Transaksi Modern
Transaksi Modern
TRANSAKSI MODERN
CAPAIAN PEMBELAJARAN
POKOK-POKOK MATERI
25
URAIAN MATERI
26
teknologi, proses jual beli yang tadinya mengharuskan cara manual biasa
saja kini bisa dilakukan via internet.
Jual-beli merupakan salah satu kegiatan sosial di masyarakat, baik di
desa maupun kota. Transaksi jual-beli hampir setiap waktu dapat kita
jumpai. Pertanyaannya, dengan perkembangan zaman yang
memungkinkan kita bertransaksi lewat internet, bagaimana hukum jual
beli online menurut Islam? Apakah transaksi online memenuhi syarat ijab
kabul yang ditentukan dalam Islam?
Jual beli adalah suatu perjanjian tukar-menukar benda (barang)atau
jasa yang mempunyai nilai, atas dasar kerelaan (kesepakatan) antara dua
belah pihak sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang dibenarkan oleh
syara’. Yang dimaksud dengan ketentuan syara’ adalah jual beli tersebut
dilakukan sesuai dengan persyaratan-persyaratan, rukun-rukun dan hal
lain yang ada kaitannya dengan jual beli.29 Adapun rukun jual beli, ada
empat, yaitu: 1) adanya pembeli; 2) adanya penjual; 3) adanya barang; dan
4) adanya shighah atau ijab-qabul.
Dengan demikian jual beli online adalah suatu aktivitas antara penjual
dan pembeli yang melakukan transaksi jual beli tidak dilakukan secara
bertatap muka langsung untuk bertemu dalam melakukan negosiasi.
Kedua belah pihak melakukan transaksi jual beli dengan cara komunikasi
online, seperti chat di HP, komputer, telepon, sms, dan sebagainya. Dan
biasanya ketika akan melaksanakan transaksi antara penjual dan pembeli
memerlukan pihak ketiga, seperti jasa pengiriman barang (kurir) yang
dijual maupun dibeli, seperti pos, JNE, SiCepat, dan lain sebagainya,
sehingga sesuatu yang dibeli dapat diterima oleh pembeli.
29
Desy Safira dan Alif Ilham Akbar Fatriansyah, “Bisnis Jual Beli Online dalam Perspektif
Islam”, AL YASINI: Jurnal Hasil Kajian dan Penelitian dalam bidang Keislaman dan Pendidikan, Vol.
5 No. 1 Mei 2020), hlm. 59.
27
Berdasarkan pengertian jual beli online, bagaimana antara penjual dan
pembeli melaksanakan proses shighah (ijab-qabul). Menurut kitab Fathul
Mu’in, ijab dan qabul dalam transaksi ekonomi adalah:
والقبول مو ما دل َلي التملُ كذال،االيجاب مو ما دل َلى التم ِلي داللة ظاموة
“Ijab adalah bukti yang menunjukan atas penyerahan dengan bukti yang jelas
(dapat dipertanggungjawabkan), sedangkan kabul adalah bukti yang
menunjukan atas penerimaan”30
Adapun pandangan mayoritas mazhab Syafi’i menyarankan agar
barang yang akan dijual belikan harus terlihat terlebih dahulu secara kasat
mata. Namun, ini merupakan bentuk ihtiyath (kehati-hatian) agar tidak
terjadi penipuan sebagaimana hadis Nabi Rasulullah Saw.:
30
Zainuddin Ibn Abdul Aziz, Fathul Mu’in, Alih Bahasa Moch. Anwar, Kitab Terjemah Fathul
Mu’in, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994).
31
Desy Safira dan Alif Ilham Akbar Fatriansyah, “Bisnis Jual Beli Online dalam Perspektif
Islam”, AL YASINI: Jurnal Hasil Kajian dan Penelitian dalam bidang Keislaman dan Pendidikan, Vol.
5 No. 1 Mei 2020), hlm. 61.
32
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 113.
28
ٓ
َ ى ٓياَي َها الَّ ِذيْنَ ىا َمَُ ْٓوا اِذَا تَدَا َي َْت ُ ْم بِدَيْن ا ىِلى ا َ َجل م
... ُس ًّمى اَا ْكتُب ُْو ۗه
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...” (Q.S. al-
Baqarah [2]: 282)
Selain itu, bila sudah cocok atas barang yang dideskripsikan oleh
penjual, pembeli mentransfer biaya yang ditentukan penjual, dan
menunjukkan struk pembelian. Setelah itu, penjual melakukan proses
pembelian. Bila praktik jual beli online seperti ini sudah dilakukan dan tidak
ada yang dirugikan, maka hukum jual beli online menjadi sah. Hal tersebut
sebagaimana difatwakan oleh Syekh Muhammad bin Ahmad Al-Syathiri
dalam karyanya syarah al-Yaqut an-Nafis:
َوالعبوة اى العقود لمعانيها ال لصور االلراظ وَن البيع و الشواء بواسَة التيلرو والتلك
والبوقيات كل مذه الوسائل وامثلها معتمد اليوم وَليها العمل
29
suatu jaringan atau sistem internet (online). Dengan demikian antara
mempelai laki-laki dengan perempuan, wali dan saksi itu tidak saling
bertemu dan berkumpul dalam satu tempat. Dengan demikian yang
membedakan antara nikah online dengan nikah seperti biasanya adalah
antara pihak mempelai, saksi dan wali tidak berada dalam satu tempat
(ittihad al-majelis). Artinya, pihak mempelai, saksi dan wali menggunakan
media teknologi dalam melakukan aktivitasnya, seperti video teleconference,
seperti Zoom, Google Meet dan lain sebagainya di layar televisi atau
proyektor.
Ulama fikih berpendapat jika ijab dan qabul dipandang sah apabila
telah memenuhi beberapa persyaratan. Ijab qabul sendiri memiliki empat
syarat yang harus diperhatikan:
a. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis.
b. Kesesuaian antara ijab dan kabul. Misalnya wali mengatakan, "Saya
nikahkan anda dengan putri saya A...", kemudian calon suami
menjawab, "Saya terima nikahnya B...", maka nikahnya tidak sah,
karena antara ijab dan qabul tidak sesuai.
c. Yang melaksanakan ijab (wali) tidak menarik kembali ijab nya sebelum
kabul dari calon suami.
d. Berlaku seketika. Maksudnya, nikah tidak boleh dikaitkan dengan
masa yang akan datang. Jika wali mengatakan, "Saya nikahkan anda
dengan putri saya besok atau besok lusa," maka ijab dan kabul seperti
ini tidak sah.33
Pengertian ijab dan qabul dalam satu majelis ini tidak semua ulama
sepakat soal penjelasannya. Ada yang mengartikan harus dalam satu
tempat, ada pula yang mengartikan tak harus dalam satu tempat. Imam
Syafi'i lebih cenderung memandangnya dalam arti fisik. Wali dan calon
33
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Terjm. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta:
Gema Insani, 2011).
30
suami harus berada dalam satu ruangan sehingga mereka dapat saling
memandang. Hal ini dimaksudkan agar kedua pihak saling mendengar dan
memahami secara jelas ijab dan qabul yang mereka ucapkan. Sehingga ijab
dan qabul benar-benar sejalan dan bersambung.34
Menurut Imam Syafi'i, dua orang saksi juga harus melihat secara
langsung dua orang yang berakad. Dua orang saksi tidak cukup hanya
mendengar ucapan ijab dan qabul yang diucapkan oleh mereka. Kepastian
itu diperoleh saksi melalui penglihatan dan pendengaran yang sempurna.
Meskipun keabsahan suatu ucapan atau perkataan dapat dipastikan
dengan pendengaran yang jelas, namun kepastian itu harus diperoleh
dengan melihat secara langsung wali dan calon suami.
Apabila wali berteriak keras mengucapkan ijab dari satu tempat,
kemudian disambut oleh qabul calon suami dengan suara keras pula dari
tempat lain, dan masing-masing pihak saling mendengar ucapan yang lain,
maka akad nikah seperti itu tidak sah. Karena, kedua saksi tidak dapat
melihat dua orang yang melakukan ijab dan kabul dalam satu ruangan.
Dengan demikian, menurut imam Syafi'i, akad nikah jarak jauh melalui
telepon tidak dapat dipandang sah karena syarat tersebut di atas tidak
terpenuhi.
Sementara itu, pendapat berbeda diungkapkan Majelis Tarjih PP
Muhammadiyah dalam kumpulan fatwanya. Menurut Majelis Tarjih, yang
dimaksud dengan ijab qabul dilakukan dalam satu majelis adalah ijab dan
qabul terjadi dalam satu waktu. Yang lebih dipentingkan adalah
kesinambungan waktu bukan tempat.
Terlepas dari semua itu, menurut Farid bahwa pernikahan online
tersebut akan memiliki dampak secara hukum positif yang ada di
Indonesia, seperti pencatatan nikah. Sebab perundang-undangan
34
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah, (Jakarta: kenana, 2010), hlm. 3-8.
31
mewajibkan bahwa segala bentuk pernikahan yang sesuai dengan agama
dan kepercayaannya harus tercatat oleh negara.35
3. Pinjaman Online
Berkembangnya teknologi informasi yang sangat pesat berakibat
bermunculannya berbagai aplikasi online yang memberikan kemudahan
terhadap berbagai aktivitas dan kebutuhan manusia. Di antara hal yang
dapat dilakukan oleh pinjam-meminjam dengan menggunakan aplikasi
online atau lebih dikenal dengan istilah pinjaman online (pinjol).
Beberapa aplikasi pinjol yang beredar di masyarakat dan bisa diakses
secara terbuka diantaranya yaitu: Dana bijak, Julo, Tunaiku, Cicil,
Koinworks, Indodana, Modalku, dan Kredit Pintar. Munculnya aplikasi
pinjaman online yang bisa diakses secara terbuka tentunya memberikan
peluang bagi sebagian orang yang menginginkan pinjaman dengan proses
yang cepat dan mudah tanpa prosedur yang rumit dan bertele-tele. Namun
di sisi lain sebagian orang masih merasa ragu mengenai pinjam-meminjam
secara online, apakah dilarang agama atau tidak. Sebelum lebih jauh
membahas tentang pinjaman online dalam perspektif Islam akan dijelaskan
dulu konsep pinjam-meminjam dalam ajaran Islam.
Ada dua istilah yang dikenal dalam masalah pinjam meminjam, yaitu
pinjam meminjam dan utang piutang. Dalam terminologi fiqih muamalah,
utang piutang disebut dengan ‘dayn’ ( ) دين. Istilah dayn‛ ini juga sangat
terkait dengan istilah ‘qard’ ( ) قوضyang dalam bahasa Indonesia dikenal
dengan pinjaman. Sebagian ulama ada yang mengistilahkan utang piutang
dengan istilah iqrad atau qard. Salah satunya adalah Syekh Zainuddin bin
Abdul Aziz al-Malibary. Dalam kitab Fath al-Mu’in beliau mendefinisikan
iqrad dengan memberikan hak milik kepada seseorang dengan janji harus
35
Miftah Farid, “Nikah Online dalam Perspektif Hukum”, Jurisprudentie, Volume 5, Nomor 1,
(Juni 2018), hlm. 183-184.
32
mengembalikan sama dengan yang diutangkan36. Dalam pengertian
umum, utang piutang mencakup transaksi jual beli dan sewa menyewa
yang dilakukan secara tidak tunai (kontan), transaksi seperti ini dalam fiqih
dinamakan mudayanah atau tadayyun37.
Utang piutang (qard) menurut bahasa artinya al-qat‘u (memotong).
Dinamakan demikian karena pemberi utang (muqrid) memotong sebagian
hartanya dan memberikannya kepada pengutang38. Secara istilah, menurut
Hanafiyah qard adalah harta yang memiliki kesepadanan yang anda
berikan untuk anda tagih kembali atau dengan kata lain suatu transaksi
yang dimaksudkan untuk memberikan harta yang memiliki kesepadanan
kepada orang lain untuk dikembalikan yang sepadan dengan itu.39
Mazhab yang lain mendefinisikan qard sebagai bentuk pemberian
harta dari seseorang (kreditur) kepada orang lain (debitur) dengan ganti
harta sepadan yang menjadi tanggungannya (debitur), yang sama dengan
harta yang diambil. Hal itu dimaksudkan sebagai bantuan kepada orang
yang diberi saja. Harta tersebut mencakup harta mithliyat (barang yang
memiliki kesepadanan dan kesetaraan di pasar), hewan dan barang
dagangan40. Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam
mengemukakan pengertian utang piutang (qard), antara lain:
a. Menurut ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah, qard adalah harta yang
diserahkan kepada orang lain untuk diganti dengan harta yang sama.
Atau dalam arti lain suatu transaksi yang dimaksudkan untuk
memberikan harta yang memiliki kesepadanan kepada orang lain untuk
dikembalikan yang sepadan dengan itu.
36
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibary, Fath{ al-Mu’i>n 2, Terj. Abu Hiyadh (Surabaya: AlHidayah,
tt), 248
37
Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), 151.
38
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat (Jakarta: Amzah, 2010), 274.
39
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatubu, Jilid 5, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta:
Gema Insani Dar al-Fikr, 2007), 373-374.
40
ibid
33
b. Menurut ulama Malikiyah, qard adalah penyerahan harta kepada orang
lain yang tidak disertai imbalan atau tambahan dalam
pengembaliannya41.
c. Menurut ulama Hanabilah, qard adalah penyerahan harta kepada
seseorang untuk dimanfaatkan dan ia wajib mengembalikan dengan
harta yang serupa sebagai gantinya.
d. Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah memberikan definisi qard
sebagai harta yang diberikan oleh muqrid (pemberi pinjaman) kepada
muqtarid (orang yang meminjam), agar muqtarid mengembalikan yang
serupa dengannya kepada muqrid ketika telah mampu42.
e. Menurut Hasbi as-Siddiqi, utang piutang (qard) adalah akad yang
dilakukan oleh dua orang yang salah satu dari kedua orang tersebut
mengambil kepemilikan harta dari lainnya dan ia menghabiskan harta
tersebut untuk kepentingannya, kemudian ia harus mengembalikan
barang tersebut senilai dengan apa yang dia ambil dahulu. Berdasarkan
pengertian ini maka qard memiliki dua pengertian yaitu: i’arah yang
mengandung arti tabarru’ atau memberikan harta kepada seseorang dan
akan dikembalikan, dan muawadah karena harta yang diambil bukan
sekedar dipakai kemudian dikembalikan, melainkan dihabiskan dan
dibayar gantinya43.
Dengan demikian, utang piutang (qard) adalah adanya pihak yang
memberikan harta baik berupa uang atau barang kepada pihak yang
berutang, dan pihak yang berhutang menerima sesuatu tersebut dengan
perjanjian dia akan membayar atau mengembalikan harta tersebut dalam
jumlah yang sama. Selain itu akad dari utang piutang itu sendiri adalah
41
Azharudin Lathif, Fiqh Muamalah (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), 150.
42
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Abu Syauqina (PT. Tinta Abadi Gemilang, 2013), 115
43
Teungku Muhammad H}asbi as-Siddiqiy, Pengantar Fiqih Muamalah (Semarang: PT. Pustaka
Rizki, 2001), 103
34
akad yang bercorak ta‘awun (pertolongan) kepada pihak lain untuk
memenuhi kebutuhannya.
Pinjam meminjam ialah membolehkan kepada orang lain mengambil
manfaat sesuatu yang halal untuk mengambil manfaatnya dengan tidak
merusak zatnya, dan dikembalikan setelah diambil manfaatnya dalam
keadaan tetap tidak rusak zatnya44. Pinjam meminjam itu boleh, baik
dengan cara mutlak artinya tidak dibatasi dengan waktu, atau dibatasi oleh
waktu45. Pinjam meminjam menurut ahli fiqih adalah transaksi antara dua
pihak. Misalnya orang menyerahkan uang (barang) kepada orang lain
secara sukarela, dan uang (barang) itu dikembalikan lagi kepada pihak
pertama dalam waktu yang berbeda, dengan hal yang serupa46.
Perlu kita ketahui bahwa pinjam meminjam dalam bahasa Arab dikenal
dengan sebutan ‘ariyah yang artinya adalah meminjam. Sedangkan
pengertian menurut istilah syari’at Islam, pinjam meminjam adalah akad
atau perjanjian yang berupa pemberian manfaat dari suatu benda yang
halal dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya imbalan dengan tidak
mengurangi ataupun merubah barang tersebut dan nantinya akan
dikembalikan lagi setelah diambil manfaatnya47.
Para ulama berpendapat bahwa ‘ariyah adalah suatu hak untuk
memanfaatkan suatu barang yang diterimanya dari orang lain tanpa
imbalan dengan ketentuan barang tersebut tetap utuh dan pada suatu saat
harus dikembalikan kepada pemiliknya. Dari definisi tersebut terdapat dua
versi. Versi pertama Hanafiah dan Malikiah mendefinisikan ‘ariyah dengan
“tamlik al-manfaat” (kepemilikan atas manfaat). Dari definisi tersebut dapat
dipahami bahwa manfaat dari benda yang dipinjam dimiliki oleh si
44
Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2009, hlm 426
45
Zainudin, Muhammad jamhari, Al-Islam 2 (Muamalah dan Akhlak), Cet.1 (Bandung: CV. Pustaka
Ceria, 1999), hlm 16.
46
Abu Sura’i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, (Surabaya: AlIkhlas, 1993), hlm 125.
47
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah, 2010, hlm 466
35
peminjam sehingga ia boleh meminjamkannya kepada orang lain.
Sedangkan versi kedua, Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan ‘ariyah
dengan “ibahah al intifa” (kebolehan mengambil manfaat). Dari definisi
yang kedua dapat dipahami bahwa barang yang dipinjam hanya boleh
dimanfaatkan oleh peminjam, tetapi tidak boleh dipinjamkan kepada orang
lain.
Terdapat juga pengertian lain tentang pinjaman, yaitu pengalihan
kepemilikan dengan jaminan yaitu saya mengeluarkan uang dari pemilikan
saya dan pihak lain menyatakan akan menjamin keutuhan bendanya jika
berupa barang dan menjaga nilainya jika berupa nilai. Hal-hal yang sejenis
yakni yang satu dengan yang lainnya sama, seperti uang, dan sebagainya48.
Dari uraian di atas mengenai utang piutang dan pinjam meminjam dari
dari sisi definisi ada kesamaan yaitu membolehkan kepada orang lain
untuk mengambil manfaat dari benda yang bukan miliknya dan
mengijinkan dengan sukarela serta pengambil manfaat berkewajiban
mengembalikan barang tersebut dalam keadaan utuh seperti sediakalanya.
Sementara perbedaannya adalah dari objek yag diambil manfaatnya.
Utang piutang objek yang diambil manfaat harus dikembalikan kepada
pemiliknya dengan nilai yang sama. Contoh utang piutang benda yang
menjadi objeknya seperti halnya uang. Contoh dari pinjam meminjam yaitu
meminjamkan cangkul, golok, pisau atau benda-benda lain yang bisa
diambil manfaatnya.
Prinsip dasar dari pinjam meminjam dan utang piutang adalah mubah
atau boleh. Pinjam meminjam (‘ariyah) dan utang piutang merupakan
perbuatan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) dan dianjurkan
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Para ulama sendiri sepakat dan tidak
ada pertentangan mengenai kebolehan utang piutang. Kesepakatan ulama
48
Murtadha Mutahhari, Pandangan Islam Tentang Asuransi dan Riba, Bandung: Pustaka Hidayah,
1995, hlm 68
36
ini didasari pada tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan
dan bantuan saudaranya. Oleh karena itu, utang piutang sudah menjadi
salah satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang
sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya49.
Pada proses pinjam meminjam atau hutang piutang barang yang
dipinjam harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Barang tersebut bisa diambil manfaatnya, baik pada waktu sekarang
maupun nanti, dengan demikian, barang yang tidak bisa diambil
manfaatnya, seperti mobil yang mogok, tidak boleh dipinjamkan.
b. Barang yang dipinjamkan harus berupa barang mubah, yakni barang
yang dibolehkan untuk diambil manfaatnya menurut syara’. Apabila
barang tersebut diharamkan maka ‘ariyah atau qord hukumnya tidak
sah.
c. Barang yang dipinjamkan apabila diambil manfaatnya tetap utuh.
Dengan demikian, tidak sah meminjamkan makanan dan minuman
yang sudah pasti akan habis.
Menurut jumhur ulama dalam akad ‘ariyah harus terdapat beberapa
unsur (rukun), sebagai berikut:
a. Mu’ir (orang yang memberikan pinjaman),
b. Musta’ir (orang yang mendapatkan pinjaman),
c. Mu’ar (barang yang dipinjamkan)
d. Ijab qobul (serah terima)
Proses pinjam meminjam atau utang piutang bila memenuhi syarat-
syarat di atas maka dipandang sah dan dibolehkan dalam syariat Islam.
Proses pinjam meminjam atau utang piutang secara umum pelaksanaannya
yaitu, musta’ir datang kepada muir, keduanya melakukan akad bahwa
mustair meminjam barang atau sejumlah uang kepada muir, kemudian ia
49
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani, 2001),
132-133.
37
memberikan barang atau uang tersebut dengan kesepakan bahwa barang
atau uang tersebut akan dikembalikan pada waktu yang telah ditentukan.
Transaksi tersebut umumnya dilakukan secara langsung atau keduanya
bertemu di suatu tempat yang sudah ditentukan.
Perkembangan teknologi yang semakin pesat sehingga berbagai
aktivitas manusia bisa dilakukan dengan tidak saling bertemu secara
langsung. Seperti halnya dengan akad pinjam meminjam atau utang
piutang, pada zaman sekarang banyak dijumpai proses pinjam meminjam
atau utang piutang dilakukan secara online melalui bantuan aplikasi
tertentu, sehingga antara muir dan mustair tidak bertemu langsung,
terutama dalam pinjam meminjam uang.
Perkembangan teknologi yang semakin pesat tadi sehingga pada saat
sekarang muncul atau keluar istilah pinjol atau pinjaman online. Pinjaman
online adalah suatu pinjaman yang dapat diajukan melalui aplikasi
secara online. Aplikasi ini merupakan buah inovasi teknologi di bidang
finansial atau lazim disebut sebagai financial technology. Pinjaman online
yang menjanjikan kemudahan – terlebih di era pandemi – dipandang lebih
efektif, cepat dan mudah daripada harus bertemu secara langsung di lokasi
untuk melakukan transaksi utang piutang.
Kemunculan pinjol (pinjaman online ini) menjadi menarik untuk dikaji
dalam tinjauan ilmu fiqh. Dalam kajian fikih muamalah kontemporer
pinjam uang dengan cara online hukumnya boleh. Serah terima secara
hukmiy (legal-formal/non-fisik) dianggap telah terjadi baik secara i’tibâran
(adat) maupun secara hukman (syariah maupun hukum positif) dengan cara
takhliyah (pelepasan hak kepemilikan di satu pihak) dan kewenangan untuk
38
tasharruf (mengelola/memperjualbelikan/menggunakan di pihak lain),
meskipun serah terima secara hissan (fisik barang) belum terjadi.50
Pandangan fikih yang lain disebutkan bahwa:
https://mui.or.id/opini/30474/fenomena-pinjaman-online-pinjol-
50
39
Secara lebih rinci agar kita tidak terjebak praktik riba, Habib Abdur
Rahman bin Muhammad bin Husain binUmar al-Masyhur menjelaskan
dalam kitabnya,
طآ ْ ِب ْال َع ْق ِد اَإ
َ ت ت ََوا ِ ص ْل
ُ ض َمذَا ِإ ْ َوقَ َع اِ ْي ِ ط اِ ْي ِه ال ََّ ْر ُع ِل ْل ُم ْق ِو
ُ ض ْال َم ْش ُو ْو ُ ض ْالرَا ِسد ُ ْال ُم َح َّو ُم م َُو ْالقَ ْوُ ِإ ِذ ْالقَ ْو
ْ
ِّ َِ الوبَا ال َواقِعَ ِة ِلغَي ِْو غ ََوض ش َْو
ي ِّ ِ سائِ ِو ِحيَ ِل ْ ْ ُ َ
َ صلبِ ِه أ ْو ل ْم يَك ْن ََقد ٌ َجازَ َم َع الك ََوا َم ِة َك َ ْ ْ
ُ ََلَ ْي ِه قَ ْبلَهُ َول ْم يَذك ْو اِ ْي
ُ َ
40
Hakikatnya hutang harus dibayar. Bahkan jika yang berhutang pun
sudah meninggal, maka ahli warisnya punya kewajiban untuk
melunasinya. Namun, bagi orang yang meminjamkan, jika yang orang
yang pinjam uang betul-betul tidak bisa melunasi hutangnya, maka
memaafkan adalah suatu perbuatan yang mulia dalam ajaran Islam.
CONTOH SOAL
Akad nikah adalah proses ijab qabul antara mempelai pria dan wali,
proses Ijab dan qabul antara wali dan mempelai pria dilaksanakan
dengan video call, hal merupakan salah satu bentuk dari implementasi
nikah online. Nikah online dipandang tidak syah dalam ajaran Islam,
karena….
A. Ijab qabul tidak dalam satu majelis
B. Dua saksi tidak melihat dan mendengar langsung
C. Secara fisik jauh dari saksi
41
D. Tergantuk alat elektronik
E. Di luar kebiasaan
GLOSARIUM
42
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Zainuddin Ibn Abdul, Fathul Mu’in, Alih Bahasa Moch. Anwar, Kitab
Terjemah Fathul Mu’in, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994.
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Terjm. Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk, Jakarta: Gema Insani, 2011.
Carolina, Irmawati, “Inseminasi Buatan dalam Kajian dan Aturan Hukum
Islam”, Seminar Nasional Inovasi dan Teknologi (SNIT) 2012.
Farid, Miftah, “Nikah Online dalam Perspektif Hukum”, Jurisprudentie,
Volume 5, Nomor 1, Juni 2018.
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2013.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta:
Gema Insani, 2001)
Qardhawi, Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press;
2002.
Safira, Desy, dan Fatriansyah, Alif Ilham Akbar, “Bisnis Jual Beli Online
dalam Perspektif Islam”, AL YASINI: Jurnal Hasil Kajian dan Penelitian
dalam bidang Keislaman dan Pendidikan, Vol. 5 No. 1 Mei 2020.
Sudjana, “Aspek Hukum Penggunaan Deoxyribonucleic Acid (DNA) pada
Proses Kloning Embrio Manusia”, Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat,
November 2015, 6(3).
Wignjosoebroto, Soetandyo, “Kloning: Kemungkinan Teknis dan Implikasi
Permasalahan Sosial-Etisnya,” dalam Aziz Mushofa dan Imam
Musbikin, Kloning Manusia Abad XXI: Antara Harapan, Tantangan dan
Pertentangan, Yogyakarta: Forum Studi HIMANDA dan Pustaka
Pelajar, 2001.
Zein, Satria Effendi M., Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,
Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah, Jakarta: kenana,
2010.
https://mui.or.id/opini/30474/fenomena-pinjaman-online-pinjol-dalam-
telaah-fikih/ (di rilis 8 Juli 2021)
43