Anda di halaman 1dari 4

SEJARAH RUMAH SAKIT JIWA PADA MASA KOLONIAL BELANDA

Kekurangan tenaga dan fasilitas di sektor kesehatan jiwa sudah menjadi urusan pelik sejak masa kolonial.
Kala itu tidak semua lapisan masyarakat Hindia Belanda dapat mengakses layanan pengobatan penyakit
jiwa yang layak. Kalaupun ada pribumi yang menghuni bangsal rumah sakit, mereka adalah pribumi yang
dikarantina lantaran dikhawatirkan mengamuk.
Menurut Dr. Denny Thong dalam Memanusiakan Manusia Menata Jiwa Membangun Bangsa (2011: 31),
perkembangan perawatan kesehatan jiwa di Indonesia mengikuti perkembangan yang ada di Belanda.
Praktik pengobatan jiwa di negeri kincir angin sendiri baru dimulai pada 1830. Sebagaimana kondisi
tersebut, praktik kedokteran jiwa di Hindia Belanda baru dikenal umum pada 1831.

Awalnya hanya untuk orang eropa

fasilitas kesehatan jiwa di Hindia Belanda kala itu masih jauh dari cukup. Baik sarana khusus penderita
gangguan jiwa maupun tenaga spesialis hanya tersedia di rumah sakit militer dan lebih banyak ditujukan
untuk merawat prajurit Belanda yang terkena Post-Traumatic Stress Disorder pasca-Perang Jawa. Kondisi
yang demikian berlarut hingga 1831.
Merujuk kembali pada catatan Thong, pemerintah kolonial baru mencetuskan tonggak pertama layanan
kesehatan jiwa di tahun 1831. Melalui Resolusi 21 Mei 1831, No.1, Pasal 1, pemerintah menganjurkan
setiap rumah sakit di distrik-distrik koloni di Batavia, Semarang, dan Surabaya untuk menyediakan kamar
khusus untuk merawat pasien penderita gangguan jiwa.
Menurut Sebastiaan Broere, peneliti University of Amsterdam yang pernah menulis sejarah rumah sakit
jiwa di Magelang, pemerintah Belanda pada hakikatnya hanya memikirkan kebutuhan dari kalangan
mereka sendiri saat mulai membangun fasilitas perawatan penyakit jiwa di bangsal-bangsal rumah sakit.

Reformasi Rumah Sakit Jiwa


Menurut Broere, ada perbedaan mendasar perihal layanan kesehatan jiwa sebelum dan sesudah
paruh kedua abad ke-19. Selain rumah sakit militer, bangsal-bangsal rawat bagi penderita
gangguan jiwa yang sudah ada sejak 1830-an semata-mata dipergunakan untuk memperoleh
uang.

“Sebelum tahun 1860-an tidak ada layanan kesehatan jiwa lain yang secara khusus dikelola
pemerintah. Ruang rawat pagi penderita gangguan jiwa hanya terdapat di beberapa rumah sakit
swasta, salah satunya rumah sakit Cina,” tutur Broere
Untuk menanggulangi krisis kejiwaan masyarakat Hindia Belanda, pemerintah mengutus dua
orang dokter Belanda guna melakukan penelitian. Mereka adalah A.M. Smit dan F.H. Bauer.
Melalui serangkaian sensus, Smit dan Bauer mencoba memperkirakan jumlah penderita
gangguan jiwa dari kalangan pribumi di Jawa. Menurut laporan yang dikeluarkan pada 1868,
terdapat sekitar 550 orang penderita yang diperlakukan dengan cara menyedihkan, ada yang
ditelantarkan dan ada yang dipasung.

Nasib Pasien Pribumi

Sebastiaan Broere kembali menjelaskan, pelayanan kesehatan jiwa di Hindia Belanda masih diwarnai
ketidaksetaraan. RSJ di Bogor pada awalnya juga hanya menerima pasien dari kalangan Eropa. Adapun
bangsal kesehatan bagi kalangan pribumi baru dibangun belakangan.
Keterbatasan fasilitas kesehatan jiwa bagi pribumi lantas menjadi masalah. Memasuki tahun 1900, kira-
kira hanya ada 500 tempat tidur yang disediakan bagi kalangan pribumi. Jumlah ini tentu saja sangat
kurang.
Peningkatan jumlah pasien RSJ pada 1900 dipengaruhi kepindahan para penghuni penjara yang
terindikasi kurang sehat jiwanya ke bangsal rumah sakit. Sebelum mendapat tempat di rumah sakit,
mereka ditampung secara cuma-cuma oleh pemerintah di sebuah tempat bernama doorgangshuizen (rawat
perantara) ketimbang dibiarkan berkeliaran.
Sebelum dimasukan ke RSJ, ada kalanya juga para pasien pribumi dikumpulkan ke dalam sistem
penampungan yang disebut Koloni Orang Sakit Jiwa. Dalam Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid
I (1975: 48) dijelaskan bahwa koloni ini pertama kali didirikan pemerintah pada 1919. Kemudian meluas
ke berbagai daerah seperti Solo, Semarang, dan Surabaya. Terapi bekerja bagi pribumi dinilai sangat
efektif dan murah. Mereka membuat perabotan, memperbaiki baju sesama pasien, dijemur di bawah terik
untuk menggarap sawah untuk kebutuhan pangan penghuni rumah sakit. Semua jenis pekerjaan dianggap
sebagai pekerjaan sehari-hari mereka,” kata Broere.

RUMAH SAKIT JIWA PERTAMA DI INDONESIA

ada pertengahan abad ke 19 di Hindia Belanda terjadi suatu fenomena penyakit jiwa yang cukup menjadi
perhatian. Saat itu, sebagian besar orang-orang yang dianggap mengalami gangguan mental jika memiliki
kebiasaan sering menenggak arak. Alasan lainnya adalah maniak dan depresi berat. Bahkan orang yang
cenderung menunjukkan sifat agresif dan sering menyakiti diri sendiri juga dikategorikan sebagai orang
yang memiliki gangguan mental.

Untuk mengatasi keterbatasan daya tampung, pemerintah kemudian merujuk pasien ke rumah sakit
tentara. Namun tidak seperti di panti, penanganan pasien di dalam rumah sakit tentara terbilang sangat
keras. Mereka ditempatkan dalam kamar yang mirip penjara. Jeruji besi terpasang di setiap kamar,
pintunya sangat kokoh dan dijaga ketat oleh penjaga. Bagi mereka, pasien gangguan mental dianggap
berbahaya sehingga perlu penanganan lebih serius.

Jumlah pasien gangguan mental yang semakin bertambah ini membuat pihak militer ikut mengambilalih
penanganannya. Keadaan tersebut berlangsung hingga pertengahan abad ke-19. Sampai kemudian muncul
desakan untuk memperbaiki penanganan penderita gangguan mental sesuai dengan perkembangan ilmu
kesehatan mental. Mereka pun mendesak pemerintah untuk membangun rumah sakit khusus penyakit
jiwa.

Terdapat dua alasan penting mengapa pemerintah Hindia Belanda ingin mendirikan rumah sakit jiwa,
yaitu: Pertama, hasil sensus yang dilakukan pada tahun 1862 telah memperlihatkan kesimpulan tentang
banyaknya pasien gangguan jiwa yang berkeliaran bebas di masyarakat. Sensus ini dilakukan oleh dr. G.
Wassink, seorang kepala medis pemerintah Hindia Belanda. Hasil sensus tersebut menyatakan bahwa 586
penduduk di Pulau Jawa termasuk ke dalam kategori “gila dan berbahaya” dengan 252 orang di antaranya
ditampung di berbagai panti yang tersebar di kota-kota besar. Sementara itu alasan yang kedua adalah
keyakinan bahwa penyakit jiwa dapat disembuhkan jika diberi perhatian dan perawatan yang layak.

Pada 1 Juli 1882 kemudian rumah sakit jiwa ini diresmikan dengan nama asli Krankzinnigengestich te
Buitenzorg dan diresmikan oleh Direktur Department Onderwijs Van Eeredienst En Nijverheid. Saat itu
jumlah pekerjanya 35 orang Eropa dan 95 pegawai pribumi dan keturunan Cina. Rumah sakit ini
berkapasitas 400 tempat tidur. Tidak seperti kebanyakan rumah sakit Belanda saat itu, rumah sakit jiwa
ini tidak tidak membedakan latar belakang pasiennya. Terapi yang dilakukan terhadap tiap-tiap pasien
sama.

Rumah sakit ini merupakan rumah sakit jiwa pertama yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda dan
merupakan rumah sakit jiwa terbesar kedua setelah Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat
Lawang, Jawa Timur. Pada masa pendudukan Jepang Rumah Sakit Jiwa Bogor digunakan sebagai
penampungan tentara Jepang dan sebagian lain untuk tempat karantina penyakit menular.

Kini, bangunan rumah sakit jiwa pertama di Hindia Belanda tersebut masih kokoh berdiri. Fungsinya
masih sama seperti waktu pertama kali didirikan. Hanya saja, saat ini rumah sakit ini tidak hanya
melayani pasien dengan penyakit jiwa saja, namun pasien umum pun bisa berobat disini. Rumah sakit
tersebut saat ini bernama Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi, dimana Marzoeki Mahdi sendiri
merupakan nama dokter yang pernah menjadi direktur rumah sakit ini.

Anda mungkin juga menyukai