Anda di halaman 1dari 19

BISNIS DALAM PANDANGAN ISLAM

MAKALAH

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Ekonomi Islam

DOSEN PENGAMPU :

ANDI BISYRIANI, S.H., M.E

DISUSUN OLEH :

RIZA SYARIFUDDIN
(NIM: 210201004)
SRI WAHYUNI
(NIM: 2102010017)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUD DA’WAH WAL IRSYAD
(STAI-DDI) PINRANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala berkat rahmat
dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan judul
“Bisnis dalam Pandangan Islam”. Tidak lupa pula kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya. Serta Penyusun juga sangat
berterimakasih kepada ibu Andi Bisyriani, SH., M.E selaku dosen mata kuliah
Sistem Ekonomi Islam yang telah memberikan arahan kepada kami. Penyusun
sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Pinrang, 25 Maret 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii


I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1-1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................. 1
II PEMBAHASAN .......................................................................................... 2-10
A. Pengertian Jual Beli dalam Islam ................................................... 2
B. Rukun dan Syarat Jual Beli ............................................................ 3
C. Landasan Hukum Jual Beli ............................................................ 7
III KESIMPULAN ........................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA

ii
I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebelum mengkaji secara luas dalam kehidupan sehari-hari, salah satu


cara untuk memenuhi kebutuhan adalah dengan usaha perdagangan atau jual
beli, untuk terjadinya usaha tersebut diperlukan adanya hubungan timbal
balik antara penjual dan pembeli.Jual beli adalah saling tukar menukar antara
benda dengan harta benda atau harta benda dengan uang ataupun saling
memberikan sesuatu kepada pihak lain, dengan menerima imbalan terhadap
benda tersebut dengan menggunakan transaksi yang didasari saling ridha
yang dilakukan secara umum.

Berdasarkan penjabaran di atas terdapat beberapa masalah tentang jual


beli, maka terlebih dahulu akan dikemukakan beberapa pengertian jual beli
baik secara etimologi maupun secara terminologi. Jual beli menurut istilah
atau etimologi Tukar menukarsesuatu dengan sesuatu yang lain. 1 Sedangkan
menurut bahasa jual beli adalah tukar menukar secara mutlak.2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian jual beli dalam Islam?
2. Bagaimana rukun dan syarat jual beli?
3. Bagaimana landasan hukum jual beli?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian jual beli dalam Islam.
2. Mengetahui rukun dan syarat jual beli.
3. Mengetahui apa saja landasan hukum jual beli.

1
Ahmad Wardi Muslich, Fikih Muamalah (Cet. I; Jakarta : Amzah, 2010, h. 173
2
Sayyid Sabiq, Alih Bahasa Oleh, Kamaluddin A. Marzuki, Fikih Sunnah,Alma’rif
(Bandung: T.p, 1997), h. 47

1
II PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Beli dalam Islam

Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang
yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, dimana
pihak yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerima sesuai
dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan secara syara’ dan
disepakati. Sesuai dengan ketetapan hukum, maksudnya ialah memenuhi
persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal lain yang ada kaitanya dengan jual beli,
sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai
dengan kehendak syara’.3

Dalam Islam, jual beli disebut dengan al bai'. Al bai' memiliki


pengertian secara bahasa yaitu memindahkan kepemilikan sebuah benda
dengan akad saling mengganti. Bisa pula, al bai' dimaknai dengan tukar
menukar barang.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian jual beli dalam


Islam adalah pertukaran sebuah barang untuk mendapatkan barang lainnya,
atau mendapat kepemilikan dari suatu barang yang dibayar melalui suatu
kompensasi atau iwad.

Sementara dilansir dari laman Muhammadiyah, dari mahzab Hanafi


mendefinisikan jual sebagai pertukaran harta dengan harta lain dengan
memakai cara tertentu. Sementara menurut mahzab Syafi'i, pengertian jual
beli merupakan pertukaran harta benda dengan harta benda lain, keduanya
dapat dikelola, dan disertai jab kabul sesuai cara yang diperbolehkan syariat.

Jual beli merupakan akad yang sangat umum digunakan oleh


masyarakat, karena dalam setiap pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya,
masyarakat tidak bisa berpaling untuk meninggalkan akad ini. 4 Dari akad jual
beli ini masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti
3
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), h. 68-69.
4
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), h. 69.

2
kebutuhan pokok (primer), kebutuhan tambahan (sekunder) dan kebutuhan
tersier.

Kehidupan bermuamalah memberikan gambaran mengenai kebijakan


perekonomian. Banyak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat memenuhi
kehidupannya dengan cara berbisnis. Dalam ilmu ekonomi, bisnis adalah
suatu organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis
lainnya untuk mendapatkan laba.5

Suatu akad jual beli di katakan sebagai jual beli yang sah apabila jual
beli itu disyariatkan, memenuhi rukun dan syarat sah yang di tentukan, bukan
milik orang lain, tidak tergantung pada hak khiyar (pilihan). Sebaliknya jual

5
Yazid Afandi, Fikih Muamalah: Implementasi dalam lembaga keuangan syari’ah
(Yogyakarta: logung pustaka, 2009), h. 53.

3
4

beli dikatakan batal apabila salah satu rukun atau seluruh rukunnya tidak
terpenuhi, atau jual beli itu pada dasarnya tidak disyariatkan, seperti jual beli
yang di lakukan anak kecil, orang gila, atau barang yang di jual itu barang-
barang yang di haramkan oleh syara’, seperti bangkai, darah, babi, dan
khamar.6 Akan tetapi, dewasa ini, masyarakat melakukan transaksi jual beli
dengan menghalalkan segala cara hanya untuk meraup keuntungan yang besar
tanpa memperhatikan apakah transaksi jual beli yang diakukannya sudah
sesuai apa yang telah disyariatkan atau tidak.

B. Rukun dan Syarat Jual Beli

Sebagai salah satu dasar jual beli, rukun dan syarat merupakan hal
yang terangat penting, sebab tanpa rukun dan syarat maka jual beli tersebut
tidak sah hukumnya. Oleh karena itu Islam telah mengatur tentang rukun dan
syarat jual beli itu, antara lain.

1. Rukun Jual Beli

Jual beli dianggap sah apabila sudah terpenuhi rukun dan


syaratnya. Maksudnya adalah, apabila seseorang akan melakukan Jual
beli harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Unsur-unsur yang
menyebabkan sahnya jual beli terpenuhi. Adapun rukun yang dimaksud
dapat dilihat dari pendapat ulama di bawah ini adalah:

a. Adanya Penjual dan pembeli


b. Adanya barang yang diperjual belikan
c. Sighat (kalimat ijab kabul)7

Jadi sebagaiman yang telah disebutkan di atas bahwa jika suatu


pekerjaan tidak terpenuhi rukun-rukunnya maka pekerjaan itu akan batal
karena tidak sesuai dengan syara’ begitu juga dalam hal jual beli harus
memenuhi ketiga rukun-rukun tersebut.

6
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 121-122.
7
Rachat Syafei, Fiqih Muamalah (Cet. IV; Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 76
5

2. Syarat Jual Beli

Dari ketiga rukun jual beli yantg telah penulis uraikan di atas
masing-masing mempunyai persyaratan sebagai berikut :

a. Al-Muta’aqidain (penjual dan pembeli)

Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan aqad jual beli
(penjual dan pembeli) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

1) Baligh
Baligh berarti sampai atau jelas, yakni anak-anak yang
sudah sampai pada usia tertentu yang menjadi jelas baginya segala
urusan atau persoalan yang dihadapi. Pikirannya telah mampu
mempertimbangkan atau memperjelas mana yang baik dan mana
yang buruk.
Jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan
orang gila hukumnya tidak sah adapun anak kecil yang mumayyiz,
menurut ulama Hanafiah, jika akad yang dilakukan membawa
keuntungan bagi dirinya, maka akadnya sah. 8 Jumhur ulama
berpendapat bahwa orang yang melakukan akad jual beli harus
baligh dan berakal, bila orang yang berakad itu belum baligh,
maka jual belinya tidak sah, sekalipun mendapat izin dari
walinya.9
Bahwa jual beli diperintahkan dalam Islam, namun bukan
berarti jual beli boleh dilakukan siapa saja, melainkan mempunyai
syarat-syarat tertentu, seperti dijelaskan dalam hadis: orang yang
tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia dewasa, dan orang
gila hingga ia berakal (sembuh dari gilanya). Maksud tiga perkara
ini adalah sahnya dalam jual beli, apabila penjual dan pembeli
dalam keadaan sadar, tidak tidur, anak yang sudah cukup umur,
karena apabila diperbolehkannya anak kecil melakukan jual beli,

8
Nasrun Haroen, Op.Cit, h. 115
9
Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit. h. 188
6

dia akan membuat kerusakan, seperti menjual barang cacat, karena


anak kecil tidak mengerti aturan dalam Islam. Begitu juga
sebaliknya orang gila yang tidak berakal dilarang melakukan jual
beli. Dapat disimpulkan jual beli boleh dilakukan oleh orang-
orang dalam keadaan sadar.
2) Tidak Pemboros
Allah telah melarang hambanya melakukan suatu pekerjaan
dengan tujuan untuk menghambur-hamburkan hartanya, karena
perbuatan tersebut merupakan sebuah pemborosan, yang telah
dijelaskan bagi orang yang melakukannya, merupakan perbuatan
syaitan. Maksud pemborosan di sini, suatu pekerjaan yang tidak
bermanfaat.
3) Dengan kehendak sendiri (bukan paksaan)
Artinya yaitu, prinsip jual beli adalah suka sama suka
antara penjual dan pembeli, bila perinsip ini tidak tercapai jual beli
itu tidak sah. Perkataan suka sama suka menjadi dasar bahwa jual
beli harus merupakan kehendak sendiri tanpa tipu daya dan
paksaan.
a. Syarat untuk barang yang diperjual belikan
Untuk barang yang diperjual belikan hendaklah barang
tersebut bersih barangnya; dapat dimanfaatkan; milik orang
yang melakukan aqad; antara lain, mampu menyerahkan
mengetahui dan barang yang diaqadkan ada di tangan.
b. Shighat atau lafaz ijab qabul.
Ijab adalah perkataan penjual seperti “saya jual barang
ini harga sekian”.10 Qabul adalah perkataan pembeli, seperti
saya beli dengan harga sekian.11 Adapun syarat-syarat umum
suatu aqad adalah sebagai berikut.

10
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam (Jakarta: Rieneka Cipta, 1992), h. 401
11
Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit. h. 189
7

1. Pihak-pihak yang melakukan aqad telah cukup bertindak


hukum.
2. Objek aqad diakui oleh syara’
3. Aqad itu tidak dilarang syara’
4. Aqad itu bermanfaat
5. Pernyataan ijab tetap utuh dan shahih sampai terjadinya
qabul
6. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis, yaitu suatu
keadaan yang menggambarkan proses suatu transaksi
7. Tujuan aqad jelas diakui syara’ dalam jual beli tujuannya
memindahkan hak milik penjual ke pembeli.
8. Tujuan aqad tidak bertentangan dengan syara’.12
Berdasarkan syarat umum di atas, jual beli dianggap sah
jika terpenuhi syarat-syarat khusus yang disebut dengan syarat
Ijab dan Qabul sebagai berikut.
1. orang yang mengucapkan telah baligh dan berakal
2. Qabul sesuai dengan ijab
3. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis.13
Ulama Hanafiah dan Malikiyah mengatakan bahwa antara
ijab dan qabul boleh diantarai waktu yang telah disepakati
sehingga pihak pembeli sempat berfikir.14 Namun Ulama safiiyah
dan Hanabilah berpendapat bahwa antara ijab dan qabul tidak
terlalu lama yang dapat menimbulkan dugaan bahwa objek
pembicaraan tersebut berubah.15
Pada zaman modern, perwujudan ijab dan kabul tidak lagi
diucapkan tetapi dilakukan dengan sikap mengambil barang
membayar uang dari pembeli, serta menerima uang dan
meneyerahkan barang tanpa ucapan apapun. Contohnya jual beli
12
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah (Jakarta: Raja Grafindo Persad, 2010, h.
98
13
Mardani, Fiqih Ekonomi Syari’ah (Jakarta: Kencana, 2012), h. 74
14
Syamsul Anwar, Op.Cit, h. 144
15
Ibid., h. 146
8

yang berlangsung di pasar swalayan. Dalam fiqih muamalah jual


beli semacam ini disebut dengan bai’al-muathah, namun jumhur
ulama berpendapat bahwa jual beli seperti ini hukumnya boleh
jika hal itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat.
C. Landasan Hukum Jual Beli
Berdasarkan permasalahan yang dikaji menyangkut masalah hidup dan
kehidupan ini, tentunya tidak terlepas dari dasar hukum yang akan kita
jadikan sebagai rujukan dalam menyelesaikan permasahan yang akan
dihadapi. Jual beli sudah dikenal masyarakat sejak dahulu yaitu sejak zaman
para Nabi. Sejak zaman itu jual beli dijadikan kebiasaan atau tradisi oleh
masyarakat hingga saat ini.
Adapun dasar hukum yang disyari’atkannya jual beli dalam Islam
yaitu:
a. Al-Qur’an
Manusia hidup di dunia secara individu mempunyai kebutuhan-
kebutuhan yang harus dipenuhi, baik itu berupa sandang, pangan papan
dan lain sebagainya. Kebutuhan seperti itu tidak pernah terputus dan tidak
pernah terhenti selama manusia itu hidup. oleh karena itu, tidak ada satu
hal pun yang lebih sempurna dalam memenuhi kebutuhan itu selain
dengan cara pertukaran, yaitu dimana seorang memberikan apa yang ia
miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang
lain sesuai kebutuhan.
Jual beli ini adalah suatu perkara yang telah dikenal masyarakat
sejak zaman dahulu yaitu sejak zaman para Nabi hingga saat ini, dan
Allah mensyariatkan jual beli ini sebagai pemberian keluangan dan
keleluasaan dari-Nya untuk hamba-hamba-Nya itu dalam surat tentang
diperbolehkan jual beli ini didasarkan pada Firman Allah dalam Q.S. al-
Baqarah ayat: 275.
Maksud dari Q.S. al-Baqarah ayat: 275 yaitu bisa jadi merupakan
bagian dari perkataan mereka (pemakan riba) dan sekaligus menjadi
bantahan terhadap diri mereka sendiri. Artinya, mereka mengatakan hal
9

tersebut (Innam al-bai’u matsalu al-riba) padahal sebenarnya mereka


mengetahui bahwasanya terdapat perbedaan antara jual beli dan riba.
Dia maha mengetahui lagi maha bijaksana, tidak ada yang dapat
menolak ketetapan-Nya dan Allah tidak dimintai pertanggungjawaban.
Dialah yang maha mengetahui segala hakikat dan kemaslahatan persoalan
apa yang bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya maka dia akan
membolehkannya bagi mereka. kasih sayang Allah kepada para hamba-
Nya lebih besar daripada sayangnya seorang ibu kepada anak bayinya. 16
Kemudian di dalam surat An-Nisa ayat 29 Allah SWT berfirman :

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling


memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka diantara kamu.17

Ayat ini memberikan kesan bahwa dikehidupan konsekuensi iman


dan konsekuensi sifat, yang dengan sifat itu Allah memanggil mereka
untuk dilarang dari memakan harta sesama secara batil, meliputi semua
cara mendapatkan harta yang tidak diizinkan atau tidak diberkenankan
Allah. yakni dilarang olehnya diantara dengan cara menipu, menyuap,
berjudi, menimbun barang-barang kebutuhan pokok untuk menaikkan
harganya, serta sebagai pemukanya adalah riba.18

b. Hadits
Hadis yang menerangkan tentang jual beli yaitu :

16
Abdullah Bin Muhammad dan Alu Syikh, Tafsir Ibnu Katsir (Kairo: Pustaka Imam,
1994), h. 548
17
Dapatemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: CV. Diponegoro,
2000), h. 48
18
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 342
10

Artinya : Dari Jabir bin Abdullah r.a bahwasanya ia mendengar


Rasululloh bersabda pada tahun kemenangan di Mekah: Sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya mengharamkan menjual minuman yang
memabukkan (Khamr), bangkai, babi dan berhala. Lalu ada orang
bertanya, “ya, Rasululloh bagai manakah tentang lemak bangkai, karena
dipergunakan mengecat perahu-perahu supaya tahan Air, dan meminyaki
kulit-kulit, dan orang-orang mempergunakannya, untuk penerangan
lampu?” beliau menjawab, “tidak boleh, itu haram” kemudian diwaktu
itu Rasulullah saw, bersabda: Allah melaknat orang-orang yahudi,
sesungguhnya Allah tatkala mengharamkan lemaknya bagi mereka,
mereka cairkan lemak itu kemudian dijualnya kemudian mereka makan
harganya (HR Bukhari).

Berdasarkan uraian hadits di atas dapat di simpulkan bahwa


manusia yang baik memakan suatu makanan adalah memakan hasil usaha
tangannya sendiri. Maksudnya, apabila kita akan menjual atau membeli
suatu barang, yang diperjual belikan harus jelas dan halal, dan bukan
milik orang lain, melainkan milik kita sendiri. Allah melarang menjual
barang yang haram dan najis, maka Allah melaknat orang-orang yang
11

melakukan jual beli barang yang diharamkan, seperti menjual minuman


yang memabukkan (Khamr), bangkai, babi lemak bangkai dan berhala.

c. Dasar Hukum Ijma


Para ulama fiqih dari dahulu sampai dengan sekarang telah sepakat
bahwa : Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya.
Kaidah yang telah diuraikan di atas dapat di jadikan dasar atau
hujjah dalam menetapkan hukum berbagai masalah berkenaan dengan
keuangan syariah. Dari dasar hukum sebagaimana tersebut di atas bahwa
jual beli itu adalah hukumnya mubah. Artinya jual beli itu diperbolehkan
asal saja di dalam jual beli tersebut memenuhi ketentuan yang telah
ditentukan di dalam jual beli dengan syarat-syarat yang sesuaikan dengan
hukum Islam.
Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat
urgen, dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang
orang lain yang diinginkan tanpa melanggar batasan syari’at. Oleh karena
itu, praktek jual beli yang dilakukan manusia semenjak masa Rasulullah
saw, hingga saat ini menunjukan bahwa umat telah sepakat akan
disyariatkannya jual beli.19
Agama Islam melindungi hak manusia dalam pemilikan harta yang
dimilikinya dan memeberi jalan keluar untuk masing-masing manusia
untuk memiliki harta orang lain dengan jalan yang telah ditentukan,
sehingga dalam Islam perinsip perdagangan yang diatur adalah
kesepakatan keduabelah pihak yaitu penjual dan pembeli. sebagaimana
yang telah digariskan oleh prinsip muamalah adalah sebagai berikut.
1. Prinsip Kerelaan
2. Prinsip Bermanfaat
3. Prinsip Tolong-menolong
4. Prinsip Tidak terlarang.20

19
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah (Bandung: Al Ma’arif, 1987), h. 46
20
H. M. Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1991), h. 144
12
III KESIMPULAN

1. Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang
mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, dimana pihak
yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerima sesuai dengan
perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan secara syara’ dan disepakati.
Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan,
rukun-rukun dan hal-hal lain yang ada kaitanya dengan jual beli, sehingga
bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan
kehendak syara’.
2. Rukun dan Syarat jual beli, yaitu :
a. Rukun:
1) Adanya Penjual dan pembeli
2) Adanya barang yang diperjual belikan
3) Sighat (kalimat ijab kabul)
b. Syarat :
1) Baliq
2) Tidak pemboros
3) Berkehendak sendiri
3. Landasan jukum jual beli, yaitu :
a. Al-Qur’an
Jual beli didasarkan pada Firman Allah Q.S. An-Nisa ayat 29.
Dengan terjemahan: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka diantara kamu.
b. Hadits
Dari Jabir bin Abdullah r.a bahwasanya ia mendengar Rasululloh
bersabda pada tahun kemenangan di Mekah: Sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya mengharamkan menjual minuman yang memabukkan
(Khamr), bangkai, babi dan berhala. Lalu ada orang bertanya, “ya,

13
Rasululloh bagai manakah tentang lemak bangkai, karena dipergunakan
mengecat

14
15

perahu-perahu supaya tahan Air, dan meminyaki kulit-kulit, dan orang-


orang mempergunakannya, untuk penerangan lampu ? beliau menjawab,
“ tidak boleh, itu haram” kemudian diwaktu itu Rasulullah saw.,
bersabda: Allah melaknat orang-orang yahudi, sesungguhnya Allah
tatkala mengharamkan lemaknya bagi mereka, mereka cairkan lemak itu
kemudian dijualnya kemudian mereka makan harganya (HR Bukhari).
c. Ijma
Hukum ijma menetapkan bahwa jual beli itu adalah hukumnya
mubah. Artinya jual beli itu diperbolehkan asal saja di dalam jual beli
tersebut memenuhi ketentuan yang telah ditentukan di dalam jual beli
dengan syarat-syarat yang sesuaikan dengan hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Yazid. 2009. Fikih Muamalah: Implementasi dalam lembaga


keuangan syari’ah (Yogyakarta: logung pustaka.
Ali, H. M. Daud. 1991. Asas-Asas Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Anwar, Syamsul. 2010. Hukum Perjanjian Syari’ah. Jakarta: Raja
Grafindo Persad.
Dapatemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: CV.
Diponegoro.
Djuwaini, Dimyauddin. 1008. Pengantar Fiqih Muamalah. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Haroen, Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Mardani. 2012. Fiqih Ekonomi Syari’ah. Jakarta: Kencana.
Muhammad Abdullah dan Alu Syikh. 1994. Tafsir Ibnu Katsir. Kairo:
Pustaka Imam.
Muslich, Ahmad Wardi. 2010. Fikih Muamalah. Jakarta : Amzah.
Quthb, Sayyid. 2001. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Jakarta: Gema Insani,
Sabiq, Sayid. 1987. Fiqih Sunnah. Bandung: Al Ma’arif.
Sabiq, Sayyid. 1997. Alih Bahasa Oleh, Kamaluddin A. Marzuki, Fikih
Sunnah, Alma’rif. Bandung.
Sudarsono. 1992. Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta: Rieneka Cipta.
Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers.
Syafei, Rachat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
.

Anda mungkin juga menyukai