaan (custodial care). Teori dasar (yang
sekarang tidak dianut lagi):
1. Pasien harus keluar dari rumah dan lingkungan yang menyebabkan ia sakit, oleh
sebab itu harus dirawat di suatu tempat yang tenang, sehingga terbiasa dengan
suasana rumah sakit.
2. Menghindari stigma (cap yang tidak baik)
- Dewasa ini pemerintah hanya memiliki satu jenis rumah sakit jiwa yaitu
RSJ pemerintah, untuk menyederhanakan dan mempekuat struktur
organisasi serta sekaligus menghapus kecenderungan kepada
diskriminasi pelayanan.
- Terdapat pula kecenderuangan membangun rumah sakit yang tidak
besar lagi, tetapi berkapasitas 250-300 tempat tidur, karena lebih efektif
dan efisien. RS juga sebaiknya tidak terpencil tetapi berada di tengah-
tengah masyarakat agar kegiatan dan hubungan akan lebih dijamin.
- Cara pengobatan yang dahulu sering dipakai di RSJ adalah isolasi dan
penjagaan (custodisl csre), sejak tahun 1919 telah dicoba untuk
meninggalkan penjagaan yang terlau ketat terhadap pasien dengan
memberikan kebebasan yang lebih besar (no restin). Kemudian pada
tahun 1930 dicoba terapi kerja.
- Semua RSJ dan fasilitasnya dibiayai oleh pemerintah Hindia Belanda,
yang akhirnya membentuk dienstvsn het krankzinningenwezen untuk
mengurus hal ini. Dari pihak swasta atas prakarsa Van Wullfen Palthe
didirikan koloni di Lenteng Agung yang mendapat subsidi dari
pemerintsh. Witte Kruis Kolonie suatu usaha swasta untuk menampung
pengemis di daerah Jawa Tengan tetapi juga bersedia menerima orang
bekas gangguan jiwa yang sudah tenang, di rawat Cuma-Cuma.
2. Zaman Setelah Kemerdekaan
Membawa babak baru bagi perkembangan usaha kesehatan jiwa, Oktober 1947
pemerintah RI membentuk Jawatan Urusan Penyakit Jiwa, karea masih terjadi
revolusi fisik maka belum dapat bekerja dengan baik. Pada tahun 1950 pemerintah
RI menugaskan untuk melaksanaakan hal-hal yang dianggap penting bagi
penyelenggaraan dan pembinaan kesehatan jiwa di indonesia. Jawatan ini bernaung
di bawah depatemen kesehatan; tahun 1958 diubah menjadi Urusan Penyakit Jiwa;
1960 menjadi bagian kesehatan jiwa; dan tahun 1966 menjadi direktorat kesehatan
jiwa yang sampai sekarang dipimpin oleh direktur Kesehatan Jiwa atau kepala
direktorat kesehatan jiwa
Direktorat Kesehatan Jia menyempurnakan struktur organisasinya menjadi
dinas,yandiubah menjadi subdirektorat penngkatan (promosi), subdirektorat
pelayanan, dan pemilihan, seubdirektorat rehabilitas dan subdirektorat
pengembangan program.
Dengan ditetapkannya UU kesehatan jiwa No.3 tahun 1966 oleh pemerintah ,
maka lebih terbuka untuk menghimpun semua potensi guna secara bertahap
melaksanakaan modernisasi semua sistem rumah sakit seta fasilitas kesehatan jiwa
di indonesia. Direktorat kesehatan jiwa mengadakan kerjasama dengan berbagai
instansi pemerintah dan dengan fakultas kedokteran, badan internasional, seminar
nasiona, dan regional Asia serta rapatkerja nasional serta daerah. Adanya
pembinaan sistem pelaporan, tersusunya PPDGJ 1tahun 1973 dan
diterbitkantahun1957 serta integasi dalam pelayanan kesehatan di puskesmas.
Pihak swasta pun lebih memikirkan msalah kesehatan jiwa, terutama di kota-
kota besar. Di jakarta ,kemudian di yogyakarta dan surabaya serta beberapa kota
lainnya didirikan anatorium kesehatan jiwa. RSU pemerintahan dan RS ABRI
menyediakan tempat tidur untuk pasien gangguan jiwa dan mendirikan bagian
psikiatri demikian pula RS swasta seperti RS St carolus di jakarta, RS Gunung
Maria( Minahasa). Di jakarta dan surabaya telah didirikan pusa kesehatan jiwa
masyarakat.
Metode pengobatan penderita gangguan jiwa telah banyak mengalami
kemajuan dari jaman ke jaman. Evolusi ini merupakan ceriminan dari perubahan
dasar-dasar filosofi dan teori tentang penobatan.
- Awal sejarah
Gangguan jiwa masih dianggap sebagai enyakit yang tidak dapat
disembuhkan dan berkata dengan dosa atau kejahatan, sehingga teradang
pengobatan yang dilakukan pun bersifat brutal dan tidak manusiawi (
Maramis, 1990).
- Abad pertengahan
Orang yang mengalami gangguan jiwa biasanya dipenjara/ dikurung oleh
keluarganya bahkan mereka dibuang dan dibiarkan hidup dijalanan dengan
mengemis. Namun setelah ada beberapa kelompokagama yang memberikan
sumbangan, para penderita mulai disalurkan ke rumah sakit- rumah sakit
(Stuart Sundeen, 1998).
- Abad ke 15-17
Kondisinya masih memprihatikan. Penderita laki-laki dan permpuan
disatukan. Mereka mendapatkan pakaian dan makanan yang tidak layak,
ahkan sering dirantai, dikurung, dan diajuhkan dari sinar
matahari(Conolly,1968; dikutip oleh Antai Otong, 1994)
- Abad ke 18
Terjadinya revolusi perancis dan amerika yang memberikan inspirasi pada
masyarakat luas akan kebebasan serta perlakuan yang adil untuk semua.
- Abad ke 19
Didirikan rumah sait jiwa pertam, McLean Asylum di Massachusetts yang
memberikan pengobatan secara manusiawi pada penderita Gangguan Jiwa.
- Abad ke 20
Disebut era psikiatri kaena para medis mulai menggali basis gangguan jiwa
secara ilmu dan klinik, seperti; Adolph Meyer (1866-1950) denan teori
psikobiologi Cifford Beers( 1876-1943) yang menulis artikel mengenai
perawatan intessif; Emil Kraepelin( 1857-1926) dengan klasifikasi
gangguan jiwa; Eugen Bleuler (1857-1939) yang menemukan istilah
skizofrenia; sigmund Freud (1856-1939) yang mengembangkan teori
psikoseksual, dan neurosis; Carl Gustav Jung (1957-1961), Karen
Horney(1885-19520 , dan Harry Stack Sullivan (1892-1949) dengan teori
interpersonalnya.

Kesehatan jiwa berkembang pat pada perang dunia II karena mengunakan


pendekatanmetode pelayanan public health service. Konsekuensinya, peran perawat
jiwa juga berubah dari peran pembantu menjadi peran atif dalam tim kesehatan, untu
mengoai penderita gangguan jiwa. Pada masa kni, perawatan penderita gangguan jiwa
lebih fokus pada basis komunitas. In sesuai dengan hasil konfrensi nasiona I
Keperawatan Jiwa ( oktober, 2004) bahwa pengobatan akan difokuskadalam hal
tindakan preventif. Beberapa jurnal menunjukan bahwa tindakan preventif sangat
penting.
 Childhood maltreatment( physical abuse, sexual abuse, exposure abuse) yang
didapat seseorang ketika kecil ternyata memberikan pengaruh dan
menyebabkan kerentanan mengalami gangguan jiwa. Dari 8000 responden,
14% menyatakan pernah mengalai salah satu jenis ( American Journal Of
Psychiatry, volume 160, august 2003).
 Perempuan yang mengalami depresi ketika usianya 18-21 tahun, mempunyai
kecenderungan menderita obesitas dibandingkan dengan yang tidak
mengalaminya. Namun secara umum, mereka baik laki-laki maupun perempuan
yang mengalami depresi ketika usianya 11-15 tahun, maka ia mempunyai
kecenderungan untuk mengalami obesitas lebih tinggi di masa adult-nya
(Archives Of pediatrics and adolescent Medicine, Volime 157, August 2003)
 Dari selurh responden berusia 26 tahun, lebih dari setengah mengalami
gangguan kesehatan jiwa yang diprediksikan sama dengan gangguan jiwa yang
mungkin dideritanya ketika ia berusia 15 tahuanan ( Archives Of General
Psychiatry, Volume 60 july, 2003)
 Terapi farmakologi dan psikoterapi yang diberikan secara bersamaan pada
wanita berpengahsilan rendah ( low income) penderita depresi, ternyata dapat
menurunkan tingkat depresi. Dilaporkan bahwa mereka yang hanya
mendapatkan terapi farmakologi saja, menunjukan penurunan tingakat depresi
dan juga peningkatan aktivitas kerja rumah ataupun pekerjaannya. Sedangkan
mereka yang hanya mendapatkan psikoterapi saja, juga mengalami penurunan
tingkat depresi tetapi tidak mengalami pengingkatan dalam aktivitas rumah atau
pekerjaannya. (Journal Of The American Medical Assosiation, Volume
290,July,2003)
 Seseorang anak dengan orangtua yang mengalami gangguan jiwa, maka ia
mempunyai kecenderungan untuk mengalami gangguan jiwa pula pada masa
Adolescent-nya (Pediatrics, Volume 112, August 2003)

B. Trend serta Issue dalam keperawatan jiwa global


1. Definisi
Trend adalah hal yang sangat mendasar dalam berbagai pendekatananalisa, tren
juga dapat di definisikan salah satu gambar ataupun informasiyang terjadi pada saat
ini yang biasanya sedang popular di kalanganmasayarakat.
Trend adalah sesuatu yang sedang dibicarakan oleh banyak orang saat inidan
kejadiannya berdasarkan fakta.
Issu adalah suatu peristiwa atau kejadian yang dapat diperkirakan terjadi atau
tidak terjadipada masa mendatang, yang menyangkut ekonomi, moneter, social,
politik, hokum, pembanguanan nasional, bencana alam, hari kiamat, kematian
ataupun tentang krisis.
Issu adalah suatu yang sedang di bicarakan oleh banyak namun belum jelas
faktanya ataubuktinya.
2. Kebijakan dan Program Dirjenkeswa Terkini
a. Kebijakan
1) UU No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
2) UU No. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Conventions of The Rights
of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas)
3) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasioanl (RPJMN) 2015-
2019 Direktorat Jenderal Kesehatan Jiwa
b. Program
1) Arah Kebijakan dan Strategi Nasional
Sasaran pembangunan kesehatan jiwa pada RPJMN 2015-2019 adalah
Meningkatnya Mutu dan Akses Pelayanan Kesehatan Jiwa dan
NAPZA yaitu:
a) Persentase Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) Institusi
Penerima Wajib Lapor (IPWL) pecandu Narkotika yang aktif
b) Jumlah Kabupaten/Kota yang memiliki Puskesmas yang
menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa
c) Persentase RS Umum rujukan regional yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan jiwa/psikiatri

2) Kerangka Regulasi
Untuk meningkatkan akses dan mutu Fasilitas Kesehatan Jiwa dan
Napza Tingkat Pertama (FKTP), maka upaya yang akan dilakukan
adalah:
a) Mewujudkan ketepatan alokasi anggaran dalam rangka pemenuhan
sarana prasarana dan alat kesehatan yang sesuai standar
b) Optimalisasi fungsi FKTP, dimana tiap kecamatan memiliki
minimal satu Puskesmas dengan layanan jiwa
c) Mewujudkan dukungan regulasi yaitu melalui penyusunan
kebijakan dan NSPK FKTP.
d) Mewujudkan sistem kolaborasi pendidikan nakes antara lain melalui
penguatan konsep dan kompetensi Dokter Layanan Primer (DLP)
serta nakes strategis.
e) Mewujudkan penguatan mutu advokasi, pembinaan dan pengawasan
kePemerintah Daerah dalam rangka penguatan manajemen
Puskesmas oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
f) Mewujudkan sistem manajemen kinerja FKTP melalui instrumen
penilaian kinerja
Untuk meningkatkan akses dan mutu fasilitas pelayanan kesehatan
rujukan, maka strategi yang akan dilakukan adalah:
a) Mewujudkan ketepatan alokasi anggaran dalam rangka
pemenuhan sarana prasarana dan alat kesehatan di RSJyang
sesuai standar.
b) Mewujudkan penerapan sistem manajemen kinerja
RSJsehingga terjamin implementasi Patient Safety, standar
pelayanan kedokteran dan standar pelayanan keperawatan.
c) Mewujudkan penguatan mutu advokasi, pembinaan dan
pengawasan untuk percepatan mutu pelayanan kesehatan Jiwa
d) Mewujudkanberbagai layanan unggulan pada Rumah Sakit
rujukan nasional secara terintegrasi
e) Mewujudkan penguatan sistem rujukan dengan
mengembangkan sistem regionalisasi rujukan pada tiap provinsi
(satu rumah sakit rujukan regional untuk beberapa
kabupaten/kota) dansistem rujukan nasional (satu Rumah Sakit
rujukan nasional untuk beberapa provinsi).
f) Mewujudkan kemitraan yang berdaya guna tinggi melalui
program sister hospital, kemitraan dengan pihak swasta, KSO
alat medis, dan lain-lain.
g) Mewujudkan sistem kolaborasi pendidikan tenaga kesehatan
Jiwa.
3) Kerangka Kelembagaan
Desain organisasi yang dibentuk memperhatikan mandat
konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan, perkembangan
dan tantangan lingkungan strategis di bidang pembangunan kesehatan
jiwa, Sistem Kesehatan Nasional, pergeseran dalam wacana pengelolaan
kepemerintahan (governance issues), kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah, dan prinsip reformasi birokrasi (penataan kelembagaan
yang efektif dan efisien).
Fungsi pemerintahan yang paling mendasar adalah melayani
kepentingan rakyat. Kementerian Kesehatan akan membentuk
pemerintahan yang efektif, melalui desain organisasi yang tepat fungsi
dan tepat ukuran (right sizing), menghilangkan tumpang tindih tugas dan
fungsi dengan adanya kejelasan peran, tanggung jawab dan mekanisme
koordinasi (secara horisontal dan vertikal) dalam menjalankan program-
program Renstra 2015-2019.
Kerangka kelembagaan terdiri dari:
a) sinkronisasi nomenklatur kelembagaan dengan program Kementerian
Kesehatan
b) penguatan kebijakan kesehatan untuk mendukung NSPK dan
pengarusutamaan pembangunan berwawasan kesehatan
c) penguatan pemantauan, pengendalian, pengawasan dan evaluasi
pembangunan kesehatan
d) penguatan bisnis internal Kementerian Kesehatan yang meliputi
pembenahan SDM Kesehatan, pembenahan manajemen, regulasi dan
informasi kesehatan.
e) penguatan peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehata
f) penguatan sinergitas pembangunan kesehatan
g) penguatan program prioritas pembangunan kesehatan
h) penapisan teknologi kesehatan
3. Kebijakan WHO terkait Mental Health

Dengan adanya informasi dari berbagai dokumen yang dibuat oleh para ahli
mengenai pedoman, prinsip dan proyek, Departemen Kesehatan Mental dan
Ketergantungan Zat meminta perhatian diarahkan kepada prinsip umum berikut:
a. Persiapan sebelum kedaruratan.
Rencana persiapan nasional harus dibuat sebelum terjadinya kedaruratan dan harus
termasuk:
1) pembangunan sistem koordinasi dengan penunjukan orang yang bertanggung
jawab dari setiap badan,
2) desain rencana detil untuk persiapan respon sosial dan kesehatan mental yang
adekuat,
3) pelatihan personil yang relevan dalam intervensi sosial dan psikologik yang
diperlukan.
b. Asesmen
Intervensi harus didahului dengan perencanaan yang teliti dan asesmen terhadap
konteks setempat (keadaan, budaya, sejarah dan sifat permasalahan, persepsi
setempat terhadap distres dan penyakit, cara menghadapi/coping, sumber daya
masyarakat dsb.). Departemen Kesehatan Mental dan Ketergantungan Zat
mendorong diadakannya dalam keadaan darurat asesmen kuantitatif tentang
disabilitas atau fungsi sehari-hari. Jika asesmen mengungkapkan kebutuhan yang
luas yang tidak mungkin dipenuhi, laporan asesmen harus menyebutkan secara
spesifik mendesaknya kebutuhan, sumber daya setempat dan potensi sumber daya
eksternal.
c. Kolaborasi.
Intervensi harus melibatkan konsultasi dan kolaborasi dengan organisasi
pemerintah dan non-pemerintah (LSM/NGO) lainnya yang bekerja di bidang ini.
Keterlibatan yang berkelanjutan dari pemerintah (sebaiknya), atau LSM lokal,
sangat penting untuk menjamin kesinambungan. Banyak organisasi yang bekerja
sendiri-sendiri tanpa koordinasi akan menyebabkan terbuangnya sumber daya yang
berharga. Jika mungkin, staf, termasuk staf manajemen, sebaiknya diambil dari
komunitas setempat.
d. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan primer.
Dipimpin oleh sektor kesehatan, intervensi kesehatan mental harus dilaksanakan di
dalam pelayanan kesehatan umum primer (Yankes Primer) dan harus
memaksimalkan perawatan oleh keluarga dan penggunaan aktif sumber daya di
masyarakat. Pelatihan klinis di pekerjaan (on the job training) dan supervisi dan
dukungan yang menyeluruh terhadap pekerja Yankes primer oleh spesialis
kesehatan mental merupakan komponen penting bagi kesuksesan integrasi
pelayanan kesehatan mental dalam Yankes Primer.
e. Akses ke pelayanan bagi semua.
Tidak dianjurkan untuk membuat pelayanan kesehatan mental bagi populasi khusus
yang terpisah dan bersifat vertikal. Sejauh dimungkinkan, akses terhadap pelayanan
harus diperuntukkan bagi seluruh komunitas dan lebih baik tidak terbatas pada sub-
populasi yang teridentifikasi berdasarkan keterpaparan akan stresor tertentu.
Bagaimana pun juga, penting untuk mengadakan program kampanye jangkauan
(outreach awareness programmes)untuk menjamin pengobatan kelompok rentan
atau minoritas di Yankes Primer.
f. Pelatihan dan supervisi.
Kegiatan pelatihan dan supervisi harus dilakukan oleh spesialis kesehatan mental –
atau di bawah bimbingan mereka – untuk waktu yang cukup agar menjamin efek
yang berkelanjutan dari pelatihan dan pelayanan yang bertanggung jawab. Tidak
dianjurkan melakukan pelatihan pendek ketrampilan untuk satu atau dua minggu
tanpa supervisi lanjutan.
g. Perspektif jangka panjang.
Setelah terpaparnya populasi terhadap stresor yang hebat, lebih baik memfokus
pada pembangunan pelayanan kesehatan mental primer dan intervensi sosial yang
berbasis komunitas untuk jangka menengah dan panjang, daripada memfokus pada
peredaan distres psikologik segera dan jangka pendek selama fase akut dari suatu
kedaruratan. Sayangnya, gerakan dan pendanaan untuk program kesehatan mental
paling banyak selama atau segera setelah kedaruratan akut, tetapi program semacam
ini akan jauh lebih efektif jika diimplementasikan dalam waktu yang panjang
selama beberapa tahun berikutnya. Penting untuk meningkatkan pemahaman donor
akan masalah ini.
h. Indikator monitoring.
Aktivitas harus dimonitor dan dievaluasi dengan indikator yang telah ditetapkan,
jika mungkin, sebelum aktivitas dimulai, bukan ditambahkan belakangan.
Daftar pustaka
Buku Ajar Keperawatan Jiwa, H. iyus Yosep, S.Kp., M.Si,.M.Sc, Titin Sutini,
S.Kep,. Nes., M.Kep. Cetakan keenam , Mei 2014
Azizah, M. L., Zainuri, I., & Akbar, A. (2016). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa.
http://ners.unair.ac.id/materikuliah/buku%20ajar%20keperawatan%20kesehat
an%20jiwa.pdf
https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/56520782/1_7-
PDF_Bk_Ajar_Keperawatan_Jiwa-
.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires=15581644
17&Signature=xrZTP90soUKgejv3yGDuyouufcM%3D&response-content-
disposition=inline%3B%20filename%3DBuku_Ajar_Keperawatan_Kesehatan
_Jiwa_Teo.pdf

Anda mungkin juga menyukai