PROPOSAL PENELITIAN
Oleh :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan bahwa kesehatan merupakan investasi,
hak, dan kewajiban setiap manusia. Kutipan tersebut tertuang dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-
undang Dasar 1945 selanjutnya disingkat dengan (UUD NRI) dan Undang-undang nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan selanjutnya disingkat dengan (UUK), menetapkan bahwa setiap
orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena itu setiap individu, keluarga dan
jawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat
Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat (1) “Setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” dan Pasal 34 ayat (3) “Negara bertanggung
jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang
layak”.
Pelayanan kesehatan adalah segala upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau
secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat indonesia. Peran
strategis ini di peroleh karena Rumah Sakit adalah fasilitas kesehatan yang padat teknologi dan
padat pakar.
Rumah Sakit merupakan wadah bagi semua kegiatan yang dilakukan manusia, baik yang
sakit dan yang tidak sakit, oleh karenanya dapat menjadi salah satu penentu bagi kesembuhan
hidupnya baik secara fisik maupun psikologis. Seperti dalam salah satu defenisi yang
dikemukakan oleh Van Romondt (Suekanto, 1982) bahwa bangunan rumah sakit adalah tempat
manusia hidup dengan bahagia, bahagia di sini mencakup arti yang sangat luas yaitu
terpenuhinya segala kebutuhan manusia baik secara fisik maupun psikologis. Kebudayaan
tertentu, yang dijadikan pedoman bertingkah laku kelompok yang bersangkutan dalam rangka
Dari pemahaman tersebut di atas maka amat penting untuk memahami kegiatan manusia
sebelum membuat bangunan rumah sakit yang akan menjadi wadah bagi kegiatan-kegiatannya.
Ada begitu banyak kasus yang dapat diajukan untuk menunjukkan betapa erat hubungannya
antara kegiatan dan bangunan rumah sakit. Salah satu kasus yang menarik untuk diamati adalah
adanya gejala menunggu pasien yang dirawat di rumah sakit secara bersamasama, lebih dari satu
orang. Gejala tersebut banyak dijumpai pada rumah-rumah sakit umum milik pemerintah,
walaupun tidak tertutup kemungkinan terjadi juga pada rumah-rumah sakit umum milik swasta,
yang keadaannya relatif lebih baik. Gejala ini menjadi menarik untuk diamati karena kegiatan
yang mereka lakukan, yaitu kegiatan keseharian di rumah seperti makan, tidur, dan
membersihkan diri (mandi, buang air, dan mencuci) harus dilakukan di rumah sakit, yang pada
dasarnya tidak direncanakan dan dirancang untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Perilaku dan
kebiasaan para pembesuk atau penunggu pasien yang sering kita lihat di rumah-rumah sakit di
Indonesia sampai saat ini masih menunjukkan adanya pola kegiatan bersama yang sangat kental.
Dikatakan masih, karena ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa di zaman yang semakin
maju dan modern ini orang cenderung mengabaikan dan meninggalkan kegiatan bersama, orang
Dari hasil wawancara awal peneliti, kepada beberapa penunggu pasien di RSUD
dr.Agoesdjam Ketapang dari 20 penunggu pasien rawat inap , 13 penunggu pasien mengatakan
tidak setuju bahwa rumah sakit hanya memperbolehkan 2 penunggu pasien dan 7 penunggu
pasien mengatakan setuju bahwa rumah sakit hanya memperbolehkan 2 penunggu pasien.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah di dapatkan di atas sehingga peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian tentang “Fenomena sosial perilaku dan kebiasaan penunggu pasien
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi fokus penelitian dalam
Ketapang
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang dapat dikemukakan
Ketapang
dr.Agoesdjam Ketapang
dr.Agoesdjam Ketapang
Ketapang
3. Untuk mengetahui keterkaitan antara tenaga paramedis dan penunggu pasien RSUD
dr.Agoesdjam Ketapang
4. Untuk mengetahui kondisi ruang tunggu rumah sakit RSUD dr.Agoesdjam Ketapang
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Sebagai bahan masukan bagi manajemen RSUD dr.Agoesdjam Ketapang dalam menentukan
2. Manfaat Teoritis
Bagi penulis sebagai tambahan pengetahuan tentang system pelayanan RSUD dr.Agoesdjam
Ketapang.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teori
Landasan pemikiran dalam melakukan penelitian tentang perilaku dan kebiasaan penunggu
pasien di rumah sakit adalah bahwa setiap kegiatan manusia dilakukan karena adanya dorongan
kebutuhan, baik yang bersifat naluriah maupun yang direncanakan. Salah satu kebutuhan
manusia adalah kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain. Kebutuhan manusia untuk
berinteraksi dengan orang lain dapat terjadi pada setiap kesempatan, baik saat terjadinya
peristiwa yang menyenangkan seperti pernikahan, kelahiran, pertemuan kembali, dan lain
sebagainya, maupun pada saat terjadinya kesulitan atau musibah seperti peristiwa kematian, sakit
dan lain-lain. Intraksi yang terjadi di antara manusia menunjukkan adanya dimensi yang tak
terlihat, yang mengindikasikan adanya pola hubungan tertentu di antara manusia yang
bersangkutan. Indikasi tersebut pada dasarnya juga menunjukkan bahwa dalam berinteraksi
faktor budaya turut menentukan (Hall, 1966). Tetapi perbedaan latar belakang budaya seperti itu
dapat dihilangkan atau minimal saling disesuaikan, misalnya karena adanya kedekatan hubungan
menghayati lingkungan sosial budaya, harus mengetahui adanya dimensi yang tak terlihat,
karena dari sana dapat melihat adanya peranan latar belakang kebudayaan seseorang terhadap
cara dia memakai ruang tunggu atau tanggapan terhadap lingkungannya (Tjahjono,t.t).
dan kerja kelompok. Ciri ini didasari oleh adanya kedekatan hubungan baik secara kekerabatan
maupun kesukubangsaan. Kedekatan hubungan secara kekerabatan yang ada pada masyarakat
Indonesia dapat ditelusuri dari pola penghunian rumah tinggal, baik yang tradisional maupun
yang modern. Pola penghunian rumah tinggal masyarakat Indonesia mengikuti konsep keluarga
luas (extended family) yang di dalamnya terdapat tidak saja orang tua dan anak-anak yang belum
menikah, tetapi juga anak-anak yang sudah menikah, menantu, paman, keponakan, kakek, nenek,
dan lainnya. Kekerabatan sebagai suatu jaringan hubungan yang tercipta melalui pertalian
keturunan dan keterikatan sosial menyebabkan seseorang yang menjadi anggota dalam jaringan
tersebut memiliki peran dan tanggung jawab, yang akan mencul dalam bentuk kebersamaan pada
saat seseorang menjadi pusat perhatian, misalnya saat ia lahir, menikah ataupun mengalami
Pendekatan lain yang digunakan untuk menjelaskan gejala adanya perilaku penunggu
pasien di rumah sakit dalam jumlah yang lebih dari satu orang adalah teori pemisahan
masyarakat dalam kelompok yang bersifat gemeinschaft dan gesellschaft, yang dikemukakan
2. Hubungan yang ada berdasarkan pada rasa cinta yang bersifat kodrati;
Sedangkan Gessellschaft merupakan bentuk kehidupan bersama yang memiliki ciri antara lain :
diantara anggota keluarga dan kerabat, sedangkan Gesellschaft merupakan hubungan yang
Pola hubungan yang bersifat gemeinschaft pada umumnya menjadi ciri dari bentuk
kehidupan bersama yang ada di pedesaan, sedangkan pola hubungan yang bersifat gesellschaft
merupakan ciri kehidupan bersama yang ada di perkotaan. Bentuk kehidupan bersama baik di
pedesaan maupun di kota akan dikaitkan dengan permasalahan yang menyangkut kekerabatan
dan pola penghunian rumah tinggal dan masing-masing anggotanya. Dari segi ruang tunggu
pasien, maka untuk dapat memahami kita dapat melihatnya melalui pemahaman tentang struktur
tubuh manusia dan hubungan yang terjadi diantara sesama manusia. Akibat pengalamannya yang
sangat dekat dengan tubuhnya sendiri dan orang lain maka ia akan mengorganisasikan ruang
tunggu pasien sedemikian rupa sehingga terasa menyenangkan dan sesuai dengan kebutuhan -
kebutuhannya baik yang bersifat biologis maupun yang berkaitan dengan hubungan sosialnya
(Tuan, 1981).
1. Penunggu Pasien
Dalam membahas perilaku penunggu pasien ini perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang
perbedaan antara pengunjung dan penunggu pasien di rumah sakit. Pengunjung adalah orang
yang datang ke rumah sakit untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan tanpa
harus menginap di rumah sakit, seperti berobat dan mengunjungi pasien yang dirawat pada
jam-jam berkunjung (Carpman, 1986). Penunggu pasien dalam konteks penelitian ini adalah
orang yang datang ke rumah sakit dengan tujuan untuk menunggui keluarga atau kerabatnya
yang sedang di rawat di rumah sakit, dengan cara menginap di rumah sakit yang bersangkutan.
Rumah sakit obyek penelitian merupakan rumah sakit pemerintah satu-satunya di Ketapang,
melayani segala lapisan masyarakat yang datang tidak saja dari dalam Kabupaten Ketapang
tetapi juga dari Kabupaten Kayong Utara. Oleh karenanya kita dapat menemukan berbagai
macam kasus penyakit dan berbagai macam perilaku dari para penunggu pasien.
Sebagai Wadah Kegiatan Ruang tunggu merupakan salah satu bagian penting yang ada di
dalam sebuah bangunan rumah sakit. Jika dilihat dari sasaran pelayanannya maka di dalam
bangunan rumah sakit terdapat dua golongan manusia yang harus mendapatkan pelayanan yaitu
pasien dan pengunjung rumah sakit (Charpman, 1986). Ruang-ruang yang digunakan oleh pasien
adalah ruang-ruang periksa, ruang rawat jalan, ruang rawat inap, dll. Sedangkan ruang-ruang
bagi pengunjung diutamakan yang bersifat umum seperti ruang informasi, ruang pendaftaran,
ruang tunggu, dll. Ruang tunggu merupakan ruang utama yang paling dibutuhkan oleh para
penunggu pasien di rumah sakit. Ruang-ruang tunggu yang diamati ada yang memang
direncanakan atau dirancang sebagai ruang tunggu, adapula ruang tunggu yang sebenarnya
bukanlah ruang tunggu sebagaimana yang seharusnya (lobby lift, lobby ramp, selasar, dan
sebagainya).
B. Relevansi Teori dalam Perilaku Penunggu Pasien
Kehidupan Kelompok Manusia pada dasarnya adalah makhluk social yang hidup berkelompok,
ia tak akan mampu menjalani kehidupannya jika hanya sendiri, dimanapun ia berada akan
membutuhkan orang lain. Kelompok-kelompok ini dapat berupa kelompok suku bangsa, keluarga,
kelompok ketetanggaan, kelompok pekerja, dan lain sebagainya. Melalui pemahaman tentang azas
kebersamaan dalam kehidupan kelompok ini juga akan dapat dijelaskan mengapa terjadi perilaku
penunggu pasien yang menunggui keluarga yang sakit secara bersama-sama lebih dari satu orang.
Ferdinand Tonnies (Soekanto, 1982) mengemukakan teori tentang Gemeinschaft dan Gesellschaft
1. Gemeinschaft
adalah bentuk kehidupan bersama yang setiap anggotanya terikat satu sama lainnya oleh
hubungan batin yang murni, bersifat alamiah dan kekal. Yang mendasari hubungan tersebut
adalah adanya rasa cinta dan keterkaitan secara batiniah. Bentuk gemeinschaft ini dapat dijumpai
pada hubungan antara anggota keluarga, kerabat ataupun hubungan ketetanggaan. Gesellschaft
adalah suatu bentuk hubungan secara lahiriah, yang bersifat pokok dalam jangka waktu yang
pendek, memiliki sifat mekanis, dalam arti hanya didasarkan pada hal-hal dan logika sesama.
Menurut Tonnies dalam suatu masyarakat selalu ada salah satu dari tiga tipe
gemeinschaft, yaitu :
a. gemeinschaft by blood, yaitu gemeinschaft yang merupakan ikatan yang didasarkan pada
tempat tinggalnya sehingga dapat saling tolong menolong, contohnya rukun tetangga, rukun
warga, arisan.
c. gemeinschaft of mind, yaitu gemeinschaft yang terdiri dari orang-orang yang memiliki pikiran,
idiologi yang sama walaupun tidak memiliki hubungan darah atau kedekatan tempat tinggal.
Pendekatan Gemeinschaft dan Gesellschaft ini dikaitkan dengan perilaku penunggu pasien yang
berbentuk kelompok dan kota sebagai tempat terjadinya gejala tersebut. Para penunggu pasien
yang diteliti di rumah sakit itu pada dasarnya adalah penduduk yang tinggal di kota, yang
dimasukkan dalam kelompok kehidupan bersama yang memiliki pola hubungan Gesellschaft,
tetapi pada saat ini mereka berperan sebagai penunggu pasien di rumah sakit maka perilaku
menunggui keluarga yang sedang dirawat disana menunjukkan adanya pola hubungan
Gemeinschaft yang anggota-anggotanya memiliki hubungan kebathinan yang sangat erat dan
mesra.
difokuskan pada dua tipe, yaitu Gemeinschaft by blood dan Gemeinschaft of place, karena pada
kedua tipe tersebut terlihat adanya hubungan yang saling terkait satu sama lain, yang sesuai
a) Gemeinschaft by Blood
Adanya penunggu pasien di rumah sakit tampaknya untuk saat ini masih merupakan suatu
kebutuhan baik jika ditinjau dari sisi pasien, pihak rumah sakit maupun dari sisi para
penunggu pasien itu sendiri. Telah disinggung bahwa selain kebutuhan utama/primer,
manusia juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan lain yang bersifat social dan integrative
dasarnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan psikologis dari manusia yang bersangkutan.
Keadaan ini belum dapat diprediksi kapan akan mengalami perubahan, karena dengan
struktur masyarakatnya yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang memilki budaya dasar
berupa kehidupan bersama dalam kelompok, maka konteks tersebut masih akan berlangsung.
System kekerabatan yang ada pada masyarakat Indonesia masih berperan penting dalam
setiap sisi kehidupannya. Peran seseorang dalam keluarga akan saling terkait dengan anggota
keluarga yang lainnya, baik dalam struktur keluarga inti maupun keluarga luas. Peran yang
terkait dengan kewajiban dan tanggung jawab dari setiap anggota keluarga dalam system
keluarga yang sedang dirawat di rumah sakit dalam jumlah yang lebih dari satu orang. Selain
anggota keluarga inti yang memang memikul tanggung jawab langsung terhadap anggota
keluarga lainnya maka anggota keluarga luaspun akan merasa turut memikul tanggung jawab
tersebut walaupun bukan sebagai tanggung jawab utama. Orang-orang yang memiliki
hubungan keluarga dan kekerabatan seperti ayah, ibu, adik, kakak, kakek/nenek, paman dan
sebagainya inilah yang tampak selalu ada diantara para penunggu pasien di rumah sakit, yang
peran dan tanggung jawabnya akan muncul dalam bentuk kebersamaan saat seseorang
menjadi pusat perhatian seperti saat lahir, menikah, sakit atau meniinggal dunia (Keesing,
1975). Adanya hubungan-hubungan khusus dan alasan-alasan tertentu tersebut maka jumlah
penunggu pasien menjadi lebih dari satu orang, biasa mencapai 4-5 orang dalam satu
kelompoknya.
b) Gemeinschaft of Place
Hubungan yang ada pada para penunggu pasien di rumah sakit juga dapat dijelaskan
melalui pendekatan Gemeinschaft of Place, yaitu suatu Gemeinschaft yang terdiri dari orang-
orang yang berdekatan tempat tinggalnya. Pola kedekatan hubungan yang ada diantara para
penunggu pasien tidak saja disebabkan oleh adanya hubungan pertalian darah tetapi juga oleh
adanya kedekatan tempat tinggal. Diantara para penunggu pasien terdapat anggota keluarga inti
maupun keluarga luas yang tempat tinggalnya saling berdekatan di dalam satu wilayah
pemukiman (bertetangga). Prilaku menunggui keluarga yang dirawat di rumah sakit secara
bersama-sama, lebih dari satu orang juga dapat dijelaskan melalui pola penghunian rumah
tinggalnya. Pada masyarakat tradisional Indonesia pola penghunian rumah tinggalnya dapat
dibedakan dua kelompok masyarakat. Masyarakat yang berasal dari luar pulau Jawa, pola
penghunian rumah tinggalnya mengikuti pola keluarga luas, yang terdiri dari orang tua, anak-
anak yang belum menikah, anak perempuan yang sudah menikah beserta keluarganya, adik
ibu/ayah, kakek/nenek dan sebagainya. Pola penghunian rumah tinggal dengan struktur keluarga
luas di dalamnya, terlihat jelas pada rumah panjang suku Lahanan di Kalimantan, rumah Gadang
di Sumatera Barat, atau rumah-rumah di kompleks pemukiman masyarakat suku Dani di Papua
dan lain sebagainya. Sedangkan kelompok masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa pola
penghunian rumah tinggalnya mengikuti struktur keluarga inti. Struktur keluarga luas sebagai
penghuni rumah tetap ada tetapi pada umumnya anggota keluarga luas ini memilih untuk tinggal
saling berdekatan baik dalam satu wilayah pemukiman maupun diwilayah pemukiman yang
berbeda tetapi tetap memiliki jarak yang relative dekat. Dengan latar belakang Gemeinschaft of
Place, mulai dari satu wilayah permukiman yang sama sampai kepada pola penghunian di dalam
rumah, tempat setiap kejadian dan kegiatan yang terjadi di dalamnya melibatkan seluruh
anggotanya, maka dapat dimengerti jika keterlibatan ini akan juga berlanjut di luar rumah saat
salah satu anggota keluarga atau kerabat penghuni rumah bersangkutan mengalami kejadian-
kejadian yang bersifat khusus. Perilaku penunggu pasien di RSUD dr.Agoesdjam Ketapang
merupakan salah satu contoh dari kehidupan bersama yang didasari oleh adanya kedekatan
tempat tinggal.
2. Gesellschaft
Para penunggu pasien di RSUD dr.Agoesdjam Ketapang yang diteliti pada dasarnya adalah
masyarakat yang tinggal di kota, yang memiliki pola hubungan Gesellschaft. Dalam kaitannya
dengan kehidupan kota yang dicirikan dengan adanya ikatan dan hubungan-hubungan yang bersifat
lahiriah, dalam jangka waktu pendek dan adanya kewajiban timbal balik, maka para penunggu
pasien dituntut untuk dapat beradaptasi dengan kondisi yang ada tersebut. Masyarakat kota yang
dikategorikan oleh Durkheim sebagai masyarakat yang kompleks, tersusun dalam kelompok-
kelompok yang beraneka ragam dan terintegrasi dalam arti bahwa bagian-bagian mereka
tergantung satu sama lain pada dukungan yang bersifat timbal balik. Solidaritas yang ada pada
masyarakat yang kompleks adalah solidaritas organis, yang setiap bagiannya memiliki spesialisasi-
spesialisasi tersendiri, yang saling tergantung satu sama lain. Oleh karena itu jika salah satu bagian
terganggu maka keseluruhan bagiannya pun akan terganggu (Campbell, 1994). Dalam konteks
tersebut di atas, sebuah rumah sakit sebagai bagian dari masyarakat kompleks juga memiliki nilai-
nilai, aturan-aturan dan spesialisasi peran-peran yang menuntut adanya hubungan timbal balik baik
di antara anggota masyarakat rumah sakit itu sendiri maupun antara rumah sakit dengan
masyarakat yang dilayaninya. Perilaku penunggu pasien yang timbul dari adanya kebudayaan yang
dianut oleh kelompok-kelompok masyarakat menjadi tampak tidak terakomodasi karena adanya
perbedaan pandangan dari penunggu pasien yang membawa budaya masyarakat sederhana dengan
rumah sakit sebagai bagian dari masyarakat kota yang memiliki pola aturan berperilaku sebagai
masyarakat kompleks. Perbedaan pandangan tentang pola berperilaku di RSUD dr. Agoesdjam
Ketapang ini menyebabkan timbulnya masalah, tidak saja bagi para penunggu pasien (kegiatan
keseharian di rumah yang harus dilakukan di rumah sakit) tetapi juga bagi pihak rumah sakit
Rumah sakit sebagaimana masyarkat kecil memiliki “kebudayaan”, yang dibagi lagi ke dalam
“sub kebudayaan”, yaitu kebudayaan “Pasien” dan kebudayaan “professional” atau staf dari
semua yang bekerja di rumah sakit (Anderson,1986). Dari hasil pengamatan di Rumah Sakit ,
yang pengguna bangunan yang tidak hanya pasien dan para professional di rumah sakit tetapi
juga ada penunggu pasien, maka untuk RSUD dr.Agoesdjam Ketapang sub kebudayaan tersebut
pasien dalam sub kebudayaan tersendiri karena para penunggu pasien ini berbentuk kelompok-
kelompok dengan perilaku khusus, yang secara khusus yang secara umum dimiliki oleh semua
kelompok penunggu tersebut. Perilaku menunggui pasien di rumah sakit tidak bisa dilepaskan
dari masalah rumah sakit itu sendiri. Untuk saat ini keberadaan para penunggu pasien di rumah
sakit masih dapat dikatakan relevan jika kita meninjaunya dari sisi kondisi sebuah rumah sakit
dan dari sisi ratio antara jumlah pasien dengan jumlah tenaga medis yang ada. Suasana rumah
sakit yang berisi peralatan-peralatan medis, para dokter dan perawat, serta perangkat peraturan
yang harus dipatuhi oleh pasien merupakan suatu yang baru bagi para pasien tersebut. Suasana
yang serba baru dan mengejutkan itu menimbulkan rasa asing yang pada gilirannya dapat
memicu timbulnya stress pada pasien, yang oleh Brink dan Saunders (Anderson, 1986) tersebut
sebagai kejutan budaya. Dengan suasana yang dirasakan pasien tersebut maka diperlukan adanya
suatu penyeimbang tekanan, terlepas dari tekanan akibat penyakitnya, yang dirasakan oleh
pasien tersebut dapat sedikit demi sedikit dihilangkan. Faktor penyeimbang ini bisa didapatkan
melalui hal-hal yang dapat mengingatkannya pada suasana yang tidak memberikan tekanan
tetapi sebaliknya dapat memberikan ketenangan. Factor tersebut antara lain adalah mendekatkan
pasien dengan lingkungan hubungan karibnya, yaitu keluarga, kerabat dan sahabat, menciptakan
suasana ruang yang akrab tidak menakutkan dan lain sebagainya. Kedekatan dengan lingkungan
karib dipercaya dapat membantu memberikan ketenangan pada diri pasien yang pada gilirannya
akan mempengaruhi proses penyembuhan si pasien. Ratio antara jumlah pasien dan jumlah
tenaga paramedis yang dirasakan masih tidak seimbang menjadi salah satu penyebeb mengapa
kehadiran para penunggu pasien ini masih diperlukan. Kehadiran para penunggu pasien ini pada
umumnya diperlukan terutama pada saat pasien memerlukan obat-obatan yang tidak tersedia di
rumah sakit. Selain alasan ketersediaan obat, tenaga penunggu pasien ini terkadang sangat
dibutuhkan pula untuk membantu pasien membersihkan diri (mandi), menyuapi makan,
meminum obat, yang tidak dapat dilakukan oleh tenaga medis pada saat jumlah pasien sangat
Sebelumnya telah diutarakan tentang masalah kebudayaan sebagai salah satu factor penentu.
Ruang Tunggu itu sendiri memiliki arti yang luas, tidak hanya mencakup bangunan yang bersifat
material tetapi juga seluruh kegiatan yang merubah lingkungan fisik berdasarkan keteraturan
(Rapoport, 1979). Keteraturan yang menjadi dasar dalam mengubah suatu lingkungan merupakan
pengejawantahan dari adanya pola keteraturan di dalam alam pikiran manusia. Pikiran manusia
mengatur ruang, waktu, kegiatan, peran, status dan perilaku. Tujuan dari pengaturan ruang dan
waktu adalah untuk membangun suatu komunikasi, yaitu adanya keinginan-keinginan untuk
berinteraksi, menghindari sesuatu atau seseorang, menunjukkan adanya dominasi dan sebagainya.
Pengaturan waktu membekali seseorang dapat menentukan kapan suatu kegiatan harus dilakukan
atau dihindari. Oleh karenanya suatu lingkungan dapat menjelaskan adanya hubungan orang dan
orang lainnya, antara sesuatu dan sesuatu lainnya, ataupun antara seseorang dengan sesuatu.
Hubungan tersebut dapat terjadi melalui berbagai tingkatan pemisahan di dalam dan oleh ruang.
Ruang yang dimaksud di sini mencakup baik ruang di dalam bangunan maupun ruang di luar
bangunan.
yang dilakukan oleh Humphly Osmond di rumah sakit yang dipimpinnya (Hall, 1966)
menunjukkan adanya ruang sociofugal dan ruang sociopetal. Menurutnya di rumah sakit lebih
banyak ruang-ruang yang bersifat sociofugal dari pada ruang yang bersifat sociopetal. Ruang
berkumpul untuk saling berdekatan. Walaupun penelitian ini lebih ditujukan pada ruang-ruang
untuk pasien di rumah sakit tetapi temuan ini dapat digunakan untuk membahas ruang-ruang
tunggu bagi penunggu pasien di rumah sakit yang menjadi obyek penelitian. Perbedaannya
dengan rumah sakit di dunia Barat adalah bahwa penelitian tentang ruang sociofugal dan
sociopetal lebih diarahkan untuk mengetahui pengaruh dari pengaturan ruang dan perabot di
rumah sakit terhadap kondisi pasien, jadi yang menjadi focus perhatian adalah pasien sebagai
individu. Hal tersebut dapat dipahami mengingat di dunia Barat budaya yang
melatarbelakanginya terfokus pada individu bukan pada kelompok. Disana tidak dijumpai
adanya gejala menunggui pasien dalam jumlah yang lebih dari satu orang, karena peraturan,
fasilitas, dan kondisi pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit sudah sangat memadai.
Dengan latar belakang budaya yang bersifat individual dan kondisi rumah sakit seperti itu
maka seorang pasien akan berada di rumah sakit seorang diri. Untuk masyarakat Indonesia
yang latar belakang budayanya bersifat kelompok, maka penelitian ini difokuskan pada gejala
yang timbul dari latarbelakang budaya tersebut, dalam hal ini adalah kelompok penunggu
pasien yang untuk seorang pasien jumlah penunggunya berkisar antara empat sampai lima
orang. Teori tentang ruang sociofugal dan sociopetal ini digunakan untuk menganalisa
hubungan ruang tunggu dan ruang rawat inap yang pada intinya adalah untuk menunjukkan
dapat atau tidaknya ruang-ruang tunggu tersebut mendekatkan pasien dan penunggunya. Salah
satu kesimpulan dari Osmond yang cukup relevan untuk kondisi rumah sakit di Indonesia
dengan kebiasaan penunggu pasiennya, adalah bahwa ruang yang bersifat sociofugal tidak
selamanya bernilai buruk dan ruang yang bersifat sociopetal tidak selamanya baik. Jika ruang-
ruang tunggu di rumah sakit dengan kebiasaan penunggu pasien seluruhnya dirancang untuk
memiliki sifat sociopetal maka kemungkinan akan berdampak kurang baik tidak saja bagi
rumah sakit secara umum tetapi juga bagi pasien pada khususnya.
menurut defenisi Rapoport (1979) adalah suatu gaya hidup yang mencerminkan suatu
kelompok masyarakat, suatu system symbol, makna dan pola pikir suatu masyarakat serta
suatu cara untuk beradaptasi dan bertahan dari lingkungan dan sumber daya kebudayaan
merupakan hasil pilihan-pilihan yang paling sering dilakukan dimana pilihan tersebut
beradaptasi dan bertahan hidup, dapat dikatakan sebagai bagian dari system kebudayaan
tersebut di atas. Selain itu arsitektur juga dapat berperan sebagai sarana untuk menterjemahkan
makna dan pola piker seseorang atau sekelompok orang. Oleh karena itu dalam merancang
bangunan juga dibutuhkan kajian tentang kebudayaan yang dianut oleh masyarakat
penggunanya. Dalam proses membangun ruang tunggu kajian yang cukup penting dilakukan
adalah tentang perilaku dan lingkungan yang oleh Irwin Altman (Moore, 1979) dikelompokkan
ke dalam tiga komponen utama yaitu, fenomena perilaku lingkungan, kelompok pengguna, dan
terdapat di dalam perilaku manusia, antara lain sebagai aspek antropometrik, proxemik, privasi,
persepsi, makna dan sebagainya. Aspek-aspek tersebut dapat menjelaskan tetang pola-pola
berinteraksi, berkomunikasi antara satu individu dengan individu yang lain, antara individu
dengan kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok lain, melalui pengaturan jarak,
symbol dan makna. Kelompok pengguna menunjukkan kelompok atau jenis pengguna
bangunan yang harus dilayani oleh seorang arsitek melalui rancangan yang dibuatnya.
Kelompok pengguna ini meliputi antara lain anak-anak, orang lanjut usia pria, wanita, orang
cacat dan sebagainya. Dengan mengenali dan memahami kehidupan kelompok atau jenis
pengguna bangunan yang akan dilayani maka diharapkanhasil rancangan dapat memenuhi
kebutuhan si pengguna ini secara optimal. Setting menunjukkan daerah. Tempat, keadaan
dimana suatu kegiatan yang direncanakan akan berlangsung. Setting ini mempunyai rentang
tempat yang cukup panjang mulai dari skala ruang hingga skala dunia. Melalui pemahaman
tentang ketiga komponen yang dikajikan satu sama lain tersebut maka membangun ruang
tunggu dapat meminimalkan kekurangan-kekurangan yang akan terjadi dalam kaitan antara
C. Kerangka Pemikiran
Disiplin kerja merupakan tindakan atau perilaku seseorang terhadap tanggung jawab
kegiatan kerjanya. Dimana disiplin kerja adalah suatu upaya menggerakkan karyawan dalam
menyatukan suatu peraturan dan mengarahkan untuk tetap memenuhi peraturan sesuai dengan
Pembahasan disiplin pegawai berangkat dari pandangan bahwa tidak ada manusia yang
sempurna, luput dari kekhilafan dan kesalahan. Oleh karena itu setiap organisasi perlu memiliki
berbagai ketentuan yang harus ditaati oleh para anggotanya, standar yang harus dipenuhi.
Disiplin merupakan tindakan manajemen untuk mendorong para anggota organisasi memenuhi
tuntutan berbagai ketentuan tersebut. Dengan perkataan lain, tujuan dari disiplin pegawai adalah
untuk memberikan pelatihan yang berusaha memperbaiki dan membentuk pengetahuan, sikap
dan perilaku pegawai sehingga para pegawai tersebut secara sukarela berusaha bekerja secara
metode motivasi, yaitu motivasi langsung dan motivasi tak langsung. Motivasi langsung adalah
motivasi yang diberikan secara langsung kepada setiap individu karyawan untuk memenuhi
kebutuhan serta kepuasannya. Jadi sifatnya khusus, seperti pujian, penghargaan, tunjangan hari
raya, bonus, dan bintang jasa. Sedangkan motivasi tak langsung adalah motivasi yang diberikan
hanya merupakan fasilitas-fasilitas yang mendukung serta menunjang gairah kerja atau
kelancaran tugas sehingga para karyawan betah dan bersemangat melakukan pekerjaannya.
Misalnya, kursi yang empuk, mesin-mesin yang baik, ruangan kerja yang terang dan nyaman,
suasana pekerjaan yang serasi, serta penempatan yang tepat. Motivasi tidak langsung besar
pengaruhnya untuk merangsang semangat bekerja karyawan sehingga prestasi kerjanya baik.
Motivasi itu sendiri terdiri dari dua jenis motivasi, yaitu motivasi positif dan motivasi
negatif. Motivasi positif maksudnya memotivasi karyawan dengan memberikan hadiah kepada
mereka yang berprestasi di atas standar. Dengan motivasi positif, semangat kerja karyawan akan
meningkat karena umumnya manusia senang menerima yang baik-baik saja. Dan motivasi
negatif maksudnya memotivasi karyawan dengan standar mereka akan menerima hukuman.
Dengan motivasi negatif ini semangat bekerja bawahan dalam jangka waktu pendek akan
meningkat karena mereka takut dihukum, tetapi untuk jangka waktu panjang dapat berakibat
kurang baik. Namun, penggunaan kedua jenis motivasi ini harus tepat dan seimbang supaya
dapat meningkatkan prestasi kerja karyawan. Dan manajer harus konsisten dan adil dalam
menerapkannya.
Sejalan dengan tujuan dari penelitian tentang disiplin kerja dan motivasi pegawai yang
dilakukan ini, maka dapat dikatakan bahwa salah satu upaya untuk dapat meningkatkan motivasi
pegawai adalah dengan diterapkannya disiplin kerja melalui berbagai peraturan dan ketentuan
dalam organisasi. Adapun cara yang dapat dilakukan adalah dengan disiplin preventif dan
disiplin korektif. Pendisiplinan yang bersifat preventif adalah tindakan yang mendorong para
karyawan untuk taat kepada berbagai ketentuan yang berlaku dan memenuhi standar yang telah
ditetakan. Artinya melalui kejelasan dan penjelasan tentang pola sikap, tindakan dan perilaku
yang diinginkan dari setiap anggota organisasi diusahakan pencegahan jangan sampai para
karyawan berperilaku negatif. Sedangkan disiplin korektif dilakukan jika ada pegawai yang
nyata-nyata telah melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan yang berlaku atau gagal
memenuhi standar yang telah ditetapkan, kepadanya dikenakan sanksi disipliner. Berat atau
ringannya suatu sanksi tentunya tergantung pada bobot pelanggaran yang telah terjadi.
Pengenaan sanksi dapat mengikuti prosedur yang sifatnya hierarki. Artinya pengenaan sanksi
diprakarsai oleh atasan langsung karyawan yang bersangkutan, diteruskan kepada pimpinan yang
lebih tinggi dan keputusan akhir pengenaan sanksi tersebut diambil oleh pejabat pimpinan yang
memang berwenang untuk itu. Prosedur tersebut ditempuh dengan dua maksud, yaitu bahwa
pengenaan sanksi dilakukan secara obyektif dan bahwa sifat sanksi sesuai dengan bobot
pengenaan sanksi harus pula bersifat mendidik dalam arti agar terjadi perubahan sikap dan
perilaku di masa depan dan bukan terutama menghukum seseorang karena tindakannya di masa
lalu. Pengenaan sanksi pun harus mempunyai nilai pelajaran dalam arti mencegah orang lain
manajemen harus mampu menerapkan berbagai ketentuan yang berlaku secara efektif dan tidak
Gambar 1.3
Alur Pemikiran
Sub
Variabel Implementasi Sasaran
Variabel
1. Tujuan dan
Motivasi
Disiplin Kerja Teladan Kemampuan
Kerja
Pimpinan 2. Hubungan
Pegawai
Kemanusiaan
Pengawasan 1. Pengawasan
Melekat 2. Sanksi Hukuman
Umpan Balik
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa pentingnya disiplin kerja untuk
menyalurkan, mengarahkan atau mendorong seseorang untuk bekerja giat mencapai hasil yang
optimal sesuai dengan apa yang diharapkan, kemudian pada akhirnya motivasi pegawai suatu
organisasi tercapai.
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pada kerangka pemikiran diatas maka dapat ditarik hipotesis yang
1. Teladan pimpinan dalam disiplin kerja berpengaruh terhadap motivasi kerja pegawai.
2. Pengawasan melekat dalam disiplin kerja berpengaruh terhadap motivasi kerja pegawai.
3. Teladan pimpinan dan pengawasan melekat dalam disiplin kerja secara simultan berpengaruh
METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah RSUD dr. Agoesdjam Ketapang. Alasan peneliti pemilihan
lokasi ini karena pada RSUD dr. Agoesdjam jumlah penunggu pasien rawat inap selalu
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif.
1. Tempat Penelitian
2. Waktu Penelitian
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Sedangkan untuk
sumber data yang dikumpulkan dan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang didapat secara langsung dari sumber-sumber
pertama baik dari individu maupun dari kelompok. Sedangkan data sekunder adalah data yang
diperoleh secara tidak langsung atau data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan baik
oleh pihak pengumpul data primer atau oleh pihak lain. Data sekunder dari penelitian ini penulis
Rekaman audio dan video digunakan dalam penelitian ini untuk memperoleh data peneliti
melakukan wawancara dengan para informan atau sumber data. Selain itu, dengan pertimbangan
agar data yang diperoleh tidak hilang, rusak, dan hasil wawancara dengan sumber data tidak
dapat ditulis dengan sempurna bila peneliti harus menulis dengan buku catatan.
2. Catatan Lapangan
Dalam penelitian ini catatan lapangan digunakan untuk mendokumentasikan semua gejala-gejala
atau fenomena situasi social yang tampak selama peneliti berada dilokasi penelitian. Catatan
terdiri atas dua bagian, yakni (1) deskripsi yaitu tentang apa yang sesungguhnya kita amati, yang
benar-benar terjadi menurut apa yang kita lihat, dengar dan amati dengan alat indra , dan (2)
komentar, tafsiran, refleksi, pemikiran atau pandangan sesuatu yang kita amati. Deskripsi ialah
uraian obyektif tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa yang kita lihat dan dengar,
tanpa diwarnai oleh pandangan atau tafsiran kita. Komentar adalah pandangan, penilaian,
3. Dokumentasi
Data dokumentasi digunakan peneliti untuk memperkuat hasil temuannya atau wawancara,
dokumen-dokumen, dan arsip-arsip yang berguna dalam penlitian ini. Selain melalui wawancara
dan observasi, informasi juga bisa diperoleh lewat fakta yang tersimpan dalam bentuk surat,
catatan harian, arsip foto, hasil rapat, cenderamata, jurnal kegiatan dan sebagainya. Data berupa
dokumen seperti ini bisa dipakai untuk menggali informasi yang terjadi di masa silam. Peneliti
perlu memiliki kepekaan teoritik untuk memaknai semua dokumen tersebut sehingga tidak
sekadar barang yang tidak bermakna. Artinya bahwa Pengumpulan data melalui teknik ini
dimaksudkan untuk melengkapi hasil data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi.
Dengan analisis dokumen ini diharapkan data yang diperlukan menjadi benar-benar valid.
Dokumen yang dapat dijadikan sumber antara lain foto, laporan penelitian, buku-buku yang
4. Foto/Gambar
Foto digunakan peneliti untuk mengabadikan kondisi atau momen penting yang berguna bagi
penelitian ini. Dengan menggunakan foto akan dapat mengungkap suatu situasi pada detik
tertentu sehingga dapat memberikan informasi deskriptif yang berlaku saat itu. Foto dibuat
dengan maksud tertentu, misalnya untuk melukiskan kegembiraan atau kesedihan, kemeriahan,
semangat dan situasi psikologis lainya. Foto juga dapat menggambarkan situasi sosial seperti
kemiskinan daerah kumuh, adat istiadat, penderitaan dan berbagai fenomena sosial lainya. Selain
foto, bahan statistik juga dapat dimanfaatkan sebagai dokumen yang mampu memberikan
informasi kualitatif, seperti jumlah penunggu pasien, pasien, tenaga administrasi. Data ini sangat
membantu sekali bagi peneliti dalam menganalisa data, dengan dokumen-dokumen kualitatif ini
Dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrument utama dalam penelitian adalah
manusia atau peneliti itu sendiri, Sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
2. Unsur informan yang terdiri dari : Kepala RSUD dr.Agoesdjam Ketapang, dokter, perawat,
pasien, dan seluruh penunggu pasien rawat inap di RSUD dr. Agoesdjam Ketapang.
Dalam penelitian ini, peran informan sangat penting dan perlu. Untuk menentukan
informan. Teknik penentuan informan dilakukan secara purposif. Usia dan peran informan
menjadi salah satu kunci untuk memperoleh informasi yang memadai. Jumlah informan menjadi
pengecualian ketika informasi yang diperoleh sudah dipandang memadai sehingga pencaharian
Teknik penentuan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive
(pengambilan informan berdasarkan tujuan). Teknik penentuan informan ini adalah siapa yang
akan diambil sebagai anggota informan diserahkan pada pertimbangan pengumpul data yang
sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian. Menurut Faisal teknik pengambilan sampel purposif
penelitian ini berdasarkan objek yang diteliti dan berdasarkan keterkaitan informan tersebut
dengan penelitian. Informan dalam penelitian ini terdiri dari informan yang berkaitan dengan
Dalam penelitian ini ada beberapa jenis pengumpulan yang digunakan penulis yaitu:
1. Observasi /Pengamatan yaitu dengan melakukan pengamatan dilokasi penelitian. Teknik ini
dipergunakan untuk memperoleh data tentang perilaku dan kebiasaan penunggu pasien di
2. Wawancara, yang merupakan metode pengumpulan data dengan cara bertanya langsung
kepada responden.
3. Dokumentasi, yakni melakukan pencatatan berbagai dokumen yang ada. Teknik ini
dilakukan untuk memperoleh data tentang prosedur pemberian kartu tunggu pasien rawat
Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode deskriptif
Kualitatif, menurut Miles dan Huberman (1992) bahwa analisis deskriptif melalui tiga alur,
yaitu :
1. Data reduction
2. Data display
3. Conclusion drawing/verification
Sesuai data yang diperoleh di RSUD dr.Agoesdjam Ketapang Maka peneliti ini
menggunakan teknik analisis data kualitatif diskriptif yang berpedoman pada berfikir induksi dan
deduksi. Menurut sanapiah penelitian kualitatif dapat melakukan analisis data sejak
pengumpulan data sampai data terkumpul seluruhnya. Sebelum data dianalisis oleh peneliti
terlebih dahulu diolah ( data proccesing ) kemudian dilakukan proses editing yaitu data diperiksa
terlebih dahulu oleh penelliti secara seksama kemudian dilanjutkan dengan pemberian kode agar
mempermudah dalam analisis data. Dalam menganalisis data, penelitian menggunakan model
analisis interaktif (interactive model) yang mengandung empat komponen yang saling berkaitan
yaitu ( pengumpulan data, penyederhanaan data, pemaparan data dan penarikan dan pengajuan
simpulan ).
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan mulai sejak awal sampai sepanjang
proses penelitian berlangsung, dalam penelitian ini di gunakan analisis data dengan
pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis
disimpulkan.
penyajian-penyajian kita dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus
dilakukan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan bagi peneliti melihat gambaran secara
keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari data penelitian, sehingga dari data tersebut dapat
ditarik kesimpulan.
3. Menarik kesimpulan/verivikasi, merupakan satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh selama
melintas di pemikiran penganalisis selama peneliti mencatat, atau suatu tinjauan ulang pada
catatan-catatan lapangan atau peninjauan kembali serta tukar pikiran diantara teman sejawat
untuk mengembangkan “intersubjektif” dengan kata lain makna yang muncul dari data harus
a. Perpanjangan keikutsertaan
membuat temuan dan interpretasi yang akan dihasilkan lebih terpercaya. Contoh :
lagi dengan sumber data yang pernah ditemui maupun yang baru. Dengan
semakin akrab, semakin terbuka, saling mempercayai sehingga tidak ada informasi
yang disembunyikan lagi antara peneliti dengan subyek yang diteliti. Perpanjangan
beberapa tempat lainnya yang menjadi sumber data sekunder penelitian ini, maka
peneliti mengetahui secara mendalam tentang permasalahan yang terjadi. Hal ini
b. Ketekunan Pengamatan
yang sangat relevan dengan persoalan yang sedang dicari dan kemudian memusatkan
diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Contohnya : melakukan pengamatan secara
terus menerus terhadap obyek yang diteliti, seperti kegiatan-kegiatan yang di adakan
observasi secara terus menerus, sehingga memahami gejala dengan lebih mendalam
sehingga mengetahui aspek yang penting, terfokus dan relevan dengan topik
pengecekkan kembali apakah data yang ditemukan itu salah atau tidak dan peneliti
dapat memberikan deskripsi data yang akurat dan sistematis tentang apa yang diamati.
c. Triangulasi
Triangulasi sebagai pengecekkan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan
metode dan teori. Triangulasi sumber digunakan dengan cara membandingkan data
pengumpulan data yang beredar, seperti observasi, wawancara dan dokumentasi. Data
yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan data dokumen peneliti kumpulkan
teori yang dihasilkan para ahli yang dianggap sesuai dan sepadan melalui penjelasan
dianggap mencukupi.
d. Kecukupan referensi
Pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti. Contohnya,
data hasil wawancara perlu didukung dengan adanya rekaman wawancara. Data
tentang interaksi manusia atau gambaran suatu keadaan perlu didukung oleh foto-foto,
video, taperecorder. Alat-alat bantu perekam data dalam penelitian kualitatif sangat
diperlukan untuk mendukung kredibilitas data yang telah ditemukan oleh peneliti.
dengan foto-foto atau dokumen autentik, sehingga menjadi lebih dapat dipercaya.
e. Pengecekkan anggota
Proses ini akan peneliti lakukan pada akhir wawancara dengan mengecek ulang secara
garis bsar berbagai hal yang telah disampaikan oleh informan dan obyek yang diteliti.
Seperti data hasil wawancara dengan direktur RSUD dr.Agoesdjam, perawat, pasien ,
2. Keteralihan ( transferability )
Berfungsi untuk membangun keteralihan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara “uraian
rinci “ untuk menjawab persoalan sampai sejauh mana hasil penelitian dapat ditransfer pada
beberapa konteks lain. Dengan teknik ini peneliti akan melaporkan hasil penelitian seteliti dan
3. Kebergantungan (dependability)
Depenability disebut reliabilitas. Suatu penelitian yang reliabel adalah apabila orang lain
Sering terjadi peneliti tidak melakukan proses penelitian kelapangan, tetapi bisa memberikan
data. Untuk itu pengujian depenability oleh dosen pembimbing terhadap keseluruhan aktifitas
peneliti dalam melakukan penelitian harus dilakukan. Bagaimana peneliti mulai menemukan
data,melakukan uji keabsahan data, sampai membuat kesimpulan harus dapat ditunjukkan
oleh peneliti. Kriteria menilai apakah proses penelitian bermutu atau tidak,atau penelitian itu
valid atau tidak. Dalam penelitian kualitatif data utama yang digunakan adalah peneliti
dan menganlisa data yang ada sesuai dengan fokus penelitian yang dibuat. Dan untuk
mengecek kepastian apakah hasil penelitian tersebut benar atau salah, maka peneliti akan
4. Konfirmabilitas
Penelitian dikatakan obyektif bila hasil penelitian telah disepakati banyak orang. Menguji
konfirmabilitas berarti menguji hasil penelitian yang dikaitkan dengan proses penelitian yang
dilakukan.
Kriteria ini digunakan untuk menilai hasil penelitian yang telah dilakukan dengan cara
mengecek data, informasi dan hasil penelitian yang didukung oleh materi yang ada pada
pelacakkan audit. Dalam pelacakkan audit ini peneliti menyiapkan bahan-bahan yang
diperlukan, seperti data lapangan berupa : catatan lapangan dari hasil pengamatan peneliti
tentang perilaku dan kebiasaan penunggu pasien rawat inap RSUD dr.Agoesdjam Ketapang.
Dengan demikian pendekatan konfirmabilitas lebih menekankan pada karakteristik data yang
menyangkut kegiatan para pengelolanya dalam mewujudkan konse tersebut. Upaya ini
bertujuan mendapatkan kepastian bahwa data yang diperoleh benar-benar obyektif, bermakna,
DAFTAR PUSTAKA
Ani, Fauziyah. 2005. Pengaruh Pengawasan Kerja dan Disiplin Kerja terhadap Produktivitas Kerja
Karyawan Bagian Produksi Pelintingan di Perusahaan Rokok Kretek Sukun Mc Wartono Kudus
(online) lib.unnes.ac.id/420/ diakses pada 5 April 2013
Anoraga, Pandji. 2000. Manajemen Bisnis. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
_____________. 2004. Psikologi Kerja. Jakarta: Asdi Mahasetya
Arikunto, Suharsini. 2003. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Budiyono. 2008. Pengaruh Disiplin Kerja dan Fasilitas Kerja terhadap Produktivitas Kerja Karyawan
pada PT. Karya Gemilang Surakarta (online) td.eprints.ums.ac.id/2931/1/B100040241.pdf
diakses pada tanggal 5 April 2013
Budi Paramita,1992, Pendekatan Disiplin dalam Peningkatan Produktivitas Kerja,Aksara Baru,
Jakarta
Davis, Keith dan Newstroom, W.John. 2000. Perilaku dalam Organisasi Jilid Kedua. Jakarta: Erlangga
Fathoni, Abdurrahmat, 2006. Metode penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta : Rineka
Cipta.
Gie, The Liang, 1995, Efisiensi Kerja bagi Pembangunan Negara : Suatu Bunga Rampai Bacaan, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta.
Gomes, F.C., 2002,Manajemen Sumber Daya Manusia, Andi, Yogyakarta.
Handoko,Hani T,1984,Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia,BPFE,Yogyakarta.
Hariandja, Marihot Tua Efendi , 2002 , Manajemen Sumber Daya Manusia, Cetakan Pertama, PT.
Grasindo, Jakarta.
Hasibuan, Melayu, SP., 1997, Organisasi dan Motivasi, Dasar Peningkatan Produktifitas, Bumi
Aksara, Cetakan Pertama, Jakarta.
Hasibuan,Melayu,SP.,2000,Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara,Jakarta.
Hasibuan, Malayu.S.P. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara
Handoko, T.Hani. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia dan Personalia. Yogyakarta: BPFE UGM
Helmi. 2006. Buletin Psikologi Edisi Khusus Ulang Tahun Ke XXXIII No.2. Yogyakarta: Fakultas
PSikologi UGM
_____. 2008. Ciri Orang Berdisiplin (online) http://www.avin.staff@ugn.ac.id diakses pada 5 April
2013
Kusumadiantho, Herman. 2000. Jurnal Universitas Pelita Harapan Volume i dan ii. Jakarta: BPFE UPH
Leap, Terry L and Michael D. Crino. 1989. Personnel Human Resource Management. USA: Macmillan
Publishing Company
Leteiner & Levin, Terjemahan Soejono. Disiplin Kerja Karyawan (online)
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/490/jbptunikompp-gdl-andisetiad-24496- 4-unikom_a-i.pdf
diakses pada 5 April 2013
Lubis. 2011. Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Disiplin Kerja Karyawan PTPN IV Unit Kebun
Mayang (online) http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29029/5/Chapter%20I.pdf
diakses pada 5 April 2013
Lubis, Sylviani. 2011. Pengaruh Penerapan Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Terhadap Keamanan Kerja dan Produktivitas Kerja Karyawan Bagian Produksi PT. Sinar
Oleochemical Internasional (SOCI) Mas Medan (TESIS). Medan: Universitas Sumatera Utara
Laiterner, Alfred R, 1983, Teknik Memimpin Pegawai dan Pekerja, aksara Baru, Jakarta.
Manulang, ML, 1988 , Dasar-dasar Manajemen, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Matutina, Domi. 2001. Manajemen Personalia. Jakarta: Pt. Rineka Cipta
Mangkunegara, Anwar Prabu. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan.
Moenir,1987,Pendekatan Manusiawi dan Organisasi terhadap Pembinaan Kepegawaian, Gunung
Agung, Jakarta.
Musanef, 1994, Manajemen Kepegawaian di Indonesia, Gunung Agung, Jakarta.
Panggabean, Murtiana S. , 2002, Manajemen Sumber Daya Manusia, Cetakan Pertama, Ghalia
Indonesia, Jakarta
Saminah ,W.O.2004. Disiplin Kerja Pegawai Negeri Sipil Di Kantor Kecamatan Mandonga. Studi
Kasus : Kantor Camat Mandonga Kota Kendari. Disertasi tidak diterbitkan. Kendari : Program
Sarjana Pendidikan-UNHALU
Saydam, Ghozali,1996,Manajemen Sumber Daya Manusia, Binarupa, Jakarta.
Siahaan, Elfrida J. 2002. Pengaruh Koordinasi Kerja Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan pada PT.
Jakarana Tama Medan. Medan: Fakultas ilmu Sosial Universitas Negeri Medan
Sinungan, Muchdarsyah. 2005. Produktivitas. Jakarta: Bumi Aksara
Sirait, Justin T. 2006. Memahami Aspek- aspek Pengelolaan Sumber Daya Manusia dalam Organisasi.
Jakarta: PT. Grasindo
Suara Merdeka. 2008. Ciri- ciri Orang produktif (online) http://www.suaramerdeka.com diakses pada 5
April 2013
Suma’mur. 2005. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakan Kerja.
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta,2005.
Surisna. 2007. Manajemen Organisasi. Jakarta: Jaya Sakti
Sutrisno. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Kencana prenada Media
Simanjutak,Payaman J.,1985,Produktivitas kerja,Pengertian dan Ruang Lingkupnya,Lembaga Sarana
Informasi Usaha dan Produktivitas,Jakarta.
Triguno,2000, Budaya Kerja, PT Golden Terayon Press, Jakarta.
Wahjosumidjo,1987,Kepemimpinan dan Motivasi, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Wexley,Kenneth,N dan Yukl,Gary, terjemahan Muh Shobaruddin, 2000, Perilaku Organisasi dan
Psikologi Personalia, Rineka Cipta, Jakarta.
Widodo, WS, 1980, Administrasi Kepegawaian, BPA,UGM,Yogyakarta.
Widdodo,Joko,2004,Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja,Banyumedia Publishing,Malang.
Wursanto,IC,1985,Dasar – dasar Manajemen Personalia,Pustaka Dian, Jakarta.