Anda di halaman 1dari 39

FENOMENA SOSIAL PERILAKU DAN KEBIASAAN PENUNGGU

PASIEN RAWAT INAP di RSUD dr. AGOESDJAM KETAPANG

PROPOSAL PENELITIAN

Proposal Ini diajukan Sebagai Salah


Satu Syarat Untuk …………………

Oleh :

YULIA NINGSIH, SKM

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan bahwa kesehatan merupakan investasi,

hak, dan kewajiban setiap manusia. Kutipan tersebut tertuang dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-

undang Dasar 1945 selanjutnya disingkat dengan (UUD NRI) dan Undang-undang nomor 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan selanjutnya disingkat dengan (UUK), menetapkan bahwa setiap

orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena itu setiap individu, keluarga dan

masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung

jawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat

miskin dan tidak mampu.

Pelayanan kesehatan merupakan salah satu hak mendasar masyarakat yang

penyediaannya wajib diselenggarakan oleh pemerintah sebagaimana telah diamanatkan dalam

Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat (1) “Setiap orang berhak hidup sejahtera

lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” dan Pasal 34 ayat (3) “Negara bertanggung

jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang

layak”.

Pelayanan kesehatan adalah segala upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau

secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,

mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga,

kelompok ataupun masyarakat (Azwar, 2010).


Rumah Sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan memiliki peran yang sangat

strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat indonesia. Peran

strategis ini di peroleh karena Rumah Sakit adalah fasilitas kesehatan yang padat teknologi dan

padat pakar.

Rumah Sakit merupakan wadah bagi semua kegiatan yang dilakukan manusia, baik yang

sakit dan yang tidak sakit, oleh karenanya dapat menjadi salah satu penentu bagi kesembuhan

hidupnya baik secara fisik maupun psikologis. Seperti dalam salah satu defenisi yang

dikemukakan oleh Van Romondt (Suekanto, 1982) bahwa bangunan rumah sakit adalah tempat

manusia hidup dengan bahagia, bahagia di sini mencakup arti yang sangat luas yaitu

terpenuhinya segala kebutuhan manusia baik secara fisik maupun psikologis. Kebudayaan

seperti yang diungkapkan oleh para antropologis merupakan keseluruhan pengetahuan.

Kepercayaan-kepercayaan yang dimiliki dan digunakan oleh suatu kelompok masyarakat

tertentu, yang dijadikan pedoman bertingkah laku kelompok yang bersangkutan dalam rangka

memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian dalam menghadapi suatu keadaan di

lingkungan tertentu setiap kelompok masyarakat akan menanggapinya secara berbeda-beda

sesuai dengan aturan dan nilai-nilai yang dianutnya.

Dari pemahaman tersebut di atas maka amat penting untuk memahami kegiatan manusia

sebelum membuat bangunan rumah sakit yang akan menjadi wadah bagi kegiatan-kegiatannya.

Ada begitu banyak kasus yang dapat diajukan untuk menunjukkan betapa erat hubungannya

antara kegiatan dan bangunan rumah sakit. Salah satu kasus yang menarik untuk diamati adalah

adanya gejala menunggu pasien yang dirawat di rumah sakit secara bersamasama, lebih dari satu

orang. Gejala tersebut banyak dijumpai pada rumah-rumah sakit umum milik pemerintah,

walaupun tidak tertutup kemungkinan terjadi juga pada rumah-rumah sakit umum milik swasta,
yang keadaannya relatif lebih baik. Gejala ini menjadi menarik untuk diamati karena kegiatan

yang mereka lakukan, yaitu kegiatan keseharian di rumah seperti makan, tidur, dan

membersihkan diri (mandi, buang air, dan mencuci) harus dilakukan di rumah sakit, yang pada

dasarnya tidak direncanakan dan dirancang untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Perilaku dan

kebiasaan para pembesuk atau penunggu pasien yang sering kita lihat di rumah-rumah sakit di

Indonesia sampai saat ini masih menunjukkan adanya pola kegiatan bersama yang sangat kental.

Dikatakan masih, karena ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa di zaman yang semakin

maju dan modern ini orang cenderung mengabaikan dan meninggalkan kegiatan bersama, orang

lebih bersifat individual dalam segala aspek kehidupannya.

Dari hasil wawancara awal peneliti, kepada beberapa penunggu pasien di RSUD

dr.Agoesdjam Ketapang dari 20 penunggu pasien rawat inap , 13 penunggu pasien mengatakan

tidak setuju bahwa rumah sakit hanya memperbolehkan 2 penunggu pasien dan 7 penunggu

pasien mengatakan setuju bahwa rumah sakit hanya memperbolehkan 2 penunggu pasien.

Berdasarkan hasil wawancara yang telah di dapatkan di atas sehingga peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian tentang “Fenomena sosial perilaku dan kebiasaan penunggu pasien

rawat inap di RSUD dr.Agoesdjam Ketapang tahun 2019”.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi fokus penelitian dalam

penyusunan proposal ini antara lain sebagai berikut :

1. Jumlah penunggu pasien dalam setiap kelompoknya di RSUD dr.Agoesdjam Ketapang

2. Pola hubungan di antara penunggu pasien di RSUD dr.Agoesdjam Ketapang


3. Keterkaitan antara tenaga paramedis dan penunggu pasien RSUD dr.Agoesdjam

Ketapang

4. Kondisi ruang tunggu rumah sakit RSUD dr.Agoesdjam Ketapang

5. Sistem pelayanan rumah sakit RSUD dr.Agoesdjam Ketapang

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang dapat dikemukakan

yaitu sebagai berikut :

1. Berapa Jumlah penunggu pasien dalam setiap kelompoknya di RSUD dr.Agoesdjam

Ketapang

2. Bagaimana Pola hubungan di antara penunggu pasien di RSUD dr.Agoesdjam Ketapang

3. Bagaimana Keterkaitan antara tenaga paramedis dan penunggu pasien di RSUD

dr.Agoesdjam Ketapang

4. Bagaimana Kondisi ruang tunggu rumah sakit di RSUD dr.Agoesdjam Ketapang

5. Bagaimana Sistem pelayanan rumah sakit di RSUD dr.Agoesdjam Ketapang


D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini:

1. Untuk mengetahui jumlah penunggu pasien dalam setiap kelompoknya di RSUD

dr.Agoesdjam Ketapang

2. Untuk mengetahui pola hubungan di antara penunggu pasien di RSUD dr.Agoesdjam

Ketapang

3. Untuk mengetahui keterkaitan antara tenaga paramedis dan penunggu pasien RSUD

dr.Agoesdjam Ketapang

4. Untuk mengetahui kondisi ruang tunggu rumah sakit RSUD dr.Agoesdjam Ketapang

5. Untuk mengetahui sistem pelayanan rumah sakit RSUD dr.Agoesdjam Ketapang

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

Sebagai bahan masukan bagi manajemen RSUD dr.Agoesdjam Ketapang dalam menentukan

kebijakan yang berhubungan dengan penunggu pasien rawat inap.

2. Manfaat Teoritis

 Bagi civitas akademika sebagai perbendaharaan tambahan pengetahuan mengenai pola

hubungan sikap dan kebiasaan penunggu pasien RSUD dr.Agoesdjam Ketapang.

 Bagi penulis sebagai tambahan pengetahuan tentang system pelayanan RSUD dr.Agoesdjam

Ketapang.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori

Landasan pemikiran dalam melakukan penelitian tentang perilaku dan kebiasaan penunggu

pasien di rumah sakit adalah bahwa setiap kegiatan manusia dilakukan karena adanya dorongan

kebutuhan, baik yang bersifat naluriah maupun yang direncanakan. Salah satu kebutuhan

manusia adalah kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain. Kebutuhan manusia untuk

berinteraksi dengan orang lain dapat terjadi pada setiap kesempatan, baik saat terjadinya

peristiwa yang menyenangkan seperti pernikahan, kelahiran, pertemuan kembali, dan lain

sebagainya, maupun pada saat terjadinya kesulitan atau musibah seperti peristiwa kematian, sakit

dan lain-lain. Intraksi yang terjadi di antara manusia menunjukkan adanya dimensi yang tak

terlihat, yang mengindikasikan adanya pola hubungan tertentu di antara manusia yang

bersangkutan. Indikasi tersebut pada dasarnya juga menunjukkan bahwa dalam berinteraksi

faktor budaya turut menentukan (Hall, 1966). Tetapi perbedaan latar belakang budaya seperti itu

dapat dihilangkan atau minimal saling disesuaikan, misalnya karena adanya kedekatan hubungan

kekerabatan, persahabatan ataupun adanya hubungan yang bersifat emosional. Untuk

menghayati lingkungan sosial budaya, harus mengetahui adanya dimensi yang tak terlihat,

karena dari sana dapat melihat adanya peranan latar belakang kebudayaan seseorang terhadap

cara dia memakai ruang tunggu atau tanggapan terhadap lingkungannya (Tjahjono,t.t).

Masyarakat Indonesia masih merupakan masyarakat agraris yang bercirikan kebersamaan

dan kerja kelompok. Ciri ini didasari oleh adanya kedekatan hubungan baik secara kekerabatan

maupun kesukubangsaan. Kedekatan hubungan secara kekerabatan yang ada pada masyarakat
Indonesia dapat ditelusuri dari pola penghunian rumah tinggal, baik yang tradisional maupun

yang modern. Pola penghunian rumah tinggal masyarakat Indonesia mengikuti konsep keluarga

luas (extended family) yang di dalamnya terdapat tidak saja orang tua dan anak-anak yang belum

menikah, tetapi juga anak-anak yang sudah menikah, menantu, paman, keponakan, kakek, nenek,

dan lainnya. Kekerabatan sebagai suatu jaringan hubungan yang tercipta melalui pertalian

keturunan dan keterikatan sosial menyebabkan seseorang yang menjadi anggota dalam jaringan

tersebut memiliki peran dan tanggung jawab, yang akan mencul dalam bentuk kebersamaan pada

saat seseorang menjadi pusat perhatian, misalnya saat ia lahir, menikah ataupun mengalami

musibah (Keesing, 1975).

Pendekatan lain yang digunakan untuk menjelaskan gejala adanya perilaku penunggu

pasien di rumah sakit dalam jumlah yang lebih dari satu orang adalah teori pemisahan

masyarakat dalam kelompok yang bersifat gemeinschaft dan gesellschaft, yang dikemukakan

oleh Ferdinand Tonnies.

Gemeinschaft merupakan bentuk kehidupan bersama yang memiliki ciri :

1. Anggota-anggotanya dilihat oleh hubungan batin yang murni dan alamiah;

2. Hubungan yang ada berdasarkan pada rasa cinta yang bersifat kodrati;

3. Hubungan bersifat nyata;

4. Hubungan bersifat kekal.

Sedangkan Gessellschaft merupakan bentuk kehidupan bersama yang memiliki ciri antara lain :

1. ikatan lahir yang bersifat pokok;

2. hubungan hanya pada jangka waktu tertentu saja;

3. hubungan bersifat imaginary (hanya dalam pikiran);

4. hubungan berdasarkan timbal balik.


Dari ciri-ciri tersebut maka bentuk gemeinschaft akan dapat dilihat pada hubungan yang terjadi

diantara anggota keluarga dan kerabat, sedangkan Gesellschaft merupakan hubungan yang

terjadi antara pedagang, organisasi pabrik/industri.

Pola hubungan yang bersifat gemeinschaft pada umumnya menjadi ciri dari bentuk

kehidupan bersama yang ada di pedesaan, sedangkan pola hubungan yang bersifat gesellschaft

merupakan ciri kehidupan bersama yang ada di perkotaan. Bentuk kehidupan bersama baik di

pedesaan maupun di kota akan dikaitkan dengan permasalahan yang menyangkut kekerabatan

dan pola penghunian rumah tinggal dan masing-masing anggotanya. Dari segi ruang tunggu

pasien, maka untuk dapat memahami kita dapat melihatnya melalui pemahaman tentang struktur

tubuh manusia dan hubungan yang terjadi diantara sesama manusia. Akibat pengalamannya yang

sangat dekat dengan tubuhnya sendiri dan orang lain maka ia akan mengorganisasikan ruang

tunggu pasien sedemikian rupa sehingga terasa menyenangkan dan sesuai dengan kebutuhan -

kebutuhannya baik yang bersifat biologis maupun yang berkaitan dengan hubungan sosialnya

(Tuan, 1981).

1. Penunggu Pasien

Dalam membahas perilaku penunggu pasien ini perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang

perbedaan antara pengunjung dan penunggu pasien di rumah sakit. Pengunjung adalah orang

yang datang ke rumah sakit untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan tanpa

harus menginap di rumah sakit, seperti berobat dan mengunjungi pasien yang dirawat pada

jam-jam berkunjung (Carpman, 1986). Penunggu pasien dalam konteks penelitian ini adalah

orang yang datang ke rumah sakit dengan tujuan untuk menunggui keluarga atau kerabatnya

yang sedang di rawat di rumah sakit, dengan cara menginap di rumah sakit yang bersangkutan.
Rumah sakit obyek penelitian merupakan rumah sakit pemerintah satu-satunya di Ketapang,

melayani segala lapisan masyarakat yang datang tidak saja dari dalam Kabupaten Ketapang

tetapi juga dari Kabupaten Kayong Utara. Oleh karenanya kita dapat menemukan berbagai

macam kasus penyakit dan berbagai macam perilaku dari para penunggu pasien.

2. Ruang Penunggu Pasien

Sebagai Wadah Kegiatan Ruang tunggu merupakan salah satu bagian penting yang ada di

dalam sebuah bangunan rumah sakit. Jika dilihat dari sasaran pelayanannya maka di dalam

bangunan rumah sakit terdapat dua golongan manusia yang harus mendapatkan pelayanan yaitu

pasien dan pengunjung rumah sakit (Charpman, 1986). Ruang-ruang yang digunakan oleh pasien

adalah ruang-ruang periksa, ruang rawat jalan, ruang rawat inap, dll. Sedangkan ruang-ruang

bagi pengunjung diutamakan yang bersifat umum seperti ruang informasi, ruang pendaftaran,

ruang tunggu, dll. Ruang tunggu merupakan ruang utama yang paling dibutuhkan oleh para

penunggu pasien di rumah sakit. Ruang-ruang tunggu yang diamati ada yang memang

direncanakan atau dirancang sebagai ruang tunggu, adapula ruang tunggu yang sebenarnya

bukanlah ruang tunggu sebagaimana yang seharusnya (lobby lift, lobby ramp, selasar, dan

sebagainya).
B. Relevansi Teori dalam Perilaku Penunggu Pasien

Kehidupan Kelompok Manusia pada dasarnya adalah makhluk social yang hidup berkelompok,

ia tak akan mampu menjalani kehidupannya jika hanya sendiri, dimanapun ia berada akan

membutuhkan orang lain. Kelompok-kelompok ini dapat berupa kelompok suku bangsa, keluarga,

kerabat, ataupun kelompok-kelompok social dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1981), seperti

kelompok ketetanggaan, kelompok pekerja, dan lain sebagainya. Melalui pemahaman tentang azas

kebersamaan dalam kehidupan kelompok ini juga akan dapat dijelaskan mengapa terjadi perilaku

penunggu pasien yang menunggui keluarga yang sakit secara bersama-sama lebih dari satu orang.

Ferdinand Tonnies (Soekanto, 1982) mengemukakan teori tentang Gemeinschaft dan Gesellschaft

dalam kehidupan kelompok.

1. Gemeinschaft

adalah bentuk kehidupan bersama yang setiap anggotanya terikat satu sama lainnya oleh

hubungan batin yang murni, bersifat alamiah dan kekal. Yang mendasari hubungan tersebut

adalah adanya rasa cinta dan keterkaitan secara batiniah. Bentuk gemeinschaft ini dapat dijumpai

pada hubungan antara anggota keluarga, kerabat ataupun hubungan ketetanggaan. Gesellschaft

adalah suatu bentuk hubungan secara lahiriah, yang bersifat pokok dalam jangka waktu yang

pendek, memiliki sifat mekanis, dalam arti hanya didasarkan pada hal-hal dan logika sesama.

Menurut Tonnies dalam suatu masyarakat selalu ada salah satu dari tiga tipe

gemeinschaft, yaitu :

a. gemeinschaft by blood, yaitu gemeinschaft yang merupakan ikatan yang didasarkan pada

ikatan darah atau keturunan, contoh keluarga, kelompok kekerabatan.


b. gemeinschaft of place, yaitu gemeinschaft yang terdiri dari orang-orang yang berdekatan

tempat tinggalnya sehingga dapat saling tolong menolong, contohnya rukun tetangga, rukun

warga, arisan.

c. gemeinschaft of mind, yaitu gemeinschaft yang terdiri dari orang-orang yang memiliki pikiran,

idiologi yang sama walaupun tidak memiliki hubungan darah atau kedekatan tempat tinggal.

Pendekatan Gemeinschaft dan Gesellschaft ini dikaitkan dengan perilaku penunggu pasien yang

berbentuk kelompok dan kota sebagai tempat terjadinya gejala tersebut. Para penunggu pasien

yang diteliti di rumah sakit itu pada dasarnya adalah penduduk yang tinggal di kota, yang

dimasukkan dalam kelompok kehidupan bersama yang memiliki pola hubungan Gesellschaft,

tetapi pada saat ini mereka berperan sebagai penunggu pasien di rumah sakit maka perilaku

menunggui keluarga yang sedang dirawat disana menunjukkan adanya pola hubungan

Gemeinschaft yang anggota-anggotanya memiliki hubungan kebathinan yang sangat erat dan

mesra.

Pembahasan perilaku penunggu pasien di rumah sakit melalui pendekatan Gemeinschaft

difokuskan pada dua tipe, yaitu Gemeinschaft by blood dan Gemeinschaft of place, karena pada

kedua tipe tersebut terlihat adanya hubungan yang saling terkait satu sama lain, yang sesuai

dengan gejala perilaku menunggui pasien tersebut.

a) Gemeinschaft by Blood

Adanya penunggu pasien di rumah sakit tampaknya untuk saat ini masih merupakan suatu

kebutuhan baik jika ditinjau dari sisi pasien, pihak rumah sakit maupun dari sisi para

penunggu pasien itu sendiri. Telah disinggung bahwa selain kebutuhan utama/primer,

manusia juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan lain yang bersifat social dan integrative

antara lain seperti :


(1) komunikasi dengan sesama;

(2) melakukan kegiatan-kegiatan bersama dengan orang lain;

(3) mengungkapkan perasaan - perasaan kolektif/kebersamaan yang kesemuanya itu pada

dasarnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan psikologis dari manusia yang bersangkutan.

Keadaan ini belum dapat diprediksi kapan akan mengalami perubahan, karena dengan

struktur masyarakatnya yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang memilki budaya dasar

berupa kehidupan bersama dalam kelompok, maka konteks tersebut masih akan berlangsung.

System kekerabatan yang ada pada masyarakat Indonesia masih berperan penting dalam

setiap sisi kehidupannya. Peran seseorang dalam keluarga akan saling terkait dengan anggota

keluarga yang lainnya, baik dalam struktur keluarga inti maupun keluarga luas. Peran yang

terkait dengan kewajiban dan tanggung jawab dari setiap anggota keluarga dalam system

kekerabatan tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku menunggui anggota

keluarga yang sedang dirawat di rumah sakit dalam jumlah yang lebih dari satu orang. Selain

anggota keluarga inti yang memang memikul tanggung jawab langsung terhadap anggota

keluarga lainnya maka anggota keluarga luaspun akan merasa turut memikul tanggung jawab

tersebut walaupun bukan sebagai tanggung jawab utama. Orang-orang yang memiliki

hubungan keluarga dan kekerabatan seperti ayah, ibu, adik, kakak, kakek/nenek, paman dan

sebagainya inilah yang tampak selalu ada diantara para penunggu pasien di rumah sakit, yang

peran dan tanggung jawabnya akan muncul dalam bentuk kebersamaan saat seseorang

menjadi pusat perhatian seperti saat lahir, menikah, sakit atau meniinggal dunia (Keesing,

1975). Adanya hubungan-hubungan khusus dan alasan-alasan tertentu tersebut maka jumlah

penunggu pasien menjadi lebih dari satu orang, biasa mencapai 4-5 orang dalam satu

kelompoknya.
b) Gemeinschaft of Place

Hubungan yang ada pada para penunggu pasien di rumah sakit juga dapat dijelaskan

melalui pendekatan Gemeinschaft of Place, yaitu suatu Gemeinschaft yang terdiri dari orang-

orang yang berdekatan tempat tinggalnya. Pola kedekatan hubungan yang ada diantara para

penunggu pasien tidak saja disebabkan oleh adanya hubungan pertalian darah tetapi juga oleh

adanya kedekatan tempat tinggal. Diantara para penunggu pasien terdapat anggota keluarga inti

maupun keluarga luas yang tempat tinggalnya saling berdekatan di dalam satu wilayah

pemukiman (bertetangga). Prilaku menunggui keluarga yang dirawat di rumah sakit secara

bersama-sama, lebih dari satu orang juga dapat dijelaskan melalui pola penghunian rumah

tinggalnya. Pada masyarakat tradisional Indonesia pola penghunian rumah tinggalnya dapat

dibedakan dua kelompok masyarakat. Masyarakat yang berasal dari luar pulau Jawa, pola

penghunian rumah tinggalnya mengikuti pola keluarga luas, yang terdiri dari orang tua, anak-

anak yang belum menikah, anak perempuan yang sudah menikah beserta keluarganya, adik

ibu/ayah, kakek/nenek dan sebagainya. Pola penghunian rumah tinggal dengan struktur keluarga

luas di dalamnya, terlihat jelas pada rumah panjang suku Lahanan di Kalimantan, rumah Gadang

di Sumatera Barat, atau rumah-rumah di kompleks pemukiman masyarakat suku Dani di Papua

dan lain sebagainya. Sedangkan kelompok masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa pola

penghunian rumah tinggalnya mengikuti struktur keluarga inti. Struktur keluarga luas sebagai

penghuni rumah tetap ada tetapi pada umumnya anggota keluarga luas ini memilih untuk tinggal

saling berdekatan baik dalam satu wilayah pemukiman maupun diwilayah pemukiman yang

berbeda tetapi tetap memiliki jarak yang relative dekat. Dengan latar belakang Gemeinschaft of

Place, mulai dari satu wilayah permukiman yang sama sampai kepada pola penghunian di dalam

rumah, tempat setiap kejadian dan kegiatan yang terjadi di dalamnya melibatkan seluruh
anggotanya, maka dapat dimengerti jika keterlibatan ini akan juga berlanjut di luar rumah saat

salah satu anggota keluarga atau kerabat penghuni rumah bersangkutan mengalami kejadian-

kejadian yang bersifat khusus. Perilaku penunggu pasien di RSUD dr.Agoesdjam Ketapang

merupakan salah satu contoh dari kehidupan bersama yang didasari oleh adanya kedekatan

tempat tinggal.

2. Gesellschaft

Para penunggu pasien di RSUD dr.Agoesdjam Ketapang yang diteliti pada dasarnya adalah

masyarakat yang tinggal di kota, yang memiliki pola hubungan Gesellschaft. Dalam kaitannya

dengan kehidupan kota yang dicirikan dengan adanya ikatan dan hubungan-hubungan yang bersifat

lahiriah, dalam jangka waktu pendek dan adanya kewajiban timbal balik, maka para penunggu

pasien dituntut untuk dapat beradaptasi dengan kondisi yang ada tersebut. Masyarakat kota yang

dikategorikan oleh Durkheim sebagai masyarakat yang kompleks, tersusun dalam kelompok-

kelompok yang beraneka ragam dan terintegrasi dalam arti bahwa bagian-bagian mereka

tergantung satu sama lain pada dukungan yang bersifat timbal balik. Solidaritas yang ada pada

masyarakat yang kompleks adalah solidaritas organis, yang setiap bagiannya memiliki spesialisasi-

spesialisasi tersendiri, yang saling tergantung satu sama lain. Oleh karena itu jika salah satu bagian

terganggu maka keseluruhan bagiannya pun akan terganggu (Campbell, 1994). Dalam konteks

tersebut di atas, sebuah rumah sakit sebagai bagian dari masyarakat kompleks juga memiliki nilai-

nilai, aturan-aturan dan spesialisasi peran-peran yang menuntut adanya hubungan timbal balik baik

di antara anggota masyarakat rumah sakit itu sendiri maupun antara rumah sakit dengan

masyarakat yang dilayaninya. Perilaku penunggu pasien yang timbul dari adanya kebudayaan yang

dianut oleh kelompok-kelompok masyarakat menjadi tampak tidak terakomodasi karena adanya
perbedaan pandangan dari penunggu pasien yang membawa budaya masyarakat sederhana dengan

rumah sakit sebagai bagian dari masyarakat kota yang memiliki pola aturan berperilaku sebagai

masyarakat kompleks. Perbedaan pandangan tentang pola berperilaku di RSUD dr. Agoesdjam

Ketapang ini menyebabkan timbulnya masalah, tidak saja bagi para penunggu pasien (kegiatan

keseharian di rumah yang harus dilakukan di rumah sakit) tetapi juga bagi pihak rumah sakit

(membuat pasien lain merasa terganggu).

C. Kebudayaan Rumah Sakit

Rumah sakit sebagaimana masyarkat kecil memiliki “kebudayaan”, yang dibagi lagi ke dalam

“sub kebudayaan”, yaitu kebudayaan “Pasien” dan kebudayaan “professional” atau staf dari

semua yang bekerja di rumah sakit (Anderson,1986). Dari hasil pengamatan di Rumah Sakit ,

yang pengguna bangunan yang tidak hanya pasien dan para professional di rumah sakit tetapi

juga ada penunggu pasien, maka untuk RSUD dr.Agoesdjam Ketapang sub kebudayaan tersebut

dapat di tambahkan dengan sub kebudayaan “penunggu pasien”. Dimasukkannya penunggu

pasien dalam sub kebudayaan tersendiri karena para penunggu pasien ini berbentuk kelompok-

kelompok dengan perilaku khusus, yang secara khusus yang secara umum dimiliki oleh semua

kelompok penunggu tersebut. Perilaku menunggui pasien di rumah sakit tidak bisa dilepaskan

dari masalah rumah sakit itu sendiri. Untuk saat ini keberadaan para penunggu pasien di rumah

sakit masih dapat dikatakan relevan jika kita meninjaunya dari sisi kondisi sebuah rumah sakit

dan dari sisi ratio antara jumlah pasien dengan jumlah tenaga medis yang ada. Suasana rumah

sakit yang berisi peralatan-peralatan medis, para dokter dan perawat, serta perangkat peraturan

yang harus dipatuhi oleh pasien merupakan suatu yang baru bagi para pasien tersebut. Suasana

yang serba baru dan mengejutkan itu menimbulkan rasa asing yang pada gilirannya dapat
memicu timbulnya stress pada pasien, yang oleh Brink dan Saunders (Anderson, 1986) tersebut

sebagai kejutan budaya. Dengan suasana yang dirasakan pasien tersebut maka diperlukan adanya

suatu penyeimbang tekanan, terlepas dari tekanan akibat penyakitnya, yang dirasakan oleh

pasien tersebut dapat sedikit demi sedikit dihilangkan. Faktor penyeimbang ini bisa didapatkan

melalui hal-hal yang dapat mengingatkannya pada suasana yang tidak memberikan tekanan

tetapi sebaliknya dapat memberikan ketenangan. Factor tersebut antara lain adalah mendekatkan

pasien dengan lingkungan hubungan karibnya, yaitu keluarga, kerabat dan sahabat, menciptakan

suasana ruang yang akrab tidak menakutkan dan lain sebagainya. Kedekatan dengan lingkungan

karib dipercaya dapat membantu memberikan ketenangan pada diri pasien yang pada gilirannya

akan mempengaruhi proses penyembuhan si pasien. Ratio antara jumlah pasien dan jumlah

tenaga paramedis yang dirasakan masih tidak seimbang menjadi salah satu penyebeb mengapa

kehadiran para penunggu pasien ini masih diperlukan. Kehadiran para penunggu pasien ini pada

umumnya diperlukan terutama pada saat pasien memerlukan obat-obatan yang tidak tersedia di

rumah sakit. Selain alasan ketersediaan obat, tenaga penunggu pasien ini terkadang sangat

dibutuhkan pula untuk membantu pasien membersihkan diri (mandi), menyuapi makan,

meminum obat, yang tidak dapat dilakukan oleh tenaga medis pada saat jumlah pasien sangat

tidak seimbang dengan jumlah tenaga paramedis yang ada.

D. Hubungan Ruang Tunggu dengan Perilaku Menunggui Pasien

Sebelumnya telah diutarakan tentang masalah kebudayaan sebagai salah satu factor penentu.

Ruang Tunggu itu sendiri memiliki arti yang luas, tidak hanya mencakup bangunan yang bersifat

material tetapi juga seluruh kegiatan yang merubah lingkungan fisik berdasarkan keteraturan

(Rapoport, 1979). Keteraturan yang menjadi dasar dalam mengubah suatu lingkungan merupakan
pengejawantahan dari adanya pola keteraturan di dalam alam pikiran manusia. Pikiran manusia

mengatur ruang, waktu, kegiatan, peran, status dan perilaku. Tujuan dari pengaturan ruang dan

waktu adalah untuk membangun suatu komunikasi, yaitu adanya keinginan-keinginan untuk

berinteraksi, menghindari sesuatu atau seseorang, menunjukkan adanya dominasi dan sebagainya.

Pengaturan waktu membekali seseorang dapat menentukan kapan suatu kegiatan harus dilakukan

atau dihindari. Oleh karenanya suatu lingkungan dapat menjelaskan adanya hubungan orang dan

orang lainnya, antara sesuatu dan sesuatu lainnya, ataupun antara seseorang dengan sesuatu.

Hubungan tersebut dapat terjadi melalui berbagai tingkatan pemisahan di dalam dan oleh ruang.

Ruang yang dimaksud di sini mencakup baik ruang di dalam bangunan maupun ruang di luar

bangunan.

a. Komunikasi melalui Ruang Penelitian

yang dilakukan oleh Humphly Osmond di rumah sakit yang dipimpinnya (Hall, 1966)

menunjukkan adanya ruang sociofugal dan ruang sociopetal. Menurutnya di rumah sakit lebih

banyak ruang-ruang yang bersifat sociofugal dari pada ruang yang bersifat sociopetal. Ruang

sociofugal adalah ruang-ruang yang cenderung menyebabkan orang terpisah/saling berjauhan

sedangkan ruang sociopetal adalah ruang-ruang yang cenderung menyebabkan orang

berkumpul untuk saling berdekatan. Walaupun penelitian ini lebih ditujukan pada ruang-ruang

untuk pasien di rumah sakit tetapi temuan ini dapat digunakan untuk membahas ruang-ruang

tunggu bagi penunggu pasien di rumah sakit yang menjadi obyek penelitian. Perbedaannya

dengan rumah sakit di dunia Barat adalah bahwa penelitian tentang ruang sociofugal dan

sociopetal lebih diarahkan untuk mengetahui pengaruh dari pengaturan ruang dan perabot di

rumah sakit terhadap kondisi pasien, jadi yang menjadi focus perhatian adalah pasien sebagai

individu. Hal tersebut dapat dipahami mengingat di dunia Barat budaya yang
melatarbelakanginya terfokus pada individu bukan pada kelompok. Disana tidak dijumpai

adanya gejala menunggui pasien dalam jumlah yang lebih dari satu orang, karena peraturan,

fasilitas, dan kondisi pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit sudah sangat memadai.

Dengan latar belakang budaya yang bersifat individual dan kondisi rumah sakit seperti itu

maka seorang pasien akan berada di rumah sakit seorang diri. Untuk masyarakat Indonesia

yang latar belakang budayanya bersifat kelompok, maka penelitian ini difokuskan pada gejala

yang timbul dari latarbelakang budaya tersebut, dalam hal ini adalah kelompok penunggu

pasien yang untuk seorang pasien jumlah penunggunya berkisar antara empat sampai lima

orang. Teori tentang ruang sociofugal dan sociopetal ini digunakan untuk menganalisa

hubungan ruang tunggu dan ruang rawat inap yang pada intinya adalah untuk menunjukkan

dapat atau tidaknya ruang-ruang tunggu tersebut mendekatkan pasien dan penunggunya. Salah

satu kesimpulan dari Osmond yang cukup relevan untuk kondisi rumah sakit di Indonesia

dengan kebiasaan penunggu pasiennya, adalah bahwa ruang yang bersifat sociofugal tidak

selamanya bernilai buruk dan ruang yang bersifat sociopetal tidak selamanya baik. Jika ruang-

ruang tunggu di rumah sakit dengan kebiasaan penunggu pasien seluruhnya dirancang untuk

memiliki sifat sociopetal maka kemungkinan akan berdampak kurang baik tidak saja bagi

rumah sakit secara umum tetapi juga bagi pasien pada khususnya.

b. Kebudayaan sebagai Pertimbangan dalam Membangun Ruang Tunggu

menurut defenisi Rapoport (1979) adalah suatu gaya hidup yang mencerminkan suatu

kelompok masyarakat, suatu system symbol, makna dan pola pikir suatu masyarakat serta

suatu cara untuk beradaptasi dan bertahan dari lingkungan dan sumber daya kebudayaan

merupakan hasil pilihan-pilihan yang paling sering dilakukan dimana pilihan tersebut

kemudian dijadikan sebagai pegangan dalam melaksanakan kehidupan. Arsitektur yang


merupakan upaya untuk mengubah lingkungan fisik menurut skema keteraturan dalam rangka

beradaptasi dan bertahan hidup, dapat dikatakan sebagai bagian dari system kebudayaan

tersebut di atas. Selain itu arsitektur juga dapat berperan sebagai sarana untuk menterjemahkan

makna dan pola piker seseorang atau sekelompok orang. Oleh karena itu dalam merancang

bangunan juga dibutuhkan kajian tentang kebudayaan yang dianut oleh masyarakat

penggunanya. Dalam proses membangun ruang tunggu kajian yang cukup penting dilakukan

adalah tentang perilaku dan lingkungan yang oleh Irwin Altman (Moore, 1979) dikelompokkan

ke dalam tiga komponen utama yaitu, fenomena perilaku lingkungan, kelompok pengguna, dan

keadaan/letak (setting). Fenomena perilaku lingkungan menunjukkan aspek-aspek yang

terdapat di dalam perilaku manusia, antara lain sebagai aspek antropometrik, proxemik, privasi,

persepsi, makna dan sebagainya. Aspek-aspek tersebut dapat menjelaskan tetang pola-pola

berinteraksi, berkomunikasi antara satu individu dengan individu yang lain, antara individu

dengan kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok lain, melalui pengaturan jarak,

symbol dan makna. Kelompok pengguna menunjukkan kelompok atau jenis pengguna

bangunan yang harus dilayani oleh seorang arsitek melalui rancangan yang dibuatnya.

Kelompok pengguna ini meliputi antara lain anak-anak, orang lanjut usia pria, wanita, orang

cacat dan sebagainya. Dengan mengenali dan memahami kehidupan kelompok atau jenis

pengguna bangunan yang akan dilayani maka diharapkanhasil rancangan dapat memenuhi

kebutuhan si pengguna ini secara optimal. Setting menunjukkan daerah. Tempat, keadaan

dimana suatu kegiatan yang direncanakan akan berlangsung. Setting ini mempunyai rentang

tempat yang cukup panjang mulai dari skala ruang hingga skala dunia. Melalui pemahaman

tentang ketiga komponen yang dikajikan satu sama lain tersebut maka membangun ruang
tunggu dapat meminimalkan kekurangan-kekurangan yang akan terjadi dalam kaitan antara

kebutuhan manusia penggunanya dengan ruang yang akan menampung kegiatan.

C. Kerangka Pemikiran

Disiplin kerja merupakan tindakan atau perilaku seseorang terhadap tanggung jawab

kegiatan kerjanya. Dimana disiplin kerja adalah suatu upaya menggerakkan karyawan dalam

menyatukan suatu peraturan dan mengarahkan untuk tetap memenuhi peraturan sesuai dengan

pedoman yang berlaku pada organisasi.

Pembahasan disiplin pegawai berangkat dari pandangan bahwa tidak ada manusia yang

sempurna, luput dari kekhilafan dan kesalahan. Oleh karena itu setiap organisasi perlu memiliki

berbagai ketentuan yang harus ditaati oleh para anggotanya, standar yang harus dipenuhi.

Disiplin merupakan tindakan manajemen untuk mendorong para anggota organisasi memenuhi

tuntutan berbagai ketentuan tersebut. Dengan perkataan lain, tujuan dari disiplin pegawai adalah

untuk memberikan pelatihan yang berusaha memperbaiki dan membentuk pengetahuan, sikap

dan perilaku pegawai sehingga para pegawai tersebut secara sukarela berusaha bekerja secara

kooperatif dengan para pegawai lain serta meningkatkan prestasi kerjanya.

Dalam pelaksanaannya, memotivasi pegawai dapat dilakukan dengan menggunakan dua

metode motivasi, yaitu motivasi langsung dan motivasi tak langsung. Motivasi langsung adalah

motivasi yang diberikan secara langsung kepada setiap individu karyawan untuk memenuhi

kebutuhan serta kepuasannya. Jadi sifatnya khusus, seperti pujian, penghargaan, tunjangan hari

raya, bonus, dan bintang jasa. Sedangkan motivasi tak langsung adalah motivasi yang diberikan

hanya merupakan fasilitas-fasilitas yang mendukung serta menunjang gairah kerja atau
kelancaran tugas sehingga para karyawan betah dan bersemangat melakukan pekerjaannya.

Misalnya, kursi yang empuk, mesin-mesin yang baik, ruangan kerja yang terang dan nyaman,

suasana pekerjaan yang serasi, serta penempatan yang tepat. Motivasi tidak langsung besar

pengaruhnya untuk merangsang semangat bekerja karyawan sehingga prestasi kerjanya baik.

Motivasi itu sendiri terdiri dari dua jenis motivasi, yaitu motivasi positif dan motivasi

negatif. Motivasi positif maksudnya memotivasi karyawan dengan memberikan hadiah kepada

mereka yang berprestasi di atas standar. Dengan motivasi positif, semangat kerja karyawan akan

meningkat karena umumnya manusia senang menerima yang baik-baik saja. Dan motivasi

negatif maksudnya memotivasi karyawan dengan standar mereka akan menerima hukuman.

Dengan motivasi negatif ini semangat bekerja bawahan dalam jangka waktu pendek akan

meningkat karena mereka takut dihukum, tetapi untuk jangka waktu panjang dapat berakibat

kurang baik. Namun, penggunaan kedua jenis motivasi ini harus tepat dan seimbang supaya

dapat meningkatkan prestasi kerja karyawan. Dan manajer harus konsisten dan adil dalam

menerapkannya.

Sejalan dengan tujuan dari penelitian tentang disiplin kerja dan motivasi pegawai yang

dilakukan ini, maka dapat dikatakan bahwa salah satu upaya untuk dapat meningkatkan motivasi

pegawai adalah dengan diterapkannya disiplin kerja melalui berbagai peraturan dan ketentuan

dalam organisasi. Adapun cara yang dapat dilakukan adalah dengan disiplin preventif dan

disiplin korektif. Pendisiplinan yang bersifat preventif adalah tindakan yang mendorong para

karyawan untuk taat kepada berbagai ketentuan yang berlaku dan memenuhi standar yang telah

ditetakan. Artinya melalui kejelasan dan penjelasan tentang pola sikap, tindakan dan perilaku

yang diinginkan dari setiap anggota organisasi diusahakan pencegahan jangan sampai para

karyawan berperilaku negatif. Sedangkan disiplin korektif dilakukan jika ada pegawai yang
nyata-nyata telah melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan yang berlaku atau gagal

memenuhi standar yang telah ditetapkan, kepadanya dikenakan sanksi disipliner. Berat atau

ringannya suatu sanksi tentunya tergantung pada bobot pelanggaran yang telah terjadi.

Pengenaan sanksi dapat mengikuti prosedur yang sifatnya hierarki. Artinya pengenaan sanksi

diprakarsai oleh atasan langsung karyawan yang bersangkutan, diteruskan kepada pimpinan yang

lebih tinggi dan keputusan akhir pengenaan sanksi tersebut diambil oleh pejabat pimpinan yang

memang berwenang untuk itu. Prosedur tersebut ditempuh dengan dua maksud, yaitu bahwa

pengenaan sanksi dilakukan secara obyektif dan bahwa sifat sanksi sesuai dengan bobot

pelanggaran yang telah dilakukan.

Di samping factor obyektivitas dan kesesuaian bobot hukuman dengan pelanggaran,

pengenaan sanksi harus pula bersifat mendidik dalam arti agar terjadi perubahan sikap dan

perilaku di masa depan dan bukan terutama menghukum seseorang karena tindakannya di masa

lalu. Pengenaan sanksi pun harus mempunyai nilai pelajaran dalam arti mencegah orang lain

melakukan pelanggaran serupa. Tidak kurang pentingnya untuk memperhatikan bahwa

manajemen harus mampu menerapkan berbagai ketentuan yang berlaku secara efektif dan tidak

hanya sekedar merupakan pernyataan di atas kertas.

Gambar 1.3
Alur Pemikiran

Sub
Variabel Implementasi Sasaran
Variabel
1. Tujuan dan
Motivasi
Disiplin Kerja Teladan Kemampuan
Kerja
Pimpinan 2. Hubungan
Pegawai
Kemanusiaan
Pengawasan 1. Pengawasan
Melekat 2. Sanksi Hukuman

Umpan Balik

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa pentingnya disiplin kerja untuk

menyalurkan, mengarahkan atau mendorong seseorang untuk bekerja giat mencapai hasil yang

optimal sesuai dengan apa yang diharapkan, kemudian pada akhirnya motivasi pegawai suatu

organisasi tercapai.

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pada kerangka pemikiran diatas maka dapat ditarik hipotesis yang

merupakan suatu jawaban sementara atas penelitian yang dilakukan, yaitu:

1. Teladan pimpinan dalam disiplin kerja berpengaruh terhadap motivasi kerja pegawai.

2. Pengawasan melekat dalam disiplin kerja berpengaruh terhadap motivasi kerja pegawai.

3. Teladan pimpinan dan pengawasan melekat dalam disiplin kerja secara simultan berpengaruh

terhadap motivasi kerja pegawai.


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah RSUD dr. Agoesdjam Ketapang. Alasan peneliti pemilihan

lokasi ini karena pada RSUD dr. Agoesdjam jumlah penunggu pasien rawat inap selalu

memenuhi ruangan pasien dan ruang tunggu rawat inap.

B. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif.

C. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada RSUD dr.Agoesdjam Ketapang

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal ………….. 2019 - selesai

D. Jenis Data Penelitian

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Sedangkan untuk

sumber data yang dikumpulkan dan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer merupakan data yang didapat secara langsung dari sumber-sumber

pertama baik dari individu maupun dari kelompok. Sedangkan data sekunder adalah data yang

diperoleh secara tidak langsung atau data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan baik

oleh pihak pengumpul data primer atau oleh pihak lain. Data sekunder dari penelitian ini penulis

dapatkan dari data rekam medis dr.Agoesdjam Ketapang.


Jenis data dalam penelitian ini terdiri atas :

1. Rekaman Audio dan Video

Rekaman audio dan video digunakan dalam penelitian ini untuk memperoleh data peneliti

melakukan wawancara dengan para informan atau sumber data. Selain itu, dengan pertimbangan

agar data yang diperoleh tidak hilang, rusak, dan hasil wawancara dengan sumber data tidak

dapat ditulis dengan sempurna bila peneliti harus menulis dengan buku catatan.

2. Catatan Lapangan

Dalam penelitian ini catatan lapangan digunakan untuk mendokumentasikan semua gejala-gejala

atau fenomena situasi social yang tampak selama peneliti berada dilokasi penelitian. Catatan

terdiri atas dua bagian, yakni (1) deskripsi yaitu tentang apa yang sesungguhnya kita amati, yang

benar-benar terjadi menurut apa yang kita lihat, dengar dan amati dengan alat indra , dan (2)

komentar, tafsiran, refleksi, pemikiran atau pandangan sesuatu yang kita amati. Deskripsi ialah

uraian obyektif tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa yang kita lihat dan dengar,

tanpa diwarnai oleh pandangan atau tafsiran kita. Komentar adalah pandangan, penilaian,

penafsiran terhadap sesuatu.

3. Dokumentasi

Data dokumentasi digunakan peneliti untuk memperkuat hasil temuannya atau wawancara,

dokumen-dokumen, dan arsip-arsip yang berguna dalam penlitian ini. Selain melalui wawancara

dan observasi, informasi juga bisa diperoleh lewat fakta yang tersimpan dalam bentuk surat,

catatan harian, arsip foto, hasil rapat, cenderamata, jurnal kegiatan dan sebagainya. Data berupa

dokumen seperti ini bisa dipakai untuk menggali informasi yang terjadi di masa silam. Peneliti

perlu memiliki kepekaan teoritik untuk memaknai semua dokumen tersebut sehingga tidak

sekadar barang yang tidak bermakna. Artinya bahwa Pengumpulan data melalui teknik ini
dimaksudkan untuk melengkapi hasil data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi.

Dengan analisis dokumen ini diharapkan data yang diperlukan menjadi benar-benar valid.

Dokumen yang dapat dijadikan sumber antara lain foto, laporan penelitian, buku-buku yang

sesuai dengan penelitian, dan data tertulis lainnya.

4. Foto/Gambar

Foto digunakan peneliti untuk mengabadikan kondisi atau momen penting yang berguna bagi

penelitian ini. Dengan menggunakan foto akan dapat mengungkap suatu situasi pada detik

tertentu sehingga dapat memberikan informasi deskriptif yang berlaku saat itu. Foto dibuat

dengan maksud tertentu, misalnya untuk melukiskan kegembiraan atau kesedihan, kemeriahan,

semangat dan situasi psikologis lainya. Foto juga dapat menggambarkan situasi sosial seperti

kemiskinan daerah kumuh, adat istiadat, penderitaan dan berbagai fenomena sosial lainya. Selain

foto, bahan statistik juga dapat dimanfaatkan sebagai dokumen yang mampu memberikan

informasi kualitatif, seperti jumlah penunggu pasien, pasien, tenaga administrasi. Data ini sangat

membantu sekali bagi peneliti dalam menganalisa data, dengan dokumen-dokumen kualitatif ini

analisa data akan lebih mendalam sesuai dengan kebutuhan penelitian.

E. Sumber Data Penelitian

Dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrument utama dalam penelitian adalah

manusia atau peneliti itu sendiri, Sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Unsur manusia sebagai instrumen kunci

2. Unsur informan yang terdiri dari : Kepala RSUD dr.Agoesdjam Ketapang, dokter, perawat,

pasien, dan seluruh penunggu pasien rawat inap di RSUD dr. Agoesdjam Ketapang.

3. Unsur non manusia sebagai data pendukung penelitian


F. Teknik Penentuan Informan

Dalam penelitian ini, peran informan sangat penting dan perlu. Untuk menentukan

informan dalam konteks objek penelitian diklasifikasikan berdasarkan kompetensi tiap-tiap

informan. Teknik penentuan informan dilakukan secara purposif. Usia dan peran informan

menjadi salah satu kunci untuk memperoleh informasi yang memadai. Jumlah informan menjadi

pengecualian ketika informasi yang diperoleh sudah dipandang memadai sehingga pencaharian

informasi “data” dapat dihentikan.

Teknik penentuan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive

(pengambilan informan berdasarkan tujuan). Teknik penentuan informan ini adalah siapa yang

akan diambil sebagai anggota informan diserahkan pada pertimbangan pengumpul data yang

sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian. Menurut Faisal teknik pengambilan sampel purposif

adalah: Pengambilan informan berdasarkan informan penelitian. Penentuan informan dalam

penelitian ini berdasarkan objek yang diteliti dan berdasarkan keterkaitan informan tersebut

dengan penelitian. Informan dalam penelitian ini terdiri dari informan yang berkaitan dengan

penunggu pasien rawat inap di RSUD dr. Agoesdjam Ketapang.

G. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini ada beberapa jenis pengumpulan yang digunakan penulis yaitu:

1. Observasi /Pengamatan yaitu dengan melakukan pengamatan dilokasi penelitian. Teknik ini

dipergunakan untuk memperoleh data tentang perilaku dan kebiasaan penunggu pasien di

RSUD dr. Agoesdjam Ketapang.

2. Wawancara, yang merupakan metode pengumpulan data dengan cara bertanya langsung

kepada responden.
3. Dokumentasi, yakni melakukan pencatatan berbagai dokumen yang ada. Teknik ini

dilakukan untuk memperoleh data tentang prosedur pemberian kartu tunggu pasien rawat

inap dr.Agoesdjam Ketapang.

H. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode deskriptif

Kualitatif, menurut Miles dan Huberman (1992) bahwa analisis deskriptif melalui tiga alur,

yaitu :

1. Data reduction

2. Data display

3. Conclusion drawing/verification

Sesuai data yang diperoleh di RSUD dr.Agoesdjam Ketapang Maka peneliti ini

menggunakan teknik analisis data kualitatif diskriptif yang berpedoman pada berfikir induksi dan

deduksi. Menurut sanapiah penelitian kualitatif dapat melakukan analisis data sejak

pengumpulan data sampai data terkumpul seluruhnya. Sebelum data dianalisis oleh peneliti

terlebih dahulu diolah ( data proccesing ) kemudian dilakukan proses editing yaitu data diperiksa

terlebih dahulu oleh penelliti secara seksama kemudian dilanjutkan dengan pemberian kode agar

mempermudah dalam analisis data. Dalam menganalisis data, penelitian menggunakan model

analisis interaktif (interactive model) yang mengandung empat komponen yang saling berkaitan

yaitu ( pengumpulan data, penyederhanaan data, pemaparan data dan penarikan dan pengajuan

simpulan ).
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan mulai sejak awal sampai sepanjang

proses penelitian berlangsung, dalam penelitian ini di gunakan analisis data dengan

menggunakan model interaktif melalui tiga prosedur yaitu :

1. Reduksi data sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,

pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis

dilapangan, data dihimpun dari berbagai sumber dilapangan, disederhanakan dan

disimpulkan.

2. Penyajian data dimaksudkan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberikan

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dengan melihat

penyajian-penyajian kita dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus

dilakukan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan bagi peneliti melihat gambaran secara

keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari data penelitian, sehingga dari data tersebut dapat

ditarik kesimpulan.

3. Menarik kesimpulan/verivikasi, merupakan satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh selama

penelitian berlangsung, sedangkan verivikasi meerupakan kegiatan pemikiran kembali yang

melintas di pemikiran penganalisis selama peneliti mencatat, atau suatu tinjauan ulang pada

catatan-catatan lapangan atau peninjauan kembali serta tukar pikiran diantara teman sejawat

untuk mengembangkan “intersubjektif” dengan kata lain makna yang muncul dari data harus

diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokkannya (validitasnya).

I. Pengecekkan Keabsahan Data

Pengecekkan keabsahan data dapat digunakan empat teknik pemeriksaan, yaitu :

1. Derajat Kepercayaan ( Credibility )


Beberapa yang ditempuh agar kebenaran hasil penelitian ini dapat dipercaya adalah :

a. Perpanjangan keikutsertaan

Dalam penelitian ini, perpanjangan keikutsertaan dilakukan melalui aktifitas untuk

membuat temuan dan interpretasi yang akan dihasilkan lebih terpercaya. Contoh :

kegiatan dengan memperpanjang masa observasi/pengamatan dilapangan, wawancara

lagi dengan sumber data yang pernah ditemui maupun yang baru. Dengan

perpanjangan keikutsertaan ini berarti hubungan peneliti dengan narasumber akan

semakin akrab, semakin terbuka, saling mempercayai sehingga tidak ada informasi

yang disembunyikan lagi antara peneliti dengan subyek yang diteliti. Perpanjangan

keikutsertaan ini dengan mengamati dan mewawancarai mengenai kegiatan

keagamaan, pelaksanaan kegiatan keagamaan, jadwal kegiatan keagamaan jenis

kegiatan keagamaan, motivasi dari pihak-pihak lain yang berwenang di dalamnya.

Pelaksanaan program itu dilaksanakan dengan cara teknik pengumpulan data,

mempelajari data yang terdapat dalam rekam medis, dokumen-dokumen serta

beberapa tempat lainnya yang menjadi sumber data sekunder penelitian ini, maka

peneliti mengetahui secara mendalam tentang permasalahan yang terjadi. Hal ini

dilakukan sebagai langkah antisipasi untuk menjaga kredibilitas dalam penelitian.

b. Ketekunan Pengamatan

Ketekunan pengamatan dimaksudkan untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur

yang sangat relevan dengan persoalan yang sedang dicari dan kemudian memusatkan

diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Contohnya : melakukan pengamatan secara

terus menerus terhadap obyek yang diteliti, seperti kegiatan-kegiatan yang di adakan

di lingkungan RSUD dr.Agoesdjam Ketapang. Yang diamati juga bagaimana kendala


yang dihadapi dan manfaat dari kegiatan-kegiatan itu. Disini peneliti mengadakan

observasi secara terus menerus, sehingga memahami gejala dengan lebih mendalam

sehingga mengetahui aspek yang penting, terfokus dan relevan dengan topik

penelitian. Dengan ketekunan pengamatan, maka peneliti dapat melakukan

pengecekkan kembali apakah data yang ditemukan itu salah atau tidak dan peneliti

dapat memberikan deskripsi data yang akurat dan sistematis tentang apa yang diamati.

c. Triangulasi

Triangulasi sebagai pengecekkan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan

berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik

pengumpulan data dan waktu. Triangulasi dilakukan dengan menggunakan sumber,

metode dan teori. Triangulasi sumber digunakan dengan cara membandingkan data

yang diperoleh dari seorang informan dengan informan lainnya, seperti

membandingkan sumber informan. Triangulasi metode dilakukan dengan cara

pengumpulan data yang beredar, seperti observasi, wawancara dan dokumentasi. Data

yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan data dokumen peneliti kumpulkan

kemudian dianalisa, mulai dari latar belakang, pengorganisasian dan pelaksanaan.

Sedangkan triangulasi teori adalah pengecekkan data dengan membandingkan teori-

teori yang dihasilkan para ahli yang dianggap sesuai dan sepadan melalui penjelasan

banding, kemudian hasil peneliti dokonsultasikan dengan subyek peneliti sebelum

dianggap mencukupi.

d. Kecukupan referensi

Pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti. Contohnya,

data hasil wawancara perlu didukung dengan adanya rekaman wawancara. Data
tentang interaksi manusia atau gambaran suatu keadaan perlu didukung oleh foto-foto,

video, taperecorder. Alat-alat bantu perekam data dalam penelitian kualitatif sangat

diperlukan untuk mendukung kredibilitas data yang telah ditemukan oleh peneliti.

Dalam laporan penelitian, sebaiknya data-data yang dikemukakan perlu dilengkapi

dengan foto-foto atau dokumen autentik, sehingga menjadi lebih dapat dipercaya.

e. Pengecekkan anggota

Proses ini akan peneliti lakukan pada akhir wawancara dengan mengecek ulang secara

garis bsar berbagai hal yang telah disampaikan oleh informan dan obyek yang diteliti.

Seperti data hasil wawancara dengan direktur RSUD dr.Agoesdjam, perawat, pasien ,

dan penunggu pasien.

2. Keteralihan ( transferability )

Berfungsi untuk membangun keteralihan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara “uraian

rinci “ untuk menjawab persoalan sampai sejauh mana hasil penelitian dapat ditransfer pada

beberapa konteks lain. Dengan teknik ini peneliti akan melaporkan hasil penelitian seteliti dan

secermat mungkin yang menggambarkan konteks tempat penelitian diselenggarakan dengan

mengacu pada fokus penelitian.

3. Kebergantungan (dependability)

Depenability disebut reliabilitas. Suatu penelitian yang reliabel adalah apabila orang lain

dapat mengulangi/mereplikasi proses penelitian tersebut. Dalam penelitian kualitatif, uji

dependability dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian.

Sering terjadi peneliti tidak melakukan proses penelitian kelapangan, tetapi bisa memberikan

data. Untuk itu pengujian depenability oleh dosen pembimbing terhadap keseluruhan aktifitas
peneliti dalam melakukan penelitian harus dilakukan. Bagaimana peneliti mulai menemukan

masalah/fokus, memasuki lapangan, menentukan sumber data, melakukan analisis

data,melakukan uji keabsahan data, sampai membuat kesimpulan harus dapat ditunjukkan

oleh peneliti. Kriteria menilai apakah proses penelitian bermutu atau tidak,atau penelitian itu

valid atau tidak. Dalam penelitian kualitatif data utama yang digunakan adalah peneliti

sendiri, dengan demikian peneliti akan berusaha bersungguh-sungguh dalam mengumpulkan

dan menganlisa data yang ada sesuai dengan fokus penelitian yang dibuat. Dan untuk

mengecek kepastian apakah hasil penelitian tersebut benar atau salah, maka peneliti akan

selalu mendiskusikan dengan dosen pembimbing.

4. Konfirmabilitas

Pengujian konfirmabilitas dalam penelitian kualitatif disebut uji obyektifitas penelitian.

Penelitian dikatakan obyektif bila hasil penelitian telah disepakati banyak orang. Menguji

konfirmabilitas berarti menguji hasil penelitian yang dikaitkan dengan proses penelitian yang

dilakukan.

Kriteria ini digunakan untuk menilai hasil penelitian yang telah dilakukan dengan cara

mengecek data, informasi dan hasil penelitian yang didukung oleh materi yang ada pada

pelacakkan audit. Dalam pelacakkan audit ini peneliti menyiapkan bahan-bahan yang

diperlukan, seperti data lapangan berupa : catatan lapangan dari hasil pengamatan peneliti

tentang perilaku dan kebiasaan penunggu pasien rawat inap RSUD dr.Agoesdjam Ketapang.

Dengan demikian pendekatan konfirmabilitas lebih menekankan pada karakteristik data yang

menyangkut kegiatan para pengelolanya dalam mewujudkan konse tersebut. Upaya ini

bertujuan mendapatkan kepastian bahwa data yang diperoleh benar-benar obyektif, bermakna,

dapat dipercaya, faktual dan dapat dipastikan.


DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

Ahiri,Jafar.2013.Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif. Pendidikan Ekonomi,


Ahmad, M. D. 1995. Hubungan antara Religiusitas dan Disiplin Kerja pada Karyawan Beragama
Islam di PT Cipta Mandiri Fingerindo Kendal. Skripsi. (tidak diterbitkan) Yogyakarta : Fakultas
Psikologi UGM.

Ani, Fauziyah. 2005. Pengaruh Pengawasan Kerja dan Disiplin Kerja terhadap Produktivitas Kerja
Karyawan Bagian Produksi Pelintingan di Perusahaan Rokok Kretek Sukun Mc Wartono Kudus
(online) lib.unnes.ac.id/420/ diakses pada 5 April 2013
Anoraga, Pandji. 2000. Manajemen Bisnis. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
_____________. 2004. Psikologi Kerja. Jakarta: Asdi Mahasetya
Arikunto, Suharsini. 2003. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Budiyono. 2008. Pengaruh Disiplin Kerja dan Fasilitas Kerja terhadap Produktivitas Kerja Karyawan
pada PT. Karya Gemilang Surakarta (online) td.eprints.ums.ac.id/2931/1/B100040241.pdf
diakses pada tanggal 5 April 2013
Budi Paramita,1992, Pendekatan Disiplin dalam Peningkatan Produktivitas Kerja,Aksara Baru,
Jakarta

Davis, Keith dan Newstroom, W.John. 2000. Perilaku dalam Organisasi Jilid Kedua. Jakarta: Erlangga
Fathoni, Abdurrahmat, 2006. Metode penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta : Rineka
Cipta.

Gie, The Liang, 1995, Efisiensi Kerja bagi Pembangunan Negara : Suatu Bunga Rampai Bacaan, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta.
Gomes, F.C., 2002,Manajemen Sumber Daya Manusia, Andi, Yogyakarta.
Handoko,Hani T,1984,Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia,BPFE,Yogyakarta.
Hariandja, Marihot Tua Efendi , 2002 , Manajemen Sumber Daya Manusia, Cetakan Pertama, PT.
Grasindo, Jakarta.
Hasibuan, Melayu, SP., 1997, Organisasi dan Motivasi, Dasar Peningkatan Produktifitas, Bumi
Aksara, Cetakan Pertama, Jakarta.
Hasibuan,Melayu,SP.,2000,Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara,Jakarta.
Hasibuan, Malayu.S.P. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara
Handoko, T.Hani. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia dan Personalia. Yogyakarta: BPFE UGM
Helmi. 2006. Buletin Psikologi Edisi Khusus Ulang Tahun Ke XXXIII No.2. Yogyakarta: Fakultas
PSikologi UGM
_____. 2008. Ciri Orang Berdisiplin (online) http://www.avin.staff@ugn.ac.id diakses pada 5 April
2013
Kusumadiantho, Herman. 2000. Jurnal Universitas Pelita Harapan Volume i dan ii. Jakarta: BPFE UPH
Leap, Terry L and Michael D. Crino. 1989. Personnel Human Resource Management. USA: Macmillan
Publishing Company
Leteiner & Levin, Terjemahan Soejono. Disiplin Kerja Karyawan (online)
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/490/jbptunikompp-gdl-andisetiad-24496- 4-unikom_a-i.pdf
diakses pada 5 April 2013
Lubis. 2011. Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Disiplin Kerja Karyawan PTPN IV Unit Kebun
Mayang (online) http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29029/5/Chapter%20I.pdf
diakses pada 5 April 2013
Lubis, Sylviani. 2011. Pengaruh Penerapan Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Terhadap Keamanan Kerja dan Produktivitas Kerja Karyawan Bagian Produksi PT. Sinar
Oleochemical Internasional (SOCI) Mas Medan (TESIS). Medan: Universitas Sumatera Utara
Laiterner, Alfred R, 1983, Teknik Memimpin Pegawai dan Pekerja, aksara Baru, Jakarta.
Manulang, ML, 1988 , Dasar-dasar Manajemen, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Matutina, Domi. 2001. Manajemen Personalia. Jakarta: Pt. Rineka Cipta
Mangkunegara, Anwar Prabu. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan.
Moenir,1987,Pendekatan Manusiawi dan Organisasi terhadap Pembinaan Kepegawaian, Gunung
Agung, Jakarta.
Musanef, 1994, Manajemen Kepegawaian di Indonesia, Gunung Agung, Jakarta.
Panggabean, Murtiana S. , 2002, Manajemen Sumber Daya Manusia, Cetakan Pertama, Ghalia
Indonesia, Jakarta
Saminah ,W.O.2004. Disiplin Kerja Pegawai Negeri Sipil Di Kantor Kecamatan Mandonga. Studi
Kasus : Kantor Camat Mandonga Kota Kendari. Disertasi tidak diterbitkan. Kendari : Program
Sarjana Pendidikan-UNHALU
Saydam, Ghozali,1996,Manajemen Sumber Daya Manusia, Binarupa, Jakarta.
Siahaan, Elfrida J. 2002. Pengaruh Koordinasi Kerja Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan pada PT.
Jakarana Tama Medan. Medan: Fakultas ilmu Sosial Universitas Negeri Medan
Sinungan, Muchdarsyah. 2005. Produktivitas. Jakarta: Bumi Aksara
Sirait, Justin T. 2006. Memahami Aspek- aspek Pengelolaan Sumber Daya Manusia dalam Organisasi.
Jakarta: PT. Grasindo
Suara Merdeka. 2008. Ciri- ciri Orang produktif (online) http://www.suaramerdeka.com diakses pada 5
April 2013
Suma’mur. 2005. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakan Kerja.
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta,2005.
Surisna. 2007. Manajemen Organisasi. Jakarta: Jaya Sakti
Sutrisno. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Kencana prenada Media
Simanjutak,Payaman J.,1985,Produktivitas kerja,Pengertian dan Ruang Lingkupnya,Lembaga Sarana
Informasi Usaha dan Produktivitas,Jakarta.
Triguno,2000, Budaya Kerja, PT Golden Terayon Press, Jakarta.
Wahjosumidjo,1987,Kepemimpinan dan Motivasi, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Wexley,Kenneth,N dan Yukl,Gary, terjemahan Muh Shobaruddin, 2000, Perilaku Organisasi dan
Psikologi Personalia, Rineka Cipta, Jakarta.
Widodo, WS, 1980, Administrasi Kepegawaian, BPA,UGM,Yogyakarta.
Widdodo,Joko,2004,Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja,Banyumedia Publishing,Malang.
Wursanto,IC,1985,Dasar – dasar Manajemen Personalia,Pustaka Dian, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai