Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MAKALAH

FITOKIMIA
SKRINING FITOKIMIA DAN PEMISAHAN FRAKSI TERPENOID
EKSTRAK ETANOL 90 % DAUN KATUK (Sauropus androgynous (L.)
Merr.) MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI KOLOM

Disusun Oleh

Rahmadi 11194761910378
Retno Ermadiningtyas 11194761910380
Rini Ardila Ipnas 11194761910381
Rizki Adhie Ramadhani 11194761910382
Selvia Efriyanti 11194761910383
Sharen Delayagona 11194761910384
Kelas A

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
2020

i
ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Alam dihuni oleh beraneka ragam mahluk hidup, salah satunya


tumbuhan. Berbagai jenis tumbuhan kita temukan disekitar kita. Ilmu
tumbuhan pada waktu sekarang telah mengalami kemajuan yang demikian
pesat, hingga bidang-bidang pengetahuan yang semula hanya merupakan
cabang-cabang ilmu tumbuhan saja sekarang telah menjadi ilmu yang
berdiri sendiri.
Di dalam makalah ini menyangkut tentang botani farmasi yang berisi
tentang pokok-pokok morfologi tumbuhan, struktur anatomi dan proses
yang terjadi di dalam tumbuhan tersebut. Pada makalah ini kami akan
menjelaskan sedikit tentang tumbuhan pada Daun Katuk (sauropus
androgynus). Daun katuk (sauropus androgynus (L.) Mer.) mempunyai
banyak manfaat dalam kehidupan sehari-hari. Kandungan kimia dalam
daun katuk berkhasiat untuk melindungi struktur sel, meningkatkan
efektivitas vitamin C, anti inflamasi,mencegah tulang keropos dan sebagai
antibiotik alami. Fungsi lainnya yaitu berperan langsung sebagai antibiotik
dengan mengganggu fungsi mikroorganisme seperti bakteri atau virus dan
juga meningkatkan imunitas tubuh (Middleton et al. 2000). Untuk
mengetahui kandungan kimia yang terkandung pada daun katuk (Sauropus
androgynus (L.) Merr.) maka perlu dilakukan penentuan kandungan kimia
(Vallisuta, 2012).
Skrining fitokimia dilakukan untuk memberikan gambaran tentang
golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman yang diteliti. Metode
skrining fitokimia dilakukan dengan menguji warna dengan menggunakan
suatu pereaksi warna (Widayanti dkk., 2009). Hal yang berperan penting
dalam skrining fitokimia adalah pemilihan pelarut dan metode ekstraksi
(Kristianti dkk., 2008). Dalam pembuatan makalah ini bertujuan untuk
mengaplikasikan beragam pengetahuan yang didapat selama kuliah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja senyawa yang terkandung pada tanaman daun katuk
( Sauropus androgynous (L..). Merr). ?
2. Apa khasiat tanaman daun katuk (Sauropus androgynous (L..). Merr.)?
3. Berapa fase gerak hasil identifikasi KLT dan fraksi pemisahan
trepenoid menggunakan kromatografi kolom dari?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui senyawa apa saja yang terkandung pada
tanaman daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr).
2. Untuk mengetahui khasiat tanaman daun katuk (Sauropus
androgynus (L). Merr).
3. Untuk mengetahui fase gerak hasil dari identifikasi KLT dan fraksi
pemisahan trepenoid menggunakan kromatografi kolom ?

iv
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Tanaman
Habitus berupa perdu setinggi 2,5-5 m. Batang berkayu, berbentuk
bulat dengan bekas daun yang tampak jelas. Batang tegak, saat masih
muda berwarna hijau dan setelah tua berwarna coklat kehijauan. Daun
berupa daun majemuk, berbentuk bulat telur dengan ujung runcing dan
pangkal tumpul. Tepi daun rata, panjang daun 1,5-6 cm, lebar daun 1-3,5
cm. Daun Sauropus androgynus mempunyai pertulangan menyirip,
bertangkai pendek, dan berwarna hijau keputihan pada bagian atas, hijau
terang pada bagian bawah. Bunga majemuk, berbentuk seperti payung,
berada diketiak daun. Kelopak berbentuk bulat telur, berwarna merah-
ungu. Kepala putik berjumlah tiga, berbentuk seperti ginjal. Benang sari
tiga, panjang tangkai 5-10 mm. Bakal buah menumpang dan berwarna
ungu. Buah ini berbentuk bulat, beruang tiga, dengan diameter ± 1,5 mm,
dan berwarna hijau keputih-putihan-keunguan. Setiap buah berisi tiga biji.
Biji bulat, keras, berwarna putih. Akarnya berupa akar tunggang dan
berwarna putih kotor (BPOM RI, 2008).

B. Klasifikasi Tanaman
Taksonomi tanaman katuk dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas, : Magnoliopsida
Ordo : Malpighiales
Famili : Phyllanthaceae
Genus : Sauropus
Spesies : Sauropus androgynous
(BPOM RI, 2008)
C. Khasiat dan Penggunaan

Daun katuk dapat mengandung hampir 7% protein dan serat kasar sampai
19%. Daun ini kaya vitamin K, selain pro-vitamin A (beta-karotena), B,
dan C. Mineral yang dikandungnya adalah kalsium (hingga 2,8%), besi,
kalium, fosfor, dan magnesium. (Andarwulan dkk, 2010)

Daun katuk (Sauropus androgynus(L.) Merr) dapat digunakan


sebagai obat tradisonal sakit kerongkongan, meningkatkan produksi ASI,
serta memiliki aktivitas sebagai antidislipidemia.Warna daunnya hijau
gelap karena kadar klorofil yang tinggi. Perlu diketahui, daun katuk
mengandung papaverina, suatu alkaloid yang juga terdapat pada candu
(opium). Konsumsi berlebihan dapat menyebabkan efek samping seperti
keracunan papaverin. Pucuk tunas yang muda dijual orang di Indocina dan
dimanfaatkan seperti asparagus. ( Santoso, U. 2000 )

D. Ekstraksi dengan Metode Maserasi


Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat
larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut
cair (Depkes RI,2000).
Pada prinsipnya terdapat tiga tahapan proses pada saat ekstraksi,
yaitu penetrasi pelarut ke dalam sel tanaman dan pengembangan sel,
pelarutan zat aktif dalam sel, dan difusi bahan yang terekstraksi ke luar sel
(Kusmardiyani dan Nawawi, 1992).
Maserasi merupakan metode ekstraksi yang sederhana dan sering
digunakan. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia
menggunakan pelarut yang sesuai dalam wadah tertutup dengan sesekali
pengadukan pada suhu ruangan. Metode ini cocok untuk ekstraksi dalam
jumlah yang banyak. Proses ekstraksi berhenti ketika tercapai
kesetimbangan konsentrasi metabolit dalam pelarut dan di dalam serbuk
simplisia (Seidel, 2008).

vi
Keuntungan dari metode maserasi adalah cara pengerjaan dan
peralatan yang digunakan sederhana. Kerugiannya adalah pengerjaannya
membutuhkan waktu yang lama, membutuhkan pelarut yang tidak sedikit,
dan beberapa komponen tidak dapat terekstraksi jika memiliki kelarutan
yang lemah dalam suhu ruangan (Seidel, 2008).

E. Tahap Pembuatan Simplisia


1 Sortasi basah
Sortasi basah adalah pemilihan hasil panen ketika tanaman masih
segar (Gunawan, 2010).Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan
kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput,
batang, daun, akaryang telah rusak serta pengotoran lainnya harus
dibuang. Tanah yang mengandung bermacam-macam mikroba dalam
jumlah yang tinggi. Oleh karena itu pembersihan simplisia dan tanah yang
terikut dapat mengurangi jumlah mikroba awal (Melinda, 2014).
2. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor
lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan
air bersih, misalnya air dan mata air, air sumurdan PDAM, karena airuntuk
mencucisangat mempengaruhi jenis dan jumlah mikroba awal simplisia.
Misalnya jika air yang digunakan untuk pencucian kotor, maka jumlah
mikroba pada permukaan bahan simplisia dapat bertambah dan air yang
terdapat pada permukaan bahan tersebut dapat mempercepat pertumbuhan
mikroba (Gunawan, 2010).Bahan simplisia yang mengandung zat mudah
larut dalam airyang mengalir, pencucian hendaknya dilakukan dalam
waktu yang sesingkat mungkin (Melinda, 2014).
3. Perajangan
Beberapa jenis simplisia perlu mengalami perajangan untuk
memperoleh proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Semakin
tipis bahan yang akan dikeringkan maka semakin cepat penguapan air,
sehingga mempercepat waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu
tipis juga menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang
mudah menguap, sehingga mempengaruhi komposisi, bau, rasa yang
diinginkan (Melinda, 2014).Perajangan dapat dilakukan dengan pisau,
dengan alat mesin perajangan khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau
potongan dengan ukuran yang dikehendaki (Gunawan, 2010).
4. Pengeringan
Proses pengeringan simplisia, terutama bertujuan sebagai berikut:
a. Menurunkan kadar air sehingga bahan tersebut tidak mudah ditumbuhi
kapang dan bakteri.
b. Menghilangkan aktivitas enzim yang bisa menguraikan lebih lanjut
kandungan zat aktif.
c. Memudahkan dalam hal pengolahan proses selanjutnya (ringkas,
mudah disimpan, tahan lama, dan sebagainya) (Gunawan, 2010).
Proses pengeringan sudah dapat menghentikan proses enzimatik
dalam sel bila kadarairnya dapat mencapai kurang dan 10%. Hal-hal yang
perlu diperhatikan dari proses pengeringan adalah suhu pengeringan,
lembaban udara, waktu pengeringan dan luas permukaan bahan. Suhu
yang terbaik pada pengeringan adalah tidak melebihi 60o, tetapibahan
aktif yang tidak tahan pemanasan atau mudah menguap harus dikeringkan
pada suhu serendah mungkin, misalnya 30º sampai 45º. Terdapat dua cara
pengeringan yaitu pengeringan alamiah (dengan sinar matahari langsung
atau dengan diangin-anginkan)dan pengeringan buatan dengan
menggunakan instrumen (Melinda, 2014)
5. Sortasi Kering
Sortasi kering adalah pemilihan bahan setelah mengalami proses
pengeringan. Pemilihan dilakukan terhadap bahan-bahan yang terlalu
gosong atau bahan yang rusak (Gunawan, 2010). Sortasi setelah
pengeringan merupakan tahap akhir pembuatan simplisia.Tujuan
sortasiuntuk memisahkan benda-benda asing sepertibagian-bagian
tanaman yang tidak diinginkan atau pengotoran-pengotoran lainnya yang
masih ada dan tertinggal pada simplisia kering (Melinda, 2014)
6. Penyimpanan

viii
Setelah tahap pengeringan dan sortasi kering selesai maka
simplisia perlu ditempatkan dalam suatu wadah tersendiri agar tidak saling
bercampur antara simplisia satu dengan lainnya (Gunawan, 2010). Untuk
persyaratan wadah yang akan digunakan sebagai pembungkus simplisia
adalah harus inert, artinya tidak bereaksi dengan bahan lain, tidak beracun,
mampu melindungi bahan simplisia dari cemaran mikroba, kotoran,
serangga, penguapan bahan aktif serta dari pengaruh cahaya, oksigen dan
uap air (Melinda, 2014).

F. Fraksinasi dengan Metode Kromatografi Kolom


Ekstrak kasar tanaman, mikroba, atau matriks hewan mengandung
campuran dari beberapa senyawa. Ekstrak kasar perlu dilanjutkan ke tahap
fraksinasi untuk memisahkan senyawa-senyawa yang terkandung dalam
ekstrak kasar. Fraksinasi merupakan pemisahan ekstrak kasar yang
dilakukan untuk mendapatkan berbagai fraksi yang mengandung
kelompok senyawa dengan polaritas yang sama atau ukuran molekul yang
sama (Sarker dan Nahar, 2012). Pada prinsipnya ada dua cara pengemasan
kolom, yaitu cara basah dan cara kering. Fase diam yang digunakan dalam
metode kromatografi kolom lambat sama dengan metode kromatografi
lapis tipis, hanya saja tidak menggunakan bahan penyangga dan pengikat.
Contohnya antara lain silika gel, poliakrilamida, polistiren, karbohidrat,
dan alumina. Umumnya ukuran diameter partikel silika gel yang
digunakan untuk mengemas kolom pada kolom kromatografi dapat
berkisar dari 10 - 200 µm. Tahap penyiapan kolom: glass wool diletakkan
pada bagian bawah kolom untuk menahan fase diam. Silika gel
ditambahkan dengan ketukan perlahan ke dalam kolom agar kolom
menjadi padat, mencegah adanya gelembung, dan memiliki permukaan
yang datar. Tinggi kolom berkisar antara 20 - 30 cm dengan 40 - 60 cm
ruang yang tersisa untuk menahan pelarut. Pada proses pemisahan
kromatografi kolom lambat, campuran yang akan dipisahkan diletakkan
pada bagian atas adsorben yang berada pada suatu tabung. Kolom
kromatografi atau tabung untuk pengaliran karena gaya gravitasi atau
sistem bertekanan rendah biasanya terbuat dari kaca yang dilengkapi keran
jenis tertentu pada bagian bawahnya untuk mengatur aliran pelarut (Deyl
dkk., 1975).
G. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis adalah metode untuk tujuan analisis
kualitatif atau analisis kuantitatif. Analisis kualitatif dengan kromatografi
lapis tipis dilakukan untuk mengetahui jenis senyawa yang terkandung di
dalam sampel. Analisis kuantitatif untuk mengetahui kadar senyawa yang
terdapat dalam bercak. Jenis adsorben yang sering digunakan adalah silika
gel dan alumina (Gibbons, 2012). Pelarut sebagai fase gerak atau eluen
merupakan faktor yang menentukan gerakan komponen-komponen dalam
campuran. Pemilihan pelarut tergantung pada sifat kelarutan komponen
tersebut terhadap pelarut yang digunakan. Fase gerak yang bersifat lebih
polar digunakan untuk mengelusi senyawa-senyawa yang adsorbsinya
kuat, sedangkan fasa gerak yang kurang polar digunakan untuk mengelusi
senyawa yang adsorbsinya lemah. Fase gerak yang digunakan untuk
kromatografi lapis tipis dapat berupa 1 jenis pelarut atau campuran dari
lebih 1 jenis pelarut (Gibbons, 2012). Plat KLT yang disemprot dengan
pereaksi semprot akan menampakkan warna bercak pada plat. Penggunaan
pereaksi semprot yang dapat memberikan informasi tentang golongan
senyawa yang terdapat dalam ekstrak.

x
BAB III

METODE PENILITIAN

A. Penentuan Lokasi, Waktu dan Sasaran Penelitian


Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2014. Sampel katuk
( Sauropus androgynous (L.) Merr.) diperoleh dari Yogyakarta yang telah
dilakukan determinasi sebelumnya oleh Lab Biologi Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Uji Skrinning dilakukan di
Laboratorium Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Udayana.

B. Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi daun katuk ( Sauropus androgynous (L..) Merr.). Sampel
yang digunakan daun katuk ( Saoropus androgynous (L..) Merr.) diperoleh
dari Yogyakarta.

C. Metode Penelitian
1. Alat dan Bahan
- Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu pipet tetes, cawan
porselen, gelas ukur, Erlenmeyer, gelas beker, batang pengaduk,
pipet ukur, sendok tanduk, tabung reaksi, timbangan elektrik
(ADAM AFP-360L), oven (BINDER).
- Bahan tanaman yang digunakan berupa simplisia daun katuk
( Sauropus androgynous (L..) Merr.), pelarut yang digunakan untuk
maserasi adalah etanol 90 % ( teknis, Brataco ). Bahan – bahan
yang digunakan untuk skrining fitokimia yaitu asam borat P, asam
oksalat P, asam asetat anhidrat p.a. ( Merck ), eter P, kloroform
(Brataco), asam klorida p.a. ( Merck ), pereaksi Dragendroff,
pereaksi Mayer, larutan besi ( III )klorida 10 %.
2. Cara Kerja
- Pembuatan Ekstrak Etanol 90 % Daun Katuk
Sejumlah 1000 g serbuk daun katuk kering diekstraksi
dengan 3000 Ml etanol 90% dengan metode maserasi selama 5
hari. Residu yang diperoleh lalu diremaserasi sebanyak 2 kali
dengan menggunakan masing – masing 2000 Ml etanol 90%.
Filtrat yang diperoleh digabungkan, pelarut diuapkan
menggunakan vaccum rotary evaporator pada suhu 40°C kemudian
dilanjutkan dengan menggunakan oven pada suhu yang sama
hingga terbentuk ekstrak kental. Ekstrak kental yang diperoleh
kemudian ditimbang.
- Pembuatan larutan untuk skrinning fitokimia dilakukan dengan
cara melarutkan 500 mg ekstrak etanol 90% daun katuk dalam 50
ml etanol 90%
- Pemeriksaan alkaloid larutan uji sebanyak 2 ml diuapkan diatas
cawan porselen hingga diperoleh residu. Residu kemudian
dilarutkan dengan 5 ml HCL 2N. Tabung pertama ditambahkan
dengan asam encer yang berfungsi sebagai blanko, tabung kedua
ditambahkan 3 tetes pereaksi Dragendroff dan tabung ketiga
ditambahkan 3 tetes pereaksi Mayer.
- Pemeriksaan steroid dan terpenoid larutan uji sebanyak 2 ml
diuapkan dalam cawan penguap. Residu dilarutkan dengan 0,5 ml
klororform, ditambahkan 0,5 ml asam asetat anhidrat dan 2 ml
asam sulfat pekat melalui dinding tabung.
- Pemeriksaan saponin larutan uji sebanyak 10 mldalam tabung
reaksi dikocok vertikal selama 10 detik.

xii
- Pemeriksaan tanin dan polifenol larutan uji sebanyak 2 ml dibagi
kedalam 2 bagian. Tabung A digunakan sebagai blanko dan tabung
B direaksikan dengan larutan besi (III) klorida 10%.
- Pemeriksaan glikosida serbuk simplisia uji dilarutkan dalam
pelarut etanol 90%, diuapkan diatas tangas air, dilarutkan sisanya
dalam 5 ml asam asetat anhidrat P, dan ditambahkan 10 tetes asam
sulfat P.
- Pemeriksaan flavonoid larutan uji sebanyak 1 ml dibasahkan
dengan aseton P, ditambahkan sedikit serbuk halus asam borat P
dan serbuk halus asam oksalat P, dipanaskan diatas tangas air dan
dihindari pemanasan berlebihan. Sisa yang diperoleh dicampur
dengan 10 ml eter P kemudian di amati dengan sinar UV 366 nm.
- Sebanyak 1 gram ekstrak kental etanol 90% Ekstrak etanol 90%
difraksinasi menggunakan kromatografi kolom campuran pelarut
gradien kloroform:metanol dengan perbandingan 9:1 sampai 1:9
(masing-masing perbandingan sebanyak 20mL). Hasil fraksinasi
didapatkan sebanyak 20 fraksi.
- Fraksi-fraksi yang diperoleh diidentifikasi dengan KLT. Fase gerak
yang digunakan adalah kloroform : metanol = 7 : 3. Plat KLT
disemprot dengan pereaksi penampak noda vanillin-asam
sulfat, kemudian diamati reaksi warna yang terjadi. Hasil positif
terpenoid menunjukkan perubahan warna menjadi kuning-coklat,
kuning, coklat dan ungu (Harborne, 2006).

3. Deteksi Fitokimia
- Alkaloid
Terbentuknya endapan jingga pada tabung kedua dan endapan
kuning pada tabung ketiga.
- Steroid dan Terpenoid
Terbentuknya cincin kecoklatan atau violet pada perbatasan larutan
adanya terpenoid.
- Saponin
Pembentukan busa setinggi 1 – 10 cm yang stabil selama tidak
kurang dari 10 menit. Pada penambahan 1 tetes HCL 2N busa tidak
hilang,
- Tanin dan folipenol
Berubah warna menjadi biru tua dan hitam kehijauan.
- Glikosida
Berwarna biru atau hijau,
- Flavonoid
Larutan berfluoresensi kuning intensif.

4. Fraksi dipisahkan dengan Kromatografi Kolom dan diidentifikasi


Kromatografi Lapis Tipis

Ekstraksi serbuk daun katuk dilakukan dengan metode maserasi


pelarut etanol 90%. Didapatkan ekstrak berwarna ungu pekat.
Sebanyak 1 gram ekstrak etanol 90% difraksinasi menggunakan
kromatografi kolom fase gerak gradien campuran pelarut
kloroform:metanol 9:1 sampai 1:9. Hasil fraksinasi didapatkan
sebanyak 20 fraksi. Masing-masing fraksi ditampung sebanyak 10mL.
Dilakukan identifikasi menggunakan KLT pada semua fraksi
selanjutnya disemprotkan pereaksi penampak noda vanillin-sulfat.
Terjadi perubahan warna menjadi kuning-coklat pada fraksi 13-17
(gambar 1).

Gambar 1 Pengamatan profil KLT fraksi secara visual setelah


disemprot vanillin-sulfat.

xiv
Fase gerak gradien campuran pelarut kloroform:metanol (9:1 sampai
1:9).

BAB III
DAFTAR PUSTAKA

Andarwulan, N., R. Batari, D. A. Sandrasari, B. Bolling and H. Wijaya. 2010.


Flavonoid content And antioxidant activity of vegetables from
Indonesia. Food Chemistry 121 (2010): 1231 – 1235.

(BPOM RI) Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.


2008.Taksonomi Koleksi Tanaman Obat Kebun Tanaman Obat
Citeureup. Jakarta: BPOM RI.

Depkes RI., 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat,


Departemen Republik Indonesia, Jakarta

Deyl Z, Macek K and Janak J. 1975. Liquid Column Chromatography. Elseviser


Sci.Publ. Co. Oxford-New York USA, 3-10.

Gunawan, Didik dan Sri mulyani. 2004.Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) Jilid
I.Penerbit Swadaya. Jakarta.

Harborne, J. B. (2006). Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Mengenalisa


Tumbuhan. Bandung: Institut Teknologi Bandung. P.123-125.

Heinrich, M., Barnes, J., Gibbons, S., dan Williamson, E. (2012). Fundamentals
of Pharmacognosy and Phytotherapy. New York: Churchill
Livingstone Elsevier.
Kristianti, A. N, N. S. Aminah, M. Tanjung, dan B. Kurniadi. 2008. Buku Ajar
Fitokimia. Surabaya: Jurusan Kimia Laboratorium Kimia Organik
FMIPA Universitas Airlangga. P.47-48.
Kusmardiyani, S. dan A. Nawawi. 1992. Kimia Bahan Alam. Jakarta: Universitas
Bidang Ilmu Hayati.
Melinda, (2014). Aktivitas Antibakteri Daun Pacar (Lowsonia inermis L), Skripsi,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta
Middleton, E Jr, Kandaswami C. And Theoharides, T. C. 2000 The Effects of
Plant Flavonoids on Mammalian Cells: Implication For
Inflammantion, Heart Disease, And Cancer. Pharmacelogical Review,
2, 673-751.
Santoso, U. 2000. Mengenal daun katuk. sebagai feed additive pada broiler.
Poultry Indonesia, 242: 59- 60.

Sarker, S. D., dan Nahar, L., 2012, Natural Product Isolation, 3thedition, Humana
Press, New York, United States.

Seidel, V. 2008. Initial and Bulk Extraction. In: Sarker, S. D., Latif, Z. and Gray,
A. I., editors. Natural Products Isolation. 2nd Ed. New Jersey: Humana
Press. Pp. 33-34.

Vallisuta, O. (2012). Drug Discovery Research in Pharmacognosy. Shanghai :


InTech. P.30-32.

Widayanti, S. M., A. W. Permana, H. D. Kusumaningrum. 2009. Kapasitas Kadar


Antosianin Ekstrak Tepung Kulit Buah Manggis (Garcinia
mangostana L.) Pada Berbagai Pelarut Dengan Metode Maserasi. J.
Pascapanen, 6 (2): 61-68.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/jfu/article/view/17929/11672

https://ojs.unud.ac.id/index.php/jfu/article/view/12035/8355

xvi

Anda mungkin juga menyukai