FITOKIMIA TUGAS 7
FRAKSINASI KROMATOGRAFI KOLOM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktikum Fitokimia
KELAS: G
DOSEN PEMBIMBING:
apt. Amaliyah Dina A., M. Farm.
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hayati terbesar yang
memiliki lebih dari 30.000 spesies tanaman tingkat tinggi. Hingga saat ini tercatat
7000 spesies tanaman telah diketahui khasiatnya namun kurang dari 300 tanaman
yang digunakan sebagai bahan baku industri farmasi secara reguler. WHO pada
tahun 2008 mencatat bahwa 68% penduduk dunia masih menggantungkan sistem
pengobatan tradisional yang mayoritas melibatkan tumbuhan untuk
menyembuhkan penyakit dan lebih dari 80% penduduk dunia menggunakan obat
herbal untuk mendukung kesehatan mereka (Saifuddin, et al., 2011). World
Health Organization (WHO) merekomendasikan penggunaan obat tradisional
termasuk obat herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan
pengobatan penyakit, terutama penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker
(Setiawati et al., 2016).
1.2 Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jambu
Biji
Psidium guajava L. atau sering biasa kita sebut jambu biji ini merupakan tanaman
yang berasal dari Amerika Serikat Tengah, lalu penyebaran tanaman ini meluas ke
kawasan Asia Tenggara dan ke wilayah Indonesia melalui Thailand (Cahyono,
2010). Jambu biji sering disebut juga Jambu Klutuk, Jambu Siki, atau Jambu Batu
(Kuntarsih, 2006).
L.) Taksonomi
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Myrtales
Suku : Myrtaceae
Marga : Psidium
Tanaman jambu biji memiliki habitus berupa semak atau perdu, dengan tinggi
pohon dapat mencapai 9 meter (Nakasone dan Paull, 1998). Tanaman jambu biji
memiliki batang muda berbentuk segiempat, sedangkan batang tua berkayu keras
berbentuk gilig dengan warna cokelat. Permukaan batang licin dengan lapisan
kulit yang tipis dan mudah terkelupas. Bila kulitnya dikelupas akan terlihat bagian
dalam batang yang berwarna hijau. Daun pada tanaman jambu biji memiliki
struktur daun tunggal dan mengeluarkan aroma yang khas jika diremas.
Kedudukan daunnya bersilangan dengan letak daun berhadapan dan pertulangan
daun menyirip. Terdapat beberapa bentuk daun pada tanaman jambu biji, yaitu:
bentuk daun lonjong, jorong, dan bundar telur terbalik. Bentuk daun yang paling
dominan adalah bentuk daun lonjong. Perbedaan pada bentuk daun dapat
dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan (Tsukaya 2005). Buah
jambu biji memiliki tipe buah tunggal dan termasuk buah berry (buni), yaitu buah
yang daging buahnya dapat dimakan (Cahyono, 2010).
3
2.4 Kandungan kimia
Kandungan kimia pada daun jambu biji (Psidium guajava L.) menurut Taiz dan
Zeiger (2002) yaitu terpen, fenolik, dan senyawa mengandung nitrogen terutama
alkaloid. Kandungan kimia tersebut merupakan bagian dari sistem pertahanan diri
yang berperan sebagai pelindung dari serangan infeksi mikroba patogen dan
mencegah pemakanan oleh herbivora. Analisis fitokimia oleh Arya et al.(2012),
ekstrak daun jambu biji putih mengandung senyawa saponin, tanin, steroid,
flavonoid, alkaloid dan triterpenoid. Beberapa senyawa tersebut mempunyai
aktivitas antioksidan salah satunya adalah senyawa golongan flavonoid, karena
kemampuannya yang dapat mereduksi radikal bebas.
Jambu biji memiliki beberapa kelebihan, antara lain buahnya dapat dimakan
sebagai buah segar, dapat diolah menjadi berbagai bentuk makanan dan minuman.
Selain itu, buah jambu biji bermanfaat untuk pengobatan (terapi) bermacam-
macam penyakit, seperti memperlancar pencernaan, menurunkan kolesterol,
antioksidan, menghilangkan rasa lelah dan lesu, demam berdarah, dan sariawan.
Selain buahnya, bagian tanaman jambu biji seperti daun, kulit akar maupun
akarnya dapat berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit disentri, keputihan,
sariawan, kurap, diare, radang lambung, gusi bengkak, dan peradangan mulut,
serta kulit terbakar sinar matahari (Cahyono, 2010). Menurut Indriani (2006),
ekstrak etanol dari daun jambu biji dapat berperan sebagai antioksidan. Daun
jambu biji mempunyai manfaat bagi kesehatan yaitu sebagai antiinflamasi,
antidiare, analgesik, antibakteri, antidiabetes, antihipertensi, mengurangi demam
dan penambah trombosit (Kirtikar dan Bashu., 1998).
2.6 Fraksinasi
Fraksinasi merupakan tahapan kedua dari proses pemisahan senyawa setelah
ekstraksi. Fraksinasi adalah teknik pemisahan dan pengelompokan senyawa kimia
pada ekstrak berdasarkan kepolaran (Mukhriani, 2014; Akhsanita, 2012). Jenis
metode fraksinasi adalah Metode Cair-cair atau Kromatografi Cair Vakum
(KCV), Kromatografi Kolom, Size-Exclution Chromatography (SEC), dan Solid-
Phase Extraction (SPE). Tujuan fraksinasi adalah untuk memisahkan ekstrak-
ekstrak yang non polar, semi polar dan polar (Tengo, et al., 2013).
4
berdasarkan kapilaritas (kromatografi lapis tipis). Senyawa yang berinteraksi
lemah dengan fase diam akan bergerak lebih cepat melalui sistem kromatografi.
Senyawa dengan interaksi yang kuat dengan fase diam akan bergerak sangat
lambat (Christian, 1994; Skoog, 1998).
Komponen tunggal yang ada pada sampel dijerap oleh fase diam yang telah
dibentuk atau biasa digunakan silica gel yang terdapat pada kolom, namun apabila
dialirkan pelarut secara kontinyu maka akan terjadi migrasi senyawa dan senyawa
tersebut terbawa oleh pelarut sesuai dengan polaritasnya. Kecepatan eluasi
sebaiknya dibuat konstan. Jika kecepatan eluasi terlalu kecil maka senyawa-
senyawa akan terdifusi ke dalam eluen dan akan menyebabkan pita makin melebar
yang akibatnya pemisahan tidak dapat berlangsung dengan baik. Dan apabila
kecepatan eluasi terlalu besar maka pemisahan kurang baik dan tidak berdasarkan
tingkat polaritasnya sehingga akan diperoleh fraksi yang sama dan menyebabkan
fase diam cepat menjadi kering dan dikhawatirkan terjadi cracking. Permukaan
adsorben harus benar-benar horizontal, hal ini dilakukan untuk menghindari
terjadinya cacat yang dapat terjadi selama proses eluasi berjalan. Cara kerja
kromatografi kolom adalah komponen tunggal ditahan pada fasa diam berupa
adsorben karena telah terikat (Prameswari, 2017).
Ketika eluen dialirkan, maka senyawa akan melakukan migrasi, terbawa oleh
eluen sesuai dengan kesesuaian kepolaran. Kromatografi kolom dilakukan dengan
membuat bubur antara eluen dengan fase diam (Kristanti, et al., 2008). Faktor-
faktor yang berperan pada keberhasilan pemisahan dengan kromatografi kolom
adalah pemilihan adsorben, pemilihan pelarut, dan pengemasan kolom (Kristanti,
et al., 2008). Fraksi-fraksi hasil pemisahan kromatografi kolom dimonitoring
menggunakan kromatografi lapis tipis untuk melihat noda dengan Rf yang sama.
Mulyani, et al., (2013) menyatakan bahwa fraksi-fraksi yang memiliki noda dan
nilai Rf (retention factor) yang sama pada kromatografi lapis tipis digabung dan
diuapkan pelarutnya sehingga didapatkan fraksi yang lebih sederhana. Hasil
monitoring secara KLTA dilihat profil pemisahan komponennya pada plat KLT.
5
Fase Diam
Silika gel adalah fase diam (adsorben) yang paling sering digunakan untuk
pemisahan produk alam (Cannel, 1998). Banyaknya adsorben yang digunakan
bergantung pada tingkat kesulitan pemisahan dari suatu senyawa dan jumlah
sampel yang akan dipisahkan. Secara umum, tiap gram sampel yang dipisahkan
membutuhkan adsorben 30 – 50 gram. Jika pemisahan yang dilakukan cukup sulit,
jumlah adsorben yang dibutuhkan dapat mencapai 200 gram. Jumlah adsorben
yang dibutuhkan akan lebih sedikit untuk pemisahan senyawa-senyawa yang
perbedaan kepolarannya cukup besar (Kristanti, et al., 2008) .
Silika gel memberikan luas permukaan yang besar dikarenakan ukuran partikel
silika gel yang kecil. Permukaan silika gel memiliki gugus silanol, hidroksil yang
terdapat pada gugus silanol ini merupakan pusat aktif dan berpotensi mampu
membentuk ikatan hidrogen yang kuat dengan senyawa yang akan dipisahkan.
Silika gel membentuk ikatan hidrogen terutama dengan donor H seperti alkohol,
fenol, amina, amida dan asam karboksilat. Semakin kuat kemampuan ikatan
hidrogen suatu senyawa maka semakin kuat akan tertahan pada silika gel.
Kepolaran adsorben dalam kromatografi menurut Noviyanti (2010) alumunium
oksida (alumina) > florisil (magnesium silikat) > asam silika (silica gel) > gula >
selulosa (Noviyanti, 2010).
Fase Gerak
Pemilihan fase gerak yang tepat dapat mendukung keberhasilan dalam pemisahan
senyawa dari komponen campuran. Campuran pelarut n-heksana dan etil asetat
merupakan sistem eluen universal yang sering direkomendasikan sebagai fase
gerak dalam kromatografi karena mudah diuapkan dan mudah mengatur tingkat
kepolaran eluen (Sundari, 2010). Kriteria kepolaran suatu pelarut dapat ditinjau
dari konstanta dielektrik. Pelarut polar memiliki konstanta dielektrik yang besar,
sedangkan non- polar memiliki konstanta dielektrik yang kecil. Semakin besar
nilai konstanta dielektriknya, maka semakin polar senyawa tersebut (Adnan,
1997). Polaritas pelarut dapat dilihat pada Tabel 2.8.
6
Kloroform CHCl3 4,8
Isopropanol CH3CH(-OH)-CH3 18
Amoniak NH3 22
Etanol CH3CH2-OH 30
Metanol CH3-OH 33
Air H-O-H 80
Kolom diisi dengan eluen yang akan digunakan untuk elusi sebanyak 2/3 bagian.
Adsorben yang akan digunakan dimasukkan secara perlahan sambil diketuk-ketuk
dinding secara perlahan. Kran bagian bawah kolom dibuka agar semua pelarut
keluar dan adsorben masuk ke dalam kolom. Setelah semua adsorben masuk
dalam
7
kolom, dibiarkan kolom beberapa saat sampai cairan yang berada di atas adsorben
menjadi jernih. Jumlah eluen/pelarut harus selalu di atas batas adsorben (Kristanti,
et al., 2008).
Pemisahan dicapai melalui kompetisi antara molekul sampel dan fase gerak untuk
berikatan atau berinteraksi dengan fase diam (Lade et al..,2014). Setiap senyawa
kimia tersebut akan bergerak dengan laju tertentu dan tingkat pergerakannya
dinyatakan sebagai faktor retensi (Rf). Faktor retensi adalah perbandingan jarak
yang ditempuh fase gerak mulai dari garis awal hingga akhir dengan jarak
pergerakan senyawa kimia yang telah terpisah. Senyawa yang mempunyai afinitas
yang besar terhadap fase gerak atau afinitas yang lebih kecil terhadap fase diam
akan bergerak lebih cepat daripada senyawa yang mempunyai afinitas sebaliknya
(Striegel & Hill 1997).
Fase Diam
Fase diam merupakan bahan pelapis pada lempeng KLT yang biasanya terbuat
dari bubuk silika, alumunium oksida, atau selulosa. Pada KLT biasanya
menggunakan silika gel sebagai fase diamnya yang menggunakan sistem
kromatografi adsorpsi Sebagian besar jenis fase diam yang digunakan pada
kromatografi kolom dapat digunakan pada KLT. Fase diam yang umum
digunakan seperti silika gel, aluminium oksida, selulosa dan juga silika gel yang
sudah dimodifikasi seperti amino-, cyano-, diol-, reverse phase- (RP2, RP8,
RP18) bonded silica (Rafi, et al., 2017).
Fase Gerak
Fase gerak adalah pelarut tunggal atau campuran yang menyebabkan ekstrak
mengalami pemisahan Fase gerak merupakan salah satu faktor penting dalam
pemisahan pada KLT karena akan membawa analit melewati fase diam. Fase
gerak dipilih berdasarkan material adsorben yang digunakan sebagai fase diam
dan struktur kimia dari analit yang akan dipisahkan (Rafi, et al., 2017). Kekuatan
dari elusi deret-deret pelarut untuk senyawa-senyawa dalam KLT dengan
menggunakan silika gel akan turun dengan urutan sebagai berikut : air murni >
metanol > etanol
> propanol > aseton > etil asetat > kloroform > metil klorida > benzena > toluena
> trikloroetilen > tetraklorida > sikloheksana > heksana. Fasa gerak yang
bersifat
8
lebih polar digunakan untuk mengelusi senyawa-senyawa yang adsorbsinya kuat,
sedangkan fasa gerak yang kurang polar digunakan untuk mengelusi senyawa
yang adsorbsinya lemah (Sastrohamidjojo, 1991).
Faktor Retensi
Faktor retensi (Rf) adalah jarak yang ditempuh oleh komponen dibagi dengan
jarak yang ditempuh oleh eluen. Nilai Rf sangat karakterisitik untuk senyawa
tertentu pada eluen tertentu. Hal tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi
adanya perbedaan senyawa dalam sampel. Senyawa yang mempunyai Rf lebih
besar berarti mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya. Hal
tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar. Senyawa yang lebih polar akan
tertahan kuat pada fasa diam, sehingga menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf
KLT yang bagus berkisar antara 0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi, maka harus
mengurangi kepolaran eluen, dan sebaliknya (Sastrohamidjojo , 1991).
Nilai Rf biasanya lebih kecil dari 1, sedangkan jika dikalikan dengan 100 akan
bernilai 1-100, sehingga parameter ini dapat digunakan untuk perhitungan
kualitatif dalam pengujian sampel pada kromatografi lapis tipis
(Sumarno,2001).Pada Rf kurang 0,2 belum terjadi kesetimbangan antara
komponen senyawa dengan fase diam dan fase gerak sehingga bentuk noda
biasanya kurang simetris. Pada bilangan Rf diatas 0,8 noda analit akan diganggu
oleh absorbansi pengotor lempeng fase diam yang teramati pada visualisasi
dengan lampu UV (Wulandari, 2011).
2.10 Tinjauan
Pereaksi Pereaksi
Dragendorff
Pereaksi ini mengandung bismut nitrat dan kalium iodide dalam larutan asam
asetat glasial (kalium tetraidobismutat(III)). Hasil positif alkaloid ditandai dengan
terbentuknya endapan coklat muda sampai kuning atau jingga. Endapan yang
dihasilkan tersebut adalah kalium alkaloid. Pada pembuatan pereaksi Dragendroff,
bismuth nitrat dilarutkan dalam HCl agar tidak terjadi reaksi hidrolisis karena
garam- garam bismuth mudah untuk terhidrolisis membentuk ion bismutil (BiO).
Pada uji alkaloid dengan pereaksi Dragendorff, nitrogen digunakan..untuk
membentuk ikatan kovalen..koordinat dengan K+ yang merupakan ion logam
(Ergina, et al., 2014).
9
Gambar Reaksi Alkaloid dengan Pereaksi Dragendorff
Pereaksi FeCl3
Uji fitokimia senyawa golongan tanin dilakukan dengan cara menambah ekstrak
dengan reagen FeCl3 1 %. Hasil positif ditunjukkan dengan perubahan warna
hijau kehitaman atau biru tinta. Terbentuknya senyawa kompleks antara tanin dan
FeCl3 karena adanya ion Fe3+ sebagai atom pusat dan tanin memiliki atom O
yang mempunyai pasangan elektron bebas yang bisa mengkoordinasikan ke atom
pusat sebagai ligannya. Ion Fe3+ pada reaksi di atas mengikat tiga tanin yang
memiliki 2 atom donor yaitu atom O pada posisi 4’ dan 5’ dihidroksi, sehingga
ada enam pasangan elektron bebas yang bisa dikoordinasikan ke atom pusat.
Atom O pada posisi 4’ dan 5’ dihidroksi memiliki energi paling rendah dalam
pembentukan senyawa kompleks, sehingga memungkinkan menjadi sebuah ligan
(Sa’adah, 2010).
10
Uap Amonia
Menurut Robinson (1995) jika tidak ada pigmen yang mengganggu, jaringan
tumbuhan (misalnya daun bunga putih) dapat diuji mengenai adanya flavon dan
flavonol dengan diuapi uap amonia. Warna kuning menunjukkan adanya senyawa
ini.
KOH
11
BAB III
PROSEDUR KERJA
Anisaldehid
Plat KLT No.15 -asam
sulfat
FeCl3
KOH 10%
12
3.2 Deskripsi Prosedur Kerja
5. Ekstrak kering dimasukkan ke dalam kolom (di atas silia gel) dan
ditambah eluen setinggi 3 cm
6. Eluen diteteskan dan dialiri eluen baru hingga kolom terisi penuh dan
kecepatan penetesan diatur.
8. Uji KLT dilakukan pada vial kelipatan 10. Bila KLT memberikan noda yang
sama, maka fraksinya digabung. Bila noda berbeda, maka uji KLT dilakukan
pad vial di antaranya.
11. Diamati di bawah sinar UV 254 nm dan 365 nm serta diamati secara visual.
a. Dragendorf
b. Uap ammonia
d. FeCl3
e. KOH 10%
13
DAFTAR PUSTAKA
Akhsanita, M. 2012. Uji Sitotoksik Ekstrak, Fraksi, dan Sub-Fraksi Daun Jati
(Tectona grandis Linn. F.) Dengan Metoda Brine Shrimp Lethality
Bioassay. Skripsi. Padang:Universitas Andalas.
Arya, V., Thakur, N., and Kashyap, C.P., 2012, Preliminary Phytochemical
Analysis of the Extracts of Psidium Leaves, Journal of Pharmacognosy
and Phytochemistry, 1 (1) : 2278-4136
Dewi, N.L.A., 2018. Pemisahan, Isolasi, dan Identifikasi Senyawa Saponin dari
Herba Pegagan (Centella asiatica L. Urban). Jurnal Farmasi Udayana,
pp.68-76.
Ergina., Nuryanti, Siti., Pursitasari, Indarini, Dwi., 2014, Uji Kualitatif Senyawa
Metabolit Sekunder Pada Daun Palado (Agave Angustifolia) Yang
Diekstraksi Dengan Pelarut Air dan Etanol, Jurnal Akademi Kimia 3 (3),
165-172
Fajriaty, I., Hariyanto, I.H., Saputra, I.R. and Silitonga, M., 2017. SKRINING
FITOKIMIA DAN ANALISIS KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS DARI
EKSTRAK ETANOL BUAH LERAK (Sapindus rarak).
Jurnal Pendidikan Informatika dan Sains, 6(2), pp.243-256.
Hayati, E.K., dan Halimah, N. 2010. Phytochemical Test and Brine Shrimp
Lethally Test Against Artemia salina Leach Anting-anting (Achalypha
indica Linn.) Plant Ekstract. ALCHEMY. Vol. 2: 53-103.
14
Indriani, S., 2006, Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Jambu Biji
(Psidium guajava L.), Jurnal Pertanian Indonesia, 11 (1) : 13-17
Kristanti, A. N., Nanik, S. A., Mulyadi, T., Bambang, K. 2008. Buku Ajar
Fitokimia. Surabaya: Universitas Airlangga
Lade BD, Patil AS, Paikrao HM, Kale AS, Hire KK. 2014. A comprehensive
working, principles and applications of thin layer chromatography.
Research Journal of Pharmaceutical, Biological and Chemical Sciences.
5: 486–503
Mulyani, M., Bustanul A., Hazil N. 2013. Uji Antioksidan dan Isolasi Senyawa
Metabolit Sekunder dari Daun Srikaya (Annona squamosa L). Jurnal
Kimia Unand, Volume 2 Nomor 1, Maret 2013.
Murniasih, T., 2003. Metabolit sekunder dari spons sebagai bahan obat-
obatan. Oseana, 28(3), pp.27-33.
Nakasone HY, Paull RE. 1998. Tropical Fruits. Wallingford (GB): CAB
International.
Rafi, M., Heryanto, R. and Septaningsih, D.A., 2017. Atlas kromatografi lapis
tipis tumbuhan obat Indonesia.
Rochmasari, Y., 2011. Studi Isolasi Dan Penentuan Struktur Molekul Senyawa
Kimia Dalam Fraksi Netral Daun Jambu Biji Australia (Psidium Guajava
L.). Universitas Indonesia, Depok.
Sa’adah, L. (2010). Isolasi dan identifikasi senyawa tanin dari daun belimbing
wuluh (Averrhoa bilimbi l.). Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana
Malik Ibrahim, Malang
15
Saifudin, A., dkk. Standardisasi Bahan Obat Alam, Graha Ilmu, Yogyakarta. 2011.
Sarker SD, Latif Z, & Gray AI. 2006. Natural products isolation. In: Sarker SD,
Latif Z, & Gray AI, editors. Natural Products Isolation. 2nd ed. Totowa
(New Jersey). Humana Press Inc. hal. 6-10, 18.
Typhonium
flagelliforme Lodd. Blume leaf extract on COX-2 expression of WiDr colon
cancer cells. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine.
https://doi.org/10.1016/j.apjtb.2015.12.012
Skoog, D. A. 1998. Principles of Instrumental Analysis. Fifth Edition. Brooks/cole-
Thomson Learning, USA
Sundari, I. 2010. Identifikasi Senyawa dalam Ekstrak Etanol Biji Buah Merah
(Pandanus conoideus Lamk.). Skripsi. Surakarta: Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret.
Tengo, N.A., Bialangi, N. and Suleman, N., 2013. Isolasi dan Karakterisasi
Senyawa Alkaloid dari Daun Alpukat (Persea americana Mill). Jurnal
Sainstek, 7(01).
Taiz, L., E. Zeiger. 2002. Plant Physiology. Third Edition. Sinauer Associate
Inc.Publisher Sunderland, Massachusetts. 667 p
Tsukaya, H. 2005. Leaf Shape: Genetic Controls And Environmental Factors. Int J
Dev Biol. 49 (1). 547-555
16