Anda di halaman 1dari 20

2.

LANDASAN TEORI

2.1. Peta-Peta Kerja


Peta kerja merupakan suatu alat yang menggambarkan kegiatan kerja
secara sistematis dan jelas mulai dari awal sampai akhir proses. Di dalam peta
kerja terdapat banyak informasi yang diperlukan untuk memperbaiki suatu metode
kerja. Fungsi peta kerja adalah untuk menganalisa suatu pekerjaan, sehingga dapat
mempermudah dalam perencanaan perbaikan kerja. Peta kerja dibedakan menjadi
dua jenis berdasarkan kegiatannya, yaitu peta kerja keseluruhan dan peta kerja
setempat (Wignjosoebroto, 2000). Peta kerja keseluruhan merupakan suatu peta
kerja yang di dalamnya melibatkan sebagian besar atau semua fasilitas yang
diperlukan untuk membuat produk yang bersangkutan. Macam-macam peta kerja
keseluruhan menurut kegunaannya terdiri dari peta proses operasi, peta aliran
proses, peta proses kelompok kerja, dan diagram alir. Peta kerja setempat
merupakan suatu peta kerja yang di dalamnya hanya melibatkan orang dan
fasilitas dalam jumlah terbatas. Macam-macam peta kerja setempat menurut
kegunaannya terdiri dari peta pekerja dan mesin, dan peta tangan kiri tangan
kanan. Selain itu, terdapat pula peta-peta lain seperti peta perakitan dan
precedence diagram.

2.1.1. Peta Proses Operasi (Operation Proses Chart)


Peta Proses Operasi merupakan suatu peta yang menggambarkan urutan-
urutan proses atau operasi inspeksi, waktu kelonggaran, dan pemakaian material
di dalam proses produksi secara sistematis dan jelas mulai dari awal bahan baku
sampai menjadi produk jadi yang utuh maupun sebagai komponen (Niebel, 2003).
Kegunaan Peta Proses Operasi adalah untuk mengetahui kebutuhan mesin dan
bahan baku, menentukan tata letak pabrik, dan lain-lain. Di dalam peta ini memuat
informasi mengenai waktu yang diperlukan untuk melakukan suatu proses,
material yang digunakan di dalam proses tersebut, alat-alat yang digunakan dalam

4
Universitas Kristen Petra
5

urutan proses tersebut. Di bawah ini merupakan simbol-simbol yang digunakan


dalam pembuatan Peta Proses Operasi, yaitu: (Wignjosoebroto, 2000)
• Melambangkan kegiatan operasi. Suatu benda kerja dikatakan
demikian apabila benda kerja yang digunakan dalam pekerjaan
tersebut mengalami perubahan sifat fisik atau kimiawi.
• Melambangkan kegiatan inspeksi atau pemeriksaan. Suatu benda
dikatakan demikian apabila benda kerja yang digunakan dalam
pekerjaan tersebut mengalami pemeriksaan baik dari segi kualitas
maupun kuantitas. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara
membandingkannya dengan karakteristik performance yang sudah
dibakukan.
• Melambangkan kegiatan penyimpanan. Suatu benda kerja dikatakan
demikian apabila suatu benda disimpan dalam jangka waktu yang
cukup lama dan apabila ingin diambil kembali harus melalui prosedur
perijinan khusus terlebih dahulu.
• Melambangkan kegiatan gabungan. Suatu benda kerja dikatakan
demikian apabila suatu benda kerja mengalami aktivitas operasi dan
pemeriksaan yang dilakukan bersamaan atau dilakukan pada suatu
tempat kerja.

2.1.2. Diagram Jaringan (Precedence Diagram)


Precedence Diagram adalah diagram yang menunjukkan hubungan antar
elemen-elemen kerja dalam suatu proses produksi (Chase, Richard B., and
Nicholas J. Aquilano, 1995).
Pada precedence diagram terdapat informasi mengenai urutan-urutan
elemen kerja dan lamanya waktu pengerjaan untuk tiap elemen kerja. Selain itu,
precedence diagram juga digunakan untuk melihat alur proses produksi secara
menyeluruh sehingga dapat digunakan untuk menyusun kesimbangan lintasan
produksi.

Universitas Kristen Petra


6

2.2. Pengukuran dan Penetapan Waktu Kerja


Pengukuran kerja adalah metode penetapan keseimbangan antara
kegiatan manusia yang dikonstribusikan dengan unit output yang dihasilkan
(Wignjosoebroto, 2000). Teknik pengukuran kerja / Time Study adalah teknik
untuk menetapkan waktu baku yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan dengan memberikan kelonggaran-kelonggaran waktu untuk kebutuhan
pribadi, melepas lelah (fatique) serta kelonggaran-kelonggaran lain yang tidak
dapat dihindari (Niebel, 1993). Tujuan time study adalah menentukan waktu baku
untuk semua pekerjaan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Untuk mengetahui jumlah kebutuhan tenaga kerja dan jumlah optimal
produk yang dihasilkan perlu dilakukan pengukuran waktu kerja. Pengukuran
waktu kerja dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pengukuran waktu kerja dengan
metode pengukuran langsung dan pengukuran waktu kerja dengan metode
pengukuran tidak langsung. Pengukuran waktu kerja dengan metode pengukuran
langsung dapat dibedakan menjadi dua cara, yaitu pengukuran kerja dengan
metode jam henti dan pengukuran kerja dengan metode work sampling.
Sedangkan untuk pengukuran waktu kerja dengan metode pengukuran tidak
langsung dapat dibedakan menjadi dua cara, yaitu pengukuran kerja dengan
metode data baku (standart data) dan pengukuran kerja dengan metode analisa
regresi atau metode data waktu gerakan (pre-determined time study).
Pengukuran waktu kerja digunakan untuk memperoleh waktu baku
proses kerja. Untuk memperoleh waktu baku tersebut, digunakan metode
pengukuran langsung, yaitu dengan menggunakan metode jam henti. Metode ini
dilakukan dengan menggunakan alat bantu ukur stopwatch sehingga seringkali
disebut dengan stopwatch time study. Metode pengukuran ini sesuai untuk
pekerjaan atau aktivitas yang berlangsung singkat dan berulang-ulang (repetitive).
Hal utama yang harus dilakukan sebelum melakukan pengukuran dengan
jam henti adalah membagi operasi kerja yang ada ke dalam elemen kerja secara
rinci. Alasan dilakukannya penguraian proses kerja menjadi elemen kerja antara
lain:

Universitas Kristen Petra


7

• Mempermudah dalam menganalisa waktu yang berlebihan untuk tiap elemen


yang tidak akan terlihat apabila pengukuran dilakukan secara keseluruhan
untuk satu proses kerja.
• Mempermudah dalam melakukan penyesuaian bagi setiap elemen, karena
keterampilan kerja setiap operator belum tentu sama.
• Mempermudah dalam mengidentifikasi proses kerja yang tidak seharusnya
terjadi pada saat jam kerja.
• Mempermudah dalam mengidentifikasi elemen kerja yang tidak baku. Elemen
yang tidak baku adalah elemen yang dilakukan tidak pada setiap siklus secara
berkala.
Setelah melakukan pembagian elemen kerja, maka langkah berikutnya
adalah mendefinisikan elemen tersebut secara jelas mulai dari awal sampai akhir.
Hal itu bertujuan untuk mempermudah dalam pengamatan (apabila pengukuran
dilakukan oleh dua orang atau lebih).
Langkah berikutnya adalah menyiapkan alat-alat pengukuran, yaitu
stopwatch, lembar pengamatan, pena atau pensil dan papan pengamatan. Pada
metode ini jarum penunjuk stopwatch akan selalu dikembalikan lagi ke posisi nol
pada setiap akhir pengukuran sebuah elemen. Dengan menggunakan metode ini,
data waktu untuk setiap elemen kerja yang diukur akan dapat langsung dicatat
dalam lembar pengamatan.
Adapun langkah-langkah pelaksanaan pengukuran dan pengolahan data
dengan metode jam henti secara lengkap adalah sebagai berikut:
• Pembagian proses kerja menjadi elemen kerja.
• Pendefinisian elemen kerja.
• Melakukan pengukuran waktu kerja.
• Melakukan pengujian kenormalan data.
• Melakukan pengujian keseragaman data.
• Melakukan pengujian kecukupan data.
• Melakukan perhitungan waktu siklus.
• Melakukan perhitungan waktu normal.
• Melakukan perhitungan waktu baku.

Universitas Kristen Petra


8

2.2.1. Cara Pengukuran Waktu Kerja


Ada tiga metode pengukuran waktu kerja dengan menggunakan
stopwatch, yaitu: (Wignjosoebroto, 2000)
a. Pengukuran waktu secara terus-menerus (Continuous Timing)
Pengamat akan menekan tombol stopwatch pada saat elemen kerja dimulai
dan membiarkan jarum penunjuk berjalan terus-menerus dari elemen satu
sampai dengan akhir siklus. Waktu sebenarnya dari masing-masing elemen
diperoleh dari pengurangan pada saat pengukuran waktu selesai dilaksanakan.
b. Pengukuran waktu secara berulang-ulang (Repetitive Timing)
Jarum penunjuk stopwatch akan selalu dikembalikan lagi ke posisi nol pada
setiap akhir elemen kerja. Melalui cara ini, data waktu untuk setiap elemen
kerja yang diukur dapat dicatat secara langsung tanpa ada pekerjaan tambahan
untuk pengurangan seperti pada metode continuous timing.
c. Pengukuran waktu secara penjumlahan (Accumulative Timing)
Metode ini memungkinkan membaca data secara langsung untuk masing-
masing elemen kerja yang ada. Di sini akan digunakan dua atau lebih
stopwatch yang dijalankan secara bergantian.

2.2.2. Pengujian Kenormalan Data


Langkah pertama dalam pengujian data adalah pengujian kenormalan
data. Data waktu yang telah diperoleh akan diuji apakah data tersebut berdistribusi
normal atau tidak. Data tersebut diharapkan memiliki distribusi yang normal. Ada
dua metode yang dapat digunakan di dalam melakukan pengujian kenormalan
data, yaitu metode Kolmogorov-Smirnov. Pengujian distribusi normal biasanya
dilakukan dengan menggunakan software Statgraph atau menggunakan software
Minitab.

2.2.3. Pengujian Keseragaman Data


Pengujian keseragaman data dapat dilakukan dengan menerapkan teori
statistik tentang peta kontrol (control chart). Uji keseragaman data dengan peta
kontrol dengan menggunakan perhitungan batas kontrol atas (BKA) dan batas
kontrol bawah (BKB). Apabila dalam pengujian keseragaman, data dikatakan

Universitas Kristen Petra


9

tidak seragam maka data yang berada di luar batas kontrol tersebut harus dibuang
kemudian pengujian data harus diulang lagi mulai dari uji kenormalan. Rumus
yang digunakan dalam uji keseragaman data adalah:
BK = x ± k σ (2.1)
Dimana:
BK = Batas kontrol
* BKA = Batas Kontrol Atas
* BKB = Batas Kontrol Bawah
x = nilai rata-rata dari data waktu
k = nilai z dari α/2 (diperoleh dari tabel distribusi normal)
σ = standar deviasi dari data waktu

2.2.4. Pengujian Kecukupan Data


Pengujian kecukupan data perlu dilakukan untuk menguji apakah jumlah
data yang telah diperoleh selama pengukuran telah mencukupi dengan tingkat
signifikansi yang diinginkan atau tidak. Untuk melakukan pengujian kecukupan
data akan digunakan dua rumus yang berbeda yaitu rumus kecukupan data untuk
N < 30 dan rumus kecukupan data untuk N ≥ 30. Rumus yang digunakan dalam
uji kecukupan data adalah:
Bila N < 30 maka
2
⎛ σ. t ⎞
N’ = ⎜⎜ ⎟⎟ (2.2)
⎝ K.x ⎠
Dimana:
N = banyaknya data / jumlah pengamatan yang telah dilakukan
N’ = banyaknya data yang diperlukan
t = tingkat kepercayaan data (table distribusi t pada α/2, dengan v = N – 1)
K = tingkat ketelitian data
Jika: * N ≥ N’, maka jumlah pengamatan telah cukup (data cukup)
* N < N’, maka harus dilakukan tambahan pengamatan karena data kurang
Bila N ≥ 30 maka

Universitas Kristen Petra


10

2
⎛k ⎞
N’ = ⎜ K ∑ i
⎜ N X 2 − (∑ X i ) 2 ⎟
⎟ (2.3)

⎜ ∑ Xi ⎟

⎝ ⎠

Dimana:
xi = data ke-I
Σxi = penjumlahan seluruh data
Jika: * N ≥ N’, maka jumlah pengamatan telah cukup (data dikatakan cukup)
* N < N’, maka harus dilakukan tambahan pengamatan karena data kurang
Apabila dalam pengujian kecukupan, data dikatakan tidak cukup maka
dapat dilakukan pengambilan data tambahan kemudian dilanjutkan dengan
pengujian yang dimulai dari awal yaitu uji kenormalan data. Selain itu, apabila
data dikatakan tidak cukup dan adanya keterbatasan waktu maka data tetap
dianggap cukup, tetapi perlu ditentukan tingkat ketelitian dari data tersebut.

2.2.5. Perhitungan Waktu Siklus


Setelah melakukan pengujian seperti yang diuraikan di atas, perhitungan
waktu baku dapat dilakukan. Sebelum melakukan perhitungan waktu baku, harus
melakukan perhitungan waktu siklus. Rumus yang digunakan di dalam
penghitungan waktu siklus adalah sebagai berikut:

Ws =
∑x i
(2.4)
N
Dimana:
Ws = waktu siklus / nilai rata-rata dari data waktu (detik)

2.2.6. Perhitungan Waktu Normal


Setelah diketahui besarnya waktu siklus untuk setiap elemen kerja maka
dapat dilakukan perhitungan waktu normal. Rumus yang digunakan di dalam
penghitungan waktu normal adalah sebagai berikut:
Wn = Ws x PR (2.5)
Dimana :
Wn = waktu normal (detik)
PR = performance rating.
Universitas Kristen Petra
11

Untuk melakukan perhitungan waktu normal harus menentukan besarnya


nilai PR terlebih dahulu. Penentuan besarnya PR akan dibahas pada point 2.2.8.

2.2.7. Perhitungan Waktu Baku dan Output Baku


Waktu baku adalah waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja yang
memiliki tingkat kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan
dimana telah meliputi kelonggaran waktu yang diberikan dengan memperhatikan
situasi dan kondisi pekerjaan yang harus diselesaikan tersebut (Wignjosoebroto,
2000). Kegunaan dari perhitungan waktu baku adalah untuk perencanaan
kebutuhan tenaga kerja, untuk perkiraan biaya-biaya dalam penentuan upah
karyawan, untuk penjadwalan produksi, untuk perancangan sistem pemberian
bonus, untuk menunjukkan keluaran (output) yang mampu dihasilkan oleh
seorang pekerja dalam sehari.
Rumus yang digunakan dalam menentukan waktu baku adalah sebagai
berikut:
100%
Wb = Wn x (jam/unit) (2.6)
100% − % allowance
Dimana:
Wb = waktu baku (detik)
% allowance = kelonggaran yang diijinkan
Untuk melakukan perhitungan waktu baku harus menentukan besarnya
kelonggaran untuk setiap elemen kerja yang ada. Penentuan besarnya kelonggaran
tersebut akan dibahas pada point 2.2.9.
Sedangkan output baku adalah jumlah standar suatu hasil kerja yang
dihasilkan dalam satu periode waktu kerja. Waktu baku total dan dan waktu baku
terlama dari suatu proses kerja merupakan dua hal penting yang harus diketahui
terlebih dahulu dalam menentukan output baku. Oleh sebab itu, penentuan output
baku dapat dirumuskan sebagai berikut:
Tt + Wbl − ΣWb
Ob = (2.7)
Wbl
Dimana:
Ob = Output baku (satuan dalam unit atau fibrite)

Universitas Kristen Petra


12

Tt = Jumlah waktu kerja yang tersedia (detik)


Wbl = Waktu baku terlama dari satu siklus proses kerja (detik)
ΣWb = Total waktu baku dari proses kerja (detik)

2.2.8. Penentuan Performance Rating


Penentuan performance rating atau penyesuaian perlu untuk diperhatikan
karena adanya ketidakwajaran yang dapat terjadi selama proses kerja berlangsung.
Ketidakwajaran yang terjadi ini dapat mempengaruhi kecepatan kerja yang
sebenarnya. Dengan adanya perhitungan penyesuaian, diharapkan waktu kerja
yang tidak wajar tersebut dapat dinormalkan kembali. Berikut ini merupakan
kondisi-kondisi yang dapat dijumpai pada saat menentukan penyesuaian, yaitu:
• Apabila operator dinyatakan terlalu cepat yaitu bekerja di atas batas kewajaran
(normal) maka rating faktor penyesuaian akan lebih besar daripada satu (p > 1
atau p > 100%).
• Apabila operator nyatakan terlalu lambat yaitu bekerja di bawah batas
kewajaran (normal) maka rating faktor penyesuaian akan lebih kecil daripada
satu (p < 1 atau p < 100%).
• Apabila operator bekerja secara normal atau wajar maka rating faktor
penyesuaian akan sama dengan satu (p = 1 atau p = 100%).
Salah satu metode yang umum digunakan dalam menentukan besarnya
penyesuaian adalah metode Westinghouse. Metode ini menggunakan empat faktor
yang dianggap menentukan kewajaran atau ketidakwajaran dalam proses kerja
sebagai dasar penilaian dalam menentukan besarnya penyesuaian yang terdiri dari
keterampilan, usaha, kondisi, dan konsistensi.
Nilai dari performance rating telah ditentukan nilainya dan telah
ditabelkan pada tabel 2.1. di bawah ini

Universitas Kristen Petra


13

Tabel 2.1. Performance Rating menurut Westinghouse


SKILL EFFORT
0,15 A1 Superskill 0,13 A1 Superskill
0,13 A2 0,12 A2
0,11 B1 Excellent 0,10 B1 Excellent
0,08 B2 0,08 B2
0,06 C1 Good 0,05 C1 Good
0,03 C2 0,02 C2
0,00 D Average 0,00 D Average
0,05 E1 Fair 0,04 E1 Fair
0,10 E2 0,08 E2
0,16 F1 Poor 0,12 F1 Poor
0,22 F2 0,17 F2
CONDITION CONSISTENCY
0,06 A Ideal 0,04 A Ideal
0,04 B Excellent 0,03 B Excellent
0,02 C Good 0,01 C Good
0,00 D Average 0,00 D Average
0,03 E Fair 0,02 E Fair
0,07 F Poor 0,04 F Poor
Sumber: Barnes (1980, halaman 289)
Penjelasan dari keempat faktor pada metode Westinghouse adalah
sebagai berikut:

2.2.8.1. Ketrampilan (Skill)


Keterampilan adalah kemampuan mengikuti cara kerja yang telah
ditetapkan. Terdapat enam kelas yaitu : super skill, excellent skill, good skill,
average skill, fair skill, dan poor skill. Faktor keterampilan ini dapat ditingkatkan
dengan latihan-latihan namun meningkatnya faktor keterampilan ini hanya dapat
mencapai tingkat tertentu saja. Keterampilan ini dapat pula menurun yaitu apabila
operator sudah lama tidak melakukan aktivitas tersebut ataupun karena kelelahan
yang berlebihan. Berikut kelas-kelas dari faktor keterampilan:
Superskill
• Secara bawaan cocok sekali dengan pekerjaannya.
• Bekerja dengan sempurna.
• Tampak seperti telah terlatih dengan sangat baik.
• Gerakan-gerakannya halus tetapi sangat cepat sehingga sulit untuk diikuti.
Universitas Kristen Petra
14

• Kadang-kadang terkesan tidak berbeda dengan gerakan-gerakan mesin.


• Perpindahan dari satu elemen pekerjaan ke elemen lainnya tidak terlampau
terlihat karena lancarnya.
• Tidak terkesan adanya gerakan-gerakan berpikir dan merencanakan tentang
apa yang dikerjakan (sudah sangat otomatis).
• Secara umum dapat dikatakan bahwa pekerja yang bersangkutan adalah
pekerja yang baik.
Excellent Skill
• Percaya pada diri sendiri.
• Tampak cocok dengan pekerjaannya.
• Terlihat telah terlatih dengan baik.
• Bekerjanya teliti dengan tidak banyak melakukan pengukuran-pengukuran
atau pemeriksaan-pemeriksaan.
• Gerakan-gerakan kerjanya beserta urutan-urutannya dijalankan tanpa
kesalahan.
• Menggunakan peralatan dengan baik.
• Bekerjanya cepat tanpa mengorbankan mutu.
• Bekerjanya cepat tetapi halus.
• Bekerja berirama dan terkoordinasi.
Good Skill
• Kualitas hasil baik.
• Bekerjanya tampak lebih baik daripada kebanyakan pekerjaan pada umumnya.
• Dapat memberi petunjuk-petunjuk pada pekerja lain yang keterampilannya
lebih rendah.
• Tampak jelas sebagai pekerja yang cakap.
• Tidak memerlukan banyak pengawasan.
• Tiada keragu-raguan.
• Bekerjanya “stabil”.
• Gerakan-gerakannya terkoordinasi dengan baik.
• Gerakan-gerakannya cepat.
Average Skill

Universitas Kristen Petra


15

• Tampak adanya kepercayaan pada diri sendiri.


• Gerakannya cepat tapi tidak lambat.
• Terlihat adanya pekerjaan-pekerjaan yang perencanaan.
• Tampak sebagai pekerja yang cakap.
• Gerakan-gerakannya cukup menunjukkan tiada keragu-raguan.
• Mengkoordinasi tangan dan pikiran dengan cukup baik.
• Tampak cukup terlatih dan karenanya mengetahui seluk-beluk pekerjaannya.
• Bekerja cukup teliti.
• Secara keseluruhan cukup memuaskan.
Fair Skill
• Tampak terlatih tetapi belum cukup baik.
• Mengenal peralatan dan lingkungan secukupnya.
• Terlihat adanya perencanaan-perencanaan sebelum melakukan gerakan.
• Tidak mempunyai kepercayaan diri yang cukup.
• Tampaknya seperti tidak cocok dengan pekerjaannya tetapi telah ditempatkan
di pekerjaan itu sejak lama.
• Mengetahui apa yang dilakukan dan harus dilakukan tetapi tampak tidak
selalu yakin.
• Sebagian waktu terbuang karena kesalahan-kesalahan sendiri.
• Jika tidak bekerja sungguh-sungguh outputnya akan sangat rendah.
• Biasanya tidak ragu-ragu dalam menjalankan gerakan-gerakannya
Poor Skill
• Tidak bisa mengkoordinasikan tangan dan pikiran.
• Gerakan-gerakannya kaku.
• Kelihatan ketidakyakinannya pada urutan-urutan gerakan.
• Seperti tidak terlatih untuk pekerjaan yang bersangkutan.
• Tidak terlihat adanya kecocokan dengan pekerjaannya.
• Ragu-ragu dalam menjalankan gerakan-gerakan kerja.
• Sering melakukan kesalahan-kesalahan.
• Tidak adanya kepercayaan pada diri sendiri.
• Tidak bisa mengambil inisiatif sendiri.
Universitas Kristen Petra
16

2.2.8.2. Usaha (Effort)


Usaha adalah kesungguhan yang ditunjukkan atau diberikan oleh
operator ketika melakukan pekerjaannya. Terdapat enam kelas, yaitu: excessive
effort, excellent effort, good effort, average effort, fair effort, dan poor effort.
Berikut penjelasan dari masing-masing kelas dari usaha, yaitu:
Excessive Effort
• Kecepatan sangat berlebihan.
• Usahanya tampak sungguh-sungguh tetapi dapat membahayakan
kesehatannya.
• Kecepatan yang ditimbulkannya tidak dapat dipertahankan sepanjang hari
kerja.
Excellent Effort
• Jelas terlihat kecepatan kerjanya yang tinggi.
• Gerakan-gerakan lebih “ekonomis” daripada operator-operator biasa.
• Penuh perhatian pada pekerjaannya.
• Banyak memberi saran-saran.
• Menerima saran-saran dan petunjuk dengan senang.
• Percaya pada kebaikan maksud pengukuran waktu.
• Tidak dapat bertahan lebih dari beberapa hari.
• Bangga atas kelebihannya.
• Gerakan-gerakan yang salah terjadi sangat jarang sekali.
• Bekerjanya sistematis.
• Karena lancarnya, perpindahan dari suatu elemen ke elemen lain tidak terlihat.
Good Effort
• Bekerja seirama.
• Saat-saat menganggur sangat sedikit, bahkan kadang-kadang tidak ada.
• Penuh perhatian pada pekerjaannya.
• Senang pada pekerjaannya.
• Kecepatannya baik dan dapat dipertahankan sepanjang hari.
• Percaya pada kebaikan maksud pengukuran waktu.

Universitas Kristen Petra


17

• Menerima saran-saran dan petunjuk dengan senang.


• Dapat memberi saran-saran untuk perbaikan kerja.
• Tempat kerjanya diatur baik dan rapi.
• Menggunakan alat-alat yang tepat dengan baik.
• Memelihara dengan baik kondisi peralatan.
Average Effort
• Tidak sebaik good, tetapi lebih baik dari poor.
• Bekerja dengan stabil.
• Menerima saran-saran tetapi tidak melaksanakannya.
• Set up dilaksanakan dengan baik.
• Melakukan kegiatan-kegiatan perencanaan.
Fair Effort
• Saran-saran perbaikan diterima dengan pasti.
• Kadang-kadang perhatian tidak ditujukan pada pekerjaannya.
• Kurang sungguh-sungguh.
• Tidak mengeluarkan tenaga dengan secukupnya.
• Terjadi sedikit penyimpangan dari cara kerja baku.
• Alat-alat yang dipakainya tidak selalu yang terbaik.
• Terlihat adanya kecenderungan kurang perhatian pada pekerjaannya.
• Terlampau hati-hati.
• Sistematika kerjanya sedang-sedang saja.
• Gerakan-gerakannya tidak terencana.
Poor Effort
• Banyak membuang-buang waktu.
• Tidak memperhatikan adanya minat bekerja.
• Tidak mau menerima saran-saran.
• Tampak malas dan lambat bekerja.
• Melakukan gerakan-gerakan yang tidak perlu untuk mengambil alat-alat dan
bahan-bahan.
• Tempat kerjanya tidak diatur rapi.
• Tidak peduli pada cocok / baik tidaknya peralatan yang dipakai.
Universitas Kristen Petra
18

• Mengubah-ubah tata telak tempat kerja yang telah diatur.


• Set up kerjanya terlihat tidak baik.

2.2.8.3. Kondisi (Condition)


Kondisi kerja adalah kondisi fisik lingkungan kerja seperti keadaan
pencahayaan, temperatur, dan kebisingan ruangan. Kondisi kerja ini tidak
berhubungan dengan operator tetapi merupakan sesuatu di luar operator yang
harus diterima oleh operator tanpa banyak kemampuan merubahnya. Terdapat
enam kelas yaitu : Ideal, Excellent, Good, Average, Fair dan Poor.
Kondisi dikatakan kondisi yang ideal adalah suatu kondisi tempat kerja
yang cocok dengan pekerjaan yang akan dijalankan, dimana kondisi tersebut
memungkinkan operator untuk dapat melakukan pekerjaannya dengan
performance yang terbaik. Sedangkan kondisi kerja poor secara umum dapat
dikatakan sebagai kondisi kerja yang menghambat pekerjaan yang akan dilakukan
oleh operator.

2.2.8.4. Konsistensi (Consistency)


Konsistensi adalah ketetapan setiap operator di dalam melakukan
pekerjaannya dari satu siklus lainnya, dari jam ke jam, bahkan dari hari ke hari.
Seorang operator dapat dikatakan bekerja dengan konsisten apabila waktu
penyelesaian pekerjaannya sama dalam beberapa waktu yang berbeda dan tidak
memiliki variabilitas yang tinggi. Terdapat enam kelas yaitu : Perfect, Excellent,
Good, Average, Fair, dan Poor.
Seorang pekerja dapat dikatakan memiliki konsistensi yang perfect
apabila waktu penyelesaian pekerjaan yang sama dalam beberapa waktu
cenderung tetap. Konsistensi perfect berlawanan dengan poor, dimana waktu
penyelesaian pekerjaan memiliki selisih yang jauh dengan nilai rata-ratanya secara
acak. Sedangkan konsistensi dikatakan average apabila selisih waktu penyelesaian
dengan rata-rata tidak terlalu jauh, walaupun ada satu atau dua waktu
penyelesaian yang agak melenceng jauh.

Universitas Kristen Petra


19

Penghitungan faktor penyesuaian dilakukan dengan cara mengalikan


waktu yang diperoleh dari pengukuran kerja dengan jumlah dari keempat rating
faktor yang dipilih sesuai dengan performance yang ditunjukkan oleh operator.
Besarnya faktor penyesuaian adalah sebagai berikut:
PR = 1 + p (2.8)
Keterangan:
p = Jumlah dari keempat faktor penyesuaian dengan cara westinghouse

2.2.9. Penentuan Kelonggaran (Allowance)


Untuk memperoleh waktu baku yang sebenarnya, selain data telah
normal, telah seragam, telah cukup, dan telah ditambahkan penyesuaian maka
perlu juga waktu normal yang telah diperoleh tersebut ditambahkan dengan
kelonggaran. Menurut Ralph M. Barnes (1980), penentuan kelonggaran yang
dibuat mencakup tiga hal, yaitu: untuk kebutuhan pribadi (Personal Allowance),
untuk menghilangkan rasa lelah (Fatigue Allowance), dan untuk hambatan-
hambatan yang tidak dapat dihindarkan (Delay Allowance). Ketiga hal ini
merupakan hal-hal yang secara nyata dibutuhkan oleh pekerja dalam melakukan
setiap proses kerja. Berikut merupakan penjelasan dari kelonggaran yang
dibutuhkan oleh pekerja, yaitu:
• Personal Allowance
Kebutuhan pribadi merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap pekerja.
Yang termasuk kebutuhan pribadi misalnya kebutuhan minum sekedar untuk
menghilangkan rasa haus, pergi ke kamar kecil, bercakap-cakap dengan teman
sekerja sekedar untuk menghilangkan ketegangan ataupun kejenuhan, dan
lain-lain. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang relatif ringan dimana operator
bekerja selama 8 jam per hari tanpa jam istirahat resmi memerlukan sekitar 2-
5% (atau 10-24 menit) setiap hari untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang
bersifat personal.
• Fatigue Allowance
Kebutuhan untuk mengatasi rasa lelah akibat bekerja juga penting untuk
diperhatikan mengingat rasa lelah ini dapat mengurangi produktivitas para
pekerja. Rasa lelah yang total akan mengakibatkan operator tidak dapat
Universitas Kristen Petra
20

bekerja sama sekali walaupun operator tersebut masih ingin melanjutkan


pekerjaannya. Jadi di dalam penghitungan waktu baku, kelonggaran untuk
mengatasi rasa lelah juga perlu diperhitungkan. Umumnya lama waktu
istirahat yang diberikan berkisar antara 5-15 menit.
• Delay Allowance
Di dalam menyelesaikan suatu pekerjaan pasti ada hambatan baik yang dapat
dihindarkan maupun yang tidak dapat dihindarkan. Hambatan yang dapat
dihindarkan (avoidable delay) antara lain: mengobrol berlebihan, menganggur
dengan sengaja, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk hambatan yang tidak
dapat dihindarkan (unavoidable delay) adalah hambatan yang berada di luar
kekuasaan operator untuk mengendalikannya.
Cara menentukan allowance time dilakukan dengan melakukan
pengamatan secara langsung tentang kondisi yang terjadi di lantai produksi,
kemudian dilakukan penilaian besarnya allowance sesuai dengan faktor-faktor
yang berpengaruh. Langkah selanjutnya adalah menjumlahkan nilai allowance
secara keseluruhan, baik untuk personal allowance, fatigue allowance, dan delay
allowance.

2.3. Keseimbangan Lintasan (Line Balancing)


Keseimbangan lintasan adalah suatu metode yang digunakan untuk
menyeimbangkan lintasan produksi. Tujuan dari keseimbangan lintasan adalah
untuk menyeimbangkan waktu menganggur operator pada saat jam kerja,
meminimalkan bottleneck atau delay yang ada. Konsep line balancing adalah
bagaimana mendesain supaya aliran produksi dapat berjalan dengan lancar dengan
hambatan yang sekecil mungkin. Dalam hal ini, pendesainan dapat dilakukan
hanya pada aliran proses yang bersifat flow shop. Beberapa hal yang harus
dilakukan dalam mendesain line balancing, yaitu mengelompokkan beberapa
operasi menjadi stasiun-stasiun kerja, menyusun kelompok-kelompok operasi
yang akan membentuk keseimbangan lintasan produksi dan menentukan jumlah
operator optimal dalam suatu stasiun kerja.
Berikut ini adalah dasar penggabungan operasi-operasi kerja menjadi
stasiun kerja adalah:

Universitas Kristen Petra


21

• Waktu operasi (disesuaikan dengan waktu siklus).


• Ketergantungan antar operasi yang satu dengan yang lain.
• Jenis pekerjaan (ada beberapa jenis pekerjaan yang membutuhkan
keterampilan yang berbeda-beda).
• Fasilitas (dapat berupa alat / mesin dan sumber daya manusia).

2.3.1. Metode Line Balancing berdasarkan Pendekatan Helgeson-Birnie


Metode Helgeson-Birnie dikemukakan oleh W.B. Helgeson dan D.P.
Birnie (Mundel, Marvin E., and David L. Danner, 1994) merupakan suatu metode
yang bersifat heuristik dalam pendekatan line balancing. Dalam metode ini,
langkah awal dalam penugasan operasi-operasi pada stasiun kerja adalah
pengurutan dengan teknik ranked positional weight. Teknik pengurutan tersebut
mengurutkan operasi-operasi yang ada dalam suatu urutan secara menurun
berdasarkan operasi-operasi yang ada dalam suatu urutan secara menurun
berdasarkan positional weight, yaitu ditentukan dari waktu penyelesaian elemen
aktivitas yang mengikutinya (dalam hal ini harus sesuai dengan precedence
diagram yang ada). Dari ranking yang telah diperoleh, maka pengelompokan
elemen kerja dalam stasiun kerja dapat dilakukan dengan memperhatikan
prasyarat precedence diagram yang menyatakan bahwa jumlah waktu kerja dalam
stasiun tertentu tidak boleh melebihi dari waktu siklus yang telah ditetapkan.
Berikut ini adalah langkah-langkah yang harus diterapkan dalam penggunaan
metode Helgeson-Birnie, yaitu:
• Membuat diagram jaringan.
• Menghitung bobot posisi (jumlah waktu operasi yang bersangkutan
dengan waktu operasi sesudah operasi tersebut).
• Mengurutkan bobot posisi dari bobot yang terbesar sampai bobot yang
terkecil.
• Menentukan waktu siklus kerja.
• Menugaskan operasi ke stasiun kerja, mulai dari operasi dengan bobot
posisi terbesar.

Universitas Kristen Petra


22

• Jika waktu kumulatif < waktu siklus kerja, tempatkan operasi tersebut
pada stasiun kerja yang bersangkutan. Jika lebih, tempatkan operasi
dengan bobot posisi yang lebih kecil pada stasiun kerja berikutnya.
Rumus yang digunakan untuk menentukan waktu siklus kerja, yaitu:
Pt
Wsk = (2.9)
Ob
Dimana:
Wsk = Waktu untuk memproduksi 1 unit (detik)
Pt = Periode waktu produksi (detik)
Selain digunakan untuk menentukan jumlah stasiun kerja, line balancing
juga dapat digunakan untuk menentukan jumlah operator di stasiun kerja. Rumus
yang digunakan dalam menentukan jumlah operator yang optimal di setiap stasiun
kerja adalah sebagai berikut:
Wbi
ni = (2.10)
Wsk
Dimana:
ni = Jumlah operator atau pekerja optimal di stasiun kerja ke-i (orang)
Wbi = Waktu baku di stasiun ke-i (i = 1, 2, 3,…….dan seterusnya)

Rumus yang digunakan untuk mengetahui jumlah mesin yang dapat dilayani oleh
satu operator adalah sebagai berikut:
L + CT
M= (2.11)
L
Dimana:
M = jumlah mesin yang dapat dilayani
L = Total operator servicing time per mesin (loading & unloading) dalam detik
CT = Cycle time mesin (dalam detik)

Untuk mengetahui jumlah operator yang diperlukan untuk suatu lini kerja tersebut
dapat menggunakan rumus berikut ini:
P ΣWb
O= x (2.12)
Tt E

Universitas Kristen Petra


23

Dimana:
O = Jumlah operator atau pekerja (orang)
P = Jumlah produksi yang ingin dihasilkan (unit)
E = Tingkat efisiensi

Rumus tingkat efisiensi adalah sebagai berikut:


Σ Wb
E= x100 % (2.13)
( Wbl × s)
Dimana:
s = Jumlah stasiun kerja

Universitas Kristen Petra

Anda mungkin juga menyukai