Anda di halaman 1dari 16

RUKUN DAN SYARAT DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE

MAKALAH

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Bisnis Online Syariah

DOSEN PENGAMPU :

SUDARMAN, S.H., M.E.

DISUSUN OLEH :

REZA SYARIPUDDIN 2102010005

RACHMADANA 2102010013

A RAHMAT HIDAYAT 2102010002

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

DARUD DA’WAH WAL IRSYAD

(STAI-DDI) PINRANG

2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya. Atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis
bisa menyusun dan menyelesaikan makalah tentang “RUKUN DAN SYARAT
DALAM TRANSAKSI ECOMMERCE” ini dengan baik dan tepat waktu guna
memenuhi tugas mata kuliah Perbankan Syariah.

Dalam penulisan dan penyelesaian makalah ini penyusun tidak terlepas


dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penyusun mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyelesaian makalah ini.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah


pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bagi kami sebagai penyusun merasa
bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Pinrang, 20 MEI 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semakin berkembangnya teknologi dari masa ke masa membawa banyak
perubahan dan kemajuan dalam kehidupan manusia di banyak aspek kehidupan
khususnya bisnis dan aktivitas pasar. Dalam bisnis perdagangan misalnya,
kemajuan teknologi telah melahirkan metode bertransaksi yang dikenal dengan
istilah E-Commerce (Elektronic Commerce). Secara lebih luas, E-Commerce
merupakan penggunaan alatalat elektronik dan teknologi untuk melakukan
perdagangan, meliputi interaksi Business-To-Business, dan Business-To-
Consumer. E-Commerce menggambarkan cakupan yang luas mengenai teknologi,
proses, dan praktik yang dapat melakukan transaksi bisnis tanpa menggunakan
kertas sebagai sarana mekanisme transaksi. Hal ini bisa dilakukan dengan
berbagai cara seperti melalui E-Mail atau bisa juga melalui World Wide Wed. 1
Pada konsep perdagangan jual beli E-Commerce menimbulkan perikatan
antara para pihak untuk memberikan suatu prestasi. Implikasi dari perikatan itu
adalah timbulnya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang
terlibat. Dalam jual beli yang menimbulkan adanya perikatan menyebabkan
adanya hubungan para pihak, yakni pihak yang satu berhak prestasi dan pihak
lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya. Pada setiap jual beli
sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu pihak penjual yang berkewajiban
menyerahkan barang objek jual beli dan pihak pembeli yang berkewajiban
membayar harga pembelian. Secara umum perdagangan secara Islam menjelaskan
adanya transaksi yang bersifat fisik, dengan menghadirkan benda tersebut pada
saat transaksi jual beli, sedangkan E-Commerce tidak seperti itu, sehingga E-
Commerce merupakan model perjanjian jual beli dengan karakteristik tersendiri
yang melakukan kegiatan transaksi pada jangkauan lokal maupun global. Oleh

1
Sri Ayu Rhahayu Ningsih, “Transaksi E-Commerce Menurut Ekonomi Islam (Studi
Kasus Sistem Jual Beli Onlinedi Kelurahan Sail Kecamatan Tenayan Raya Pekanbaru)” (2015)

1
2

karena itu, permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana pandangan Hukum
Islam pada jual beli E-Commerce.2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem transaksi dalam E-Commerce?
2. Apa sajakah syarat dan rukun transaksi E-Commerce dalam islam ?
3. Apakah akad transaksi E-Commerce ?
4. Bagaimanakah tata cara transaksi dan pandangan transaksi E-Commerce
dalam islam?

C. Tujuan
1. Mengetahui sistem transaksi dalam E-Commerce
2. Mengetahui syarat dan rukun transaksi E-Commerce dalam islam
3. Mengetahui akad transaksi E-Commerce
4. Mengetahui tata cara transaksi dan pandangan transaksi E-Commerce
dalam islam

2
Ardiana Hidayah, “Jual Beli E-Commerce Dalam Perspektif Hukum Islam” 6, no. 1
(2019): 5–10.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistem Transaksi Dalam E-Commerce
E-Commerce merupakan kegiatan bisnis yang menyangkut konsumen
(consumers), manufaktur (manufactures), service providers dan pedagang
perantara (intermediaries) dengan menggunakan jaringan komputer (computer
networks) yaitu internet. Penggunaan sarana internet merupakan suatu kemajuan
teknologi yang dapat dikatakan menunjang secara keseluruhan spektrum kegiatan
komersial.3

Umumnya E-Commerce merujuk pada semua bentuk transaksi komersial


yang menyangkut organisasi dan individu yang didasarkan pada pemrosesan dan
transmisi data yang digitalisasikan, termasuk teks, suara dan gambar. Termasuk
juga pengaruh bahwa pertukaran informasi komersial secara elektronik yang
mungkin terjadi antara institusi pendukung dan aktivitas komersial pemerintah. Ini
termasuk antara lain manajemen organisasi, negosiasi dan kontrak komersial,
legal dan kerangka regulasi, penyusunan perjanjian keuangan, dan pajak satu
sama lain.4

Dari berbagai definisi yang ditawarkan dan dipergunakan oleh berbagai


kalangan, terdapat kesamaan dari masing-masing definisi tersebut. Kesamaan
tersebut memperlihatkan bahwa E-Commerce memiliki karakteristik sebagai
berikut:

1. Terjadinya transaksi antara dua belah pihak.


2. Adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi.
3. Internet merupakan medium utama dalam proses atau mekanisme
perdagangan tersebut.

Dari karakteristik tersebut terlihat jelas bahwa pada dasarnya ECommerce


merupakan dampak dari perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi,

3
Mawardi, “Transaksi E-Commerce Dan Bai’ As-Salam (Suatu Perbandingan)”, Jurnal
Hukum Islam, Vol. VII, No. 1 (Juni 2008), h. 62

3
4

dan secara signifikan mengubah cara manusia melakukan interaksi dengan


lingkungannya, yang dalam hal ini terkait dengan mekanisme dagang.4

B. Syarat Dan Rukun Transaksi E-Commerce Dalam Islam


1. SYARAT TRANSAKSI E-COMMERCE DALAM ISLAM
Syarat jual beli ada empat macam, yaitu syarat terpenuhinya akad,
syarat pelaksanaan jual beli, syarat sah, dan syarat mengikat. Adanya syarat-
syarat ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa jual beli yang dilakukan akan
membawa kebaikan bagi kedua belah pihak dan tidak ada yang dirugikan.
Pertama, syarat terbentuknya akad (syuruth al-in’iqad). Syarat ini
merupakan syarat yang harus dipenuhi masing-masing akad jual beli. Syarat
ini ada empat, yaitu para pihak yang melakukan transaksi atau akad, akad,
lokasi atau tempat terjadinya akad dan obyek transaksi. Syarat yang terkait
dengan pihak yang melakukan transaksi atau akad ada dua:
a. Pihak yang melakukan transaksi harus berakal atau mumayyiz . Dengan
adanya syarat ini maka transaksi yang dilakukan oleh orang gila
dianggap tidak sah. Sedangkan Hanafiyah tidak mempersyaratkan
baligh, transaksi yang dilakukan anak kecil yang sudah mumayyiz
adalah sah;
b. Pihak yang melakukan transaksi harus lebih dari satu pihak, karena
tidak mungkin akad hanya dilakukan oleh satu pihak, di mana dia
menjadi orang yang menyerahkan dan yang menerima. Syarat yang
terkait dengan akad hanya satu, yaitu kesesuaian antara ijab dan qobul.
Sementara mengenai syarat tempat akad, akad harus dilakukan dalam
satu majelis. Sedangkan syarat yang berkaitan dengan barang yang
dijadikan obyek transaksi ada empat, yaitu:
1. Barang yang dijadikan obyek transaksi harus benar-benar ada dan
nyata. Transaksi terhadap barang yang belum atau tidak ada tidak

4
Asnawi Haris Faulidi, Transaksi Bisnios E-Commerce Perspektif Islam, (Yogyakarta:
Magistra Insania Press, 2004), h. 17-18.
5

sah, begitu juga barang yang belum pasti adanya, seperti binatang
yang masih di dalam kandungan induknya;
2. Obyek transaksi berupa barang yang bernilai, halal, dapat dimiliki,
dapat disimpan dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya serta tidak
menimbulkan kerusakan;
3. Barang yang dijadikan obyek transaksi merupakn hak milik secara
sah, kepemilikan sempurna. Berdasarkan syarat ini, maka tidak sah
jual beli pasir di tengah padang, jual beli air laut yang masih di laut
atau jual beli panas matahari, karena tidak adanya kepemilikan yang
sempurna;
4. Obyek harus dapat diserahkan saat transaksi. Berdasarkan syarat ini
maka tidak sah jaul beli binatang liar, ikan di lautan atau burung
yang berada di udara, karena tidak dapat diserahkan kepada
pembeli.
Sementara syarat yang terkait ijab dan qobul ada tiga, yaitu:
a. Ijab dan qobul harus dilakukan oleh orang yang cakap hukum. Kedua
belah pihak harus berakal, mumayyiz, tahu akan hak dan kewajibannya.
Syarat ini pada hakikatnya merupakan syarat pihak yang berakad dan
bukan syarat shighat akad. Berkaitan dengan syarat ini, maka media
transaksi berupa tulisan atau isyarat juga harus berasal dari pihak yang
mempunyai kriteria dan memenuhi syarat tersebut;
b. Kesesuaian antara qobul dengan ijab, baik dari sisi kualitas maupun
kuantitas. Pembeli menjawab semua yang diutarakan pembeli. Apabila
pihak pembeli menjawab lebih dari ijab yang diungkapkan penjual,
maka transkasi tetap sah. Sebaliknya, apabila pembeli mejawab lebih
singkat dari ijab yang diucapkan penjual maka transaksi tidak sah.
Kesesuaian ini termasuk harga dan sistem pembayaran;
c. Ijab dan qobul dilakukan dalam satu majlis, sekiranya para pihak yang
melakukan transaksi hadir dalam satu tempat secara bersamaan, atau
berada dalam suatu tempat yang berbeda, namun keduanya saling
mengetahui. Artinya perbedaan tempat bisa dianggap satu majelis atau
6

satu lokasi dan waktu karena berbagai alasan. Menurut ulama


Malikiyah, diperbolehkan transaksi (ijab dan qobul) yang dilakukan
tidak dalam satu tempat. Ulama Syafi’iyyah dan Hanbaliyah
mengemukakan bahwa jarak antara ijab dan qobul tidak boleh terlalu
lama. Adapun transaksi yang dilakukan dengann media surat juga sah,
meskipun pihak-pihak yang bertransaksi tidak berada dalam satu lokasi,
karena ungkapan yang ada dalam surat pada hakikatnya mewakili para
pihak.
Kedua, syarat berlakunya akibat hukum jual beli (syuruth alnafadz)
ada dua, yaitu:
a. Kepemilikan dan otoritasnya. Artinya masing-masing pihak yang
terlibat dalam transaksi harus cakap hukum dan merupakan pemilik
otoritas atau kewenangan untuk melakukan penjualan atau pembelian
suatu barang. Otoritas ini dapat diwakilkan kepada orang lain yang juga
harus cakap hukum;5
b. Barang yang menjadi obyek transaksi jual beli benar-benar milik sah
sang penjual, artinya tidak tersangkut dengan kepemilikan orang lain.
Ketiga, syarat keabsahan akad jual beli ada dua macam, yaitu syarat
umum dan syarat khusus. Adapun syarat umum adalah syarat-syarat yang
telah disebutkan di atas dan ditambah empat syarat, yaitu;
a. Barang dan harganya diketahui (nyata);
b. Jual beli tidak boleh bersifat sementara (muaqqat), karena jual beli
merupakan akad tukar menukar untuk perpindahan hak untuk
selamanya;
c. Transaksi jual beli harus membawa manfaat, dengan demikian maka
tidak sah jual beli dirham dengan dirham yang sama;
d. Tidak adanya syarat yang dapat merusak transaksi, seperti syarat yang
menguntungkan salah satu pihak. Syarat yang merusak yaitu syarat
yang tidak dikenal dalam syara’ dan tidak diperkenankan secara adat
atau kebiasaan suatu masyarakat.7

5
Wahbah Zuhaili, “Terjemah Fiqih Islam Wa Asillatuhu,” Jilid 5, 2011, h. 31.
7

Sementara syarat khusus ada lima, yaitu:


1. Penyerahan barang yang menjadi obyek transaksi sekiranya
barang tersebut dapat diserahkan atau barang tidak bergerak dan
ditakutkan akan rusak bila tidak segera diserahkan;
2. Diketahuinya harga awal pada jual beli murabahah, tauliyah dan
wadhi’ah;
3. Barang dan harga penggantinya sama nilainya;
4. Terpenuhinya syarat salam, seperti penyerahan uang sebagai
modal dalam jual beli salam;
5. Salah satu dari barang yang ditukar bukan hutang piutang.
Selain syarat di atas, ada syarat tambahan yang menentukan keabsahan
sebuah akad setelah syarat terbentuknya akad terpenuhi. Syarat tambahan ini
ada empat macam, yaitu:
a. Pernyataan kehendak harus dilakukan secara bebas, tanpa paksaan dari
pihak mana pun;
b. Penyerahan obyek transaksi jual beli tidak menimbulkan bahaya;
c. Bebas dari gharar;
d. Bebas dari riba.
Syarat-syarat keabsahan di atas menentukan sah tidaknya sebuah akad
jual beli. Apabila sebuah akad tidak memenuhi syarat-syarat tersebut
meskipun rukun dan syarat terbentuknya akad sudah terpenuhi akad tidak sah.
Akad semacam ini dinamakan akad fasid. Menurut ulama kalangan Hanafiyah
akad fasid adalah akad yang menurut syara’ sah pokoknya, tetapi tidak sah
sifatnya. Artinya akad yang telah memenuhi rukun dan syarat terbentuknya
tetapi belum memenuhi syarat keabsahannya.
Keempat, syarat mengikat dalam akad jual beli.9 Sebuah akad yang
sudah memenuhi rukun dan berbagai syarat sebagaimana dijelaskan di atas,
belum tentu membuat akad tersebut dapat mengikat para pihak yang telah
melakukan akad. Ada syarat yang menjadikannya mengikat para pihak yang
melakukan akad jual beli:
8

a. Terbebas dari sifat atau syarat yang pada dasarnya tidak mengikat para
pihak;
b. Terbebas dari khiyar, akad yang masih tergantung dengan hak khiyar
baru mengikat ketika hak khiyar telah berakhir, selama hak khiyar
belum berakhir, maka akad tersebut belum mengikat.
Apa pun bentuk jual beli, apa pun cara dan media transaksinya, maka
harus memenuhi syarat dan rukun sebagaimana dijelaskan di atas. Transaksi
elektronik sebagai salah satu bentuk jual beli juga harus memenuhi syarat-
syarat di atas.

2. RUKUN TRANSAKSI E-COMMERCE DALAM ISLAM


Sebagai salah satu bentuk transaksi, dalam jual beli harus ada beberapa
hal yang disebut sebagai rukun, yaitu agar akadnya dianggap sah dan
mengikat. Ulama Hanafiyah menegaskan bahwa rukun jual beli hanya satu,
yaitu ijab. Menurut mereka hal yang paling prinsip dalam jual beli adalah
saling rela yang diwujudkan dengan kerelaan untuk saling memberikan
barang. Maka jika telah terjadi ijab, disitu jual beli telah dianggap
berlangsung. Tentunya dengan adanya ijab, pasti ditemukan halhal yang
terkait dengannya, seperti para pihak yang berakad, obyek jual beli dan nilai
tukarnya.
Jumhur Ulama menetapkan 4 rukun jual beli, yaitu: para pihak yang
bertransaksi (penjual dan pembeli), shighat (lafal ijab dan qobul), barang yang
diperjualbelikan dan nilai tukar pengganti barang.

C. Akad Transaksi E-Commerce


Akad adalah pertalian antara ijab dan qobul yang dibenarkan oleh syara’
yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya 6, jika dihubungkan dengan
E-Commerce maka akad yang terkandung dalam mekanisme E-Commerce dapat
dipersamakan dengan akad salam dengan melihat bahwa barang yang
6
Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. Ke 3, h. 47
9

ditransaksikan belum ada (‘adam al-mādah) ketika transaksi terjadi. Dalam akad
as-salam calon pembeli menentukan barang yang akan dibeli dengan
menyebutkan spesifikasinya kepada penyedia barang. Ketika akad terjadi barang
yang diinginkan belum ada di hadapan kedua belah pihak yang bertransaksi
namun pihak penjual mampu menyediakan apa yang dipesan oleh calon pembeli
berdasarkan sifat-sifat yang telah disebutkan dan calon pembeli menyerahkan
pembayaran lebih dahulu. Kemudian barang akan diserahkan kepada pembeli
pada waktu yang telah disepakati.

Di samping itu, nenurut jumhur fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu


jenis khusus dari akad bai’ as-salam. Biasanya, jenis ini dipergunakan di bidang
manufaktur. Dengan demikian, ketentuan bai’ al-istishna’ mengikuti ketentuan
dan aturan bai’ as-salam. 7

Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa istishna’ adalah akad yang


menyerupai akad as-salam. Karena bentuknya menjual barang yang belum ada
(ma’dum), dan sesuatu yang dibuat itu pada waktu akad ditetapkan dalam
tanggungan pembuat sebagai penjual.

Dalam transaksi e-commerce dengan akad as-salam ini barang sudah ready
atau sudah ada ketika pemmbeli memesan kepada penjual sehingga ketika
pembeli sudah transfer sesuai dengan yang disepakati antara penjual dan pembeli
maka penjual langsung mengirim barang yang dipesan ke pembeli melalui
ekspedisi yang sudah ditentukan.

Untuk akad al-istishna’ dalam transaksi e-commerce, produk yang


diperjual belikan belum ada atau belum diproduksi dan ini sering disebut dengan
barang pre order. Ketika pembeli ingin membeli barang yang statusnya pre order
maka pembeli diharuskan membayar uang muka atau lunas. Setelah pembeli
melakukan pembayaran uang muka maka penjual mulai memproduksi barang
yang dipesan penjual sesuai dangan kriteria yang disebutkan di toko online.
Setelah barang selesai diproduksi maka penjual memberi tahu kepada pembeli
7
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani
Pess, 2001) h. 113.
10

untuk melunasi sesuai harga barang karena barang telah selesai diproduksi.
Setelah pembeli melakukan pelunasan penjual mulai melakukan pengiriman
melalui ekspedisi yang telah ditentukan sebelumnya.8

D. Tata Cara Transaksi E-Commerce Dalam Islam


Berdasarkan tuntunan ajaran Islam, setiap usaha harus dilakukan menurut
ketentuan hukum yang berlaku agar tidak ada kelompok atau pihak yang
dirugikan. Untuk itulah, usaha atau kegiatan bisnis tidak boleh menyimpang dari
syariat Islam maupun ketentuan umum yang berlaku dalam suatu negara. Setiap
usaha yang merugikan seseorang atau melanggar undang-undang akan dikenakan
sanksi, sedangkan dalam Islam transaksi dianggap batal (tidak sah).9

Ada lima tahap yang harus dilakukan untuk mengetahui validitas transaksi
E-Commerce, yaitu:

a. Mengajukan kontrak (at-ta’aqud). Ini adalah tahap pertama yang harus


dilakukan dimana kedua belah pihak mengecek adanya empat pillar yang
mengikat kontrak, yaitu: sighat (ijab qabul), dua pihak yang melakukan
transaksi, barang yang diperjualbelikan, dan ungkapan yang harus
disepakati. Jika pemilik produk tidak bisa hadir, maka seorang agen harus
memastikan bahwa perusahaan tersebut benar-benar ada. Sehubungan
dengan barang yang menjadi objek transaksi, selain syarat yang berlaku
pada objek pada umumnya, dalam E-Commerce, dimana transasksi
dilakukan cia internet, maka barang tersebut harus tersedia di suatu tempat
di pasar global.
b. Memastikan validitas (shiha). Selama proses validitas, kontrak tersebut
harus bebas dari elemen bunga (riba), ketidak pastian (gharar), penipuan,
pemaksaan, atau salah satu dari jenis perjudian (maisir).

8
Ningsih, “Transaksi E-Commerce Menurut Ekonomi Islam (Studi Kasus Sistem Jual
Beli Onlinedi Kelurahan Sail Kecamatan Tenayan Raya Pekanbaru).”
9
Hasan, A. (2009). Manajemen bisnis syari'ah: kaya di dunia terhormat di akhirat.
Pustaka Pelajar.
11

c. Implementasi/ pelaksanaan (Nafadz). Dalam tahap ini, ada dua hal utama
yang harus dilakukan: orang yang menawarkan produk adalah pemilik
produk itu sebenarnya dan memiliki hak penuh terhadap barang tersebut.
Barang tersebut terbebas dari semua hutang-piutang dan mengikat (Ilzaam).
Dalam tahap ini, kedua pihak harus menandatangani kontrak yang mengikat.
Sebelum menandatangani kontrak, pembeli harus memeriksa perusahaan
(penjual) dan produk yang dijual melalui agen atau pihak lain. Hal ini
dilakukan karena konseumen tidak bisa melihat secara langsung kondisi
barang, dan website bisa selalu dikembangkan. Setelah menandatangani
kontrak, pembeli harus menyimpan copy dari kontrak tersebut untuk
menghindari manipulasi.
d. Pengiriman. Tahapan Ini adalah tahapan dimana kedua pihak harus saling
menukar antara barang dan harga yang harus dibayarkan. Pada umumnya,
E-Commerce menggunakan kartu kredit, namun muslim harus menghindari
pemakaian kartu kredit yang mengandung riba, dan mencari alternatif
pembayaran yang lain, seperti pembayaran melalui bank. Setelah menerima
produk, konsumen juga harus memeriksa dan mengkonfirmasikan apakah
barang yang diterima sesuai dengan kondisi dan spesifikasi yang disepakati.
Dalam Islam, ada beberapa opsi yang dilakukan jika hal ini terjadi, yaitu
dengan khiyar.
e. Pembayaran untuk transaksi E-Commerce. Pembayaran ECommerce pada
umumnya dengan kartu kredit. Dalam Islam, jika 12 diasumsikan bahwa
penggunaan kartu kredit adalah halal, maka pembeli harus membayar harga
secara keseluruhan sebelum tanggal yang ditentukan. Bagaimanapun,
masalah utama dalam keabsahan ECommerce menurut pandangan Islam
adalah dimana konsumen hanya membayar 15% dari syarat minimum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran

Demikianlah makalah yang kami buat mudah – mudahan apa yang


kami paparkan bisa menjadi tambahan pengetahuan bagi kita semua untuk
lebih mengenal rukun dan syarate-commercce . Kami menyadari apa yang
kami paparkan dalam makalah ini tentu masih belum sesuai apa yang di
harapkan,untuk itu kami berharap masukan yang lebih banyak lagi dari dosen
pengampu dan teman – teman semua.

12
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai